Sepasang merpati putih bertengger manis di atas jendela yang
lebar terbuka. Seakan sedang berinteraksi layaknya dua orang manusia,
mereka berkicau berbalas kata-kata yang terdengar sangat merdu.
Kemudian bernyanyi memecah keheningan. Indah. Sayap-sayapnya yang putih
itu sangat sinkron dengan ruangan yang mereka hinggapi. Ruangan yang
mungkin untuk sebagian orang merasa enggan memasukinya, apalagi untuk
menempatinya, entah sehari atau dua hari. Bau obat-obatannya yang khas
serta peralatan-peralatan medis yang selalu tertata rapi di pinggiran
tempat tidur. Sudah jelas, ini sebuah rumah sakit.
Sepasang burung itu terbang saat sang penghuni ruangan berangsur
mendekat ke jendela. Raut wajahnya masih terlihat pucat pasi, matanya
sayu, dan ada sedikit guratan hitam di bawah kelopak matanya. Itu
mungkin karena ia jarang tidur setelah selama seminggu berbaring di
tempat ini. Pikirannya selalu terbayang pada kecelakaan yang
menimpanya. Kecelakaan motor yang sudah menghancurkan segalanya;
cita-cita, hobi, bahkan bakatnya yang memang jago dalam bidang akademik
maupun non akademik. Anak yang maniak basket tersebut terpaksa vakum
dan mungkin harus mengubur dalam-dalam hobinya itu. Kenapa bisa begitu?
Ya, karena dia lumpuh! Apakah dengan lumpuh ia masih bisa bermain
basket seperti sediakala? Entahlah…
Belum selesai ia meratapi nasibnya, ketukan pintu berhasil
membuyarkan lamunan seorang Alvino Luidera一sang penghuni kamar
tersebut. Cowok yang akrab dipanggil Alvin itu langsung mengarahkan
kursi rodanya ke dekat tempat tidur.
“Hai, Vin! Gimana keadaan loe?” sapa Ify一teman dekatnya.
“Sudah agak mendingan, Fy. Thanks ya sudah mau menjenguk.” jawab Alvin santai, “Loe sama siapa ke sini? Sendirian?” lanjutnya.
“Enggak. Gue ke sini sama…” jawab Ify gantung, matanya melirik ke
ambang pintu, “Gue sama Via!” Alvin mendengus kesal pas Via一teman Ify
sekaligus bisa dibilang musuh Alvin itu muncul di daun pintu.
“Jangan bilang loe datang ke sini buat meledek atau menghina gue?!”
cerca Alvin tanpa komando. Sedangkan Via yang baru datang dan langsung
ditembak mati oleh Alvin itu mendadak naik darah.
“Loe tuh, ya! Masih untung gue tengok, bilang makasih kek sama gue! Malah nuduh yang enggak-enggak.” celoteh Via kesal.
“Gue gak minta loe tengok, ya!”
“Sebenarnya gue juga ogah nengok loe kalau gak dipaksa Ify!” timpal Via tak mau kalah.
“Perang Dunia Keempat sudah dimulai!” ucap Ify sedikit kesal.
“Berisik!!!” bentak Alvin dan Via kompak.
“Sudah, deh! Pusing gue lihat kalian berdua berantem terus.
Sekali-kali akur, kenapa?! Apa kalian gak bosan, hah?! Kita ke sini
bukan mau berantem, ngerti?!” oceh Ify tak kalah heboh. Tapi percuma,
ocehannya tak dianggap. Mereka tetap sibuk dengan adu kata-katanya. Ify
menggeleng pasrah.
Berantem. Mungkin kegiatan itulah yang sangat rutin dilakukan Alvin
dan Via acapkali mereka bertemu di manapun, kapanpun, dan dalam situasi
apapun. Mereka itu bisa dibilang Tom and Jerrynya SMA 1
Nosztaholic, dari masalah sepele bisa jadi masalah besar, dari masalah
besar bisa jadi masalah yang lebih besar. Entah apa yang mendasari
mereka berdua. Yang jelas, sudah hampir tiga tahun ini mereka sekelas,
predikat peringkat satu yang sering diraih Via itu sudah berpindah
tangan ke Alvin. Oke, mungkin itu salah satunya penyebab mereka selalu
berantem. Who knows?
Di mata Via, Alvin itu merupakan sosok yang sombong, egois, sok
pintar, sok jagoan, dan yang sok-sok lainnya. Padahal di mata orang
lain, Alvin itu adalah sosok orang yang baik hati, murah senyum,
tampan, gesit, dan tentunya pintar. Entah mana yang benar? Via, atau
orang lain?
***
Pantulan bola basket menggema di sekitar lapangan. Beberapa anak sibuk mengoper, mendribble,
merebut, dan memasukan bola ke keranjang. Sedangkan di sisi lain,
Alvin yang baru dua hari ini berangkat ke sekolah, ia sudah ikut
berpartisipasi menonton rekan-rekannya latihan basket. Entah karena ia
ingin memberi semangat atau karena ia sudah kangen untuk bermain basket?
Yang jelas, Alvin masih dalam bantuan kursi roda.
“Ups! Ada yang lagi galau nih kayaknya. Sudah gak bisa main basket
lagi, ya?” ceplos seseorang tidak jauh dari tempat Alvin sekarang.
“Gue lagi malas berantem, ya! Jadi gue mohon loe jangan bikin
masalah di sini.” tegas Alvin. Orang tersebut hanya mengangkat alisnya.
Dia Cavia Delisha一Via.
“Gue juga lagi gak mau berantem, tuh. Gue cuma kasihan saja lihat
loe yang gak bisa ngapa-ngapain lagi. Loe itu sekarang benar-benar
orang yang gak berguna!” tampar Via dengan kata-kata yang menyakitkan.
Alvin geram, tangannya mengepal roda kursi erat-erat dan pergi begitu
saja tanpa merespon ucapan Via sebelumnya.
“Aneh. Gue salah ngomong kali, ya? Ya Tuhan!” guman Via menyesal. Di hatinya terbesit perasaan bersalah. Entah karena apa?
“Hei, Vi? Tolong lempar bolanya, dong!” seru Gabriel yang kebetulan bola basketnya menggelinding di hadapan Cavia Delisha.
“Oh, iya!” Via buru-buru mengambil bola dan melemparkannya ke arah Gabriel.
***
“Loe mau pesan apa, Vin?” tawar Ray begitu sampai di kantin.
“Samakan saja, deh!” balasnya singkat.
“Oke, jus alpukat sama siomay, ya?” sedetik, Ray sudah menerobos ke dalam kerumunan anak-anak yang sibuk memesan makanan.
“Alvin!” sapa Ify. Alvin menengok dan melihat Ify serta Agni sedang berjalan menghampirinya.
“Iya, ada apa?”
“Gak apa-apa, mau menyapa saja.” Ify nyengir.
“Loe sama siapa, Vin?” giliran Agni bertanya.
“Gue sama Ray, tuh! Tumben kalian cuma berdua! Geng loe satu lagi mana?”
“Gak tahu, tuh! Katanya lagi malas ke kantin.” respon Ify.
“Oh, gitu.”
“Loe sih kenapa gak bareng Shilla?” tanya balik Ify.
“Maka dari itu, sudah dua hari ini gue gak lihat dia di sekolah. Sakit kali, ya?” Alvin mengangkat bahunya pelan.
“Siapa bilang Shilla sakit? Orang dia sehat-sehat saja, kok!” timpal Agni.
“Tahu dari mana loe, Ag?” tanya Alvin.
“Tuh belakang loe,” Shilla memeluk Alvin dari belakang. Membuat cewek-cewek di depan Alvin mendadak mual dibuatnya.
Shilla, seorang model majalah ternama sekaligus ketua cheerleaders
yang sangat cantik. Rambutnya yang panjang dan hitam pekat serta
kulitnya yang putih bersih tak jarang menjadi pusat perhatian di SMA 1
Nosztaholic. Tetapi, sifatnya yang sombong dan suka pilih-pilih teman
itu juga membuat sebagian penghuni sekolah tersebut banyak yang
membencinya. Apalagi saat dia menjadi cewek satu-satunya yang berhasil
menjadi tambatan hati seorang Alvin yang notabenenya adalah cowok Most Wanted
itu membuat Shilla semakin menjadi-jadi ulahnya. Tak jarang mengumbar
kemesraan di sana-sini, sok manja, dan apalah itu. Bahkan bisa dibilang
Alvin itu bukan pacarnya Shilla, melainkan sebagai pembantunya yang
harus selalu ada disetiap Shilla membutuhkan. Dan yang anehnya, Alvin
tak pernah sadar apa yang Shilla lakukan padanya. Cinta itu memang
buta. Bahkan mampu membutakan hati.
Alvin tersenyum, “Kamu ke mana saja, sih? Sudah dua hari ini gak ketemu.” tanya Alvin.
“Aku gak ke mana-mana, kok. Aku ada di kelas.” terlihat kebohongan yang terpancar di wajah Shilla.
“Oh, ya? Kalau gitu mulai sekarang jangan menghilang lagi ya,
sayang? Aku sangat membutuhkanmu.” ucap Alvin lirih, tangannya mengusap
lembut tangan Shilla yang bersandar di pundaknya.
“Oh iya, gue pinjam Alvin sebentar, ya?” kata Shilla sambil melirik ke arah Ify dan Agni yang sedari tadi sibuk dengan handphonenya.
“Oke, silahkan! Yang lama juga gak apa-apa, kok.” jawab Agni cepat.
Sedangkan Ify hanya tersenyum hambar ke arah Shilla. Sedetik, Alvin dan
Shilla langsung menghilang di hadapan mereka.
“Lho, si Alvin ke mana? Kok gak ada?” Ray datang dengan dua jus alpukat dan dua porsi siomay di tangan kanan kirinya.
“Alvin diculik sama Shilla, tuh. Sini pesanan Alvin buat kita saja!”
paksa Ify langsung merebut paksa siomay dan jus alpukat di tangan Ray.
Ray cuma bisa pasrah. Yang penting sekarang waktunya makan.
***
“Kok ke sini?” tanya Alvin saat dorongan Shilla berhenti di suatu
tempat一toilet cewek. Shilla tak bergeming, matanya sibuk melirik keadaan
sekelilingnya, berharap tak ada seorang pun yang melihat, kecuali
mereka berdua.
“Sayang, kok kita ke sini, sih?” tanya Alvin lagi, “ Sayang, jawab dong!”
“Oke-oke, aku jawab. Aku cuma mau bilang sesuatu sama kamu.”
“Bilang apa? Ayo dong! Jangan bikin aku penasaran,” ucap Alvin
antusias. Siapa tahu Shilla mau memberikan kejutan padanya. Di WC? Who knows?
“Aku mau bilang kalau aku, kalau aku mau putus!” Alvin langsung syok mendengarnya.
“Apa?! Kamu mau putus? Kenapa?”
“Karena aku sudah punya gebetan yang lain, dan itu lebih baik dari
kamu.” kata Shilla tegas. Alvin memutar kursinya ke arah Shilla
berdiri.
“Maksud kamu apa, Shil? Kamu lagi bercanda, kan?”
“Aku gak lagi bercanda, Vin! Aku serius. Aku mau putus sama kamu.
Aku sudah gak kuat lagi pacaran sama orang cacat kayak kamu. Dan sampai
kapanpun aku gak bakalan sudi pacaran sama orang cacat! Buang-buang
waktuku saja!” bentak Shilla yang kemudian meninggalkan Alvin
sendirian. Tanpa perasaan.
“Shil, tunggu! Aku mohon. Beri aku kesempatan,” ucap Alvin mencoba bangkit dari kursi rodanya. Dan… Bruk!!!
“Alvin!” teriak seseorang yang ternyata dari tadi sempat mendengarkan percakapan mereka berdua一Alvin dan Shilla.
“Jangan sentuh gue! Pergi loe dari sini! Gue bisa sendiri.” bentak
Alvin. Orang tersebut mengurungkan niatnya membantu Alvin. Ia berdiri
di samping Alvin dan hanya bisa melihat ke-susah-payahannya berusaha
duduk kembali di kursi rodanya.
“Dalam keadaan loe yang kayak begini saja loe masih egois, Vin! Sok
kuat!” kata orang tersebut terpaksa membantu Alvin duduk dan setelah
itu pergi meninggalkannya. Dia Via.
“Aaarrrggghhh!” Alvin memukul-mukul tubuhnya sendiri.
“Via, tunggu!” teriak Alvin kemudian. Via terhenti saat namanya dipanggil. Berbalik, dan melangkah menghampiri Alvin.
“Jangan tinggalin gue, please!” Alvin merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, “Untuk kali ini saja.” Via mengangguk. Datar. Tanpa ekspresi.
***
Gue cuma kasihan saja lihat loe yang gak bisa ngapa-ngapain lagi. Loe itu sekarang benar-benar orang yang gak berguna!
Aku mau putus sama kamu. Aku sudah gak kuat lagi pacaran
sama orang cacat kayak kamu. Dan sampai kapanpun aku gak bakalan sudi
pacaran sama orang cacat! Buang-buang waktuku saja!
Dua pernyataan yang begitu menyakitkan dan menusuk hingga ke ulu
hati itu selalu terngiang di benak Alvin. Meskipun sudah berjuta-juta
kali ia mencoba menepisnya, namun pernyataan itu terlalu kuat sehingga
tak dapat ditepis begitu saja. Oke, Alvin memang lumpuh, dan bisa
dibilang cacat, tapi bukan berarti ia harus diperlakukan seenaknya. Ia
juga berhak bahagia. Butuh seseorang yang mampu menemaninya kapanpun.
Kedua orang tua Alvin meninggal waktu ia masih balita karena kecelakaan.
Kakaknya kuliah di luar negeri. Jadi, tinggallah Alvin sendiri di
rumah. Mungkin cuma pembantunya yang sampai sekarang setia menemani
Alvin saat ada di rumah.
“Permisi, Den. Ada yang ingin bertemu dengan Den Alvin.” kata Bi Minah di balik pintu.
“Suruh masuk saja, Bi!”
“Baik, Den.” kemudian Bi Minah menjauh dari kamar Alvin.
“Loe lagi sibuk gak, Vin?” Via tiba-tiba muncul di belakang Alvin.
“Enggak, kok. Kenapa memang?” tanya balik Alvin yang sebelumnya sudah hafal suara tersebut一suara Via.
“Kalau begitu ikut gue, yuk!” Via langsung mendorong kursi roda Alvin tanpa perintah. Alvin hanya pasrah.
Kilauan oranye masih setia membias indah di ufuk barat. Dengan
sedikit awan yang berwarna gelap serta sapuan angin yang membawa
kesejukan hingga menusuk kulit ari. Damai. Bahkan lebih dari damai.
Tiba-tiba Via berhenti mendorong kursi Alvin tepat di depan ayunan besi
tua yang mungkin hampir tak pernah tersentuh tangan manusia lagi
sebelumnya. Alvin menghela napas, berat. Ia masih bingung dengan maksud
Via yang mengajaknya ke sini. Untuk sekejap, mereka tak bergeming.
Sejurus kemudian Via mencoba mengangkat tubuh Alvin dan mendudukannya
di atas ayunan tua itu. Kemudian mendorongnya penuh hati-hati. Cukup
lama mereka terdiam, hanya suara gesekan besi serta binatang-binatang
alam yang sedari tadi terdengar.
“Terimakasih ya, Vi!” ucap Alvin berusaha memecah suasana. Via masih terdiam, hingga ayunan itu berhenti dengan sendirinya.
“Buat?” tanya Via pelan.
“Buat semuanya,” jawab Alvin singkat. Via tak merespon. Lagi, ia mengayunkan ayunan itu.
“Sebaiknya kita pulang, sudah hampir malam.” Via membantu Alvin
turun. Alvin tersenyum, tulus. Serasa ada jutaan beban yang hilang di
hatinya saat bersama Via. Entah apa itu?
“Vi, kenapa loe baik banget sama gue? Padahal dulu kalau kita
ketemu, loe selalu ngajak berantem. Apa karena keadaan gue yang
sekarang?” Via tergelak mendengar kata-kata Alvin.
“Iya, gue kasihan sama loe. Gue gak suka loe yang sekarang, Vin! Loe
yang lemah, loe yang mudah putus asa, loe yang pernah nangis cuma
gara-gara Shilla putusin loe, loe yang dengan bodohnya berlutut sama
orang yang belum tentu benar-benar mencintai loe. Loe itu beda sama
Alvin yang dulu! Mana Alvin yang tegar?! Mana Alvin yang gak mudah
putus asa?! Mana Alvin yang kuat?! Alvin yang memiliki prinsip?! Dan
Alvin yang selalu bersemangat?!” Via melangkah membelakangi Alvin.
“Tapi, Vi?” sergah Alvin.
“Tapi apa? Apa karena Shilla? Atau karena loe sekarang lumpuh? Itu
bukan alasan, Vin!” Alvin mendekati Via. Matanya sudah berkaca.
“Stop, Via! Jangan pojokin gue terus! Dan jangan sebut-sebut nama Shilla lagi. Gue sudah muak dengarnya.”
“Oke, lebih baik kita pulang. Sudah hampir malam.” ajak Via. Alvin menunduk pasrah.
***
Hening mengembara di kelas XI IPA 2. Penghuninya sedang sibuk menyalin coretan-coretan indah yang ada di whiteboard
ke sebuah buku. Bu Eva selaku guru Fisika sudah sejak tadi berdiri di
pojokan kelas. Sudah siap untuk membuka sesi tanya jawab.
“Oke, siapa yang bisa menjawab pertanyaan nomor dua dan nomor tiga?”
tanya Bu Eva sambil menyelidik satu persatu muridnya, “Ya, kamu!” dua
orang murid mengacungkan tangannya. Namun Bu Eva menunjuk salah satu
diantara keduanya. Alvino Luidera.
“Coba kamu isi soal nomor dua, Alvino.” dipegangnya spidol pemberian Bu Eva. Sejenak, Alvin memandangi whiteboard lekat-lekat.
“Mana sampai, Bu? Alvin kan lumpuh, mending Cavia Delisha saja Bu
yang maju.” celetuk salah seorang murid di baris paling belakang. Bagai
dihantam beribu-ribu ton besi baja, tubuh Alvin remuk tak bersisa.
Terlebih hatinya. Sejurus kemudian ia berbelok arah dan keluar
meninggalkan kelas.
“Alvin, tunggu!” teriak Via berusaha mengejar Alvin. Meski Ify dan
Agni mencoba menahannya. Sedangkan Bu Eva hanya bisa terenyuh melihat
kedua muridnya keluar dari kelas.
Koridor sekolah begitu sepi. Karena masih dalam jam pelajaran. Alvin
memutar rodanya tak tentu arah. Jiwanya semakin terguncang dengan
pernyataan yang begitu sakit keluar dari mulut temannya. Apa salah gue sebenarnya? Kenapa cobaan ini begitu menyakitkan?
pekik Alvin dalam hati. Sampai akhirnya roda kursinya berhenti di
sebuah gudang sekolah. Untuk kali ini Alvin ingin menyendiri, dan tak
ada satupun orang yang mampu mengganggunya. Namun, belum sempat ia
masuk ke dalam gudang, ekor matanya tertuju pada dua sosok manusia yang
sedang mesra berciuman. Brengsek! Dasar manusia yang gak tahu malu!
batin Alvin kesal. Matanya merah, jiwanya sudah meronta dan memaksa
Alvin berdiri meski itu mustahil. Tapi ajaibnya Alvin mampu berdiri dan
melangkah sebanyak lima langkah dan… Jbret!!!
Riko tersungkur akibat hantaman Alvin. Sedangkan Shilla hanya syok
melihat Alvin yang tiba-tiba datang, tiba-tiba berdiri, dan tiba-tiba
menghantam Riko keras. Semua karena tiba-tiba.
“Brengsek, loe!” Riko berdiri, kini giliran Alvin yang tergeletak
lemas di lantai. Pukulan demi pukulan mendarat mulus di muka Alvin. Ia
berusaha melawan, namun percuma, tenaga Riko lebih kuat darinya. Jadi,
Alvin hanya bisa menahan pukulan Riko sekuatnya.
“Mampus, loe! Jangan sok jagoan deh, loe!” kata Riko sembari memberi tamparan pada Alvin.
“Alvin!” teriak Via dari kejauhan. Ia berlari mendekati Alvin yang
sudah terkapar tak berdaya. Sedangkan Riko dan Shilla kabur entah ke
mana.
“Vin, loe gak apa-apa, kan? Ya ampun, kenapa bisa begini, sih?”
tanya Via khawatir melihat muka Alvin memar dan sedikit darah di sudut
bibirnya.
“Via, Alvin! Kalian sedang apa? Terus ini kenapa Alvin bisa kayak
gini?” tanya Ray, Ify, dan Agni yang entah dari mana mereka datang.
“Gue juga gak tahu. Mending kalian bantu gue bawa Alvin ke UKS.”
“Baik, Vi.” Ray, Agni, serta Via mengangkat tubuh
Alvin. Sedangkan Ify mendorong kursi roda yang tergeletak tak jauh dari
tempat kejadian.
***
Tiga hari berlalu. Rumah Alvin terlihat lebih ramai dari biasanya.
Ya, itu karena Ray CS sedang berkumpul di halaman belakang rumahnya.
Bersenang-senang seraya menghibur sang pemilik istana. Kebetulan hari
ini hari libur.
“Gue bawa sesuatu buat loe, nih, Vin.” kata Ify sumringah.
“Gue juga bawa, kok.” sambung Agni.
“Bawa apaan, deh?” tanya Alvin penasaran. Sedangkan Ray sama Via
sedang asyik membolak-balik ayam bakarnya. Ralat! Ayam bakar mereka
berlima maksudnya.
“Satu… dua… tiga… taraaa… Satu porsi siomay dan,” surprise Ify.
“Satu gelas jus alpukat!” sambung Agni lagi antusias.
“Huh, dasar! Bilang saja mau bayar hutang. Waktu itu kan loe berdua makan punya Alvin.” timpal Ray seketika.
“Hehehe. Iya juga, sih.” Ify dan Agni nyengir. Kontan membuat Via dan Alvin tertawa lepas. Ralat! Mereka.
“Ini spesial buat Alvino Luidera. Gue yang bikin, lho.” Via menyodorkan ayam bakar tepat di depan mata Alvin.
“Ceritanya mau ngasih apa mau pamer kalau ini buatan loe?” ledek Alvin jahil.
“Dua-duanya,” jawab Via, lantas kembali nimbrung bareng Ray, Agni,
dan Ify. Maksud Via cuma satu, ia mau ngambil jatah miliknya. Lalu
kembali duduk di samping Alvin.
“Enak? Sudah pasti enak, dong?” sombongnya.
“Lumayan,”
“Sudah, begitu doang? Gak seru, deh!”
“Bercanda doang, Vi. Ini enak banget, kok.” balas Alvin jelas.
“Nah, begitu dong! Hahaha…” mereka tertawa terbahak-bahak dan…
Dzing! Tatapan kedua mata mereka bertemu. Alvin langsung kembali
memakan ayam. Sedangkan Via mencoba memalingkan wajahnya, berusaha
menyembunyikan pipinya yang mulai bersemu merah. Salting.
“Via…” kata Alvin lembut. Lalu ia mendekatkan wajahnya ke wajah Via.
Semakin dekat. Membuat napas Via semakin memburu, tegang, namun
berusaha sesantai mungkin di depan cowok yang dulu pernah menjadi
musuhnya. Jantung Via berdetak lebih cepat saat tangan Alvin menyentuh
pipinya. Dan…
“Mulut loe belepotan, Vi. Sini gue bersihin.” kata Alvin. Ya Tuhan, jantung gue? pekik Via dalam hati. Mencoba memastikan bahwa jantungnya masih ada atau tidak.
“Kacang, kerupuk, tahu, tempe, garing!” teriak Ray, Agni, dan Ify
usil. Via bangkit dan berpura-pura pergi ke toilet. Sedangkan Alvin
kembali bersandar ke kursi rodanya. Mereka, lebih dari salting.
“Penonton kecewa…” goda Ify.
“Ciyeee… yang dulunya musuhan, sekarang bakal jadian, nih!” timpal Agni semakin menggoda Alvin.
“Apaan, sih?! Gak lucu, deh!” bela Alvin berusaha santai. Untung
saja Via gak ada, kalau ada mungkin dia sudah menjadi kepiting rebus.
Merah merona.
“Gak usah salting gitu, kali. Kalau enggak ya sudah biasa saja,
lagi.” kata Ray seraya mendorong Alvin ke dalam rumah, diikuti tawa
Agni dan Ify.
“Gimana kalau nanti sore kita ajarin Alvin jalan? Setuju, enggak?” ujar Ify tiba-tiba.
“Ide bagus, tuh! Gue setuju, deh.” sambung Ray.
“Loe mau kan, Vin?” tanya Agni meminta persetujuan.
“Why not?”
***
“Ayo, Vin! Loe pasti bisa.” teriak Agni semangat.
“Gue sama Ify beli minum dulu ya, Ag?” kata Ray seraya meninggalkan Agni sendiri di ayunan.
“Oke, bos! Kalau bisa beli lima, ya?” Ify mengacungkan jempolnya.
Dan Agni kembali menatap Alvin yang sedang belajar berjalan bersama
Via. Tak jauh dari ayunan yang diduduki Agni.
“Alvin sama Via itu so sweet banget, ya? Apalagi kalau mereka benar-benar pacaran, pasti lebih so sweet.” gumam Agni sambil senyum-senyum gak jelas.
Alvin sudah mampu berdiri cukup lama. Hanya saja kakinya belum
begitu kuat untuk melangkah. Di depannya ada Via yang setia mendampingi
Alvin. Memegang kedua tangan Alvin sebagai topangan. Dan sedikit demi
sedikit Alvin pun mencoba melangkah, kaku, tapi ia tetap berusaha.
Begitupula dengan Via yang selalu memberi semangat yang luar biasa ke
Alvin.
“Kamu pasti bisa, Vin! Ayo semangat!” sesekali Via melepaskan
tangannya, dan kembali memegang tangan Alvin lagi disaat keseimbangan
Alvin mulai goyah.
“Aku bisa, Vi! Aku bisa!” histeris Alvin begitu mendarat di pelukan Via. Ia mampu melangkah sebanyak enam kali.
“Aku sangat yakin kalau kamu bisa. Dan itu terbukti, Vin. Kamu
hebat!” puji Via. Alvin melepaskan pelukannya dan menatap lekat mata
indah Via yang benar-benar jernih. Sempurna! Disentuhnya kedua pipi Via
lembut.
“Selama ini aku baru sadar, Vi. Kamu itu memang malaikat, malaikat yang Tuhan turunkan untuk aku.” bisik Alvin pelan.
“Aku rela menjadi malaikat karena kamu, Vin!” bisik Via juga pelan.
Kemudian ia berlari meninggalkan Alvin yang masih tersenyum-senyum.
“Via,” gumamnya sembari memandangi punggung Via yang semakin jauh.
“Anak-anak yang lain pada ke mana, Ag?” tanya Via saat tiba di tempat Agni main ayunan.
“Lagi pada beli minum, tuh!” jawab Agni singkat. Kembali ia mengayunkan ayunannya. “Via, sini deh!” suruh Agni tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Itu, tuh! Si Alvin. Dia jalan sendiri, Vi! Dia sudah bisa jalan
sekarang. Coba lihat!” histeris Agni heboh. Via cuma bisa bernapas lega
melihat Alvin yang sedang berjalan ke arahnya seraya tersenyum.
“Kalian berdua lihat, kan? Aku sudah bisa jalan lagi! Ya Tuhan,
terimakasih.” ucap Alvin sangat bahagia. Sesekali ia menepuk kakinya
untuk memastikan kalau ini benar-benar nyata, bukan mimpi.
“Alvin! Loe sudah bisa jalan? Horeee… it's amazing!” teriak Ify dari jauh, Ray yang bersusah payah membawa minuman pun ikut senang melihatnya.
“Ini semua berkat kalian, friends. Tanpa kalian semua, aku mungkin gak bakal bisa jalan lagi.” ucap Alvin sambil melebarkan kedua tangannya. Mereka berpelukan.
***
Teriakan ratusan penonton menggema dan bersorak ria seketika saat tembakan three point
milik Alvin melingkar sempurna pada ring lawan. Lantas, Alvin langsung
berlari keliling lapangan sambil melemparkan senyum manisnya ke semua
penonton. Sedangkan pemain lainnya ikut berbangga pada Alvin dan
memberikan tos semangat. Permainan pun dilanjutkan. Kini giliran tim
lawan yang menguasai bola. Mendribblenya dengan gesit, mengoper
dengan operan sempurna, sampai-sampai tim Alvin kesusahan mengambil
alih permainan. Cowok bernomor punggung sepuluh itu berhasil mendekat
ring Alvin CS. Namun sayang, bola yang dilemparkannya melesat dan
berhasil dikuasai oleh Gabriel. Gabriel langsung berlari, lincah, lalu
mengoper ke arah Cakka yang kebetulan dalam posisi yang menguntungkan.
Cakka melakukan lay out dan… Hup! Masuk. Histeris penonton
kembali menggema. Kali ini giliran Cakka yang berlari mengelilingi
lapangan. Kemudian peluit pun dibunyikan, pertanda bahwa permainan
telah selesai dan berhasil dimenangkan oleh SMA 1 Nosztaholic.
Para pemain basket langsung mengangkat sang kaptennya, Alvino
Luidera. Dan mengaraknya keliling lapangan. Ramai. Sebagian penonton
ada yang berteriak memanggil-manggil nama mereka一Alvin, Cakka, Gabriel,
Ray, dan Debo.
“Selamat atas kemenangannya!” ucap Via, Ify, dan Agni saat Alvin CS beristirahat di pinggir lapangan.
“Gabriel, Ray, Cakka, Alvin, dan Debo. Sumpah, kalian keren banget! Gue sampai excited lihatnya.” histeris Ify tiba-tiba. Sedangkan yang dipuji hanya nyengir gak jelas dan mungkin dalam hati mereka berkata, “Pastinya, dong!”
***
“Alvin, tunggu!” teriak seseorang dari arah belakang. Lantas, membuat lima sekawan itu menengok kompak.
“Iya, ada apa?” tanya Alvin.
“Selamat ya atas kemenangannya.” ucapnya tulus, “Dan aku juga mau minta maaf sama kamu, Vin. Aku menyesal.”
“Maaf buat apa, Shil? Lalu kenapa kamu harus menyesal? Aku gak ngerti,” tanya Alvin lagi sangat penasaran. Dia Shilla.
“Aku minta maaf karena dulu aku pernah putusin kamu. Waktu itu aku
lagi labil. Maafkan aku,” jelas Shilla seraya berkaca-kaca di hadapan
Alvin.
“Oh, masalah itu? Lupakanlah, sudah aku maafkan, kok. Jadi, kamu gak
perlu minta maaf lagi,” jawab Alvin tegas. Senyumnya terbesit tulus ke
arah Shilla, “Bagaimana dengan Riko?” tanya balik Alvin. Karena sudah
lama ia tak melihat Riko semenjak kejadian itu. Sejenak, Shilla
menunduk.
“Riko tersandung kasus narkoba, Vin. Dia sudah sebulan ini berada di panti rehabilitas.”
“Aku turut prihatin sama dia, Shil. Oh iya, aku sama mereka mau
makan-makan, kamu mau ikut?” tawar Alvin. Sontak membuat Via, Agni,
Ify, dan Ray tercengang. Segitu baikkah Alvin sama Shilla? Apa Alvin masih punya perasaan sama Shilla? pekik Via dalam hati. Ada rasa takut yang mendalam di benaknya. Entah kenapa?
“Vin, apa kamu masih mau terima aku jadi pacar kamu lagi?” kata
Shilla seraya memancarkan cahaya permohonan di matanya. Begitu sedetik
kalimat tersebut diucapkan Shilla, ada seseorang yang sangat syok
mendengarnya. Cavia Delisha.
“Aku, aku mau…” ucap Alvin terpotong. Deg! Jantung Via serasa
berhenti saat itu juga. Lututnya mulai terasa lemas. Lebih dari lemas,
mungkin.
“Jadi, kamu mau jadi pacar aku lagi, Vin?” harap Shilla setengah senang.
“Maksud aku, aku mau kamu jadi teman aku saja, gak lebih. Aku gak
mau jatuh ke lubang yang sama lagi. Dan satu lagi, aku sudah menemukan
pengganti kamu di hatiku. Dia lebih baik bahkan jauh lebih baik dari
kamu,” tegas Alvin penuh penekanan di kalimat-kalimat akhir. Membuat
Shilla semakin tertusuk sakit di hatinya. Layaknya bumerang, kalimat
itu kembali kepadanya.
“Orangnya ada di dekat aku,” Alvin melirik salah seorang di
sampingnya, “Cavia Delisha!” kemudian dirangkulnya Via dengan erat.
Mata Via berbinar.
“Alvin?” mungkin itu satu-satunya kata yang mampu Via ucapkan. Alvin
tersenyum ke arahnya. Manis sekali. Kemudian Via membalas rangkulan
Alvin, sangat erat.
The End!
Selengkapnya...