@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Rabu, 16 Januari 2013

I'm Via!

Jakarta, Januari 2003.



Libur telah usai. Dunia kembali bersiap menghadapi sibuknya jutaan aktivitas manusia dari berbagai kalangan. Seperti sekarang ini, jalanan mulai padat, kepulan-kepulan udara kotor yang bersarang di knalpot sudah merajai suasana pagi di Jakarta. Suara bising knalpot yang saling beradu bak paduan suara pun ikut serta meramaikan hari pertama jam kerja dimulai ditahun yang baru ini. Di mana semestinya hal seperti ini tidak terjadi lagi ditahun sekarang. Namun percuma. Mungkin hal seperti ini akan selalu terjadi dan tidak akan pernah hilang. Ya Begitulah. Karena bukan Jakarta namanya jika tidak berdampingan dengan kata macet. This is fact, right?
“Apa gak ada jalan pintas, Pak Leh?” tanya seseorang pada supirnya yang kebetulan berada dalam satu mobil diantara ratusan mobil lainnya.
“Kayaknya gak ada, Non. Kita sudah terlanjur di tengah-tengah.” jawab sang supir yang dipanggil Pak Leh tersebut.
“Apa masih lama, Pak? Bisa telat, nih.” keluhnya dengan wajah gelisah dan mata yang tak henti melirik arloji warna ungu yang melingkar manis di lengan kirinya.
“Apa mau turun di sini aja, Non? Nanti biar Pak Leh cari ojek buat Non. Gimana?”
“Gak usah, deh, Pak! Malah buang-buang waktu,” ucap orang itu lagi tambah gelisah. “Tapi tunggu, deh! Di bagasi ada sepeda, kan?” lanjutnya antusias. Pak Leh berpikir sejenak.
“Kalau gak salah, sih, ada. Non Ify mau naik sepeda?” jawab dan tanya Pak Leh cepat.
“Tepat!” kata orang itu sigap. Ia bernama Ify.

***


Mentari masih bertengger manis diantara awan putih yang sedikit menutupinya. Ditambah dengan tiupan angin yang sejuk dan lembut hingga mampu menetralkan cuaca pagi diawal masuk sekolah ini. Hangat dan damai.
Happy new year, Via!” ucapan ke seratus yang mungkin sudah diterima Via. Salah satu siswi di SMAN 4 Jakarta. Ia sangat dikenal di lingkungan sekolahnya karena memiliki paras yang manis dan sikapnya yang ramah serta mudah bergaul itu sangat dikagumi sama semua siswa di sekolahnya. Selain itu, gadis bernama lengkap Caviana Putri Hermawan itu juga mempunyai seorang sahabat. Bahkan mungkin bisa dibilang sahabat sejati. Karena mereka berdua sudah bersahabat sejak masih SD. Anaknya cantik, pintar, baik dan merupakan anak dari kepala sekolah SMA tersebut.
Happy new year too, Gabriel!” balas Via sambil tersenyum.
“Kok masih di sini, Vi? Masuk, yuk!” tanya dan ajak Gabriel一teman sekelas Via.
“Gue lagi nunggu Ify, Yel. Gak biasanya dia telat gini.” jelasnya seraya melirik arloji di tangannya.
“Kena macet kali, Vi. Masuk aja, yuk!” ajak Gabriel lagi. Via mengangkat kedua pundaknya pelan.
“Ya udah, yuk!”
“Awaaaaasssss...!!!” teriak seseorang saat Via dan Gabriel hendak masuk gerbang.

Brak!!!


“Aduh, Ify! Kalau naik sepeda lihat-lihat, kenapa? Badan gue pada sakit, nih!” kesal Via kesakitan.
“Sori, Vi. Gue gak sengaja. Soalnya gue buru-buru, takut telat.” kata Ify sambil membantu Via bangun.
“Loe gak apa-apa, kan, Yel?” giliran Gabriel dibantunya. Gabriel hanya tersenyum simpul.
“Sori, ya?”
“Gak apa-apa, kok. Santai aja.” balas Gabriel singkat.
“Oh iya, loe kok naik sepeda sih, Fy?” tanya Via heran. Karena baru kali ini Ify ke sekolah naik sepeda.
“Iya, sih? Rumah loe kan lumayan jauh,” timpal Gabriel.
“Nanti gue ceritain di kelas. Masuk, yuk!” ajak Ify dengan menarik paksa tangan Via dan Gabriel. Sedangkan yang ditarik cuma bisa menghela napas penasaran. Dasar Ify!

***


“Nah, karena itu gue putusin buat naik sepeda.” kata Ify diakhir ceritanya yang panjang lebar. Via dan Gabriel hanya ikut menjadi pendengar yang baik.
“Makanya jangan belajar sampai larut malem, coba! Jadinya loe telat bangun, kan? Lagian kita baru pertama masuk, masa iya langsung belajar?” Via menyenggol pundak Ify pelan.
“Kayak gak tau sahabat loe aja, Vi! Dia kan hobinya belajar.” ledek Gabriel. Ify mengangkat kedua alisnya.
“Betul! Ify gak bisa hidup tanpa belajar.” Via ikutan meledek Ify.
“Dasar!” cibir Ify. Lalu mereka bertiga tertawa gak jelas.
“Selamat pagi anak-anak!” sapa Ibu Helen selaku wali kelas dari kelas XI IPA 2.
“Selamat pagi, Bu!” koor para siswa kompak.
“Pertama-tama ibu ucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kita masih diberi kesehatan untuk bisa berkumpul kembali di kelas tercinta kita. Sekaligus ibu mau ucapkan Selamat Tahun Baru buat kalian semua. Selamat tahun baru, ya!” kata Bu Helen penuh semangat.
“Selamat tahun baru juga, Bu!” balas para siswanya gak kalah semangat.
“Oh iya, ibu hampir lupa. Hari ini kelas kita kedatangan teman baru, pindahan dari Malang. Silahkan masuk!” suruh Bu Helen sembari mendekat ke arah pintu. Seisi kelas langsung heboh dan menatap ke ambang pintu. Puluhan prasangka pun mulai terbesit di pikiran mereka. Apa dia baik? Apa dia pintar? Apa dia tampan? Apa dia jelek? Atau mungkin dia sombong? Entahlah!
“Wuih! Cakep banget!” respon salah satu siswi di barisan paling belakang saat siswa baru tersebut muncul di balik pintu.
“Silahkan perkenalkan nama kamu terlebih dahulu!” kata Bu Helen ramah. Namun, anak itu malah terdiam seribu kata. Wajahnya mendadak tak berekspresi.
Hallo! Kok malah bengong, sih? Gak usah gugup gitu, kali. Gue tau kok, gue emang cantik.” ceplos Shilla yang kebetulan duduk paling depan, tepatnya di samping meja Via dan Ify. Serentak, sebuah sorakan bergemuruh di kelas XI IPA 2. Untuk Shilla tepatnya.
“Ada yang bisa ibu bantu?” bisik Bu Helen. Anak itu pun membisikkan sesuatu ke telinga Bu Helen. Pelan. Sangat pelan mungkin.
“Baiklah. Anak-anak, ibu akan perkenalkan teman baru kita ini. Namanya Alvino Mahendra, kalian bisa panggil dia Alvin. Dan ibu harap kalian bisa bantu Alvin selama belajar di sini. Alvin, silahkan duduk di bangku kosong samping Gabriel!” Bu Helen menunjuk ke arah Gabriel. Alvin tersenyum dan melangkah menuju kursi yang ditunjuk Bu Helen barusan.
“Siapkan buku kalian masing-masing! Hari ini ibu mau mengulas kembali pembahasan kita sebelumnya.” lanjutnya tegas. Puluhan siswa mendadak menampakkan ekspresi lesu. Hari pertama masuk langsung belajar? Oh, no!

***


Jam istirahat baru lima menit berlalu. Namun jumlah siswa di kelas XI IPA 2 sudah hampir semuanya bermigrasi ke kantin. Maklum, masalah perut memang tidak bisa dikompromi. Kalau waktu istirahat tiba, sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi kesempatannya. Apalagi selesai pelajaran yang begitu menyita otak dan tenaga.

Di sisi lain, Via baru saja selesai menyalin tulisan yang ada di papan tulis. Lama. Membuat Ify terpaksa menunggunya dengan sabar.
“Selesai! Kantin yuk, Fy?” ajak Via semangat.
“Mendadak gak nafsu makan, nih.” timpal Ify sekenanya.
“Ih! Kok gitu, sih? Ayo dong, Fy! Gue laper, nih.” Via menggoyang-goyangkan tubuh Ify pelan. Ify membuang napas kesal. Gak tega kalau sudah melihat wajah Via yang mulai memelas ini.
“Heran gue, kenapa hati gue selalu iba acap kali lihat ekspresi wajah loe yang kayak gini.” Ify mencubit kedua pipi Via keras.
“Maksud loe? Muka gue muka mengiba, gitu?”
“Tepat! Hahaha…” Ify tertawa lepas.
“Dasar! Emangnya gue tukang memelas, apa?!” Via cemberut.
“Eh, Vi! Apa kita gak mau kenalan dulu sama Alvin? Kali aja dia mau ikut ke kantin juga bareng kita.” saran Ify sambil melirik ke arah anak yang sedang duduk sendiri di barisan paling belakang.
“Boleh,” balas Via singkat. Lalu mereka antusias berjalan menuju meja Alvin.
“Hai! Boleh kenalan?” sapa Ify pelan. Sekilas, Alvin menengok dan melihat dua cewek cantik tersenyum ke arahnya. Ia balik tersenyum, tak lama, sekitar seperempat detik, kemudian menjabat tangan Ify dan Via bergantian.
“Gue Audify Alyssa Dermawan. Panggil aja Ify.”
“Gue Caviana Putri Hermawan. Cukup panggil Via,” ucap Via mengakhiri sesi perkenalan. Sedetik, suasana kembali hening. Via dan Ify saling bertatapan. Heran.
“Mau ikut ke kantin bareng kita nggak, Vin?” tawar Via tiba-tiba. Alvin tak menjawab. Ia terlalu fokus membolak-balik buku bersampul hitam miliknya.
“Mau nggak, Vin? Sekalian kita ajak loe mengenal lebih jauh lagi mengenai sarana di sekolah ini.” Ify ikut berbicara. Kemudian, Alvin berdiri. Ia menggelengkan kepala dan langsung melangkah pergi keluar kelas. Lagi, Via dan Ify kembali bertatapan.
“Aneh,” bisik mereka pelan.

***


“Minum dulu, Vin!” tawar Gabriel setelah selesai bermain basket.
Thanks, Yel!”
“Loe jago juga main basketnya, Vin. Dulu pemain basket juga?” Cakka ikut duduk di samping Alvin dan Gabriel.
“Iya, tapi gue ngundurin diri dari tim basket.” jawab Alvin setelah meneguk minuman dari Gabriel.
“Lho, kenapa?”
“Gak apa-apa. Gue cuma pengen keluar aja.” mata Alvin menatap lurus ke depan. Pikirannya melayang entah ke mana.
“Maksud loe?” tanya Gabriel dan Cakka bersamaan.
“Sudahlah, lupain aja! Gak penting juga buat kalian.” timpal Alvin ketus.
“Sori, bukan maksud kita buat…” ucap Gabriel terpotong.
Hi, guys! Boleh gabung?” sapa Via dan Ify.
“Boleh, dong! Sini duduk!” jawab Cakka antusias.
“Gue permisi ke toilet,” kata Alvin tiba-tiba. Ia meninggalkan Gabriel, Cakka, Via dan Ify seketika.
“Dia kenapa, sih?” tanya Via. Gabriel dan Cakka mengangkat bahu.
“Gue heran deh, hampir dua minggu ini Alvin sekelas sama kita, tapi kenapa ya dia gak pernah mau ngobrol sama gue dan Via? Aneh, deh! Padahal sama temen-temen lain asyik-asyik aja ngobrol.” keluh Ify.
“Dia anaknya emang tertutup.” bela Gabriel.
“Apa salahnya ngobrol sedikit sama kita? Setidaknya saling sapa, kek.” sambung Via.
“Sudahlah, mending kita ke kelas aja. Nanti juga tau sendiri apa sebabnya Alvin kayak gitu.”
“Bener kata Cakka! Gue bakal cari tau, deh.” ujar Via yakin.
“Lagak loe kayak detektif, Vi! Kepo! Hahaha…”
“Terserah gue, dong! Masalah?” timpal Via sedikit menyebalkan.
“Nggak, sih. Gimana loe aja, deh, Vi. Yang penting loe seneng.” ledek Ify. Mereka pun mulai melangkah menjauhi lapangan basket sambil bercanda ria.

***


Jakarta, Maret 2003.



“Jadi, menurut hasil persetujuan kita barusan, bapak putuskan bahwa setiap kelompok terdiri dari dua orang. Satu laki-laki dan satu perempuan. Dan bapak akan memilihnya menggunakan sistem arisan, ya?” jelas Pak Taher setelah melakukan rundingan selama beberapa menit untuk pembagian kelompok yang nantinya akan melakukan penelitian mengenai pertumbuhan dari biji kacang hijau. Dimulai dari kecambah sampai menjadi tumbuhan sejati.
“Oke, bapak mulai, ya?” puluhan wajah anak XI IPA 2 terlihat lebih tegang dari sebelumnya. Mungkin mereka takut akan partner kerjanya nanti. Apakah dia akan cocok? Entahlah.
“Cakka Putra Elang sekelompok dengan…” ucap Pak Taher terpotong. Sedangkan Cakka cuma harap-harap cemas dengan siapa yang akan sekelompok dengannya.
“Amanda Zahra!” desahan napas lega pun keluar diantara keduanya. Begitu seterusnya, Pak Taher mengocok nama-nama yang tersisa di dalam kaleng. Selama arisan itu berlangsung tak jarang juga ada siswa yang protes dengan hasil yang keluar tersebut. Tapi keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Jadi, mau gak mau harus diterima.
“Terakhir, Caviana Putri Hermawan akan bekerja sama dengan, Sion Simbolon!” Via kaget mendengar kata Sion Simbolon. Pasalnya, Sion itu adalah anak kelas XI IPA 2 yang cukup dibilang berandal, pemalas, sengak, bahkan dulu dia pernah naksir sama Via, tapi ditolak. Apa jadinya kalau Via sekelompok sama Sion? Apalagi penelitian ini lebih sering dilakukan di luar sekolah. Pikiran Via mulai gak karuan. Tapi…
“Sebentar, untuk keputusan terakhir ini bapak akan pertimbangkan kembali. Berhubung Sion selama seminggu ini gak pernah masuk pelajaran bapak, jadi bapak putuskan untuk menggantinya dengan…” pak Taher menunjuk salah seorang yang belum mendapatkan kelompok.
“Alvino Mahendra!” sedetik nama itu disebut, seisi kelas kembali bergemuruh.
“Kenapa gak gue aja yang sama Alvin?”
“Enak banget ya bisa sekelompok sama Alvin?”
“Ah, gak adil, nih!” celetukan dari berbagai siswi terdengar di sana-sini. Sedangkan Via hanya memberi tatapan semu ke arah Ify.
“Ify, kenapa harus gue yang sama Alvin?” lirihnya pelan.
“Loe pasti bisa, Vi! Semangat, dong! Percaya sama gue.”
“Tapi, kan? Ngobrol sama dia aja susah, apalagi harus satu kelompok?” Via memeluk Ify perlahan.
“Dicoba dulu, Via. Jangan pesimis gitu, dong!”
“Loe sih mending sama Iel, terus si Cakka sama Zahra, tapi gue? Sama orang yang susah banget untuk diajak berteman.” keluhnya lagi.
“Loe kan easy going, Via. Mungkin Alvin bisa diajak kerja sama dalam hal ini. Ini kan menyangkut pelajaran?” Via mendengus. Mau gak mau ia harus sekelompok sama Alvin yang notabenenya orang yang cukup dibilang misterius di mata Via.
“Baiklah, sekarang silahkan kalian bergabung dengan kelompok kalian masing-masing. Bapak mau keluar sebentar.” kata Pak Taher.
“Baik, Pak!”

Sedetik, pasar dadakan tercipta di kelas tersebut. Bahkan mungkin ini lebih ramai dari pasar dadakan lainnya. Karena kurang lebih empat puluh kepala siswa kelas XI IPA 2 sibuk berkeliaran mencari pasangan kelompoknya. Kecuali satu, seorang cowok yang duduk paling belakang yang sedang sibuk membolak-balik buku bersampul hitam itu. Alvin. Ia lebih memilih duduk tenang ketimbang berpencar mencari partner kerjanya. Tiba-tiba, Via muncul dan duduk begitu saja di samping Alvin. Membuat Alvin kaget dan segera menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam laci.
“Kalau boleh tau, itu buku apaan?” tanya Via ramah. Alvin tak menjawab. Bahkan tak ada respon sedikitpun darinya.
“Oke, no problem. Kalau loe gak mau ngasih tau juga gak apa-apa, kok. Gue ke sini cuma mau nanya aja kapan dan di mana kita bisa memulai tugas yang diberikan Pak Taher ini?” tanya Via untuk kedua kalinya. Alvin masih diam.
“Gini aja, deh. Gue boleh minta nomor handphone loe? Mungkin melalui sms kita bisa komunikasi. Soalnya selama ini belum pernah sama sekali kita berkomunikasi, maksud gue berdialog.” Via masih berusaha berbicara dengan Alvin. Sejenak, mereka kembali hening. Ada sedikit rasa kesal yang terbesit di hati Via. Rasanya ia ingin pergi jauh-jauh dari manusia yang satu ini. Dasar orang aneh! batin Via.
“Oke, mungkin lain kali aja gue temui loe lagi. Maaf sudah ganggu, permisi!” Via pamit dari hadapan Alvin. Namun tiba-tiba pergelangan tangannya seakan ada yang menyentuh. Dingin. Via pun berhenti melangkah, itu tangan Alvin.
“Kenapa, Vin?” Alvin masih saja diam. Ia hanya memberikan selembar kertas putih ke tangan Via.
“Ini apa?”
“Baca aja!” jawab Alvin pelan. Namun suara itu seakan menggema di telinga Via. Dan ia pergi.
“Ya Tuhan, masih adakah ciptaan-Mu yang seperti dia?” gumamnya sambil geleng-geleng.

***


Minggu pagi. Bumi dan mentari sudah saling bertatapan. Hangat. Ditambah sedikit belaian angin yang terhempas oleh pepohonan. Sejuk. Apalagi bunga warna-warni yang mekar di pinggiran jalan ikut serta menggenapkan keindahan alam ciptaan Tuhan ini.

Lagi, Via tambah bersemangat mengayuh sepedanya menyusuri jalan perumahan yang baru pertama kali ia kunjungi itu. Dengan sedikit peluh di keningnya, ia berhenti di sebuah rumah klasik bercat cokelat. Sejenak, matanya memandangi ke setiap sudut yang ada di dalam halaman rumah tersebut. Keningnya mengkerut.
“Apa benar ini rumahnya?” gumam Via seraya melihat selembar kertas yang ia bawa dari rumah. “Coba dulu aja, deh.” Via menekan bel yang jaraknya tidak jauh dari posisinya tadi.
“Permisi!”
“Iya, sebentar!” jawab seseorang yang kemudian muncul di balik pagar.
“Astaga! Non…” respon orang tersebut setelah melihat Via. Sepertinya ia salah satu pembantu rumah tangga di rumah itu.
“Saya Via, Bu. Apa benar ini rumahnya Alvino Mahendra?” tanya Via ramah.
“Via? Oh iya, ini rumah Den Alvin.” jawabnya sedikit gugup.
“Alvinnya ada?” tanya Via lagi memastikan.
“Oh, ada. Silahkan masuk!”
“Terimakasih.”

Via mengikuti langkah sang pembantu tersebut sampai ia disuruh untuk menunggu di ruang tamu. Takjub. Mata Via mulai berkeliaran memandangi setiap isi ruangan yang cukup megah itu. Baru kali ini ia masuk ke rumah yang desainnya tahun 70-an tetapi dalamnya dikombinasi dengan barang-barang jaman sekarang. Keren.
“Kata Den Alvin langsung ke atas aja.” kata orang yang mengantarnya tadi sambil menunjuk kamar Alvin di lantai atas.
“Terimakasih, Bu.” Via tersenyum dan bergegas ke kamar Alvin.
“Permisi! Boleh masuk?” ijin Via pelan. Sama seperti biasanya, tak ada jawaban. Lalu Via mencoba memegang handle pintu dan… klek!
“Gak dikunci?” gumamnya. Lantas ia melangkah masuk dan terkejut melihat kamar seorang cowok yang begitu rapi. Bahkan jauh lebih rapi dari kamar Via sekalipun. Ia terus meneliti dan mencari-cari sosok penghuni kamar tersebut. Sedetik, ekor mata Via tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di samping tempat tidur.
“Buku itu?!” tunjuk Via seraya mendekat. Meskipun itu tidak sopan, tetapi rasa penasaran Via terhadap buku yang selalu dibawa oleh Alvin itu sangat kuat. Tiba-tiba…
“Jangan sentuh buku itu!” teriak seseorang. Via tersentak. Ia menengok dan mendapati Alvin sudah berdiri di hadapannya.
“Alvin?!” respon Via kaget. Ia langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. Via kaget bukan karena sosok Alvin yang mendadak muncul di dekatnya, melainkan karena Via melihat tubuh atletis Alvin yang hanya mengenakan handuk yang melipat di pinggangnya. Rambutnya yang basah dan sedikit acak-acakan itu menutupi sebagian dari wajahnya yang oriental. He is so cold! pikir Via. Jantungnya mulai berdetak tak karuan.
“Maaf,” ucap Alvin dan kembali masuk ke kamar mandi. “Jangan sentuh buku itu lagi!” Via hanya tersenyum simpul mendengarnya.
“Maaf, gue gak maksud buat buka buku itu, kok.” balas Via santai. Namun entah kenapa wajahnya sedikit berseri dari sebelumnya. Baru kali ini ia bisa berdialog dengan Alvin.
“Maaf sudah menunggu.” kata Alvin saat keluar dari kamar mandi.
No problem! Oh iya, kapan kita mulai penelitiannya?” sedetik kalimat itu terucap, tangan Via langsung ditarik Alvin menuju balkon kamarnya.
“Kita mulai sekarang. Lebih cepat lebih baik, kan?” ucapnya tegas. Via mengangkat pundak dan kemudian mengikuti Alvin untuk memulai penelitiannya.

Kurang lebih sekitar satu jam, mereka berdua serius menjalani tugasnya. Karena mungkin semua alat-alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan sudah dipersiapkan Alvin terlebih dahulu. Seperti halnya gelas plastik, kapas, kacang hijau tua, penggaris, dan beberapa alat lainnya. Jadi mereka tidak usah repot-repot lagi mencari sana-sini. Hanya cukup teliti dan cermat saja yang mereka butuhkan.
“Selesai!” sorak Via bersemangat. “Nanti ini loe simpan di tempat yang tidak terkena langsung oleh sinar matahari. Nanti kalau bijinya sudah jadi kecambah, kita baru bisa menghitung tingginya setiap delapan jam sekali. Terus loe catat deh hasilnya. Oke?” jelas Via antusias. Mendengar itu, Alvin langsung membawa objek ke tempat yang barusan Via sarankan. Dan kemudian ia kembali dengan membawa dua gelas jus jeruk serta sedikit cemilan buat Via.
Thanks!” Alvin hanya tersenyum. “Komplek rumah loe damai banget, ya? Sejuk lagi. Soalnya gak boleh satupun kendaraan bermotor masuk ke wilayah ini. Tapi untungnya loe kasih tau gue terlebih dahulu soal ini, jadi gue punya inisiatif buat bawa sepeda di bagasi mobil.” Via ikut bersandar di pembatas balkon. Menikmati indahnya pemandangan sekitar komplek dari lantai atas.
“Vi, apa loe pernah tinggal di Malang sebelumnya?” tanya Alvin tiba-tiba. Matanya berubah sendu.
“Malang? Seingat gue sih belum. Kenapa gitu?”
“Gak apa-apa. Gue cuma iseng aja.”
“Oh, gitu. Loe sendiri aja di rumah? Gue kok gak lihat bokap nyokap loe, sih.” tanya Via heran.
“Gak penting! Mendingan loe pulang, udah siang.” jawab Alvin sedikit keras. Ia langsung berlari meninggalkan Via sendirian di kamarnya.
“Kenapa sih, dia? Aneh banget.” Via cuma bisa membuang napas penasarannya.

***


“Vi, gue pulang duluan gak apa-apa?” ijin Ify sesaat bel pulang berbunyi sekitar semenit yang lalu.
“Tumben loe buru-buru pulang, Fy? Gak bareng bokap?” tanya Via yang masih sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Nggak, gue pulang bareng Gabriel. Mau lanjutin bikin laporan penelitian kemarin.” jelas Ify.
“Oh, iya! Gue lupa.”
“Loe bareng Alvin, kan? Kalau gitu gue duluan ya, Vi! Gabriel udah nunggu di depan, tuh. Babay!” Ify berlari keluar.
“Hati-hati, ya, Fy!” pesan Via dengan suara lantang. Ify mengacungkan jempol ke arah sahabatnya itu.
“Via?” sapa seseorang di belakang Via.
“Eh, elo, Vin. Ada apa? Kok belum pulang?” tanya Via sekaligus.
“Gue nungguin loe.” balasnya datar.
“Nungguin gue?”
“Iya. Cuma mau ngasih tau aja kalau kecambahnya sudah berdaun.” kata Alvin tanpa basa-basi. Langkah kakinya kini seiring dengan langkah kaki Via.
“Oh, ya? Baguslah. Itu artinya eksperimen kita berhasil, Vin! Apa loe udah catat semua perkembangannya?” tanya Via sumringah. Lalu Alvin mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya. “Apa ini?” tanya Via lagi.
“Laporan Praktikum Biologi.”
“Hah? Serius udah selesai? Wah, loe kok gak bilang-bilang dulu ke gue, sih? Kan kita bisa kerjain bareng-bareng.” responnya sedikit sesal. Alvin menatap mata Via lekat-lekat dan memegang lembut kedua pundaknya.
“Gak ada masalah, kan? Yang penting tugas kita udah selesai. Dan gue senang bisa satu kelompok sama loe.” ucapnya serius. Via tertegun untuk sementara.
Thanks! Gue juga senang bisa satu kelompok sama loe. Karena itulah gue bisa kenal loe lebih dekat lagi. Dan ternyata loe itu gak seburuk yang gue kira sebelumnya.” Alvin tersenyum mendengar kata-kata Via tersebut. Tulus. Senyuman yang belum pernah ia pancarkan di hadapan Via selama ini.
“Ikut gue, yuk!” ajak Alvin dengan menggenggam tangan Via lembut.
“Ke mana?”
“Ke suatu tempat. Gue pengen banget ajak loe ke sana.” jawab Alvin pelan.

***


Raja siang sedikit memihak ke arah barat. Cukup panas. Karena pepohonan seakan mendapat komando untuk sejenak menghentikan gerakkannya yang lihai itu. Meski begitu, Gabriel dan Ify tidak patah semangat untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru Biologinya sekitar seminggu yang lalu. Mereka berdua duduk di bawah pohon yang daunnya cukup rindang di taman belakang rumah Ify.
“Serius amat nih belajarnya. Pasti haus, kan?” ucap Mama Ify yang datang membawa minuman.
“Jadi ngerepotin, deh. Tapi terimakasih, ya, Tante.” balas Gabriel sopan.
“Tamu itu kan raja. Dan ini sudah menjadi kewajiban Tuan Rumah. Silahkan diminum dulu, Nak Gabriel! Tante mau lanjutin masak lagi.”
“Sekali lagi terimakasih, ya, Tante.” kata Gabriel. Ify cuma tersenyum saat Mamanya membelai rambut hitamnya. Mereka kembali melanjutkan tugasnya. Dan…
“Selesai!” seru Gabriel dan Ify kompak.
“Akhirnya bisa terselesaikan juga ini tugas.” lanjut Ify. Ia mengelap sedikit peluh yang mengalir di keningnya.
“Ini semua berkat loe, Fy.” Gabriel tersenyum.
“Nggak! Berkat loe juga, kok. Kita kan ngerjainnya sama-sama.” timpal Ify yakin. “Loe tuh orangnya penuh semangat. Jadi cepat selesai deh tugasnya.”
“Gue semangat karena ada loe, Fy.” gumam Gabriel tak sadar.
“Apa, Yel?”
“Eh! Bukan apa-apa, kok. Lupakan saja!” Ify membulatkan mulutnya seketika. Dan tanpa komando, hening mengembara diantara keduanya. Seakan sudah tak ada lagi pokok pembicaraan di dalam benak mereka. Entahlah.
“Fy?”
“Ya?”
“Selama hidup loe, apa loe pernah jatuh cinta?” tanya Gabriel serius. Ify tersentak mendengarnya. Lebih dari kaget.
“Jatuh cinta? Hmmm… pernah sih, tapi itu udah lama. Emang kenapa?”
“Oh, gak apa-apa, sih. Cuma nanya aja.”
“Kalau loe sih udah pasti pernah, kan? Gak normal banget kalau belum pernah jatuh cinta.” tanya Ify seraya memamerkan deretan gigi putihnya. Gabriel ikut nyengir.
“Bukan pernah lagi, malahan sering banget. Tapi sayang, rasa cinta gue selalu jatuh pada orang yang salah. Dan akhirnya gue malah jadi korban.” jelasnya seraya meneguk es teh buatan Mama Ify.
“Jadi karena itu sebabnya loe sampai sekarang gak punya pacar?” tanya Ify sedikit meledek orang di hadapannya itu.
Maybe! Tapi gue rasa kali ini gue gak bakal salah lagi, deh. Cewek yang gue taksir satu ini beda dari cewek-cewek lainnya. Gue suka sama dia udah lama.”
“Seriusan, loe? Siapa, tuh? Cerita dong sama gue!”
“Nanti juga loe tau sendiri, kok.” kata Gabriel seraya melengkungkan garis bibirnya. Tiba-tiba cuaca panas berubah menjadi dingin. Pekat. Mentari semakin tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam. Mungkin inilah yang namanya Global Warming. Di mana cuaca berubah secara tiba-tiba.
“Oke. Mungkin lain kali loe bisa cerita sama gue.” respon Ify datar. Seakan keheningan akan tercipta kembali detik ini juga.
“Fy, gue suka sama loe! Dan itu udah lama.” kata Gabriel cepat-cepat. Ify tersentak kaget. Lebih kaget dari sebelumnya. Karena baru kali ini ia melihat ada seorang cowok yang menyatakan perasaan cinta di hadapannya langsung. Terlebih, cowok itu adalah sahabatnya sendiri.
“Loe lagi bercanda, kan, Yel? Gak lucu, ah!” Ify bangkit dari duduknya. Ia berniat untuk membereskan sisa-sisa makanan yang tadi disantapnya bareng Gabriel.
“Gue seriusan, Fy! Gue emang udah lama suka sama loe. Tapi mungkin karena gue pengecut, jadi gue gak pernah ungkapkan perasaan ini sama loe, Fy.” Gabriel menggenggam kedua tangan Ify. Tubuhnya ia pasrahkan di hadapan cewek yang ia sukai itu. “Gue udah benar-benar gak kuat lagi memendam semua ini sendiri. Dan sekarang gue serahkan semuanya sama loe, Fy. Apa loe mau jadi pacar gue?” ucap Gabriel penuh harapan. Ify terdiam sejenak. Matanya ia pejamkan dalam-dalam. Berharap jawaban yang nantinya akan ia keluarkan itu tidak salah.

***


Deretan awan pekat semakin melebar. Gelap pun kian merambat. Apalagi jaraknya yang seakan berhimpitan dengan bumi itu memberi kesan mengerikan bagi siapa saja yang melihatnya. Mungkin hujan akan segera turun jika sang raja angin masih betah bersembunyi. Dan faktanya, raja angin memang masih betah bertapa. Jadi sang hujan diperkirakan telat turun ke bumi ini. Di sudut lain, dua orang manusia berdecak kagum saat melihat keindahan alam di bawah hitamnya langit. Meski gak semuanya gelap. Karena masih ada garis putih yang melintang di belahan bumi di ujung sana. Damai. Ditemani ilalang-ilalang yang lihai bergoyang pelan. Mereka berdua duduk diantaranya. Alvin dan Via.
“Tujuan loe ngajak gue ke sini mau ngapain, Vin?” tanya Via heran. Sedangkan Alvin malah tiduran, memandang awan yang kian hitam. Sekarang mereka memang berada di sebuah lahan kosong yang penuh ditumbuhi ilalang. Bahkan tempat ini sangat jauh dari pemukiman warga sekitar.
“Nikmati dulu aja, Vi! Sayang kalau tempat sedamai ini gak ada yang tau.” jawabnya serius.
“Baiklah,” Via ikut tiduran di samping Alvin. Matanya ia pejamkan sesaat.
“Vin, gue mohon dengan sangat sama loe. Sebenarnya apa sih yang terjadi sama diri loe? Kenapa dulu loe kayak menghindar gitu sama gue, padahal kan gue cuma mau kenalan doang sama loe.” tanya Via penasaran.
“Maaf, Vi. Gue gak bisa jelasin hal ini sama loe. Dan gue pun sebenarnya masih gak percaya sama semua yang gue lihat akhir-akhir ini. Tepatnya saat gue pertama masuk di sekolah loe.” jawab Alvin lirih. Ia bangkit dan duduk menatap lurus ke depan.
Please, kasih tau gue! Kenapa loe selalu menghindar dari gue? Bahkan buat ngobrol sebentar aja susahnya minta ampun. Memangnya gue pernah berbuat salah sama loe, ya?” Via ikut duduk di samping orang yang masih serius memandangi satu titik di depannya. “Nih! Mungkin dengan buku ini loe bisa tau sebabnya kenapa gue bersikap kayak gini sama loe.” ucap Alvin seraya memberi buku bersampul hitam yang selalu dibawanya. Via mengangkat alisnya heran. Lalu membuka dan meneliti isi buku itu lekat-lekat.
“Ini gak mungkin!” bantahnya saat ia membuka lembar kedua. Di sana tertera banyak foto-foto Alvin dengan seorang cewek yang senyumannya begitu manis.

Sejenak, Alvin berdiri mematung. Pikirannya melanglang buana bersama belaian angin yang menembus ruang dan waktu. Kejadian yang menyedihkan itu serasa datang kembali di kehidupannya. Kejadian yang membuatnya sempat tak waras. Bahkan mungkin lebih dari tak waras. Alvin pun tertegun dan menarik napas berat, rasanya ia akan bercerita sangat panjang sama Via.
“Dia Livia, mantan pacar gue. Dia sangat cantik, bukan?” ucapnya lirih. Via tersentak mendengarnya. “Tapi sayang, dia udah meninggal delapan bulan yang lalu karena kanker otak.” Via memandangi foto cewek yang bernama Livia itu seksama. “Tapi yang gue sesali, gue gak pernah tau kalau dia mengidap penyakit sialan itu, Vi! Bahkan dia gak pernah cerita sama gue.” Alvin mengepalkan tangannya erat. Ingin rasanya ia kembali lagi ke masa-masa itu.
“Lalu, apa loe ada di samping dia saat dia meninggal?” tanya Via sedikit terbawa emosi dengan Alvin. Alvin menggeleng pelan.
“Kenapa?!”
“Karena tiga hari sebelum dia meninggal, dia minta putus sama gue. Dan bahkan dia melarang gue menemuinya lagi.” jawab Alvin sambil menunduk. Tidak tahan lagi membendung air matanya.
“Loe cowok bodoh, Vin! Loe gak peka sama cewek loe. Seharusnya loe tau apa yang dirasakan cewek loe itu! Dia butuh penyemangat, dan penyemangatnya itu adalah loe, Vin! Elo!” bentak Via seketika.
“Iya, gue salah! Gue emang cowok yang gak berguna! Bahkan gue gak bisa lihat apa yang sebenarnya terjadi sama cewek gue. Gue menyesal, Vi!”
“Percuma juga loe menyesal. Toh dia gak bakal bisa hidup lagi.”
“Gue tau, Vi! Tapi semua ini membuat gue kehilangan akal. Gue bisa gila kalau begini terus! Gue benci diri gue sendiri!” suara Alvin melemah.
“Apa loe pindah ke Jakarta hanya buat lupain dia?!” tanya Via lagi. Dan kini ia ikut berdiri di belakang Alvin. “Benar, kan, Vin?! Tapi rencana loe buat ngelupain dia itu gagal karena ada gue? Iya, kan?! Jawab dong, Vin!” Via menggoncang-goncangkan tubuh Alvin keras.
“Loe benar, Vi. Tapi kenapa loe harus mirip sama dia?! Dan kenapa loe harus hadir disaat gue benar-benar ingin melupakan Livia?! Apakah ini karma buat gue? Apakah Tuhan ingin membuat gue gila?!” respon Alvin sedikit membentak.
“Loe salah, Vin! Yang ada di hadapan loe itu bukan Livia, mantan cewek loe. Tapi Cavia, Vin! Dan asal loe tau, Livia sama Cavia itu beda! Meskipun fisik gue sama dia itu mirip.” bantah Via tegas. “Dan gue mohon sama loe, Vin. Jangan bawa-bawa gue ke dalam masa lalu loe. Gue gak tau apa-apa tentang semua ini, kenapa harus gue yang kena imbasnya?” lanjutnya. Alvin mendekat, ia memeluk tubuh Via erat.
“Maafin gue, Vi. Gue salah. Gak seharusnya gue bersikap kayak gini sama loe. Gue sadar, loe memang bukan Livia, Livia itu udah meninggal. Dan dia gak akan pernah bisa hidup kembali. Mungkin gue cuma terlalu takut aja akan hal yang sama terjadi juga sama loe.” kata Alvin tulus.
“Gak usah minta maaf, Vin. Loe gak pernah salah, kok. Coba gue tau ini dari awal, mungkin ceritanya bukan kayak gini.” Via membalas pelukkan Alvin.

***


“Gue mau jadi cewek loe, Yel.” ucap Ify akhirnya. Gabriel mendongak, sempat gak percaya akan jawaban Ify barusan.
“Serius?”
“Iya, gue serius. Sebenarnya gue juga suka sama loe dari dulu.”
“Oh, ya? Thanks, ya, Fy! Semoga perasaan gue kali ini benar-benar tepat.” Gabriel tersenyum manis. Ia langsung memeluk Ify erat.
“Ehem! Katanya lagi kerja kelompok, kok malah peluk-pelukan?” sindir Papa Ify yang entah dari kapan datangnya. Lantas, membuat Ify dan Gabriel superduper kaget dan salah tingkah dibuatnya.
“Eh, Om! Hmmm… ini, gak sengaja. Maaf, ya, Fy?” kilah Gabriel gugup.
“Ya udah, makan siang dulu, yuk? Om sama Tante udah siapkan makanan, tuh! Pasti pada laper, kan?” tawar sang Papa ramah.
“Gak usah, Om. Lagian Gabriel juga mau pulang, takut terjebak hujan.” tolak Gabriel sopan.
“Masakan Tante Gina itu enak-enak, lho. Sayang kalau Nak Gabriel gak ikut makan bareng kita-kita.” bisiknya ke telinga Gabriel.
“Ya udah, deh. Gabriel mau,”
“Nah, gitu dong! Ayo buruan!” Papa Ify pun menggandeng kedua anak tersebut一Ify dan Gabriel.

***


Milyaran butir air kompak turun dari langit. Dan kilauan benang putih pun terpancar sepersekian detik sekali. Makin deras. Pepohonan di sekitar bersorak gembira menyambutnya. Bahkan gerombolan ilalang yang seakan tertimpa milyaran air itu ikut bergoyang-goyang, merunduk, dan ada juga yang batangnya sampai patah menyentuh tanah. Bumi pun basah seketika.
“Kita ke mobil, yuk, Vin? Hujannya semakin deras.” ajak Via.
“Duluan aja, Vi! Gue masih betah di sini.”
“Nanti loe bisa sakit. Ayolah!” Via mencoba menarik tangan Alvin.
“Selama ada loe, gue gak akan pernah merasakan sakit, Vi. Biarkan gue di sini, biarkan air hujan ini melunturkan semua kekesalan yang ada di benak gue. Dan biarkan air hujan ini menjadi saksi bisu gue dalam menjalani hidup tanpa bayang-bayang Livia lagi.” jelas Alvin rinci. Via tertegun, sekujur tubuhnya sudah terlanjur basah. Percuma jika ia harus kembali ke mobil juga.
“Kenapa loe masih di sini, Vi? Nanti loe bisa sakit.” kata Alvin seraya memegang pundak Via perlahan.
“Gue di sini biar loe gak pernah merasakan sakit lagi, Vin. Itu kan yang loe bilang? So, gue rela basah-basahan di sini demi loe.” balas Via dengan sedikit senyumannya yang khas. Sekilas, terbesit kedamaian yang begitu mendalam di hati Alvin. “Dan gue juga rela kok jadi pengganti Livia di hidup loe.” lanjutnya penuh keyakinan. Alvin tersenyum mendengarnya.
“Gak usah memaksakan diri untuk jadi orang lain, Vi. Karena bagi gue; elo tetep elo, bukan Livia! Tapi Caviana Putri Hermawan.” kali ini Alvin menyentuh kedua pipi Via sangat lembut.
“Maafin gue, Vi. Gue sayang sama loe. Tapi bukan karena loe itu mirip sama Livia. Melainkan karena loe itu udah mau berusaha dekat sama gue meskipun gue selalu hindarin loe. Gue cinta sama loe, Cavia!” ucap Alvin sedikit gemetaran. Meski wajah Alvin dan Via terhalang oleh aliran air hujan, namun sorotan mata keduanya memberikan arti yang mendalam. Mereka saling pandang dan tersenyum bahagia di bawah tudung raksasa yang tak henti meneteskan air.



The End!

By: TAHER

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar