Sering kali ku melihat
Kau curi-curi pandang ke arah diriku
Bel istirahat terdengar nyaring berbunyi. Sontak membuat semua siswa berhamburan bak segerombolan kelelawar yang mencari makan saat malam tiba. Sedetik, setiap titik sudut sekolah sudah terisi penuh dengan berbagai aktifitasnya masing-masing. Entah itu cuma sekedar duduk sambil memandangi orang-orang lewat, ngobrol-ngobrol di kursi taman, bermain basket dan futsal bagi segelintir cowok-cowok yang menggilainya, dan bahkan ada juga yang cuma iseng-iseng saja jalan-jalan menyusuri koridor kelas. Rutinnya, setiap pukul 10 pagi tiba, kantin SMP Harapan 1 yang cukup luas dan bersih itu mendadak berubah menjadi pasar sayur yang selalu dipenuhi para konsumennya, penuh sesak. Karena mungkin kantinlah yang merupakan tempat paling menyenangkan setelah perpustakaan, apalagi suasananya yang masih asri, bersih dan nyaman. Bakalan betah deh di kantin.
Dipojok kanan kantin, tepatnya dekat penjual siomay. Angel dan Marsha, dua orang sahabat yang sejak Play Group hingga sekarang selalu sekelas itu sedang asyik menikmati seporsi siomay dan es teh manisnya. Di tempat ini memang sudah menjadi daerah kekuasaan mereka. Selain adem, nyaman dan bersih, juga merupakan tempat yang paling strategis untuk ngobrolin一lebih tepatnya meledek keunikan orang-orang ketika sedang menyantap makanannya. Itu adalah hal yang tepat untuk menghilangkan penat akibat pelajaran yang cukup menyita otak, menurut mereka. Di kelas, Angel adalah siswa yang phobia sama yang namanya Matematika, ia lebih suka pelajaran Bahasa Inggris. Dan bertolak belakang dengan sahabatnya, Marsha. Meski berbeda kesukaan, mereka tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan mereka menjadi lebih akrab dengan adanya perbedaan.
“Gokil! Tadi seru banget ulangannya. Tumben-tumbenan Bu Eva ngasih soal segampang itu.” ucap Marsha heboh. Lantas membuat Angel tersedak mendengarnya dan kewalahan mencari minum. Bukan karena kaget dengan ucapan Marsha, melainkan shock dengan statement sahabatnya yang bilang “Ngasih soal segampang itu.”
“Loe sinting kali, ya?! Segitu dibilang gampang?! Gue sih boro-boro ngerti. Tadi gue sehidup semati ngerjainnya, tauk!” oceh Angel setelah berhasil meneguk es teh manisnya.
“Gampang, tauk, Ngel! Buktinya gue bisa semua. Itu sih elonya aja yang... maaf, oon! Hehehe.” ledek Marsha sedikit hati-hati, takut menyinggung perasaan Angel. Maklum, Angel terkadang suka sensitif.
“Sialan! Gini-gini juga gue pernah juara kelas!”
“Iya, gue tahu! Tapi itukan dulu, waktu kelas satu SD.” ledeknya lagi sembari mengambil sesendok siomay di piring Angel.
“Setidaknya gue pernah jadi juara kelas. Daripada elo, belum, kan?” balas Angel enteng. Marsha memajukan bibirnya beberapa senti.
“Bentar deh, Ngel! Kayaknya ada yang aneh,一” spontan Marsha dengan mendekatkan mukanya ke Angel. Angel mengernyitkan dahi, bingung.
“... gue perhatikan dari tadi nih ya, tuh cowok ngelihatin loe terus, deh. Loe kenal sama dia, Ngel?” tanya Marsha sambil mengisyaratkan bola matanya.
Cowok oriental yang sedang duduk sekitar sepuluh meter dari tempat Angel dan Marsha duduk, seakan merasa ketahuan kalau dia sejak tadi memandangi Angel, cowok itu memalingkan wajahnya dan berpura-pura mengobrol dengan salah seorang temannya yang juga duduk di meja yang sama.
“Mana? Nggak, ah! Perasaan loe aja, kali.” Angel mengikuti arah pandangan Marsha.
“Seriusan, Ngel! Dari tadi ngelihatin loe mulu, tauk! Apa jangan-jangan dia suka sama loe deh, Ngel?” goda Marsha rada berbisik.
“Ah, ngaco loe! Kenal juga, nggak!” tukas Angel. Marsha malah nyengir gak jelas.
“Tapi kalau emang beneran suka, gimana? Hehehe.” cecar Marsha semakin memojokkan Angel. Membuat sahabatnya itu menjadi ilfeel.
“Tauk, ah! Ayo balik!” Angel melangkahkan kakinya setelah sebelumnya membayar dua porsi siomay yang tadi disantapnya itu.
“Bentaran, gue mau minum dulu. Angel... Angel!” teriak Marsha melihat Angel semakin jauh melangkahkan kakinya.
“Ibu, Marsha ke kelas dulu, ya? Besok janji deh ke sini lagi. Babay!” pamitnya ke Ibu tukang siomay.
“Iya Non, hati-hati!” jawabnya walaupun masih sibuk membereskan mejanya yang banyak dengan piring kotor.
***
Angel membalikkan badannya. “Kok gue salting gini, sih?! Lagian kenapa sih tuh anak lihatin gue mulu?!” gumamnya kesal saat menyadari ada seseorang yang memandangnya dari jauh.
“Angel! Loe kenapa, sih? Gue panggil-panggil malah diam mulu!” tanya Marsha heran.
“Oh... iya, Sha, kenapa?” respon Angel gelagapan. Kaget.
“Jam olahraga sudah mau selesai. Kita disuruh kumpul di sana sama Pak Joe.” Marsha menarik tangan Angel. Orang aneh! batinnya, masih tetap memandangi orang yang tadi memperhatikannya.
“Sha! Bentaran, ya. Gue ke toilet dulu.” pinta Angel sesampainya di tempat tujuan.
“Kemana loe? Jangan lama-lama!” cerewet Marsha.
“Tenang aja, Sha! Cuma setengah jam, kok.” jawab Angel enteng.
Di koridor, langkah Angel semakin cepat. Matanya sangat serius menRafidik tempat-tempat yang ia lewati. Ternyata Angel bukan pergi ke toilet, melainkan sedang mencari seseorang yang sudah seminggu ini membuatnya risih. Tuh dia! batin Angel saat menemukan orang yang dicarinya.
“Hei, tunggu!” teriaknya. Orang tersebut menengok, ekspresi mukanya seakan terkejut saat melihat Angel lah orang yang memanggilnya.
“Hai! Maaf ya sebelumnya, gue sudah ganggu. Eum... gue mau nanya, loe ada perlu apa ya, sama gue? Perasaan akhir-akhir ini gue sering banget ngelihat loe lagi mata-matain semua gerak-gerik gue. Bukannya gue ge-er ya, cuman gue risih aja kalau terus-terusan dilihatin loe dari jauh. Serasa jadi buronan, gitu.” kata Angel rinci一terkesan to the point. Orang tersebut hanya tersenyum. Sangat manis.
“Maaf juga ya, sebelumnya. Gue gak ada maksud apa-apa, kok. Apalagi punya niat buat mata-matain loe. Cuman... gue, gue senang aja kalau lihatin loe dari jauh. Loe itu unik!一” jawab orang tersebut, jujur. Angel mengembungkan kedua pipinya, memaklumi.
“... nama gue Difa!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan kanannya.
“Angel!” balas Angel singkat sambil menjabat tangan Difa.
***
Menggodaku...
Bikin ku malu...
Titip salam lewat semua teman-temanku
“Hai!” sapa Difa sambil melambaikan telapak tangannya ketika Angel dan Marsha lewat di depan kelasnya.
“Hai Difa!” balas Marsha dengan melempar senyumnya ke semua teman-teman Difa.
“Marsha! Loe jangan keganjenan gitu, deh!” bisik Angel pelan, namun penuh penekanan. Kemudian Angel hanya tersenyum hambar ke arah Difa dengan terus menggandeng Marsha agar tetap melangkah ke tempat tujuan awalnya, kantin.
“Sakit tauk, Ngel! Loe kenapa, sih?!” protes Marsha ke Angel yang tadi mencubitnya waktu lewat kelas Difa.
“Sudah deh, gak usah banyak omong!”
Seperti biasa, Angel dan Marsha mendatangi tukang siomay yang sudah menjadi langganan mereka.
“Ngel, Difa itu cakep gak, sih?” tanya Marsha ditengah-tengah makannya.
“Gak tahu!” jawab Angel enteng.
“Ish! Nyebelin. Seriusan!”
“Menurut loe aja gimana?” tanya balik Angel.
“Menurut gue sih Difa itu cakep, cool, cuek, manis, pokoknya perfect deh!一” jawab Marsha seakan membayangkan sosok Difa di pikirannya.
“… Menurut loe sih, Ngel? Gimana?”
“Samain aja deh sama pernyataan loe tadi.” jawab Angel datar一lebih tepatnya sih enggan ngebahas soal tersebut.
“Eh! Difa ke sini tuh, Ngel!” heboh Marsha.
“Bodoh, ah! Mau ke sini kek, enggak kek!” jawab Angel enteng.
“Gue boleh gabung, gak?” ijin Difa ke Angel dan Marsha.
“Boleh kok, Dif. Duduk aja!” kata Marsha semangat.
“Makasih!”
“Sendirian, Dif?” tanya Angel, tetap sibuk dengan siomaynya.
“Lagi pengen sendiri aja. Kenapa, gitu?”
“Gak apa-apa, nanya aja.”
“Oya, Dif! Ngomong-ngomong tipe cewek loe kayak gimana?” serobot Marsha, kepo.
“Eum... kayak gimana, ya? Pengennya?” tanya balik Difa. Mendadak, Angel terkekeh mendengarnya. Apalagi saat melihat ekspresi muka Marsha yang cengo.
“Emang enak! Hahaha.” ledek Angel.
“Ih, Difa! Seriusan, dong!” tukas Marsha.
“Hehehe... sorry! Tipe cewek gue, ya? Eum... simpel kok, gak muluk-muluk. Gue lebih suka cewek yang... kayak Angel, unik!一” ucap Difa spontan. Lagi, Angel tersedak. Marsha pun ikut terkejut dengan kata-kata Difa.
“... maksud gue, gue suka cewek yang mempunyai sifat unik, yang cewek-cewek lain gak punya. Gitu...” sambungnya saat melihat ekspresi muka kedua orang di depannya. Maksudnya apaan, sih? umpat Angel dalam hati.
“Oh... gitu maksudnya.” respon Marsha singkat. Sontak membuat muka Angel berubah menjadi merah jambu. Bukan karena kata-kata Difa barusan, melainkan tatapan bola mata Difa yang terus memandangnya lekat dengan seulas senyum.
***
Dua minggu yang lalu mereka一Difa dan Angel kenalan, dua minggu itu pula Angel selalu dibuat salting oleh sikap Difa yang terbilang tidak biasa. Acapkali Angel dan Marsha lewat ke kelas Difa, selalu saja mereka mendapatkan senyuman termanis dan sapaan halus dari Difa yang kontan membuat hati Angel dan Marsha dag-dig-dug gak jelas一terlebih Angel. Sekilas, mungkin hal itu sangat wajar untuk seorang teman. Tapi yang ini beda, Angel melihat ada seberkas cahaya cinta di pelupuk mata Difa dikala Difa menatapnya. Lensa matanya selalu bersinar, memancarkan tujuh warna pelangi ke mata Angel.
“Ngel, tadi si Difa nanyain loe, tuh!” kata Marsha yang baru datang dan langsung duduk di samping Angel.
“Oh, ya?” responnya tanpa sedikitpun melirik Marsha. Angel sibuk berkutat dengan PR Kimia yang belum dikerjakannya.
“Iya. Dia nanya kenapa gue gak bareng sama loe.” lanjut Marsha yang kini matanya mengikuti laju jemari Angel di atas buku tulisnya.
“Kurang kerjaan! Gitu aja ditanyain.”
“Itu namanya perhatian, Angel!” Marsha menyenggol pundak Angel pelan.
“Perhatian?一” Angel menatap Marsha heran.
“... Emang Difa siapa gue?” sambungnya sesantai mungkin.
“Astaga, Ngel! Jangan-jangan一” heboh Marsha seakan menyadari sesuatu yang selama ini gak pernah terpikirkan olehnya. Dan belum sempat Marsha melanjutkan kalimatnya, Chelsea一teman ekskul Angel dan Marsha datang menghampiri mereka.
“Ngel, gue dapet titipan nih buat loe.” kata Chelsea sambil menyodorkan kotak kecil berwarna merah muda ke Angel. Dahi Angel mengernyit seketika, tak lupa juga Marsha.
“Titipan? Dari siapa, Chel?” tanyanya heran. Ia menatap kotak itu dan melirik ke arah Marsha dan Chelsea bergantian.
“Gue juga gak tahu, Ngel. Tadi kan gue dari kantin, terus ada dua orang cowok yang ngasih ini ke gue, katanya sih nitip buat elo.一” jelas Chelsea rinci.
“... Tapi roman-romannya sih mereka juga kayak ketitipan lagi, gitu?” sambung Chelsea memperjelas.
“Kira-kira dari siapa, ya?” Marsha memainkan telunjuknya di dagu, berlagak mikir.
“Terus mereka bilang apa aja sama loe, Chel?” tanya Angel一lagi masih penasaran.
“Kalau gak salah sih mereka juga nitip salam buat loe. Sudah, itu aja.” jawabnya mantap.
“Oh... kalau gitu makasih banyak ya, Chel!” ucap Angel tulus. Chelsea tersenyum.
“Iya, sama-sama. Gue balik ke kelas dulu ya, Ngel, Sha? Kasihan Shilla lagi nunggu di luar. Babay!” pamit Chelsea yang langsung melangkah pergi menyusul Shilla一teman sekelas Chelsea yang mengantarnya ke kelas Angel dan Marsha.
“Hati-hati ya, Chel!” kata Marsha dan Angel berbarengan.
“Oke!” ceplosnya mantap sambil mengacungkan jempol. Shilla ikut tersenyum seakan bilang ke Angel dan Marsha kalau dia juga pamit untuk ke kelas.
“Dari siapa ya, Ngel?” tanya Marsha sambil kembali melirik kotak di tangan Angel.
“Bentar, gue buka dulu!” Angel membuka kotak itu secara perlahan.
“Kalung?” gumam Marsha saat Angel mengambil sesuatu yang ada di dalam kotak tersebut.
“Ini dari Difa, Sha!” kaget Angel tegas.
***
Kau bilang kau suka padaku
Aku hargai itu...
Sabtu sore, matahari disertai lembayung senja bersembunyi dibalik guratan awan yang sedikit terlihat pekat. Pohon-pohon kelapa mematung, diam, seakan raja angin telah lelah menghembuskan sejuk udaranya ke bumi. Beriak air laut pun sedikit melemah dan hampir tak terlihat di permukaan. Warna birunya sedikit tertutupi oleh hamparan oranye yang menRafimuti di atasnya. Hening. Suasananya benar-benar damai. Meskipun sunyi, keindahan alam seakan setia menampakkan dirinya untuk menghibur dua pasang mata yang kini sedang berdiri menatap satu titik di ujung sana.
Difa mengajak Angel ke pantai yang tak jauh dari tempat mereka berkemah. Karena hari ini sekolah mereka sedang mengadakan Persami一Perkemahan Sabtu Minggu yang rutin diadakan setahun sekali pada tanggal 14 Agustus untuk ikut memperingati ulang tahun Pramuka yang cukup berprestasi di Sekolah Harapan 1. Sejenak, Angel membiarkan kakinya tersapu oleh ombak yang begitu dingin hingga merambat ke seluruh tubuhnya.
“Ini indah banget, Dif! Kok elo bisa tahu kalau di sini ada tempat seindah ini, sih?” tanya Angel dengan menatap Difa yang berdiri di belakangnya.
“Sebelumnya gue sudah pernah ke sini, Ngel. Dan menurut gue pun sama dengan pendapat loe barusan. Pantai ini adalah pemandangan terindah yang pernah gue temui seumur hidup.” jawab Difa seraya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Angel. Mereka terlalu kagum menikmati setiap titik alam yang mempesona ini.
“Oh... terus, maksud loe ngajak gue ke sini? Kenapa?” tanya Angel一lagi. Kali ini ia menatap semu wajah cowok di sampingnya.
“Eum... gak apa-apa. Gue cuma pengen ngajak loe aja. Lagian kan sayang kalau tempat seindah ini cuma gue aja yang tahu. Makanya gue ajak loe.” jawab Difa enteng. Aneh! batin Angel. Lalu ia kembali menatap matahari yang kini tinggal sepenggal terbenam.
“Kenapa loe gak ngajak Marsha dan yang lainnya? Pasti mereka juga bakal senang deh melihat semua ini. Apalagi, menyaksikan matahari terbenam yang menakjubkan.” Difa terenyuh. Ia belum mau menjawab pertanyaan Angel. Hening. Untuk beberapa menit tak ada suara yang menyeruak diantara Difa dan Angel. Yang terdengar hanyalah detak jantung mereka berdua yang semakin seirama. Sejenak, Difa memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
“... itu karena, aku cuma ingin kamu seorang, Ngel! Dan aku hanya ingin kamulah satu-satunya cewek yang harus tahu tempat ini terlebih dulu ketimbang cewek-cewek lain.” jawab Difa spontan, namun terdengar tulus di telingan Angel. Angel menatap Difa lekat, ia bingung dengan perubahan bahasa Difa yang tadinya gue-elo menjadi aku-kamu. Dan lagi, Angel terus memandang wajah Difa seakan berharap kelanjutan dari kata-kata Difa barusan.
“Tempat ini indah, sejuk, asri dan pastinya nyaman. Dan lagi, yang seharusnya kamu tahu, semua perasaan itu selalu hadir disaat aku dekat dengan kamu, Ngel. Entah kenapa?” jelas Difa dengan tanpa sedikitpun menatap mata Angel. Angel terus menatap Difa lekat.
“Loe lagi bercanda, kan, Dif? Gak lucu, ah! Balik ke tenda, yuk? Sudah mau malam nih, takut pada nyariin.” ajak Angel sambil menyentuh pundak Difa dan berjalan perlahan meninggalkannya. Difa termangu, menarik napasnya panjang-panjang. Kemudian ia mengikuti Angel dari belakang.
***
Bintang bertaburan. Sepoi angin malam menusuk pori-pori kulit. Dingin. Namun kehangatan mulai terasa dikala api unggun membara terang di tengah-tengah lingkaran manusia yang saling berpegangan tangan. Mata mereka bersinar memantulkan cahaya api malam itu. Alunan melodi gitar pun ikut memeriahkan suasana sekitar serta diselingkan lagu-lagu remaja yang menggema. Meskipun sebagian dari mereka ada juga yang menghindar dari alunan musik teman-temannya dan lebih memilih menyendiri di tenda atau hanya sekedar mengobrol berdua di tempat lain. Seperti biasa, layaknya di sekolah.
“Ngel, loe bawa sarung tangan dua, gak?” tanya Marsha ke Angel yang sedang duduk di depan tenda ditemani segelas kopi susu yang baru dibuatnya.
“Kayaknya bawa, deh. Ambil aja di tas gue, Sha!” jawab Angel.
“Sip! Thanks, ya!”
“Oke. Apa sih yang enggak buat my barbie? Hehehe.” balas Angel agak lebay. Tiba-tiba, tangan Angel seakan ada yang menarik. Perlahan, namun pasti.
Angel terkesiap. Awalnya ia hendak berteriak, namun niatnya terhenti ketika mengetahui kalau orang yang menariknya itu adalah Difa. Ada apa lagi sih, Dif? Loe tuh sering bikin gue penasaran, deh! umpat Angel dalam hati. Namun, Angel sengaja tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia membiarkan Difa menarik tangannya. Meski ia harus bertanya-tanya kemana Difa akan membawanya?
Difa berhenti di tempat yang pernah ia kunjungi bersama Angel sore tadi. Dilepaskannya tangan Angel perlahan, namun langkahnya terus bergerak meskipun sapuan air laut membasahi celana panjangnya. Angel termangu, mengeluarkan ekspresi kagumnya saat melihat betapa eloknya sang bulan yang membentang bebas di atas lautan. Gagah. Berkilau. Bersinar terang. Air laut yang biru pun seakan bersemu putih menyerap sinar lampion raksasa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa itu. Pohon-pohon kelapa yang sempat membisu cukup lamapun dengan lihainya bergerak memberikan sentuhan halus ke kulit ari. Serta ombak kecil yang semakin malam semakin melebar itu ikut serta memberi kedamaian di sekitar pantai. Wajah Difa berseri, ia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
“Ini lebih mengagumkan dari yang tadi sore, Dif!” ucap Angel yang ikut mematung di pinggir Difa. Lalu, mereka pun duduk berniat untuk sejenak menikmati terangnya bulan serta hangatnya angin malam yang tidak begitu kencang berhembus. Tak perduli meski celana mereka terkena sapuan ombak-ombak kecil yang menghampirinya.
***
Kilauan oranye api unggun mulai memudar. Namun hangatnya masih menguasai sekitar tenda. Sedangkan penghuninya masih menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas masing-masing.
“Chel, loe lihat Angel, gak?” tanya Marsha ke Chelsea yang lagi ngumpul sambil nyanyi-nyanyi bareng anak-anak pramuka yang lain.
“Angel? Gue gak lihat, Sha. Emangnya Angel ke mana? Kan biasanya berdua mulu sama loe?” tanya balik Chelsea.
“Gue juga gak tahu, Chel. Makanya gue nanya ke elo, kirain gue tuh elo tahu Angel dimana.” ucap Marsha. Chelsea menggeleng.
“Ada apa sih, Chel?” tanya cowok di sebelah Chelsea.
“Ini, teman gue lagi nyari sahabatnya.” jawab Chelsea mantap. Orang tersebut menatap Marsha sejenak.
“Oh... yang tadi duduk di tenda itu, bukan?” tanya Rafli一cowok tadi dengan menunjuk tenda Angel dan Marsha.
“Iya, betul! Loe tahu gak, dia ke mana?” Marsha mengalihkan pandangannya ke Rafli.
“Kalau gak salah tadi tuh lari ke sana, bareng Difa!” Rafli menunjuk arah yang tadi dilalui Difa dan Angel.
“Hah? Difa?! Mau kemana, ya? Eum... ya sudah, makasih ya! Kalau gitu gue ke tenda dulu.” pamit Marsha. Tapi, belum sempat ia melangkah, tangannya dipegang Rafli.
“Mau ke mana? Kenapa gak gabung dulu aja bareng kita-kita?” tawar Rafli ikut berdiri di hadapan Marsha.
“Nggak, ah! Dingin. Gue gak kuat kalau di luar lama-lama.” balas Marsha pelan.
“Emangnya loe gak bawa sarung tangan?” tanya Rafli saat melihat tangan Marsha yang terus-terusan mengepal kedinginan.
“Gue lupa bawa. Tadi kan gue sempat minjam ke Angel, katanya sih ada di tas, pas dicari malah gak ada. Makanya gue nyariin dia.” jelasnya sambil berjalan pelan. Rafli juga mengikutinya dari samping.
“Gue bawa dua tuh, loe mau minjam?” tawar Rafli disertai senyum khasnya.
“Eum... boleh!” terima Marsha dengan membalas senyum Rafli.
“Bentar ya, gue ambil dulu di tenda.” Rafli berlari kecil menuju tendanya. Tanpa sadar, Marsha terus-terusan memandangi punggung cowok yang belum dikenalnya itu dengan mata berbinar. Baik banget, sih? batinnya.
Beberapa detik kemudian, “Sorry lama. Nih sarung tangannya!” kata Rafli setelah sampai di hadapan Marsha.
“Makasih, ya!” Marsha meraihnya dan segera memakai sarung tangan tersebut.
“Eum... nama loe siapa?一” tanya Rafli canggung.
“... Gue Rafli!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan.
“Marsha!”
“Nama yang cantik! Seperti orangnya.” goda Rafli yang sukses membuat pipi bakpao Marsha memerah jambu.
“Ih bisa aja, deh.” ucapnya sambil memalingkan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.
“Seriusan! Gak bohong!” yakin Rafli.
“Gombal, nih? Eum... ngomong-ngomong Angel sama Difa ke mana, ya? Kebiasaan deh ngilang gitu aja!” Marsha menatap bulan yang saat itu sudah cukup meninggi.
“Gue juga gak tau, Sha.一” jawab Rafli. Sesaat, hening mulai mengembara untuk beberapa detik.
“Bulannya cantik, ya?” tanya Rafli seakan tak ada lagi pertanyaan yang lebih penting.
“Iya. Jarang-jarang bisa lihat bulan seindah ini.” jawab Marsha kagum.
“Gue sih sering banget lihat kayak beginian. Hampir tiap hari, malah.”
“Oh, ya? Kok bisa?” Marsha menatap Rafli kaget.
“Ya... soalnya di rumah gue ada lukisan bulan yang persis kayak gini. Hehehe.” jawabnya dibarengi dengan ketawa yang lucu.
“Ih, kirain beneran. Ada-ada aja loe, Raf.”
“Eum... Marsha! Kalau boleh tahu, loe sudah punya一”
“Iel! Marsha! Mau ikut foto-foto, gak? Ayo sini!” teriak Chelsea di tengah kerumunan orang-orang di dekat bara api unggun. Saat itu pula, Rafli mengembuskan napas panjangnya. Gugup.
Pertanyaan terberat yang hendak diucapkannya itu telah terpotong oleh panggilan Chelsea yang kurang bersahabat.
“Bentar, Chel! Gue ikutan! ... Ayo, Raf! Mau ikut foto-foto, gak?” tawar Marsha dengan membantu Rafli bangun. Terpaksa Rafli mengikuti Marsha yang lebih dulu pergi setelah menarik tangannya untuk bangun. Ia menggaruk kepala belakangnya yang gak gatal itu.
“Loe sudah punya pacar, belum, Sha?” gumam Rafli dengan menatap punggung Marsha. Galau.
***
Mereka berdua bangun dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ternyata ombak yang menyapu pantai sudah semakin meninggi. Angin malam pun semakin kencang berhembus. Gelombang pasang telah tiba.
“Kita balik ke tenda yuk, Dif? Anak-anak yang lain takut pada nyariin.” ajak Angel. Difa tak merespon. Ia masih enggan meninggalkan pantai itu. Terlalu disayangkan.
“Gue duluan ya, Dif?” sambung Angel saat menyadari kalau Difa tak berkata apa-apa. Ia pun melangkah pergi meninggalkannya sendirian.
“Ngel? Jangan pergi! Aku mohon,一” panggil Difa pelan. Tetapi jelas terdengar di telinga Angel.
“... Aku, aku sudah tidak tahan lagi dengan perasaan ini, Ngel. Terlalu sulit untukku memendam perasaan yang indah ini terlalu lama.” Angel tergelak, tak bisa mengerti dengan ucapan Difa barusan. Ia pun melangkah mendekati Difa yang masih terpaku dengan kakinya yang terus-terusan tersapu ombak.
“Maksud kamu apa, Dif? Aku gak ngerti.” dilihatnya mata Difa yang berbinar seakan memantulkan cahaya bulan ke bola matanya.
“Aku... aku cinta sama kamu, Ngel! Aku sayang! Dan aku gak bisa jauh dari kamu. Sudah lama, sejak pertama kali aku ketemu kamu, aku begitu mengaggumimu, Ngel. Entah kenapa, semua yang aku lihat dari kamu dan semua yang aku rasakan saat melihatmu, itu membuatku merasa bahagia. Angel... entah kenapa, setelah mengenal kamu lebih dekat dan bisa masuk ke dalam kehidupan kamu lebih jauh, aku merasakan kebahagiaan yang benar-benar belum pernah aku rasakan sebelumnya.一” jelas Difa jujur. Kali ini nasibnya ia pasrahkan di hadapan Angel一gadis yang selama ini ia kagumi dan ia cintai.
“... Angel, maukah kamu jadi pacarku?” tembak Difa seraya menggenggam tangan Angel dan berlutut di hadapannya.
“Dif...一” lirih Angel diiringi dengan tarikan napas yang begitu berat.
“... Maaf sebelumnya, bukannya aku gak pernah tahu akan perubahan sikap kamu ke aku itu didasari adanya perasaan suka ataupun cinta. Aku hanya berharap gak tahu itu semua, Dif. Aku takut itu hanya ge-er ku semata.一” Angel mengangkat tangan Difa agar berdiri.
“... Dan malam ini, aku sudah tahu semuanya. Dugaanku benar, kamu memang suka sama aku, bahkan bukan cuma suka, tapi cinta. Difa... maafin aku, ya? Aku hargai kok perasaan kamu dan aku acungkan jempol karena kamu sudah mempunyai keberanian buat nembak aku. Cuman, aku gak bisa terima kamu! Aku belum mau pacaran, Dif. Aku pengen serius sekolah dulu.” terpaksa Angel melepaskan genggaman Difa dan membelakanginya. Maksud Angel cuma satu, ia gak kuasa melihat kekecewaan yang terpancar dari raut wajah Difa.
“Eum... gak apa-apa kok, aku ngerti. Lagian aku juga gak maksa kamu buat jadi pacar aku. Itu hak kamu, Ngel!” lirih Difa.
“Maafin aku, Dif!” suara Angel melemah. Difa tersenyum.
“Angel... aku boleh minta sesuatu, gak? Untuk kali ini aja.” pinta Difa tiba-tiba. Angel membalikkan badannya.
“Anything for you, Difa.”
“Makasih, ya. Eum... aku, aku cuma ingin kamu peluk aku, walaupun cuma sebentar. Aku mohon,” ucapnya penuh harapan. Sedetik, tubuh Angel mendarat dipelukkan Difa. Erat.
“Kita masih bisa berteman, kan?” tanya Angel dalam pelukkan.
“Selalu... apapun yang terjadi, aku pasti ada untukmu!” jawab Difa mantap. Mendengar itu, Angel semakin erat memeluknya. Seakan gak mau kehilangan Difa, begitupun sebaliknya.
Di langit, bintang-bintang ikut berseri. Sang bulan pun tersenyum melihat mereka berdua. Difa dan Angel.
Kita masih sangat muda
Belum waktunya...
Sekolah saja dulu raih cita-cita
Urusan pacaran tak usah sekarang
Kita BERTEMAN SAJA...
The End.
Kau curi-curi pandang ke arah diriku
Bel istirahat terdengar nyaring berbunyi. Sontak membuat semua siswa berhamburan bak segerombolan kelelawar yang mencari makan saat malam tiba. Sedetik, setiap titik sudut sekolah sudah terisi penuh dengan berbagai aktifitasnya masing-masing. Entah itu cuma sekedar duduk sambil memandangi orang-orang lewat, ngobrol-ngobrol di kursi taman, bermain basket dan futsal bagi segelintir cowok-cowok yang menggilainya, dan bahkan ada juga yang cuma iseng-iseng saja jalan-jalan menyusuri koridor kelas. Rutinnya, setiap pukul 10 pagi tiba, kantin SMP Harapan 1 yang cukup luas dan bersih itu mendadak berubah menjadi pasar sayur yang selalu dipenuhi para konsumennya, penuh sesak. Karena mungkin kantinlah yang merupakan tempat paling menyenangkan setelah perpustakaan, apalagi suasananya yang masih asri, bersih dan nyaman. Bakalan betah deh di kantin.
Dipojok kanan kantin, tepatnya dekat penjual siomay. Angel dan Marsha, dua orang sahabat yang sejak Play Group hingga sekarang selalu sekelas itu sedang asyik menikmati seporsi siomay dan es teh manisnya. Di tempat ini memang sudah menjadi daerah kekuasaan mereka. Selain adem, nyaman dan bersih, juga merupakan tempat yang paling strategis untuk ngobrolin一lebih tepatnya meledek keunikan orang-orang ketika sedang menyantap makanannya. Itu adalah hal yang tepat untuk menghilangkan penat akibat pelajaran yang cukup menyita otak, menurut mereka. Di kelas, Angel adalah siswa yang phobia sama yang namanya Matematika, ia lebih suka pelajaran Bahasa Inggris. Dan bertolak belakang dengan sahabatnya, Marsha. Meski berbeda kesukaan, mereka tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan mereka menjadi lebih akrab dengan adanya perbedaan.
“Gokil! Tadi seru banget ulangannya. Tumben-tumbenan Bu Eva ngasih soal segampang itu.” ucap Marsha heboh. Lantas membuat Angel tersedak mendengarnya dan kewalahan mencari minum. Bukan karena kaget dengan ucapan Marsha, melainkan shock dengan statement sahabatnya yang bilang “Ngasih soal segampang itu.”
“Loe sinting kali, ya?! Segitu dibilang gampang?! Gue sih boro-boro ngerti. Tadi gue sehidup semati ngerjainnya, tauk!” oceh Angel setelah berhasil meneguk es teh manisnya.
“Gampang, tauk, Ngel! Buktinya gue bisa semua. Itu sih elonya aja yang... maaf, oon! Hehehe.” ledek Marsha sedikit hati-hati, takut menyinggung perasaan Angel. Maklum, Angel terkadang suka sensitif.
“Sialan! Gini-gini juga gue pernah juara kelas!”
“Iya, gue tahu! Tapi itukan dulu, waktu kelas satu SD.” ledeknya lagi sembari mengambil sesendok siomay di piring Angel.
“Setidaknya gue pernah jadi juara kelas. Daripada elo, belum, kan?” balas Angel enteng. Marsha memajukan bibirnya beberapa senti.
“Bentar deh, Ngel! Kayaknya ada yang aneh,一” spontan Marsha dengan mendekatkan mukanya ke Angel. Angel mengernyitkan dahi, bingung.
“... gue perhatikan dari tadi nih ya, tuh cowok ngelihatin loe terus, deh. Loe kenal sama dia, Ngel?” tanya Marsha sambil mengisyaratkan bola matanya.
Cowok oriental yang sedang duduk sekitar sepuluh meter dari tempat Angel dan Marsha duduk, seakan merasa ketahuan kalau dia sejak tadi memandangi Angel, cowok itu memalingkan wajahnya dan berpura-pura mengobrol dengan salah seorang temannya yang juga duduk di meja yang sama.
“Mana? Nggak, ah! Perasaan loe aja, kali.” Angel mengikuti arah pandangan Marsha.
“Seriusan, Ngel! Dari tadi ngelihatin loe mulu, tauk! Apa jangan-jangan dia suka sama loe deh, Ngel?” goda Marsha rada berbisik.
“Ah, ngaco loe! Kenal juga, nggak!” tukas Angel. Marsha malah nyengir gak jelas.
“Tapi kalau emang beneran suka, gimana? Hehehe.” cecar Marsha semakin memojokkan Angel. Membuat sahabatnya itu menjadi ilfeel.
“Tauk, ah! Ayo balik!” Angel melangkahkan kakinya setelah sebelumnya membayar dua porsi siomay yang tadi disantapnya itu.
“Bentaran, gue mau minum dulu. Angel... Angel!” teriak Marsha melihat Angel semakin jauh melangkahkan kakinya.
“Ibu, Marsha ke kelas dulu, ya? Besok janji deh ke sini lagi. Babay!” pamitnya ke Ibu tukang siomay.
“Iya Non, hati-hati!” jawabnya walaupun masih sibuk membereskan mejanya yang banyak dengan piring kotor.
***
Angel membalikkan badannya. “Kok gue salting gini, sih?! Lagian kenapa sih tuh anak lihatin gue mulu?!” gumamnya kesal saat menyadari ada seseorang yang memandangnya dari jauh.
“Angel! Loe kenapa, sih? Gue panggil-panggil malah diam mulu!” tanya Marsha heran.
“Oh... iya, Sha, kenapa?” respon Angel gelagapan. Kaget.
“Jam olahraga sudah mau selesai. Kita disuruh kumpul di sana sama Pak Joe.” Marsha menarik tangan Angel. Orang aneh! batinnya, masih tetap memandangi orang yang tadi memperhatikannya.
“Sha! Bentaran, ya. Gue ke toilet dulu.” pinta Angel sesampainya di tempat tujuan.
“Kemana loe? Jangan lama-lama!” cerewet Marsha.
“Tenang aja, Sha! Cuma setengah jam, kok.” jawab Angel enteng.
Di koridor, langkah Angel semakin cepat. Matanya sangat serius menRafidik tempat-tempat yang ia lewati. Ternyata Angel bukan pergi ke toilet, melainkan sedang mencari seseorang yang sudah seminggu ini membuatnya risih. Tuh dia! batin Angel saat menemukan orang yang dicarinya.
“Hei, tunggu!” teriaknya. Orang tersebut menengok, ekspresi mukanya seakan terkejut saat melihat Angel lah orang yang memanggilnya.
“Hai! Maaf ya sebelumnya, gue sudah ganggu. Eum... gue mau nanya, loe ada perlu apa ya, sama gue? Perasaan akhir-akhir ini gue sering banget ngelihat loe lagi mata-matain semua gerak-gerik gue. Bukannya gue ge-er ya, cuman gue risih aja kalau terus-terusan dilihatin loe dari jauh. Serasa jadi buronan, gitu.” kata Angel rinci一terkesan to the point. Orang tersebut hanya tersenyum. Sangat manis.
“Maaf juga ya, sebelumnya. Gue gak ada maksud apa-apa, kok. Apalagi punya niat buat mata-matain loe. Cuman... gue, gue senang aja kalau lihatin loe dari jauh. Loe itu unik!一” jawab orang tersebut, jujur. Angel mengembungkan kedua pipinya, memaklumi.
“... nama gue Difa!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan kanannya.
“Angel!” balas Angel singkat sambil menjabat tangan Difa.
***
Menggodaku...
Bikin ku malu...
Titip salam lewat semua teman-temanku
“Hai!” sapa Difa sambil melambaikan telapak tangannya ketika Angel dan Marsha lewat di depan kelasnya.
“Hai Difa!” balas Marsha dengan melempar senyumnya ke semua teman-teman Difa.
“Marsha! Loe jangan keganjenan gitu, deh!” bisik Angel pelan, namun penuh penekanan. Kemudian Angel hanya tersenyum hambar ke arah Difa dengan terus menggandeng Marsha agar tetap melangkah ke tempat tujuan awalnya, kantin.
“Sakit tauk, Ngel! Loe kenapa, sih?!” protes Marsha ke Angel yang tadi mencubitnya waktu lewat kelas Difa.
“Sudah deh, gak usah banyak omong!”
Seperti biasa, Angel dan Marsha mendatangi tukang siomay yang sudah menjadi langganan mereka.
“Ngel, Difa itu cakep gak, sih?” tanya Marsha ditengah-tengah makannya.
“Gak tahu!” jawab Angel enteng.
“Ish! Nyebelin. Seriusan!”
“Menurut loe aja gimana?” tanya balik Angel.
“Menurut gue sih Difa itu cakep, cool, cuek, manis, pokoknya perfect deh!一” jawab Marsha seakan membayangkan sosok Difa di pikirannya.
“… Menurut loe sih, Ngel? Gimana?”
“Samain aja deh sama pernyataan loe tadi.” jawab Angel datar一lebih tepatnya sih enggan ngebahas soal tersebut.
“Eh! Difa ke sini tuh, Ngel!” heboh Marsha.
“Bodoh, ah! Mau ke sini kek, enggak kek!” jawab Angel enteng.
“Gue boleh gabung, gak?” ijin Difa ke Angel dan Marsha.
“Boleh kok, Dif. Duduk aja!” kata Marsha semangat.
“Makasih!”
“Sendirian, Dif?” tanya Angel, tetap sibuk dengan siomaynya.
“Lagi pengen sendiri aja. Kenapa, gitu?”
“Gak apa-apa, nanya aja.”
“Oya, Dif! Ngomong-ngomong tipe cewek loe kayak gimana?” serobot Marsha, kepo.
“Eum... kayak gimana, ya? Pengennya?” tanya balik Difa. Mendadak, Angel terkekeh mendengarnya. Apalagi saat melihat ekspresi muka Marsha yang cengo.
“Emang enak! Hahaha.” ledek Angel.
“Ih, Difa! Seriusan, dong!” tukas Marsha.
“Hehehe... sorry! Tipe cewek gue, ya? Eum... simpel kok, gak muluk-muluk. Gue lebih suka cewek yang... kayak Angel, unik!一” ucap Difa spontan. Lagi, Angel tersedak. Marsha pun ikut terkejut dengan kata-kata Difa.
“... maksud gue, gue suka cewek yang mempunyai sifat unik, yang cewek-cewek lain gak punya. Gitu...” sambungnya saat melihat ekspresi muka kedua orang di depannya. Maksudnya apaan, sih? umpat Angel dalam hati.
“Oh... gitu maksudnya.” respon Marsha singkat. Sontak membuat muka Angel berubah menjadi merah jambu. Bukan karena kata-kata Difa barusan, melainkan tatapan bola mata Difa yang terus memandangnya lekat dengan seulas senyum.
***
Dua minggu yang lalu mereka一Difa dan Angel kenalan, dua minggu itu pula Angel selalu dibuat salting oleh sikap Difa yang terbilang tidak biasa. Acapkali Angel dan Marsha lewat ke kelas Difa, selalu saja mereka mendapatkan senyuman termanis dan sapaan halus dari Difa yang kontan membuat hati Angel dan Marsha dag-dig-dug gak jelas一terlebih Angel. Sekilas, mungkin hal itu sangat wajar untuk seorang teman. Tapi yang ini beda, Angel melihat ada seberkas cahaya cinta di pelupuk mata Difa dikala Difa menatapnya. Lensa matanya selalu bersinar, memancarkan tujuh warna pelangi ke mata Angel.
“Ngel, tadi si Difa nanyain loe, tuh!” kata Marsha yang baru datang dan langsung duduk di samping Angel.
“Oh, ya?” responnya tanpa sedikitpun melirik Marsha. Angel sibuk berkutat dengan PR Kimia yang belum dikerjakannya.
“Iya. Dia nanya kenapa gue gak bareng sama loe.” lanjut Marsha yang kini matanya mengikuti laju jemari Angel di atas buku tulisnya.
“Kurang kerjaan! Gitu aja ditanyain.”
“Itu namanya perhatian, Angel!” Marsha menyenggol pundak Angel pelan.
“Perhatian?一” Angel menatap Marsha heran.
“... Emang Difa siapa gue?” sambungnya sesantai mungkin.
“Astaga, Ngel! Jangan-jangan一” heboh Marsha seakan menyadari sesuatu yang selama ini gak pernah terpikirkan olehnya. Dan belum sempat Marsha melanjutkan kalimatnya, Chelsea一teman ekskul Angel dan Marsha datang menghampiri mereka.
“Ngel, gue dapet titipan nih buat loe.” kata Chelsea sambil menyodorkan kotak kecil berwarna merah muda ke Angel. Dahi Angel mengernyit seketika, tak lupa juga Marsha.
“Titipan? Dari siapa, Chel?” tanyanya heran. Ia menatap kotak itu dan melirik ke arah Marsha dan Chelsea bergantian.
“Gue juga gak tahu, Ngel. Tadi kan gue dari kantin, terus ada dua orang cowok yang ngasih ini ke gue, katanya sih nitip buat elo.一” jelas Chelsea rinci.
“... Tapi roman-romannya sih mereka juga kayak ketitipan lagi, gitu?” sambung Chelsea memperjelas.
“Kira-kira dari siapa, ya?” Marsha memainkan telunjuknya di dagu, berlagak mikir.
“Terus mereka bilang apa aja sama loe, Chel?” tanya Angel一lagi masih penasaran.
“Kalau gak salah sih mereka juga nitip salam buat loe. Sudah, itu aja.” jawabnya mantap.
“Oh... kalau gitu makasih banyak ya, Chel!” ucap Angel tulus. Chelsea tersenyum.
“Iya, sama-sama. Gue balik ke kelas dulu ya, Ngel, Sha? Kasihan Shilla lagi nunggu di luar. Babay!” pamit Chelsea yang langsung melangkah pergi menyusul Shilla一teman sekelas Chelsea yang mengantarnya ke kelas Angel dan Marsha.
“Hati-hati ya, Chel!” kata Marsha dan Angel berbarengan.
“Oke!” ceplosnya mantap sambil mengacungkan jempol. Shilla ikut tersenyum seakan bilang ke Angel dan Marsha kalau dia juga pamit untuk ke kelas.
“Dari siapa ya, Ngel?” tanya Marsha sambil kembali melirik kotak di tangan Angel.
“Bentar, gue buka dulu!” Angel membuka kotak itu secara perlahan.
“Kalung?” gumam Marsha saat Angel mengambil sesuatu yang ada di dalam kotak tersebut.
“Ini dari Difa, Sha!” kaget Angel tegas.
***
Kau bilang kau suka padaku
Aku hargai itu...
Sabtu sore, matahari disertai lembayung senja bersembunyi dibalik guratan awan yang sedikit terlihat pekat. Pohon-pohon kelapa mematung, diam, seakan raja angin telah lelah menghembuskan sejuk udaranya ke bumi. Beriak air laut pun sedikit melemah dan hampir tak terlihat di permukaan. Warna birunya sedikit tertutupi oleh hamparan oranye yang menRafimuti di atasnya. Hening. Suasananya benar-benar damai. Meskipun sunyi, keindahan alam seakan setia menampakkan dirinya untuk menghibur dua pasang mata yang kini sedang berdiri menatap satu titik di ujung sana.
Difa mengajak Angel ke pantai yang tak jauh dari tempat mereka berkemah. Karena hari ini sekolah mereka sedang mengadakan Persami一Perkemahan Sabtu Minggu yang rutin diadakan setahun sekali pada tanggal 14 Agustus untuk ikut memperingati ulang tahun Pramuka yang cukup berprestasi di Sekolah Harapan 1. Sejenak, Angel membiarkan kakinya tersapu oleh ombak yang begitu dingin hingga merambat ke seluruh tubuhnya.
“Ini indah banget, Dif! Kok elo bisa tahu kalau di sini ada tempat seindah ini, sih?” tanya Angel dengan menatap Difa yang berdiri di belakangnya.
“Sebelumnya gue sudah pernah ke sini, Ngel. Dan menurut gue pun sama dengan pendapat loe barusan. Pantai ini adalah pemandangan terindah yang pernah gue temui seumur hidup.” jawab Difa seraya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Angel. Mereka terlalu kagum menikmati setiap titik alam yang mempesona ini.
“Oh... terus, maksud loe ngajak gue ke sini? Kenapa?” tanya Angel一lagi. Kali ini ia menatap semu wajah cowok di sampingnya.
“Eum... gak apa-apa. Gue cuma pengen ngajak loe aja. Lagian kan sayang kalau tempat seindah ini cuma gue aja yang tahu. Makanya gue ajak loe.” jawab Difa enteng. Aneh! batin Angel. Lalu ia kembali menatap matahari yang kini tinggal sepenggal terbenam.
“Kenapa loe gak ngajak Marsha dan yang lainnya? Pasti mereka juga bakal senang deh melihat semua ini. Apalagi, menyaksikan matahari terbenam yang menakjubkan.” Difa terenyuh. Ia belum mau menjawab pertanyaan Angel. Hening. Untuk beberapa menit tak ada suara yang menyeruak diantara Difa dan Angel. Yang terdengar hanyalah detak jantung mereka berdua yang semakin seirama. Sejenak, Difa memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
“... itu karena, aku cuma ingin kamu seorang, Ngel! Dan aku hanya ingin kamulah satu-satunya cewek yang harus tahu tempat ini terlebih dulu ketimbang cewek-cewek lain.” jawab Difa spontan, namun terdengar tulus di telingan Angel. Angel menatap Difa lekat, ia bingung dengan perubahan bahasa Difa yang tadinya gue-elo menjadi aku-kamu. Dan lagi, Angel terus memandang wajah Difa seakan berharap kelanjutan dari kata-kata Difa barusan.
“Tempat ini indah, sejuk, asri dan pastinya nyaman. Dan lagi, yang seharusnya kamu tahu, semua perasaan itu selalu hadir disaat aku dekat dengan kamu, Ngel. Entah kenapa?” jelas Difa dengan tanpa sedikitpun menatap mata Angel. Angel terus menatap Difa lekat.
“Loe lagi bercanda, kan, Dif? Gak lucu, ah! Balik ke tenda, yuk? Sudah mau malam nih, takut pada nyariin.” ajak Angel sambil menyentuh pundak Difa dan berjalan perlahan meninggalkannya. Difa termangu, menarik napasnya panjang-panjang. Kemudian ia mengikuti Angel dari belakang.
***
Bintang bertaburan. Sepoi angin malam menusuk pori-pori kulit. Dingin. Namun kehangatan mulai terasa dikala api unggun membara terang di tengah-tengah lingkaran manusia yang saling berpegangan tangan. Mata mereka bersinar memantulkan cahaya api malam itu. Alunan melodi gitar pun ikut memeriahkan suasana sekitar serta diselingkan lagu-lagu remaja yang menggema. Meskipun sebagian dari mereka ada juga yang menghindar dari alunan musik teman-temannya dan lebih memilih menyendiri di tenda atau hanya sekedar mengobrol berdua di tempat lain. Seperti biasa, layaknya di sekolah.
“Ngel, loe bawa sarung tangan dua, gak?” tanya Marsha ke Angel yang sedang duduk di depan tenda ditemani segelas kopi susu yang baru dibuatnya.
“Kayaknya bawa, deh. Ambil aja di tas gue, Sha!” jawab Angel.
“Sip! Thanks, ya!”
“Oke. Apa sih yang enggak buat my barbie? Hehehe.” balas Angel agak lebay. Tiba-tiba, tangan Angel seakan ada yang menarik. Perlahan, namun pasti.
Angel terkesiap. Awalnya ia hendak berteriak, namun niatnya terhenti ketika mengetahui kalau orang yang menariknya itu adalah Difa. Ada apa lagi sih, Dif? Loe tuh sering bikin gue penasaran, deh! umpat Angel dalam hati. Namun, Angel sengaja tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia membiarkan Difa menarik tangannya. Meski ia harus bertanya-tanya kemana Difa akan membawanya?
Difa berhenti di tempat yang pernah ia kunjungi bersama Angel sore tadi. Dilepaskannya tangan Angel perlahan, namun langkahnya terus bergerak meskipun sapuan air laut membasahi celana panjangnya. Angel termangu, mengeluarkan ekspresi kagumnya saat melihat betapa eloknya sang bulan yang membentang bebas di atas lautan. Gagah. Berkilau. Bersinar terang. Air laut yang biru pun seakan bersemu putih menyerap sinar lampion raksasa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa itu. Pohon-pohon kelapa yang sempat membisu cukup lamapun dengan lihainya bergerak memberikan sentuhan halus ke kulit ari. Serta ombak kecil yang semakin malam semakin melebar itu ikut serta memberi kedamaian di sekitar pantai. Wajah Difa berseri, ia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
“Ini lebih mengagumkan dari yang tadi sore, Dif!” ucap Angel yang ikut mematung di pinggir Difa. Lalu, mereka pun duduk berniat untuk sejenak menikmati terangnya bulan serta hangatnya angin malam yang tidak begitu kencang berhembus. Tak perduli meski celana mereka terkena sapuan ombak-ombak kecil yang menghampirinya.
***
Kilauan oranye api unggun mulai memudar. Namun hangatnya masih menguasai sekitar tenda. Sedangkan penghuninya masih menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas masing-masing.
“Chel, loe lihat Angel, gak?” tanya Marsha ke Chelsea yang lagi ngumpul sambil nyanyi-nyanyi bareng anak-anak pramuka yang lain.
“Angel? Gue gak lihat, Sha. Emangnya Angel ke mana? Kan biasanya berdua mulu sama loe?” tanya balik Chelsea.
“Gue juga gak tahu, Chel. Makanya gue nanya ke elo, kirain gue tuh elo tahu Angel dimana.” ucap Marsha. Chelsea menggeleng.
“Ada apa sih, Chel?” tanya cowok di sebelah Chelsea.
“Ini, teman gue lagi nyari sahabatnya.” jawab Chelsea mantap. Orang tersebut menatap Marsha sejenak.
“Oh... yang tadi duduk di tenda itu, bukan?” tanya Rafli一cowok tadi dengan menunjuk tenda Angel dan Marsha.
“Iya, betul! Loe tahu gak, dia ke mana?” Marsha mengalihkan pandangannya ke Rafli.
“Kalau gak salah tadi tuh lari ke sana, bareng Difa!” Rafli menunjuk arah yang tadi dilalui Difa dan Angel.
“Hah? Difa?! Mau kemana, ya? Eum... ya sudah, makasih ya! Kalau gitu gue ke tenda dulu.” pamit Marsha. Tapi, belum sempat ia melangkah, tangannya dipegang Rafli.
“Mau ke mana? Kenapa gak gabung dulu aja bareng kita-kita?” tawar Rafli ikut berdiri di hadapan Marsha.
“Nggak, ah! Dingin. Gue gak kuat kalau di luar lama-lama.” balas Marsha pelan.
“Emangnya loe gak bawa sarung tangan?” tanya Rafli saat melihat tangan Marsha yang terus-terusan mengepal kedinginan.
“Gue lupa bawa. Tadi kan gue sempat minjam ke Angel, katanya sih ada di tas, pas dicari malah gak ada. Makanya gue nyariin dia.” jelasnya sambil berjalan pelan. Rafli juga mengikutinya dari samping.
“Gue bawa dua tuh, loe mau minjam?” tawar Rafli disertai senyum khasnya.
“Eum... boleh!” terima Marsha dengan membalas senyum Rafli.
“Bentar ya, gue ambil dulu di tenda.” Rafli berlari kecil menuju tendanya. Tanpa sadar, Marsha terus-terusan memandangi punggung cowok yang belum dikenalnya itu dengan mata berbinar. Baik banget, sih? batinnya.
Beberapa detik kemudian, “Sorry lama. Nih sarung tangannya!” kata Rafli setelah sampai di hadapan Marsha.
“Makasih, ya!” Marsha meraihnya dan segera memakai sarung tangan tersebut.
“Eum... nama loe siapa?一” tanya Rafli canggung.
“... Gue Rafli!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan.
“Marsha!”
“Nama yang cantik! Seperti orangnya.” goda Rafli yang sukses membuat pipi bakpao Marsha memerah jambu.
“Ih bisa aja, deh.” ucapnya sambil memalingkan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.
“Seriusan! Gak bohong!” yakin Rafli.
“Gombal, nih? Eum... ngomong-ngomong Angel sama Difa ke mana, ya? Kebiasaan deh ngilang gitu aja!” Marsha menatap bulan yang saat itu sudah cukup meninggi.
“Gue juga gak tau, Sha.一” jawab Rafli. Sesaat, hening mulai mengembara untuk beberapa detik.
“Bulannya cantik, ya?” tanya Rafli seakan tak ada lagi pertanyaan yang lebih penting.
“Iya. Jarang-jarang bisa lihat bulan seindah ini.” jawab Marsha kagum.
“Gue sih sering banget lihat kayak beginian. Hampir tiap hari, malah.”
“Oh, ya? Kok bisa?” Marsha menatap Rafli kaget.
“Ya... soalnya di rumah gue ada lukisan bulan yang persis kayak gini. Hehehe.” jawabnya dibarengi dengan ketawa yang lucu.
“Ih, kirain beneran. Ada-ada aja loe, Raf.”
“Eum... Marsha! Kalau boleh tahu, loe sudah punya一”
“Iel! Marsha! Mau ikut foto-foto, gak? Ayo sini!” teriak Chelsea di tengah kerumunan orang-orang di dekat bara api unggun. Saat itu pula, Rafli mengembuskan napas panjangnya. Gugup.
Pertanyaan terberat yang hendak diucapkannya itu telah terpotong oleh panggilan Chelsea yang kurang bersahabat.
“Bentar, Chel! Gue ikutan! ... Ayo, Raf! Mau ikut foto-foto, gak?” tawar Marsha dengan membantu Rafli bangun. Terpaksa Rafli mengikuti Marsha yang lebih dulu pergi setelah menarik tangannya untuk bangun. Ia menggaruk kepala belakangnya yang gak gatal itu.
“Loe sudah punya pacar, belum, Sha?” gumam Rafli dengan menatap punggung Marsha. Galau.
***
Mereka berdua bangun dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ternyata ombak yang menyapu pantai sudah semakin meninggi. Angin malam pun semakin kencang berhembus. Gelombang pasang telah tiba.
“Kita balik ke tenda yuk, Dif? Anak-anak yang lain takut pada nyariin.” ajak Angel. Difa tak merespon. Ia masih enggan meninggalkan pantai itu. Terlalu disayangkan.
“Gue duluan ya, Dif?” sambung Angel saat menyadari kalau Difa tak berkata apa-apa. Ia pun melangkah pergi meninggalkannya sendirian.
“Ngel? Jangan pergi! Aku mohon,一” panggil Difa pelan. Tetapi jelas terdengar di telinga Angel.
“... Aku, aku sudah tidak tahan lagi dengan perasaan ini, Ngel. Terlalu sulit untukku memendam perasaan yang indah ini terlalu lama.” Angel tergelak, tak bisa mengerti dengan ucapan Difa barusan. Ia pun melangkah mendekati Difa yang masih terpaku dengan kakinya yang terus-terusan tersapu ombak.
“Maksud kamu apa, Dif? Aku gak ngerti.” dilihatnya mata Difa yang berbinar seakan memantulkan cahaya bulan ke bola matanya.
“Aku... aku cinta sama kamu, Ngel! Aku sayang! Dan aku gak bisa jauh dari kamu. Sudah lama, sejak pertama kali aku ketemu kamu, aku begitu mengaggumimu, Ngel. Entah kenapa, semua yang aku lihat dari kamu dan semua yang aku rasakan saat melihatmu, itu membuatku merasa bahagia. Angel... entah kenapa, setelah mengenal kamu lebih dekat dan bisa masuk ke dalam kehidupan kamu lebih jauh, aku merasakan kebahagiaan yang benar-benar belum pernah aku rasakan sebelumnya.一” jelas Difa jujur. Kali ini nasibnya ia pasrahkan di hadapan Angel一gadis yang selama ini ia kagumi dan ia cintai.
“... Angel, maukah kamu jadi pacarku?” tembak Difa seraya menggenggam tangan Angel dan berlutut di hadapannya.
“Dif...一” lirih Angel diiringi dengan tarikan napas yang begitu berat.
“... Maaf sebelumnya, bukannya aku gak pernah tahu akan perubahan sikap kamu ke aku itu didasari adanya perasaan suka ataupun cinta. Aku hanya berharap gak tahu itu semua, Dif. Aku takut itu hanya ge-er ku semata.一” Angel mengangkat tangan Difa agar berdiri.
“... Dan malam ini, aku sudah tahu semuanya. Dugaanku benar, kamu memang suka sama aku, bahkan bukan cuma suka, tapi cinta. Difa... maafin aku, ya? Aku hargai kok perasaan kamu dan aku acungkan jempol karena kamu sudah mempunyai keberanian buat nembak aku. Cuman, aku gak bisa terima kamu! Aku belum mau pacaran, Dif. Aku pengen serius sekolah dulu.” terpaksa Angel melepaskan genggaman Difa dan membelakanginya. Maksud Angel cuma satu, ia gak kuasa melihat kekecewaan yang terpancar dari raut wajah Difa.
“Eum... gak apa-apa kok, aku ngerti. Lagian aku juga gak maksa kamu buat jadi pacar aku. Itu hak kamu, Ngel!” lirih Difa.
“Maafin aku, Dif!” suara Angel melemah. Difa tersenyum.
“Angel... aku boleh minta sesuatu, gak? Untuk kali ini aja.” pinta Difa tiba-tiba. Angel membalikkan badannya.
“Anything for you, Difa.”
“Makasih, ya. Eum... aku, aku cuma ingin kamu peluk aku, walaupun cuma sebentar. Aku mohon,” ucapnya penuh harapan. Sedetik, tubuh Angel mendarat dipelukkan Difa. Erat.
“Kita masih bisa berteman, kan?” tanya Angel dalam pelukkan.
“Selalu... apapun yang terjadi, aku pasti ada untukmu!” jawab Difa mantap. Mendengar itu, Angel semakin erat memeluknya. Seakan gak mau kehilangan Difa, begitupun sebaliknya.
Di langit, bintang-bintang ikut berseri. Sang bulan pun tersenyum melihat mereka berdua. Difa dan Angel.
Kita masih sangat muda
Belum waktunya...
Sekolah saja dulu raih cita-cita
Urusan pacaran tak usah sekarang
Kita BERTEMAN SAJA...
The End.