“Maafkan aku,
aku gak bisa mempertahankan hubungan ini. Aku mohon kamu mengerti dengan
keadaanku.” lirih seorang pemuda di hadapan gadis yang kini tak kuasa lagi menahan
laju air matanya. Bola matanya pun memerah.
“Aku gak mau
pisah sama kamu, aku gak mau! Please,
jangan tinggalin aku!” balas gadis tersebut tak kalah lirih. Sesaat, pemuda itu
memejamkan matanya berat. Tak kuasa memandang mata sendu gadis tersebut yang
begitu menyayat hati jika terlalu lama dipandang. Lantas memeluknya begitu erat.
“Kamu gak mau
ninggalin aku kan, sayang? Kamu bercanda kan? Ayo jawab!” pemuda itu tak
bergeming. Ia membiarkan sang gadis memukul-mukul dada bidangnya. Namun semua
itu tak berlaku lama, sang gadis kembali memeluk erat pemuda tadi. Seakan tak
mau kehilangan untuk sekejap pun.
“Sayang, kamu
harus mengerti dan paham dengan semua ini. Aku juga sebenernya gak mau pisah
sama kamu, tapi keadaanlah yang memaksa kita untuk berpisah. Dan ini merupakan
resiko kita yang pernah kita omongkan saat kita pertama kali berhubungan. Kamu
ingat kan?”
“Tapi semua ini
terlalu cepat buat aku!”
“Selama apapun
kita menjalankan hubungan ini, yang ada kita tambah sakit dengan kenyataan yang
memang harus kita hadapi di akhir nanti. Karena itulah aku menyudahi hubungan
ini, aku gak mau menyakiti kamu lebih dari ini.”
“Kamu beneran
mau ninggalin aku?” gadis tersebut menatap marah pemuda yang menyentuh kedua
pipinya itu. Suaranya mulai melemah.
“Ini memang
seharusnya terjadi, maafkan aku.”
“Kalau memang
kamu sayang sama aku, kenapa kamu gak mau mempertahankan hubungan kita? Kenapa
kamu gak mau pertahanin aku? Kenapa?!”
“Maafkan aku,
aku mengaku salah.” pemuda itu menunduk.
“Aku benci sama
kamu! Aku benci!!!” lalu sang gadis berlari tak tentu arah. Meninggalkan kekasihnya
sendirian begitu saja. Ralat! Mantannya.
***
Puluhan
cewek-cewek berkerumun di depan mading yang memang baru saja menerbitkan tema
terbarunya di siang itu. Artis idola! Ya, tema madingnya kali ini. Ada sebagian
di antara mereka yang histeris karena gambar artis favoritnya terpampang jelas
di sana. Dan ada juga yang risih dengan pemandangan tersebut, bahkan tak mau
sama sekali ada niatan untuk ikut melihat mading bersama anak-anak yang lain.
Salah satunya yaitu cewek penghuni kelas XII IPS 2 ini yang lebih memilih diam
di kelas ketimbang ikut nimbrung tak jelas di depan mading. Wajahnya terlihat
lesu.
“Vi, keluar yuk?
Bosen gue di kelas mulu.” ajak salah seorang teman dari si cewek tadi sedikit
memohon.
“Loe duluan aja
deh, gue gak enak badan nih.” ungkapnya malas. Cewek itu bernama Sivia. Lantas Ify一sahabatnya Sivia tersebut一membuang napas perlahan.
“Loe sakit, Vi?
Ya udah kalau gitu kita ke UKS aja ya? Entar loe malah tambah parah kalau
didiemin.”
“Ya udah deh,”
ucap Sivia nurut. Ify pun langsung menggandengnya keluar kelas.
“Semalem loe
abis ngapain sih? Begadang ya?” Sivia menggeleng langsung.
“Terus?”
“Gue abis melek,
Fy.”
“Ya sama aja
bego!”
“Oh gitu ya?
Kira gue melek sama begadang itu beda. Hehehe.” Ify menyenggol pelan pundak
Sivia.
“Mau ngapain
emang loe melek, Vi? Gantiin satpan rumah loe?”
“Enak aja! Gue
nonton film di laptop, Fy. Filmnya keren banget lho, tentang cinta terlarang
gitu.” jelas Sivia antusias. Ify hanya membulatkan mulutnya sambil menganggukan
kepala.
“Oh ya? Kalau
gitu boleh dong entar gue nonton di rumah loe?” Sivia mengangkat bahu seakan
bilang, “Why not?”.
“Asik!” mereka
berdua pun akhirnya sampai di dalam ruangan UKS sekolah yang tak jauh dari
kelas mereka tadi. Sejenak, Sivia dan Ify duduk untuk melepas lelah. Lantas
membuka laci obat yang tersedia di sana.
“Mau cari obat
apa?” tanya seorang cowok yang ternyata salah satu anggota PMR sekaligus Ketua
Osis yang sebentar lagi akan turun jabatan itu. Sivia dan Ify tersentak
seketika. Wajar saja karena cowok tersebut muncul tiba-tiba di hadapan mereka.
“Oh ini, nyari obat
pusing.” jawab Sivia gugup seraya menunjukkan obat yang ia pegang.
“Loe bikin kaget
aja deh. Untung kita gak jantungan.” ujar Ify sambil tak henti mengusap dadanya
berulang kali.
“Oh, maaf kalau
gitu. Gue gak niat buat ngagetin kalian kok.” katanya ramah. Lalu ia tersenyum.
“Sayang, ke
kelas yuk? Bentar lagi aku ada pelajaran Bu Della, killer’s teacher itu lho?” ajak sorang cewek yang baru saja keluar
di dalam ruangan istirahat UKS.
“Eh ada kalian,
kok ada di sini sih? Siapa yang sakit?” tanyanya saat menyadari ada Sivia dan
Ify di sana.
“Gue anter Via
minta obat di sini, Pris.” jawab Ify. Sivia hanya tersenyum ke arah cewek
tersebut, Prissy. Dan cowok tadi adalah Alvin, kekasihnya. Pasangan yang
katanya terpopuler di SMA Adiyasha. Serta pasangan yang terlihat sangat-sangat
mesra di manapun dan kapanpun mereka berdua berada. Prissy mendekat ke hadapan
Sivia perlahan.
“Loe sakit apa,
Vi?”
“Cuma pusing
doang kok, Pris. Ini juga udah nemu obatnya.” kemudian Prissy tersenyum.
“Ya udah deh
kalau gitu cepet sembuh ya, Vi? Gue sama Alvin ke kelas duluan. Bye!” pamit Prissy sambil menggandeng
mesra tangan Alvin. Sedangkan Alvin hanya melempar senyum dengan tatapan mata
yang tak bisa diartikan ke arah Sivia dan Ify.
“Thanks, Pris! Hati-hati ya?” balas Sivia
ramah. Ify ikut melambaikan tangan. Mereka一Prissy
dan Alvin一lagi-lagi tersenyum
sambil berlalu meninggalkan UKS.
“Mereka so sweet banget ya, Vi? Pengen deh punya
pacar kaya Alvin,”
“Emang ada yang mau
gitu sama loe? Hahaha.”
“Sialan loe! Kesannya
gue jelek banget ya sampai gak ada yang mau sama gue?! Ish!” Ify menekuk raut
wajahnya kesal.
“Ish! Tambah jelek aja
loe kalau lagi ngambek, Fy.”
“Bodo!”
“Entar gak laku beneran
lho? Mau loe gak laku?” goda Sivia sembari mencubit salah satu pipi milik
sahabatnya tersebut.
“Viiiiiiaaaaaa!!!”
geram Ify kesal.
“Ya udah makanya senyum
dong senyum! Biar kelihatan cantik kaya personil Blink yang bisa ciptain lagu
itu lho?”
“Yayaya tau kok tau!
Nih gue senyum,” Sivia pun langsung merangkul Ify manja.
“Nah gitu dong!”
“Kak Ify!” panggilan
nyaring dari luar UKS mengagetkan kedua cewek tersebut. Terlebih Ify yang
memang namanya lah yang disebut. Ify mengernyit sejenak.
“Siapa yang manggil?”
bisiknya ke Sivia.
“Mana gue tau!” lantas
mereka berjalan ke arah sumber suara dengan penuh heran. Di sana, seorang cowok
berdiri santai dengan kotak berwarna hijau yang dipegangnya sambil senyum ke
arah Ify dan Sivia yang menghampirinya.
“Siapa ya?” tanya Ify
langsung. Bukannya menjawab, cowok tersebut malah menyodorkan kotak miliknya ke
Ify. Ify memandang Sivia sejenak. Sedangkan Sivia hanya mengangkat bahu.
“Ini apaan?”
“Buka aja, kak!”
“Bentar! Jangan bilang
loe mau ngerjain gue?” terka Ify sambil mundur satu langkah.
“Enggak kok kak, ini
kado dari aku buat kak Ify. Bukannya kemarin kak Ify ulang tahun ya?”
“Udah terima aja lagi,
Fy. Rejeki loe tuh!” suruh Sivia dengan mendorong paksa tangan Ify untuk
menerima kotak dari cowok tersebut.
“Selamat ulang tahun
ya, kak!” ucapnya setelah beberapa detik Ify menyentuh kotak pemberiannya.
Lantas ia beranjak pergi sambil senyum-senyum tak jelas.
“Hei, tunggu!” cowok
itu tak menggubris.
“Cieee yang dapet kado
dari fans. Hahaha.” ledek Sivia antusias. Namun Ify tak merespon, ia terlalu
fokus menatap si pemberi kado yang ia pegang tersebut. Siapa sih dia? batinnya.
***
“Kamu sakit apa?”
“Tadi pagi kan aku udah
bilang sama kamu, aku cuma pusing doang kok.”
“Beneran cuma pusing?
Terus sekarang gimana?”
“Udah agak mendingan,”
“Syukurlah kalau gitu.
Maaf ya aku gak bisa nemenin kamu pas di UKS, tau sendiri kan situasinya kaya
apa?”
“Gak apa-apa kok, aku
ngerti. Cuma aku…”
“Cuma apa? Kamu
cemburu?” cewek itu mengangguk perlahan. Sedangkan si cowok malah
menyunggingkan senyum manisnya sambil menarik tubuh cewek di sampingnya
tersebut ke dalam pelukannya.
“Aku tetap sayang kok
sama kamu. Kamu jangan khawatir ya? Toh itu resiko kita menjalani hubungan ini.
Jadi kamu yang sabar ya?” cewek itu tersenyum sambil memasrahkan tubuhnya di
dada bidang si cowok.
Sivia. Ya, cewek itu
Sivia! Dan cowok yang berada di sampingnya tersebut adalah Alvin, kekasih Prissy一sahabat karibnya sejak pertengahan kelas X dulu. Mereka berdua
memang pacaran sejak setahun setengah yang lalu, saat Sivia menjejakkan kaki
untuk pertama kalinya di SMA Adiyasha sebagai murid baru. Di situlah Sivia
kenal Prissy yang notabenenya adalah
teman pertama yang ia kenal di sekolah tersebut. Prissy sangat baik menyambut
Sivia di kelasnya, selalu membantu Sivia dalam beradaptasi di lingkungan
sekolah barunya itu. Dan bahkan Sivia diajak duduk bersama dan diikutsertakan
dalam segala organisasi apapun yang Prissy terlibat di dalamnya. Lantas
kedekatan mereka tersebut itulah yang membuat pamor Sivia semakin luas dikenal oleh para penghuni SMA
Adiyasha. Dan karena Prissy juga Sivia mengenal Alvin. Segala hal tentang
Alvin.
Alvin, selaku penyandang
title most wanted saat itu memang berhasil
memikat hati Sivia. Begitupun sebaliknya. Mereka merasakan ada getaran hebat
bergejolak di dada mereka saat pertama kali mereka bertatap muka dan berjabat
tangan. Bahkan tak jarang mereka salah tingkah begitu mereka tanpa sengaja
bertemu pandang di saat sedang bermain atau hanya sekedar mengobrol bertiga
dengan Prissy. Sampai suatu hari Alvin dan Sivia memutuskan untuk menjalin
hubungan terlarang di antara mereka. Mereka berpacaran tanpa sepengetahuan
Prissy. Entah siapa yang salah kalau sudah begini? Yang jelas mereka sudah
terlanjur jauh melangkah menuju jurang yang mereka buat sendiri. Dan tak tau sampai
kapan mereka harus begini. Lalu bukankah semua yang ditutup-tutupi akan terbuka
juga suatu saat nanti? Entahlah.
“Aku capek kalau
terus-terusan begini, Vin. Aku ingin terus terang sama Prissy.” kata Sivia tiba-tiba.
Alvin pun membangunkan Sivia dari sandarannya.
“Aku mohon jangan
lakuin itu, Vi. Aku gak mau nyakitin Prissy. Aku masih gak tega,” jawab Alvin
khawatir.
“Tapi aku udah gak
tahan kalau terus-terusan bersembunyi dari Prissy. Aku merasa bersalah sama
dia. Dan nyatanya memang aku salah.” Sivia menghela napas beratnya.
“Kamu gak salah kok, Vi.
Ini semua karena aku yang minta. Coba dulu aku gak maksa kamu buat jadi pacar
aku, mungkin semuanya gak akan seperti ini.” jelas Alvin yakin. Lantas Sivia
menyentuh lembut bahu cowoknya tersebut.
“Kita salah,” ucapnya.
“Dan kita akan
menanggung resikonya bersama-sama.” Alvin pun mengangguk dan memberikan
senyuman termanis yang dimilikinya.
“Sekarang sih kita
jalanin aja dulu. Oke?” kata Alvin seraya mengusap lembut ubun-ubun Sivia.
“Via? Alvin?” tanya
seseorang heran. Sontak membuat Alvin dan Sivia kaget setengah mati. Karena
yang kini ada di hadapan mereka itu adalah…
“Prissy?”
“Kalian lagi ngapain di
sini? Kok belum pulang?” tanya Prissy penasaran. Alvin menatap Sivia bingung.
“Gue sama Alvin lagi
diskusi masalah OSIS, Pris. Iya kan, Vin?” jawab Sivia sekenanya. Alvin
mengangguk mengiyakan.
“Kamu katanya mau
pulang duluan, sayang? Tapi kok jam segini masih ada di sekolah sih?” tanya
balik Alvin mencoba menepis rasa penasaran Prissy kepadanya.
“Oh ini, aku tadi di
panggil ke ruang guru sama Bu Silmy. Suruh merekap nilai ulangan anak kelas X.”
jelas Prissy sesantai mungkin meski ada rasa yang mengganjal dalam hatinya.
“Ya udah kalau gitu aku
anter pulang ya?” tawar Alvin manis.
“Emang urusan kamu sama
Via udah kelar? Lanjutin aja kalau emang belum kelar sih, aku gak apa-apa kok
pulang sendiri.”
“Udah kok, Pris. Kalian
pulang duluan aja, gue mau nunggu Ify dulu.”
“Emang Ify belum pulang
ya, Vi?”
“Belum, Pris. Dia lagi
ada urusan penting sama adik kelas katanya.”
“Oh gitu.” respon
Prissy.
“Ya udah kalau
gitu gue sama Prissy pulang duluan ya, Vi?” ucap Alvin seraya menyentuh pundak
Sivia penuh arti. Mereka berkomunikasi lewat tatapan mata.
“Iya, Vin.”
“Duluan ya?”
Sivia hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Alvin dan Prissy
yang sudah berada di atas motor tersebut.
“Maafin gue,
Pris.” gumamnya kemudian. Lantas ia langsung pergi meninggalkan tempat parkir
sekolahnya itu. Maklum, tadi Sivia berbohong tentang Ify yang masih ada di
sekolah. Padahal sudah jelas-jelas Ify sempat izin pulang terlebih dahulu
padanya sebelum Sivia bertemu dengan Alvin di pojok area parkir sekolah.
***
Tangan Alvin
langsung bergetar hebat begitu ia mendengar kabar buruk tentang Prissy dari
salah satu orang rumah melalui ponselnya. Ia memejamkan matanya kuat-kuat
sambil mendecak kesal. Karena sebelumnya ia tau kalau Prissy meminta Alvin datang
ke rumah untuk menemani pacarnya tersebut yang memang sedang sakit, namun ia
dengan cepat menolak. Alvin bilang kalau dirinya sedang ada urusan penting di
rumah dan tidak bisa ditinggalkan untuk sekejap pun. Tapi semua itu hanyalah
alasan semata. Karena faktanya sekarang Alvin sedang asyik menikmati makan
malam indahnya bersama Sivia di sebuah restoran.
Alvin kembali
mendecak begitu melihat Sivia menampakan wajah bingungnya. Lalu ia mendekati
cewek tersebut dengan langkah gontai.
“Siapa yang
nelpon, Vin?” tanya Sivia penasaran. Ia mencoba meraih pundak Alvin yang hendak
duduk di sampingnya.
“Mamanya
Prissy,” jawab Alvin datar. Sivia mengernyitkan dahinya.
“Mamanya Prissy?
Emangnya ada apa?”
“Prissy sakit,
Vi. Terus tadi katanya dia pingsan.”
“Ya Tuhan…”
“Aku harus ke
sana sekarang! Aku pergi ya? Kamu gak apa-apa kan aku tinggal?” izinnya. Dan belum
sempat Sivia menyetujui kata-kata Alvin, Alvin langsung melangkah meninggalkan
Sivia begitu saja.
‘Tapi, Vin?”
gumam Sivia seraya meratapi langkah Alvin yang semakin menjauh. Ia menghela
napas gusar.
“Apakah ini
rasanya jadi selingkuhan? Selalu dan selalu dinomorduakan!” dumel Sivia pelan.
Lalu ia kembali duduk seraya menyambar minuman yang ia pesan sebelumnya bersama
Alvin.
“Lagian loe juga
sih pakai acara suka-sukaan segala sama cowok orang! Jadi gini kan ceritanya?
Loe yang sakit sendiri. Via, Via!!!”
***
“Sayang, kamu
gak apa-apa kan? Kamu bangun dong! Jangan bikin aku khawatir, sayang.” kata
Alvin sembari membelai pelan kening Prissy. Prissy masih tak bergeming.
“Tante, emang
Prissy sakit apa? Kok sampai pingsan kaya gini?” kini Alvin beralih ke samping
orang tua Prissy yang masih terduduk lemas melihat keadaan anaknya tersebut.
“Tante kurang
tau, Nak. Prissy cuma bilang kalau dia lagi gak enak badan. Mungkin dia
kecapekan, butuh istirahat lebih.” jawab mama Prissy apa adanya. Alvin
mengangguk paham.
“Tapi sama Alvin
kok Prissy gak pernah bilang kalau dia lagi sakit. Kalau tau kaya gitu, tadi
pagi aja Alvin larang dia buat gak ikut pelajaran olahraga.” keluh Alvin
sedikit menyesal. Namun tiba-tiba tangan Prissy pun bergerak dengan berusaha
menyentuh keningnya yang terasa sakit.
“Prissy?”
“Sayang…”
“Ma, Alvin
mana?” tanya Prissy saat matanya belum benar-benar terbuka. Alvin dan mamanya
pun mendekat.
“Ini Alvin,
sayang.”
“Aku di sini.”
kata Alvin lembut. Ia menyerahkan tangan kanannya ke ceweknya tersebut.
“Kamu jangan
tinggalin aku ya? Aku butuh kamu malem ini.”
“Iya, sayang.
Kamu jangan khawatir. Yang penting sekarang kamu istirahat dulu, kamu jangan
terlalu kecapekan. Biar cepet sembuh.” suruh Alvin manis. Prissy hanya
mengangguk manja ke arah cowoknya tersebut.
“Kamu nginep ya
di sini? Aku mohon,” Alvin tersenyum dan kemudian membelai kembali kening
Prissy.
“Makasih ya,
sayang. Alvin boleh nginep kan, ma?” tanya Prissy lagi. Kini giliran mamanya
yang mengangguk.
“Makasih ya,
ma?”
“Iya, sayang. Sekarang
kamu istirahat dulu ya? Mama gak mau lihat kamu sakit kaya gini lagi.”
“Tante, Pris,
Alvin nelpon mama dulu ya? Mau ngasih tau kalau Alvin malem ini bakal nginep di
sini.” pinta Alvin ramah.
“Iya Nak Alvin.”
“Aku keluar
sebentar ya, sayang?” bisiknya kemudian di telinga Prissy. Prissy tersenyum
setelah sebelumnya ia mengangguk manja ke arah pacarnya itu. Lantas Alvin pun
segera pergi menuju tempat yang lebih personal lagi di luar sana.
“Ayo dong
angkat!” geramnya setelah cukup lama sambungan telepon yang Alvin tuju belum
juga diangkat. Ia mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah Prissy tersebut.
Dan sesekali langkahnya berhenti untuk menetralkan kegelisahan yang ia rasakan
saat itu.
“Hallo?” Alvin mendadak diam seribu
bahasa begitu suara di seberang sana menyahut. Wajahnya berubah tambah gelisah.
“Hallo? Are you there?” lagi-lagi suara
itu menyahut karena memang Alvin belum juga membalas sahutannya.
“Mulai sekarang
kita putus. Jangan hubungin aku lagi! Anggap aja kita gak pernah ada hubungan
apa-apa. Maafkan aku,” seperti orang kesurupan, Alvin langsung menutup
sambungan telepon tersebut setelah dengan teganya memutuskan sepihak hubungan
terlarangnya dengan seseorang di seberang sana. Ya, siapa lagi kalau bukan…
Sivia. Sedetik, Alvin menggenggam ponselnya erat-erat. Entah ia sendiri tidak
tau apa yang barusan dilakukannya tersebut. Matanya terpejam. Kesal.
“Maafkan aku,
Vi. Aku ngelakuin ini demi kamu dan demi Prissy juga. Karena aku gak mau suatu
saat nanti hubungan terlarang ini akan terbongkar. Aku terlalu sayang sama
Prissy. Tapi… aku juga gak mau kehilangan kamu. Arrrrrrgggggghhhh!!!” Alvin
mengacak rambutnya frustasi. Ia tak sempat berpikir terlebih dahulu apa yang
akan dirasakan Sivia kalau ia melakukan itu semua. Sakit? Pasti.
***
Sivia terduduk
lemas di samping tempat tidurnya. Matanya sudah tak kuasa lagi untuk membendung
butiran-butiran bening yang kini mengalir indah di kedua pipinya itu. Entah mimpi
apa Sivia semalam. Yang jelas sekarang dadanya begitu terasa sangat-sangat
sakit setelah beberapa detik ia mendengar putusan sepihak dari Alvin一pacar diam-diamnya.
“Kamu jahat,
Vin! Kamu jahat!!!” teriaknya sambil melempar apa saja yang ada di dekatnya
saat itu.
“Kenapa kamu gak
mau ngomongin masalah ini baik-baik dulu sama aku? Bukan gini caranya!”
ditatapnya layar ponsel yang sejak tadi digenggam begitu erat oleh Sivia.
“Kamu kok tega
banget sih sama aku, Vin?” Sivia mengambil sebuah figura yang sedang bertengger
manis di tempat dekat ia terduduk tersebut. Di sana, dua sosok manusia sedang
berangkulan seraya memamerkan deretan gigi putih mereka一Alvin dan Sivia.
“Aku tau, aku
memang selingkuhan kamu. Tapi bukan berarti kamu dengan seenaknya memutuskan
hubungan ini secara sepihak! Aku juga punya perasaan, Vin.” ia bermonolog
seakan sedang berbicara dengan Alvin yang nyata. Tangannya mulai gemetar.
“Sakit tau gak
diginiin sama kamu.” lirihnya semakin perlahan. Sivia terdiam sejenak. Entah
apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
“Apa semuanya
karena Prissy? Iya?! Apa karena Prissy itu pacar kamu yang nyata? Yang semua
orang tau. Ish! Terus kenapa kamu dulu maksa aku buat jadi pacar kamu, hah?!
Kamu jahat!!!” Sivia mengacak rambut panjangnya frustasi. Lalu kembali terdiam.
Kali ini cukup lama. Matanya selalu menatap lurus ke depan. Membayangkan
kembali pertama kali ia bertemu Prissy, bertemu Alvin, dan bertemu dengan kisah
cinta terlarangnya dengan cowok tersebut. Ia pun berdecak. Ternyata baru
sekarang bayang-bayang penyesalan itu kerkecimpung di kepala Sivia.
“Aku gak boleh
egois! Mungkin Alvin bener. Udah seharusnya hubungan terlarang ini aku akhiri.
Aku boleh sakit hati sama Alvin, tapi bukankah Prissy jauh lebih sakit hati
lagi kalau dia sampai tau dengan hubungan aku sama Alvin?” ungkapnya sendu.
Lantas ia melempar pelan figura yang dipegangnya ke bawah tempat tidur.
“Ish! Kenapa aku
gak pernah kepikiran selama ini? Aku udah keterlaluan banget sama Prissy,
sahabat aku sendiri. Dan aku tega-teganya nusuk dia dari belakang. Sahabat
macam apaan aku ini?! Inget Via, Prissy itu udah baik banget sama kamu!” kini
giliran foto Prissy yang ia pandang di layar ponselnya.
“Pris, maafin
aku. Aku tau aku salah. Dan aku ikhlas kok putus sama Alvin, karena seharusnya
memang begitu. Semoga kamu bisa terus bahagia sama Alvin tanpa ada
bayang-bayang semu dari aku.” lirihnya lagi.
“Tapi… aku udah
terlanjur sayang sama dia, Pris. Aaaaarrrrrrgggggghhhhhh!!!” Sivia
menelungkupkan wajahnya di atas lutut.
***
Kau
kan slalu tersimpan di hatiku
Meski
ragamu tak dapat kumiliki
Jiwaku
kan slalu bersamamu
Meski
kau tercipta bukan untukku
Alvin berjalan
sedikit gancang setelah ia memakirkan sepeda motornya. Napasnya sedikit
memburu. Dan sesekali arloji yang melingkar di tangan kirinya pun dilirik penuh
gusar. Sepertinya hari ini Alvin telat masuk pelajaran pertama.
“Ah, sial!”
gerutunya begitu ia teringat akan sesuatu. Lantas ia kembali memutar badan ke
tempat semula一tempat parkir.
Dua kali lipat
dari sebelumnya Alvin melangkahkan kaki. Ternyata
efek dari bergadang karena bela-belain nonton bola itu seperti ini ya?
batinnya mendumal. Ia berbelok arah menuju motor yang diparkirkannya itu.
Tiba-tiba…
“Aduh!!!” ringis
seseorang saat beberapa detik Alvin muncul di antara persimpangan kelas dan
area parkiran. Ya, Alvin menabraknya tanpa sengaja sampai orang itu terjatuh. Respect, Alvin langsung menangkap
tubuhnya.
“Sori-sori gue
gak lihat.” pintanya seraya membangunkan orang tersebut.
“Iya gak apa-apa
kok.” Balas orang itu kemudian. Tiba-tiba Alvin mengernyitkan dahinya saat
melihat wajah orang yang ia tabrak.
“Via?”
“Alvin?”
“Maaf,” Alvin
pun langsung melepaskan pelukannya canggung. Raut wajahnya berubah salah
tingkah. Begitupun Sivia yang kini hanya bisa tersenyum paksa kepada cowok yang
ada di hadapannya tersebut.
“Gak apa-apa
kok. Permisi!” kata Sivia seraya pamit meninggalkan Alvin tanpa ada basa-basi
terlebih dahulu.
“Tunggu?” cegah
Alvin tiba-tiba. Tangan Sivia digenggamnya erat.
“Kenapa, Vin?”
tanya Sivia sebiasa mungkin. Alvin menarik napas gusar.
“Aku mau minta
maaf,” Sivia tersenyum datar mendengarnya.
“Buat?” tanya
Sivia bingung. Namun Alvin dengan segera memeluknya erat-erat. Tak perduli akan
ada yang melihatnya atau tidak. Sivia mencoba menolak, tapi dekapan tangan
Alvin lebih kuat darinya. Keduanya terdiam.
“Aku mohon
jangan lakuin ini lagi sama aku, aku takut Prissy tau. Toh kita udah gak ada
hubungan apa-apa lagi kan? Jadi aku mohon sama kamu, Vin. Aku duluan, permisi!”
pamit Sivia begitu Alvin melepaskan pelukannya. Lantas Alvin hanya bisa
memandang punggung Sivia dengan perasaan yang susah dijelaskan.
“Astaga!”
gertaknya kemudian begitu mengingat akan sesuatu.
***
“Vi, gila ya si
Alvin sama Prissy so sweet banget!
Parah!!!” ceriwis Ify di pinggir lapangan basket sekolahnya. Mereka berdua
sedang menonton tim basket dan tim cheers
sekolah mereka yang lagi latihan di sela-sela istirahat pelajaran.
“Prissy
perhatian banget ya sama Alvin? Sampai repot-repot buat bawain semua kebutuhan
Alvin.”
“Alvin juga
keren! Udah ketua OSIS, kapten tim basket, pinter juga. Perfect banget sih loe jadi orang!” lagi-lagi Ify mengoceh di
samping sahabatnya tersebut.
“Menurut loe
mereka gimana, Vi?” tanya Ify kemudian. Tapi tak ada respon dari orang yang
ditanyanya itu.
“Via?” Sivia
tetap diam. Pandangannya selalu tertuju pada dua sosok manusia yang sedang berdiri
di dekat tiang ring basket一Alvin
dan Prissy.
“Vi, loe
dengerin gue gak sih dari tadi?” kesal Ify yang kata-katanya tak direspon oleh
Sivia.
“Viiiiiiaaaaaa!!!”
“Eh iya ada apa,
Fy? Gak usah teriak-teriak juga kali!” kaget Sivia begitu Ify berteriak tepat
di telinganya. Kontan membuat Sivia buyar dari lamunan panjangnya.
“Abisnya loe
diem mulu dari tadi. Mulut gue sampai berbusa gini loe tetep aja gak ngerespon.
Mikirin apa sih loe?” Sivia langsung nyengir. Lalu mengangkat kedua jari
telunjuk dan jari tengahnya bersamaan. Ify mendengus.
“Sori gue
ngelamun. Loe tadi ngomong apaan, Fy?”
“Udah basi!”
“Gitu aja
ngambek. Jelek loe jelek!”
“Biarin!”
“Tuh kan jelek
beneran? Nah lho!” ledek Sivia seraya menggoda sahabatnya itu.
“Bodo!”
“Ya udah gue
minta maaf deh. Maaf ya?”
“Gak mau! Harus
ada syaratnya.”
“Ih gitu ya
sekarang?”
“Bodo amat!”
“Oke-oke! Apa
syaratnya?”
“Beliin gue
minum. Yayaya?”
“What? Beliin loe minum? Males ah! Gue
udah PW di sini.” tolak Sivia halus. Ify berdecak.
“Ya udah sini
gue yang beli.” kata Ify seraya meminta uang ke Sivia layaknya anak kecil.
“Thank you!” lanjutnya setelah beberapa
detik menerima lembaran berharga yang diberikan Sivia. Lantas Sivia menggeleng
maklum. Lalu ia kembali terdiam ke posisi semula. Di mana ia dengan seriusnya
memandangi sosok cowok yang dulu sempat singgah di relung hatinya.
“Meski aku gak
bisa lagi berada di sisi kamu, tapi nama kamu akan selalu ada di sini. Sampai
kapanpun.” yakin Sivia seraya menyentuh dadanya perlahan. Ia melihat Alvin
sedang tertawa di samping Prissy. Dan tanpa sengaja Alvin melihat Sivia sedang
memandanginya. Perlahan, ia tersenyum manis. Tanpa sepengetahuan Prissy
tentunya.
“Dan meskipun
kita jauh, tapi aku merasa kita selalu bersama. Entah kenapa aku bisa merasa
seperti itu. Ada yang salahkah dengan perasaanku ini? Apa aku terlalu obsesi
untuk jadi kekasihnya Alvin selamanya? Tapi itu gak mungkin! Alvin udah punya
orang lain. Punya sahabatku sendiri, Prissy.” gumamnya tak henti memandang
Alvin dan Prissy bergantian.
“Inget Vi,
inget! Kamu udah pernah melakukan kesalahan sama Prissy dan itu cukup satu
kali. Biarkan perasaan ini terus ada di sini.” lagi-lagi ia menyentuh dadanya
perlahan. Meyakinkan dirinya dengan penuh teguh.
“Toh kamu juga
bisa hidup tanpa Alvin kan, Vi? Dan anggap aja Alvin itu teman biasa, gak
pernah ada hubungan apa-apa sama kamu.” ungkap Sivia pada dirinya sendiri.
Namun kemudian ia terdiam sejenak. Memalingkan pandangannya ke arah lain.
“Tapi apa aku
bisa lakuin itu? Sedangkan tiap hari aku selalu merasa ada Alvin di sini, di
samping aku.” Sivia memejamkan matanya kemudian.
“Tuh kan aku
lihat Alvin lagi, segitu aku udah merem. Ish!”
“Dor!!!” tiba-tiba
teriakan Ify berhasil membuat jantung Sivia pindah dari tempatnya. Sivia
menggeram sesaat. Menetralkan detakan jantungnya.
“Ifffyyyyyy!!!”
“Hahaha ampun
Vi, ampun!”
“Loe mau bikin
gue mati duduk?”
“Maaf gue
sengaja hehehe. Lagian loe kerjaannya ngelamun mulu dari tadi, awas loe
kesurupan.” kata Ify ikut duduk di samping Sivia.
‘Nih minumnya!
Maaf ya lama.”
“Makasih, Fy.”
“Loe ngelamunin
siapa sih? Heran gue hari ini sama loe.” Sivia menggeleng.
“Terus loe
kenapa ngelamun mulu?”
“Gue gak
kenapa-kenapa kok. Udah ah, balik kelas yuk?” ajak Sivia sambil membangunkan
paksa tubuh Ify. Baru saja ia duduk sebentar, malah ditinggal begitu saja.
‘Ya udah deh.”
balas Ify pasrah. Lantas mengikuti langkah sahabatnya itu dari belakang.
***
Tuhan…
Berikan
aku hidup satu kali lagi
Hanya
untuk bersamanya
Ku
mencintainya, sungguh mencintainya
Mentari tersenyum
ramah. Panasnya pun tak terlalu menyengat siang itu. Karena ia selalu mengintip
manja di balik putihnya awan. Cerah.
Tiga orang di
salah satu rumah sedang berdiskusi di sebuah meja yang ukurannya tak terlalu
besar itu. Mereka terlihat sibuk dengan beradu ide untuk membuat kerajinan
tangan yang terbuat dari bahan tanah liat. Satu di antara mereka merupakan juru
bicara yang sejak tadi tak henti-hentinya bersuara di depan kedua temannya yang
memang lebih memilih diam dan menuruti saran si juru bicara tersebut. Entah itu
karena terpaksa atau karena sudah kehabisan ide lain? Entahlah.
“Gimana kalau
kita bikin arca Candi Borobudur aja? Kan lumayan gampang tuh. Gimana?” usul
Sivia yang kini mulai angkat bicara. Prissy ikut mengangguki. Sedangkan si juru
bicara tadi一Ify一masih berpikir sejenak untuk menerima usul salah
satu sahabatnya tersebut. Dan akhirnya ia mengangguk menyetujui.
“Oke, ide bagus
tuh! Tapi apa di antara kalian ada yang bisa bikinnya?” mereka bertiga kembali
saling bertatapan.
“Gue bisa kok.”
tiba-tiba suara di balik pintu depan menyahuti. Lantas membuat Sivia, Prissy
dan Ify mengalihkan pandangannya ke arah pintu.
“Alvin?” ucap
Prissy sumringah. Alvin tersenyum lebar seakan dalam hatinya ia berkata, “Hai semuanya!”.
“Kamu kok mau
dateng ke sini gak bilang-bilang dulu sih?” lanjut Prissy yang kemudian
mendapatkan belaian lembut di kepalanya oleh Alvin. Mendadak, Sivia dan Ify
merasakan sesak napas. Terlebih Sivia yang faktanya pernah menjalankan hubungan
terlarang dengan Alvin. Dan semenjak Sivia dan Alvin putus, bahkan Sivia tidak
pernah bisa sedekat ini dengan Alvin begitu ada Prissy di sisinya.
“Emang kalau aku
mau main mesti bilang dulu ya sama kamu? Hmm…” balas Alvin heran. Prissy
menggelang manja.
“Enggak juga.
Hehehe.”
“Dasar kamu ini.
Oh iya, tadi katanya ada yang butuh perajin tangan buat bikin arca Candi
Borobudur ya? Gue bisa kok.”
“Nah kebetulan
banget nih ada Alvin. Eh, tapi seriusan loe bisa?” tanya Ify sedikit ragu.
“Gampang!” jawab
Alvin enteng seraya mengambil segumpal tanah yang sudah tersedia di atas meja.
Satu menit, dua menit, tiga menit dan seterusnya itu mereka一Sivia, Prissy dan Ify一hanya
bisa memandangi setiap lihai tangan Alvin dalam menyulap segumpal tanah liat
menjadi sesuatu yang mereka usulkan sebelumnya. Dan…
“Jadi deh!” kata
Alvin mantap. Cewek-cewek di sekitar Alvin pun langsung menatap kagum dengan
hasil yang telah Alvin buat. Keren banget!
“Sumpah demi apa
ini keren banget, Vin!” histeris Ify sambil meneliti setiap titik patung arca
Candi Borobudur tersebut.
“Sayang, itu
keren banget! Makasih ya?” Prissy memeluk erat tubuh Alvin dari samping. Alvin
tersenyum. Namun di antara mereka ada satu orang yang masih tak bergeming. Sivia.
Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Yang jelas ia belum mau angkat
bicara semenjak kedatangan Alvin ke rumah Prissy.
Sedetik, mata
mereka bertemu. Tiba-tiba rasa salah tingkah muncul begitu saja di antara
mereka. Sivia tersenyum sebisa mungkin, begitupun Alvin.
“Vi, menurut loe
ini bagus gak?” tanya Prissy minta saran. Sivia tak menjawab. Sepertinya ia
terlalu fokus memandangi Alvin yang jaraknya sangat dekat tersebut.
“Via?” tanyanya
lagi saat Sivia tak merespon.
“Eh iya kenapa,
Pris?” gelagap Sivia spontan. Prissy mengernyit seketika.
“Loe ngelamun,
Vi?” Sivia menggeleng.
“Nggak kok,
saking kagumnya gue lihat ini sampai gak denger loe manggil gue. Hehehe.” elak
Sivia seraya memegang hasil karya Alvin yang dipegang Prissy tersebut.
“Oh gitu.
Berarti ini bagus dong?” lantas Sivia mengangguk, begitupun Ify. Sedangkan
Alvin hanya tersenyum. Entah tersenyum karena apa. Ia kembali mencuri pandang
ke arah Sivia.
“Ya udah kalau
gitu gue siapin cemilan dulu ya?” izin Prissy sembari melangkah ke dapur
rumahnya.
“Nah dari tadi
kek siapin cemilannya, gue kan laper. Gue ikut, Pris!” heboh Ify kemudian.
Kontan membuat Alvin dan Sivia menggeleng melihat tingkah Ify itu. Dan seketika
hening pun mengembara. Tak ada sepatah dua patah kata keluar dari mulut mereka
yang kini duduk canggung dengan saling berhadapan. Sampai akhirnya Alvin
memberanikan diri untuk berbicara terlebih dulu.
“Kamu kok diem
mulu sih dari tadi? Ngobrol dong.” Sivia mendongakkan kepalanya perlahan dan
tersenyum tipis ke Alvin.
“Ngobrol?”
“Iya ngobrol.”
“Apa yang mau
diobrolin lagi, Vin?” tiba-tiba wajah Alvin berubah ekspresi saat perkataan itu
terlontar di bibir mungil Sivia. Entah kenapa seperti ada silet yang menyayat
hatinya pas mendengar kalimat tersebut.
“Maafin aku ya?”
ucapnya lirih.
“Buat?”
“Semuanya. Dulu
aku udah maksa kamu buat jadi pacar aku, padahal jelas-jelas aku udah punya
pacar.” kata Alvin lirih. Ia menatap Sivia dengan perasaan penuh bersalah.
“Dan parahnya
lagi aku tega putusin kamu secara sepihak. Maafin aku, Vi.”
“Kamu gak
sepenuhnya salah kok, Vin. Ini salah kita berdua. Dan aku juga paham posisi
kamu seperti apa. Jadi kamu gak usah minta maaf lagi. Aku udah ikhlasin
semuanya kok.” ucap Sivia sambil tersenyum dan mengusap punggung tangan Alvin
yang tak jauh dengan tempatnya duduk.
“Makasih banyak
ya, Vi. Aku bangga sama kamu. Hmm… maaf juga karena aku masih ada rasa sayang
sama kamu.” bisiknya tiba-tiba. Sivia memejamkan matanya sekejap. Aku juga masih sayang banget sama kamu,
Vin. Tapi apakah kita masih bisa bersatu kembali? Terus Prissy? batin
Sivia.
“Tapi kita gak
bakal bisa bersatu lagi, Vin. Mungkin gak pernah bisa. Inget, masih ada Prissy
di samping kamu. Dia jauh lebih sayang sama kamu ketimbang aku.”
“Kalau aku
putusin Prissy, apa kamu mau balikan lagi sama aku?” tanya Alvin serius. Sivia
mendadak tak bergeming. Entah kenapa tenggorokannya terasa kering sekali begitu
mendengar perkataan Alvin tersebut. Apakah Sivia terlalu munafik jika menolak
tawaran cowok yang ada di dekatnya itu?
“Aku…”
“Taraaaaaa!!!”
heboh Prissy dan Ify kemudian. Di tangan mereka sudah tersedia berbagai makanan
dan minuman yang menggiurkan untuk disantap. Kontan membuat Alvin dan Sivia
kembali berjaga jarak dengan segera.
“Abis ngobrolin
apaan sih kalian? Kayanya seru banget deh.” tanya Prissy penasaran. Ia duduk
manja di samping Alvin.
“Gak ngobrolin
apa-apa kok, Pris. Tadi gue cuma nanya-nanya aja kalau Alvin belajar di mana
sampai bisa bikin kaya gini.” Sivia kembali meraih arca Candi Borobudur buatan
Alvin tadi. Prissy mengangguk paham.
“Bagi dong, Fy!
Makan sendiri aja dari tadi.” kata Sivia mencoba mengalihkan topik pembicaraan
Prissy.
“Iya nih gak
bagi-bagi.” sambung Alvin.
“Hehehe. Iya-iya
nih gue bagi.” mereka tertawa seketika. Syukurlah,
Prissy gak sampai curiga sama gue. Batin Sivia di sela-sela tawanya seraya kembali
melirik Alvin dengan tatapan sendu.
Sejenak, Alvin
merasakan pelukan Prissy yang begitu erat di badannya. Meski sedikit ragu,
tangannya pun mencoba merangkul tubuh cewek yang kini tertawa lepas di dadanya.
Lalu ia melirik Sivia perlahan.
“Gue ke toilet
dulu ya?” pamit Sivia buru-buru. Dadanya tiba-tiba sesak dan sulit untuk
bernapas meskipun sebentar. Tak lama kemudian Alvin pun izin.
“Bentar ya,
sayang. Aku mau cuci muka dulu, udah kucel nih. Soalnya tadi abis latihan basket
langsung ke sini.” ucap Alvin sambil melepaskan pelukannya.
“Ya udah kalau
gitu, aku juga mau foto-foto dulu deh sama Ify.” Alvin tersenyum. Lalu ia pergi
dari posisinya tersebut.
***
Rasa
ini sungguh tak wajar
Namun
kuingin tetap bersama dia
Untuk
selamanya
“Ya Tuhan,
kenapa perasaan itu masih ada di sini?” lirih Sivia dengan menyentuh dadanya
perlahan. Ia memejamkan mata kemudian.
“Inget Via, loe
udah putus sama Alvin! Alvin bukan siapa-siapa loe lagi. Alvin itu milik Prissy
dan loe gak ada hak buat ganggu hubungan mereka!” rutuknya pelan.
“Oke Via, kalau
loe emang masih suka sama Alvin, loe harusnya bahagia melihat Alvin bahagia
dengan orang lain. Ish! Ngomong apa sih gue? Arrrrrrgggggghhhhhh!!!” geramnya
kemudian.
“Via?” tiba-tiba
suara yang begitu Sivia kenali itupun memanggil di balik pintu toilet. Sivia
menarik napasnya berat. Lantas melangkah keluar toilet.
“Kenapa, Vin?”
tanyanya langsung.
“Kamu gak
kenapa-kenapa kan?”
“Lho, emangnya
aku kenapa?”
“Vi…” Alvin
memeluk erat tubuh Sivia dengan tiba-tiba tanpa meminta persetujuan cewek
cantik tersebut.
“Lepasin aku, Vin.
Kamu jangan nekad! Gimana kalau Prissy sampai tau?” gumamnya lirih. Alvin tak
menggubris.
“Vin, aku
mohon.”
“Beri aku
kesempatan buat aku memeluk kamu. Untuk sekali ini aja. Aku mohon sama kamu dan
aku janji kalau selanjutnya aku akan berusaha untuk tidak mengganggumu lagi.”
ucap Alvin pelan.
“Tapi, Vin?”
“Aku sayang
kamu…” gumam Alvin. Sivia pun memasrahkan tubuhnya di dada bidang milik mantan
kekasihnya itu一mantan kekasih gelap
tepatnya.
“Kita udah gak
pantes lagi kaya gini, Vin.” lirih Sivia kemudian.
“Aku tau Vi, aku
tau. Tapi jujur, aku masih sayang sama kamu dan aku menyesal pernah putusin
kamu.”
“Vin?”
“Kamu mau kan
jadi pacar aku lagi? Please…”
“Aku gak bisa.
Aku gak mau nusuk Prissy dari belakang untuk kedua kalinya, Vin. Prissy sahabat
aku, cukup sekali aku berbuat salah sama dia. Keputusan kamu mutusin aku itu
gak salah, Vin. Jadi kamu gak perlu menyesal. Karena akulah yang harusnya tau
diri. ” rutuk Sivia. Lagi-lagi Alvin tak menggubris perkataan cewek yang ada di
depannya tersebut. Ia lebih memilih memandang wajahnya lekat-lekat.
“Lihat aku,
lihat mataku! Kamu masih sayang sama aku kan, Vi? Jujur!” Sivia menggeleng.
Sinar matanya mendadak berubah. Sejenak, Alvin membuang napasnya kesal.
“Kamu bohong,
Vi!”
“Aku gak bohong,
aku jujur. Aku emang udah gak sayang lagi sama kamu, Vin.” Alvin mendecak.
“Via, please…” mohonnya kemudian. Melihat itu,
Sivia hanya bisa memejamkan matanya kuat-kuat. Bingung harus berbuat apa. Di
satu sisi, ia memang masih memendam rasa sayang sama Alvin bahkan jauh lebih
dari kata sayang semata. Dan di satu sisi lagi, ia tidak tega kalau harus
menusuk Prissy untuk kedua kalinya. Walaupun selama ini Prissy tidak pernah tau
akan hubungan terlarang mereka, tapi bukankah sebuah bangkai yang meski
dipendam sedalam mungkin itu akan tercium juga pada akhirnya? Dan itu fakta.
“Aku…” tanpa
banyak berkata, Sivia kembali memasrahkan tubuhnya di dada Alvin. Entah itu
adalah sebuah jawaban dari permintaan Alvin tadi ataukah hanya sekedar
penolakan dari Sivia yang memang secara halus? Bisa jadi.
***
Mengapa
cinta ini terlarang?
Saat
kuyakini kaulah milikku
Mengapa
cinta kita tak bisa bersatu?
Saat
kuyakin tak ada cinta selain dirimu
Alvin dan
Prissy. Setahun setelah mereka lulus dari SMA, mereka memutuskan untuk
melanjutkan hubungannya ke jenjang yang lebih serius. Pertunangan. Di mana
sekarang Alvin dan Prissy berdiri bahagia sambil menerima berbagai ucapan dan
doa dari para tamu undangan. Mereka berdua sudah resmi menjadi pasangan
tunangan yang syah setelah keduanya saling bertukar cincin di hadapan para
orang tua dan sahabat-sahabatnya yang sekarang maupun yang dulu. Tak terkecuali
Sivia dan Ify yang juga turut datang atas undangan spesial yang diberikan Alvin
dan Prissy pada mereka.
“Kalau tau endingnya bakal seperti ini, kenapa dulu
aku harus ketemu kamu? Kenapa dulu aku sampai jatuh cinta sama kamu? Kenapa
dulu dengan mudahnya aku membiarkan kamu terkunci di relung hati ini sampai
sekarang? Dan kenapa dulu aku gak pernah berpikir sama sekali akan semua ini?!”
bentak Sivia dalam hatinya. Tangan mungilnya berusaha menetralkan detak
jantungnya yang sudah tak karuan. Ia begitu sesak melihat dua insan yang kini
tersenyum manis dengan pakaian serba putih yang mereka kenakan malam itu.
“Vin, bukankah
dulu kamu pernah bilang sama aku kalau kamu gak akan pernah tunangan sama orang
lain kecuali sama aku? Iya kan?” ucapnya kemudian sambil terus memandangi wajah
berseri mantan kekasihnya dahulu. Memang, sampai sekarang Sivia belum bisa
menghilangkan nama Alvin dalam hatinya. Jangankan menghilangkan, menghapus
sedikit demi sedikitpun ia tak sanggup. Seorang Alvin terlalu indah dilupakan
olehnya meskipun ia tau benar kalau hubungannya sama Alvin dulu itu hanyalah sebuah
cinta terlarang. Tapi faktanya Sivia tak pernah menghiraukan itu. Rasa sayang
dan cintanya sama Alvin begitu besar, meski ia sadar kalau itu adalah perasaan
yang salah. Sangat salah bahkan.
“Via… kamu harus
bisa lupain Alvin! Kamu pasti bisa!” tegas Sivia tiba-tiba. Ia langsung
menghapus genangan air yang hampir jatuh di sudut matanya. Lalu ia bergegas
sambil memberi petuah-petuah untuk dirinya sendiri.
“Lupakan kalau
Alvin adalah cowok satu-satunya yang ada di hati kamu! Lupakan kalau Alvin
adalah cowok satu-satunya yang sangat kamu cintai sampai sekarang! Lupakan
kalau Alvin adalah cowok satu-satunya yang kamu harapkan untuk selamanya dalam
hidup kamu! Dan harus kamu ingat sekarang, Alvin adalah tunangan Prissy! Gak
ada hak sama sekali buat kamu ganggu hubungan mereka lagi! Selamanya, Vi.
Camkan itu!” Sivia mengeratkan genggaman tangannya begitu langkah kakinya
mendekat ke arah Alvin dan Prissy yang kini tersenyum melihat kedatangannya一terlebih Prissy. Sivia tersenyum sebisa mungkin dan
semanis mungkin. Meski rasanya lemas sekali untuk terus melangkah, namun Sivia
tetap berusaha kuat. Ia menarik napas perlahan.
“Prissssssyyyyyy!!!
Selamat ya! Duh akhirnya loe tunangan juga sama Alvin. Seneng deh gue lihat
kalian, cakep sama cantik banget! Cocok parah pokoknya! Longlast ya?” heboh Sivia sembari bercipika-cipiki ria dengan
sahabat baiknya itu.
“Makasih ya,
Via. Loe juga cantik banget kok malem ini. Suer, gue gak bohong! Hehehe. Amin
ya Tuhan. Loe juga cepet-cepet nyusul kita ya?” goda Prissy kemudian. Sivia
hanya mengerjapkan salah satu matanya. Sedangkan Alvin sejak tadi berdiam diri
seribu bahasa. Entah ia harus bicara apa saat itu. Bingung.
“Selamat ya,
Vin? Semoga langgeng terus sampai nikah nanti. Sampai tua juga deh pokoknya.
Dan loe harus inget, jangan pernah sakiti sahabat gue sedikitpun! Kalau itu
sampai terjadi, loe urusan sama gue!” ancam Sivia yang sontak membuat Alvin dan
Prissy tertawa. Lalu Alvin mengangguk dan bercipika-cipiki juga dengan Sivia.
“Kesalahan yang
sama jangan sampai terulang lagi untuk kedua kalinya. Jaga dan sayangi Prissy
seperti kamu menjaga dan menyayangi dia sebelum ada aku.” bisik Sivia tanpa
Prissy ketahui. Lagi, genangan air itu kembali menghiasi sudut matanya.
“Kalau orang
lain bilang, aku bahagia melihat kalian berdua bahagia. Ya, itu kalimat yang
munafik menurut aku. Tapi sebisa mungkin akan aku coba untuk menelan
mentah-mentah kalimat tersebut, Vin. Demi kamu dan demi Prissy. Sekali lagi
selamat ya?” Alvin tak bergeming sama sekali. Kata-kata Sivia barusan membuat
lidahnya terasa kaku. Bahkan bernapas pun sulit untuk Alvin lakukan.
“Loe kok nangis
sih, Vi?” tanya Prissy saat Sivia membalikan wajahnya.
“Gue gak nangis,
gue cuma terharu lihat kalian tunangan. Udah, itu aja.”
“Ih, Via so sweet banget deh.” ucap Prissy kembali
memeluk Sivia erat. Sedangkan Alvin masih belum bisa menetralkan lidahnya yang
terasa kelu. Bahkan kini bukan hanya lidahnya yang kelu, kakinya pun terasa
lemas. Sangat lemas.
“Tapi maaf
banget ya gue gak bisa lama-lama di sini. Gue mau ada urusan lain nih, gak
apa-apa kan?’ pamit Sivia merasa tak enak hati.
“Lho kok gitu
sih? Emang gak bisa diundur ya, Vi?” Sivia menggeleng dengan tatapan menyesal.
“Hmm… ya udah
deh gak apa-apa kok. Makasih ya udah dateng? Sini gue peluk lagi!” lagi-lagi
mereka berpelukan.
“Makasih ya udah
dateng?” ucap Alvin akhirnya. Empat kata yang begitu membuat hati Sivia
terenyuh. Sivia tersenyum.
Sedetik, sebelum
Sivia benar-benar melangkah pergi meninggalkan pesta pertunangan sahabatnya
itu. Ia mematung, memandang sekali lagi Alvin dan Prissy. Memandang bagaimana
rasanya menjadi mereka yang kini bagai Raja dan Ratu di sebuah istana. Meskipun
itu hanyalah sebuah pertunangan. Tapi pertunangan tetaplah pertunangan, ada
satu ikatan yang tidak mudah untuk diputuskan begitu saja.
Dan tiba-tiba Sivia merasakan jantungnya
hilang entah ke mana saat Alvin dengan lekatnya memandang mata Sivia penuh
arti. Lantas ia melambaikan tangan dan berbalik arah dengan perasaan yang
bercampur aduk. Kecewa? Bangga? Terharu? Sedih? Atau bahagia? Entahlah. Terlalu
sulit untuk Sivia artikan dalam sekejap. Butuh waktu yang lama untuk mencerna
lebih dalam perasaan yang ia rasakan saat itu. Saat melihat Alvin dan Prissy. Ending
yang tak pernah Sivia duga sebelumnya.