Dua tahun yang lalu. . .
Air mata seakan sudah tak ada gunanya lagi bagi gadis remaja yang kini sedang duduk di balkon kamarnya di lantai dua itu. Gadis yang selama sebulan ini kerjanya hanya melamun tersebut seakan sudah tak bergairah lagi menjalani hidup. Terlalu lemah baginya untuk menjalani segala cobaan yang Tuhan berikan padanya. Ralat! Atau mungkin sudah bukan cobaan lagi yang ia terima, melainkan sebuah hukuman atas dosa yang pernah ia buat sendiri. Tapi, yang menjadi pertanyaan, kenapa hanya ia sendiri yang menanggung hukuman itu? Bukankah dosa itu ia lakukan berdua? Entahlah. Tuhan yang mempunyai rencana dari semua itu.
Lebih dari satu detik, gadis itu membuang napas. Pasrah. Mencoba menguatkan diri dari keterpurukannya selama ini. Lantas ia menunduk, melihat perutnya dan mengusap secara perlahan oleh tangan kanannya.
“Demi Tuhan, aku akan membiarkan anak ini lahir meski tanpa seorang ayah. Aku sudah terlanjur menanggung malu,” gumamnya parau. Walaupun ia berusaha untuk tidak berderai air mata, namun tetap saja di kedua pipinya telah tercipta sungai kecil dengan sendirinya.
“Dan demi Tuhan lagi aku berjanji, kalau suatu saat nanti si pengecut itu datang kembali untuk menemuiku dan darah dagingnya ini, aku gak akan sedikitpun membiarkan dia menyentuh anak ini. Camkan itu!” seraya meremas pelan pusaran perutnya, gadis ini pun merutuk. Merutuk untuk seseorang yang sudah membuatnya seperti sekarang. Mengurung diri di kamar selama sebulan. Mendengar omongan-omongan yang tidak mengenakan. Menerima berbagai macam amarah dari keluarga. Bahkan sampai putus sekolah meski tinggal setahun lagi ia melangkah. Siapa lagi kalau bukan kepada Alvin rutukan itu tertuju. Ya, Alvin. Mantan kekasihnya. Dan gadis itu tiada lain adalah Sivia.
Lalu belum sempat untuk Sivia menghapus bayang-bayang Alvin di benaknya, tiba-tiba suara ketukan pintu pun terdengar. Membuat gadis tersebut memejamkan mata dan dengan cepat menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya. Kemudian Sivia menarik napas panjang.
“Boleh aku masuk?” pinta seseorang saat kepalanya melongok setelah membuka pintu. Kebiasaan rutin yang orang itu lakukan saat berkunjung ke kamar Sivia. Mengetuk pintu, membuka, dan meminta izin masuk meskipun Sivia jarang berniat merespon ucapannya. Toh pada akhirnya Sivia selalu membiarkan orang itu masuk untuk melakukan apa yang diinginkan orang tersebut saat menemuinya.
Perlahan, derap langkah kaki itu terdengar semakin dekat di telinga Sivia.
“Hai,” sapa orang tersebut ramah. Walaupun Sivia hanya melirik saja, namun orang yang berjenis kelamin laki-laki itu tetap tersenyum. Mungkin sudah terbiasa mendapatkan respon yang sama dari Sivia. Ia pun ikut duduk di sampingnya. Memandang ke arah pepohonan rindang yang ada di pekarangan rumah gadis tersebut.
“Apa kabar?” lagi, pria itu berucap. Namun tetap Sivia tak merespon.
“Hmm. . . Oh iya, aku bawa sesuatu nih buat kamu. Aku mohon terima ya? Semoga kamu suka,” sekejap, meski sedikit ragu, Sivia lantas menerima kotak berwarna cokelat tua yang diberikan pria itu. Meski terpaksa karena melihat tatapan memohon dari pria yang duduk di sampingnya tersebut.
“Makasih,” ucap Sivia akhirnya. Meski datar, namun cukup membuat pria itu tersenyum manis.
Pria tampan itu bernama Mikka. Tetangga Sivia yang usianya terpaut tiga tahun di atasnya. Pria yang pernah menjadi cinta pertamanya waktu ia masih duduk di bangku SD. Dan pria yang bahkan selalu ada saat Sivia ingin mencurahkan isi hatinya dan saat Sivia terpuruk seperti yang sedang ia rasakan sekarang. Pokoknya Mikka adalah malaikat berwujud manusia yang Sivia punya saat ini. Meski ia sendiri belum berani berbicara atau hanya sekedar bilang terimakasih pada pria tersebut karena masih merasa malu, namun di hati Sivia selalu berharap kalau Mikka selalu ada di sisinya. Ya, selalu di sisinya tanpa harus pergi meninggalkan ia sendirian.
“Kak?” ucap Sivia tiba-tiba. Mikka refleks menengok.
“Ya? Kenapa, Vi?” tanya balik Mikka dengan tatapan mata prihatinnya yang ia pancarkan.
“Jangan tinggalin aku,” mohonnya seraya dengan kilat menyentuh jemari Mikka. Pria itu malah tersenyum. Entah pertanyaan konyol semacam apa yang ia dengar dari mulut Sivia. Dengan keadaan Sivia yang sedang terpuruk seperti ini, bagaimana bisa untuk Mikka meninggalkannya sendirian?
Lantas Mikka membuang napas. Tenang. Tentu seraya membalas remasan tangan Sivia yang cukup erat di jemarinya.
"Sivia, dengerin kak Mikka ya, dari dulu apa kak Mikka pernah ninggalin kamu sendirian? Belum pernah kan? Jadi sekarang kamu gak perlu khawatir kalau kak Mikka bakal pergi ninggalin kamu." ujarnya sangat lembut. Wajah Sivia pun ia raih dan ia arahkan menghadap wajahnya. Entah rasanya sesak sekali untuk Mikka menatap wajah gadis yang dulu terlihat selalu ceria, kini berubah drastis menjadi kesedihan yang amat mendera seperti saat ini.
"Janji?" setengah serak, Sivia bersuara dan membalas tatapan Mikka nanar. Mikka kembali membuang napas. Kini giliran tubuh Sivia yang ia raih ke dalam pelukannya.
"Kak Mikka gak bisa janji, karena kak Mikka takut kalau suatu saat nanti kak Mikka bakal ingkar janji. Tapi yang jelas, kak Mikka akan berusaha untuk selalu ada di dekat kamu, kapanpun kamu butuh kak Mikka." ucap Mikka yakin. Sivia pun terdiam, sudah tak ada lagi kata-kata yang mampu ia ucapkan detik ini. Pelukan dari Mikka itu cukup mewakilkan rasa damai yang ada di hatinya sekarang.
***
Langit cukup cerah sore ini. Awan pun masih terlihat putih. Mungkin akan selamanya seperti itu kalau ia tak pernah terkontaminasi oleh polusi udara yang bertebaran ke atas sana. Sejuk. Hanya saja tak ada sang mentari yang biasanya tampak gagah karena terhalang oleh awan-awan tebal yang kini seakan merajai angkasa.
Namun suasana hari saat ini seperti tak singkron dengan suasana hati dari seorang Alvin. Yang tepatnya kini sedang duduk sendiri di balkon kamarnya seraya menatap lurus ke depan. Wajahnya datar tanpa ekspresi secuil pun. Entah sindrom apa yang sedang mengutuk Alvin beberapa bulan ini, yang jelas Alvin seperti tak bergairah lagi menjalani hari-hari seperti biasanya. Tepat saat ia merengek meminta pindah rumah kepada kedua orangtuanya beberapa bulan yang lalu.
Dan baru saja ia hendak mengubah posisi duduknya supaya lebih nyaman, suara panggilan dalam ponselnya tiba-tiba berbunyi. Mario. Sebuah nama yang muncul di layar ponselnya saat Alvin dengan malas melirik ponsel tersebut yang sejak tadi tergeletak di atas meja. Lalu menghela napas terlebih dulu sebelum akhirnya ia menjamah ponsel miliknya itu.
"Ya?"
"......"
"Gue di rumah. Kenapa?"
"......"
"Males. Lain kali aja deh, Yo."
"......"
"Gak apa-apa, males aja."
"......"
"Hmm… iya."
Klik!
Alvin kembali melempar ponselnya ke tempat semula. Ternyata ajakan dari sepupunya untuk bermain basket di sekolah itu tidak berhasil membuat suasana hati Alvin berubah.Karena memang Alvin kembali seperti semula, memandang lurus dengan pikiran yang entah terbang ke mana. Mungkin ia sedang frustasi atau semacamnya sehingga bisa membuatnya seperti ini.
Lalu memejamkan mata kuat-kuat.
***
"Udah siap?" tanya seorang wanita paruh baya kepada Sivia. Pertanyaan yang entah harus ia jawab seperti apa. Karena sampai saat ini Sivia sendiri masih belum percaya dengan yang sedang ia alami sekarang.
"Aku…" lirihnya sembari menatap wanita paruh baya tadi di cermin. Wanita itu meresponnya dengan tersenyum. Lalu membimbing Sivia untuk bangun dari duduknya.
"Siap tidak siap, kamu harus tetap siap. Karena hari ini adalah hari bahagia kamu." ucap wanita tersebut sambil memegang kedua tangan Sivia. Lalu ditataplah tubuh gadis di depannya ini dari atas hingga bawah. Anggun. Gaun pengantin sederhana yang Sivia pakai ternyata berhasil mengubah sisi remaja Sivia menjadi wanita dewasa.
"Ayo turun, mereka sudah menunggu kamu di bawah." lanjut wanita tadi. Sivia pun hanya bisa mengangguk saja tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
Sedangkan di bawah, kurang lebih dua puluh orang sudah duduk rapi melingkari sebuah meja mini yang sudah dihuni oleh empat orang termasuk Mikka, selaku mempelai pria di hari pernikahannya ini bersama Sivia.
Dan dalam hitungan detik saja, semua mata tiba-tiba tertuju ke arah anak tangga yang sedang dituruni oleh Sivia dan mamanya. Mereka yang hadir di sana kompak terpesona dengan Sivia yang terlihat sangat-sangat cantik dan anggun sore ini. Terlebih Mikka yang sejak Sivia turun dari tangga sampai Sivia kini duduk di sampingnya, ia tidak sama sekali mengedipkan matanya sekejap pun. Seperti terkutuk dengan kecantikan calon isterinya tersebut.
Begitupun Sivia yang kini super gugup melihat suasana sekitar. Meski hanya dihadiri oleh keluarga besar dan sahabat sejatinya, tapi entah kenapa ia begitu bahagia dan terharu dengan semuanya. Apalagi yang sekarang duduk di sampingnya adalah Mikka, pelengkap salah satu sayapnya yang pernah patah diterjang badai dan pelengkap setengah hidupnya yang pernah mati di tangan orang lain.
Mereka pun saling pandang kemudian. Malu-malu. Bahkan mungkin mereka sama-sama tak percaya kalau detik ini mereka akan resmi menjadi suami isteri. Lalu tersenyum saat sang penghulu memanggil nama mereka berdua.
"Apakah nak Mikka dan nak Sivia sudah siap?" tanya sang penghulu lugas. Maka dengan tanpa ragu mereka pun mengangguk.
"Baiklah. Kita akan segera melakukan ijab qabul. Simak dan dengarkan baik-baik ucapan saya lalu ikuti setelah saya memberi genggaman erat di tangan Anda. Ingat! Dalam satu napas. Mengerti?" lagi, sang penghulu memberi penjelasan kepada mereka. Ralat! Kepada Mikka lebih tepatnya. Mikka pun dengan yakin mengangguk. Lalu menatap tajam ke arah sang penghulu. Yang entah kenapa hal itu berhasil merubah suasana menjadi lebih tegang dengan semua mata yang terfokus ke arah tangan Mikka dan sang penghulu.
"Bismillahirrohmanirrohim. Saya nikahkan dan kawinkan Mikka Aleandra bin Andy Aleandra dengan Sivia Mahendra binti Raja Mahendra dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang tunai sebesar duapuluh juta dibayar tunai!" ijab sang penghulu tegas.
"Saya terima nikah dan kawinnya Sivia Mahendra binti Raja Mahendra dengan mas kawin tersebut tunai!" qabul dari Mikka tak kalah tegas. Bahkan sampai menggema di setiap telinga orang yang mendengarkan.
Begitupun Sivia yang ikut menahan napas karena tegang. Kalimat-kalimat yang dulu sering ia dengar saat mengunjungi pesta pernikahan saudara-saudarinya, kini ia dengar kembali dengan menegangkannya. Jelas karena kalimat itu tertuju untuk dirinya sendiri.
"Syah?" tanya sang penghulu ke beberapa saksi dan orang-orang yang hadir di sana.
"Syaaaaaah!" balas mereka kompak.
"Alhamdulillah."
Mikka kemudian melirik ke arah Sivia yang kini tersenyum manis dengan sedikit genangan air kecil di sudut matanya.
"Tak perlu sedih lagi ya, karena mulai saat ini aku sudah menjadi ayah resmi dari bayi yang kamu kandung sekarang." bisik Mikka lembut sebelum akhirnya ia melayangkan kecupan di kening isteri syahnya itu. Sivia lagi-lagi tersenyum.
"Makasih kak. Aku janji akan selalu berusaha menjadi isteri yang baik dan tidak akan membuat kak Mikka kecewa." bisiknya pelan.
***
9 Bulan Kemudian.
Sivia terduduk lemas di sofa yang cukup empuk di ruang tamu seraya memegangi perutnya yang semakin membesar. Ia membuang napas perlahan setelah menyeka keringat di dahi karena membantu sang suami beres-beres di rumah barunya.
"Sayang, kamu kenapa? Capek ya? Tuh kan aku bilang juga apa, kamu gak usah repot-repot bawa ini itu, kamu kan lagi hamil, nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Udah istirahat aja di sini, biar aku aja yang beres-beres semuanya." ujar Mikka saat masuk ke dalam rumah dan mendapati isterinya sedang duduk lemas di sofa.
"Aku gak apa-apa kok sayang, cuma gerah aja. Aku kasihan aja sama kamu kerja sendirian, jadi aku bantu-bantu biar cepet selesai. Ya itung-itung sekalian olahraga gitu lho," respon Sivia santai. Membuat Mikka menggeleng resah melihatnya.
"Pokoknya gak boleh! Kamu duduk aja di sini sambil nonton tv, oke?" kata Mikka tegas. Setelah itu menyalakan televisi terlebih dulu sebelum akhirnya ia kembali angkat barang sana-sini demi membereskan isi rumahnya. Sedangkan Sivia hanya bisa pasrah dengan seruan dari suami tercintanya tadi.
Dan dengan susah payahnya Sivia pun mencoba mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, berusaha untuk tiduran sambil menonton acara televisi kesukaannya. Selain itu, dengan posisi seperti sekarang ini, Sivia dapat dengan mudah memandangi setiap gerak-gerik Mikka yang kadang terlihat lucu. Mondar-mandir, angkat ini itu, geser sana geser sini, dorong ke depan dorong ke belakang, bahkan sesekali menendang atau tidak sengaja menginjak barang-barang pribadinya sendiri. Yang otomatis membuat Sivia tak sungkan untuk tertawa. Parahnya, sampai lupa menonton acara televisi kesukaannya tadi.
***
"Oh iya Vin, entar kalau kita lulus SMA nanti, loe ada rencana gak buat kuliah di mana?" tanya Mario saat ia baru selesai membuka baju olahraganya di pinggir lapangan basket. Mereka berdua belum pulang sekolah karena ingin membuang lelah setelah latihan basket selama dua jam. Mendengar itu, Alvin yang tadinya sibuk memainkan ponsel pun langsung melirik ke arah sepupunya itu.
"Kuliah?" ujarnya dengan nada spontan.
"Iya, kuliah. Loe gak mau langsung kerja kan?" balas Mario dengan melontar pertanyaan skeptis di akhir kalimatnya.
"Gak tau. Gue belum kepikiran ke situ. Belajar dulu aja yang rajin, biar lulus." ceplos Alvin asal. Tetapi ada benarnya juga.
"Ya sih. Tapi kan apa salahnya planning?"
"Emang planning loe ke mana entar?"
"Hmm… gue pengen kuliah di UI ajalah, yang deket." ucap Mario sembari mengkhayalkan suasana kampus yang sedang diucapkannya tersebut.
"Loe?" lanjutnya. Sedangkan yang ditunjuk malah angkat bahu, seperti belum ada sedikitpun tujuan hidup yang melintas di benaknya.
"Gue gak pengen kuliah di sini, gue pengen cari yang beda. Di sini terlalu banyak pengalaman hina yang gue alami," ungkap Alvin yang kontan membuat Mario mengernyit kerap.
"Maksud loe?"
"Gak ada maksud. Intinya gue pengen cari yang beda." jelas Alvin setelah hampir saja ia membuka gerbang aibnya di depan Mario. Mario pun membulatkan mulut.
"Eh, astaga! Bukannya si Alyssa lagi nungguin kita di depan ya?" refleks Mario saat teringat sesuatu hal. Ya, Alyssa. Yang dua jam setengah yang lalu mengatakan mau menunggu Alvin dan Mario latihan basket demi bisa pulang bareng bertiga.
"Wah, bisa disemprot habis-habisan kita sama tuh anak." timpal Alvin sambil mengikuti Mario bangkit dari duduknya.
"Siapin mental aja. Hahaha." lalu mereka tertawa.
"Udah kebal gue saking seringnya disemprot sama anak kudanil itu,"
"Parah loe," respon Mario sambil terus berjalan menyusuri koridor menuju gerbang sekolah. Untuk menemui Alyssa tentu saja.
***
"Ah, akhirnya selesai juga." ungkap Mikka cukup tenang. Sembari merebahkan tubuhnya di samping Sivia yang kini setengah terlelap.
"Sayang, pindah ke kamar aja yuk?" ajak Mikka kemudian. Entah rasanya tidak tega untuk ia melihat Sivia tidur di sofa.
"Ayo aku bantu," ucapnya lagi. Namun Sivia belum balik merespon dengan kata-kata, ia hanya meringis saat bergerak bangun karena ada rasa sakit di sebagian perutnya.
"Arrrggghhh…"
"Kamu kenapa, sayang?"
"Sakit, arrrggghhh…"
"Sayang,"
"Perutku sakit kak, sepertinya aku mau melahirkan. Arrrggghhh!!!" Sivia lagi-lagi meringis sambil memegangi perutnya. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya, benar-benar sangat menyakitkan mungkin. Namun Mikka tak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa berusaha mengangkat Sivia bangun saking paniknya.
"Cepetan panggil ambulans kak, aku gak kuat!" ringis Sivia sambil meremas perut suaminya kali ini. Sampai tak terasa air ketubannya pecah dan membasahi bagian wilayah vitalnya. Sivia semakin meringis.
"Cepetan panggil ambulans!!! Kamu denger gak sih?!" cukup kesal dengan sikap suaminya yang sedari tadi masih belum peka dengan kondisi Sivia, ia pun membentak tanpa disadari. Membuat Mikka semakin panik.
"Iya-iya sebentar ya aku mau panggil ambulans dulu. Kamu yang kuat,"
"Cepetan! Aku gak kuat lagi,"
"Iya sabar dulu sayang, ini lagi dipanggil. Tahan ya," ujar Mikka ikut resah. Sesekali ia melirik Sivia karena takut isterinya melahirkan di tempat.
"Ya, halo?"
"......" setelah terhubung dengan kontak yang diinginkan, Mikka langsung memberika alamat lengkap rumahnya dan langsung mengurusi Sivia kembali setelah itu.
***
"Pokoknya gue mau ngambek sama loe berdua!!!" tukas Alyssa seraya melipat tangannya di dada. Mendengar itu, Alvin dan Mario yang sejak tadi tak henti-hentinya meminta maaf kepada Alyssa pun akhirnya terdiam pasrah.
"Yah, terpaksa deh gue buang duit banyak buat traktir nih anak. Nasib-nasib!" umpat Mario yang seakan sudah hafal betul apa yang harus ia lakukan supaya Alyssa tidak mengambek lagi kepadanya dan kepada Alvin.
"Siap-siap bensin juga buat antar jemput," timpal Alvin kemudian. Sedangkan Alyssa malah langsung tersenyum semanis mungkin begitu mengetahui kepekaan dari sahabat-sahabatnya tersebut.
"Okelah, gue bakal maafin loe berdua. Tapi inget ya, tradisi turunan gue mesti terkabul mulai besok selama dua hari."
"Iya Nyonya Alyssa!" koor mereka cukup gedek.
"Cakep! Kalau gitu ayo kita pulang, udah sore. Cabs!" ajak Alyssa santai. Lalu Alvin dan Mario mengikutinya dari belakang seraya mencibir tak jelas.
***
Disebuah ruangan yang serba putih, Sivia berteriak kesakitan tak hentinya.
"AAARRRGGGHHH!!!"
“Kamu yang kuat, sayang! Ayo, sedikit lagi! Aku yakin kamu bisa. Tarik napas yang panjang, buang pelan-pelan! Lagi, lakukan lagi seperti tadi.”
Mikka berkomando penuh semangat. Meski rasa tak tega di dalam hatinya semakin menyeruak saat melihat wajah Sivia yang sangat pucat dan penuh keringat, namun Mikka tetap setia menggenggam tangan kanan Sivia walaupun terkadang tangannya dicakar oleh istrinya tersebut.
“Aku gak kuat sayang, aku gak kuat! Aaarrrggghhh. . . Huh! Huh! Huh! Sakiiiiiitttttt! Sayang. . . Aku gak kuat!” ungkap Sivia dengan nada yang begitu keras. Cucuran keringat di seluruh tubuhnya semakin banyak. Begitupun mulut dan hidungnya yang kompak menghirup dan membuang napas bersamaan.
“Tahan, Bu. Sedikit lagi pasti bayinya segera keluar. Coba tarik napas pelan-pelan, tahan sebentar, dan dorong kuat-kuat.” perintah seorang dokter yang saat ini menangani proses persalinan Sivia. Lantas dengan sangat hati- hati, dokter itu mengurut perut Sivia perlahan.
“Kamu pasti bisa,” bisik Mikka di telinga Sivia. Diusapnya kening Sivia lembut serta dikecup penuh sayang. Lalu saling bertatapan walau sedetik, mencoba mentransfer kekuatan cinta yang ada di kedua mata mereka. Sontak Sivia mengangguk yakin setelahnya.
“Maafkan aku kalau nanti aku memang benar-benar gak kuat. Aku,”
“Kamu jangan ngomong gitu, aku yakin kamu kuat. Percaya sama aku,"
“Aaarrrggghhh. . .” kembali, Sivia berteriak begitu kontraksi di perutnya cukup berontak.
“Lagi, dorong lagi kuat-kuat! Ayo sedikit lagi kepala bayi ibu segera keluar!”
“Aku gak bisa, aku gak kuat lagi, aku sudah. . .”
“Sedikit lagi, ibu Sivia. Tarik napas dalam-dalam!”
“Ayo, sayang. Sedikit lagi.”
“Aaarrrggghhh. . .”
“Terus!”
“Sakiiiiiittt!!! Aaarrrggghhh. . .”
“Sedikit lagi, sedikiiittt lagi!”
“Sayang, aku udah. . . AAARRRGGGHHH!!!”
Seketika, suara tangisan bayi pun terdengar nyaring di telinga Mikka, Sivia dan semua orang yang ada di ruangan persalinan tersebut.
“Selamat, bayi kalian laki-laki.” ucap dokter yang menangani Sivia. Lalu tersenyum ke arah Sivia dan Mikka. Mikka dan Sivia pun saling pandang. Mereka ikut tersenyum juga kemudian.
"Anak kita laki-laki, sayang." bisik Mikka haru seraya membelai ubun-ubun Sivia yang sudah basah dipenuhi keringat. Sivia lantas membuang napasnya lega, sembari memejamkan matanya ia pun tersenyum.
***
Sivia terkesiap seketika, matanya pun sontak mengerjap saat Bima menghampirinya dengan kedua tangan memegang mainan yang disukainya. Lantas tersenyum, bocah kecil nan lucu itu berhasil menyadarkan ia dari segelumit memori kelam yang pernah dialaminya dulu. Saat ia benar-benar merasa hina hingga berusaha untuk bangkit lagi seperti saat ini tentu saja.
Dan seakan mengerti akan arti dari senyuman ibundanya, Bima dengan wajah polosnya pun ikut tersenyum. Maka cepat-cepat ia langsung memeluk Sivia dengan sumringah. Meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, namun Bima terlihat sangat senang sekali berada dalam dekapan hangat Sivia.
"Duh, seneng banget nih kelihatannya jagoan mama. Abis main-main ya sama temen-temennya? Kok mama gak diajak sih?" ujar Sivia dengan logat manjanya. Ia mencubit pelan kedua pipi anaknya bersamaan.
Dan saat mendapatkan perlakuan seperti itu, Bima cepat-cepat menggeleng. Berniat menepis cubitan dari ibundanya tentu saja. Karena meskipun Bima masih anak kecil, tapi entah kenapa anak itu terlihat enggan sekali diperlakukan seperti yang sedang dilakukan Sivia tersebut.
Sejenak, Sivia kembali tersenyum. Tingkah anaknya yang lucu itu sekilas menghilangkan pikirannya akan masa lalunya dulu. Lalu ia mengangkat buah hatinya tersebut seraya membawanya keluar kamar dengan berlari kecil.
"Anak siapa sih ini lucu bangeeettt!" ujarnya.
***
Sepuluh hari telah berlalu. Sepuluh hari yang begitu menyakitkan bagi Alvin tentu saja. Di mana saat itu, Alvin, dengan tampang tanpa dosanya menginjakkan kaki di rumah gadis yang dulu pernah ditinggalkannya secara hina. Lebih parahnya lagi, ia bahkan sempat membuat keributan yang cukup besar di rumah tersebut. Di rumah yang sepertinya sangat HARAM untuk Alvin pijaki, serta di rumah yang selalu Alvin kunjungi meski dari jauh seperti yang sedang ia lakukan saat ini.
Bagi Alvin, memandang rumah itu saja sudah menyakitkan sekali. Apalagi saat ia melihat Sivia dengan buah hatinya bercanda di teras rumah atau hanya sekedar bermain ayunan di pekarangan. Itu benar-benar membuatnya sulit untuk bernapas. Sesak.
Tapi dari semua itu, entah apa yang harus Alvin lakukan. Ultimatum dari Sivia untuk Alvin sepuluh hari yang lalu benar-benar dipegang teguh oleh Sivia. Bahkan rumah sederhana itu bagaikan terhalang pagar baja yang sangat sulit untuk Alvin tembus. Apa sebegitu bencinya kah Sivia kepada Alvin? Tapi bukankah Alvin memang pantas untuk dibenci jika dilihat dari sikapnya dulu kepada Sivia? Entahlah. Mungkin Sivia belum menyadari一atau memang sengaja tidak mau menyadari一bahwa setiap orang pasti berubah. Dan tentu juga setiap orang mempunyai kesalahan dan penyesalan. Manusiawi, bukan?
But, it's never enough for Sivia.
Dan perlahan, Alvin segera menutup kaca mobilnya yang sedari tadi terbuka. Sepertinya kali ini sudah cukup untuk Alvin mengunjungi一atau lebih tepatnya mengintai一rumah tersebut. Meskipun Alvin belum mendapatkan tujuan utamanya ia datang ke sana, namun ia cukup puas. Mungkin besok atau entahlah kapan, Alvin bisa bertemu dengan Bima一seorang anak kecil yang ia yakini sebagai darah dagingnya. Ya, Bima adalah alasan kenapa Alvin melakukan semua ini.
"Cukup untuk sekarang," tuturnya kilat. Lalu menyalakan mesin mobilnya dan segera pergi dari tempat tersebut setelah itu.
***
Air mata seakan sudah tak ada gunanya lagi bagi gadis remaja yang kini sedang duduk di balkon kamarnya di lantai dua itu. Gadis yang selama sebulan ini kerjanya hanya melamun tersebut seakan sudah tak bergairah lagi menjalani hidup. Terlalu lemah baginya untuk menjalani segala cobaan yang Tuhan berikan padanya. Ralat! Atau mungkin sudah bukan cobaan lagi yang ia terima, melainkan sebuah hukuman atas dosa yang pernah ia buat sendiri. Tapi, yang menjadi pertanyaan, kenapa hanya ia sendiri yang menanggung hukuman itu? Bukankah dosa itu ia lakukan berdua? Entahlah. Tuhan yang mempunyai rencana dari semua itu.
Lebih dari satu detik, gadis itu membuang napas. Pasrah. Mencoba menguatkan diri dari keterpurukannya selama ini. Lantas ia menunduk, melihat perutnya dan mengusap secara perlahan oleh tangan kanannya.
“Demi Tuhan, aku akan membiarkan anak ini lahir meski tanpa seorang ayah. Aku sudah terlanjur menanggung malu,” gumamnya parau. Walaupun ia berusaha untuk tidak berderai air mata, namun tetap saja di kedua pipinya telah tercipta sungai kecil dengan sendirinya.
“Dan demi Tuhan lagi aku berjanji, kalau suatu saat nanti si pengecut itu datang kembali untuk menemuiku dan darah dagingnya ini, aku gak akan sedikitpun membiarkan dia menyentuh anak ini. Camkan itu!” seraya meremas pelan pusaran perutnya, gadis ini pun merutuk. Merutuk untuk seseorang yang sudah membuatnya seperti sekarang. Mengurung diri di kamar selama sebulan. Mendengar omongan-omongan yang tidak mengenakan. Menerima berbagai macam amarah dari keluarga. Bahkan sampai putus sekolah meski tinggal setahun lagi ia melangkah. Siapa lagi kalau bukan kepada Alvin rutukan itu tertuju. Ya, Alvin. Mantan kekasihnya. Dan gadis itu tiada lain adalah Sivia.
Lalu belum sempat untuk Sivia menghapus bayang-bayang Alvin di benaknya, tiba-tiba suara ketukan pintu pun terdengar. Membuat gadis tersebut memejamkan mata dan dengan cepat menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya. Kemudian Sivia menarik napas panjang.
“Boleh aku masuk?” pinta seseorang saat kepalanya melongok setelah membuka pintu. Kebiasaan rutin yang orang itu lakukan saat berkunjung ke kamar Sivia. Mengetuk pintu, membuka, dan meminta izin masuk meskipun Sivia jarang berniat merespon ucapannya. Toh pada akhirnya Sivia selalu membiarkan orang itu masuk untuk melakukan apa yang diinginkan orang tersebut saat menemuinya.
Perlahan, derap langkah kaki itu terdengar semakin dekat di telinga Sivia.
“Hai,” sapa orang tersebut ramah. Walaupun Sivia hanya melirik saja, namun orang yang berjenis kelamin laki-laki itu tetap tersenyum. Mungkin sudah terbiasa mendapatkan respon yang sama dari Sivia. Ia pun ikut duduk di sampingnya. Memandang ke arah pepohonan rindang yang ada di pekarangan rumah gadis tersebut.
“Apa kabar?” lagi, pria itu berucap. Namun tetap Sivia tak merespon.
“Hmm. . . Oh iya, aku bawa sesuatu nih buat kamu. Aku mohon terima ya? Semoga kamu suka,” sekejap, meski sedikit ragu, Sivia lantas menerima kotak berwarna cokelat tua yang diberikan pria itu. Meski terpaksa karena melihat tatapan memohon dari pria yang duduk di sampingnya tersebut.
“Makasih,” ucap Sivia akhirnya. Meski datar, namun cukup membuat pria itu tersenyum manis.
Pria tampan itu bernama Mikka. Tetangga Sivia yang usianya terpaut tiga tahun di atasnya. Pria yang pernah menjadi cinta pertamanya waktu ia masih duduk di bangku SD. Dan pria yang bahkan selalu ada saat Sivia ingin mencurahkan isi hatinya dan saat Sivia terpuruk seperti yang sedang ia rasakan sekarang. Pokoknya Mikka adalah malaikat berwujud manusia yang Sivia punya saat ini. Meski ia sendiri belum berani berbicara atau hanya sekedar bilang terimakasih pada pria tersebut karena masih merasa malu, namun di hati Sivia selalu berharap kalau Mikka selalu ada di sisinya. Ya, selalu di sisinya tanpa harus pergi meninggalkan ia sendirian.
“Kak?” ucap Sivia tiba-tiba. Mikka refleks menengok.
“Ya? Kenapa, Vi?” tanya balik Mikka dengan tatapan mata prihatinnya yang ia pancarkan.
“Jangan tinggalin aku,” mohonnya seraya dengan kilat menyentuh jemari Mikka. Pria itu malah tersenyum. Entah pertanyaan konyol semacam apa yang ia dengar dari mulut Sivia. Dengan keadaan Sivia yang sedang terpuruk seperti ini, bagaimana bisa untuk Mikka meninggalkannya sendirian?
Lantas Mikka membuang napas. Tenang. Tentu seraya membalas remasan tangan Sivia yang cukup erat di jemarinya.
"Sivia, dengerin kak Mikka ya, dari dulu apa kak Mikka pernah ninggalin kamu sendirian? Belum pernah kan? Jadi sekarang kamu gak perlu khawatir kalau kak Mikka bakal pergi ninggalin kamu." ujarnya sangat lembut. Wajah Sivia pun ia raih dan ia arahkan menghadap wajahnya. Entah rasanya sesak sekali untuk Mikka menatap wajah gadis yang dulu terlihat selalu ceria, kini berubah drastis menjadi kesedihan yang amat mendera seperti saat ini.
"Janji?" setengah serak, Sivia bersuara dan membalas tatapan Mikka nanar. Mikka kembali membuang napas. Kini giliran tubuh Sivia yang ia raih ke dalam pelukannya.
"Kak Mikka gak bisa janji, karena kak Mikka takut kalau suatu saat nanti kak Mikka bakal ingkar janji. Tapi yang jelas, kak Mikka akan berusaha untuk selalu ada di dekat kamu, kapanpun kamu butuh kak Mikka." ucap Mikka yakin. Sivia pun terdiam, sudah tak ada lagi kata-kata yang mampu ia ucapkan detik ini. Pelukan dari Mikka itu cukup mewakilkan rasa damai yang ada di hatinya sekarang.
***
Langit cukup cerah sore ini. Awan pun masih terlihat putih. Mungkin akan selamanya seperti itu kalau ia tak pernah terkontaminasi oleh polusi udara yang bertebaran ke atas sana. Sejuk. Hanya saja tak ada sang mentari yang biasanya tampak gagah karena terhalang oleh awan-awan tebal yang kini seakan merajai angkasa.
Namun suasana hari saat ini seperti tak singkron dengan suasana hati dari seorang Alvin. Yang tepatnya kini sedang duduk sendiri di balkon kamarnya seraya menatap lurus ke depan. Wajahnya datar tanpa ekspresi secuil pun. Entah sindrom apa yang sedang mengutuk Alvin beberapa bulan ini, yang jelas Alvin seperti tak bergairah lagi menjalani hari-hari seperti biasanya. Tepat saat ia merengek meminta pindah rumah kepada kedua orangtuanya beberapa bulan yang lalu.
Dan baru saja ia hendak mengubah posisi duduknya supaya lebih nyaman, suara panggilan dalam ponselnya tiba-tiba berbunyi. Mario. Sebuah nama yang muncul di layar ponselnya saat Alvin dengan malas melirik ponsel tersebut yang sejak tadi tergeletak di atas meja. Lalu menghela napas terlebih dulu sebelum akhirnya ia menjamah ponsel miliknya itu.
"Ya?"
"......"
"Gue di rumah. Kenapa?"
"......"
"Males. Lain kali aja deh, Yo."
"......"
"Gak apa-apa, males aja."
"......"
"Hmm… iya."
Klik!
Alvin kembali melempar ponselnya ke tempat semula. Ternyata ajakan dari sepupunya untuk bermain basket di sekolah itu tidak berhasil membuat suasana hati Alvin berubah.Karena memang Alvin kembali seperti semula, memandang lurus dengan pikiran yang entah terbang ke mana. Mungkin ia sedang frustasi atau semacamnya sehingga bisa membuatnya seperti ini.
Lalu memejamkan mata kuat-kuat.
***
"Udah siap?" tanya seorang wanita paruh baya kepada Sivia. Pertanyaan yang entah harus ia jawab seperti apa. Karena sampai saat ini Sivia sendiri masih belum percaya dengan yang sedang ia alami sekarang.
"Aku…" lirihnya sembari menatap wanita paruh baya tadi di cermin. Wanita itu meresponnya dengan tersenyum. Lalu membimbing Sivia untuk bangun dari duduknya.
"Siap tidak siap, kamu harus tetap siap. Karena hari ini adalah hari bahagia kamu." ucap wanita tersebut sambil memegang kedua tangan Sivia. Lalu ditataplah tubuh gadis di depannya ini dari atas hingga bawah. Anggun. Gaun pengantin sederhana yang Sivia pakai ternyata berhasil mengubah sisi remaja Sivia menjadi wanita dewasa.
"Ayo turun, mereka sudah menunggu kamu di bawah." lanjut wanita tadi. Sivia pun hanya bisa mengangguk saja tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
Sedangkan di bawah, kurang lebih dua puluh orang sudah duduk rapi melingkari sebuah meja mini yang sudah dihuni oleh empat orang termasuk Mikka, selaku mempelai pria di hari pernikahannya ini bersama Sivia.
Dan dalam hitungan detik saja, semua mata tiba-tiba tertuju ke arah anak tangga yang sedang dituruni oleh Sivia dan mamanya. Mereka yang hadir di sana kompak terpesona dengan Sivia yang terlihat sangat-sangat cantik dan anggun sore ini. Terlebih Mikka yang sejak Sivia turun dari tangga sampai Sivia kini duduk di sampingnya, ia tidak sama sekali mengedipkan matanya sekejap pun. Seperti terkutuk dengan kecantikan calon isterinya tersebut.
Begitupun Sivia yang kini super gugup melihat suasana sekitar. Meski hanya dihadiri oleh keluarga besar dan sahabat sejatinya, tapi entah kenapa ia begitu bahagia dan terharu dengan semuanya. Apalagi yang sekarang duduk di sampingnya adalah Mikka, pelengkap salah satu sayapnya yang pernah patah diterjang badai dan pelengkap setengah hidupnya yang pernah mati di tangan orang lain.
Mereka pun saling pandang kemudian. Malu-malu. Bahkan mungkin mereka sama-sama tak percaya kalau detik ini mereka akan resmi menjadi suami isteri. Lalu tersenyum saat sang penghulu memanggil nama mereka berdua.
"Apakah nak Mikka dan nak Sivia sudah siap?" tanya sang penghulu lugas. Maka dengan tanpa ragu mereka pun mengangguk.
"Baiklah. Kita akan segera melakukan ijab qabul. Simak dan dengarkan baik-baik ucapan saya lalu ikuti setelah saya memberi genggaman erat di tangan Anda. Ingat! Dalam satu napas. Mengerti?" lagi, sang penghulu memberi penjelasan kepada mereka. Ralat! Kepada Mikka lebih tepatnya. Mikka pun dengan yakin mengangguk. Lalu menatap tajam ke arah sang penghulu. Yang entah kenapa hal itu berhasil merubah suasana menjadi lebih tegang dengan semua mata yang terfokus ke arah tangan Mikka dan sang penghulu.
"Bismillahirrohmanirrohim. Saya nikahkan dan kawinkan Mikka Aleandra bin Andy Aleandra dengan Sivia Mahendra binti Raja Mahendra dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang tunai sebesar duapuluh juta dibayar tunai!" ijab sang penghulu tegas.
"Saya terima nikah dan kawinnya Sivia Mahendra binti Raja Mahendra dengan mas kawin tersebut tunai!" qabul dari Mikka tak kalah tegas. Bahkan sampai menggema di setiap telinga orang yang mendengarkan.
Begitupun Sivia yang ikut menahan napas karena tegang. Kalimat-kalimat yang dulu sering ia dengar saat mengunjungi pesta pernikahan saudara-saudarinya, kini ia dengar kembali dengan menegangkannya. Jelas karena kalimat itu tertuju untuk dirinya sendiri.
"Syah?" tanya sang penghulu ke beberapa saksi dan orang-orang yang hadir di sana.
"Syaaaaaah!" balas mereka kompak.
"Alhamdulillah."
Mikka kemudian melirik ke arah Sivia yang kini tersenyum manis dengan sedikit genangan air kecil di sudut matanya.
"Tak perlu sedih lagi ya, karena mulai saat ini aku sudah menjadi ayah resmi dari bayi yang kamu kandung sekarang." bisik Mikka lembut sebelum akhirnya ia melayangkan kecupan di kening isteri syahnya itu. Sivia lagi-lagi tersenyum.
"Makasih kak. Aku janji akan selalu berusaha menjadi isteri yang baik dan tidak akan membuat kak Mikka kecewa." bisiknya pelan.
***
9 Bulan Kemudian.
Sivia terduduk lemas di sofa yang cukup empuk di ruang tamu seraya memegangi perutnya yang semakin membesar. Ia membuang napas perlahan setelah menyeka keringat di dahi karena membantu sang suami beres-beres di rumah barunya.
"Sayang, kamu kenapa? Capek ya? Tuh kan aku bilang juga apa, kamu gak usah repot-repot bawa ini itu, kamu kan lagi hamil, nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Udah istirahat aja di sini, biar aku aja yang beres-beres semuanya." ujar Mikka saat masuk ke dalam rumah dan mendapati isterinya sedang duduk lemas di sofa.
"Aku gak apa-apa kok sayang, cuma gerah aja. Aku kasihan aja sama kamu kerja sendirian, jadi aku bantu-bantu biar cepet selesai. Ya itung-itung sekalian olahraga gitu lho," respon Sivia santai. Membuat Mikka menggeleng resah melihatnya.
"Pokoknya gak boleh! Kamu duduk aja di sini sambil nonton tv, oke?" kata Mikka tegas. Setelah itu menyalakan televisi terlebih dulu sebelum akhirnya ia kembali angkat barang sana-sini demi membereskan isi rumahnya. Sedangkan Sivia hanya bisa pasrah dengan seruan dari suami tercintanya tadi.
Dan dengan susah payahnya Sivia pun mencoba mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, berusaha untuk tiduran sambil menonton acara televisi kesukaannya. Selain itu, dengan posisi seperti sekarang ini, Sivia dapat dengan mudah memandangi setiap gerak-gerik Mikka yang kadang terlihat lucu. Mondar-mandir, angkat ini itu, geser sana geser sini, dorong ke depan dorong ke belakang, bahkan sesekali menendang atau tidak sengaja menginjak barang-barang pribadinya sendiri. Yang otomatis membuat Sivia tak sungkan untuk tertawa. Parahnya, sampai lupa menonton acara televisi kesukaannya tadi.
***
"Oh iya Vin, entar kalau kita lulus SMA nanti, loe ada rencana gak buat kuliah di mana?" tanya Mario saat ia baru selesai membuka baju olahraganya di pinggir lapangan basket. Mereka berdua belum pulang sekolah karena ingin membuang lelah setelah latihan basket selama dua jam. Mendengar itu, Alvin yang tadinya sibuk memainkan ponsel pun langsung melirik ke arah sepupunya itu.
"Kuliah?" ujarnya dengan nada spontan.
"Iya, kuliah. Loe gak mau langsung kerja kan?" balas Mario dengan melontar pertanyaan skeptis di akhir kalimatnya.
"Gak tau. Gue belum kepikiran ke situ. Belajar dulu aja yang rajin, biar lulus." ceplos Alvin asal. Tetapi ada benarnya juga.
"Ya sih. Tapi kan apa salahnya planning?"
"Emang planning loe ke mana entar?"
"Hmm… gue pengen kuliah di UI ajalah, yang deket." ucap Mario sembari mengkhayalkan suasana kampus yang sedang diucapkannya tersebut.
"Loe?" lanjutnya. Sedangkan yang ditunjuk malah angkat bahu, seperti belum ada sedikitpun tujuan hidup yang melintas di benaknya.
"Gue gak pengen kuliah di sini, gue pengen cari yang beda. Di sini terlalu banyak pengalaman hina yang gue alami," ungkap Alvin yang kontan membuat Mario mengernyit kerap.
"Maksud loe?"
"Gak ada maksud. Intinya gue pengen cari yang beda." jelas Alvin setelah hampir saja ia membuka gerbang aibnya di depan Mario. Mario pun membulatkan mulut.
"Eh, astaga! Bukannya si Alyssa lagi nungguin kita di depan ya?" refleks Mario saat teringat sesuatu hal. Ya, Alyssa. Yang dua jam setengah yang lalu mengatakan mau menunggu Alvin dan Mario latihan basket demi bisa pulang bareng bertiga.
"Wah, bisa disemprot habis-habisan kita sama tuh anak." timpal Alvin sambil mengikuti Mario bangkit dari duduknya.
"Siapin mental aja. Hahaha." lalu mereka tertawa.
"Udah kebal gue saking seringnya disemprot sama anak kudanil itu,"
"Parah loe," respon Mario sambil terus berjalan menyusuri koridor menuju gerbang sekolah. Untuk menemui Alyssa tentu saja.
***
"Ah, akhirnya selesai juga." ungkap Mikka cukup tenang. Sembari merebahkan tubuhnya di samping Sivia yang kini setengah terlelap.
"Sayang, pindah ke kamar aja yuk?" ajak Mikka kemudian. Entah rasanya tidak tega untuk ia melihat Sivia tidur di sofa.
"Ayo aku bantu," ucapnya lagi. Namun Sivia belum balik merespon dengan kata-kata, ia hanya meringis saat bergerak bangun karena ada rasa sakit di sebagian perutnya.
"Arrrggghhh…"
"Kamu kenapa, sayang?"
"Sakit, arrrggghhh…"
"Sayang,"
"Perutku sakit kak, sepertinya aku mau melahirkan. Arrrggghhh!!!" Sivia lagi-lagi meringis sambil memegangi perutnya. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya, benar-benar sangat menyakitkan mungkin. Namun Mikka tak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa berusaha mengangkat Sivia bangun saking paniknya.
"Cepetan panggil ambulans kak, aku gak kuat!" ringis Sivia sambil meremas perut suaminya kali ini. Sampai tak terasa air ketubannya pecah dan membasahi bagian wilayah vitalnya. Sivia semakin meringis.
"Cepetan panggil ambulans!!! Kamu denger gak sih?!" cukup kesal dengan sikap suaminya yang sedari tadi masih belum peka dengan kondisi Sivia, ia pun membentak tanpa disadari. Membuat Mikka semakin panik.
"Iya-iya sebentar ya aku mau panggil ambulans dulu. Kamu yang kuat,"
"Cepetan! Aku gak kuat lagi,"
"Iya sabar dulu sayang, ini lagi dipanggil. Tahan ya," ujar Mikka ikut resah. Sesekali ia melirik Sivia karena takut isterinya melahirkan di tempat.
"Ya, halo?"
"......" setelah terhubung dengan kontak yang diinginkan, Mikka langsung memberika alamat lengkap rumahnya dan langsung mengurusi Sivia kembali setelah itu.
***
"Pokoknya gue mau ngambek sama loe berdua!!!" tukas Alyssa seraya melipat tangannya di dada. Mendengar itu, Alvin dan Mario yang sejak tadi tak henti-hentinya meminta maaf kepada Alyssa pun akhirnya terdiam pasrah.
"Yah, terpaksa deh gue buang duit banyak buat traktir nih anak. Nasib-nasib!" umpat Mario yang seakan sudah hafal betul apa yang harus ia lakukan supaya Alyssa tidak mengambek lagi kepadanya dan kepada Alvin.
"Siap-siap bensin juga buat antar jemput," timpal Alvin kemudian. Sedangkan Alyssa malah langsung tersenyum semanis mungkin begitu mengetahui kepekaan dari sahabat-sahabatnya tersebut.
"Okelah, gue bakal maafin loe berdua. Tapi inget ya, tradisi turunan gue mesti terkabul mulai besok selama dua hari."
"Iya Nyonya Alyssa!" koor mereka cukup gedek.
"Cakep! Kalau gitu ayo kita pulang, udah sore. Cabs!" ajak Alyssa santai. Lalu Alvin dan Mario mengikutinya dari belakang seraya mencibir tak jelas.
***
Disebuah ruangan yang serba putih, Sivia berteriak kesakitan tak hentinya.
"AAARRRGGGHHH!!!"
“Kamu yang kuat, sayang! Ayo, sedikit lagi! Aku yakin kamu bisa. Tarik napas yang panjang, buang pelan-pelan! Lagi, lakukan lagi seperti tadi.”
Mikka berkomando penuh semangat. Meski rasa tak tega di dalam hatinya semakin menyeruak saat melihat wajah Sivia yang sangat pucat dan penuh keringat, namun Mikka tetap setia menggenggam tangan kanan Sivia walaupun terkadang tangannya dicakar oleh istrinya tersebut.
“Aku gak kuat sayang, aku gak kuat! Aaarrrggghhh. . . Huh! Huh! Huh! Sakiiiiiitttttt! Sayang. . . Aku gak kuat!” ungkap Sivia dengan nada yang begitu keras. Cucuran keringat di seluruh tubuhnya semakin banyak. Begitupun mulut dan hidungnya yang kompak menghirup dan membuang napas bersamaan.
“Tahan, Bu. Sedikit lagi pasti bayinya segera keluar. Coba tarik napas pelan-pelan, tahan sebentar, dan dorong kuat-kuat.” perintah seorang dokter yang saat ini menangani proses persalinan Sivia. Lantas dengan sangat hati- hati, dokter itu mengurut perut Sivia perlahan.
“Kamu pasti bisa,” bisik Mikka di telinga Sivia. Diusapnya kening Sivia lembut serta dikecup penuh sayang. Lalu saling bertatapan walau sedetik, mencoba mentransfer kekuatan cinta yang ada di kedua mata mereka. Sontak Sivia mengangguk yakin setelahnya.
“Maafkan aku kalau nanti aku memang benar-benar gak kuat. Aku,”
“Kamu jangan ngomong gitu, aku yakin kamu kuat. Percaya sama aku,"
“Aaarrrggghhh. . .” kembali, Sivia berteriak begitu kontraksi di perutnya cukup berontak.
“Lagi, dorong lagi kuat-kuat! Ayo sedikit lagi kepala bayi ibu segera keluar!”
“Aku gak bisa, aku gak kuat lagi, aku sudah. . .”
“Sedikit lagi, ibu Sivia. Tarik napas dalam-dalam!”
“Ayo, sayang. Sedikit lagi.”
“Aaarrrggghhh. . .”
“Terus!”
“Sakiiiiiittt!!! Aaarrrggghhh. . .”
“Sedikit lagi, sedikiiittt lagi!”
“Sayang, aku udah. . . AAARRRGGGHHH!!!”
Seketika, suara tangisan bayi pun terdengar nyaring di telinga Mikka, Sivia dan semua orang yang ada di ruangan persalinan tersebut.
“Selamat, bayi kalian laki-laki.” ucap dokter yang menangani Sivia. Lalu tersenyum ke arah Sivia dan Mikka. Mikka dan Sivia pun saling pandang. Mereka ikut tersenyum juga kemudian.
"Anak kita laki-laki, sayang." bisik Mikka haru seraya membelai ubun-ubun Sivia yang sudah basah dipenuhi keringat. Sivia lantas membuang napasnya lega, sembari memejamkan matanya ia pun tersenyum.
***
Sivia terkesiap seketika, matanya pun sontak mengerjap saat Bima menghampirinya dengan kedua tangan memegang mainan yang disukainya. Lantas tersenyum, bocah kecil nan lucu itu berhasil menyadarkan ia dari segelumit memori kelam yang pernah dialaminya dulu. Saat ia benar-benar merasa hina hingga berusaha untuk bangkit lagi seperti saat ini tentu saja.
Dan seakan mengerti akan arti dari senyuman ibundanya, Bima dengan wajah polosnya pun ikut tersenyum. Maka cepat-cepat ia langsung memeluk Sivia dengan sumringah. Meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, namun Bima terlihat sangat senang sekali berada dalam dekapan hangat Sivia.
"Duh, seneng banget nih kelihatannya jagoan mama. Abis main-main ya sama temen-temennya? Kok mama gak diajak sih?" ujar Sivia dengan logat manjanya. Ia mencubit pelan kedua pipi anaknya bersamaan.
Dan saat mendapatkan perlakuan seperti itu, Bima cepat-cepat menggeleng. Berniat menepis cubitan dari ibundanya tentu saja. Karena meskipun Bima masih anak kecil, tapi entah kenapa anak itu terlihat enggan sekali diperlakukan seperti yang sedang dilakukan Sivia tersebut.
Sejenak, Sivia kembali tersenyum. Tingkah anaknya yang lucu itu sekilas menghilangkan pikirannya akan masa lalunya dulu. Lalu ia mengangkat buah hatinya tersebut seraya membawanya keluar kamar dengan berlari kecil.
"Anak siapa sih ini lucu bangeeettt!" ujarnya.
***
Sepuluh hari telah berlalu. Sepuluh hari yang begitu menyakitkan bagi Alvin tentu saja. Di mana saat itu, Alvin, dengan tampang tanpa dosanya menginjakkan kaki di rumah gadis yang dulu pernah ditinggalkannya secara hina. Lebih parahnya lagi, ia bahkan sempat membuat keributan yang cukup besar di rumah tersebut. Di rumah yang sepertinya sangat HARAM untuk Alvin pijaki, serta di rumah yang selalu Alvin kunjungi meski dari jauh seperti yang sedang ia lakukan saat ini.
Bagi Alvin, memandang rumah itu saja sudah menyakitkan sekali. Apalagi saat ia melihat Sivia dengan buah hatinya bercanda di teras rumah atau hanya sekedar bermain ayunan di pekarangan. Itu benar-benar membuatnya sulit untuk bernapas. Sesak.
Tapi dari semua itu, entah apa yang harus Alvin lakukan. Ultimatum dari Sivia untuk Alvin sepuluh hari yang lalu benar-benar dipegang teguh oleh Sivia. Bahkan rumah sederhana itu bagaikan terhalang pagar baja yang sangat sulit untuk Alvin tembus. Apa sebegitu bencinya kah Sivia kepada Alvin? Tapi bukankah Alvin memang pantas untuk dibenci jika dilihat dari sikapnya dulu kepada Sivia? Entahlah. Mungkin Sivia belum menyadari一atau memang sengaja tidak mau menyadari一bahwa setiap orang pasti berubah. Dan tentu juga setiap orang mempunyai kesalahan dan penyesalan. Manusiawi, bukan?
But, it's never enough for Sivia.
Dan perlahan, Alvin segera menutup kaca mobilnya yang sedari tadi terbuka. Sepertinya kali ini sudah cukup untuk Alvin mengunjungi一atau lebih tepatnya mengintai一rumah tersebut. Meskipun Alvin belum mendapatkan tujuan utamanya ia datang ke sana, namun ia cukup puas. Mungkin besok atau entahlah kapan, Alvin bisa bertemu dengan Bima一seorang anak kecil yang ia yakini sebagai darah dagingnya. Ya, Bima adalah alasan kenapa Alvin melakukan semua ini.
"Cukup untuk sekarang," tuturnya kilat. Lalu menyalakan mesin mobilnya dan segera pergi dari tempat tersebut setelah itu.
***
"Please, izinkan saya menggendong Bima sebentar saja." Alvin mengatupkan kedua tangannya. Untuk terakhir ini, Alvin berusaha menahan semua egonya di hadapan orang yang belum ia kenali itu walaupun ia tahu bahwa orang tersebut adalah suami dari Sivia.
Sore ini, Alvin tanpa sengaja menemui Sivia dan Mikka serta Bima yang saat itu baru saja keluar dari sebuah Butik. Tentu saja Butik di mana tempat Sivia kerja selama ini, Butik milik orang tua Mario. Dan seperti biasa, lagi-lagi Alvin membuat keributan kecil di sana. Ia memaksakan diri untuk memeluk Bima yang berada dalam pelukan Sivia, tanpa peduli meski ada Mikka di sampingnya. Sivia dan Mikka sempat dibuat syok, bahkan sampai berontak saat Alvin dengan gegabah berusaha menarik Bima dari pelukan Sivia.
Namun hal itu gagal karena Mikka segera menarik Alvin dengan keras dan membiarkan Sivia mengamankan dirinya dan Bima ke dalam mobil.
"Sudah pernah saya bilang sama anda, anda jangan pernah mengusik kehidupan saya dan keluarga saya. Mengerti?!" tukas Mikka seraya mengangkat telunjuknya di depan wajah Alvin
"Please, beri saya kesempatan. Saya benar-benar gak ada niat buat ngusik kehidupan kalian, saya cuman…" tutur Alvin dengan memberi jeda di akhir kalimatnya. Lantas menarik napas pelan-pelan.
"Saya cuma ingin minta maaf sama Sivia dan saya ingin bertemu darah daging saya, Bima." lanjutnya yakin. Mendengar pernyataan itu, Mikka berdecak sinis. Lalu tersenyum masam ke arah Alvin.
"Darah daging? Sungguh lucu sekali anda ini," rutuk Mikka sambil memalingkan wajahnya.
"Iya, saya yakin kalau Bima itu darah daging saya. Bimaaa… ini ayah, nak." ujar Alvin yang mulai berontak kembali. Ia berusaha menerobos tubuh Mikka yang menghalangi pintu mobil. Namun lagi-lagi Alvin terpental karena dengan kuat Mikka mendorong Alvin supaya menghindar dari pintu mobilnya.
"Bima itu darah daging saya. Anda jangan asal bicara!" tukas Mikka mulai kesal.
"Bima anak saya, darah daging saya! Jangan karena anda suami Sivia, anda jadi seenaknya mengakui kalau Bima adalah anak anda. Sivia, tolong keluar! Beri aku kesempatan sekali saja."
Jbret!
Sebuah pukulan terpaksa dilayangkan oleh Mikka di wajah putih Alvin. Mulai geram dengan ulah pria tersebut yang semakin brutal.
"Anda benar-benar sudah gila! Pengecut!" bentak Mikka yang masih emosi. Sedangkan Alvin yang kini tersungkur malah terdiam sembari memegangi pelipisnya yang sedikit memar.
"Beberapa tahun kemarin anda ke mana, hah?! Sembunyi? Atau, sengaja mau kabur dari masalah dan membiarkan Sivia menanggung masalahnya sendirian? Iya?!" Mikka berjalan mendekati Alvin. Ternyata ia sudah mengetahui akan hubungan Alvin dan Sivia di masa lalu.
"Dan sekarang anda kembali muncul dengan seenaknya mengaku-mengaku Bima sebagai anak anda. Cih! Lelaki macam apa anda ini, hah?!"
"Sudah kak, sudah!" teriak Sivia yang kini keluar dari mobilnya. Sepertinya ia mulai jengah melihat keributan yang dilakukan suaminya dan Alvin, mantan kekasihnya dulu.
Sore ini, Alvin tanpa sengaja menemui Sivia dan Mikka serta Bima yang saat itu baru saja keluar dari sebuah Butik. Tentu saja Butik di mana tempat Sivia kerja selama ini, Butik milik orang tua Mario. Dan seperti biasa, lagi-lagi Alvin membuat keributan kecil di sana. Ia memaksakan diri untuk memeluk Bima yang berada dalam pelukan Sivia, tanpa peduli meski ada Mikka di sampingnya. Sivia dan Mikka sempat dibuat syok, bahkan sampai berontak saat Alvin dengan gegabah berusaha menarik Bima dari pelukan Sivia.
Namun hal itu gagal karena Mikka segera menarik Alvin dengan keras dan membiarkan Sivia mengamankan dirinya dan Bima ke dalam mobil.
"Sudah pernah saya bilang sama anda, anda jangan pernah mengusik kehidupan saya dan keluarga saya. Mengerti?!" tukas Mikka seraya mengangkat telunjuknya di depan wajah Alvin
"Please, beri saya kesempatan. Saya benar-benar gak ada niat buat ngusik kehidupan kalian, saya cuman…" tutur Alvin dengan memberi jeda di akhir kalimatnya. Lantas menarik napas pelan-pelan.
"Saya cuma ingin minta maaf sama Sivia dan saya ingin bertemu darah daging saya, Bima." lanjutnya yakin. Mendengar pernyataan itu, Mikka berdecak sinis. Lalu tersenyum masam ke arah Alvin.
"Darah daging? Sungguh lucu sekali anda ini," rutuk Mikka sambil memalingkan wajahnya.
"Iya, saya yakin kalau Bima itu darah daging saya. Bimaaa… ini ayah, nak." ujar Alvin yang mulai berontak kembali. Ia berusaha menerobos tubuh Mikka yang menghalangi pintu mobil. Namun lagi-lagi Alvin terpental karena dengan kuat Mikka mendorong Alvin supaya menghindar dari pintu mobilnya.
"Bima itu darah daging saya. Anda jangan asal bicara!" tukas Mikka mulai kesal.
"Bima anak saya, darah daging saya! Jangan karena anda suami Sivia, anda jadi seenaknya mengakui kalau Bima adalah anak anda. Sivia, tolong keluar! Beri aku kesempatan sekali saja."
Jbret!
Sebuah pukulan terpaksa dilayangkan oleh Mikka di wajah putih Alvin. Mulai geram dengan ulah pria tersebut yang semakin brutal.
"Anda benar-benar sudah gila! Pengecut!" bentak Mikka yang masih emosi. Sedangkan Alvin yang kini tersungkur malah terdiam sembari memegangi pelipisnya yang sedikit memar.
"Beberapa tahun kemarin anda ke mana, hah?! Sembunyi? Atau, sengaja mau kabur dari masalah dan membiarkan Sivia menanggung masalahnya sendirian? Iya?!" Mikka berjalan mendekati Alvin. Ternyata ia sudah mengetahui akan hubungan Alvin dan Sivia di masa lalu.
"Dan sekarang anda kembali muncul dengan seenaknya mengaku-mengaku Bima sebagai anak anda. Cih! Lelaki macam apa anda ini, hah?!"
"Sudah kak, sudah!" teriak Sivia yang kini keluar dari mobilnya. Sepertinya ia mulai jengah melihat keributan yang dilakukan suaminya dan Alvin, mantan kekasihnya dulu.
Lantas一saat melihat Sivia berdiri tak jauh di hadapannya一Alvin segera bersimpuh di kaki gadis tersebut. Sangat erat. Dan bahkan tak peduli meski saat ini tak sedikit orang yang melihat aksi mereka bertiga.
"Vi, aku mohon untuk kesekian kalinya sama kamu, tolong maafin aku, aku tau aku salah, aku…"
"Jangan sentuh istri saya!" sambung Mikka dengan kembali mendorong Alvin dari kaki Sivia. Namun kali ini gagal karena dekapan Alvin sangat kuat sekali.
"Kak Mikka!" tukas Sivia cukup tegas. Ia menatap Mikka tajam.
"Tapi," berusaha untuk membela diri, Mikka pun memilih mengalah. Ia mengerti maksud dari Sivia yang sedikit membentaknya tadi. Cobalah untuk bisa menahan emosi. Roger that! rutuk Mikka dalam hati.
"Kak Alvin, mungkin selama ini aku benci dan marah sama kakak. Sangat benci dan sangat marah bahkan. Tapi setelah aku pikir-pikir, apa untungnya terus-terusan benci dan marah sama orang? Gak ada. Toh semuanya sudah terlanjur terjadi, dan sudah berlalu. Aku sudah maafin kak Alvin, semua kesalahan kak Alvin yang pernah kak Alvin perbuat ke aku pun sudah aku maafkan. Dan maafin aku juga kalau aku punya salah sama kak Alvin," tutur Sivia seraya mengangkat Alvin bangun dari bersimpuh. Sedangkan Mikka tetap berusaha biasa meskipun sebenarnya ia sedikit kesal dengan Alvin. Ralat! Cemburu lebih tepatnya.
"Kamu serius? Terimakasih Vi, terimakasih!" Alvin dengan refleks memeluk Sivia saat itu. Meskipun faktanya hanya dalam hitungan detik saja karena Mikka dengan cepat memisahkan mereka berdua.
"Istri saya sudah memaafkan anda, jadi anda gak perlu mengganggu keluarga kami lagi!" seru Mikka seraya merangkul Sivia.
"Sivia, beri aku kesempatan untuk ketemu Bima, aku mohon." seperti tak menggubris seruan dari Mikka tadi, Alvin kini mengatupkan kedua tangannya di hadapan Sivia. Permintaan kedua yang sepertinya akan menjadi klimaks dari perjuangan Alvin akhir-akhir ini.
Sivia menarik napas seketika. Kedua matanya pun melirik ke arah Mikka yang mulai tak sabar lagi untuk cepat-cepat pergi dari tempat tersebut.
"Asal anda tau ya, lima bulan setelah anda menghilang tanpa dosa dari kehidupan Sivia, Sivia mengalami keguguran saat terjatuh di kamar mandi. Dan itu tepat setelah dua bulan kami menikah. Maka dari itu saya tegas kan lagi sama anda, Bima itu bukan darah daging anda! Camkan baik-baik!" ungkap Mikka benar-benar tegas dan penuh penekanan di akhir kalimat.
"Gak mungkin! Anda pasti bohong! Bima itu darah daging saya. Iya kan, Sivia? Bilang kalau Bima itu anak kita! Kenapa kami diam saja, Sivia?!"
"Maafin aku kak, Bima memang bukan anak kita. Anak kita sudah tiada. Jadi aku mohon dengan sangat sama kak Alvin, jangan ganggu keluarga kecilku lagi. Aku ingin hidup tenang dan bahagia bersama Bima dan kak Mikka. Kisah kita berdua sudah begitu menyakitkan, dan aku sudah berusaha melupakannya." ucap Sivia parau. Entah kenapa air mata dan rasa sakit di hatinya itu muncul kembali saat melihat Alvin mengiba di hadapannya.
"Vi, aku mohon untuk kesekian kalinya sama kamu, tolong maafin aku, aku tau aku salah, aku…"
"Jangan sentuh istri saya!" sambung Mikka dengan kembali mendorong Alvin dari kaki Sivia. Namun kali ini gagal karena dekapan Alvin sangat kuat sekali.
"Kak Mikka!" tukas Sivia cukup tegas. Ia menatap Mikka tajam.
"Tapi," berusaha untuk membela diri, Mikka pun memilih mengalah. Ia mengerti maksud dari Sivia yang sedikit membentaknya tadi. Cobalah untuk bisa menahan emosi. Roger that! rutuk Mikka dalam hati.
"Kak Alvin, mungkin selama ini aku benci dan marah sama kakak. Sangat benci dan sangat marah bahkan. Tapi setelah aku pikir-pikir, apa untungnya terus-terusan benci dan marah sama orang? Gak ada. Toh semuanya sudah terlanjur terjadi, dan sudah berlalu. Aku sudah maafin kak Alvin, semua kesalahan kak Alvin yang pernah kak Alvin perbuat ke aku pun sudah aku maafkan. Dan maafin aku juga kalau aku punya salah sama kak Alvin," tutur Sivia seraya mengangkat Alvin bangun dari bersimpuh. Sedangkan Mikka tetap berusaha biasa meskipun sebenarnya ia sedikit kesal dengan Alvin. Ralat! Cemburu lebih tepatnya.
"Kamu serius? Terimakasih Vi, terimakasih!" Alvin dengan refleks memeluk Sivia saat itu. Meskipun faktanya hanya dalam hitungan detik saja karena Mikka dengan cepat memisahkan mereka berdua.
"Istri saya sudah memaafkan anda, jadi anda gak perlu mengganggu keluarga kami lagi!" seru Mikka seraya merangkul Sivia.
"Sivia, beri aku kesempatan untuk ketemu Bima, aku mohon." seperti tak menggubris seruan dari Mikka tadi, Alvin kini mengatupkan kedua tangannya di hadapan Sivia. Permintaan kedua yang sepertinya akan menjadi klimaks dari perjuangan Alvin akhir-akhir ini.
Sivia menarik napas seketika. Kedua matanya pun melirik ke arah Mikka yang mulai tak sabar lagi untuk cepat-cepat pergi dari tempat tersebut.
"Asal anda tau ya, lima bulan setelah anda menghilang tanpa dosa dari kehidupan Sivia, Sivia mengalami keguguran saat terjatuh di kamar mandi. Dan itu tepat setelah dua bulan kami menikah. Maka dari itu saya tegas kan lagi sama anda, Bima itu bukan darah daging anda! Camkan baik-baik!" ungkap Mikka benar-benar tegas dan penuh penekanan di akhir kalimat.
"Gak mungkin! Anda pasti bohong! Bima itu darah daging saya. Iya kan, Sivia? Bilang kalau Bima itu anak kita! Kenapa kami diam saja, Sivia?!"
"Maafin aku kak, Bima memang bukan anak kita. Anak kita sudah tiada. Jadi aku mohon dengan sangat sama kak Alvin, jangan ganggu keluarga kecilku lagi. Aku ingin hidup tenang dan bahagia bersama Bima dan kak Mikka. Kisah kita berdua sudah begitu menyakitkan, dan aku sudah berusaha melupakannya." ucap Sivia parau. Entah kenapa air mata dan rasa sakit di hatinya itu muncul kembali saat melihat Alvin mengiba di hadapannya.
Apakah Sivia masih mencintai seorang Alvin?
Tidak. Tidak lagi begitu. Ia hanya menyesal saja pernah jatuh cinta sama orang seperti Alvin. Entahlah kenapa Sivia baru menyadari hal itu setelah ia menerima goresan yang begitu sakit di hatinya.
Ralat! Menyesal karena pernah jatuh cinta atau menyesal karena tidak bisa hidup berdampingan dengan Alvin? Entahlah. Yang jelas, dengan adanya Mikka di hidup Sivia itu sudah lebih dari cukup buat gadis cantik tersebut.
Kembali, Sivia menarik napas.
"Semuanya sudah jelas, kak. Dan aku mohon dengan sangat, jangan ganggu keluargaku lagi. Permisi!" lanjut Sivia yang langsung berlari menjauh dari tempat tersebut setelahnya.
"Jika anda seorang pria sejati, pasti anda mengerti dari arti semua ini. Maaf atas luka yang ada di wajah anda. Permisi." kini giliran Mikka yang berlalu dari hadapan Alvin.
Alvin cukup terdiam. Mulutnya benar-benar tidak bisa berfungsi sama sekali. Meskipun ingin rasanya Alvin berteriak hebat saat itu. Namun jangankan berteriak, mengucap satu katapun sangat sulit rasanya. Karena yang hanya bisa Alvin lakukan hanyalah memejamkan mata kuat-kuat seraya berteriak dalam hati. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Entah apa yang sedang ia sesalkan sekarang.
Tidak. Tidak lagi begitu. Ia hanya menyesal saja pernah jatuh cinta sama orang seperti Alvin. Entahlah kenapa Sivia baru menyadari hal itu setelah ia menerima goresan yang begitu sakit di hatinya.
Ralat! Menyesal karena pernah jatuh cinta atau menyesal karena tidak bisa hidup berdampingan dengan Alvin? Entahlah. Yang jelas, dengan adanya Mikka di hidup Sivia itu sudah lebih dari cukup buat gadis cantik tersebut.
Kembali, Sivia menarik napas.
"Semuanya sudah jelas, kak. Dan aku mohon dengan sangat, jangan ganggu keluargaku lagi. Permisi!" lanjut Sivia yang langsung berlari menjauh dari tempat tersebut setelahnya.
"Jika anda seorang pria sejati, pasti anda mengerti dari arti semua ini. Maaf atas luka yang ada di wajah anda. Permisi." kini giliran Mikka yang berlalu dari hadapan Alvin.
Alvin cukup terdiam. Mulutnya benar-benar tidak bisa berfungsi sama sekali. Meskipun ingin rasanya Alvin berteriak hebat saat itu. Namun jangankan berteriak, mengucap satu katapun sangat sulit rasanya. Karena yang hanya bisa Alvin lakukan hanyalah memejamkan mata kuat-kuat seraya berteriak dalam hati. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Entah apa yang sedang ia sesalkan sekarang.
Bukankah ia sudah mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan? Kata maaf一sekaligus penjelasan akan anak siapakah Bima itu一dari Sivia?
Lantas apa yang sedang Alvin sesali?
Ends. Selengkapnya... Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya... Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya... Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR