Sweet as Revenge一Tugas Terakhir
Anak laki-laki kecil berusia sekitar
sepuluh tahun itu bersembunyi di bawah tempat tidur setelah mendapat perintah
dari ibunya limabelas menit yang lalu. Wajahnya pun berubah tegang disertai
dengan sedikit napas memburu saat ia melihat dua sosok orang bertopeng
mendobrak pintu kamarnya keras. Menakutkan. Dan bahkan ia dapat melihat begitu
jelasnya ketika sang ibu berdiri tak berdaya saat sebuah pistol hitam mengutuk
pergerakannya.
“Jangan sentuh anak saya!!!” teriak wanita paruh baya itu saat
salah satu dari kawanan penjahat tersebut berjalan mendekat ke arah ayunan
bayi.
“Diam! Sedikitpun anda kembali
bersuara, saya tidak akan segan-segan membunuh anda dan semua orang yang ada di
sini.”
ancamnya keras.
Lantas penjahat itu kembali mencari
sesuatu yang mungkin menjadi alasan utama mereka mendatangi rumah keluarga
tersebut secara tak terhormat. Mereka beraksi seenak mereka tanpa peduli dengan
si pemilik rumah yang sangat ketakutan dan tertekan. Todongan pistol di dekat
pelipisnya cukup membuat wanita paruh baya itu seakan mati berdiri.
“Ini dia yang kita cari,” desis si penjahat satu seraya
memberi kode kepada rekannya.
Lantas yang diberi kode hanya bisa
tersenyum menang sambil tetap menodongkan pistol ke arah kepala wanita tadi.
Rasanya tak sia-sia mereka malam-malam datang untuk beroperasi setelah
direncanakan beberapa hari sebelumnya. Rumah tersebut benar-benar kaya raya.
Brak!!!
Dalam sekejap, brankas yang terkunci
pun terbuka mudah hanya dengan satu pukulan keras dari sebatang besi. Puluhan
emas batangan, jutaan uang, serta berkas-berkas penting milik keluarga tersebut
langsung berpindah tangan dalam hitungan detik saja.
“Sudah semua?”
“Beres. Ayo kita pergi!”
“Bagus!” balas ucap penjahat yang masih setia
membekap wanita paruh baya itu ditemani pistol kecilnya.
Lalu ia segera bergegas sambil
melepaskan bekapannya perlahan. Namun tetap dengan kondisi tangannya yang masih
tak lepas menodong ke arah wanita tersebut.
“Tolooonnnggg!!!” teriak wanita tersebut seketika.
Dan. . .
Jedar!!!
Sebuah tembakan dengan sengaja
penjahat itu bidikan ke arah dada wanita itu demi menyelamatkan dirinya yang
mungkin akan mengundang kedatangan warga sekitar. Lantas mereka segera berlari
cepat tanpa mempedulikan wanita tersebut. Sebelum semuanya terlambat mungkin.
Klutuk!
“MAMAAAAAAAAA!!!”
Seakan sudah tak kuat lagi untuk
menahan rasa sesak di dadanya, anak laki-laki yang tadi bersembunyi itu
berteriak hebat. Keluar, dan berlari mendekat ke arah ibunya yang sepertinya
sudah tidak berdaya lagi.
“Mama bangun, ma! Mama bangun!”
“Mama jangan tinggalin Alvin! Mama
jangan tinggalin Alvin sama Angel! Mama bangun, Ma! Mama bangun!”
Semakin histeris, anak laki-laki
kecil bernama Alvin itu menggerak-gerakkan tubuh ibunya. Bersamaan dengan
pecahnya tangisan sang bayi yang semakin menggenapkan suasana miris yang
terjadi di kamar tersebut.
“Mama. . .”
Kembali, Alvin melirih. Kali ini
suaranya melemah, juga karena tak ada respon dari ibunya yang memang sudah tak
bernyawa lagi. Lantas ia menunduk dan bersimpuh di dekat tubuh kaku wanita paruh
baya yang berlumuran darah itu. Hidupnya seakan ikut mati juga bersama sang
ibu.
Sekilas, Alvin melihat sebuah benda
tergeletak tak jauh di tempatnya duduk. Sebuah bandul kalung berbentuk
asimetris dengan warna hitam pekat serta di tengahnya bertuliskan “Gradevil”. Lalu Alvin mengambil dan
menggenggam benda tersebut erat. Seakan dalam hatinya berkata kalau dirinya
akan membalas semua perbuatan yang telah pemilik bandul kalung itu lakukan
kepada keluarganya.
“Tunggu Alvin, Alvin bakal balas semua
ini buat Mama. Alvin janji Ma, Alvin janji!” ujar Alvin ambisius. Sinkron dengan
kedua mata coklatnya yang memerah. Lantas ia menarik napas kuat-kuat.
***
“Ini bonus buat kamu,”
Di tengah-tengah lamunan panjangnya,
seorang pria muda itu tersentak seketika saat seorang lelaki tua berbicara
seraya menyodorkan sebuah amplop tebal kepadanya.
“Bonus buat kerja kamu kemarin.” lanjutnya.
Sedangkan pria muda itu hanya
membuang napas sambil menurunkan tumpangan kakinya dari atas meja. Kemudian
mematikan cerutu yang belum sempat diisapnya itu ke dalam asbak.
“Tidak perlu repot-repot, Mister. Yang
kemarin juga sudah cukup buat saya.” tolak pria tersebut cukup halus.
“Ck! Ayolah, Lee! Untuk sekali ini
saja, saya mohon kamu terima uang itu.”
Lagi, lelaki tua itu berucap, kali
ini sedikit memohon kepada pria yang dipanggilnya dengan sebutan Lee tersebut.
Dan bahkan mungkin hal itu sudah terlalu sering ia lakukan tiap kali ia memberi
sesuatu yang sama kepada Lee, anak buah andalannya selama tiga tahun terakhir.
“Saya belum bisa terima ini, Mister.
Lebih baik Mister simpan dulu, mungkin lain kali saya ambil kalau saya butuh.” ujar Lee santai. Membuat lelaki tua
yang berdiri di sampingnya itu kembali membuang napas.
“Ya sudahlah kalau itu yang kamu mau,
saya tidak bisa memaksa.” ujarnya terlalu pasrah.
Lee pun menghela napas lega. “Hmm… Mister, apa boleh saya meminta
sesuatu yang lain selain yang kau tawarkan itu?” pinta Lee setelahnya.
Sedikit kaget, karena baru saja ia
ikut duduk di samping pria tersebut, lelaki tua itupun kemudian tersenyum
mendengarnya. Entahlah kenapa. Rasanya ia terlalu senang mendengar bahwa adanya
sebuah permintaan yang keluar dari mulut seorang Lee Alvinandra. Yang mana
selama ini beliau tidak pernah mendengar itu. Pasalnya, Lee memang tidak pernah
meminta sesuatu apapun semenjak ia menjadi pengikut lelaki tua itu sebagai
pembunuh bayaran, walaupun sudah terlalu sering ia ditawarkan olehnya. Namun
nyatanya Lee tidak haus akan permintaan, ia terima apa adanya dengan apapun
yang diberikan bosnya atas kinerjanya selama ini.
“Are you serious? Apa yang kamu minta dari saya? Coba
katakan! Dengan senang hati akan saya kabulkan,” respon lelaki tua tersebut cukup
senang. Rasanya hal seperti inilah yang selalu ia tunggu-tunggu dari Lee.
Karena menurutnya, untuk memberi
sesuatu sebagai bonus kepada Lee itu seperti memberi rumput kepada seekor
serigala. Dan memberi daging kepada seorang vegetarian. Terlalu susah.
“Saya…"
“Ya? Kamu butuh apa?”
“Saya mau berhenti dari pekerjaan ini,
Mister. Saya mau berhenti jadi pembunuh bayaran. Saya sudah mulai jenuh,” ungkapnya yang berhasil membuat
kening Hugo一nama
lelaki tua itu一sedikit
berkerut.
“Saya ingin kembali hidup normal,
tanpa harus lagi membunuh orang-orang yang belum tentu berdosa.” lanjut Lee yang seakan selama ini
baru tersadar kalau perbuatan yang ia jalani itu ternyata memang salah.
“Apa Mister mau mengabulkan permintaan
saya? Saya mohon, Mister…”
Hugo masih belum juga angkat bicara
walaupun kini Lee sudah mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Entah ini akan menjadi permintaan pertama atau mungkin menjadi permintaan
terakhir yang Hugo dengar dari mulut Lee. Rasa sulit untuk mengabulkan pun
tiba-tiba muncul dalam benak Hugo, sesulit ia melepaskan Lee setelah hampir
empat tahun menjadi tangan kanannya.
“Kamu serius meminta itu, Lee?” tanya balik Hugo setelah dengan
panjangnya ia menarik napas.
Lantas Lee mengangguk yakin karena
memang tak ada niat sedikitpun untuk menarik kembali permintaannya tadi.“Saya lebih dari serius, Mister.”
“Hmm… yayaya, baiklah.”
Saking tidak tau harus menjawab apa
lagi, Hugo terpaksa mengabulkan permintaan Lee. Meski faktanya masih cukup
banyak tugas Lee yang belum sempat dijalankan olehnya, tapi mau bagaimana lagi?
Lee sudah memutuskan untuk berhenti dari profesinya. Dan Hugo, lagi-lagi harus
berusahamerelakan Lee berhenti dari bisnis kejamnya dan otomatis rela untuk
membatalkan semua kesepakatan antara pihaknya dan pihak clientyang sudah
terjalin beberapa hari lalu.
“Terimakasih banyak, Mister!” ucap Lee seraya menunduk setengah badan.
“Tapi dengan satu syarat,” ucap Hugo yang kali ini nada
bicaranya cukup serius.
Hugo bangkit dari duduknya dan
berjalan pelan seraya menghisap cerutunya dengan santai. Menggantungkan
kalimatnya dengan sangat sengaja.Sementara Lee terdiam dengan tatapan penasaran
ke arah bosnya itu.
“Dan syarat ituharus benar-benar kamu
jalankan tanpa bisa menolak.” lanjut Hugo tanpa mempedulikan ekspresi wajah Lee yang
seakan bilang kenapa-mesti-ada-syarat?
“Apa syaratnya?” tanya Lee sambil berjalan mendekati
Hugo yang berdiri menghadap dinding kaca.
“Ini syaratnya,” jawab lelaki tua itu singkat.
Sedangkan Lee cukup mengernyit
dibuatnya setelah ia menerima selembar kertas tebal bergambarkan seorang gadis
cantik dari tangan Hugo. Ia meneliti sesaat kertas di tangannya dengan cermat.
Lalu menarik napas begitu otaknya menangkap kesimpulan yang sudah ia prediksi
sebelumnya. Lagi-lagi harus membunuh. Batinnya.
“Namanya Kimberly, salah seorang
mahasiswi di LuxartUniversity. Dan dia harus kamu bunuh secepatnya
sebelum kamu benar-benar berhenti bekerja denganku.”
Belum sempat untuk Lee bertanya, Hugo
langsung menjelaskan kenapa Lee menerima sebuah foto darinya. Sesuatu yang
biasanya menjadi benda perantara untuk Lee melakukan aksi sadisnya sebagai
pembunuh bayaran.
“What?! Luxart University? Are you
joking, right? Itu
tempat saya kuliah.”
ungkap Lee cukup syok.
Faktanya, meskipun Lee seorang
pembunuh bayaran, Lee paling pantang menerima pekerjaan yang suasananya masih
berhubungan dengan apa yang sedang ia lakoni di dalamnya. Seperti yang baru
saja dikatakannya sekarang.
“Saya tau, Lee. Tapi bukan berarti
kamu harus membunuhnya di tempat tersebut bukan? Pintarlah sedikit!”
“Tapi, Mister?”
“Ini tugas terakhirmu.” kata Hugo datar.Dan itu terpaksa
membuat Lee membuang napas jengahnya.
“Baiklah,” lirih Lee pasrah yang kemudian
terlibat percakapan panjang dengan lelaki tua tersebut. Percakapan mengenai
misi mereka kali ini lebih tepatnya.
***
Lampu ruangan yang tadinya padam
tiba-tiba berubah terang saat seorang gadis baru saja membuka pintu dan
melangkahkan kakinya dalam hitungan jari. Sontak ia terhenti seketika,
pergerakkannya seakan terkutuk dalam diam setelah sapaan ketus menusuk gendang
telinga gadis tersebut.
“Dari mana aja loe? Hah?!”
Pria muda yang kini mematikan
rokoknya itu menatap ke arah gadis tersebut yang seakan tertangkap basahkarena
melanggar aturan. Ia terlihat sangat sangar sekali kala itu. Seperti para Ayah
yang hendak memarahi puterinya yang pulang malam tanpa ada kabar terlebih
dahulu.
“Gue?” tunjuk gadis itu pada hidungnya
sendiri.
Entah karena polos atau bagaimana,
yang jelas sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh pria muda berkacamata hitam
itu bisa dibilang cukup aneh menurutnya. Karena biasanya, meski mereka berdua
satu atap, sangat jarang sekali一atau bahkan tidak pernah一mereka berkontak suara seperti
sekarang ini. Dan jelas saja membuat gadis bernama Kimberly Sivia itu berlagak
seperti orang bodoh saat kakak tirinya bertanya.
“Ya elo lah, siapa lagi?! Dari mana
aja jam segini baru pulang? Hah?! Keluyuran? Clubbing? Oh, atau
jangan-jangan loe abis diajak kencan sama om-om? Cih! Murahan,”
Glek! Sivia menelan ludah seketika.
Cukup syok mendengar kata-kata keji yang keluar dari mulut seorang Kenzio
Cakka, pria muda yang sudah menjadi kakak tirinya sepuluh tahun terakhir. Lalu
ia mendesis, berusaha berlagak acuh tak acuh di hadapan pria yang tiap hari
selalu mengajaknya berperang itu.
“Whatever! Serah loe, gue gak peduli."
respon Sivia lebih dari ketus. Langkahnya yang sempat terhenti pun ia lanjutkan
kembali.
“Aih! So bitch!”
“Bitch is you, badboy!”
Dan setelah Sivia menimpali ocehan
dari Cakka, tiba-tiba di depan pintu kamarnya sudah berdiri wanita paruh baya
berwajah masam. Wanita yang paras wajahnya jauh lebih ketus dari kakak tirinya
itu. Serta tentu saja wanita yang tampang horornya selalu membuat Sivia memutar
mata dengan sedikit desahan kecil.
“Ck! The big momster is come back!” gumamnya asal.
“Kenapa kamu baru pulang? Ini jam
berapa?!”
tanya wanita itu seraya menunjuk jam tangan emas yang dipakainya. Membuat Sivia
membuang napas jengah dan kemudian berdecak.
“Masih jam sebelas, Tante! Masih
terlalu wajarlah pulang kampus jam sebelas mah. Bukannya setiap hari juga aku
pulang jam segini ya? Lagipula ini rumah aku kan? Jadi terserah aku dong mau
pulang jam berapa? Dan Tante gak berhak
buat larang-larang aku.” jawabnya tegas.
“Oh, sekarang kamu udah berani melawan
Tante, iya?!”
“Maaf Tante, bukannya aku mau melawan
sama Tante. Tapi aku cuma lagi males aja debat sama Tante, sama Cakka juga. Aku
capek banget, aku mau tidur.”
“Apa katamu? Kamu capek? Mau tidur?
Apa Tante gak salah denger?” tanya wanita itu kemudian. Kakinya ia langkahkan demi
mengelilingi tubuh Sivia.
Sedangkan Sivia hanya mengernyit
sambil bola matanya mengikuti ke mana saja ibu tirinya itu bergerak. Seperti
sedang di kelilingi seekor macan lapar yang Sivia rasakan saat itu.
“Emang kamu pikir kamu itu puteri raja
yang pulang main langsung tidur? Iya?!”
Lagi-lagi Sivia mengernyit. Mulai
tidak mengerti dengan ucapan wanita yang masih menggunakan nada sinis di setiap
perkataannya itu.
“Maksud Tante apa sih? Aku gak ngerti.
Udah ah, aku mau istirahat, besok kuliah pagi.” ujar Sivia cukup jengah dengan
suasana yang kini menjerat kelelahannya.
“Kamu jangan pura-pura bodoh,
Kimberly! Kamu itu bukan siapa-siapa lagi di rumah ini! Karena mulai sekarang
kamu itu cuma pembantu di rumah ini. Bukan lagi Kimberly yang menjadi anak
kesayangan ayah kamu yang bodoh dan tolol itu!” tukas wanita itu tepat di depan
wajah Sivia.
“JANGAN PERNAH HINA AYAH DI DEPAN AKU!!!” bentak Sivia tiba-tiba. Mulai muak
dengan kata-kata wanita paruh baya yang kini membawa-bawa nama ayahnya yang
telah meninggal.
Namun Alesia一wanita tersebut一malah tertawa sinis meresponnya. “Apa kamu bilang? Tante menghina ayah
kamu? Itu memang faktanya, sayang!” bisiknya kemudian.
Lantas Sivia langsung menepis cepat
saat tangan wanita itu hendak menyentuh dagunya. “Cukup, Tante! Aku bilang aku gak mau
debat sama Tante. Aku mau tidur, permisi!”
Plak!
“Kamu itu dibilangin susah banget
sih?! Tante bilang kamu jangan tidur! Kamu bersihin dulu semua cucian kotor
yang ada di dapur, pel semua lantai yang ada di rumah ini sampai mengkilat, dan
yang terakhir kamu harus bersihin gudang. Karena tempat itulah yang akan
menjadi kamar kamu mulai malam ini dan seterusnya. Ngerti?!” jelasnya panjang lebar setelah
dengan kerasnya ia menampar pipi kanan Sivia.
Mendapat tamparan keras dari Ibu
tirinya, hati dan harga diri Sivia seakan hancur. Dunia entah kenapa rasanya
sudah berubah. Meskipun Sivia tau bahwa Ibu tirinya tidak pernah menyukainya,
namun selama ini ia tidak pernah merasakan tekanan yang sangat berat di rumah
ini. Hanya saja semenjak Ayahnya meninggal karena kecelakaan itulah yang
membuat semuanya berputar begitu saja. Ibu tirinya benar-benarsudah menjelma
menjadi monster. Begitupun Cakka selaku kakak tirinya.
“Dan kalau sampai besok pagi belum
kelar, jangan harap kamu bisa keluar dari rumah ini! Termasuk kuliah.” ancamnya kemudian. Lalu pergi begitu
saja tanpa menghiraukan Sivia yang merasa kesakitan di wilayah wajahnya.
Sedangkan di sudut lain, ada
seseorang yang tersenyum ketus saat melihat Sivia disiksa seperti sekarang ini.
Kenzio Cakka tentunya.
“Dan sebentar lagi riwayat loe akan
tamat, Kimberly. Huh! I can't wait it.”
***
Luxart University
Di sebuah toilet, Alvin memandangi
wajahnya di depan cermin setelah beberapa detik matanya melirik sebuah foto
yang hampir setengah jam digenggamnya.Gampang-gampang susah untuk Alvin mencari
gadis yang tertera pada foto itu di Universitas ini. Tetapi yang jadi
masalahnya bukan itu, melainkan entah kenapa Alvin merasa tidak tega jikalau
harus membunuh gadis yang tatapannya selalu membuat hati Alvin merasakan hal
berbeda itu. Dan meski belum pernah sekalipun ia bertemu dengannya.
“Kimberly…” gusar Alvin pelan. Rambutnya yang
sedikit basah itu sengaja diacaknya seketika.
“Kenapa gue jadi kayakgini sih?! Come
on, Alvin! Ini tugas terakhir loe. Loe pasti bisa! Loe pasti bisa bunuh
gadis ini.”
ujarnya mencoba membujuk diri. Tetapi faktanya dalam ucapan tersebut masih
terseliprasa ketidakpercayaannya.
“Tapi? Aaarrrggghhh. . . Shit!
Loe itu siapa sih?! Kok gue malah jadi gini cuma gara-gara lihat foto loe?” tukas Alvin kembali frustasi. Mata
gadis itu seakan-akan mempermainkan perasaan Alvin dalam sekejap.
“Astaga! She is the eagle's eyes,
right? Kenapa gue baru inget sekarang? Aih!” ujar Alvin lagi saat otaknya
teringat akan sesuatu. Sesuatu yang kurang dari 24 jam yang lalu sempat
dibahasnya dengan sang bos besar.
“Huh! Yayaya. Cukup menantang. Tapi
bukan Lee Alvinandra namanya kalau gak bisa ngelakuin ini semua. Hmm…”
Sekejap, Alvin bergegas setelah
menyelipkan kacamata hitam pekat di kedua telinganya. Dan ia berjalan
sewajarnya setelah membuka hendel pintu toilet, kemudian melirik sesaat suasana
sekitar yang masih terlihat sangat sepi saat itu. Lantas menarik napas
pendeknya cepat-cepat.
“AWAAAAAAAAASSS!!!”
Dan baru saja Alvin mengembuskan
tarikan napasnya, tiba-tiba seorang gadis berteriak ke arah Alvin dengan
kesusahan mengontrol laju sepatu rodanya.
Brak! Klutuk!
Mereka berdua kontan terjatuh dengan
posisi Alvin berada di bawah dan gadis tadi berada di atasnya. Parahnya, hampir
sedikit lagi bibir mereka bersentuhan kalau saja tangan Alvin tidak refleks
menahan pundak gadis tersebut. Juga karena gadis itu menumpu kedua tangannya di
dada bidang milikAlvin.
Keduanya menahan napas, cukup syok.
Bahkan Alvin yang kacamatanya terlempar jauh itupun dapat melihat dengan
jelasnya ekspresi was-was dari raut wajah gadis tersebut. Lalu ia mengernyit.
Sepertinya ia mengenali sosok gadis yang kini matanya terpejam kuat itu.
Sementara si gadis terlihat sangat ketakutan dengan diiringi deru napasnya yang
memburu. Dadanya kembang kempis menyentuh dada Alvin yang melakukan aksi yang
sama.
“Kimberly?” gumam Alvin spontan.
Sontak kini gadis itu berusaha
membuka matanya perlahan. “Ah…
Sori,”
lalu segera berdiri begitu menyadari tubuh beratnya menumpang di atas tubuh
orang lain.
“Sori ya? Tadi sepatu rodakukayaknya
rusak deh, susah banget rasanya buat ngerem. Maaf ya, tadi lagi buru-buru
banget soalnya. Kamu gak apa-apa kan?” celoteh gadis itu kemudian.
Sedangkan Alvin malah mendadak diam
seribu bahasa. Pergerakkannya terkutuk seketika. Bahkan bukan hanya
pergerakkannya yang terkutuk, semua organ-organ di tubuhnya juga mengalami hal
yang sama saat ia tanpa sengaja menatap mata biru langit milik gadis tersebut.
“Hey, kamu gak apa-apa kan?”
Merasa tak ada respon, gadis itu
memastikan kondisi Alvin dengan sebuah lambaian pelan di depan matanya.
Takutnya ada sesuatu yang terjadi pada pria yang ada di depannya itu.
“Eh, gue… eh... iya, aku gak apa-apa kok.” kata Alvin cukup terbata. Entah
rasanya ia bingung sendiri menjawab pertanyaan gadis tadi.
“Oh, syukurlah. Sekali lagi maaf ya?”
“Oke, gak apa-apa kok. Santai aja,”
“Hehehe. Oh iya, kalau boleh tau siapa
namanya? Aku Sivia, mahasiswi fakultas hukum.”
Sivia, gadis itu, kini dengan
manisnya mengulurkan tangan di hadapan Alvin yang masih terlihat kaku dari
sebelumnya. Ia tersenyum tulus seperti tidak pernah terjadi apa-apa beberapa
detik yang lalu.
“Sivia?” gumam Alvin dengan mengulang kembali
nama Sivia. Tatapannya terlihat cukup bingung.
“Ya, Sivia. Nama kamu siapa?”
“Aku… Lee, eh, Alvin. Ya, aku Alvin.”
“Alvin? Oke, salam kenal ya?”
“Iya, salam kenal. Hmm. . .
Ngomong-ngomong tadi kenapa buru-buru gitu? Bukannya ini masih pagi ya?” tanya Alvin spontan. Membuat Sivia
langsung teringat kembali akan tujuan utamanya kenapa ia sampai buru-buru
sekali datang ke kampus seperti tadi.
“Oh itu? Iya, tadi aku berangkat ke
sini pakaisepatu roda, terus pas di jalan malah kebelet pipis, jadi aku
sengajajalannya cepet-cepet buat ke toilet deh. Hehehe.” jelas Sivia jujur. Sementara Alvin
terkekeh kecil dibuatnya. Ada-ada saja.
“Aduh… sebentar ya, aku mau ke toilet dulu.
Tambah gak tahan ini,” pamit Sivia seraya dengan buru-buru juga melepaskan sepatu
rodanya.
“Oh, iya silahkan!” ujar Alvin refleks. Kemudian
menggelengkan kepala setelah Sivia melewatinya sambil berjalancepat.
“Astaga! Gadis itu?!” ucap Alvin begitu ia melihat
kacamatanya yang tergeletak sambil melirik Sivia bergantian.
“Ah, shit!” cetus Alvin seakan baru menyadari
bahwa begitulah jadinya kalau ia sampai menatap mata gadis yang ia yakini
sebagai Kimberly Sivia itu secara langsung. Seperti terhipnotis. Dan memang
terhipnotis faktanya.
Lantas ia mengambil kacamata itu dan
memakainya kembali. “Hmm… baiklah, ini hal baru yang harus gue
mulai.”
Alvin menyeringai seketika. Tangannya
ia masukkan ke dalam saku celana dan kemudian melangkah pergi.
***
“Muka loe kok kusut banget, kenapa
sih? Loe abis begadang lagi gara-gara si Lampir sama Gerandongnya itu?”
Sivia membuang napas pelan ketika
teman akrabnya bertanya saat mereka duduk di pelataran taman kampus. Ia membuka
tasnya dan mengambil sedikit cemilan yang ia beli sebelum keluar kelas tadi.
Lalu menjawab seadanya, “Ya begitulah.”
“Astaga, Sivia! Loe tuh mau-maunya sih
diperbudak sama mereka? Lawan dong sekali-kali! Jangan diem aja! Setidaknya
jangan bikin mereka makin ngelunjak gitulah.” ujar teman akrabnya yang sudah tau
dengan keadaan keluarga Sivia.
“Gak segampang itu, Fy. Bisa aja sih
gue ngelawan, tapi kalau gue diusir dari rumah itu gimana? Mau tidur di mana
gue? Kolong jembatan?”
“Ck! Itu kan rumah loe, Via. Kenapa
mesti takut diusir? Harusnya mereka lah yang diusir sama loe.”
“Hmm… iya sih. Tapi gue gak mau gegabah
lahIfy, gue kasihan sama mereka berdua. Ya kali aja suatu saat nanti mereka
bisa tobat, gak tau juga kan?”
ClarissaRifyanova一teman akrab Sivia一lantas tertawa ketus mendengar
perkataan temannya tersebut. Hari gini masih ada orang bersikap baik sama
orang yang sudah jelas-jelas jahat?Please deh! Rutuknya.
“Loe berharap mereka tobat? Aih! Sama
aja kayak loe nunggu pohon pisang berbuah jambu. Nunggu kiamat dulu baru iya.” ujarnya.
“Hahaha. Bisa aja loe. Udah ah, males
gue bahas mereka berdua.” ucap Sivia seraya menyambar air mineral yang tadi ia beli di
kantin. Ify lantas mengangkat bahu.
“Bentar deh, itu Alvin bukan sih?
Alviiinnn, sini!”
teriak Sivia begitu matanya menangkap sosok pria muda berkacamata sedang
berjalan cepat tak jauh dari tempatnya duduk.
Kontan teriakan Sivia membuat pria
muda itu berhenti melangkahkan kakinya dan menengok ke arah sumber suara.
“Ya?” respon pria muda tersebut yang
ternyata memang Alvin.
“Mau ke mana, Vin? Sini
ngobrol-ngobrol dulu aja sama kita.” ajak Sivia antusias.
Sementara Alvin yang masih bingung
pun tiba-tiba kakinya tergoda untuk melangkah ke arah Sivia dan temannya duduk.
Entah karena ada angin apa. Sepertinya ia tertarik dengan tawaran Sivia
barusan.
“Duduk dulu, Vin! Oh iya, kamu mau
pulang ya?”
tanya Sivia lagi memastikan.
“Iya sih mau pulang, tapi aku mau
jemput Angel dulu.”
jawab Alvin langsung.
“Angel?”
“Iya, adik kecilku.”
“Oh, adik kamu? Sekolah di mana?”
“Di SD samping kampus kita kok, gak
jauh.”
“Hah? Masih SD? Wah, pasti unyu-unyu
dong?”
“Begitulah,”
“Ehem!”
Seketika Ify berdehem kecil. Usaha
yang pada umumnya dilakukan oleh semua orang ketika keberadaanya sudah tidak
diabaikan. Dan tentu saja hal itu dilakukan juga oleh Ify.
“Oh iya Vin, ini Ify, temenku. Ify,
ini Alvin, yang tadi pagi aku ceritain itu lho?” ungkap Sivia sebagai perantara
perkenalan antara Alvin dan Ify.
Sebelumnya mereka berdua saling
senyum terlebih dahulu dan kemudian berjabat tangan. Wajarnya seperti semua
orang yang baru pertama kali kenal.
“Ify,”
“Alvin.”
“Salam kenal ya, Vin?”
“Iya,”
Lalu dengan singkat Alvin melirik
arlojinya. Sudah jam duabelas lewat limabelas menit.
“Hmm. . . Aku cabut duluan gak apa-apa
kan? Mau jemput Angel dulu,” pamit Alvin sembari melirik Sivia dan Ify bergantian.
“Oh… gak apa-apa kok, santai aja!”
“Iya, harusnya juga kita yang gak enak
sama kamu, Vin. Soalnya udah maksa kamu buat gabung di sini.” sambung Ify dengan tidak enak hati.
“Kalau gitu aku pergi ya? Permisi!”
Sejenak, sebelum melangkah pergi,
Alvin menyempatkan diri untuk tersenyum ke arah Sivia dan Ify. Dan itu
benar-benar senyuman termanis yang pernah mereka berdua temui. Terlebih Ify
yang kentara sekali memperlihatkan ekspresi terpesonanya saat melihat Alvin.
“Iya Vin, hati-hati!” ucap Sivia dan Ify kompakan.
“Ah, Siviaaaaaa!!! Ternyata yang
namanya Alvin itu ganteng bangeeettt! Kece parah deh pokoknya! Terus tadi pas
dia senyum, gue kok jadi deg-degan gini ya? Aih! He is so handsomefull.” histeris Ify yang matanya belum juga
beralih dari tubuh Alvin yang semakin menjauh.
“Gak usah segitunya juga kali, Fy!
Lebay amat loe!”
respon Sivia sambil menyenggol pundak gadis yang masih bertingkah over
itu.
“Mau loe bilang lebay kek, apa kek,
bodo amat! Yang jelas tuh cowok udah bikin gue spot jantung hari ini. Ohmy
to the God!”
“Huh, dasar joni!”
“Heh? Apaan tuh joni?”
“JOMBLO NISTA! Hahaha.”
“Sialan parah loe, Vi! Dan kalaupun
gue jomblo nista, apa kabar dengan loe? Hah?!” timpal Ify yang berhasil membuat
Sivia berpamer gigi.
“Gue mah single, bukan jomblo.
Hahaha.”
bisik Sivia sambil bangkit dari duduknya.
“Sama aja, Sivia! Huh, dasar!”
“HAHAHA.”
“Tungguin gueee!”
***
Gadis kecil berambut dikuncir dua itu
terus berjalan lurus, tak menghiraukan panggilan dari Alvin yang sedikit
berlari tak jauh di belakangnya. Keterlambatan Alvin saat menjemputnya itu
seperti sudah tak termaafkan lagi olehnya.
“Angel, tungguin kak Alvin!”
Sudah hampir puluhan kali seruan
tersebut keluar dari mulut Alvin, namun Angel tetap tak bergeming. Lebih
tepatnya masa bodoh dan lebih memilih untuk terus berjalan. Entah berjalan ke
mana, yang penting mengikuti jalan raya. Tentu juga mengikuti langkah kakinya
ke mana ia akan membawanya pergi.
“Angel marah ya sama kakak? Ya udah
deh kakak minta maaf,”
Lagi, Alvin bersuara. Langkahnya kini
sudah sejajar dengan gadis kecil tersebut. “Kok Angel gitu sih sama kakak? Kakak
kan udah minta maaf,”
Angel masih tak peduli. Wajahnya yang
masih ditekuk pun belum mau untuk menengok ke arah Alvin. Jangankan menengok,
menyadari kehadiran Alvin saja belum tentu Angel anggap.
“Oke… kalau emang Angel gak mau maafin
kakak, gak masalah kok. Kakak mau beli es krim ah,” pancing Alvin seraya berhenti
mengikuti langkah adiknya, lalu berjalan mundur perlahan.
“Kakak gak bakal kasih ke Angel kalau
Angel minta!”
Dan seperti dugaan Alvin sebelumnya,
Angel berhenti melangkah dan berbalik badan ke arahnya. “Kok kakak jahat sih sama Angel? Angel
kan mau juga dibeliin es krim sama kak Alvin.” ujar Angel mulai sedikit melunturkan
aksi mengambeknya.
“Angel kan lagi marah sama kak Alvin,
jadi ngapain juga kak Alvin beliin es krim buat Angel?” ledek Alvin dengan melipat kedua
tangannya di dada.
Angel pun memajukan bibirnya
seketika. “Ih,
kok kakak gitu sih sama Angel? Tadi kan Angel cuma ngambek dikit doang, kak?”
“Mau sedikit, mau banyak, tetep aja
ngambek kan?”
“Ya lagian suruh siapa tadi kak Alvin
lama banget datengnya? Angel kesel tau, kak?!” balas Angel sambil ikut melipat
tangan.
Lalu Alvin berjongkok dengan memegang
kedua pundak Angel. “Ya
udah sekarang impas ya?”
“Hmm… ya udah deh. Tapi janji ya beliin es
krim dulu?”
ujar Angel setelah terlihat berpikir panjang demi menimang-nimang keputusannya
untuk memaafkan Alvin.
“Gak mau,”
“Ih, kak Alviiinnn!”
“Hehehe. Iya-iya kakak beliin.” ucap Alvin sambil mencubit pelan
hidung adiknya. Angel pun tersenyum.
***
“Kamu beneran gak mau pulang siang
ini, sayang?”
tanya seorang gadis cantik yang sedikit bermanja dalam dekapan Cakka.
Cakka pun menengok, kemudian membelai
lembut ubun-ubun gadis itu. “Iya, sayang. Aku mau habisin siang yang indah ini sama kamu.” bisiknya sembari menggigit pelan
telinga gadis tersebut.
“Ih, kamu nakal deh!”
Cakka hanya tersenyum saja saat gadis
tersebut membalas dengan menepuk dada bidangnya. Lalu mereka berdua kembali
berpelukan, tanpa busana, hanya sebuah selimut tipis saja yang menjadi penutup
tubuh mereka di atas sebuah ranjang. Ranjang mewah di sebuah apartemenyang
sudah menjadi saksi bisu dari hubungan intim mereka selama ini.
Perbuatan haram tersebut memang sudah
sering dilakukan oleh Cakka setiap ia mendatangi sebuah kamar di apartemen
milik kekasihnya, Reshilla. Meskipun mereka belum terikat dalam sebuah tali
pernikahan, tetapi anehnya mereka tidak pernah mempedulikan hal itu. Entah
karena terlalu cinta atau memang karena mereka telah terjerat oleh hasutan
setan, yang jelas Cakka dan Shilla kini sudah terlanjur terjebak dalam
kenikmatan dunia.
Perlahan, Shilla menautkan kedua
tangannya di leher Cakka. Mencoba menikmati setiap cumbuan yang dilakukan pria
tersebut di tubuhnya.
“Ireally love you, my honey.”
Lagi-lagi Cakka berbisik. Membuat
Shilla kembali tersenyum sembari mengeratkan pelukkannya. Entah surga apa yang
telah ia terima dari seorang Kenzio Cakka. Matanya pun mulai terpejam.
***
“Ade cantik, kamu ngapain di sini? Kok
sendirian aja?”
Sivia yang baru saja mengantar Ify
mencari taksi, tiba-tiba terheran saat melihat seorang gadis kecil duduk di
pinggiran trotoar. Dengan sedikit iba, ia segera menghampiri gadis kecil itu
dan bertanya setelahnya ia sampai di sana.
Awalnya gadis kecil itu tersentak,
cukup kaget dengan kedatangan Sivia yang secara tiba-tiba. Namun kemudian
tenang kembali begitu ia melihat sosok cantik yang matanya sangat menenangkan
hati itu.
“Aku lagi nunggu kakak aku, kak.” jawabnya polos.
“Lho? Emang kakak kamu ke mana? Kok
kamu gak ikut?”
tanya dan jelas Sivia kemudian. Kali ini ia ikut duduk di samping gadis
tersebut.
“Kakak aku mau ke toilet sebentar
katanya, kak. Gak apa-apa kak, aku sengaja nunggu di sini.” jawab gadis kecil itupolos.
Sivia mengangguk sambil membulatkan
mulut. Lalu sedetik kemudian ia merogoh tasnya. Mengambil sesuatu yang ia
sempat beli saat bersama Ify.
“Oh iya, kamu mau cokelat? Kakak punya
dua cokelat nih, kakak kasih satu kalau kamu mau.” tawar Sivia seraya menunjukan
cokelat di kedua tangannya.
“Hmm… gimana ya? Sebenernya Angel mau-mau
aja sih nerima cokelat dari kakak, tapi kata kakak Angel, Angel gak boleh
nerima sesuatu apapun dari orang yang gak Angel kenal.” ucap gadis itu yang ternyata Angel一adik kandung Alvin.
Sivia mendadak tersenyum kecil
dibuatnya. “Oh, namanya
Angel ya?”
tanyanya seraya diangguki cepat oleh Angel.
“Ngg… gak apa-apa juga kok kalau emang
Angel gak mau mah. Kakak simpen lagi aja deh kalau gitu,” lanjutnya.
“Tapi kayaknya kakak itu orang baik
ya? Hmm… gak
apa-apa deh, Angel mau. Hehehe.” ujar Angel sedikit labil. Membuat Sivia kembali tersenyum,
mewajarkan sikap kekanak-kanakan gadis tersebut.
“Emang Angel sama kakaknya Angel mau
pergi ke mana?”
Sembari membuka bungkus cokelat yang
tadi digenggamnya, Sivia kembali bertanya. Rasanya ia tertarik sekali untuk
mengobrol banyak dengan Angel.
“Angel sama kakak Angel rencananya mau
ke mini market kak, mau beli es krim. Tapi kakak Angel malah kebelet pipis,” jawab Angel yang lantas menggigit
cokelat pemberian Sivia tadi.
“Oh gitu ya?”
“Iya, kak. Hmm… kalau boleh tau, nama kakak ini
siapa? Angel kan udah makan cokelat punya kakak, masa iya Angel gak tau nama
kakak?”
tanya Angel kali ini.
“Eh iya ya, kakak juga sampai lupa
ngenalin diri kakak sendiri. Hehehe. Kenalin, nama kakak Via.”
“Oh, kak Via? Angel seneng deh bisa
kenal sama kak Via, udah baik, cantik pula. Pasti kakaknya Angel juga bakal
suka kalau ketemu sama kak Via.”
“Lho? Emang kakaknya Angel cowok ya?”
“Cowok kak, ganteng lagi.”
“Oh… kak Via kira kakaknya Angel itu
cewek.”
“Cowok kok, kak. Hehehe. Entar deh
Angel kenalin kak Via sama kakak Angel kalau udah dateng.” ucap Angel antusias.
“Hmm… mungkin lain waktu aja kali ya?
Soalnya kakak harus pulang nih, udah hampir jam dua.” kata Sivia setelah melirik arloji
berwarna ungu yang melingkar di tangan kirinya.
“Yah, kakak. Tapi ya udah deh gak
apa-apa. Makasih ya kak buat cokelatnya?”
“Iya sayang, sama-sama. Kamu baik-baik
ya di sini? Kakak mau pergi dulu. Babay!” pamitnya manis.
Dan sebelum pergi, Sivia mengacak
pelan poni gadis itu. Meski ada sedikit rasa tidak tega meninggalkan Angel
sendirian, namun ia harus segera pulang sebelum amukan ibu tirinya menggelegar
di telinga Sivia.
“Hati-hati ya, kak Via!” teriak Angel. Seulas senyuman manis
pun mengiringi langkah Sivia yang semakin jauh.
“Sayang, tadi kamu ngobrol sama siapa?” tanya Alvin yang entah sejak kapan
berada di belakang Angel. Membuat Angel sedikit terkejut.
“Ih, kak Alvin ngagetin aja!”
“Ya maaf, abisnya tadi kakak khawatir
lihat kamu ngobrol sama orang yang gak dikenal. Kakak takut kamu diculik, jadi
kakak lari deh. Emang tadi siapa sih?” tanya Alvin lagi ingin mengetahui lebih rinci.
“Kakak yang itu? Dia kak Via, kak.
Temen Angel,”
“Via? Temen Angel? Emang sejak kapan
Angel punya temen sebesar itu?”
Alvin mengernyit heran. Jika dilihat
dari postur tubuhnya, Alvin sepertinya belum pernah melihat gadis yang tadi
mengobrol dengan Angel sebelumnya. Apalagi sampai dibilang teman seperti yang
diungkap adiknya barusan.
“Sejak saat ini,” jawab Angel sumringah. Karena
faktanya baru kali ini Angel berkenalan dengan seorang perempuan yang usianya
hampir sebaya dengan kakaknya, Alvin.
“Aduh, Angel… kakak kan udah pernah bilang, jangan
pernah deket-deket sama orang yang gak dikenal! Kamu inget gak sih?!”
“Tapi kak Via itu orang baik kok, kak.
Buktinya dia ngasih Angel cokelat.”
“Angel, dengerin kakak! Sekali lagi
kakak bilang, kamu jangan pernah deket-deket sama orang yang gak dikenal!
Apalagi sampai nerima sesuatu, ngerti?!” perintah Alvin sambil menatap tajam
dengan pegangan yang cukup erat di pundak Angel. Yang lantas memberi efek
menakutkan bagi gadis kecil tersebut.
“Maafin kakak, bukan maksud kakak buat
ngebentak kamu. Jujur, kakak cuma takut aja kalau kamu sampai kenapa-kenapa.”
Kini Alvin sedikit melirih begitu
merasa kalau Angel ketakutan dengan ucapannya tadi. Lalu menyentuh kedua pipi
adiknya itu sangat lembut. Sentuhan kasih sayang yang selalu Alvin berikan
setiap hari kepada adik kecilnya itu.
“Kak Alvin gak usah minta maaf, kak
Alvin gak salah kok, Angel yang salah. Dan Angel janji, Angel bakal inget terus
kata-kata kak Alvin tadi.” ujar Angel yakin. Dan tiba-tiba saja hatinya tergoda untuk
memeluk pria muda yang masih berjongkok di hadapannya itu.
“Aku sayang banget sama kak Alvin.”
“Iya sayang, kakak juga sayang banget
sama Angel. Karena Angel itu harta terindah satu-satunya yang kakak punya di
dunia ini.”
Mereka berdua berpelukan erat di
pinggir jalan, tak peduli meski banyak juga orang yang melihatnya dengan
tatapan haru.
***
Srek!
Suara gorden terbuka seketika. Sinar
mentari sore pun berebutan menerobos ruangan itu. Menusuk secara paksa kedua
pasang mata yang masih terpejam dengan ketenangan karena terlelap kelelahan.
Lantas pemilik mata itu menggeliat setelahnya.
“Sayang, bangun! Aku udah siapin teh
hangat nih buat kamu.” ujar Shilla yang masih berbalut baju tidur. Kemudian duduk
tak jauh di tempat Cakka berbaring.
Karena dirasa Cakka belum juga
merespon panggilannya tadi, Shilla kembali bersuara. Kali ini sembari
menggoyangkan tubuh kekasihnya itu. “Ayo dong bangun! Pasti kamu capek kan, sayang?”
“Bentar lagi ya, sayang? Aku masih
capek,”
balas Cakka dengan suara sengaunya.
Shilla pun menarik napas pasrah. “Ya udah kalau gitu aku mandi dulu ya,
sayang?”
kata Shilla sambil menaruh segelas teh hangat di atas meja dan kemudian
mengecup mesra pipi kanan Cakka. Lantas Cakka pun mengangguk paham, lalu
menbalas dengan tersenyum
“Bye, sayang!” ucap Shilla lagi dengan melangkah pergi setelahnya.
Sedangkan dalam detik yang sama,
Cakka segera menarik selimut yang tadi hanya menutupi setengah perutnya yang
masih tanpa busana. Berusaha menyamankan diri untuk kembali berselancar ke alam
mimpi seperti sebelumnya.
Namun baru saja Cakka berniat untuk
memejamkan mata, tiba-tiba suara ponsel mengusik pendengarannya. Cakka pun
langsung menggeliat kesal, juga terpaksa tangannya keluar dari balik selimut
untuk mengambil ponselnya yang memang terletak tak jauh di posisinya tersebut.
“Lee?” gumam Cakka begitu matanya menatap
layar ponsel. Sebuah panggilan dari Lee, kontak yang pernah ia terima dari Mr.
Hugo beberapa hari yang lalu.
“Hallo?”
“Apa anda ini Mr. Ken?”
“Ya, saya Ken. Ada apa?”
“Saya Lee, agen dari DeadFaster.”
“Oh, yayaya. Gimana tugas anda? Apa
anda sudah berhasil melakukan apa yang aku mau, Mr. Lee?” tanya Cakka begitu menyadari kalau
Lee adalah utusan dari Hugo, ownerDeadFaster yang ia kunjungi beberapa
hari yang lalu.
Untuk apalagi kalau niat Cakka datang
ke sana bukan untuk melenyapkan Kimberly Sivia一satu-satunya gadis penghalang bagi
Cakka dan ibunya untuk mendapatkan semua harta warisan milik almarhum ayah dari
gadis tersebut.
“Maafkan saya mister, saya belum
melakukan apa yang anda inginkan. Saya perlu waktu, karena sepertinya gadis ini
mempunyai kekuatan yang sangat tidak mudah untuk dilenyapkan begitu saja.”
“Bodoh! Kenapa mesti mengulur waktu
lagi? Hah?! Bukankah ini terlalu mudah buat anda selaku pembunuh bayaran yang
sudah handal?!”
“Saya mengerti mister, tapi saya…”
“Saya gak peduli! Saya ingin anda
membunuh gadis sialan itu secepatnya!” sontak Cakka langsung mematikan sambungan teleponnya secara
sepihak. Sangat tak peduli dengan Lee yang mungkin sekarang sedang kebingungan
harus berbuat apa.
“Sayang, tadi katanya kamu mau tidur?
Kok belum tidur juga sih? Terus tadi juga aku denger kamu ngobrol sendiri,”
“Tadi ada orang yang telpon aku,” jawab Cakka dengan memotong
pembicaraan Shilla yang kini berdiri di depan cermin.
“Emangnya siapa yang telpon? Mama
kamu?”
“Bukan kok, temen kuliah.” balas Cakka sambil bangkit dari
tidurnya. Lantas berjalan mendekati Shilla dan memeluknya dari belakang.
“Ih, sayang! Mulai deh! Gak malu apa
telanjang gitu?”
timpal Shilla sedikit risih.
Sedangkan Cakka malah menyeringai
iblis. Matanya tergoda untuk menjamah wilayah leher jenjang Shilla. Namun. . .
“Eits! Tidak lagi untuk sekarang!” cegah Shilla dengan memegang kepala
Cakka. Lalu menuntun pria tersebut ke arah kamar mandi.
“Lebih baik kamu mandi dulu, terus
minum teh, terus siap-siap buat hangout entar malem, terus…”
“Terus?” pancing Cakka saat kata-kata Shilla
terpotong.
“Hmm. . . Terus apa ya? Udah ah, sana
mandi dulu!”
“Tapi aku mau dimandiin sama kamu,
sayang?”
rengek Cakka saat tubuhnya masih berdiri di tengah-tengah pintu kamar mandi.
Shilla pun memutar mata. Pria ini
terkadang bersifat seperti anak kecil meskipun sifat aslinya tidak sama sekali
baik. Cukup menggemaskan menurutnya.
“Sayang… kamu itu bukan anak kecil lagi.”
“Tapi aku mauuu…” pinta Cakka manja.
“Enggak, enggak, enggak!” tolak Shilla mentah-mentah.
Namun seketika Cakka menyeringai
iblis untuk kedua kalinya. Dan. . .
“Cakkkkkkaaaaaa. . .” teriak Shilla kencang saat tubuhnya
di tarik Cakka ke dalam kamar mandi dan dikuncinya cepat-cepat.
***
“KIMBERLYYYYYY!!!” teriak Sonya yang berhasil
memecahkan gendang telinga Sivia yang sedang mengepel lantai.
Sontak membuat Sivia memutar mata
seraya membuang napas jengah. Lagi asyik-asyiknya mengepel lantai sambil
berdendang kecil, raungan harimau itu seakan mengusik ketenangannya.
“Kiamat duabelas!” tukasnya.
“Kimberly, ke sini kamu!”
“Iya, sebentar!”
“Cepetan!”
“Iya-iya, ada apa sih?! Pakai teriak
segala kaya di hutan aja.” cetus Sivia sambil segera mendekati sumber suara.
“Kamu ini becus gak sih kalau kerja?!
Kamar Cakka kok masih berantakan kaya gini?!” omel Sonya begitu Sivia sampai di
tempatnya.
“Oh, itu? Aku kira ada apa
teriak-teriak kaya orangutan.”
“Kenapa ini masih berantakan? Hah?!” bentak Sonya untuk kesekian kalinya
di hadapan Sivia.
“Jelaslah masih berantakan, orang
belum aku beresin.”
respon Sivia santai.
“Kenapa belum diberesin? Ke mana aja
kamu dari tadi?”
tanya Sonya sekenanya. Jelas saja Sivia langsung memutar mata saat
mendengarnya. Sepertinya Sonya sama sekali tidak ada ibanya sedikitpun terhadap
Sivia.
“Tante, tadi kan Tante sendiri yang
nyuruh aku ngepel. Sekarang malah nanyain ke mana aja aku dari tadi, gimana
sih? Heran deh,”
bela Sivia ketus.
“Diem kamu! Kalau dibilangin malah
ngebantah terus. Cepetan beresin kamar Cakka sekarang juga! Tante gak mau kalau
Cakka sampai marah-marah gara-gara kamarnya belum diberesin.” seru Sonya seenak hatinya.
“Ya, lagian suruh siapa punya anak
sifatnya kaya beruang gitu.” umpat Sivia pelan.
“Cepetaaannn!”
“Tapi aku kan belum kelar ngepel,
Tante.”
tukasnya pelan dengan sedikit penekanan pada tiap-tiap kata.
“Beresin ini dulu, abis itu baru
terusin ngepelnya!”
perintah Sonya kesekian kalinya.
“Gak mau ah! Hmm… atau gini aja deh, aku beresin kamar
Cakka, Tante yang ngepel ruang tamu. Gimana? Biar cepet selesai kan?” saran Sivia asal.
Namun bodohnya, Sonya malah berpikir
dan raut wajahnya seakan memberi tanda kalau ia mau menyetujui saran dari Sivia
tersebut. “Oh,
ya udah. Sini pelannya!” ucapnya.
“Yes!” umpat Sivia lagi. Lantas ia
memberikan semua alat pelnya ke Sonya. Dan sedetik kemudian Sonya pun keluar
dari kamar Cakka dengan linglungnya.
“Dasar wanita bodoh! Mau aja gue
kibulin. Hahaha.”
gumam Sivia sambil tertawa puas.
“Satu, dua, tiga. . .” hitunganya dalam hati begitu tak
lama Sonya keluar dari kamar Cakka.
“KIMBERLYYYYYY!!!”
“Tepat sekali!”
Seperti dugaan Sivia, Sonya kini一hanya dalam hitungan detik saja一langsung tersadar kalau ia sedang
dikibuli anak tirinya itu. Entah siapa yang bodoh dalam kasus ini, yang jelas
kepintaran saat ini memihak kepada Sivia.
“Iya, apalagi sih, Tante?”
“Kamu mau bodohin Tante? Hah?!” ketus Sonya yang kembali menukas
saat tubuhnya muncul lagi di depan pintu kamar Cakka.
“Lho? Kan tadi Tante sendiri yang mau?
Gimana sih?!”
“Aaarrrggghhh… kamu tuh ya!”
Sivia seketika terkekeh dibuatnya.
Apalagi saat melihat ekspresi wajah Sonya yang sangat bodoh itu. Sementara Sonya
langsung enyah dari hadapan Sivia setelah dengan kesalnya ia membanting pelan
di hadapan anak tirinya tersebut.
“Anda kalah telak, wanita bodoh!” ketus Sivia dengan desisan sinisnya.
Dalam sedetik, Sivia kembali membuang
napas. Baru saja telinganya merasa damai dari teriakan Nenek Lampir itu, kini
malah pandangan matanya yang disuguhkan dengan keadaan kamar Cakka yang super
berantakan. Membuatnya menggeleng malas dan sedikit berdecak.
“Ini kamar orang apa kamar setan sih? Absurd
bener kelihatannya. Parah!” gumam Sivia prihatin. Bahkan Sivia sampai bingung harus dari
mana dulu ia memulai untuk membereskan kamar milik Cakka itu.
“Hmm… baiklah,”
***
Di dalam duduknya, Alvin terlihat
memasang wajah masam. Ternyata niatnya untuk menghubungi Mr. Ken itu tidak seperti
yang ia bayangkan. Cukup menyebalkan. Padahal baru pertama kali ia mengontak client
barunya tersebut, tetapinyatanya ia sudah mendapatkan cacian yang bahkan belum
pernah sekalipun ia dengar selama menjadi agen DeadFaster.
“Sodamn! Kalau saja bukan karena tugas
terakhir dari Mr. Hugo, gue gak bakal diam saja mendapatkan cacian yang hina
dari loe, Ken! Loe belum tau siapa gue sebenarnya.” sinis Alvin seraya memutar ponselnya
di atas kasur.
“Ya, bisa aja sih gue bunuh Sivia
secepatnya. Tapi sayangnya gue ingin tau lebih dulu apa konflik yang terjadi
antara Sivia dan loe, Ken."
Kini, Alvin menyeringai sinis. Entah
kenapa ia tergoda untuk mengetahui urusannya yang terakhir ini. Lebih tepatnya
ingin mengetahui alasan client-nya ini ingin membunuh gadis bernama
Kimberly Sivia tersebut.
“Ini tugas gue yang terakhir, dan gue… gue ingin melakukan yang berbeda
dengan yang pernah gue lakukan.”
Alvin pun merebahkan tubuhnya
seketika. Memandang langit-langit dengan tatapan kosong. “Ck! Sepertinya ini sangat menyenangkan.
Yayaya…
mungkin dengan begini gue bakal tau kenapa orang-orang di luar sana sampai tega
menyuruh pembunuh bayaran untuk membunuh orang yang belum tentu berdosa itu.
Hmm… baiklah,” lanjutnya. Sampai ia tak sadar kalau
sejak tadi pintu kamarnya sudah ada yang mengetuk berulang kali.
“Kak Alvin, Angel boleh masuk gak?” tanya gadis di balik pintu. Membuat
Alvin segera bangkit dari ranjangnya.
“Masuk aja, sayang! Gak dikunci kok.” jawabnya lantang.
Lantas Angel pun masuk dengan kedua
tangannya yang memegang dua buah susu kotak seraya tersenyum ke arah kakaknya. “Kak Alvin mau tidur ya? Duh, maaf ya
kak kalau Angel ganggu? Angel cuma mau bawain susu kotak aja kok buat kakak.” ujar Angel sedikit tak enak hati.
Namun Alvin hanya membalasnya dengan
senyuman. Lantas menarik gadis kecil itu ke atas pangkuannya. “Gak apa-apa kok, sayang. Makasih ya?” ucap Alvin cukup manis. Susu kotak
yang disuguhkan Angel pun diterimanya dengan cepat.
“Oh iya kak, Angel boleh tanya gak
sama kak Alvin?”
tanya Angel.
“Hmm… boleh,”
“Beneran nih boleh? Tapi kak Alvin
janji dulu ya bakal jawab jujur?” pinta Angel yang cukup membuat Alvin mengernyit.
“Emang Angel mau tanya apa? Iya deh
kak Alvin janji bakal jawab jujur,”
“Janji nih?”
“Iya sayang, kak Alvin janji. Mau
tanya apaan sih?”
ujar Alvin yang lantas mencubit hidung Angel pelan. Benar-benar gemas dengan
sifat adik cantiknya itu.
Sementara Angel menyeringai terlebih
dulu sebelum bertanya. “Ngg… kak Alvin kok sampai sekarang belum punya pacar sih? Emang
kak Alvin gak ada yang suka ya?”
Glek!
Alvin menelan ludah seketika. Dua
buah pertanyaan dari Angel tersebut bahkan tidak pernah sedikitpun terpikirkan
oleh Alvin sebelumnya. Lagipula apa maksudnya sang adik datang ke kamarnya dan
menanyakan hal tersebut?
“Hmm… mesti dijawab ya?” gumamnya bingung sendiri.
“Wajib! Kan tadi kak Alvin udah janji
sama Angel.”
kata Angel sambil mengangkat kepalanya ke atas demi melihat wajah Alvin.
“Hmm… bukannya kak Alvin gak ada yang suka
sih, tapi emang kak Alvin lagi gak pengen pacaran dulu. Kak Alvin pengen fokus
urusin Angel,”
jawab jujur Alvin dengan semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Angel yang
masih duduk manis di pangkuannya itu.
“Oh gitu ya, kak? Yah, padahal Angel
pengen banget kalau kak Alvin itu punya pacar. Kalau gitu kan nanti Angel jadi
punya kakak perempuan deh.” ujar Angel seraya membayangkan apa yang sedang ia harapkan
dari Alvin.
Sedangkan Alvin hanya terkekeh
mendengarnya. “Ya
udah deh entar kakak cari pacar kalau ada waktu. Hehehe.”
“Hmm… gimana kalau Angel aja yang cariin
pacar buat kak Alvin?” tawar Angel yang berhasil membuat Alvin menautkan salah satu
alisnya.
“Ish! Emangnya Angel tau cewek
kesukaan kakak itu kaya gimana?”
“Gak tau! Hehehe.”
“Ih, dasar!”
“Hmm… tapi menurut Angel, kak Via
sepertinya cocok juga tuh buat kak Alvin.” ucap Angel saat teringat sosok gadis
yang memberinya cokelat siang tadi.
Alvin lagi-lagi mengernyit dibuatnya.
“Kak Via? Kak Via siapa?” tanya Alvin kemudian. Matanya pun ia
sipitkan kompak.
“Itu lho kak, yang tadi siang ngasih
cokelat ke Angel.”
jawab Angel sembari turun dari pangkuan Alvin.
Lantas Alvin pun langsung membulatkan
mulutnya sambil mengangguk berulang kali. “Oh, yang itu? Tapi kan kak Alvin gak
tau orangnya, sayang?” cetus Alvin sangsi.
“Asal kak Alvin tau ya, kak Via itu
orangnya cantiiiiiik banget! Udah gitu baik dan ramah pula sama Angel. Pokoknya
gak nyesel deh kalau kak Alvin punya pacar kayak kak Via.” jelas rinci Angel yang seakan sudah
mahir betul dengan masalah percintaan orang dewasa.
“Masa sih? Aduuuh… adenya kakak yang ini kok paham
bener sih masalah gituan? Udah ah, kamu gak boleh bahas masalah itu lagi! Kamu
kan masih kecil, sayang. Mendingan sekarang kamu tidur deh, entar malem kan
katanya mau ditemenin belajar matematika sama kakak?” ucap Alvin sambil membelai rambut
panjang Angel yang kini memamerkan gigi rapinya itu.
“Oh iya ya? Hmm… ya udah deh kalau gitu Angel tidur
dulu.”
ujarnya polos sembari bergegas naik ke atas tempat tidur kakaknya dan lalu
menarik selimut cepat-cepat.
“Nah, gitu dong! Entar kakak bangunin
deh pas waktunya Angel buat belajar. Oke?”
Gadis itupun mengangguk cepat.
Bibirnya melengkung, menampakan senyuman manis yang mewarnai wajah cantiknya.
Lantas menarik napas, kedua kelopak matanya seakan sudah terasa berat.
“Selamat tidur ya, Angel sayang!
Semoga mimpi indah,”
ucap Alvin sembari melayangkan ciuman hangat di kening adiknya tersebut. Hal
terindah yang rutin Alvin lakukan semenjak dirinya dan Angel ditinggal oleh
kedua orangtuanya sepuluh tahun yang lalu.
Sejenak, Alvin memandang sendu wajah
adiknya yang begitu cantik saat terlelap. Wajah itu, wajah yang selalu
mengingatkan ia kepada sosok ibu tercintanya. Seorang wanita anggun yang
nyawanya terenggut dengan sangat mengenaskan.
“Ma,Alvin janji, Alvin bakal lindungi
Angel sampai kapanpun. Dan Alvin juga janji akan membuat Angel menjadi
perempuan terhebat yang pernah ada di keluarga Lee. Mama yang tenang ya di
sana?”
ujar Alvin dengan yakinnya. Kemudian ia menarik napas cukup panjang sebelum ia
melangkah pergi untuk membiarkan gadis kecil itu terlelap dengan tenangnya.