@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Minggu, 20 Oktober 2013

Cinta Terlarang


“Maafkan aku, aku gak bisa mempertahankan hubungan ini. Aku mohon kamu mengerti dengan keadaanku.” lirih seorang pemuda di hadapan gadis yang kini tak kuasa lagi menahan laju air matanya. Bola matanya pun memerah.
“Aku gak mau pisah sama kamu, aku gak mau! Please, jangan tinggalin aku!” balas gadis tersebut tak kalah lirih. Sesaat, pemuda itu memejamkan matanya berat. Tak kuasa memandang mata sendu gadis tersebut yang begitu menyayat hati jika terlalu lama dipandang. Lantas memeluknya begitu erat.
“Kamu gak mau ninggalin aku kan, sayang? Kamu bercanda kan? Ayo jawab!” pemuda itu tak bergeming. Ia membiarkan sang gadis memukul-mukul dada bidangnya. Namun semua itu tak berlaku lama, sang gadis kembali memeluk erat pemuda tadi. Seakan tak mau kehilangan untuk sekejap pun.
“Sayang, kamu harus mengerti dan paham dengan semua ini. Aku juga sebenernya gak mau pisah sama kamu, tapi keadaanlah yang memaksa kita untuk berpisah. Dan ini merupakan resiko kita yang pernah kita omongkan saat kita pertama kali berhubungan. Kamu ingat kan?”
“Tapi semua ini terlalu cepat buat aku!”
“Selama apapun kita menjalankan hubungan ini, yang ada kita tambah sakit dengan kenyataan yang memang harus kita hadapi di akhir nanti. Karena itulah aku menyudahi hubungan ini, aku gak mau menyakiti kamu lebih dari ini.”
“Kamu beneran mau ninggalin aku?” gadis tersebut menatap marah pemuda yang menyentuh kedua pipinya itu. Suaranya mulai melemah.
“Ini memang seharusnya terjadi, maafkan aku.”
“Kalau memang kamu sayang sama aku, kenapa kamu gak mau mempertahankan hubungan kita? Kenapa kamu gak mau pertahanin aku? Kenapa?!”
“Maafkan aku, aku mengaku salah.” pemuda itu menunduk.
“Aku benci sama kamu! Aku benci!!!” lalu sang gadis berlari tak tentu arah. Meninggalkan kekasihnya sendirian begitu saja. Ralat! Mantannya.

***


Puluhan cewek-cewek berkerumun di depan mading yang memang baru saja menerbitkan tema terbarunya di siang itu. Artis idola! Ya, tema madingnya kali ini. Ada sebagian di antara mereka yang histeris karena gambar artis favoritnya terpampang jelas di sana. Dan ada juga yang risih dengan pemandangan tersebut, bahkan tak mau sama sekali ada niatan untuk ikut melihat mading bersama anak-anak yang lain. Salah satunya yaitu cewek penghuni kelas XII IPS 2 ini yang lebih memilih diam di kelas ketimbang ikut nimbrung tak jelas di depan mading. Wajahnya terlihat lesu.
“Vi, keluar yuk? Bosen gue di kelas mulu.” ajak salah seorang teman dari si cewek tadi sedikit memohon.
“Loe duluan aja deh, gue gak enak badan nih.” ungkapnya malas. Cewek itu bernama Sivia. Lantas Ifysahabatnya Sivia tersebutmembuang napas perlahan.
“Loe sakit, Vi? Ya udah kalau gitu kita ke UKS aja ya? Entar loe malah tambah parah kalau didiemin.”
“Ya udah deh,” ucap Sivia nurut. Ify pun langsung menggandengnya keluar kelas.
“Semalem loe abis ngapain sih? Begadang ya?” Sivia menggeleng langsung.
“Terus?”
“Gue abis melek, Fy.”
“Ya sama aja bego!”
“Oh gitu ya? Kira gue melek sama begadang itu beda. Hehehe.” Ify menyenggol pelan pundak Sivia.
“Mau ngapain emang loe melek, Vi? Gantiin satpan rumah loe?”
“Enak aja! Gue nonton film di laptop, Fy. Filmnya keren banget lho, tentang cinta terlarang gitu.” jelas Sivia antusias. Ify hanya membulatkan mulutnya sambil menganggukan kepala.
“Oh ya? Kalau gitu boleh dong entar gue nonton di rumah loe?” Sivia mengangkat bahu seakan bilang, “Why not?”.
“Asik!” mereka berdua pun akhirnya sampai di dalam ruangan UKS sekolah yang tak jauh dari kelas mereka tadi. Sejenak, Sivia dan Ify duduk untuk melepas lelah. Lantas membuka laci obat yang tersedia di sana.
“Mau cari obat apa?” tanya seorang cowok yang ternyata salah satu anggota PMR sekaligus Ketua Osis yang sebentar lagi akan turun jabatan itu. Sivia dan Ify tersentak seketika. Wajar saja karena cowok tersebut muncul tiba-tiba di hadapan mereka.
“Oh ini, nyari obat pusing.” jawab Sivia gugup seraya menunjukkan obat yang ia pegang.
“Loe bikin kaget aja deh. Untung kita gak jantungan.” ujar Ify sambil tak henti mengusap dadanya berulang kali.
“Oh, maaf kalau gitu. Gue gak niat buat ngagetin kalian kok.” katanya ramah. Lalu ia tersenyum.
“Sayang, ke kelas yuk? Bentar lagi aku ada pelajaran Bu Della, killer’s teacher itu lho?” ajak sorang cewek yang baru saja keluar di dalam ruangan istirahat UKS.
“Eh ada kalian, kok ada di sini sih? Siapa yang sakit?” tanyanya saat menyadari ada Sivia dan Ify di sana.
“Gue anter Via minta obat di sini, Pris.” jawab Ify. Sivia hanya tersenyum ke arah cewek tersebut, Prissy. Dan cowok tadi adalah Alvin, kekasihnya. Pasangan yang katanya terpopuler di SMA Adiyasha. Serta pasangan yang terlihat sangat-sangat mesra di manapun dan kapanpun mereka berdua berada. Prissy mendekat ke hadapan Sivia perlahan.
“Loe sakit apa, Vi?”
“Cuma pusing doang kok, Pris. Ini juga udah nemu obatnya.” kemudian Prissy tersenyum.
“Ya udah deh kalau gitu cepet sembuh ya, Vi? Gue sama Alvin ke kelas duluan. Bye!” pamit Prissy sambil menggandeng mesra tangan Alvin. Sedangkan Alvin hanya melempar senyum dengan tatapan mata yang tak bisa diartikan ke arah Sivia dan Ify.
Thanks, Pris! Hati-hati ya?” balas Sivia ramah. Ify ikut melambaikan tangan. MerekaPrissy dan Alvinlagi-lagi tersenyum sambil berlalu meninggalkan UKS.
“Mereka so sweet banget ya, Vi? Pengen deh punya pacar kaya Alvin,”
“Emang ada yang mau gitu sama loe? Hahaha.”
“Sialan loe! Kesannya gue jelek banget ya sampai gak ada yang mau sama gue?! Ish!” Ify menekuk raut wajahnya kesal.
“Ish! Tambah jelek aja loe kalau lagi ngambek, Fy.”
“Bodo!”
“Entar gak laku beneran lho? Mau loe gak laku?” goda Sivia sembari mencubit salah satu pipi milik sahabatnya tersebut.
“Viiiiiiaaaaaa!!!” geram Ify kesal.
“Ya udah makanya senyum dong senyum! Biar kelihatan cantik kaya personil Blink yang bisa ciptain lagu itu lho?”
“Yayaya tau kok tau! Nih gue senyum,” Sivia pun langsung merangkul Ify manja.
“Nah gitu dong!”
“Kak Ify!” panggilan nyaring dari luar UKS mengagetkan kedua cewek tersebut. Terlebih Ify yang memang namanya lah yang disebut. Ify mengernyit sejenak.
“Siapa yang manggil?” bisiknya ke Sivia.
“Mana gue tau!” lantas mereka berjalan ke arah sumber suara dengan penuh heran. Di sana, seorang cowok berdiri santai dengan kotak berwarna hijau yang dipegangnya sambil senyum ke arah Ify dan Sivia yang menghampirinya.
“Siapa ya?” tanya Ify langsung. Bukannya menjawab, cowok tersebut malah menyodorkan kotak miliknya ke Ify. Ify memandang Sivia sejenak. Sedangkan Sivia hanya mengangkat bahu.
“Ini apaan?”
“Buka aja, kak!”
“Bentar! Jangan bilang loe mau ngerjain gue?” terka Ify sambil mundur satu langkah.
“Enggak kok kak, ini kado dari aku buat kak Ify. Bukannya kemarin kak Ify ulang tahun ya?”
“Udah terima aja lagi, Fy. Rejeki loe tuh!” suruh Sivia dengan mendorong paksa tangan Ify untuk menerima kotak dari cowok tersebut.
“Selamat ulang tahun ya, kak!” ucapnya setelah beberapa detik Ify menyentuh kotak pemberiannya. Lantas ia beranjak pergi sambil senyum-senyum tak jelas.
“Hei, tunggu!” cowok itu tak menggubris.
“Cieee yang dapet kado dari fans. Hahaha.” ledek Sivia antusias. Namun Ify tak merespon, ia terlalu fokus menatap si pemberi kado yang ia pegang tersebut. Siapa sih dia? batinnya.

***


“Kamu sakit apa?”
“Tadi pagi kan aku udah bilang sama kamu, aku cuma pusing doang kok.”
“Beneran cuma pusing? Terus sekarang gimana?”
“Udah agak mendingan,”
“Syukurlah kalau gitu. Maaf ya aku gak bisa nemenin kamu pas di UKS, tau sendiri kan situasinya kaya apa?”
“Gak apa-apa kok, aku ngerti. Cuma aku…”
“Cuma apa? Kamu cemburu?” cewek itu mengangguk perlahan. Sedangkan si cowok malah menyunggingkan senyum manisnya sambil menarik tubuh cewek di sampingnya tersebut ke dalam pelukannya.
“Aku tetap sayang kok sama kamu. Kamu jangan khawatir ya? Toh itu resiko kita menjalani hubungan ini. Jadi kamu yang sabar ya?” cewek itu tersenyum sambil memasrahkan tubuhnya di dada bidang si cowok.

Sivia. Ya, cewek itu Sivia! Dan cowok yang berada di sampingnya tersebut adalah Alvin, kekasih Prissysahabat karibnya sejak pertengahan kelas X dulu. Mereka berdua memang pacaran sejak setahun setengah yang lalu, saat Sivia menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di SMA Adiyasha sebagai murid baru. Di situlah Sivia kenal Prissy yang notabenenya adalah teman pertama yang ia kenal di sekolah tersebut. Prissy sangat baik menyambut Sivia di kelasnya, selalu membantu Sivia dalam beradaptasi di lingkungan sekolah barunya itu. Dan bahkan Sivia diajak duduk bersama dan diikutsertakan dalam segala organisasi apapun yang Prissy terlibat di dalamnya. Lantas kedekatan mereka tersebut itulah yang membuat pamor Sivia  semakin luas dikenal oleh para penghuni SMA Adiyasha. Dan karena Prissy juga Sivia mengenal Alvin. Segala hal tentang Alvin.

Alvin, selaku penyandang title most wanted saat itu memang berhasil memikat hati Sivia. Begitupun sebaliknya. Mereka merasakan ada getaran hebat bergejolak di dada mereka saat pertama kali mereka bertatap muka dan berjabat tangan. Bahkan tak jarang mereka salah tingkah begitu mereka tanpa sengaja bertemu pandang di saat sedang bermain atau hanya sekedar mengobrol bertiga dengan Prissy. Sampai suatu hari Alvin dan Sivia memutuskan untuk menjalin hubungan terlarang di antara mereka. Mereka berpacaran tanpa sepengetahuan Prissy. Entah siapa yang salah kalau sudah begini? Yang jelas mereka sudah terlanjur jauh melangkah menuju jurang yang mereka buat sendiri. Dan tak tau sampai kapan mereka harus begini. Lalu bukankah semua yang ditutup-tutupi akan terbuka juga suatu saat nanti? Entahlah.
“Aku capek kalau terus-terusan begini, Vin. Aku ingin terus terang sama Prissy.” kata Sivia tiba-tiba. Alvin pun membangunkan Sivia dari sandarannya.
“Aku mohon jangan lakuin itu, Vi. Aku gak mau nyakitin Prissy. Aku masih gak tega,” jawab Alvin khawatir.
“Tapi aku udah gak tahan kalau terus-terusan bersembunyi dari Prissy. Aku merasa bersalah sama dia. Dan nyatanya memang aku salah.” Sivia menghela napas beratnya.
“Kamu gak salah kok, Vi. Ini semua karena aku yang minta. Coba dulu aku gak maksa kamu buat jadi pacar aku, mungkin semuanya gak akan seperti ini.” jelas Alvin yakin. Lantas Sivia menyentuh lembut bahu cowoknya tersebut.
“Kita salah,” ucapnya.
“Dan kita akan menanggung resikonya bersama-sama.” Alvin pun mengangguk dan memberikan senyuman termanis yang dimilikinya.
“Sekarang sih kita jalanin aja dulu. Oke?” kata Alvin seraya mengusap lembut ubun-ubun Sivia.
“Via? Alvin?” tanya seseorang heran. Sontak membuat Alvin dan Sivia kaget setengah mati. Karena yang kini ada di hadapan mereka itu adalah…
“Prissy?”
“Kalian lagi ngapain di sini? Kok belum pulang?” tanya Prissy penasaran. Alvin menatap Sivia bingung.
“Gue sama Alvin lagi diskusi masalah OSIS, Pris. Iya kan, Vin?” jawab Sivia sekenanya. Alvin mengangguk mengiyakan.
“Kamu katanya mau pulang duluan, sayang? Tapi kok jam segini masih ada di sekolah sih?” tanya balik Alvin mencoba menepis rasa penasaran Prissy kepadanya.
“Oh ini, aku tadi di panggil ke ruang guru sama Bu Silmy. Suruh merekap nilai ulangan anak kelas X.” jelas Prissy sesantai mungkin meski ada rasa yang mengganjal dalam hatinya.
“Ya udah kalau gitu aku anter pulang ya?” tawar Alvin manis.
“Emang urusan kamu sama Via udah kelar? Lanjutin aja kalau emang belum kelar sih, aku gak apa-apa kok pulang sendiri.”
“Udah kok, Pris. Kalian pulang duluan aja, gue mau nunggu Ify dulu.”
“Emang Ify belum pulang ya, Vi?”
“Belum, Pris. Dia lagi ada urusan penting sama adik kelas katanya.”
“Oh gitu.” respon Prissy.
“Ya udah kalau gitu gue sama Prissy pulang duluan ya, Vi?” ucap Alvin seraya menyentuh pundak Sivia penuh arti. Mereka berkomunikasi lewat tatapan mata.
“Iya, Vin.”
“Duluan ya?” Sivia hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Alvin dan Prissy yang sudah berada di atas motor tersebut.
“Maafin gue, Pris.” gumamnya kemudian. Lantas ia langsung pergi meninggalkan tempat parkir sekolahnya itu. Maklum, tadi Sivia berbohong tentang Ify yang masih ada di sekolah. Padahal sudah jelas-jelas Ify sempat izin pulang terlebih dahulu padanya sebelum Sivia bertemu dengan Alvin di pojok area parkir sekolah.

***


Tangan Alvin langsung bergetar hebat begitu ia mendengar kabar buruk tentang Prissy dari salah satu orang rumah melalui ponselnya. Ia memejamkan matanya kuat-kuat sambil mendecak kesal. Karena sebelumnya ia tau kalau Prissy meminta Alvin datang ke rumah untuk menemani pacarnya tersebut yang memang sedang sakit, namun ia dengan cepat menolak. Alvin bilang kalau dirinya sedang ada urusan penting di rumah dan tidak bisa ditinggalkan untuk sekejap pun. Tapi semua itu hanyalah alasan semata. Karena faktanya sekarang Alvin sedang asyik menikmati makan malam indahnya bersama Sivia di sebuah restoran.

Alvin kembali mendecak begitu melihat Sivia menampakan wajah bingungnya. Lalu ia mendekati cewek tersebut dengan langkah gontai.
“Siapa yang nelpon, Vin?” tanya Sivia penasaran. Ia mencoba meraih pundak Alvin yang hendak duduk di sampingnya.
“Mamanya Prissy,” jawab Alvin datar. Sivia mengernyitkan dahinya.
“Mamanya Prissy? Emangnya ada apa?”
“Prissy sakit, Vi. Terus tadi katanya dia pingsan.”
“Ya Tuhan…”
“Aku harus ke sana sekarang! Aku pergi ya? Kamu gak apa-apa kan aku tinggal?” izinnya. Dan belum sempat Sivia menyetujui kata-kata Alvin, Alvin langsung melangkah meninggalkan Sivia begitu saja.
‘Tapi, Vin?” gumam Sivia seraya meratapi langkah Alvin yang semakin menjauh. Ia menghela napas gusar.
“Apakah ini rasanya jadi selingkuhan? Selalu dan selalu dinomorduakan!” dumel Sivia pelan. Lalu ia kembali duduk seraya menyambar minuman yang ia pesan sebelumnya bersama Alvin.
“Lagian loe juga sih pakai acara suka-sukaan segala sama cowok orang! Jadi gini kan ceritanya? Loe yang sakit sendiri. Via, Via!!!”

***


“Sayang, kamu gak apa-apa kan? Kamu bangun dong! Jangan bikin aku khawatir, sayang.” kata Alvin sembari membelai pelan kening Prissy. Prissy masih tak bergeming.
“Tante, emang Prissy sakit apa? Kok sampai pingsan kaya gini?” kini Alvin beralih ke samping orang tua Prissy yang masih terduduk lemas melihat keadaan anaknya tersebut.
“Tante kurang tau, Nak. Prissy cuma bilang kalau dia lagi gak enak badan. Mungkin dia kecapekan, butuh istirahat lebih.” jawab mama Prissy apa adanya. Alvin mengangguk paham.
“Tapi sama Alvin kok Prissy gak pernah bilang kalau dia lagi sakit. Kalau tau kaya gitu, tadi pagi aja Alvin larang dia buat gak ikut pelajaran olahraga.” keluh Alvin sedikit menyesal. Namun tiba-tiba tangan Prissy pun bergerak dengan berusaha menyentuh keningnya yang terasa sakit.
“Prissy?”
“Sayang…”
“Ma, Alvin mana?” tanya Prissy saat matanya belum benar-benar terbuka. Alvin dan mamanya pun mendekat.
“Ini Alvin, sayang.”
“Aku di sini.” kata Alvin lembut. Ia menyerahkan tangan kanannya ke ceweknya tersebut.
“Kamu jangan tinggalin aku ya? Aku butuh kamu malem ini.”
“Iya, sayang. Kamu jangan khawatir. Yang penting sekarang kamu istirahat dulu, kamu jangan terlalu kecapekan. Biar cepet sembuh.” suruh Alvin manis. Prissy hanya mengangguk manja ke arah cowoknya tersebut.
“Kamu nginep ya di sini? Aku mohon,” Alvin tersenyum dan kemudian membelai kembali kening Prissy.
“Makasih ya, sayang. Alvin boleh nginep kan, ma?” tanya Prissy lagi. Kini giliran mamanya yang mengangguk.
“Makasih ya, ma?”
“Iya, sayang. Sekarang kamu istirahat dulu ya? Mama gak mau lihat kamu sakit kaya gini lagi.”
“Tante, Pris, Alvin nelpon mama dulu ya? Mau ngasih tau kalau Alvin malem ini bakal nginep di sini.” pinta Alvin ramah.
“Iya Nak Alvin.”
“Aku keluar sebentar ya, sayang?” bisiknya kemudian di telinga Prissy. Prissy tersenyum setelah sebelumnya ia mengangguk manja ke arah pacarnya itu. Lantas Alvin pun segera pergi menuju tempat yang lebih personal lagi di luar sana.
“Ayo dong angkat!” geramnya setelah cukup lama sambungan telepon yang Alvin tuju belum juga diangkat. Ia mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah Prissy tersebut. Dan sesekali langkahnya berhenti untuk menetralkan kegelisahan yang ia rasakan saat itu.
Hallo?” Alvin mendadak diam seribu bahasa begitu suara di seberang sana menyahut. Wajahnya berubah tambah gelisah.
Hallo? Are you there?” lagi-lagi suara itu menyahut karena memang Alvin belum juga membalas sahutannya.
“Mulai sekarang kita putus. Jangan hubungin aku lagi! Anggap aja kita gak pernah ada hubungan apa-apa. Maafkan aku,” seperti orang kesurupan, Alvin langsung menutup sambungan telepon tersebut setelah dengan teganya memutuskan sepihak hubungan terlarangnya dengan seseorang di seberang sana. Ya, siapa lagi kalau bukan… Sivia. Sedetik, Alvin menggenggam ponselnya erat-erat. Entah ia sendiri tidak tau apa yang barusan dilakukannya tersebut. Matanya terpejam. Kesal.
“Maafkan aku, Vi. Aku ngelakuin ini demi kamu dan demi Prissy juga. Karena aku gak mau suatu saat nanti hubungan terlarang ini akan terbongkar. Aku terlalu sayang sama Prissy. Tapi… aku juga gak mau kehilangan kamu. Arrrrrrgggggghhhh!!!” Alvin mengacak rambutnya frustasi. Ia tak sempat berpikir terlebih dahulu apa yang akan dirasakan Sivia kalau ia melakukan itu semua. Sakit? Pasti.

***


Sivia terduduk lemas di samping tempat tidurnya. Matanya sudah tak kuasa lagi untuk membendung butiran-butiran bening yang kini mengalir indah di kedua pipinya itu. Entah mimpi apa Sivia semalam. Yang jelas sekarang dadanya begitu terasa sangat-sangat sakit setelah beberapa detik ia mendengar putusan sepihak dari Alvinpacar diam-diamnya.
“Kamu jahat, Vin! Kamu jahat!!!” teriaknya sambil melempar apa saja yang ada di dekatnya saat itu.
“Kenapa kamu gak mau ngomongin masalah ini baik-baik dulu sama aku? Bukan gini caranya!” ditatapnya layar ponsel yang sejak tadi digenggam begitu erat oleh Sivia.
“Kamu kok tega banget sih sama aku, Vin?” Sivia mengambil sebuah figura yang sedang bertengger manis di tempat dekat ia terduduk tersebut. Di sana, dua sosok manusia sedang berangkulan seraya memamerkan deretan gigi putih merekaAlvin dan Sivia.
“Aku tau, aku memang selingkuhan kamu. Tapi bukan berarti kamu dengan seenaknya memutuskan hubungan ini secara sepihak! Aku juga punya perasaan, Vin.” ia bermonolog seakan sedang berbicara dengan Alvin yang nyata. Tangannya mulai gemetar.
“Sakit tau gak diginiin sama kamu.” lirihnya semakin perlahan. Sivia terdiam sejenak. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
“Apa semuanya karena Prissy? Iya?! Apa karena Prissy itu pacar kamu yang nyata? Yang semua orang tau. Ish! Terus kenapa kamu dulu maksa aku buat jadi pacar kamu, hah?! Kamu jahat!!!” Sivia mengacak rambut panjangnya frustasi. Lalu kembali terdiam. Kali ini cukup lama. Matanya selalu menatap lurus ke depan. Membayangkan kembali pertama kali ia bertemu Prissy, bertemu Alvin, dan bertemu dengan kisah cinta terlarangnya dengan cowok tersebut. Ia pun berdecak. Ternyata baru sekarang bayang-bayang penyesalan itu kerkecimpung di kepala Sivia.
“Aku gak boleh egois! Mungkin Alvin bener. Udah seharusnya hubungan terlarang ini aku akhiri. Aku boleh sakit hati sama Alvin, tapi bukankah Prissy jauh lebih sakit hati lagi kalau dia sampai tau dengan hubungan aku sama Alvin?” ungkapnya sendu. Lantas ia melempar pelan figura yang dipegangnya ke bawah tempat tidur.
“Ish! Kenapa aku gak pernah kepikiran selama ini? Aku udah keterlaluan banget sama Prissy, sahabat aku sendiri. Dan aku tega-teganya nusuk dia dari belakang. Sahabat macam apaan aku ini?! Inget Via, Prissy itu udah baik banget sama kamu!” kini giliran foto Prissy yang ia pandang di layar ponselnya.
“Pris, maafin aku. Aku tau aku salah. Dan aku ikhlas kok putus sama Alvin, karena seharusnya memang begitu. Semoga kamu bisa terus bahagia sama Alvin tanpa ada bayang-bayang semu dari aku.” lirihnya lagi.
“Tapi… aku udah terlanjur sayang sama dia, Pris. Aaaaarrrrrrgggggghhhhhh!!!” Sivia menelungkupkan wajahnya di atas lutut.

***


Kau kan slalu tersimpan di hatiku
Meski ragamu tak dapat kumiliki
Jiwaku kan slalu bersamamu
Meski kau tercipta bukan untukku


Alvin berjalan sedikit gancang setelah ia memakirkan sepeda motornya. Napasnya sedikit memburu. Dan sesekali arloji yang melingkar di tangan kirinya pun dilirik penuh gusar. Sepertinya hari ini Alvin telat masuk pelajaran pertama.
“Ah, sial!” gerutunya begitu ia teringat akan sesuatu. Lantas ia kembali memutar badan ke tempat semulatempat parkir.

Dua kali lipat dari sebelumnya Alvin melangkahkan kaki. Ternyata efek dari bergadang karena bela-belain nonton bola itu seperti ini ya? batinnya mendumal. Ia berbelok arah menuju motor yang diparkirkannya itu. Tiba-tiba…
“Aduh!!!” ringis seseorang saat beberapa detik Alvin muncul di antara persimpangan kelas dan area parkiran. Ya, Alvin menabraknya tanpa sengaja sampai orang itu terjatuh. Respect, Alvin langsung menangkap tubuhnya.
“Sori-sori gue gak lihat.” pintanya seraya membangunkan orang tersebut.
“Iya gak apa-apa kok.” Balas orang itu kemudian. Tiba-tiba Alvin mengernyitkan dahinya saat melihat wajah orang yang ia tabrak.
“Via?”
“Alvin?”
“Maaf,” Alvin pun langsung melepaskan pelukannya canggung. Raut wajahnya berubah salah tingkah. Begitupun Sivia yang kini hanya bisa tersenyum paksa kepada cowok yang ada di hadapannya tersebut.
“Gak apa-apa kok. Permisi!” kata Sivia seraya pamit meninggalkan Alvin tanpa ada basa-basi terlebih dahulu.
“Tunggu?” cegah Alvin tiba-tiba. Tangan Sivia digenggamnya erat.
“Kenapa, Vin?” tanya Sivia sebiasa mungkin. Alvin menarik napas gusar.
“Aku mau minta maaf,” Sivia tersenyum datar mendengarnya.
“Buat?” tanya Sivia bingung. Namun Alvin dengan segera memeluknya erat-erat. Tak perduli akan ada yang melihatnya atau tidak. Sivia mencoba menolak, tapi dekapan tangan Alvin lebih kuat darinya. Keduanya terdiam.
“Aku mohon jangan lakuin ini lagi sama aku, aku takut Prissy tau. Toh kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi kan? Jadi aku mohon sama kamu, Vin. Aku duluan, permisi!” pamit Sivia begitu Alvin melepaskan pelukannya. Lantas Alvin hanya bisa memandang punggung Sivia dengan perasaan yang susah dijelaskan.
“Astaga!” gertaknya kemudian begitu mengingat akan sesuatu.

***


“Vi, gila ya si Alvin sama Prissy so sweet banget! Parah!!!” ceriwis Ify di pinggir lapangan basket sekolahnya. Mereka berdua sedang menonton tim basket dan tim cheers sekolah mereka yang lagi latihan di sela-sela istirahat pelajaran.
“Prissy perhatian banget ya sama Alvin? Sampai repot-repot buat bawain semua kebutuhan Alvin.”
“Alvin juga keren! Udah ketua OSIS, kapten tim basket, pinter juga. Perfect banget sih loe jadi orang!” lagi-lagi Ify mengoceh di samping sahabatnya tersebut.
“Menurut loe mereka gimana, Vi?” tanya Ify kemudian. Tapi tak ada respon dari orang yang ditanyanya itu.
“Via?” Sivia tetap diam. Pandangannya selalu tertuju pada dua sosok manusia yang sedang berdiri di dekat tiang ring basketAlvin dan Prissy.
“Vi, loe dengerin gue gak sih dari tadi?” kesal Ify yang kata-katanya tak direspon oleh Sivia.
“Viiiiiiaaaaaa!!!”
“Eh iya ada apa, Fy? Gak usah teriak-teriak juga kali!” kaget Sivia begitu Ify berteriak tepat di telinganya. Kontan membuat Sivia buyar dari lamunan panjangnya.
“Abisnya loe diem mulu dari tadi. Mulut gue sampai berbusa gini loe tetep aja gak ngerespon. Mikirin apa sih loe?” Sivia langsung nyengir. Lalu mengangkat kedua jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan. Ify mendengus.
“Sori gue ngelamun. Loe tadi ngomong apaan, Fy?”
“Udah basi!”
“Gitu aja ngambek. Jelek loe jelek!”
“Biarin!”
“Tuh kan jelek beneran? Nah lho!” ledek Sivia seraya menggoda sahabatnya itu.
“Bodo!”
“Ya udah gue minta maaf deh. Maaf ya?”
“Gak mau! Harus ada syaratnya.”
“Ih gitu ya sekarang?”
“Bodo amat!”
“Oke-oke! Apa syaratnya?”
“Beliin gue minum. Yayaya?”
What? Beliin loe minum? Males ah! Gue udah PW di sini.” tolak Sivia halus. Ify berdecak.
“Ya udah sini gue yang beli.” kata Ify seraya meminta uang ke Sivia layaknya anak kecil.
Thank you!” lanjutnya setelah beberapa detik menerima lembaran berharga yang diberikan Sivia. Lantas Sivia menggeleng maklum. Lalu ia kembali terdiam ke posisi semula. Di mana ia dengan seriusnya memandangi sosok cowok yang dulu sempat singgah di relung hatinya.
“Meski aku gak bisa lagi berada di sisi kamu, tapi nama kamu akan selalu ada di sini. Sampai kapanpun.” yakin Sivia seraya menyentuh dadanya perlahan. Ia melihat Alvin sedang tertawa di samping Prissy. Dan tanpa sengaja Alvin melihat Sivia sedang memandanginya. Perlahan, ia tersenyum manis. Tanpa sepengetahuan Prissy tentunya.
“Dan meskipun kita jauh, tapi aku merasa kita selalu bersama. Entah kenapa aku bisa merasa seperti itu. Ada yang salahkah dengan perasaanku ini? Apa aku terlalu obsesi untuk jadi kekasihnya Alvin selamanya? Tapi itu gak mungkin! Alvin udah punya orang lain. Punya sahabatku sendiri, Prissy.” gumamnya tak henti memandang Alvin dan Prissy bergantian.
“Inget Vi, inget! Kamu udah pernah melakukan kesalahan sama Prissy dan itu cukup satu kali. Biarkan perasaan ini terus ada di sini.” lagi-lagi ia menyentuh dadanya perlahan. Meyakinkan dirinya dengan penuh teguh.
“Toh kamu juga bisa hidup tanpa Alvin kan, Vi? Dan anggap aja Alvin itu teman biasa, gak pernah ada hubungan apa-apa sama kamu.” ungkap Sivia pada dirinya sendiri. Namun kemudian ia terdiam sejenak. Memalingkan pandangannya ke arah lain.
“Tapi apa aku bisa lakuin itu? Sedangkan tiap hari aku selalu merasa ada Alvin di sini, di samping aku.” Sivia memejamkan matanya kemudian.
“Tuh kan aku lihat Alvin lagi, segitu aku udah merem. Ish!”
“Dor!!!” tiba-tiba teriakan Ify berhasil membuat jantung Sivia pindah dari tempatnya. Sivia menggeram sesaat. Menetralkan detakan jantungnya.
“Ifffyyyyyy!!!”
“Hahaha ampun Vi, ampun!”
“Loe mau bikin gue mati duduk?”
“Maaf gue sengaja hehehe. Lagian loe kerjaannya ngelamun mulu dari tadi, awas loe kesurupan.” kata Ify ikut duduk di samping Sivia.
‘Nih minumnya! Maaf ya lama.”
“Makasih, Fy.”
“Loe ngelamunin siapa sih? Heran gue hari ini sama loe.” Sivia menggeleng.
“Terus loe kenapa ngelamun mulu?”
“Gue gak kenapa-kenapa kok. Udah ah, balik kelas yuk?” ajak Sivia sambil membangunkan paksa tubuh Ify. Baru saja ia duduk sebentar, malah ditinggal begitu saja.
‘Ya udah deh.” balas Ify pasrah. Lantas mengikuti langkah sahabatnya itu dari belakang.

***


Tuhan…
Berikan aku hidup satu kali lagi
Hanya untuk bersamanya
Ku mencintainya, sungguh mencintainya


Mentari tersenyum ramah. Panasnya pun tak terlalu menyengat siang itu. Karena ia selalu mengintip manja di balik putihnya awan. Cerah.

Tiga orang di salah satu rumah sedang berdiskusi di sebuah meja yang ukurannya tak terlalu besar itu. Mereka terlihat sibuk dengan beradu ide untuk membuat kerajinan tangan yang terbuat dari bahan tanah liat. Satu di antara mereka merupakan juru bicara yang sejak tadi tak henti-hentinya bersuara di depan kedua temannya yang memang lebih memilih diam dan menuruti saran si juru bicara tersebut. Entah itu karena terpaksa atau karena sudah kehabisan ide lain? Entahlah.
“Gimana kalau kita bikin arca Candi Borobudur aja? Kan lumayan gampang tuh. Gimana?” usul Sivia yang kini mulai angkat bicara. Prissy ikut mengangguki. Sedangkan si juru bicara tadiIfymasih berpikir sejenak untuk menerima usul salah satu sahabatnya tersebut. Dan akhirnya ia mengangguk menyetujui.
“Oke, ide bagus tuh! Tapi apa di antara kalian ada yang bisa bikinnya?” mereka bertiga kembali saling bertatapan.
“Gue bisa kok.” tiba-tiba suara di balik pintu depan menyahuti. Lantas membuat Sivia, Prissy dan Ify mengalihkan pandangannya ke arah pintu.
“Alvin?” ucap Prissy sumringah. Alvin tersenyum lebar seakan dalam hatinya ia berkata, “Hai semuanya!”.
“Kamu kok mau dateng ke sini gak bilang-bilang dulu sih?” lanjut Prissy yang kemudian mendapatkan belaian lembut di kepalanya oleh Alvin. Mendadak, Sivia dan Ify merasakan sesak napas. Terlebih Sivia yang faktanya pernah menjalankan hubungan terlarang dengan Alvin. Dan semenjak Sivia dan Alvin putus, bahkan Sivia tidak pernah bisa sedekat ini dengan Alvin begitu ada Prissy di sisinya.
“Emang kalau aku mau main mesti bilang dulu ya sama kamu? Hmm…” balas Alvin heran. Prissy menggelang manja.
“Enggak juga. Hehehe.”
“Dasar kamu ini. Oh iya, tadi katanya ada yang butuh perajin tangan buat bikin arca Candi Borobudur ya? Gue bisa kok.”
“Nah kebetulan banget nih ada Alvin. Eh, tapi seriusan loe bisa?” tanya Ify sedikit ragu.
“Gampang!” jawab Alvin enteng seraya mengambil segumpal tanah yang sudah tersedia di atas meja. Satu menit, dua menit, tiga menit dan seterusnya itu merekaSivia, Prissy dan Ifyhanya bisa memandangi setiap lihai tangan Alvin dalam menyulap segumpal tanah liat menjadi sesuatu yang mereka usulkan sebelumnya. Dan…
“Jadi deh!” kata Alvin mantap. Cewek-cewek di sekitar Alvin pun langsung menatap kagum dengan hasil yang telah Alvin buat. Keren banget!
“Sumpah demi apa ini keren banget, Vin!” histeris Ify sambil meneliti setiap titik patung arca Candi Borobudur tersebut.
“Sayang, itu keren banget! Makasih ya?” Prissy memeluk erat tubuh Alvin dari samping. Alvin tersenyum. Namun di antara mereka ada satu orang yang masih tak bergeming. Sivia. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Yang jelas ia belum mau angkat bicara semenjak kedatangan Alvin ke rumah Prissy.

Sedetik, mata mereka bertemu. Tiba-tiba rasa salah tingkah muncul begitu saja di antara mereka. Sivia tersenyum sebisa mungkin, begitupun Alvin.
“Vi, menurut loe ini bagus gak?” tanya Prissy minta saran. Sivia tak menjawab. Sepertinya ia terlalu fokus memandangi Alvin yang jaraknya sangat dekat tersebut.
“Via?” tanyanya lagi saat Sivia tak merespon.
“Eh iya kenapa, Pris?” gelagap Sivia spontan. Prissy mengernyit seketika.
“Loe ngelamun, Vi?” Sivia menggeleng.
“Nggak kok, saking kagumnya gue lihat ini sampai gak denger loe manggil gue. Hehehe.” elak Sivia seraya memegang hasil karya Alvin yang dipegang Prissy tersebut.
“Oh gitu. Berarti ini bagus dong?” lantas Sivia mengangguk, begitupun Ify. Sedangkan Alvin hanya tersenyum. Entah tersenyum karena apa. Ia kembali mencuri pandang ke arah Sivia.
“Ya udah kalau gitu gue siapin cemilan dulu ya?” izin Prissy sembari melangkah ke dapur rumahnya.
“Nah dari tadi kek siapin cemilannya, gue kan laper. Gue ikut, Pris!” heboh Ify kemudian. Kontan membuat Alvin dan Sivia menggeleng melihat tingkah Ify itu. Dan seketika hening pun mengembara. Tak ada sepatah dua patah kata keluar dari mulut mereka yang kini duduk canggung dengan saling berhadapan. Sampai akhirnya Alvin memberanikan diri untuk berbicara terlebih dulu.
“Kamu kok diem mulu sih dari tadi? Ngobrol dong.” Sivia mendongakkan kepalanya perlahan dan tersenyum tipis ke Alvin.
“Ngobrol?”
“Iya ngobrol.”
“Apa yang mau diobrolin lagi, Vin?” tiba-tiba wajah Alvin berubah ekspresi saat perkataan itu terlontar di bibir mungil Sivia. Entah kenapa seperti ada silet yang menyayat hatinya pas mendengar kalimat tersebut.
“Maafin aku ya?” ucapnya lirih.
“Buat?”
“Semuanya. Dulu aku udah maksa kamu buat jadi pacar aku, padahal jelas-jelas aku udah punya pacar.” kata Alvin lirih. Ia menatap Sivia dengan perasaan penuh bersalah.
“Dan parahnya lagi aku tega putusin kamu secara sepihak. Maafin aku, Vi.”
“Kamu gak sepenuhnya salah kok, Vin. Ini salah kita berdua. Dan aku juga paham posisi kamu seperti apa. Jadi kamu gak usah minta maaf lagi. Aku udah ikhlasin semuanya kok.” ucap Sivia sambil tersenyum dan mengusap punggung tangan Alvin yang tak jauh dengan tempatnya duduk.
“Makasih banyak ya, Vi. Aku bangga sama kamu. Hmm… maaf juga karena aku masih ada rasa sayang sama kamu.” bisiknya tiba-tiba. Sivia memejamkan matanya sekejap. Aku juga masih sayang banget sama kamu, Vin. Tapi apakah kita masih bisa bersatu kembali? Terus Prissy? batin Sivia.
“Tapi kita gak bakal bisa bersatu lagi, Vin. Mungkin gak pernah bisa. Inget, masih ada Prissy di samping kamu. Dia jauh lebih sayang sama kamu ketimbang aku.”
“Kalau aku putusin Prissy, apa kamu mau balikan lagi sama aku?” tanya Alvin serius. Sivia mendadak tak bergeming. Entah kenapa tenggorokannya terasa kering sekali begitu mendengar perkataan Alvin tersebut. Apakah Sivia terlalu munafik jika menolak tawaran cowok yang ada di dekatnya itu?
“Aku…”
“Taraaaaaa!!!” heboh Prissy dan Ify kemudian. Di tangan mereka sudah tersedia berbagai makanan dan minuman yang menggiurkan untuk disantap. Kontan membuat Alvin dan Sivia kembali berjaga jarak dengan segera.
“Abis ngobrolin apaan sih kalian? Kayanya seru banget deh.” tanya Prissy penasaran. Ia duduk manja di samping Alvin.
“Gak ngobrolin apa-apa kok, Pris. Tadi gue cuma nanya-nanya aja kalau Alvin belajar di mana sampai bisa bikin kaya gini.” Sivia kembali meraih arca Candi Borobudur buatan Alvin tadi. Prissy mengangguk paham.
“Bagi dong, Fy! Makan sendiri aja dari tadi.” kata Sivia mencoba mengalihkan topik pembicaraan Prissy.
“Iya nih gak bagi-bagi.” sambung Alvin.
“Hehehe. Iya-iya nih gue bagi.” mereka tertawa seketika. Syukurlah, Prissy gak sampai curiga sama gue. Batin Sivia di sela-sela tawanya seraya kembali melirik Alvin dengan tatapan sendu.

Sejenak, Alvin merasakan pelukan Prissy yang begitu erat di badannya. Meski sedikit ragu, tangannya pun mencoba merangkul tubuh cewek yang kini tertawa lepas di dadanya. Lalu ia melirik Sivia perlahan.
“Gue ke toilet dulu ya?” pamit Sivia buru-buru. Dadanya tiba-tiba sesak dan sulit untuk bernapas meskipun sebentar. Tak lama kemudian Alvin pun izin.
“Bentar ya, sayang. Aku mau cuci muka dulu, udah kucel nih. Soalnya tadi abis latihan basket langsung ke sini.” ucap Alvin sambil melepaskan pelukannya.
“Ya udah kalau gitu, aku juga mau foto-foto dulu deh sama Ify.” Alvin tersenyum. Lalu ia pergi dari posisinya tersebut. 

***


Rasa ini sungguh tak wajar
Namun kuingin tetap bersama dia
Untuk selamanya


“Ya Tuhan, kenapa perasaan itu masih ada di sini?” lirih Sivia dengan menyentuh dadanya perlahan. Ia memejamkan mata kemudian.
“Inget Via, loe udah putus sama Alvin! Alvin bukan siapa-siapa loe lagi. Alvin itu milik Prissy dan loe gak ada hak buat ganggu hubungan mereka!” rutuknya pelan.
“Oke Via, kalau loe emang masih suka sama Alvin, loe harusnya bahagia melihat Alvin bahagia dengan orang lain. Ish! Ngomong apa sih gue? Arrrrrrgggggghhhhhh!!!” geramnya kemudian.
“Via?” tiba-tiba suara yang begitu Sivia kenali itupun memanggil di balik pintu toilet. Sivia menarik napasnya berat. Lantas melangkah keluar toilet.
“Kenapa, Vin?” tanyanya langsung.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan?”
“Lho, emangnya aku kenapa?”
“Vi…” Alvin memeluk erat tubuh Sivia dengan tiba-tiba tanpa meminta persetujuan cewek cantik tersebut.
“Lepasin aku, Vin. Kamu jangan nekad! Gimana kalau Prissy sampai tau?” gumamnya lirih. Alvin tak menggubris.
“Vin, aku mohon.”
“Beri aku kesempatan buat aku memeluk kamu. Untuk sekali ini aja. Aku mohon sama kamu dan aku janji kalau selanjutnya aku akan berusaha untuk tidak mengganggumu lagi.” ucap Alvin pelan.
“Tapi, Vin?”
“Aku sayang kamu…” gumam Alvin. Sivia pun memasrahkan tubuhnya di dada bidang milik mantan kekasihnya itumantan kekasih gelap tepatnya.
“Kita udah gak pantes lagi kaya gini, Vin.” lirih Sivia kemudian.
“Aku tau Vi, aku tau. Tapi jujur, aku masih sayang sama kamu dan aku menyesal pernah putusin kamu.”
“Vin?”
“Kamu mau kan jadi pacar aku lagi? Please…”
“Aku gak bisa. Aku gak mau nusuk Prissy dari belakang untuk kedua kalinya, Vin. Prissy sahabat aku, cukup sekali aku berbuat salah sama dia. Keputusan kamu mutusin aku itu gak salah, Vin. Jadi kamu gak perlu menyesal. Karena akulah yang harusnya tau diri. ” rutuk Sivia. Lagi-lagi Alvin tak menggubris perkataan cewek yang ada di depannya tersebut. Ia lebih memilih memandang wajahnya lekat-lekat.
“Lihat aku, lihat mataku! Kamu masih sayang sama aku kan, Vi? Jujur!” Sivia menggeleng. Sinar matanya mendadak berubah. Sejenak, Alvin membuang napasnya kesal.
“Kamu bohong, Vi!”
“Aku gak bohong, aku jujur. Aku emang udah gak sayang lagi sama kamu, Vin.” Alvin mendecak.
“Via, please…” mohonnya kemudian. Melihat itu, Sivia hanya bisa memejamkan matanya kuat-kuat. Bingung harus berbuat apa. Di satu sisi, ia memang masih memendam rasa sayang sama Alvin bahkan jauh lebih dari kata sayang semata. Dan di satu sisi lagi, ia tidak tega kalau harus menusuk Prissy untuk kedua kalinya. Walaupun selama ini Prissy tidak pernah tau akan hubungan terlarang mereka, tapi bukankah sebuah bangkai yang meski dipendam sedalam mungkin itu akan tercium juga pada akhirnya? Dan itu fakta.
“Aku…” tanpa banyak berkata, Sivia kembali memasrahkan tubuhnya di dada Alvin. Entah itu adalah sebuah jawaban dari permintaan Alvin tadi ataukah hanya sekedar penolakan dari Sivia yang memang secara halus? Bisa jadi.

***


Mengapa cinta ini terlarang?
Saat kuyakini kaulah milikku
Mengapa cinta kita tak bisa bersatu?
Saat kuyakin tak ada cinta selain dirimu


Alvin dan Prissy. Setahun setelah mereka lulus dari SMA, mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungannya ke jenjang yang lebih serius. Pertunangan. Di mana sekarang Alvin dan Prissy berdiri bahagia sambil menerima berbagai ucapan dan doa dari para tamu undangan. Mereka berdua sudah resmi menjadi pasangan tunangan yang syah setelah keduanya saling bertukar cincin di hadapan para orang tua dan sahabat-sahabatnya yang sekarang maupun yang dulu. Tak terkecuali Sivia dan Ify yang juga turut datang atas undangan spesial yang diberikan Alvin dan Prissy pada mereka.
“Kalau tau endingnya bakal seperti ini, kenapa dulu aku harus ketemu kamu? Kenapa dulu aku sampai jatuh cinta sama kamu? Kenapa dulu dengan mudahnya aku membiarkan kamu terkunci di relung hati ini sampai sekarang? Dan kenapa dulu aku gak pernah berpikir sama sekali akan semua ini?!” bentak Sivia dalam hatinya. Tangan mungilnya berusaha menetralkan detak jantungnya yang sudah tak karuan. Ia begitu sesak melihat dua insan yang kini tersenyum manis dengan pakaian serba putih yang mereka kenakan malam itu.
“Vin, bukankah dulu kamu pernah bilang sama aku kalau kamu gak akan pernah tunangan sama orang lain kecuali sama aku? Iya kan?” ucapnya kemudian sambil terus memandangi wajah berseri mantan kekasihnya dahulu. Memang, sampai sekarang Sivia belum bisa menghilangkan nama Alvin dalam hatinya. Jangankan menghilangkan, menghapus sedikit demi sedikitpun ia tak sanggup. Seorang Alvin terlalu indah dilupakan olehnya meskipun ia tau benar kalau hubungannya sama Alvin dulu itu hanyalah sebuah cinta terlarang. Tapi faktanya Sivia tak pernah menghiraukan itu. Rasa sayang dan cintanya sama Alvin begitu besar, meski ia sadar kalau itu adalah perasaan yang salah. Sangat salah bahkan.
“Via… kamu harus bisa lupain Alvin! Kamu pasti bisa!” tegas Sivia tiba-tiba. Ia langsung menghapus genangan air yang hampir jatuh di sudut matanya. Lalu ia bergegas sambil memberi petuah-petuah untuk dirinya sendiri.
“Lupakan kalau Alvin adalah cowok satu-satunya yang ada di hati kamu! Lupakan kalau Alvin adalah cowok satu-satunya yang sangat kamu cintai sampai sekarang! Lupakan kalau Alvin adalah cowok satu-satunya yang kamu harapkan untuk selamanya dalam hidup kamu! Dan harus kamu ingat sekarang, Alvin adalah tunangan Prissy! Gak ada hak sama sekali buat kamu ganggu hubungan mereka lagi! Selamanya, Vi. Camkan itu!” Sivia mengeratkan genggaman tangannya begitu langkah kakinya mendekat ke arah Alvin dan Prissy yang kini tersenyum melihat kedatangannyaterlebih Prissy. Sivia tersenyum sebisa mungkin dan semanis mungkin. Meski rasanya lemas sekali untuk terus melangkah, namun Sivia tetap berusaha kuat. Ia menarik napas perlahan.
“Prissssssyyyyyy!!! Selamat ya! Duh akhirnya loe tunangan juga sama Alvin. Seneng deh gue lihat kalian, cakep sama cantik banget! Cocok parah pokoknya! Longlast ya?” heboh Sivia sembari bercipika-cipiki ria dengan sahabat baiknya itu.
“Makasih ya, Via. Loe juga cantik banget kok malem ini. Suer, gue gak bohong! Hehehe. Amin ya Tuhan. Loe juga cepet-cepet nyusul kita ya?” goda Prissy kemudian. Sivia hanya mengerjapkan salah satu matanya. Sedangkan Alvin sejak tadi berdiam diri seribu bahasa. Entah ia harus bicara apa saat itu. Bingung.
“Selamat ya, Vin? Semoga langgeng terus sampai nikah nanti. Sampai tua juga deh pokoknya. Dan loe harus inget, jangan pernah sakiti sahabat gue sedikitpun! Kalau itu sampai terjadi, loe urusan sama gue!” ancam Sivia yang sontak membuat Alvin dan Prissy tertawa. Lalu Alvin mengangguk dan bercipika-cipiki juga dengan Sivia.
“Kesalahan yang sama jangan sampai terulang lagi untuk kedua kalinya. Jaga dan sayangi Prissy seperti kamu menjaga dan menyayangi dia sebelum ada aku.” bisik Sivia tanpa Prissy ketahui. Lagi, genangan air itu kembali menghiasi sudut matanya.
“Kalau orang lain bilang, aku bahagia melihat kalian berdua bahagia. Ya, itu kalimat yang munafik menurut aku. Tapi sebisa mungkin akan aku coba untuk menelan mentah-mentah kalimat tersebut, Vin. Demi kamu dan demi Prissy. Sekali lagi selamat ya?” Alvin tak bergeming sama sekali. Kata-kata Sivia barusan membuat lidahnya terasa kaku. Bahkan bernapas pun sulit untuk Alvin lakukan.
“Loe kok nangis sih, Vi?” tanya Prissy saat Sivia membalikan wajahnya.
“Gue gak nangis, gue cuma terharu lihat kalian tunangan. Udah, itu aja.”
“Ih, Via so sweet banget deh.” ucap Prissy kembali memeluk Sivia erat. Sedangkan Alvin masih belum bisa menetralkan lidahnya yang terasa kelu. Bahkan kini bukan hanya lidahnya yang kelu, kakinya pun terasa lemas. Sangat lemas.
“Tapi maaf banget ya gue gak bisa lama-lama di sini. Gue mau ada urusan lain nih, gak apa-apa kan?’ pamit Sivia merasa tak enak hati.
“Lho kok gitu sih? Emang gak bisa diundur ya, Vi?” Sivia menggeleng dengan tatapan menyesal.
“Hmm… ya udah deh gak apa-apa kok. Makasih ya udah dateng? Sini gue peluk lagi!” lagi-lagi mereka berpelukan.
“Makasih ya udah dateng?” ucap Alvin akhirnya. Empat kata yang begitu membuat hati Sivia terenyuh. Sivia tersenyum.

Sedetik, sebelum Sivia benar-benar melangkah pergi meninggalkan pesta pertunangan sahabatnya itu. Ia mematung, memandang sekali lagi Alvin dan Prissy. Memandang bagaimana rasanya menjadi mereka yang kini bagai Raja dan Ratu di sebuah istana. Meskipun itu hanyalah sebuah pertunangan. Tapi pertunangan tetaplah pertunangan, ada satu ikatan yang tidak mudah untuk diputuskan begitu saja.

 Dan tiba-tiba Sivia merasakan jantungnya hilang entah ke mana saat Alvin dengan lekatnya memandang mata Sivia penuh arti. Lantas ia melambaikan tangan dan berbalik arah dengan perasaan yang bercampur aduk. Kecewa? Bangga? Terharu? Sedih? Atau bahagia? Entahlah. Terlalu sulit untuk Sivia artikan dalam sekejap. Butuh waktu yang lama untuk mencerna lebih dalam perasaan yang ia rasakan saat itu. Saat melihat Alvin dan Prissy. Ending yang tak pernah Sivia duga sebelumnya.





















Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR