Langit murka. Warna pekatnya merajai di sore itu. Sunyi. Hanya
terdengar gemericik air hujan dan suara petir yang saling beradu di atas
sana. Hembusan angin yang kencang serta kilauan putih yang sepersekian
detik sekali menampakan diri itu sanggup menggetarkan jantung lebih
cepat dari biasanya. Parah. Sore itu cuaca benar-benar ekstrim. Hujan
badai yang mengerikan.
Alvin meringkuk. Tubuhnya ditekuk lemas di
pojokan kamar. Sesekali muka dan telinganya ia tutup disaat petir
menyambar dahsyat. Alvin meringis, ia terlalu takut untuk berteriak. Ia
takut membuat keluarganya resah. Lagi, petir kembali menyambar bumi.
Lebih dahsyat. Tak perduli akan Alvin yang semakin meringis ketakutan di
pojok dekat tempat tidurnya. Seketika itu, jendela terbuka keras dan
gorden pun ikut bergerak memberontak tertiup angin. Ketakutan semakin
mendera Alvin, ia merapatkan kepalanya dengan lutut. Keringat dingin pun
bercucuran di sekujur tubuh jenjangnya.
“Kak, loe di mana?”
seseorang membuka paksa kamar Alvin. Lantas matanya bergerak mengitari
setiap sudut kamar yang terlihat berantakan itu. Kemudian ia melangkah
mendekati jendela yang terbuka lebar, menengok keluar sesaat, lalu
menutupnya kembali rapat-rapat. Samar-samar ia mendengar isakan yang
tersedu-sedu di dekat tempat tidur.
“Kak Alvin?” gumamnya begitu
melihat sosok remaja yang sedang meringkuk ketakutan. Lantas ia mendekat
dan berjongkok di hadapan remaja itu.
“Loe gak kenapa-kenapa kan,
Kak? Gue khawatir banget sama loe, Kak.” Alvin masih ketakutan ketika
pelukan hangat itu menyentuh tubuhnya. Pelukan Cakka一saudara kembar
Alvin. Cakka berusaha mengangkat tubuh Alvin perlahan, menidurkan
kembali saudara kembarnya itu di atas kasur.
“Jangan takut lagi Kak,
ada gue di sini. Lebih baik sekarang Kakak tidur.” Cakka menyelimuti
Kakaknya yang masih menggigil ketakutan. Wajahnya pucat.
“Jangan tinggalin gue, Kka. Gue takut,” lirih Alvin sendu. Ia menggenggam erat pergelangan tangan Cakka.
“Jangan khawatir, gue selalu ada di sini nemenin Kakak. Kalau
perlu, Kakak boleh pegang tangan gue terus biar gue gak bisa ninggalin
Kakak sendirian.” ucap Cakka tegas. Ia terlalu sayang sama saudara
kembarnya ini. Tangan Alvin terus meraba-raba tangan Cakka, ia berusaha
memastikan kalau Cakka tidak akan meninggalkannya sendirian disaat hujan
badai ini. Karena nasib Alvin memang tidak seberuntung Cakka. Kegelapan
telah menemaninya selama kurang lebih 6 tahun semenjak kecelakaan mobil
yang menimpa keluarganya. Alvin buta.
Petir menyambar hebat.
Bumi bergetar. Seakan-akan kiamat segera terjadi sore itu. Lantas Alvin
langsung menyembunyikan wajahnya di balik selimut tanpa melepaskan
tangan Cakka.
“Gue tutup gordennya bentar, ya? Jangan takut!” ucap
Cakka lembut. Ia segera menutup gorden rapat-rapat tanpa bisa cahaya
kilat menembusnya. Mata Alvin pun terpejam, sembab一akibat tangisan yang
terus-terusan ditahannya.
“Gue bakal jagain loe, Kak.” gumam Cakka
lirih sambil mengusap kening Kakaknya yang sudah benar-benar terlelap.
Butiran bening menggenang一tanpa berniat sedikitpun terjatuh一di sudut
mata Cakka.
***
Alvin terkesiap saat tongkat hitam
yang dipegangnya itu menabrak sebuah guci yang tadinya berdiri megah di
samping pintu kamar Ayahnya. Ia langsung berjongkok untuk membersihkan
serpihan beling yang berserakan. Dengan meraba-raba, Alvin terus
memungut pecahan guci itu satu-persatu.
“Aw!” rintihnya pelan ketika
telunjuknya一dengan tidak sengaja一terkena pecahan guci tersebut dan
berdarah. Alvin tak menghiraukan, ia terus melanjutkan kegiatan
membersihkan serpihan guci itu.
“Alvin?! Kamu apakan guci ini, hah?!”
Alvin tersentak. Jantungnya seakan tertusuk jarum ketika suara keras
yang tak asing lagi di telinganya itu membentak.
“Maafin Alvin, Yah.
Alvin gak sengaja.” jawabnya ketakutan. Namun lelaki paruh baya tersebut
tak menghiraukan ucapan Alvin. Matanya memerah.
“Kamu kan tau kalau guci itu adalah guci kesayangan Ayah sama
Bunda kamu! Dasar anak yang gak berguna!” seketika tangan Alvin serasa
ditarik dengan paksa oleh Ayahnya. Namun Alvin tak berniat sedikitpun
untuk memberontak. Ia pasrahkan tubuhnya itu diseret-seret oleh Ayahnya
dengan kejam.
“Ayah, ada apa ini?” tanya Cakka heran begitu ia keluar
dari kamarnya dan melihat Ayahnya yang penuh emosi menyeret Kakaknya
hina.
“Diam kamu! Jangan coba-coba ikut campur dengan urusan Ayah!”
“Ayah, please! Jangan lakuin itu, kasihan Kak Alvin.” Cakka berusaha mencegah dan memohon supaya Ayahnya mereda.
“Jangan
pernah menghalangi Ayah, ngerti?! Ayah gak akan segan-segan buat
menghukum siapa saja yang melakukan kesalahan di rumah ini termasuk
kamu!” dibukakannya pintu kamar mandi dengan keras. Lalu sang Ayah
mendorong Alvin sebisa tenaganya hingga Alvin tersungkur di bawah
shower. Brak!!!
“Ayah, tolong maafin Alvin. Alvin gak sengaja pecahin
guci itu.” sebisa mungkin Alvin merangkak mendekati pintu kamar mandi.
Bibirnya bergetar hebat. Ia menangis perlahan.
“Yah, Cakka mohon, jangan hukum Kak Alvin.” lirih Cakka sambil memegang lengan Ayahnya.
“Please,
Yah! Maafin Kak Alvin. Kenapa cuma gara-gara guci pecah aja Ayah sampai
tega hukum anaknya begitu? Guci bisa dibeli lagi kan, Yah? Cakka
mohon,”
“Jangan pernah kamu belain orang salah di depan Ayah kalau
kamu gak mau bernasib sama seperti Alvin.” Cakka hanya terpaku saat
Ayahnya berlalu begitu saja dengan membawa kunci kamar mandi. Di dalam,
Alvin bersandar di balik pintu. Begitupun Cakka.
“Sebaiknya loe
siap-siap buat sekolah, Kka. Nanti loe telat,” ucap Alvin lirih.
Batinnya berkata kalau Cakka masih berada di balik pintu.
“Buat apa gue sekolah sedangkan saudara kembar gue tersiksa di kamar mandi?!” balasnya ketus.
“Udahlah
jangan pikirin gue. Ini semua salah gue dan hukuman ini buat gue, bukan
buat loe. Ayolah, Cakka!” Cakka memejamkan matanya kesal. Cakka kesal
dengan sikap Kakaknya yang selalu mementingkan kepentingan dirinya
daripada kepentingan diri Alvin sendiri.
“Gak ada di dunia ini yang tega melihat saudara kembarnya dihukum
dan disiksa. Pokoknya gue gak mau sekolah sampai Ayah mau bukain pintu
ini.” kata Cakka mantap. Tak ada niat untuk ia bangun dari duduknya.
“Cakka, please! Bisa kan turutin kata-kata gue buat kali ini aja?” bentak Alvin terpaksa. Ia mendekatkan wajahnya ke pintu.
“Toh
gue sekolah atau tidak pun Ayah gak pernah perduli. Ayah yang sekarang
bukan Ayah yang gue kenal dulu, Kak. Ayah udah berubah!” timpal Cakka.
Alvin menunduk.
Sekitar 6 tahun yang lalu, disaat Alvin masih
bisa memandang indahnya alam, disaat Alvin masih bisa melihat tawa riang
sang adik dan kedua orang tuanya, disaat Alvin masih bisa dengan manja
menaiki punggung Ayahnya. Namun kenangan itu seakan lenyap bak tertelan
bumi begitu kecelakaan mobil menimpa keluarganya. Dunia Alvin menjadi
kiamat. Ia buta permanen, Ibu kandungnya meninggal, dan bahkan Ayahnya
pun yang dulu protagonis seakan diubah oleh sang sutradara menjadi
antagonis. Entah apa yang terjadi dengan beliau. Apa ia belum bisa
untuk menerima takdir dari Tuhan? Entahlah. Hanya beliau dan Tuhan yang
tau.
***
Lantunan melodi menggema memecah keheningan.
Nada-nada indah ikut menari gemulai ketika dentingan piano tercipta oleh
jari-jemari mungil sang pianis. Mulutnya bersuara perlahan, mencoba
menyanyikan syair yang pernah ia dengar tanpa sengaja terekam di memori
otaknya. Merdu. Mungkin siapapun yang mendengarnya akan merasa kagum dan
terhanyut oleh liriknya.
Aku tau ku takkan bisa
Menjadi seperti yang engkau minta
Namun selama napas berhembus
Aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta
Beberapa
detik setelah Alvin一sang pianis tersebut一menyelesaikan sebuah lagu
dengan sempurna. Seketika, tepuk tangan menggema di ruangan tersebut.
Alvin mengernyit, heran.
“Cakka?” tebaknya ragu. Bukannya di rumah ini tidak ada seorang pun selain Alvin?
“Itu tadi keren banget!” decak kagum seseorang dengan mendekati Alvin.
“Loe siapa?” Alvin berusaha mengikuti arah sumber suara yang didengarnya.
“Gue Via, temen sekelas Cakka. Maaf ya sebelumnya, gue udah
lancang dengerin loe main piano.” gadis itu mengulurkan tangannya di
hadapan Alvin. Alvin pun mencoba membalas, tapi tidak tepat sasaran. Via
mengernyit tiba-tiba, lalu menyambut tangan Alvin tanpa ragu.
“Alvin. Gak apa-apa kok, santai aja.” balasnya sambil senyum. “Terus Cakka mana?”
“Oh,
Cakka? Tadi dia bilang mau ke bengkel dulu, ban motornya kempes. Gue
disuruh masuk duluan sama dia.” jelas Via seraya menatap dalam mata
Alvin. Sebetulnya Via sudah tau banyak tentang Alvin dari Cakka. Tapi
Via belum tau kalau Alvin itu tuna netra.
“Emangnya lagi ada tugas
kelompok, ya?” tanya Alvin sembari tangannya meraba-raba benda sekitar.
Ia mencari sesuatu yang selama ini menjadi teman sekaligus sahabatnya.
Tongkat.
“Gak ada, kok. Gue niat main aja ke sini. Loe gak suka ya,
Vin?” balas Via gurau. Ia membantu mengarahkan tangan Alvin menyentuh
tongkatnya.
“Terimakasih. Oh gitu, ya? Gak apa-apa sih, gue seneng
malah kalau ada yang main ke rumah. Apalagi kalau tau itu temen-temennya
Cakka, gue bisa nambah temen juga, kan?” mereka tersenyum.
“Oh iya
Vin, sejak kapan loe bisa main piano? Tadi keren banget, lho!” Alvin
berseri mendengarnya. Mendadak, rasa nyaman menyelimuti hati Alvin
ketika sentuhan halus menyinggahi tangannya一tangan Via.
“Lho, kok diem?” tanya Via setelah mengarahkan Alvin duduk di kursi ruang tamu.
“Gue
belajar piano sejak umur 8 tahun. Dulu gue sering banget lihat Ayah
sama Bunda main piano, dan gue merengek minta diajarin.” Via mengangguk
paham.
“Oh, jadi loe gak bisa lihat bukan sejak lahir ya, Vin?”
ekspresi wajah Alvin mendatar begitu mendengar pertanyaan Via. “Sori,
bukan maksud gue menyinggung perasaan loe, Vin.” lanjut Via begitu
melihat perubahan raut wajah Alvin.
“Dulu gue sempat diberi
kesempatan oleh Tuhan untuk bisa melihat dunia beberapa tahun. Tapi
semenjak gue dan keluarga gue kecelakaan mobil, semuanya mendadak gelap.
Bahkan lebih dari gelap.” Alvin menghela napas berat. Terpaksa ia harus mengulas kembali kejadian yang menyayat hatinya
itu. “Emangnya Cakka gak pernah cerita sama loe, Vi?” lanjut Alvin
kemudian.
“Pernah sih, tapi dia cuma cerita tentang penyebab ibunya
meninggal aja. Terus dia juga pernah cerita kalau dia punya saudara
kembar, gitu.” jelas Via. Alvin kembali tersenyum.
“Oh, ya? Pasti dia suka jelek-jelekin gue.”
“Enggak,
kok! Dia malah doyan banget baik-baikin loe di depan temen-temennya.”
Via tersenyum melihat wajah Alvin yang saat itu berseri cerah. Ia
langsung mengambil handphone dan buru-buru memfoto Alvin. Yes, right!
batin Via setelah beberapa detik wajah Alvin tertera di LCD
handphonenya.
“Eh, Cakka kok lama, ya? Kebiasaannya kumat deh, kalau ada temennya main suka ditinggal-tinggal.”
“Tuh anaknya dateng!” timpal Via pas melihat Cakka nongol di balik pintu.
“Sori
ya gue lama. Hem… kayaknya ada yang lagi seneng tuh bisa ditemenin
cewek cantik.” ledek Cakka tiba-tiba. Via menatap Cakka heran, begitu
juga Alvin yang mengernyitkan dahinya bingung.
“Apaan sih, Kka?! Baru dateng, juga.” ceplos Via salting.
“Ke mana aja loe, Kka? Doyan banget bikin orang nunggu.” ucap Alvin. Cakka menggaruk kepalanya pelan.
“Gue keasyikan ngobrol sama Abang bengkelnya, Kak. Lagian Via itu udah biasa kok ditinggal-tinggal.” Cakka terkekeh seketika.
“Enak
aja loe kalau ngomong!” perang mulut mulai terjadi antara Cakka dan
Via. Sedangkan Alvin cuma ikut terkekeh pelan. Baru kali ini ia merasa
senang dan bisa ketawa kembali setelah kurang lebih 6 tahun tawanya itu
terpendam. Cakka ikut duduk di samping Alvin.
“Gue seneng deh bisa
lihat loe ketawa lagi, Kak.” tiba-tiba Cakka merangkul Kakaknya yang
masih menatap lurus ke depan. “Dan gue harap itu bertahan untuk
seterusnya.” si Cakka semakin erat memeluk Alvin.
“Lepasin, deh! Jangan coba-coba peluk gue. Malu tuh sama cewek!”
“Bodo! Anggap aja Via gak ada.” kini giliran Via yang terkekeh melihat tingkah kedua anak kembar tersebut.
“Iya Vin, anggap aja gue gak ada.” sambung Via jahil. Cakka mengacungkan jempolnya.
“Tetep aja gue sebagai cowok itu malu kalau dipeluk-peluk sama cowok.” Alvin berusaha melepaskan pelukan Cakka.
“Tapi kan gue kembaran loe, Kak? Sok jual mahal loe!”
“Gue harap loe bukan maho, ya!” Alvin terkekeh geli. Cakka merengut.
“Sialan! Kalaupun gue maho juga pilih-pilih, kali.” ledek Cakka santai. Mereka tiba-tiba ketawa.
***
Pukul
11.00 WIB. Gemerlap kehidupan kian menghening. Senyap. Hanya terdengar
detak jarum jam yang berdenting dan suara-suara binatang malam yang
entah di mana asal-muasalnya. Pria paruh baya itu berjalan gontai saat
ia melangkah mendekati pintu rumahnya. Lalu ia bersandar di tembok dekat
pintu tersebut. Matanya merah, sayu, dan sedikit tercium aroma alkohol
di mulutnya. Klik! Dalam sekejap cahaya lampu menerangi ruangan itu.
“Ayah
abis ke mana?” tanya Cakka menginterogasi pria paruh baya tadi yang
ternyata Ayah kandungnya. Sang Ayah terkejut untuk sementara, lalu ia
kembali melangkah menuju kamarnya tanpa menanggapi pertanyaan Cakka.
“Jawab, Yah!” bentak Cakka seraya menahan tangan Ayahnya.
“Jangan
pernah ikut campur urusan Ayah, mengerti?!” balasnya marah dengan
sesekali mulutnya mengeluarkan cegukan hebat. Cakka memutar matanya
garang.
“Dengan Ayah pulang malem dalam keadaan mabuk, apa itu yang
namanya urusan?!” tanya Alvin penuh penekanan. Sang Ayah langsung
menatap Alvin penuh amarah.
“Yah, Cakka mohon, Cakka sama Kak Alvin
ingin melihat Ayah yang dulu lagi. Ayah yang bisa dibanggain dan Ayah
yang bisa jadi panutan untuk anak-anaknya. Bukan menjadi Ayah yang
pemarah dan suka mabuk-mabukan!” timpal Cakka emosional. Alvin ikut
mendekat ke arah Ayahnya dengan susah payah.
“Oh, sekarang kamu udah berani ya menasihati Ayah, hah?! Mau jadi apa kamu? Ulama?!” diremasnya kerah baju Cakka keras.
“Kami
hanya ingin Ayah memperhatikan kami. Itu aja Yah, gak lebih.” ucap
Alvin sembari meraba udara untuk menyentuh tubuh sang Ayah.
“Kamu pikir Ayah menelantarkan kamu, iya?! Terus apa arti dari
harta dan fasilitas yang Ayah berikan selama ini sama kalian, hah?!
Kurang?! Dasar anak-anak yang gak tau terimakasih!” tubuh Cakka didorong
hingga jatuh.
“Tapi Alvin sama Cakka gak butuh itu semua, Yah! Alvin
cuma ingin Ayah selalu ada di samping Alvin saat Alvin butuhkan. Alvin
butuh kasih sayang Ayah, bukan harta Ayah!” ucap Alvin sambil terus
menahan air matanya yang hampir menetes.
“Dasar anak gak tau diri!
Kamu itu udah gak berguna lagi di dunia ini, jadi jangan sok-sokan gak
butuh harta yang Ayah berikan.” ia menepis tangan Alvin yang sejak tadi
menggenggam tangannya.
“Alvin lebih baik miskin ketimbang punya harta berlimpah tapi gak bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah.”
“Ah, berisik! Plak!!!” tamparan keras mendarat di pipi Alvin. Lantas Alvin tersungkur di samping tongkatnya.
“Kak
Alvin!” seru Cakka sambil ikut bersimpuh di dekat Alvin. Dan tanpa
merasa dosa sedikitpun, sang Ayah meninggalkan Alvin dan Cakka begitu
saja.
“Ayah jahat! Ayah benar-benar berubah. Cakka benci Ayah!” teriak Cakka amarah.
“Udah
Kka, udah. Percuma kamu marah, Ayah tetep gak akan perduli sama kita.
Ayah masih dalam kendali alkohol.” Alvin memeluk Cakka perlahan. Ia
berusaha tegar meski hatinya tersayat perih oleh perkataan Ayah
kandungnya sendiri.
“Tapi Kak…”
“Udah, Kakak gak apa-apa, kok.
Antar Kakak ke kamar sekarang. Kita berdoa sama Tuhan supaya Ayah
dibukakan pintu hatinya.” ucap Alvin lirih.
“Iya, Kak.” Cakka
langsung menuntun Alvin perlahan. Sesekali matanya menatap tajam sosok
sang Ayah yang sudah terkapar di kamarnya.
***
“Udah ah, Vi! Gue capek,” Alvin menyanggah lututnya. Napasnya semakin memburu setelah ia main kejar-kejaran bersama Via.
“Payah loe, Vin! Masa baru bentar aja udah capek, sih?” ledek Via seraya menepuk pelan pundak cowok tersebut.
“Iya
deh loe menang. Tapi tolong kembalikan tongkat gue! Rasanya aneh banget
kalau gue jalan gak pakai tongkat, apalagi harus lari-lari kayak tadi.”
pinta Alvin memohon. Sedetik, Via tersenyum jahil.
“Kalau gue gak mau kasih tongkatnya, gimana?”
“Ya udah gak apa-apa. Asalkan loe mau gendong gue.” Via mengernyitkan dahinya. “Kalau gak mau ya sini balikin tongkat gue!”
“Hem…
berhubung tongkat loe gue taruh di kursi taman sana, ya udah deh
terpaksa gue mau gendong loe. Tapi loe jangan macem-macem, ya?! Awas loe
kalau macem-macem!” ancam Via berubah antagonis.
“Baiklah Kakak! Ade gak bakal macem-macem.” gurau Alvin meledek. Via langsung berjongkok di hadapan cowok tersebut.
“Ayo dong Via yang cepet!” suruh Alvin tepat di telinga Via.
“Badan
loe berat tau, Vin! Segini juga udah cepet.” protesnya kesal. Baru kali
ini ia menggendong seorang cowok yang sebaya dengannya. Dan itu rasanya
sangat-sangat berat.
“Urrrggghhh… akhirnya sampai juga!”
“Makasih
ya Kak Via!” ucap Alvin setelah ia berhasil duduk di kursi taman yang
tak jauh dari rumahnya itu. Alvin mendengar jelas deru napas yang
memburu dari cewek yang berada di dekatnya. Lantas ia buru-buru
mengipaskan kedua tangannya tepat di depan wajah Via.
“Lagi ngapain sih, Vin?” Via sedikit menjauhkan kepalanya ke belakang.
“Loe
kan capek, jadi gue kipasin biar gak capek.” ucap Alvin yang dibarengi
dengan senyuman ramahnya. Nih anak perhatian apa ngeledek, sih? batin
Via penasaran.
“Udah ah, udah! Gue mau minum dulu.” Via segera menyambar minuman yang memang sudah disiapkan oleh pembantu Alvin sebelumnya.
“Oh
iya, Vi. Ngomong-ngomong loe kok gak sekolah, ya?” tanya Alvin yang
baru sadar akan hal tersebut. Karena kan 3 jam yang lalu Cakka memang
berangkat ke sekolah, kok Via tidak?
“Gue terlambat dateng ke sekolah, Vin. So, gue gak dibolehin masuk, deh.” jelas Via santai.
“Terus kenapa loe gak balik ke rumah aja?” tanya Alvin lagi.
“Ya
tadinya juga gue mau balik, tapi pas gue lewat rumah loe ini
gue berubah pikiran. Kenapa sih tanya-tanya gitu? Gak suka ya ditemenin
gue?” tanya balik Via, Alvin langsung nyengir mendengarnya. Lantas
tangannya mencari-mencari keberadaan seorang Via.
“Gue seneng kok bisa ditemenin loe. Apalagi loe temen gue
satu-satunya selain Cakka. Makasih ya Vi, loe udah mau jadi temen gue.
Dan makasih juga udah mau terima gue apa adanya.” Alvin memegang tangan
Via lembut. Via pun membalasnya tulus.
“Pada hakekatnya, berteman itu
gak harus pilih-pilih, Vin. Dan bagi gue, loe itu terlihat istimewa
dari temen-temen gue yang lain. Karena itu gue bisa mengambil pelajaran
yang berharga dari diri loe.”
“Sekali lagi makasih ya, Vi. Gue
seneng, ternyata di dunia ini masih ada orang yang care sama gue.”
seketika pelukan hangat Alvin rasakan. Damai. Seakan ia berada di
pelukan sang Bundanya dulu. Yang mana pelukan itu sempat lenyap begitu
kegelapan merajai mata indahnya.
“Via, loe nangis?” tanya Alvin begitu telinganya dengan peka menangkap isakan.
“Gue
gak nangis, gue cuma terharu.” Alvin menyentuh pipi gadis itu perlahan.
Sampai ia merasakan ada aliran hangat yang mengalir di punggung
tangannya. Cukup lama mereka terdiam. Via memilih diam disaat kepalanya
ia sandarkan di pundak Alvin. Kenapa gue harus deg-degan? Kenapa darah
gue harus berdesir cepat seperti ini? Dan kenapa sekujur tubuh gue
serasa kaku untuk digerakkan? berjuta pertanyaan memberontak di benak
Alvin. Pasalnya, hal tersebut selalu ia rasakan sejak pertama ia
mengenal Via. Sejak pertama kalinya Alvin mendengar suara gadis
tersebut, sejak pertama kali tangannya menyentuh tangan Via. Sampai tak
terasa tetesan air langit menghujam mereka secara lembut. Gerimis
datang.
“Alvin?”
“Iya. Ada apa, Vi?”
“Kalau boleh gue tau, apa
yang loe harapkan disaat hujan turun seperti ini?” tanya Via sembari
menengadahkan telapak tangannya untuk menyentuh buliran-buliran air
hujan. Matanya terpejam menghadap langit.
“Yang gue harapkan saat
hujan turun? Hem… gue cuma berharap kalau setiap hujan turun itu tidak
ada yang namanya petir. Gue mau hujan turun ke bumi itu dengan damai
tanpa adanya suara-suara yang menggelegar dan menakutkan tersebut.”
tiba-tiba wajah Alvin berubah pucat. Raut cemas begitu mendominasi di setiap titik pori-pori wajahnya.
Karena waktu kecil Alvin pernah dihukum Ayahnya untuk berdiri di luar
rumah saat hujan badai datang dengan petir yang menggelegar.
Sampai-sampai Alvin tertidur di depan pintu dengan wajah yang pucat dan
tubuh yang menggigil hingga pagi menjelang. Mungkin itu alasan kenapa
Alvin membenci dan trauma akan hujan dan petir. Bahkan Alvin selalu
mengurung diri di kamarnya saat hujan turun.
“Tidak semua hujan itu
menyakitkan, Vin. Lihat! Seperti sekarang ini, damai.” ucap Via sambil
membangunkan tubuh Alvin dari duduknya. Via memang sudah tau ketraumaan
Alvin akan hujan. “Loe harus berani menghadapi dan melawan trauma loe
itu, Vin. Yakinlah, hujan tidak akan pernah bisa membunuh loe. Percaya
sama gue,” meski ketakutan menyelimuti hatinya, Alvin berusaha merasakan
tetesan hujan yang menimpa wajah pucatnya. Tuhan, apakah ada sesuatu
yang indah di balik hujan? Setidaknya sesuatu yang mampu merubah
ketakutan ini menjadi kekaguman. Adakah, Tuhan? batin Alvin saat itu.
Tangannya mengepal keras, mencoba melunturkan semua rasa takutnya selama
ini.
“Via, lantas apa yang loe harapkan saat hujan turun?” Alvin mengalihkan pertanyaan yang Via tanyakan padanya tadi.
“Gue selalu berharap akan adanya goresan pelangi yang indah disaat hujan reda.”
“Pelangi?”
gumam Alvin pelan. Sejak kecil, telinganya begitu sering mendengar kata
pelangi. Tapi kenyataannya sampai detik ini ia belum pernah tau bentuk
pelangi itu seperti apa?
“Iya, pelangi. Dari kecil gue paling suka
lihat pelangi. Dan butuh waktu yang lama buat gue memandang lengkungan
warna-warni yang munculnya tidak menentu itu. Menakjubkan!” jawab Via
lantang. Seketika hujan mereda.
“Apa pelangi itu istimewa menurut
loe, Vi?” Via menatap wajah Alvin sejenak. Lalu menatap kembali langit
yang masih sedikit gelap. Ia menarik napas panjangnya kuat-kuat.
“Menurut gue pelangi itu istimewa, Vin. Kehadirannya selalu
ditunggu-tunggu setiap hujan datang. Dan betapa munafiknya manusia jika
mereka enggan untuk melihat pelangi disaat ia hadir di angkasa dengan
anggunnya.” sesekali Alvin menatap wajah Via meskipun pada kenyataannya
hanya kegelapanlah yang ia tangkap.
“Selain itu, pelangi juga menjadikan lambang bahwa perbedaan itu indah adanya.” Alvin mengernyit dibuatnya.
“Kenapa bisa begitu, Vi?”
“Karena
pelangi itu terdiri dari 7 warna. Yaitu merah, jingga, kuning, hijau,
nila dan ungu. Mereka tidak bisa berdiri masing-masing, Vin. Dan jika
ada salah satu di antara mereka yang egois, maka warna yang lain akan
segera memburamkan warna indahnya, lantas tamatlah riwayat pelangi
tersebut. Sedangkan jika mereka bersatu dan saling menguatkan satu sama
lain, maka pelangi tersebut akan sangat indah membentang dan memamerkan
warna-warni indahnya ke setiap penghuni bumi.” jelas Via antusias di
sela-sela rintik hujan yang tersisa.
“Loe salah besar, Vi! Menurut
gue pelangi itu diciptakan Tuhan bukan untuk setiap manusia di bumi,
melainkan hanya untuk manusia normal yang bisa melihat. Dan tidak
diciptakan untuk manusia buta seperti gue ini.” Via tertegun seketika.
Ia memandang wajah Alvin penuh seksama. Di pipinya mengalir
butiran-butiran bening, entah itu air mata ataukah hanya air hujan semata yang menimpa wajah mulusnya.
“Apakah
suatu saat nanti gue bisa lihat pelangi? Ataukah untuk selamanya gue
gak akan pernah bisa melihat pelangi yang katanya indah itu?” gumam
Alvin lirih.
“Asalkan loe yakin dalam hati, pasti suatu saat nanti
loe bisa lihat pelangi, Vin. Percaya deh sama gue.” ucap Via meyakinkan.
“Dan asal loe tau ya Vin, Tuhan tidak hanya menciptakan satu pelangi di
dunia ini. Tuhan juga telah menciptakan pelangi yang sangat indah dan
spesial untuk manusia-manusia yang Ia istimewakan.” Via berdiri di
hadapan Alvin yang saat itu menampakan ekspresi penasaran.
“Serius?” tanyanya antusias. Via tersenyum.
“Serius. Dan pelangi itu ada di kedua mata loe, Vin. Meskipun loe
gak bisa melihatnya, tapi setidaknya loe mampu memancarkan pelangi itu
ke setiap orang yang ada di sekitar loe. Karena pelangi di mata loe itu
jauh lebih indah dibanding dengan pelangi yang jauh di sana.” Alvin ikut
tersenyum. Mata sendunya kembali bersinar bak pelangi saat hujan reda.
“Jangan bilang loe lagi lihatin muka gue?” katanya penuh percaya diri. Via terkekeh.
“Kenapa
mesti nunggu hujan buat lihat pelangi? Toh sekarang di hadapan gue juga
ada, dan gue bisa sepuasnya memandang pelangi indah di mata loe itu
kapanpun.” kata Via menggoda. Kedua tangannya ia taruh di pundak Alvin.
“Jangan bikin gue grogi dong, Vi. Bentar lagi gue terbang, nih.” gurau Alvin manja.
“Huh, dasar! Ya udah, gue balik dulu ya, Vin? Kepala gue pusing banget, terus baju gue juga basah kuyup. Gue pamit, ya!”
“Iya, makasih sebelumnya udah mau nemenin gue. Hati-hati di jalan ya, Via.” teriak Alvin.
“Sama-sama, Alvin! Bye…”
***
Engkaulah napasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu, Ayah…
Disaat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu, Ayah…
Jika aku tlah jauh darimu
Bibir
Alvin bergetar dan tangannya melemas ketika ia hendak mengakhiri lagu
yang berjudul “Ayah” tersebut. Tangannya tak sanggup lagi memainkan not
hitam putih yang berjejer rapi di hadapannya itu. Alvin terdiam sejenak.
Hening. Muara air matanya tak berniat ditumpahkan olehnya. Meski
begitu, toh mereka mengalir lembut dengan sendirinya di pipi mulus
seorang Alvin. Entah untuk ke berapa kalinya ia meneteskan air mata di
depan piano putih kesayangan orang tuanya itu. Bahkan mungkin piano
putih itulah yang menjadi saksi hidup Alvin selama ia mengalami
kebutaan.
Sejenak, belum sempat ia menarik napas untuk kedua kalinya, Alvin merasakan pelukan hangat yang tulus mendarat di punggungnya. Pelukan yang pernah ia rasakan sewaktu kecil dan sempat hilang
ketika ia beranjak remaja. Pria itu begitu erat memeluk Alvin, seakan ia
tak mau lepas dengan remaja yang pernah ditelantarkannya. Bahkan
mungkin lebih dari itu. Ia terisak sedih.
“Ayah?” lirih Alvin setelah lama mulutnya terpaku. Pria itu adalah Ayahnya.
“Maafin
Ayah, Nak! Selama ini Ayah udah jahat sama kamu, sama Cakka juga.
Tolong maafin Ayah, Nak!” pinta sang Ayah diiringi dengan tangisan dan
sesekali membelai serta mencium kepala sang anak tersebut.
“Ayah,” tangan Alvin berusaha menyentuh pipi pria paruh baya itu. Memastikan bahwa ini bukanlah mimpi di siang bolong.
“Ayah
sadar, Ayah memang orang tua yang kejam! Ayah gak pernah ada untuk
anak-anaknya. Ayah selalu mementingkan diri Ayah sendiri, Ayah egois!”
bentak Ayah Alvin kepada dirinya sendiri.
“Udah Ayah, udah! Ayah gak
perlu nyalahin diri Ayah sendiri. Alvin sama Cakka gak pernah benci sama
Ayah, jadi Ayah gak usah minta maaf.” ucap Alvin sambil menyandarkan
kepalanya di pundak sang Ayah.
“Ayah menyesal, Vin! Ayah gak pernah
ada di samping kamu semenjak keadaan kamu seperti ini. Bahkan Ayah
sampai tega menyiksa kamu dan tidak menganggap kamu sebagai anak Ayah.
Ayah macam apa ini?! Sekarang kamu boleh hukum Ayah seberat-beratnya,
Vin. Dan kamu juga boleh minta apapun yang kamu mau, pasti Ayah akan
penuhi.” dibelainya pipi Alvin penuh kasih. Tatapan sendu mata Alvin
membuat Ayahnya semakin merasa bersalah.
“Alvin gak mau minta apa-apa
dari Ayah, Alvin cuma ingin Ayah selalu ada di dekat Alvin, dan memberi
kasih sayang kepada Alvin sama Cakka seperti dulu. Itu aja, gak lebih!
Dengan kembalinya Ayah seperti ini, Alvin udah jauh lebih seneng.” ucap
Alvin polos.
“Pasti Nak, pasti! Ayah janji, Ayah akan selalu ada
untuk kamu dan untuk Cakka. Terimakasih, Nak!” kembali ia memeluk Alvin
erat. Sedangkan di sisi lain sudah ada sepasang mata yang ikut menangis
bahagia melihat adegan Ayah dan Anak tersebut. Lalu ia melangkah
mendekati mereka. Cakka.
***
“Cakka, berhenti! Geli, tau!” teriak Via yang sudah tak tahan lagi dengan ulah Cakka yang iseng menggelitik tubuhnya.
“Berani
berapa? Hahaha…” Cakka semakin mengerahkan tenaganya untuk menggelitik
Via. Sedangkan Alvin yang sedari tadi mendengar teriakan Via dan
cekikikan seorang Cakka itu hanya ikut tersenyum simpul di kursi taman
rumahnya.
“Cakka sialan, berhenti!” Via tak kuasa menahan geli.
“Udah, udah! Kasihan tuh Via sampai gak bisa ngomong, gitu.” lerai Alvin.
“Iya nih, gue berhenti. Makanya jangan coba-coba ledekin gue.” Cakka mencubit gemas pipi gadis yang sedang kelelahan itu.
“Loe sih dendaman orangnya. Gak seru, deh!”
“Tapi
gue cakep, kan? Loe aja suka sama gue.” ucapnya sombong begitu ikut
duduk di samping Alvin. Sedangkan Via dibiarkan begitu saja lesehan di
tanah yang penuh ditumbuhi rerumputan.
“Najis, loe!” timpal Via mual.
“Sini loe kalau berani! Huh, cemen!” tantang Cakka kemudian.
“Ayo pada minum dulu di sini. Haus kan, Vi?” tawar Alvin ramah.
“Gendong gue dulu, baru gue mau ke sana.” respon Via dibuat semanja mungkin.
“Ogah banget! Loe punya kaki sendiri, Via.” timpal Cakka.
“Pokoknya harus! Kalau enggak, gue ngambek nih?” ancamnya ke Cakka dan Alvin.
“Udahlah
Kka, daripada ngambek.” pinta Alvin pelan. Akhirnya dengan terpaksa
Cakka melangkah mendekati gadis yang sedang terduduk layaknya seorang
permaisuri yang menunggu pangerannya. Via tersenyum jahil melihat Cakka.
“Dasar cewek males!” tukas Cakka ketus.
“Bodo!” balas Via gak kalah ketus. Cakka sudah bersiap pada posisinya untuk menggendong Via. Begitupun sebaliknya.
“Caakkkaaaaaa!!!”
teriak Via begitu Cakka dengan jahilnya memutar kencang tubuhnya saat
ia sedang menggendong gadis cerewet tersebut.
“Rasain, loe! Hahaha…” kontan membuat tangan Via refleks memukul-mukul pundak Cakka keras. Kepalanya sangat pusing.
“Turunin gue, bego!” perintah Via tegas. Namun Cakka tidak menghiraukan ocehan gadis tersebut sama sekali. Sampai akhirnya mereka sama-sama terjatuh akibat sama-sama merasa
pusing tujuh keliling. Mereka meringis kesakitan, terlebih Via yang
pasalnya sang pinggul lebih dulu menyentuh tanah. Tawa pun menyeruak
begitu mereka menyadari ekspresi wajah mereka masing-masing.
Tuhan, andaikan aku bisa sebahagia mereka. Andaikan aku bisa sebahagia Cakka yang bisa membahagiakan Via.
Tuhan,
andaikan aku bisa melihat wajah bahagia Via yang lebih nyata. Andaikan
aku bisa membuat Via tertawa lebih dari apa yang Cakka bisa lakukan
untuknya.
Tuhan, jika semua ini memang takdir dari-Mu dan itu terbaik
untukku, biarkanlah mereka selalu tersenyum. Biarkanlah mereka bahagia
sebagaimana mereka membahagiakan aku.
Tuhan, jadikanlah Cakka sebagai
pelindung sejati buat Via. Karena Via terlalu sempurna buat aku, jadi
dia harus mendapatkan sosok yang sempurna juga seperti Cakka. Aku sangat
menyayangi Via, tapi aku merasa gak pantas untuknya. Bukankah itu yang
terbaik untukku, Tuhan? batin Alvin di tengah-tengah gelak tawa dari
Cakka dan Via. Air mukanya perlahan meredup.
“Sakit, ih!”
“Gue juga sakit, kali.”
“Ya semuanya gara-gara loe, tau!”
“Kok nyalahin gue, sih? Bukannya elo yang minta gendong?”
“Tapi kan gak bakal kayak gini kejadiannya kalau loe gak iseng.”
“Iya deh gue minta maaf.” Cakka menjentikan kelingkingnya.
“Gak mau!”
“Ya
udah!” timpal Cakka masa bodoh. Via terpejam sesaat, tangan kanannya
terus memegang dada sebelah kirinya. Lantas tubuhnya seakan tak sanggup
lagi untuk ia topang. Via terkulai lemah di samping Cakka.
“Via, loe kenapa?” respon Cakka cemas. Meskipun tubuh Via sudah digoncangkan, ia tetap tidak merespon.
“Cakka,
kenapa dengan Via?” tanya Alvin penasaran. Tongkat yang sedari tadi
tergeletak di sampingnya itu ia arahkan untuk menuntunnya ke tempat
Cakka dan Via berada.
“Bangun Via, bangun! Please, jangan bikin gue khawatir.”
“Cakka,
apa yang sebenarnya terjadi sama Via? Kenapa bisa kayak gini?” Alvin
ikut cemas. Tangannya meraba perlahan wajah gadis yang sedang tergeletak
tersebut.
“Gue gak tau Kak, tiba-tiba Via pingsan gitu aja.”
“Kalau gitu cepet hubungi Dokter, Kka! Gue takut Via kenapa-kenapa.”
“Baik,
Kak!” belum sempat Cakka melangkahkan kakinya一bahkan belum sempat juga
Cakka menarik napas untuk bangun一tiba-tiba sesuatu menahan tangannya.
“Dorrrr!!! Hahaha…” heboh Via seketika. Cakka dan Alvin mendengus.
“Viiiaaaaaa!!!” gadis itu langsung menutup rapat kedua telinganya saat Cakka dan Alvin berteriak kesal.
“Gak usah teriak-teriak juga bisa, kan? Kalian mau tanggung jawab kalau nanti gue tuli?”
“Bodo! Emangnya gue pikirin.” ceplos Cakka asal.
“Lagian bercanda loe tadi gak lucu, Via! Bikin khawatir orang aja.” sambung Alvin kemudian.
“Itu
tandanya kalian itu sayang sama gue. Terus gak mau kehilang gue juga.
Iya, kan? Hahaha…” ucap Via super percaya diri sambil berlari kecil
meninggalkan Alvin dan Cakka yang raut wajahnya berubah jengkel.
“Viiiaaaaaa!!!
Awas loe ya kalau ketangkap gue jadiin bubur loe!” teriak Cakka ikut
mengejar. Sedangkan Alvin hanya geleng-geleng mendengar ulah mereka.
Sebenarnya di hati Alvin juga ingin rasanya ikut mengejar dan menangkap
Via hidup-hidup, namun apa daya fisik tidak mendukung. Alvin mendengus
perlahan.
“Ck. Paling bisa loe bikin orang khawatir, Vi. Apa loe gak
tau jantung gue masih deg-degan sampai saat ini? Oh Tuhan, apa arti dari
semua ini? Kenapa perasaan gue berkata lain?” Alvin bermonolog seraya
terus memegangi dadanya.
***
Angin sore begitu lembut
membelai wajah orientalnya. Rambut harajukunya juga ikut bergerak.
Pelan. Membuat kening remaja itu menampakan diri dari persembunyiannya.
Dalam hati ia selalu berbisik, tak sabar menunggu hari esok yang mungkin
akan menjadi hari terindahnya. Meski sesekali rasa khawatir terbesit di
dadanya, namun ia tetap yakin kalau besok akan berjalan lancar seperti
yang ia harapkan.
“Besok udah siap?” bisik seorang pria yang baru saja duduk di samping remaja itu.
“Alvin siap, Yah. Alvin udah gak sabar nunggu besok.” jawab remaja tersebut yang ternyata Alvin. Kini Alvin dan Ayahnya sedang menikmati angin sore di balkon
kamarnya. Sungguh sore yang menyenangkan bagi Alvin, apalagi besok
adalah hari di mana ia akan melakukan operasi mata perdananya di Rumah
Sakit Kasih Bunda. Rasanya sudah sekian lama Alvin menunggu momen
seperti ini dengan penuh harap cemas. Ini juga tak luput dari usaha sang
Ayah yang bersusah payah mencari pendonor mata yang rela mendonorkan
matanya untuk Alvin.
“Ayah juga udah gak sabar nunggu kamu bisa melihat lagi, Nak.” diciumnya kening sang Anak dengan penuh kasih. Alvin tersenyum.
“Makasih banyak ya, Ayah. Ayah udah mau berusaha mencari pendonor mata buat Alvin.” Alvin memeluk Ayahnya erat.
“Ini
semua Ayah lakukan untuk menebus kesalahan Ayah sama kamu selama ini. Dan
Ayah ingin memberikan yang terbaik buat kamu. Ayah juga ikut senang dan
bangga melihat anak-anak Ayah bisa menikmati kehidupannya dengan
sempurna, meski tidak sepenuhnya sempurna.”
“Sekali lagi terimakasih, Ayah.”
“Kalau gitu Ayah pergi dulu ya, Nak. Ada meeting di kantor sore ini. Jangan lupa makan, ajak adikmu.”
“Iya Ayah, hati-hati di jalan.” kecupan tangan dari Alvin mengiringi kepergian sang Ayah tercinta.
Alvin
kembali termangu. Jemarinya mengetuk pembatas balkon berkali-kali. Ada
sesuatu yang mengganjal hatinya, resah. Tak ada lagi seseorang yang bisa
menjadi wadah untuk menumpahkan isi hatinya. Cakka? Sudah hampir 5 hari
ini ia berada di luar kota karena sedang mengikuti pertandingan basket
antar provinsi. Sedangkan Via, sudah 5 hari ini juga tidak pernah datang
lagi ke rumah Alvin untuk bermain atau hanya sekedar menjadi wadah
curhatan Alvin.
“Cakka kan lagi lomba, otomatis Via dan temen sekelas
Cakka lainnya juga ikut ke sana buat jadi supporter, dong? Ya Tuhan,
tolong putar waktu ini lebih cepat lagi. Aku ingin merekalah yang
menjadi orang pertama yang aku lihat nanti.” gumam Alvin memohon. Kedua
tangannya ia letakkan di dada. Merasakan getaran hati yang sudah memacu.
Ada apa dengan perasaanku? Kenapa selalu dirundung rasa gelisah?
batinnya bergejolak. Tiba-tiba mata Alvin berkaca.
***
Kain putih suci itu masih melingkar indah di
kepalanya. Hening. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan.
Begitupun ekspresi cemas dan tidak sabar selalu terbesit di setiap sudut
wajah mereka yang menyaksikan Alvin yang masih terduduk tegang di
hadapan sang Dokter. Mereka一Cakka dan sang Ayah一saling bertatapan saat
Dokter memberi kode kepada mereka kalau ia akan segera membuka
perbannya. Akhirnya mereka mengangguk.
“Kamu sudah siap, Alvin?” tanya Dokter meyakinkan.
“Aku
sudah siap, Dok.” jawabnya mantap. Kedua suster yang sejak tadi hanya
berdiri mematung kini ikut membantu sang Dokter melepaskan perban yang
sudah 3 hari ini melekat di kepala Alvin. Sebelumnya, operasi mata yang
dilakukan tim medis kepada Alvin cukup berjalan dengan lancar selama 8
jam. Dan sekaranglah waktunya pembuktian akan berhasil atau tidaknya
operasi tersebut.
Dengan penuh hati-hati Dokter pun membuka
perban yang tinggal satu kali putaran lagi bakal terlepas dari kepala
pasien. Ia menarik napas panjang sebelum membuka kapas yang menempel di
kedua mata Alvin. Perlahan tapi pasti, akhirnya mata Alvin kini terbebas
dan bisa terlihat oleh orang-orang di sekitarnya meski Alvin masih
memejamkan mata. Sedetik, sebelum ia benar-benar membuka matanya, Alvin
berharap tidak ada lagi kegelapan dalam hidupnya.
“Buka matanya pelan-pelan, ya?” bisik sang Dokter. Alvin mengangguk.
“Ayo
buka pelan-pelan, Nak!” suruh Ayah Alvin yang sudah tidak sabar lagi
melihat anaknya kembali normal. Perlahan, Alvin mengerjapkan matanya.
Sekali, dua kali, tiga kali, sampai ia benar-benar membuka lebar mata
barunya tersebut. Sketsa tubuh Cakka dan Ayahnya sedikit demi sedikit
mulai menjelas. Alvin tercengang untuk sesaat.
“Gimana, Nak? Apa kamu sudah bisa melihat Ayah sama Cakka?”
“Kak, ini gue, Cakka!” mereka memastikan keadaan Alvin.
“Ayah? Cakka?” kata Alvin tak percaya. Ia langsung turun dari ranjang dan memeluk keluarganya.
“Alvin udah bisa melihat lagi Yah, Kka! Terimakasih Tuhan.”
“Iya Nak, Ayah seneng banget bisa melihat kamu kembali normal.”
“Gue juga ikut seneng, Kak.”
“Dokter, terimakasih udah
melakukan yang terbaik untuk Alvin.” ucap Alvin tulus. Sang Dokter hanya
tersenyum dan membelai lembut pasiennya itu. Suasana haru tercipta di
ruangan tersebut.
Sedetik, Cakka merogoh kantongnya. Ia mengambil
amplop biru dengan hati gusar. Sesekali matanya melihat Alvin sendu.
Kegalauan melanda hati Cakka saat itu. Gue belum siap melihat Alvin
sedih disaat-saat sekarang ini! batin Cakka menolak. Ia kembali
memasukan amplop itu ke kantongnya lagi.
“Via mana, Kka? Kok dia gak
dateng, sih? Padahal gue pengen banget lihat dia sekarang. Dia di mana,
Kka?” tanya Alvin ke Cakka. Cakka tersentak, ia memandang Ayahnya nanar.
Sang Ayah mengangguk. Akhirnya Cakka terpaksa memberikan amplop itu ke
Alvin.
“Apa ini?” tanya Alvin dibarengi dengan keningnya yang mengernyit.
“Itu
amplop. Loe masih bisa baca kan, Kak?” tanya Cakka asal. Amplop itu
memang harus diberikan ke Alvin begitu Alvin membuka mata untuk pertama
kalinya, pesan si penulis.
“Iya, tau. Tapi ini maksudnya apa?”
“Baca
aja dulu. Nanti loe tau sendiri kok isinya apa.” suruh Cakka tegas.
Alvin menatap amplop itu heran. Ia segera membuka isinya dengan tangan
bergetar.
Hai, Alvin! Sori banget ya gue gak bisa hadir dan gak
bisa nemenin loe di rumah sakit. Terus gue juga minta maaf selama
beberapa hari ini gak pernah main lagi ke rumah loe. Ya itu karena gue
ada urusan lain hehehe. Sok sibuk, ya? Tapi gue seneng kok bisa lihat
loe kembali normal, jadi loe gak bisa penasaran lagi sama bentuk pelangi
itu seperti apa? Oiya, gimana mata gue? Bagus, kan? Pas banget dong
buat loe? Jaga baik-baik tuh mata gue! Jangan dipakai buat yang
enggak-enggk! Di sini juga gue bakal jaga mata loe dengan baik, kok.
Karena gue seneng banget pakai mata yang ada pelanginya gini hehehe.
Jadi gue gak perlu nunggu hujan lagi buat lihat pelangi. Dan gue bisa
santai-santai di sini tanpa perlu jalan-jalan ke bumi buat mampir ke
rumah loe.
Alvin, beneran deh gue nyesel banget kali ini. Gue nyesel gak
pernah mau jujur sama loe dan sama Cakka juga. Sebenernya gue udah lama
banget mengidap penyakit jantung. Dan gue juga sadar suatu saat nanti
gue bakal meninggal karena penyakit ini sudah stadium akhir. Loe inget
kan waktu kita hujan-hujanan pas gue bolos sekolah di rumah loe? Gue
izin pulang sama loe bukan karena gue mendadak pusing, tapi karena gue
merasa ada sesuatu hal yang menghantam dada gue. Dan itu rasanya sakit
banget, Vin.
Alvin meneteskan air matanya perlahan. Tangannya
gemetar. Tak sanggup lagi ia membaca isi surat tersebut. Namun gejolak
di hati Alvin selalu memaksanya untuk melanjutkan membaca.
Udah
jangan nangis! Cengeng amat loe jadi cowok hehehe. Oke, loe masih inget
gak waktu gue pingsan sehabis digendong sama Cakka? Sebenernya gue gak
pura-pura pingsan lho, Vin. Gue beneran hilang kendali waktu itu, rasa sakit
di dada gue kembali dateng dan bahkan rasa sakitnya lebih dahsyat lagi
dari sebelumnya. Tapi karena gue gak mau bikin loe dan Cakka khawatir,
gue berusaha kuat untuk menahan dan gue bilang sama kalian kalau gue
cuma bercanda. Itu semua gue lakuin karena gue gak mau melihat kalian
merasa bersalah dan merasa iba dengan penyakit gue yang kumat tersebut.
Alvin
menatap Cakka nanar. Air matanya semakin deras mengalir. Begitupun
Cakka dan Ayahnya yang juga ikut merasakan apa yang dirasakan Alvin saat
itu.
Terus sori banget ya gue gak sempet pamit sama loe waktu
gue mau pergi. Sori juga karena gue gak pernah ngasih tau loe selama gue
dirawat di rumah sakit. Gue cuma gak mau lihat loe sedih dan khawatir,
Vin. Karena gue gak mau di akhir hidup gue nanti dipenuhi dengan
tangisan, cukup orang tua gue aja yang nangis. Yang gue mau disaat-saat
terakhir gue hidup di dunia yaitu gue ingin memberikan sesuatu yang gue
miliki kepada orang lain yang lebih membutuhkan, terutama buat orang
yang gue sayang. Malem ini, sebelum gue nulis surat ini buat loe, gue minta sama
orang tua gue supaya mendonorkan mata gue ini buat loe, Vin. Dan gue
seneng karena mereka pun menyetujuinya. So, sekarang loe gak usah
nangisin gue. Ya walaupun gue tau loe sedih dan kecewa sama gue. Tapi
yang gue butuhin saat ini yaitu doa loe, bukan tangisan loe hehehe.
Lagian gue udah tenang kok di sini, di sisi Tuhan. Dan besok rencananya
gue mau diajak keliling surga sama para malaikat. Jangan ngiri loe!
Hahaha. Terakhir nih, jaga mata gue baik-baik! Karena mata itu sangatlah
berharga dalam kehidupan. Awas loe ya kalau mata gue sampai kenapa-kenapa.
Udah ah, tangan gue pegel! Mata gue juga udah ngantuk, tapi gue mau
kangen-kangenan dulu sama mata gue sebelum berpisah nanti. Selamat
tinggal, Alvin! Semoga hidup loe lebih bahagia dari sebelumnya.
Love You So Much, Alvin! Salam buat Cakka dan Ayah loe juga. Gue pergi dulu, ya?
Viana Azzahra.
NB:
Titip salam buat pelangi ya jika suatu saat nanti loe lihat dia. Bilang
kalau gue udah punya pelangi yang abadi di sini. Pelangi yang jauh
lebih indah, pelangi di mata loe, Alvin Mahendra.
***
Kilauan oranye memburam. Suasana sore di pantai terlihat lebih
sepi setelah cukup lama diguyur hujan. Dan dengan indahnya sinar
matahari terbias oleh partikel-partikel air hujan hingga membentuk goresan agung 7 warna nan indah yang membentang bak
jembatan melengkung di atas laut. Sepasang mata itu berkaca, sendu. Ia
mematung dengan kakinya yang sesekali membelah ombak. Alvin.
“Via,
hari ini adalah hari pertama gue lihat pelangi. Dan ternyata benar apa
yang pernah loe katakan dulu sama gue, pelangi itu istimewa. Tapi asal
loe tau, ada yang lebih istimewa dari pelangi, yaitu elo Viana Azzahra!
Gue sayang sama loe sampai kapan pun. Meski gue gak pernah lihat muka
loe, tapi gue harap loe akan baik-baik aja di sana.” Alvin memasukan
tangannya ke saku celana. Warna pelangi itu semakin lama semakin
mencerah. Bahkan lembayung senja pun ikut menyumbangkan warnanya di
antara mereka.
“Pelangi, jaga Via gue ya di sana?” ucap Alvin seraya
berjalan mundur ke tepian pantai. Ombak kian menghening saat Alvin
melangkah jauh meninggalkan mereka.
The End.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar