@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Jumat, 14 Juni 2013

Pelangi di Ujung Senja

Langit murka. Warna pekatnya merajai di sore itu. Sunyi. Hanya terdengar gemericik air hujan dan suara petir yang saling beradu di atas sana. Hembusan angin yang kencang serta kilauan putih yang sepersekian detik sekali menampakan diri itu sanggup menggetarkan jantung lebih cepat dari biasanya. Parah. Sore itu cuaca benar-benar ekstrim. Hujan badai yang mengerikan.
Alvin meringkuk. Tubuhnya ditekuk lemas di pojokan kamar. Sesekali muka dan telinganya ia tutup disaat petir menyambar dahsyat. Alvin meringis, ia terlalu takut untuk berteriak. Ia takut membuat keluarganya resah. Lagi, petir kembali menyambar bumi. Lebih dahsyat. Tak perduli akan Alvin yang semakin meringis ketakutan di pojok dekat tempat tidurnya. Seketika itu, jendela terbuka keras dan gorden pun ikut bergerak memberontak tertiup angin. Ketakutan semakin mendera Alvin, ia merapatkan kepalanya dengan lutut. Keringat dingin pun bercucuran di sekujur tubuh jenjangnya.
“Kak, loe di mana?” seseorang membuka paksa kamar Alvin. Lantas matanya bergerak mengitari setiap sudut kamar yang terlihat berantakan itu. Kemudian ia melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar, menengok keluar sesaat, lalu menutupnya kembali rapat-rapat. Samar-samar ia mendengar isakan yang tersedu-sedu di dekat tempat tidur.
“Kak Alvin?” gumamnya begitu melihat sosok remaja yang sedang meringkuk ketakutan. Lantas ia mendekat dan berjongkok di hadapan remaja itu.
“Loe gak kenapa-kenapa kan, Kak? Gue khawatir banget sama loe, Kak.” Alvin masih ketakutan ketika pelukan hangat itu menyentuh tubuhnya. Pelukan Cakka一saudara kembar Alvin. Cakka berusaha mengangkat tubuh Alvin perlahan, menidurkan kembali saudara kembarnya itu di atas kasur.
“Jangan takut lagi Kak, ada gue di sini. Lebih baik sekarang Kakak tidur.” Cakka menyelimuti Kakaknya yang masih menggigil ketakutan. Wajahnya pucat.
“Jangan tinggalin gue, Kka. Gue takut,” lirih Alvin sendu. Ia menggenggam erat pergelangan tangan Cakka.
“Jangan khawatir, gue selalu ada di sini nemenin Kakak. Kalau perlu, Kakak boleh pegang tangan gue terus biar gue gak bisa ninggalin Kakak sendirian.” ucap Cakka tegas. Ia terlalu sayang sama saudara kembarnya ini. Tangan Alvin terus meraba-raba tangan Cakka, ia berusaha memastikan kalau Cakka tidak akan meninggalkannya sendirian disaat hujan badai ini. Karena nasib Alvin memang tidak seberuntung Cakka. Kegelapan telah menemaninya selama kurang lebih 6 tahun semenjak kecelakaan mobil yang menimpa keluarganya. Alvin buta.

Petir menyambar hebat. Bumi bergetar. Seakan-akan kiamat segera terjadi sore itu. Lantas Alvin langsung menyembunyikan wajahnya di balik selimut tanpa melepaskan tangan Cakka.
“Gue tutup gordennya bentar, ya? Jangan takut!” ucap Cakka lembut. Ia segera menutup gorden rapat-rapat tanpa bisa cahaya kilat menembusnya. Mata Alvin pun terpejam, sembab一akibat tangisan yang terus-terusan ditahannya.
“Gue bakal jagain loe, Kak.” gumam Cakka lirih sambil mengusap kening Kakaknya yang sudah benar-benar terlelap. Butiran bening menggenang一tanpa berniat sedikitpun terjatuh一di sudut mata Cakka.

***


Alvin terkesiap saat tongkat hitam yang dipegangnya itu menabrak sebuah guci yang tadinya berdiri megah di samping pintu kamar Ayahnya. Ia langsung berjongkok untuk membersihkan serpihan beling yang berserakan. Dengan meraba-raba, Alvin terus memungut pecahan guci itu satu-persatu.
“Aw!” rintihnya pelan ketika telunjuknya一dengan tidak sengaja一terkena pecahan guci tersebut dan berdarah. Alvin tak menghiraukan, ia terus melanjutkan kegiatan membersihkan serpihan guci itu.
“Alvin?! Kamu apakan guci ini, hah?!” Alvin tersentak. Jantungnya seakan tertusuk jarum ketika suara keras yang tak asing lagi di telinganya itu membentak.
“Maafin Alvin, Yah. Alvin gak sengaja.” jawabnya ketakutan. Namun lelaki paruh baya tersebut tak menghiraukan ucapan Alvin. Matanya memerah.
“Kamu kan tau kalau guci itu adalah guci kesayangan Ayah sama Bunda kamu! Dasar anak yang gak berguna!” seketika tangan Alvin serasa ditarik dengan paksa oleh Ayahnya. Namun Alvin tak berniat sedikitpun untuk memberontak. Ia pasrahkan tubuhnya itu diseret-seret oleh Ayahnya dengan kejam.
“Ayah, ada apa ini?” tanya Cakka heran begitu ia keluar dari kamarnya dan melihat Ayahnya yang penuh emosi menyeret Kakaknya hina.
“Diam kamu! Jangan coba-coba ikut campur dengan urusan Ayah!”
“Ayah, please! Jangan lakuin itu, kasihan Kak Alvin.” Cakka berusaha mencegah dan memohon supaya Ayahnya mereda.
“Jangan pernah menghalangi Ayah, ngerti?! Ayah gak akan segan-segan buat menghukum siapa saja yang melakukan kesalahan di rumah ini termasuk kamu!” dibukakannya pintu kamar mandi dengan keras. Lalu sang Ayah mendorong Alvin sebisa tenaganya hingga Alvin tersungkur di bawah shower. Brak!!!
“Ayah, tolong maafin Alvin. Alvin gak sengaja pecahin guci itu.” sebisa mungkin Alvin merangkak mendekati pintu kamar mandi. Bibirnya bergetar hebat. Ia menangis perlahan.
“Yah, Cakka mohon, jangan hukum Kak Alvin.” lirih Cakka sambil memegang lengan Ayahnya.
“Please, Yah! Maafin Kak Alvin. Kenapa cuma gara-gara guci pecah aja Ayah sampai tega hukum anaknya begitu? Guci bisa dibeli lagi kan, Yah? Cakka mohon,”
“Jangan pernah kamu belain orang salah di depan Ayah kalau kamu gak mau bernasib sama seperti Alvin.” Cakka hanya terpaku saat Ayahnya berlalu begitu saja dengan membawa kunci kamar mandi. Di dalam, Alvin bersandar di balik pintu. Begitupun Cakka.
“Sebaiknya loe siap-siap buat sekolah, Kka. Nanti loe telat,” ucap Alvin lirih. Batinnya berkata kalau Cakka masih berada di balik pintu.
“Buat apa gue sekolah sedangkan saudara kembar gue tersiksa di kamar mandi?!” balasnya ketus.
“Udahlah jangan pikirin gue. Ini semua salah gue dan hukuman ini buat gue, bukan buat loe. Ayolah, Cakka!” Cakka memejamkan matanya kesal. Cakka kesal dengan sikap Kakaknya yang selalu mementingkan kepentingan dirinya daripada kepentingan diri Alvin sendiri.
“Gak ada di dunia ini yang tega melihat saudara kembarnya dihukum dan disiksa. Pokoknya gue gak mau sekolah sampai Ayah mau bukain pintu ini.” kata Cakka mantap. Tak ada niat untuk ia bangun dari duduknya.
“Cakka, please! Bisa kan turutin kata-kata gue buat kali ini aja?” bentak Alvin terpaksa. Ia mendekatkan wajahnya ke pintu.
“Toh gue sekolah atau tidak pun Ayah gak pernah perduli. Ayah yang sekarang bukan Ayah yang gue kenal dulu, Kak. Ayah udah berubah!” timpal Cakka. Alvin menunduk.

Sekitar 6 tahun yang lalu, disaat Alvin masih bisa memandang indahnya alam, disaat Alvin masih bisa melihat tawa riang sang adik dan kedua orang tuanya, disaat Alvin masih bisa dengan manja menaiki punggung Ayahnya. Namun kenangan itu seakan lenyap bak tertelan bumi begitu kecelakaan mobil menimpa keluarganya. Dunia Alvin menjadi kiamat. Ia buta permanen, Ibu kandungnya meninggal, dan bahkan Ayahnya pun yang dulu protagonis seakan diubah oleh sang sutradara menjadi antagonis. Entah apa yang terjadi dengan beliau. Apa ia belum bisa untuk menerima takdir dari Tuhan? Entahlah. Hanya beliau dan Tuhan yang tau.

***


Lantunan melodi menggema memecah keheningan. Nada-nada indah ikut menari gemulai ketika dentingan piano tercipta oleh jari-jemari mungil sang pianis. Mulutnya bersuara perlahan, mencoba menyanyikan syair yang pernah ia dengar tanpa sengaja terekam di memori otaknya. Merdu. Mungkin siapapun yang mendengarnya akan merasa kagum dan terhanyut oleh liriknya.

Aku tau ku takkan bisa
Menjadi seperti yang engkau minta
Namun selama napas berhembus
Aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta

Beberapa detik setelah Alvin一sang pianis tersebut一menyelesaikan sebuah lagu dengan sempurna. Seketika, tepuk tangan menggema di ruangan tersebut. Alvin mengernyit, heran.
“Cakka?” tebaknya ragu. Bukannya di rumah ini tidak ada seorang pun selain Alvin?
“Itu tadi keren banget!” decak kagum seseorang dengan mendekati Alvin.
“Loe siapa?” Alvin berusaha mengikuti arah sumber suara yang didengarnya.
“Gue Via, temen sekelas Cakka. Maaf ya sebelumnya, gue udah lancang dengerin loe main piano.” gadis itu mengulurkan tangannya di hadapan Alvin. Alvin pun mencoba membalas, tapi tidak tepat sasaran. Via mengernyit tiba-tiba, lalu menyambut tangan Alvin tanpa ragu.
“Alvin. Gak apa-apa kok, santai aja.” balasnya sambil senyum. “Terus Cakka mana?”
“Oh, Cakka? Tadi dia bilang mau ke bengkel dulu, ban motornya kempes. Gue disuruh masuk duluan sama dia.” jelas Via seraya menatap dalam mata Alvin. Sebetulnya Via sudah tau banyak tentang Alvin dari Cakka. Tapi Via belum tau kalau Alvin itu tuna netra.
“Emangnya lagi ada tugas kelompok, ya?” tanya Alvin sembari tangannya meraba-raba benda sekitar. Ia mencari sesuatu yang selama ini menjadi teman sekaligus sahabatnya. Tongkat.
“Gak ada, kok. Gue niat main aja ke sini. Loe gak suka ya, Vin?” balas Via gurau. Ia membantu mengarahkan tangan Alvin menyentuh tongkatnya.
“Terimakasih. Oh gitu, ya? Gak apa-apa sih, gue seneng malah kalau ada yang main ke rumah. Apalagi kalau tau itu temen-temennya Cakka, gue bisa nambah temen juga, kan?” mereka tersenyum.
“Oh iya Vin, sejak kapan loe bisa main piano? Tadi keren banget, lho!” Alvin berseri mendengarnya. Mendadak, rasa nyaman menyelimuti hati Alvin ketika sentuhan halus menyinggahi tangannya一tangan Via.
“Lho, kok diem?” tanya Via setelah mengarahkan Alvin duduk di kursi ruang tamu.
“Gue belajar piano sejak umur 8 tahun. Dulu gue sering banget lihat Ayah sama Bunda main piano, dan gue merengek minta diajarin.” Via mengangguk paham.
“Oh, jadi loe gak bisa lihat bukan sejak lahir ya, Vin?” ekspresi wajah Alvin mendatar begitu mendengar pertanyaan Via. “Sori, bukan maksud gue menyinggung perasaan loe, Vin.” lanjut Via begitu melihat perubahan raut wajah Alvin.
“Dulu gue sempat diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa melihat dunia beberapa tahun. Tapi semenjak gue dan keluarga gue kecelakaan mobil, semuanya mendadak gelap. Bahkan lebih dari gelap.” Alvin menghela napas berat. Terpaksa ia harus mengulas kembali kejadian yang menyayat hatinya itu. “Emangnya Cakka gak pernah cerita sama loe, Vi?” lanjut Alvin kemudian.
“Pernah sih, tapi dia cuma cerita tentang penyebab ibunya meninggal aja. Terus dia juga pernah cerita kalau dia punya saudara kembar, gitu.” jelas Via. Alvin kembali tersenyum.
“Oh, ya? Pasti dia suka jelek-jelekin gue.”
“Enggak, kok! Dia malah doyan banget baik-baikin loe di depan temen-temennya.” Via tersenyum melihat wajah Alvin yang saat itu berseri cerah. Ia langsung mengambil handphone dan buru-buru memfoto Alvin. Yes, right! batin Via setelah beberapa detik wajah Alvin tertera di LCD handphonenya.
“Eh, Cakka kok lama, ya? Kebiasaannya kumat deh, kalau ada temennya main suka ditinggal-tinggal.”
“Tuh anaknya dateng!” timpal Via pas melihat Cakka nongol di balik pintu.
“Sori ya gue lama. Hem… kayaknya ada yang lagi seneng tuh bisa ditemenin cewek cantik.” ledek Cakka tiba-tiba. Via menatap Cakka heran, begitu juga Alvin yang mengernyitkan dahinya bingung.
“Apaan sih, Kka?! Baru dateng, juga.” ceplos Via salting.
“Ke mana aja loe, Kka? Doyan banget bikin orang nunggu.” ucap Alvin. Cakka menggaruk kepalanya pelan.
“Gue keasyikan ngobrol sama Abang bengkelnya, Kak. Lagian Via itu udah biasa kok ditinggal-tinggal.” Cakka terkekeh seketika.
“Enak aja loe kalau ngomong!” perang mulut mulai terjadi antara Cakka dan Via. Sedangkan Alvin cuma ikut terkekeh pelan. Baru kali ini ia merasa senang dan bisa ketawa kembali setelah kurang lebih 6 tahun tawanya itu terpendam. Cakka ikut duduk di samping Alvin.
“Gue seneng deh bisa lihat loe ketawa lagi, Kak.” tiba-tiba Cakka merangkul Kakaknya yang masih menatap lurus ke depan. “Dan gue harap itu bertahan untuk seterusnya.” si Cakka semakin erat memeluk Alvin.
“Lepasin, deh! Jangan coba-coba peluk gue. Malu tuh sama cewek!”
“Bodo! Anggap aja Via gak ada.” kini giliran Via yang terkekeh melihat tingkah kedua anak kembar tersebut.
“Iya Vin, anggap aja gue gak ada.” sambung Via jahil. Cakka mengacungkan jempolnya.
“Tetep aja gue sebagai cowok itu malu kalau dipeluk-peluk sama cowok.” Alvin berusaha melepaskan pelukan Cakka.
“Tapi kan gue kembaran loe, Kak? Sok jual mahal loe!”
“Gue harap loe bukan maho, ya!” Alvin terkekeh geli. Cakka merengut.
“Sialan! Kalaupun gue maho juga pilih-pilih, kali.” ledek Cakka santai. Mereka tiba-tiba ketawa.

***


Pukul 11.00 WIB. Gemerlap kehidupan kian menghening. Senyap. Hanya terdengar detak jarum jam yang berdenting dan suara-suara binatang malam yang entah di mana asal-muasalnya. Pria paruh baya itu berjalan gontai saat ia melangkah mendekati pintu rumahnya. Lalu ia bersandar di tembok dekat pintu tersebut. Matanya merah, sayu, dan sedikit tercium aroma alkohol di mulutnya. Klik! Dalam sekejap cahaya lampu menerangi ruangan itu.
“Ayah abis ke mana?” tanya Cakka menginterogasi pria paruh baya tadi yang ternyata Ayah kandungnya. Sang Ayah terkejut untuk sementara, lalu ia kembali melangkah menuju kamarnya tanpa menanggapi pertanyaan Cakka.
“Jawab, Yah!” bentak Cakka seraya menahan tangan Ayahnya.
“Jangan pernah ikut campur urusan Ayah, mengerti?!” balasnya marah dengan sesekali mulutnya mengeluarkan cegukan hebat. Cakka memutar matanya garang.
“Dengan Ayah pulang malem dalam keadaan mabuk, apa itu yang namanya urusan?!” tanya Alvin penuh penekanan. Sang Ayah langsung menatap Alvin penuh amarah.
“Yah, Cakka mohon, Cakka sama Kak Alvin ingin melihat Ayah yang dulu lagi. Ayah yang bisa dibanggain dan Ayah yang bisa jadi panutan untuk anak-anaknya. Bukan menjadi Ayah yang pemarah dan suka mabuk-mabukan!” timpal Cakka emosional. Alvin ikut mendekat ke arah Ayahnya dengan susah payah.
“Oh, sekarang kamu udah berani ya menasihati Ayah, hah?! Mau jadi apa kamu? Ulama?!” diremasnya kerah baju Cakka keras.
“Kami hanya ingin Ayah memperhatikan kami. Itu aja Yah, gak lebih.” ucap Alvin sembari meraba udara untuk menyentuh tubuh sang Ayah.
“Kamu pikir Ayah menelantarkan kamu, iya?! Terus apa arti dari harta dan fasilitas yang Ayah berikan selama ini sama kalian, hah?! Kurang?! Dasar anak-anak yang gak tau terimakasih!” tubuh Cakka didorong hingga jatuh.
“Tapi Alvin sama Cakka gak butuh itu semua, Yah! Alvin cuma ingin Ayah selalu ada di samping Alvin saat Alvin butuhkan. Alvin butuh kasih sayang Ayah, bukan harta Ayah!” ucap Alvin sambil terus menahan air matanya yang hampir menetes.
“Dasar anak gak tau diri! Kamu itu udah gak berguna lagi di dunia ini, jadi jangan sok-sokan gak butuh harta yang Ayah berikan.” ia menepis tangan Alvin yang sejak tadi menggenggam tangannya.
“Alvin lebih baik miskin ketimbang punya harta berlimpah tapi gak bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah.”
“Ah, berisik! Plak!!!” tamparan keras mendarat di pipi Alvin. Lantas Alvin tersungkur di samping tongkatnya.
“Kak Alvin!” seru Cakka sambil ikut bersimpuh di dekat Alvin. Dan tanpa merasa dosa sedikitpun, sang Ayah meninggalkan Alvin dan Cakka begitu saja.
“Ayah jahat! Ayah benar-benar berubah. Cakka benci Ayah!” teriak Cakka amarah.
“Udah Kka, udah. Percuma kamu marah, Ayah tetep gak akan perduli sama kita. Ayah masih dalam kendali alkohol.” Alvin memeluk Cakka perlahan. Ia berusaha tegar meski hatinya tersayat perih oleh perkataan Ayah kandungnya sendiri.
“Tapi Kak…”
“Udah, Kakak gak apa-apa, kok. Antar Kakak ke kamar sekarang. Kita berdoa sama Tuhan supaya Ayah dibukakan pintu hatinya.” ucap Alvin lirih.
“Iya, Kak.” Cakka langsung menuntun Alvin perlahan. Sesekali matanya menatap tajam sosok sang Ayah yang sudah terkapar di kamarnya.

***


“Udah ah, Vi! Gue capek,” Alvin menyanggah lututnya. Napasnya semakin memburu setelah ia main kejar-kejaran bersama Via.
“Payah loe, Vin! Masa baru bentar aja udah capek, sih?” ledek Via seraya menepuk pelan pundak cowok tersebut.
“Iya deh loe menang. Tapi tolong kembalikan tongkat gue! Rasanya aneh banget kalau gue jalan gak pakai tongkat, apalagi harus lari-lari kayak tadi.” pinta Alvin memohon. Sedetik, Via tersenyum jahil.
“Kalau gue gak mau kasih tongkatnya, gimana?”
“Ya udah gak apa-apa. Asalkan loe mau gendong gue.” Via mengernyitkan dahinya. “Kalau gak mau ya sini balikin tongkat gue!”
“Hem… berhubung tongkat loe gue taruh di kursi taman sana, ya udah deh terpaksa gue mau gendong loe. Tapi loe jangan macem-macem, ya?! Awas loe kalau macem-macem!” ancam Via berubah antagonis.
“Baiklah Kakak! Ade gak bakal macem-macem.” gurau Alvin meledek. Via langsung berjongkok di hadapan cowok tersebut.
“Ayo dong Via yang cepet!” suruh Alvin tepat di telinga Via.
“Badan loe berat tau, Vin! Segini juga udah cepet.” protesnya kesal. Baru kali ini ia menggendong seorang cowok yang sebaya dengannya. Dan itu rasanya sangat-sangat berat.
“Urrrggghhh… akhirnya sampai juga!”
“Makasih ya Kak Via!” ucap Alvin setelah ia berhasil duduk di kursi taman yang tak jauh dari rumahnya itu. Alvin mendengar jelas deru napas yang memburu dari cewek yang berada di dekatnya. Lantas ia buru-buru mengipaskan kedua tangannya tepat di depan wajah Via.
“Lagi ngapain sih, Vin?” Via sedikit menjauhkan kepalanya ke belakang.
“Loe kan capek, jadi gue kipasin biar gak capek.” ucap Alvin yang dibarengi dengan senyuman ramahnya. Nih anak perhatian apa ngeledek, sih? batin Via penasaran.
“Udah ah, udah! Gue mau minum dulu.” Via segera menyambar minuman yang memang sudah disiapkan oleh pembantu Alvin sebelumnya.
“Oh iya, Vi. Ngomong-ngomong loe kok gak sekolah, ya?” tanya Alvin yang baru sadar akan hal tersebut. Karena kan 3 jam yang lalu Cakka memang berangkat ke sekolah, kok Via tidak?
“Gue terlambat dateng ke sekolah, Vin. So, gue gak dibolehin masuk, deh.” jelas Via santai.
“Terus kenapa loe gak balik ke rumah aja?” tanya Alvin lagi.
“Ya tadinya juga gue mau balik, tapi pas gue lewat rumah loe ini gue berubah pikiran. Kenapa sih tanya-tanya gitu? Gak suka ya ditemenin gue?” tanya balik Via, Alvin langsung nyengir mendengarnya. Lantas tangannya mencari-mencari keberadaan seorang Via.
“Gue seneng kok bisa ditemenin loe. Apalagi loe temen gue satu-satunya selain Cakka. Makasih ya Vi, loe udah mau jadi temen gue. Dan makasih juga udah mau terima gue apa adanya.” Alvin memegang tangan Via lembut. Via pun membalasnya tulus.
“Pada hakekatnya, berteman itu gak harus pilih-pilih, Vin. Dan bagi gue, loe itu terlihat istimewa dari temen-temen gue yang lain. Karena itu gue bisa mengambil pelajaran yang berharga dari diri loe.”
“Sekali lagi makasih ya, Vi. Gue seneng, ternyata di dunia ini masih ada orang yang care sama gue.” seketika pelukan hangat Alvin rasakan. Damai. Seakan ia berada di pelukan sang Bundanya dulu. Yang mana pelukan itu sempat lenyap begitu kegelapan merajai mata indahnya.
“Via, loe nangis?” tanya Alvin begitu telinganya dengan peka menangkap isakan.
“Gue gak nangis, gue cuma terharu.” Alvin menyentuh pipi gadis itu perlahan. Sampai ia merasakan ada aliran hangat yang mengalir di punggung tangannya. Cukup lama mereka terdiam. Via memilih diam disaat kepalanya ia sandarkan di pundak Alvin. Kenapa gue harus deg-degan? Kenapa darah gue harus berdesir cepat seperti ini? Dan kenapa sekujur tubuh gue serasa kaku untuk digerakkan? berjuta pertanyaan memberontak di benak Alvin. Pasalnya, hal tersebut selalu ia rasakan sejak pertama ia mengenal Via. Sejak pertama kalinya Alvin mendengar suara gadis tersebut, sejak pertama kali tangannya menyentuh tangan Via. Sampai tak terasa tetesan air langit menghujam mereka secara lembut. Gerimis datang.
“Alvin?”
“Iya. Ada apa, Vi?”
“Kalau boleh gue tau, apa yang loe harapkan disaat hujan turun seperti ini?” tanya Via sembari menengadahkan telapak tangannya untuk menyentuh buliran-buliran air hujan. Matanya terpejam menghadap langit.
“Yang gue harapkan saat hujan turun? Hem… gue cuma berharap kalau setiap hujan turun itu tidak ada yang namanya petir. Gue mau hujan turun ke bumi itu dengan damai tanpa adanya suara-suara yang menggelegar dan menakutkan tersebut.” tiba-tiba wajah Alvin berubah pucat. Raut cemas begitu mendominasi di setiap titik pori-pori wajahnya. Karena waktu kecil Alvin pernah dihukum Ayahnya untuk berdiri di luar rumah saat hujan badai datang dengan petir yang menggelegar. Sampai-sampai Alvin tertidur di depan pintu dengan wajah yang pucat dan tubuh yang menggigil hingga pagi menjelang. Mungkin itu alasan kenapa Alvin membenci dan trauma akan hujan dan petir. Bahkan Alvin selalu mengurung diri di kamarnya saat hujan turun.
“Tidak semua hujan itu menyakitkan, Vin. Lihat! Seperti sekarang ini, damai.” ucap Via sambil membangunkan tubuh Alvin dari duduknya. Via memang sudah tau ketraumaan Alvin akan hujan. “Loe harus berani menghadapi dan melawan trauma loe itu, Vin. Yakinlah, hujan tidak akan pernah bisa membunuh loe. Percaya sama gue,” meski ketakutan menyelimuti hatinya, Alvin berusaha merasakan tetesan hujan yang menimpa wajah pucatnya. Tuhan, apakah ada sesuatu yang indah di balik hujan? Setidaknya sesuatu yang mampu merubah ketakutan ini menjadi kekaguman. Adakah, Tuhan? batin Alvin saat itu. Tangannya mengepal keras, mencoba melunturkan semua rasa takutnya selama ini.
“Via, lantas apa yang loe harapkan saat hujan turun?” Alvin mengalihkan pertanyaan yang Via tanyakan padanya tadi.
“Gue selalu berharap akan adanya goresan pelangi yang indah disaat hujan reda.”
“Pelangi?” gumam Alvin pelan. Sejak kecil, telinganya begitu sering mendengar kata pelangi. Tapi kenyataannya sampai detik ini ia belum pernah tau bentuk pelangi itu seperti apa?
“Iya, pelangi. Dari kecil gue paling suka lihat pelangi. Dan butuh waktu yang lama buat gue memandang lengkungan warna-warni yang munculnya tidak menentu itu. Menakjubkan!” jawab Via lantang. Seketika hujan mereda.
“Apa pelangi itu istimewa menurut loe, Vi?” Via menatap wajah Alvin sejenak. Lalu menatap kembali langit yang masih sedikit gelap. Ia menarik napas panjangnya kuat-kuat.
“Menurut gue pelangi itu istimewa, Vin. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu setiap hujan datang. Dan betapa munafiknya manusia jika mereka enggan untuk melihat pelangi disaat ia hadir di angkasa dengan anggunnya.” sesekali Alvin menatap wajah Via meskipun pada kenyataannya hanya kegelapanlah yang ia tangkap.
“Selain itu, pelangi juga menjadikan lambang bahwa perbedaan itu indah adanya.” Alvin mengernyit dibuatnya.
“Kenapa bisa begitu, Vi?”
“Karena pelangi itu terdiri dari 7 warna. Yaitu merah, jingga, kuning, hijau, nila dan ungu. Mereka tidak bisa berdiri masing-masing, Vin. Dan jika ada salah satu di antara mereka yang egois, maka warna yang lain akan segera memburamkan warna indahnya, lantas tamatlah riwayat pelangi tersebut. Sedangkan jika mereka bersatu dan saling menguatkan satu sama lain, maka pelangi tersebut akan sangat indah membentang dan memamerkan warna-warni indahnya ke setiap penghuni bumi.” jelas Via antusias di sela-sela rintik hujan yang tersisa.
“Loe salah besar, Vi! Menurut gue pelangi itu diciptakan Tuhan bukan untuk setiap manusia di bumi, melainkan hanya untuk manusia normal yang bisa melihat. Dan tidak diciptakan untuk manusia buta seperti gue ini.” Via tertegun seketika. Ia memandang wajah Alvin penuh seksama. Di pipinya mengalir butiran-butiran bening, entah itu air mata ataukah hanya air hujan semata yang menimpa wajah mulusnya.
“Apakah suatu saat nanti gue bisa lihat pelangi? Ataukah untuk selamanya gue gak akan pernah bisa melihat pelangi yang katanya indah itu?” gumam Alvin lirih.
“Asalkan loe yakin dalam hati, pasti suatu saat nanti loe bisa lihat pelangi, Vin. Percaya deh sama gue.” ucap Via meyakinkan. “Dan asal loe tau ya Vin, Tuhan tidak hanya menciptakan satu pelangi di dunia ini. Tuhan juga telah menciptakan pelangi yang sangat indah dan spesial untuk manusia-manusia yang Ia istimewakan.” Via berdiri di hadapan Alvin yang saat itu menampakan ekspresi penasaran.
“Serius?” tanyanya antusias. Via tersenyum.
“Serius. Dan pelangi itu ada di kedua mata loe, Vin. Meskipun loe gak bisa melihatnya, tapi setidaknya loe mampu memancarkan pelangi itu ke setiap orang yang ada di sekitar loe. Karena pelangi di mata loe itu jauh lebih indah dibanding dengan pelangi yang jauh di sana.” Alvin ikut tersenyum. Mata sendunya kembali bersinar bak pelangi saat hujan reda.
“Jangan bilang loe lagi lihatin muka gue?” katanya penuh percaya diri. Via terkekeh.
“Kenapa mesti nunggu hujan buat lihat pelangi? Toh sekarang di hadapan gue juga ada, dan gue bisa sepuasnya memandang pelangi indah di mata loe itu kapanpun.” kata Via menggoda. Kedua tangannya ia taruh di pundak Alvin.
“Jangan bikin gue grogi dong, Vi. Bentar lagi gue terbang, nih.” gurau Alvin manja.
“Huh, dasar! Ya udah, gue balik dulu ya, Vin? Kepala gue pusing banget, terus baju gue juga basah kuyup. Gue pamit, ya!”
“Iya, makasih sebelumnya udah mau nemenin gue. Hati-hati di jalan ya, Via.” teriak Alvin.
“Sama-sama, Alvin! Bye…”

***


Engkaulah napasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah

Aku hanya memanggilmu, Ayah…
Disaat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu, Ayah…
Jika aku tlah jauh darimu

Bibir Alvin bergetar dan tangannya melemas ketika ia hendak mengakhiri lagu yang berjudul “Ayah” tersebut. Tangannya tak sanggup lagi memainkan not hitam putih yang berjejer rapi di hadapannya itu. Alvin terdiam sejenak. Hening. Muara air matanya tak berniat ditumpahkan olehnya. Meski begitu, toh mereka mengalir lembut dengan sendirinya di pipi mulus seorang Alvin. Entah untuk ke berapa kalinya ia meneteskan air mata di depan piano putih kesayangan orang tuanya itu. Bahkan mungkin piano putih itulah yang menjadi saksi hidup Alvin selama ia mengalami kebutaan.

Sejenak, belum sempat ia menarik napas untuk kedua kalinya, Alvin merasakan pelukan hangat yang tulus mendarat di punggungnya. Pelukan yang pernah ia rasakan sewaktu kecil dan sempat hilang ketika ia beranjak remaja. Pria itu begitu erat memeluk Alvin, seakan ia tak mau lepas dengan remaja yang pernah ditelantarkannya. Bahkan mungkin lebih dari itu. Ia terisak sedih.
“Ayah?” lirih Alvin setelah lama mulutnya terpaku. Pria itu adalah Ayahnya.
“Maafin Ayah, Nak! Selama ini Ayah udah jahat sama kamu, sama Cakka juga. Tolong maafin Ayah, Nak!” pinta sang Ayah diiringi dengan tangisan dan sesekali membelai serta mencium kepala sang anak tersebut.
“Ayah,” tangan Alvin berusaha menyentuh pipi pria paruh baya itu. Memastikan bahwa ini bukanlah mimpi di siang bolong.
“Ayah sadar, Ayah memang orang tua yang kejam! Ayah gak pernah ada untuk anak-anaknya. Ayah selalu mementingkan diri Ayah sendiri, Ayah egois!” bentak Ayah Alvin kepada dirinya sendiri.
“Udah Ayah, udah! Ayah gak perlu nyalahin diri Ayah sendiri. Alvin sama Cakka gak pernah benci sama Ayah, jadi Ayah gak usah minta maaf.” ucap Alvin sambil menyandarkan kepalanya di pundak sang Ayah.
“Ayah menyesal, Vin! Ayah gak pernah ada di samping kamu semenjak keadaan kamu seperti ini. Bahkan Ayah sampai tega menyiksa kamu dan tidak menganggap kamu sebagai anak Ayah. Ayah macam apa ini?! Sekarang kamu boleh hukum Ayah seberat-beratnya, Vin. Dan kamu juga boleh minta apapun yang kamu mau, pasti Ayah akan penuhi.” dibelainya pipi Alvin penuh kasih. Tatapan sendu mata Alvin membuat Ayahnya semakin merasa bersalah.
“Alvin gak mau minta apa-apa dari Ayah, Alvin cuma ingin Ayah selalu ada di dekat Alvin, dan memberi kasih sayang kepada Alvin sama Cakka seperti dulu. Itu aja, gak lebih! Dengan kembalinya Ayah seperti ini, Alvin udah jauh lebih seneng.” ucap Alvin polos.
“Pasti Nak, pasti! Ayah janji, Ayah akan selalu ada untuk kamu dan untuk Cakka. Terimakasih, Nak!” kembali ia memeluk Alvin erat. Sedangkan di sisi lain sudah ada sepasang mata yang ikut menangis bahagia melihat adegan Ayah dan Anak tersebut. Lalu ia melangkah mendekati mereka. Cakka.

***


“Cakka, berhenti! Geli, tau!” teriak Via yang sudah tak tahan lagi dengan ulah Cakka yang iseng menggelitik tubuhnya.
“Berani berapa? Hahaha…” Cakka semakin mengerahkan tenaganya untuk menggelitik Via. Sedangkan Alvin yang sedari tadi mendengar teriakan Via dan cekikikan seorang Cakka itu hanya ikut tersenyum simpul di kursi taman rumahnya.
“Cakka sialan, berhenti!” Via tak kuasa menahan geli.
“Udah, udah! Kasihan tuh Via sampai gak bisa ngomong, gitu.” lerai Alvin.
“Iya nih, gue berhenti. Makanya jangan coba-coba ledekin gue.” Cakka mencubit gemas pipi gadis yang sedang kelelahan itu.
“Loe sih dendaman orangnya. Gak seru, deh!”
“Tapi gue cakep, kan? Loe aja suka sama gue.” ucapnya sombong begitu ikut duduk di samping Alvin. Sedangkan Via dibiarkan begitu saja lesehan di tanah yang penuh ditumbuhi rerumputan.
“Najis, loe!” timpal Via mual.
“Sini loe kalau berani! Huh, cemen!” tantang Cakka kemudian.
“Ayo pada minum dulu di sini. Haus kan, Vi?” tawar Alvin ramah.
“Gendong gue dulu, baru gue mau ke sana.” respon Via dibuat semanja mungkin.
“Ogah banget! Loe punya kaki sendiri, Via.” timpal Cakka.
“Pokoknya harus! Kalau enggak, gue ngambek nih?” ancamnya ke Cakka dan Alvin.
“Udahlah Kka, daripada ngambek.” pinta Alvin pelan. Akhirnya dengan terpaksa Cakka melangkah mendekati gadis yang sedang terduduk layaknya seorang permaisuri yang menunggu pangerannya. Via tersenyum jahil melihat Cakka.
“Dasar cewek males!” tukas Cakka ketus.
“Bodo!” balas Via gak kalah ketus. Cakka sudah bersiap pada posisinya untuk menggendong Via. Begitupun sebaliknya.
“Caakkkaaaaaa!!!” teriak Via begitu Cakka dengan jahilnya memutar kencang tubuhnya saat ia sedang menggendong gadis cerewet tersebut.
“Rasain, loe! Hahaha…” kontan membuat tangan Via refleks memukul-mukul pundak Cakka keras. Kepalanya sangat pusing.
“Turunin gue, bego!” perintah Via tegas. Namun Cakka tidak menghiraukan ocehan gadis tersebut sama sekali. Sampai akhirnya mereka sama-sama terjatuh akibat sama-sama merasa pusing tujuh keliling. Mereka meringis kesakitan, terlebih Via yang pasalnya sang pinggul lebih dulu menyentuh tanah. Tawa pun menyeruak begitu mereka menyadari ekspresi wajah mereka masing-masing.

Tuhan, andaikan aku bisa sebahagia mereka. Andaikan aku bisa sebahagia Cakka yang bisa membahagiakan Via.
Tuhan, andaikan aku bisa melihat wajah bahagia Via yang lebih nyata. Andaikan aku bisa membuat Via tertawa lebih dari apa yang Cakka bisa lakukan untuknya.
Tuhan, jika semua ini memang takdir dari-Mu dan itu terbaik untukku, biarkanlah mereka selalu tersenyum. Biarkanlah mereka bahagia sebagaimana mereka membahagiakan aku.
Tuhan, jadikanlah Cakka sebagai pelindung sejati buat Via. Karena Via terlalu sempurna buat aku, jadi dia harus mendapatkan sosok yang sempurna juga seperti Cakka. Aku sangat menyayangi Via, tapi aku merasa gak pantas untuknya. Bukankah itu yang terbaik untukku, Tuhan? batin Alvin di tengah-tengah gelak tawa dari Cakka dan Via. Air mukanya perlahan meredup.
“Sakit, ih!”
“Gue juga sakit, kali.”
“Ya semuanya gara-gara loe, tau!”
“Kok nyalahin gue, sih? Bukannya elo yang minta gendong?”
“Tapi kan gak bakal kayak gini kejadiannya kalau loe gak iseng.”
“Iya deh gue minta maaf.” Cakka menjentikan kelingkingnya.
“Gak mau!”
“Ya udah!” timpal Cakka masa bodoh. Via terpejam sesaat, tangan kanannya terus memegang dada sebelah kirinya. Lantas tubuhnya seakan tak sanggup lagi untuk ia topang. Via terkulai lemah di samping Cakka.
“Via, loe kenapa?” respon Cakka cemas. Meskipun tubuh Via sudah digoncangkan, ia tetap tidak merespon.
“Cakka, kenapa dengan Via?” tanya Alvin penasaran. Tongkat yang sedari tadi tergeletak di sampingnya itu ia arahkan untuk menuntunnya ke tempat Cakka dan Via berada.
“Bangun Via, bangun! Please, jangan bikin gue khawatir.”
“Cakka, apa yang sebenarnya terjadi sama Via? Kenapa bisa kayak gini?” Alvin ikut cemas. Tangannya meraba perlahan wajah gadis yang sedang tergeletak tersebut.
“Gue gak tau Kak, tiba-tiba Via pingsan gitu aja.”
“Kalau gitu cepet hubungi Dokter, Kka! Gue takut Via kenapa-kenapa.”
“Baik, Kak!” belum sempat Cakka melangkahkan kakinya一bahkan belum sempat juga Cakka menarik napas untuk bangun一tiba-tiba sesuatu menahan tangannya.
“Dorrrr!!! Hahaha…” heboh Via seketika. Cakka dan Alvin mendengus.
“Viiiaaaaaa!!!” gadis itu langsung menutup rapat kedua telinganya saat Cakka dan Alvin berteriak kesal.
“Gak usah teriak-teriak juga bisa, kan? Kalian mau tanggung jawab kalau nanti gue tuli?”
“Bodo! Emangnya gue pikirin.” ceplos Cakka asal.
“Lagian bercanda loe tadi gak lucu, Via! Bikin khawatir orang aja.” sambung Alvin kemudian.
“Itu tandanya kalian itu sayang sama gue. Terus gak mau kehilang gue juga. Iya, kan? Hahaha…” ucap Via super percaya diri sambil berlari kecil meninggalkan Alvin dan Cakka yang raut wajahnya berubah jengkel.
“Viiiaaaaaa!!! Awas loe ya kalau ketangkap gue jadiin bubur loe!” teriak Cakka ikut mengejar. Sedangkan Alvin hanya geleng-geleng mendengar ulah mereka. Sebenarnya di hati Alvin juga ingin rasanya ikut mengejar dan menangkap Via hidup-hidup, namun apa daya fisik tidak mendukung. Alvin mendengus perlahan.
“Ck. Paling bisa loe bikin orang khawatir, Vi. Apa loe gak tau jantung gue masih deg-degan sampai saat ini? Oh Tuhan, apa arti dari semua ini? Kenapa perasaan gue berkata lain?” Alvin bermonolog seraya terus memegangi dadanya.

***


Angin sore begitu lembut membelai wajah orientalnya. Rambut harajukunya juga ikut bergerak. Pelan. Membuat kening remaja itu menampakan diri dari persembunyiannya. Dalam hati ia selalu berbisik, tak sabar menunggu hari esok yang mungkin akan menjadi hari terindahnya. Meski sesekali rasa khawatir terbesit di dadanya, namun ia tetap yakin kalau besok akan berjalan lancar seperti yang ia harapkan.
“Besok udah siap?” bisik seorang pria yang baru saja duduk di samping remaja itu.
“Alvin siap, Yah. Alvin udah gak sabar nunggu besok.” jawab remaja tersebut yang ternyata Alvin. Kini Alvin dan Ayahnya sedang menikmati angin sore di balkon kamarnya. Sungguh sore yang menyenangkan bagi Alvin, apalagi besok adalah hari di mana ia akan melakukan operasi mata perdananya di Rumah Sakit Kasih Bunda. Rasanya sudah sekian lama Alvin menunggu momen seperti ini dengan penuh harap cemas. Ini juga tak luput dari usaha sang Ayah yang bersusah payah mencari pendonor mata yang rela mendonorkan matanya untuk Alvin.
“Ayah juga udah gak sabar nunggu kamu bisa melihat lagi, Nak.” diciumnya kening sang Anak dengan penuh kasih. Alvin tersenyum.
“Makasih banyak ya, Ayah. Ayah udah mau berusaha mencari pendonor mata buat Alvin.” Alvin memeluk Ayahnya erat.
“Ini semua Ayah lakukan untuk menebus kesalahan Ayah sama kamu selama ini. Dan Ayah ingin memberikan yang terbaik buat kamu. Ayah juga ikut senang dan bangga melihat anak-anak Ayah bisa menikmati kehidupannya dengan sempurna, meski tidak sepenuhnya sempurna.”
“Sekali lagi terimakasih, Ayah.”
“Kalau gitu Ayah pergi dulu ya, Nak. Ada meeting di kantor sore ini. Jangan lupa makan, ajak adikmu.”
“Iya Ayah, hati-hati di jalan.” kecupan tangan dari Alvin mengiringi kepergian sang Ayah tercinta.

Alvin kembali termangu. Jemarinya mengetuk pembatas balkon berkali-kali. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya, resah. Tak ada lagi seseorang yang bisa menjadi wadah untuk menumpahkan isi hatinya. Cakka? Sudah hampir 5 hari ini ia berada di luar kota karena sedang mengikuti pertandingan basket antar provinsi. Sedangkan Via, sudah 5 hari ini juga tidak pernah datang lagi ke rumah Alvin untuk bermain atau hanya sekedar menjadi wadah curhatan Alvin.
“Cakka kan lagi lomba, otomatis Via dan temen sekelas Cakka lainnya juga ikut ke sana buat jadi supporter, dong? Ya Tuhan, tolong putar waktu ini lebih cepat lagi. Aku ingin merekalah yang menjadi orang pertama yang aku lihat nanti.” gumam Alvin memohon. Kedua tangannya ia letakkan di dada. Merasakan getaran hati yang sudah memacu. Ada apa dengan perasaanku? Kenapa selalu dirundung rasa gelisah? batinnya bergejolak. Tiba-tiba mata Alvin berkaca.

***


Kain putih suci itu masih melingkar indah di kepalanya. Hening. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan. Begitupun ekspresi cemas dan tidak sabar selalu terbesit di setiap sudut wajah mereka yang menyaksikan Alvin yang masih terduduk tegang di hadapan sang Dokter. Mereka一Cakka dan sang Ayah一saling bertatapan saat Dokter memberi kode kepada mereka kalau ia akan segera membuka perbannya. Akhirnya mereka mengangguk.
“Kamu sudah siap, Alvin?” tanya Dokter meyakinkan.
“Aku sudah siap, Dok.” jawabnya mantap. Kedua suster yang sejak tadi hanya berdiri mematung kini ikut membantu sang Dokter melepaskan perban yang sudah 3 hari ini melekat di kepala Alvin. Sebelumnya, operasi mata yang dilakukan tim medis kepada Alvin cukup berjalan dengan lancar selama 8 jam. Dan sekaranglah waktunya pembuktian akan berhasil atau tidaknya operasi tersebut.

Dengan penuh hati-hati Dokter pun membuka perban yang tinggal satu kali putaran lagi bakal terlepas dari kepala pasien. Ia menarik napas panjang sebelum membuka kapas yang menempel di kedua mata Alvin. Perlahan tapi pasti, akhirnya mata Alvin kini terbebas dan bisa terlihat oleh orang-orang di sekitarnya meski Alvin masih memejamkan mata. Sedetik, sebelum ia benar-benar membuka matanya, Alvin berharap tidak ada lagi kegelapan dalam hidupnya.
“Buka matanya pelan-pelan, ya?” bisik sang Dokter. Alvin mengangguk.
“Ayo buka pelan-pelan, Nak!” suruh Ayah Alvin yang sudah tidak sabar lagi melihat anaknya kembali normal. Perlahan, Alvin mengerjapkan matanya. Sekali, dua kali, tiga kali, sampai ia benar-benar membuka lebar mata barunya tersebut. Sketsa tubuh Cakka dan Ayahnya sedikit demi sedikit mulai menjelas. Alvin tercengang untuk sesaat.
“Gimana, Nak? Apa kamu sudah bisa melihat Ayah sama Cakka?”
“Kak, ini gue, Cakka!” mereka memastikan keadaan Alvin.
“Ayah? Cakka?” kata Alvin tak percaya. Ia langsung turun dari ranjang dan memeluk keluarganya.
“Alvin udah bisa melihat lagi Yah, Kka! Terimakasih Tuhan.”
“Iya Nak, Ayah seneng banget bisa melihat kamu kembali normal.”
“Gue juga ikut seneng, Kak.”
“Dokter, terimakasih udah melakukan yang terbaik untuk Alvin.” ucap Alvin tulus. Sang Dokter hanya tersenyum dan membelai lembut pasiennya itu. Suasana haru tercipta di ruangan tersebut.

Sedetik, Cakka merogoh kantongnya. Ia mengambil amplop biru dengan hati gusar. Sesekali matanya melihat Alvin sendu. Kegalauan melanda hati Cakka saat itu. Gue belum siap melihat Alvin sedih disaat-saat sekarang ini! batin Cakka menolak. Ia kembali memasukan amplop itu ke kantongnya lagi.
“Via mana, Kka? Kok dia gak dateng, sih? Padahal gue pengen banget lihat dia sekarang. Dia di mana, Kka?” tanya Alvin ke Cakka. Cakka tersentak, ia memandang Ayahnya nanar. Sang Ayah mengangguk. Akhirnya Cakka terpaksa memberikan amplop itu ke Alvin.
“Apa ini?” tanya Alvin dibarengi dengan keningnya yang mengernyit.
“Itu amplop. Loe masih bisa baca kan, Kak?” tanya Cakka asal. Amplop itu memang harus diberikan ke Alvin begitu Alvin membuka mata untuk pertama kalinya, pesan si penulis.
“Iya, tau. Tapi ini maksudnya apa?”
“Baca aja dulu. Nanti loe tau sendiri kok isinya apa.” suruh Cakka tegas. Alvin menatap amplop itu heran. Ia segera membuka isinya dengan tangan bergetar.

Hai, Alvin! Sori banget ya gue gak bisa hadir dan gak bisa nemenin loe di rumah sakit. Terus gue juga minta maaf selama beberapa hari ini gak pernah main lagi ke rumah loe. Ya itu karena gue ada urusan lain hehehe. Sok sibuk, ya? Tapi gue seneng kok bisa lihat loe kembali normal, jadi loe gak bisa penasaran lagi sama bentuk pelangi itu seperti apa? Oiya, gimana mata gue? Bagus, kan? Pas banget dong buat loe? Jaga baik-baik tuh mata gue! Jangan dipakai buat yang enggak-enggk! Di sini juga gue bakal jaga mata loe dengan baik, kok. Karena gue seneng banget pakai mata yang ada pelanginya gini hehehe. Jadi gue gak perlu nunggu hujan lagi buat lihat pelangi. Dan gue bisa santai-santai di sini tanpa perlu jalan-jalan ke bumi buat mampir ke rumah loe.

Alvin, beneran deh gue nyesel banget kali ini. Gue nyesel gak pernah mau jujur sama loe dan sama Cakka juga. Sebenernya gue udah lama banget mengidap penyakit jantung. Dan gue juga sadar suatu saat nanti gue bakal meninggal karena penyakit ini sudah stadium akhir. Loe inget kan waktu kita hujan-hujanan pas gue bolos sekolah di rumah loe? Gue izin pulang sama loe bukan karena gue mendadak pusing, tapi karena gue merasa ada sesuatu hal yang menghantam dada gue. Dan itu rasanya sakit banget, Vin.

Alvin meneteskan air matanya perlahan. Tangannya gemetar. Tak sanggup lagi ia membaca isi surat tersebut. Namun gejolak di hati Alvin selalu memaksanya untuk melanjutkan membaca.

Udah jangan nangis! Cengeng amat loe jadi cowok hehehe. Oke, loe masih inget gak waktu gue pingsan sehabis digendong sama Cakka? Sebenernya gue gak pura-pura pingsan lho, Vin. Gue beneran hilang kendali waktu itu, rasa sakit di dada gue kembali dateng dan bahkan rasa sakitnya lebih dahsyat lagi dari sebelumnya. Tapi karena gue gak mau bikin loe dan Cakka khawatir, gue berusaha kuat untuk menahan dan gue bilang sama kalian kalau gue cuma bercanda. Itu semua gue lakuin karena gue gak mau melihat kalian merasa bersalah dan merasa iba dengan penyakit gue yang kumat tersebut.

Alvin menatap Cakka nanar. Air matanya semakin deras mengalir. Begitupun Cakka dan Ayahnya yang juga ikut merasakan apa yang dirasakan Alvin saat itu.

Terus sori banget ya gue gak sempet pamit sama loe waktu gue mau pergi. Sori juga karena gue gak pernah ngasih tau loe selama gue dirawat di rumah sakit. Gue cuma gak mau lihat loe sedih dan khawatir, Vin. Karena gue gak mau di akhir hidup gue nanti dipenuhi dengan tangisan, cukup orang tua gue aja yang nangis. Yang gue mau disaat-saat terakhir gue hidup di dunia yaitu gue ingin memberikan sesuatu yang gue miliki kepada orang lain yang lebih membutuhkan, terutama buat orang yang gue sayang. Malem ini, sebelum gue nulis surat ini buat loe, gue minta sama orang tua gue supaya mendonorkan mata gue ini buat loe, Vin. Dan gue seneng karena mereka pun menyetujuinya. So, sekarang loe gak usah nangisin gue. Ya walaupun gue tau loe sedih dan kecewa sama gue. Tapi yang gue butuhin saat ini yaitu doa loe, bukan tangisan loe hehehe. Lagian gue udah tenang kok di sini, di sisi Tuhan. Dan besok rencananya gue mau diajak keliling surga sama para malaikat. Jangan ngiri loe! Hahaha. Terakhir nih, jaga mata gue baik-baik! Karena mata itu sangatlah berharga dalam kehidupan. Awas loe ya kalau mata gue sampai kenapa-kenapa. Udah ah, tangan gue pegel! Mata gue juga udah ngantuk, tapi gue mau kangen-kangenan dulu sama mata gue sebelum berpisah nanti. Selamat tinggal, Alvin! Semoga hidup loe lebih bahagia dari sebelumnya.
Love You So Much, Alvin! Salam buat Cakka dan Ayah loe juga. Gue pergi dulu, ya?


Viana Azzahra.


NB: Titip salam buat pelangi ya jika suatu saat nanti loe lihat dia. Bilang kalau gue udah punya pelangi yang abadi di sini. Pelangi yang jauh lebih indah, pelangi di mata loe, Alvin Mahendra.

***


Kilauan oranye memburam. Suasana sore di pantai terlihat lebih sepi setelah cukup lama diguyur hujan. Dan dengan indahnya sinar matahari terbias oleh partikel-partikel air hujan hingga membentuk goresan agung 7 warna nan indah yang membentang bak jembatan melengkung di atas laut. Sepasang mata itu berkaca, sendu. Ia mematung dengan kakinya yang sesekali membelah ombak. Alvin.
“Via, hari ini adalah hari pertama gue lihat pelangi. Dan ternyata benar apa yang pernah loe katakan dulu sama gue, pelangi itu istimewa. Tapi asal loe tau, ada yang lebih istimewa dari pelangi, yaitu elo Viana Azzahra! Gue sayang sama loe sampai kapan pun. Meski gue gak pernah lihat muka loe, tapi gue harap loe akan baik-baik aja di sana.” Alvin memasukan tangannya ke saku celana. Warna pelangi itu semakin lama semakin mencerah. Bahkan lembayung senja pun ikut menyumbangkan warnanya di antara mereka.
“Pelangi, jaga Via gue ya di sana?” ucap Alvin seraya berjalan mundur ke tepian pantai. Ombak kian menghening saat Alvin melangkah jauh meninggalkan mereka.


The End.



             

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar