@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Rabu, 31 Juli 2013

Cinta dalam Beda

Bumi masih terlelap dalam gelap. Senyap. Pohon-pohon yang biasanya aktif bergerak pun ikut mengatupkan daunnya. Mungkin hawa dingin yang mampu menusuk kulit hingga ke daging itu yang menjadi penyebab utama kepasifan yang terjadi di alam ini. Yang terdengar hanya suara-suara binatang kecil yang entah di mana mereka berada. Juga detak jarum jam yang kala itu menunjuk ke angka 2.

Ayam jago bertengger gagah di atas pagar. Berusaha merebahkan sayap-sayapnya perlahan, hendak berkokok. Namun belum sempat ayam itu membuka paruhnya, ia terkejut dan langsung kembali masuk ke dalam kandangnya saat bunyi gemuruh dari segerombolan warga komplek di wilayah itu semarak menggema. Sepertinya ayam tersebut merasa minder dan mengurungkan niatnya berkokok serta memilih untuk tidur kembali di kandangnnya.
“Sahur, sahur, sahur!” beberapa orang warga dengan semangat yang menggelora serta membawa berbagai peralatan musik tersebut begitu kompak berkeliling komplek. Meski tak jarang juga di antara mereka yang masih terlihat mengantuk.
“Bukannya ini masih tengah malem, ya? Kok ada rame-rame gitu, sih?” kesal salah satu penghuni rumah yang tak sengaja terbangun akibat gemuruh musik dan teriakan-teriakan yang dilakukan para warga tersebut. Lalu ia berjalan gontai mendekati balkon kamarnya.
“Lagi pada ngapain sih mereka?” gumam pria itu ketika matanya tertuju pada segerombolan warga yang sedang arak-arakan di tengah malam begini.
“Ck. Kurang kerjaan. Ganggu orang lagi tidur aja!” ocehnya. Lantas ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Perlahan, matanya terlelap.

***


“Selamat pagi Ma, Pa!”
“Selamat pagi, Sayang! Sini sarapan dulu bareng Mama sama Papa.”
“Enggak ah, Ma. Alvin bawa bekal aja deh, takut telat. Oh iya, Angel mana?”
“Angel masih di kamar. Udah, sarapan dulu aja! Lagian masih pagi ini, kok.”
“Soalnya hari inikan hari pertama Alvin masuk ke sekolah baru, Ma. Tau sendiri kan Jakarta kayak gimana?”
“Beneran mau bawa bekal?” sang Papa yang sedari tadi terdiam dengan korannya pun ikut angkat bicara.
“Apa? Kak Alvin mau bawa bekal?! Hahaha… apa gak malu tuh sama umur?” ledek Angel yang baru saja menginjak anak tangga terakhir. Pria tinggi bernama Alvin tersebut langsung melotot ke arah Angel一adik perempuannya.
“Diem kamu!”
“Emang kalau bawa bekal mau dimakan di mana?” tanya Mama. Alvin tersenyum simpul mendengarnya.
“Ya di kelas dong, Ma. Masa mau di lapangan basket?”
“Maksudnya bukan begitu, Sayang. Di sekolah kamu yang sekarang kan mayoritasnya orang muslim, dan mereka semua lagi pada puasa. Apa kamu gak malu?” jelas Papa Alvin seraya melipat koran perlahan.
“Puasa? Tapi Alvin kan bukan muslim?” tanyanya polos. Ia ikut duduk di samping Papa dan Mamanya.
“Iya, puasa. Setidaknya kamu harus bisa menghargai mereka yang lagi puasa.” sambung Mama Alvin bijak. Alvin hanya mengangguk.
“Tuh dengerin!” timpal Angel meledek.
“Iya, kamu juga! Jangan bisanya ngomong doang kayak komentator.” balas Alvin dengan mencubit pipi Angel gemas.
“Sakit, Kak!!! Bisa gak sih kalau gak pakai cubit pipi?”
“Gak bisa!” Alvin menjulurkan lidahnya.
“Ih, dasar Kakak sipit!” Angel ikut mencubit pipi Kakaknya. Sedangkan dua orang paruh baya yang sedang duduk di depan Alvin dan Angel itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kebiasaan lama kedua anaknya tersebut. Ribut.
“Udah, udah! Cepet sarapan dulu! Katanya gak mau telat?”
“Oke, Pa!” kompak Alvin dan Angel barengan.
“Nanti jangan bandel ya di kelas? Jaga sikap kalian. Utamakan kesopanan dan selalu menghormati guru dan teman-teman baru kalian.” pesan Papa mereka seraya mengusap kepala anaknya itu. Alvin mengangkat jempolnya mantap. Begitu juga Angel.
“Kalau gitu kita berangkat dulu ya Ma, Pa?” Alvin dan Angel mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. Meski mulut mereka masih terisi penuh dengan roti.

***


Di kelas, Alvin masih bersantai ria dengan menopang dagunya sambil memandangi setiap detail suasana di sekitarnya. Bel istirahat memang sudah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Tetapi Alvin belum ada niatan untuk keluar kelas一atau karena ia masih canggung meminta pada teman barunya mengelilingi sekolah ini一dalam mengenal lebih dekat lagi sarana-sarana apa saja yang tersedia di sini. Dan bahkan Alvin lebih memilih duduk di kursinya meski keadaan kelas sudah lumayan sepi.
“Berhijab Itu Menyenangkan!” gumamnya pelan saat mata sipitnya menatap pada sebuah cover buku yang sedang dibaca oleh salah seorang siswi di depan kelasnya. Sejenak, Alvin tertegun memandangi si pembaca buku tersebut一entah ia tertarik dengan yang mana? Siswi itu memang berbeda dengan siswi-siswi lain yang pernah Alvin temui saat kakinya menapakkan untuk pertama kalinya di sekolah ini.
“Dia kok aneh, ya? Cara berpakaiannya berbeda dengan yang lain.” perlahan hati Alvin tergerak untuk mendekati gadis tersebut.
“Hai, aku Alvin! Siswa baru di sekolah ini. Nama kamu siapa?” gadis itu tersenyum ke arah Alvin. Manis.
“Aku Sivia Azzahra. Cukup panggil Sivia atau Via aja.” balas gadis yang bernama Sivia tersebut. Perlahan, Alvin mengepalkan tangannya ragu saat Sivia tak membalas uluran tangannya.
“Lagi baca apa?”
“Lagi baca ini,” Sivia menunjukkan cover buku yang di bacanya. Alvin hanya mengangguk sambil membulatkan mulutnya.
“Kamu gak ikut main sama temen-temen baru kamu?” lanjut Sivia seraya menutup buku itu dan menaruh di pangkuannya.
“Aku masih canggung sama mereka, makanya aku milih di kelas aja. Ya hitung-hitung kenalan lebih dekat lagi sama kelas baru.” kata Alvin asal. Sivia tersenyum mendengarnya.
“Oh iya, daripada bengong di kelas mending kita sholat dhuha aja. Gimana?” ajak Sivia semangat.
“Boleh,” jawab Alvin spontan. Entah kenapa lidah dan hati Alvin dengan mudahnya menerima ajakan Sivia untuk sholat dhuha. Sedangkan ia sendiri tidak mengetahui apa itu sholat dhuha?
“Jarang banget lho ada anak cowok sholat dhuha di sekolah. Bahkan mungkin gak ada sama sekali,” ucap Sivia heran. Sedangkan Alvin hanya berusaha mensejajarkan langkah kakinya dengan gadis yang baru saja dikenalnya一gadis yang entah akan membawanya ke mana sekarang ini.
“Memangnya kenapa?” tanya Alvin penasaran. Sivia menggeleng kepala.
“Mungkin mereka sama Tuhan aja yang tau.” jawabnya begitu sampai di depan sebuah masjid yang tak jauh dari kelas mereka sebelumnya. Sejenak, Alvin terus memandangi bangunan yang berdiri megah di hadapannya itu. Bangunan yang terdapat banyak pintu di setiap sisinya. Bangunan yang di atasnya terdapat kubah dan dua simbol bulan bintang menempel di puncak kubah tersebut. Bangunan yang unik. Bangunan apa ini? kata hati Alvin saat itu.
“Kok malah bengong? Ayo copot sepatunya, terus masuk!” seketika lamunan Alvin buyar begitu Sivia menyuruhnya mencopot sepatu yang dipakainya.
“Oh, sepatunya dicopot?” Sivia mengernyit sejenak mendengar ucapan Alvin.
“Iya lah dicopot. Kita kan mau ambil wudhu.”
Wudhu?”
“Udah ah, nanti keburu masuk.” kata Sivia yang buru-buru masuk ke tempat wudhu.
“Nanti aku nyusul,” ucap Alvin sedikit ragu. Lantas ia lebih memilih duduk di pinggiran masjid dengan raut wajah yang masih kebingungan. Sesekali mata Alvin melirik ke arah dalam masjid一untuk mengamati apa yang sebenarnya dilakukan Sivia di dalam sana.
“Alvin, jadi sholat dhuha gak?” tiba-tiba Sivia keluar dengan memakai pakaian yang benar-benar asing di mata Alvin. Alvin mengernyit, ia menatap heran tubuh Sivia dari atas hingga ke bawah. Pakaian apa itu? Kok aneh, ya? umpat Alvin di hatinya. Lantas membuat Sivia kebingungan dengan sikap Alvin yang aneh tersebut.
“Kamu kenapa, Vin? Kok lihatin aku kayak gitu?” tanya Sivia seraya mengoreksi mukena yang dipakainya.
“Gak apa-apa kok, Vi. Aku lain kali aja deh sholatnya.” jawab Alvin kaku. Hal-hal baru semenjak 30 menit yang lalu ia mengenal Sivia itu selalu membuat penasaran otaknya.
“Oh, ya udah. Aku sholat dulu, ya?” Alvin mengangguk. Ia terus memandangi Sivia dari belakang.
“Vi, kenapa wajah kamu terlihat lebih bersinar kalau memakai pakaian yang serba putih itu. Aura keanggunan kamu begitu jelas memancar.” gumamnya terharu. Lagi, Alvin selalu memandangi semua gerak-gerik Sivia selama di dalam masjid. Mulai dari mengangkat kedua tangan hingga Sivia bersujud. Detail. Sampai Alvin hafal gerakan sholat yang Sivia lakukan.

***


“Lagi nunggu siapa, Vi?” Sivia yang sedari tadi sedang menghafal surat-surat pendek Al-Quran pun tiba-tiba dikagetkan dengan pertanyaan seseorang yang menghampirinya di depan gerbang sekolah. Sedetik, Sivia mengusap dadanya.
“Kamu ngagetin aja, Vin.” timpalnya gemetar. Alvin malah terkekeh membalasnya.
“Mau minum?” tawar Alvin santai. Padahal Sivia sudah menatapnya heran.
“Kamu gak puasa?” Alvin tergelak mendengarnya. Seakan air yang berada di tenggorokannya terasa sulit untuk ditelan.
“Aku… aku gak puasa, Vi. Maaf, bukan maksud aku buat,”
“Kenapa gak puasa? Puasa itu wajib bagi setiap muslim, Vin. Apalagi kamu seorang laki-laki.” kata Sivia sambil menatap sinis mata Alvin. Kontan membuat Alvin berusaha untuk berpaling dari tatapan maut Sivia tersebut.
“Sebenernya aku itu non muslim, Vi. Aku minta maaf, ya? Aku lupa kalau sekarang lagi bulan puasa. Maaf juga karena aku tadi belum sempet bilang sama kamu kalau aku non muslim.” jelas Alvin seraya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Jadi kamu non muslim? Aduh, maaf aku gak tau.” ungkap Sivia dengan menundukkan kepalanya. Dan dalam hitungan detik, keheningan menguasai mereka. Alvin yang dilema dengan botol minuman yang digenggamnya, sedangkan Sivia yang terlalu canggung untuk membuka pembicaraan dengan Alvin. Entah apa yang ada di otak mereka. Sampai suara seorang satpam mematahkan aksi diam-diam dua orang manusia tersebut.
“Belum pada pulang, De?” tanya Pak Satpam yang baru saja selesai mengunci gerbang sekolah. Alvin dan Sivia terkesiap.
“Mau sekalian ngabuburit, Pak.” jawab Sivia ramah. Sedangkan Alvin hanya ikut tersenyum ke arah Pak Satpam.
“Oh, ya udah kalau gitu Bapak pulang duluan, ya? Jangan pacaran di tempat yang sepi!” bisiknya jahil. Lantas membuat Alvin dan Sivia berpandangan aneh.
“Ngabuburit itu apaan ya, Vi?” Alvin menggaruk kepalanya pelan.
“Ngabuburit itu ya ngelakuin sesuatu apa aja buat nunggu buka puasa. Ada yang itikaf di masjid, tadarusan, jalan-jalan, nonton televisi, dan mungkin banyak lagi.” jelas Sivia seraya melangkahkan kakinya menjauhi gerbang sekolah.
“Emang ngabuburit itu wajib?” tanya Alvin penasaran.
“Enggak juga. Itu cuma tradisi orang-orang di bulan ramadhan aja. Dan gak semuanya yang puasa itu harus ngabuburit.” jelas Sivia seraya tersenyum melihat ekspresi wajah Alvin yang menurutnya sangat lucu.
“Oh iya, boleh aku nanya lagi?”
“Dengan senang hati,”
“Kalau di bulan ramadhan seperti ini, orang muslim itu hanya puasa dari makan dan minum aja atau ada yang lain?” Alvin mengangkat alisnya.
“Enggak hanya mulut aja yang puasa, semuanya juga harus puasa. Seperti mata, telinga, hidung, hati, dan perilaku kita juga harus ikut berpuasa. Semua komponen itu tidak boleh melakukan hal-hal negatif yang otomatis dilarang sama Tuhan.” jelas Sivia rinci一terkesan antusias.
“Karena percuma aja kita puasa kalau kita tetap melakukan hal-hal yang buruk. Dan yang ada kita cuma capek-capek nahan laper tapi gak dapet pahala dari Tuhan.” lanjutnya.
“Oh, jadi gitu?” kata Alvin yang baru paham sedikit tentang islam.
“Vi, aku boleh minta nomor handphone kamu?” pintanya kemudian.
“Boleh,” lalu Sivia mendikte digit demi digit nomor handphonenya ke Alvin. Dan saking asyiknya mereka ngobrol, sampai tak menyadari kalau mereka sudah berjalan jauh.

***


Senja menggelap. Garis oranye yang terbias di ufuk barat itu sedikit memburam. Bintik-bintik putih berkilau mulai menghiasi langit kala itu. Dan semua kegiatan umat manusia di luar sana mulai berkurang bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib. Damai. Suara-suara malam belum bersahutan.

Sudah hampir setengah jam Alvin memutar-mutar handphonenya di atas kasur. Tangannya terlalu ragu untuk mengetik kata-kata dan mengirimnya kepada salah satu kontak nama yang sejak tadi dipandangnya sendu. Bahkan Alvin sangat takut untuk menekan tombol Call yang sudah jelas-jelas ia sentuh dari tadi. Lagi, bola matanya melirik jam dinding berbentuk bola itu dengan gelisah. Mungkin Alvin menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Tapi kenyataannya hal itu sudah dilakukannya berulang kali dan selalu ia urungkan. Keberaniannya belum terkumpul untuk menelepon atau hanya sekedar mengirim sms kepada kontak yang bertuliskan Sivia tersebut.
“Telepon apa sms, ya?” rutuk Alvin seraya bangkit dari kasur dan segera melangkah menuju balkon.
“Coba telepon aja, deh.” belum sampai lima detik Alvin menekan tombol hijau di handphonenya, suara merdu Sivia sudah terdengar sangat jelas di telinga Alvin.
“Hallo? Assalamualaikum.”
“Hai, Vi! Ini aku, Alvin.”
“Oh kamu, ada apa?”
“Gak ada apa-apa, sih. Cuma mau ucapin selamat berbuka puasa aja.”
“Hehehe… makasih, ya?”
“Sama-sama. Aku ganggu ya, Vi?”
“Enggak, kok. Cuma aku lagi siap-siap buat sholat tarawih aja.”
Sholat tarawih? Berarti kamu mau ke masjid yang ada di sekolah lagi, dong?” tiba-tiba terdengar tawa kecil di seberang sana. Tawa Sivia tentunya.
“Kok ketawa, Vi?”
“Abis kamu lucu, sih. Sholat kan bisa di mana aja, gak mesti di sekolah. Yang penting tempatnya harus suci. Nah, kebetulan kan rumah kamu lumayan deket dengan masjid tuh, aku sholat tarawih di situ.”
“Hehehe… aku kan gak tau, Vi. Masa? Kalau gitu aku ikut, ya? Aku mau temenin kamu.”
“Serius mau temenin aku ke masjid?”
“Itu juga kalau kamu mau,”
“Gak ngerepotin?”
“Enggak sama sekali. Gimana?”
“Hem… ya udah, deh.”
“Hore! Aku jemput, ya?”
“Gak usah! Aku naik sepeda aja.”
“Tapi kan rumah kamu lumayan jauh, Vi? Terus kamu juga abis puasa, kan?”
“Gak apa-apa, kok. Nanti aku sms lagi. Wassalamualaikum.”
“Sivia?” Alvin membuang napas beratnya perlahan saat Sivia menutup sambungan teleponnya cepat-cepat.
“Duh kasihan deh yang teleponnya dimatiin sama si pacar.” ledek Angel yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Alvin.
“Gak usah sok tau, deh! Mau ngapain kamu ke kamar Kakak? Tumben,” Angel tersenyum simpul. Ia langsung menggandeng tangan kanan Kakaknya.
“Pasti ada maunya, nih. Udah cepetan bilang aja!” tebak dan suruh Alvin yang sudah hafal dengan tingkah sang Adik tersebut.
“Malem ini Angel tidur di kamar Kak Alvin, ya? Please!” rengeknya memaksa. Alvin berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Angel.
“Berani bayar berapa?”
“Berapa, ya? Boleh cubit pipi Angel sepuasnya, deh! Tapi jangan sakit-sakit ya, Kak?” Alvin terkekeh mendengarnya. Lalu ia tersenyum jahil.
“Duh lucu banget sih malaikat kecil punya Kakak ini.”
“Angel bilang jangan sakit-sakit, Kakak!” Angel meringis kesakitan.
“Ini udah pelan, Sayang. Lagian kamu unyu banget, sih?” goda Alvin sembari memeluk adiknya erat.
“Tapi Kakak mau ada perlu dulu sama temen. Gak apa-apa kan ditinggal sebentar?” lanjutnya manis.
“Oke, Kakak sipit! Lagian Angel juga belum ngantuk.”
“Yang sipit itu siapa, ya?” ledek Alvin sambil mengacak poni adiknya itu.
“Sesama sipit jangan saling mendahului.” balas Angel tidak mau kalah. Ia mencubit hidung Kakaknya dan langsung berlari ke bawah.
“Angeeeeelll!!! Awas ya kalau ke tangkep!”

***


Alvin tertegun melihat orang-orang muslim beribadah dari kejauhan. Ia melihat satu orang laki-laki yang berdiri sendiri di depan orang-orang muslim lainnya. Orang tersebut itulah yang paling aktif dan bersuara paling keras dari yang lain, sedangkan di belakangnya ada ada beberapa baris laki-laki dan beberapa baris perempuan. Dan mereka bersuara dalam waktu-waktu tertentu saja. Apakah dia itu pemimpin orang-orang muslim dalam beribadah? batinnya saat itu. Bahkan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang ingin ia tanyakan dan ia ingin ketahui jawabannya dari apa yang hanya bisa ia lihat.
“Selama inikah orang muslim itu beribadah?” gumam Alvin yang sudah lumayan bosan menanti Sivia selesai sholat tarawih.
“Tuhan, kenapa mesti ada banyak agama di dunia ini? Bukankah semua agama itu mengajarkan hal yang sama? Mengajarkan hal yang baik. Dan kenapa harus ada perbedaan dalam beribadah?” Alvin menatap salah satu di antara puluhan orang muslim yang sedang khusyuk beribadah tersebut. Sivia Azzahra. Perempuan yang wajahnya paling bersinar dari yang lain menurutnya. Dan entah kenapa hati Alvin terasa lebih tenang setiap ia melihat wajah damai milik Sivia.
“Ternyata perempuan itu terlihat lebih cantik kalau memakai kain penutup kepala itu.” kembali Alvin memandang Sivia yang saat ini sudah selesai menunaikan sholat tarawih. Lantas, setelah Sivia bersalaman dengan para jamaah perempuan yang lain, Sivia segera menghampiri Alvin yang sudah lama duduk ditemani beberapa nyamuk, mungkin.
“Maaf ya udah nunggu lama.” ucapnya merdu. Alvin mengangkat pundak maklum.
“Tidak masalah. Oh iya, mau langsung pulang apa gimana? Gak mau ikut ngumpul-ngumpul dulu sama yang lain?” tanya Alvin yang matanya sesekali melirik ke arah masjid yang kebetulan masih ada beberapa teman sebaya Sivia sedang duduk melingkar sambil memegang kitab yang sama dengan kitab milik Sivia. Al-Quran.
“Tadinya sih aku mau tadarusan dulu, tapi aku gak tega sama kamu. Kamu udah terlalu lama nunggu aku. Toh tadarusan sih di rumah juga bisa.”
“Beneran? Gak apa-apa kok kalau aku harus nunggu lagi.” kata Alvin ramah. Sivia hanya tersenyum.
“Aku gak mau repotin kamu, Vin. Ya udah yuk pulang!”
“Padahal aku pengen banget lho denger kamu nyanyi kayak mereka.”
“Nyanyi? Itu namanya ngaji, bukan nyanyi.” ucap Sivia maklum.
“Aduh, salah lagi. Iya, itu maksud aku. Oh iya Vi, emangnya kamu gak capek, ya?”
“Capek kenapa?”
“Kan abis puasa seharian penuh, terus malemnya harus ibadah lagi sampai satu setengah jam lebih.”
“Hehehe… enggak, lah. Itu udah kewajiban aku sebagai orang muslim, Vin. Dan mau gak mau harus dijalanin sepenuh hati. Toh cuma setahun sekali, belum tentu tahun depan aku bisa kayak gini lagi.” jelas Sivia antusias. Seperti biasa, Alvin hanya mengangguk paham.
“Aku salut deh sama kamu. Kamu itu perempuan yang hebat!” puji Alvin tulus. Kontan membuat pipi Sivia bersemu merah.
“Mungkin di luar sana banyak perempuan yang lebih hebat lagi dari aku.” ucapnya merendah.
“Tapi aku gak tertarik dengan perempuan-perempuan hebat yang ada di luar sana. Aku cuma kagum sama kamu, Sivia.”
“Kamu bisa aja,” kata Sivia yang semakin erat memeluk mukena dan Al-Quran yang sejak tadi dipeluknya di dada.

Tiba-tiba hening ikut serta dalam setiap langkah kaki Alvin dan Sivia. Cukup lama. Bahkan hiperbolanya, sang bulan pun sempat tertidur menunggu mereka kembali berbicara.
“Sivia, kenapa sih perempuan muslim itu gak semuanya pakai kerudung? Bukankah kata kamu memakai kerudung itu wajib bagi setiap perempuan muslim?” tanya Alvin penasaran. Karena memang di sekolah pun hanya Sivia saja yang memakai kerudung.
“Menutup aurat itu memang wajib. Tapi kalau masalah itu aku gak tau, Vin. Karena itu urusan mereka dengan Tuhan. Atau mungkin mereka ingin memperbaiki perilaku-perilaku yang masih tidak baik terlebih dahulu sebelum bener-bener berkerudung. Kan percuma juga kalau pakai kerudung tapi perilaku kita masih buruk. Yang ada nantinya menjadi bahan omongan orang lain.” jawab Sivia panjang lebar.
“Oh gitu, ya? Padahal menurut aku, perempuan itu jadi terlihat lebih anggun kalau pakai kerudung.” ungkapnya seraya tersenyum ke arah Sivia. Sivia ikut membalas.
“Kurasa juga begitu,”
“Ngomong-ngomong, kamu udah lama pakai kerudung?”
“Lumayan, sejak kelas 4 SD. Kenapa?”
“Gak apa-apa, nanya aja. Berarti selain hebat, kamu juga konsisten. Aku jadi tambah salut sama kamu.” puji Alvin lagi untuk kesekian kalinya. Tak sadar kalau mereka sudah berada di depan rumah Alvin. Lantas Sivia segera mengambil sepeda yang sebelumnya ia titipkan di rumah Alvin dan langsung pamit pulang.
“Makasih ya udah nemenin aku sholat tarawih malem ini. Makasih juga buat titipan sepedanya.”
“Oke, sama-sama. Makasih juga udah mau jawab semua pertanyaan-pertanyaan bodoh dari aku. Aku jadi tambah pengetahuan.”
“Aku seneng kok bisa berbagi. Kalau gitu aku pamit dulu ya, Vin? Assalamualaikum.”
“Hati-hati di jalan ya, Vi!” Sivia mengangkat jempolnya. Lantas ia berlalu dengan sepeda berwarna merah muda miliknya. Alvin terus memandangi Sivia yang sosoknya semakin menjauh dan menghilang dari lingkup pandang matanya. Dan tiba-tiba ia teringat akan malaikat kecilnya yang mungkin sudah terlalu lama menunggunya di dalam sana. Angel Laura.

***


“Kka?” bisik Alvin pelan. Ia menyenggol pundak Cakka一teman sebangkunya一yang masih sibuk menggambar tokoh kartun manga di buku tulisnya.
“Iya?” balas Cakka singkat. Mata dan tangannya terlalu serius menggeluti hobi yang sudah ia gemari sejak SD.
“Loe mau gak ajarin gue tentang islam?” pinta Alvin yang berhasil membuat ekspresi wajah Cakka berubah heran.
“Loe bercanda? Gue gak mau, ah!” tolaknya langsung.
“Gue seriusan. Bukannya berbagi ilmu itu baik, ya? Ayolah, Kka!”
“Tapi pengetahuan gue tentang islam masih bener-bener dangkal, Vin. Gue gak berani,” Alvin mendecak.
“Emangnya loe ada niat buat masuk islam, Vin?” lanjut Cakka sedikit ragu. Ia takut salah ucap.
“Aku gak tau, Kka. Aku cuma ingin tau lebih jauh lagi tentang islam. Buat nambah pengetahuan gitu, deh.”
“Oh, kirain beneran mau masuk islam. Atau jangan-jangan loe lagi suka sama cewek yang beragama islam, ya?” goda Cakka. Lalu Alvin berdiri dan tersenyum jahil ke arah Cakka.
“Pengen tau aja!”
“Tau kok, tau. Loe naksir cewek sebelah, kan? Itu lho, yang pakai kerudung.” ledek Cakka lagi sambil menaik turunkan kedua alisnya.
“Sok tau amat, loe! Gue sama dia temenan doang.”
“Meski gue tau mata loe itu sipit, tetep aja mata loe gak bisa bohong!”
“Ngawur aja! Emang loe bisa nebak perasaan orang melalui mata? Basi!” timpal Alvin yang langsung ngeloyor keluar kelas.
“Gue seriusan, Alvin! Udah, loe ngaku aja sama gue.” Cakka berusaha mengejar Alvin.
“Gue bisa jaga rahasia, kok.” bisiknya setelah Cakka berhasil menyamakan langkahnya dengan Alvin.
“Rahasia apaan sih, Kka? Orang gue gak punya rahasia juga. Dasar aneh!”
“Kalau bulan puasa itu gak boleh bohong, lho? Nanti puasanya batal.” ancam Cakka lucu.
“Loe ngigo? Gue emang gak puasa dari dulu.”
“Oh iya, ya? Gue lupa! Tapi kan tetep aja gak boleh bohong!”
“Emang siapa sih yang bohong? Gak ada,”
“Terserah loe deh, Vin! Gue capek debat sama loe.”
“Siapa suruh?” Cakka mendengus kesal.
“Lagian loe kepo banget sih jadi orang.” lanjut Alvin.
“Apaan tuh kepo? Gue baru denger,”
“Cari di google!”
“Ngeselinnya parah loe, Vin.”
No comment!

***


Klik! Secercah sinar lampu mengelabui mata Angel yang setengah terbuka. Kenyamanannya di balik selimut pun mulai terusik saat mata sipitnya menangkap sosok sang Kakak yang sedang sibuk sendiri di depan cermin. Kak Alvin lagi ngapain, ya? batin Angel penasaran.
“Kak Alvin lagi ngapain malem-malem gini di depan kaca?” tanya Angel yang sontak membuat Alvin terkejut setengah mati.
“Kamu ngagetin aja sih, De! Untung Kakak gak jantungan.” respon Alvin seraya mengusap dadanya gusar.
“Abisnya Kak Alvin ini aneh, masa jam segini udah kayak orang yang mau kerja ke kantor aja. Mau ke mana sih, Kak?” Angel menopang dagunya di atas bantal guling.
“Kakak mau bantuin warga sini buat bangunin sahur.” jawab Alvin sembari mencubit hidung mancung Angel. Lalu ia mengacak poni adiknya pelan.
“Kita kan gak puasa, Kak? Kenapa harus ikut-ikutan bangunin sahur?” Alvin tersenyum melihat adiknya tersebut.
“Gak ada salahnya kan bantu warga setempat? Lagian kasihan juga kalau mereka sampai kesiangan buat sahur. Ya seperti Mama sama Papa pernah bilang, kita harus saling menghargai.” jelas Alvin manis. Angel mengangguk paham.
“Oh iya, ya? Kakaknya Angel itu emang baik, deh!”
“Iya, dong! Selain cakep, Kakak juga harus baik.” ucapnya sambil mengangkat alisnya.
“Iya deh, iya. Tapi Kak Alvin jangan lupa bawa jaket sama syal. Di luar kan udaranya dingin, dan Angel gak mau kalau Kak Alvin sampai sakit.”
“Siap, bos! Apapun yang diperintahkan sama Bos Angel, akan saya laksanakan. Hehehe… Kakak berangkat dulu ya, Sayang? Tidur lagi yang nyenyak.” kata Alvin sambil memberi kecupan hangat di kening Angel. Angel pun tersenyum manis. Betapa bahagianya ia mempunyai seorang Kakak yang begitu sangat menyayanginya.
“Hati-hati ya, Kak! Angel sayang Kakak.” Alvin menyunggingkan senyumnya sebelum ia menutup pintu kamarnya.

Pukul 02.15 WIB. Para warga sudah bersiap-siap dengan membawa alat-alat musik modern maupun tradisional. Tapak demi tapak pun mereka jejaki ke setiap lingkungan komplek dengan berbagai macam atraksi. Seperti bernyanyi, menari, memainkan alat musik, dan bahkan ada juga yang cuma berteriak gak jelas demi membangunkan warga setempat untuk sahur.

Selalu, Alvin dibuat tertawa oleh tingkah mereka yang lucu. Dan bahkan tak jarang Alvin disuruh menyanyi dan bermain musik oleh salah seorang di antara mereka. Tentu, dengan senang hati Alvin mengabulkan permintaan mereka. Toh apa susahnya menyanyi buat seorang Alvin?
“Bapak-bapak, sebelumnya Alvin minta maaf, ya? Alvin cuma bisa ikut sampai sini aja. Gak apa-apa, kan?” pinta Alvin ramah.
“Gak apa-apa kok, Nak Alvin. Malahan Bapak mau bilang terimakasih karena Nak Alvin udah mau ikut berpartisipasi.” jawab salah seorang dari mereka. Alvin tersenyum.
“Alvin seneng kok bisa ikut. Dan kapan-kapan boleh ikut lagi, kan?”
“Oh, tentu boleh. Kapanpun Nak Alvin mau. Kalau begitu kami mau lanjut dulu, ya?”
“Oke, Pak! Tetep semangat!” balas Alvin antusias. Sivia udah bangun belum, ya? batinnya setelah para warga sudah cukup jauh melangkah. Ia segera merogoh saku celananya cepat-cepat. Dan…
“Aduh! Handphone gue gak dibawa.” sesalnya tiba-tiba. Saking buru-burunya sampai ia lupa bawa handphone. Alhasil, Alvin cuma bisa memandangi rumah Sivia di depan pagar. Ia merasa tidak enak kalau harus bertamu malam-malam seperti ini.

***


“Angel, ya?” tanya Sivia ketika ia bertemu Alvin di taman kota bersama adiknya一Angel. Sivia sama Alvin memang sudah berjanjian untuk ngabuburit bareng di taman kota. Dan berhubung Alvin tidak tega meninggalkan Angel sendirian di rumah, mau gak mau ia harus mengajak malaikat kecilnya itu ngabuburit bareng Sivia.
“Iya, Kak. Pasti ini Kak Sivia?” tebak Angel lucu.
“Kok tau sih, De? Dari Kak Alvin, ya?” Sivia berjongkok di hadapan Angel. Sedangkan Alvin hanya bisa memandang kedua orang perempuan yang ada di hadapannya itu.
“Hehehe… iya, Kak. Angel juga pernah lihat foto Kakak di handphone Kak Alvin.” kata Angel polos. Alvin melotot dibuatnya.
“Oh, jadi kamu yang suka buka-buka handphone Kakak? Gak sopan, tau!” respon Alvin dibuat sesantai mungkin. Tiba-tiba wajah Alvin bersemu merah ketika Sivia dan Angel memandangnya aneh.
“Maaf Kak, maaf. Angel lagi iseng aja. Oh iya, Kak Sivia udah lama pacaran sama Kak Alvin?” mendengar pertanyaan Angel tersebut, Alvin dan Sivia saling berpandangan heran. Mereka langsung menggeleng.
“Kak Sivia sama Kak Alvin itu gak pacaran, Sayang. Kak Sivia itu temen Kakak.” bantah Alvin cepat. Sivia mengangguk berulang kali, membenarkan kata-kata Alvin.
“Bener tuh kata Kak Alvin. Kak Sivia sama Kak Alvin cuma temenan.”
“Oh gitu, ya? Tapi kenapa gak pacaran aja? Kak Sivia sama Kak Alvin kan cocok.”
“Angel kok sekarang jadi bawel, ya?!” timpal Alvin yang sedikit kesal dengan ulah adiknya. Angel menekuk wajah.
“Gak apa-apa, namanya juga anak kecil. Oh iya, rambut Angel kok bisa bagus kayak gini, sih? Bagi tipsnya, dong?” tanya Sivia seraya membelai lembut kepala Angel. Angel tersenyum.
“Rambut Angel gak pernah diapa-apain kok, Kak. Dari dulu emang udah kayak gini. Emangnya Kak Sivia gak punya rambut, ya?” tanya Angel penasaran. Alvin dan Sivia langsung terkekeh mendengarnya.
“Kak Sivia juga punya rambut kok, Sayang.” balas Sivia mantap. Namun itu tak membuat rasa penasaran Angel hilang begitu saja.
“Kalau gitu kenapa kepalanya Kak Sivia ditutupin terus? Apa Kakak malu ya karena rambutnya jelek?”
“Sayang, Kak Sivia itu menutupi kepalanya biar kelihatan lebih cantik dan lebih sopan.” sambung Alvin yang ikut berjongkok di depan Angel. Sivia tersenyum.
“Dan Kakak pengen kelihatan beda dari perempuan lain. Bukankah begitu, Kak Alvin?” kata Sivia sedikit bercanda. Lantas mereka bertiga tertawa.
“Pantes aja Kak Alvin suka sama Kak Sivia, abisnya Kak Sivia itu selain cantik juga baik.” Alvin kembali melotot. Angeeeelll!!! Kamu tuh nyebelin banget, sih?! teriak Alvin dalam hati. Ingin rasanya Alvin kabur dari dua perempuan ini sebelum ia benar-benar dipojokkan oleh adiknya itu.
“Masa, sih? Kak Sivia kok gak tau, ya?” tanya Sivia jahil.
“Iya, sampai pernah Kak Alvin bela-belain bangun tengah malem buat ikut bangunin warga sahur. Dan itu pasti karena Kak Sivia. Iya kan, Kak?” ucap Angel sambil memamerkan deretan gigi putihnya.
“Kamu tuh sok tau banget sih, Sayang! Lagian yang puasa di komplek kita kan bukan Kak Sivia doang, tapi banyak.” alibi Alvin seraya membekap mulut Angel gemas.
“Jangan gitu dong Vin, kasihan Angel.”
“Abisnya nih bocah suka ngelantur kalau ngomong. Jangan didenger ya, Vi?” Alvin melepaskan tangannya dari mulut Angel.
“Kak Alvin tuh nyebelin banget, sih?!”
“Tuh kan jadi ngambek,” timpal Sivia ke Alvin.
“Oh iya, Angel mau es krim, enggak?” rayunya kemudian.
“Mau Kak, mau! Tapi belinya dua aja ya, Kak? Kak Alvin jangan dikasih.” kata Angel sinis.
“Oke, oke, fine! Mulai nanti malem kamar Kakak tertutup rapat buat yang namanya Angel.” ujar Alvin meledek.
“Emangnya Angel pikirin? Hahaha…”
“Angeeeelll!!!” Alvin mencoba mengejar Angel dan Sivia yang sudah berlari duluan meninggalkannya.

Benang senja masih setia membiaskan warna oranyenya di ufuk barat. Angin bertiup perlahan, menyentuh kulit dengan lembutnya. Daun-daun yang tadinya berwarna hijau pun seakan menguning saat sang raja siang mulai menenggelamkan dirinya sedikit demi sedikit. Serta orang-orang yang ngabuburit juga mulai berhamburan ke sana ke mari. Begitu juga dengan Alvin, Sivia, dan Angel yang sudah terlebih dahulu melangkahkan kakinya untuk pulang.
“Makasih ya Kak buat es krimnya? Angel seneng deh.” ucap Angel manja. Sivia tersenyum, ia membelai poni Angel dengan penuh kasih sayang.
“Sama-sama, Sayang. Kak Sivia juga mau bilang makasih karena Angel udah mau temenin Kak Sivia ngabuburit.” Sivia memeluk Angel tanpa canggung. Mereka seakan sudah kenal lama.
“Kamu gak bilang makasih sama aku, Vi? Curang,” Sivia dan Angel tertawa.
“Kok malah ketawa, sih?” lanjut Alvin kemudian.
“Iya, makasih juga buat kamu yang udah mau temenin aku ngabuburit. Kalau gitu aku pamit pulang, ya? Bentar lagi udah mau buka puasa.” pamit Sivia yang tak lupa mencubit pelan pipi Angel.
“Mau aku antar?” tawar Alvin. Sivia menggeleng.
“Gak perlu kok, Vin. Aku jalan sendiri aja.”
“Oh, ya udah. Aku sama Angel juga pamit pulang, ya?”
“Hati-hati di jalan ya, Kak Sivia! Sampai ketemu lagi.” kata Angel semangat.
“Iya, cantik. Kalian juga hati-hati, ya! Sampai ketemu dilain waktu. Insya Allah.” Alvin dan Angel tersenyum serta melambaikan tangannya melihat Sivia pergi.
“Ayo, Sayang!” ajak Alvin seketika. Ia menggendong Adiknya yang sudah kelihatan lelah.

***


Sudah hampir setengah jam Alvin berdiam diri di posisinya. Dan setengah jam itu pula ia melirik resah arloji putih yang melingkar indah di tangan kirinya. Sesekali Alvin berdecak. Matanya ia edarkan ke sekeliling restoran yang dikunjunginya di sore menjelang malam ini. Mencari seseorang yang benar-benar dinantinya sedari tadi.

Gundah. Lagi-lagi Alvin memainkan jemarinya di atas meja, menciptakan irama mungil yang mungkin mewakili suasana hatinya saat itu. Apa dia lupa? batinnya pasrah. Ia kembali memutar gelas yang sudah terisi jus melon itu. Namun Alvin tak sedikitpun berniat untuk meminumnya.

Raut wajahnya kembali mendatar saat seorang pelayan menghampirinya untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi Alvin hanya bisa mengatupkan kedua telapak tangannya. Memohon maaf karena ia memang belum berniat untuk memesan makanan. Pelayan itu tersenyum, tersenyum wajar. Sampai Alvin merasa tak enak hati kepadanya.
“Mohon sebentar lagi ya, Mas?” pinta Alvin ramah. Pelayan itu mengangguk dan kembali berbalik badan.
Fried potato sama es teh manisnya dua ya, Mas?” pinta seseorang begitu sang pelayan hendak meninggalkan meja yang ditempati Alvin. Kontan membuat Alvin langsung mendongakan kepalanya ke arah sumber suara.
“Sivia?” senyum pria itu mengembang pas melihat seseorang yang ditunggunya sedari tadi dengan penuh gelisah itu akhirnya datang juga.
“Maaf banget aku telat.” ucap Sivia penuh penyesalan. Dan tanpa ragu sedikitpun ia segera duduk di hadapan Alvin. Membuat pria satu ini terdiam sejuta kata. Matanya begitu fokus memandangi setiap titik pakaian yang Sivia kenakan kala itu. Sivia terlihat benar-benar cantik.
“Ada yang salah sama aku?” Sivia mengoreksi pakaian yang ia kenakan tersebut ketika Alvin menatapnya tak biasa.
“Enggak ada, kok. Kamu cuma terlihat lebih cantik malem ini.” jujur Alvin tanpa sadar dan berhasil merubah air muka Sivia yang tersipu malu.
“Makasih,” ucapnya pelan. Bahkan hampir tak terdengar.
“Maaf ya aku telat. Tadi jalannya macet.” lanjutnya dengan dibarengi anggukan kepala Alvin.
“Gak apa-apa kok, nyantai aja. Oh iya, ini udah waktunya buka puasa, kan?” tanya Alvin antusias. Sivia melirik tangan kirinya yang memang tertera arloji ungu yang melingkar indah di sana. Ia mengangguk ke arah Alvin.
“Kalau gitu kamu buka puasa dulu aja, ini belum aku minum.” lanjut Alvin seraya menyodorkan jus melon yang sudah ia pesan sebelumnya.
“Iya, makasih. Aku buka puasa dulu, ya?” Alvin tersenyum, lalu ia melihat Sivia yang menengadahkan tangan dengan mulut yang sedikit bergumam sebelum Sivia meminum jus pemberiannya. Alvin terus memandangnya kagum.
“Doa berbuka puasa,” ucap Sivia halus. Ia sudah mengetahui apa yang ada di pikiran Alvin tersebut. Lantas Alvin kembali tersenyum dan menganggukan kepalanya berulang kali.
“Ini Mbak, pesanannya.” kata sang pelayan ramah. Dan kurang dari 5 detik, beberapa porsi makanan yang dipesan Sivia pun sudah tersedia di hadapannya.
“Terimakasih ya, Mas?” balas Sivia tak kalah ramah. Pelayan itu ikut tersenyum sebelum pergi meninggalkan meja Alvin dan Sivia.
“Kok tau sih kalau aku suka kentang goreng?” tanya Alvin sumringah. Sivia hanya mengernyit.
“Iya? Tadi aku cuma asal pesen aja, kok. Emang suka kentang goreng juga? Sama dong kalau gitu.” kata Sivia sembari mencolek saus tomat yang ada di hadapannya.
“Selamat makan!” lanjutnya senang.
“Iya, selamat makan!” kata Alvin ikut senang. Lantas mereka terbius dengan percakapan-percakapan yang tidak terlalu penting di malam itu. Anggap saja ini hanya sekedar buka puasa bersama. Bukan makan malam yang romantis layaknya dua orang kekasih.

***


“Makasih ya buat traktirannya.” ucap Sivia ketika mobil Alvin berhenti di depan rumahnya. Alvin menghela napas.
“Harusnya aku yang bilang makasih sama kamu, Vi. Kamu udah mau menyempatkan waktu untuk berbuka puasa bareng aku.”
“Itu karena izin Allah dan aku gak punya hak buat nolak ajakan kamu, selama itu hal positif.” Sivia melengkungkan garis bibirnya. Membuat Alvin mendadak kehilangan topik pembicaraan di hadapan gadis yang malam ini terlihat sangat cantik itu.
“Mau masuk dulu?” tawar Sivia lembut. Sedetik, Alvin masih diam sejuta kata.
“Alvin?” sapa Sivia lagi yang berusaha membuyarkan lamunan seorang Alvin.
“Eh, iya? Kamu tadi bilang apa, Vi?” tanya Alvin gelagapan.
“Mau mampir dulu apa mau langsung pulang?” tanya Sivia sekali lagi.
“Hem… aku langsung pulang aja deh kayaknya. Aku gak mau ganggu waktu kalian buat ibadah. Titip salam aja buat orang tua kamu.” Sivia menganggukan kepalanya datar.
“Serius mau pulang? Padahal malem ini aku gak sholat tarawih, lho? Ini kan malem lebaran. Hem… ya udah kalau gitu aku masuk dulu ya, Vin?” pamit Sivia pasrah. Perlahan ia membuka pintu mobil Alvin.
“Sivia?!” panggil Alvin setelah beberapa detik Sivia menapakkan kakinya ke tanah. Dan Sivia pun menunduk, menengok ke arah Alvin yang saat itu menampakan ekspresi kebingungan.
“Kenapa? Kamu berubah pikiran?”
“Kamu cantik,” Sivia tergelak untuk sesaat dan kemudian tersenyum.
“Makasih. Ada yang mau diomongin lagi?” tanya Sivia canggung. Alvin menggeleng. Ini anak kenapa, sih? batin Sivia sambil berbalik badan.
“Sivia?!” panggil Alvin lagi.
“Iya, kenapa?”
“Enggak jadi,” Sivia membuang napas berat dibuatnya. Alvin terlihat sangat aneh malam ini.
“Sivia?!”
“Jangan bercanda mulu dong, Vin! Aku mau masuk ke rumah.” kesal Sivia benar-benar. Ia sama sekali tak menatap Alvin.
“Aku suka sama kamu,” Sivia tersedak mendengar ucapan Alvin. Ludah yang ada di mulutnya terasa sangat sulit untuk ditelan.
“Aku lagi gak mau bercanda ya, Vin. Udah, deh!” kata Sivia sedikit kesal. Ia tak menyadari kalau Alvin sudah berdiri di belakangnya.
“Aku gak bercanda, aku serius. Dan aku benar-benar suka sama kamu, Vi.” Sivia berbalik dan melihat jelas kedua mata Alvin yang begitu dalam menatapnya. Lalu ia beralih.
“Kamu beneran suka sama aku, Vin? Memangnya apa yang kamu suka dari aku?” Alvin tersenyum melihat Sivia berbicara tanpa melihat sedikitpun wajah lawan bicaranya.
“Apakah suka atau cinta itu butuh alasan?”
“Tapi aku mau tau alasan kamu,” Alvin mengangguk pelan. Ia berusaha mengubah posisi berdirinya agar ia bisa menatap mata Sivia.
“Aku suka semuanya yang ada di kamu.” kata Alvin asal.
“Aku suka denger kata-kata seperti itu di sinetron. Please, aku serius.” paksa Sivia penuh harap. Ia begitu erat menggenggam tali tas selempangnya yang masih setia menggantung di pundak kirinya. Alvin menarik napas kuat-kuat dan membuangnya perlahan. Meski ini bukan pertama kalinya Alvin menyatakan cinta kepada seorang gadis, namun ia masih saja kaku. Sivia itu gadis yang beda.
“Mau tau jawabannya kenapa aku suka sama kamu? Maaf, aku juga gak begitu paham dengan perasaan ini. Yang aku tau, aku selalu merasa tenang dan nyaman kalau aku di dekat kamu. Dan rasanya aku ingin berlama-lama berada di sisi kamu. Hem… mungkin itu alasannya.” Alvin mengangkat bahu pasrah.
“Lalu?” tanya Sivia kemudian.
“Aku, aku ingin kita lebih dari sekedar teman.”
“Maksud kamu? Aku gak ngerti, Vin.” ucapnya polos. Lantas Alvin dengan segera menggenggam kedua telapak tangan Sivia cepat.
“Aku cinta sama kamu, Sivia. Dan aku mau melanjutkan hubungan pertemanan kita ke jenjang yang lebih spesial lagi.” dahi Sivia mengernyit.
“Bolehkah aku jadi pacar kamu?” lanjut Alvin penuh harap. Sivia masih diam, ia terus menatap sendu tangan Alvin yang menggenggam erat tangannya.
“Maaf, aku gak maksud,” dengan segera Alvin melepaskan genggamannya di tangan Sivia.
“Tapi aku?” ungkap Sivia lirih. Matanya sedikit berkaca.
“Aku sama kamu itu,” belum sempat Sivia melanjutkan ucapannya, Alvin langsung memotong.
“Iya, aku tau. Dari semalem pun aku udah menyangka kalau alasan itu akan keluar dari mulut kamu.” Alvin mengangkat pundaknya lemas. Sepertinya ia sudah mengetahui apa jawaban Sivia.
“Alvin,”
“Kita memang beda, Vi. Tapi, apakah perbedaan itu selalu menjadi alasan dalam sebuah hubungan? Bukankah perbedaan itu indah?” Alvin mencoba tersenyum meski terlihat dipaksakan.
“Kita gak mungkin bersatu, Vin.” Sivia menunduk.
“Iya kah? Kenapa?”
“Kamu pasti tau alasan aku. Karena aku masih terlalu takut kalau orang tuaku tau anaknya memiliki hubungan spesial dengan pria yang berbeda keyakinan. Aku takut mereka melarang, Vin.”
“Kita yang akan menjalaninya, bukan mereka.” kata Alvin mantap.
“Tapi kalau itu memang alasan kamu buat nolak aku, aku gak memaksa.” kata Alvin lagi sambil melangkah mundur menjauhi Sivia.
“Aku yakin, Tuhan punya rencana lain yang lebih indah di balik pertemuan dan pertemanan kita selama ini. Dan aku yakin kalau perbedaan itu gak selamanya menjadi alasan yang menyakitkan dalam sebuah hubungan. Suatu saat nanti, perbedaan pasti akan bersatu.” Sivia menatap nanar langkah Alvin. Mulutnya semakin terasa sulit untuk berkata.
“Alvin,”
“Aku pamit. Makasih ya untuk waktunya. Dan maaf aku udah lancang sama kamu. Permisi!” Alvin berbalik dan mencoba membuka pintu mobil yang seakan sulit ia buka.
“Mungkin kamu bener, Vin. Memang Tuhan-lah yang menakdirkan kita untuk berbeda. Dan mungkin Tuhan jugalah yang menakdirkan kita untuk bersatu. Aku sangat yakin bahwa ini adalah alasan Tuhan menciptakan perbedaan. Yaitu untuk bersatu.” kata Sivia yakin. Sedangkan Alvin masih dalam posisinya. Berdiri dalam diam. Berusaha mengurungkan niatnya masuk ke dalam mobil.
“Dan aku gak bisa bohongi perasaan aku sendiri.” untuk sedetik, Alvin memejamkan mata. Begitupun Sivia.
“Sivia?”
“Alvin, aku belum jawab pertanyaan kamu, tapi kenapa kamu mau pergi? Hanya segitukah keberanian kamu?” sinis Sivia sedikit galak.
“Karena aku terlalu pesimis, Vi.” Alvin menunduk. Kepalanya ia paksakan untuk terasa gatal.
“Aku butuh pemimpin yang bertanggung jawab, bukan yang pengecut.”
“Maaf. Tapi aku janji bakal bertanggung jawab.” ucapnya yakin. Sivia terkekeh mendengarnya.
“Dan aku gak suka sama orang yang sering ngumbar janji.”
“Tapi aku beneran janji, Sivia.”
“Tuh, kan?! Udah aku bilang kalau aku gak suka sama orang yang ngumbar janji.” Sivia melipat tangannya di dada.
“Oke, oke! Aku gak mau janji. Aku cuma mau berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu.” kata Alvin seraya mendekati Sivia yang masih melipat dada itu.
“Gombal!”
“Aku serius.”
“Aku gak percaya!”
“Ya Tuhan. Sesulit inikah untuk jadi kekasih ciptaan-Mu yang satu ini?” Alvin mengangkat kepalanya ke atas. Di sana sudah terlihat jelas olehnya bintang-bintang yang berkedip.
“Alviiiiinn!!! Kamu nyebelin, deh!”
“Tapi kita udah resmi, kan?” goda Alvin dengan senyum jahilnya. Sivia melotot.
“Maunya?”
“Aku sayang kamu!” kata Alvin lagi tanpa menghiraukan ucapan Sivia sebelumnya. Sivia tersenyum.
“Aku juga sayang kamu!”

Mata mereka saling berbicara. Berbicara dengan kata-kata yang mungkin terlalu sulit untuk diterjemahkan oleh mulut. Cukup lama mereka mematung. Terlalu canggung untuk melakukan hal yang layaknya dilakukan sepasang kekasih baru.

Kurang dari dua detik Alvin memeluk Sivia. Dan dengan segera ia melepaskannya saat gema takbir saling beradu di udara. Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Rabu, 24 Juli 2013

Putih Abu-Abu [Alvia]

Karya: @RyssaNH 



Sivia’s P.O.V

 

Aku tak mau bertemu kamu

Yang slalu menggangguku

Buat hariku tak menentu

Aku benci kamu



“ADUUUUUUUHHH!!!” aku mengerang kesakitan saat pantatku menyentuh permukaan lapangan basket ketika aku hendak melangkah menuju kelasku. Sebuah bola basket menggelinding di sekitar kakiku, bola yang beberapa saat lalu dengan naasnya menubruk tubuh jenjangku.



“HAHAHAHAHAHAHAHA!!!” terdengar gelak tawa seseorang di tengah lapangan basket.



Tunggu, rasanya aku mengenal suara tawa ini. Apa jangan-jangan…



“ALVIIIINNNN!!! KURANG ASAM LOE PAGI-PAGI UDAH NIMPUK GUE PAKE BOLA!!! KURANG KERJAAN BANGET SIH LOE?!” gerutuku kesal sambil mencoba bangkit dari posisi dudukku. Setelah aku berhasil berdiri –faktanya pantatku masih terasa perih gara-gara jatuh tadi; kakiku juga nampaknya keseleo– aku membungkuk mengambil bola basket milik si cowok dengan rambut setengah gondrong dan tersenyum menyebalkan di tengah lapangan sana.



“kenape Vi?! Pagi-pagi udah ngemper ngga jelas kaya gembel butut, minta sumbangan buuuuu’?!” ledeknya sambil berjalan mendekat, mungkin dia bermaksud mengambil bola yang ada dalam dekapanku. Aku langsung memasang wajah galak begitu dia udah di depanku.



“HEH SEENAKNYA AJA YAA LOE!!! UDAH BIKIN GUE JATOH, MALAH NGATAIN GEMBEL LAGI!!! BELOM PERNAH NGERASA DITIMPUK BOLA YAA?!” semprotku murka di wajahnya. Tapi dasar Alvin cunguk sialan, dia malah menampilkan wajah tanpa dosanya di hadapanku, membuatku semakin berang dan semakin ingin mengulek-ulek cowok nyebelin satu itu!!! Sayang ngga ada batu ato apa yang bisa aku pake buat ngulek ne cowok satu. Adanya cuma bola sih, tapi bola kan ngga bisa dipake buat ngulek. Kalo…



“kenapa sih pagi-pagi udah marah?! Ntar cepet tua lhoooo kaya nenek-nenek” sekarang dia malah berusaha menggodaku. Huuuhh dasar cowok nyebelin!!!



“loe tuh yaaaa… uuuuurrrrrrrgggghhhhhhhhh!!!” aku menggeram sambil mengepalkan kedua tangan.



“u-oh takuuuttt” sekarang dia malah meledekku. Uuuurrrggghhh bener-bener cowok nyebelin!!!



“uuuurrrrggghhhh” aku mengentakkan kaki dan melempar bola basket itu kearahnya lalu berjalan menuju kelasku dengan perasaan dongkol setengah mati.



“kenapa, Vi?! Lecek amat tu muka?!” tegur Prissy saat dia berpapasan denganku. Aku menoleh dan mengerucutkan bibir.



“tau ah, bete’ gue” aku menjawab ketus. Sesaat Prissy terlihat bingung, alisnya terangkat satu. Tapi tiba-tiba dia menyunggingkan seulas senyum.



“Alvin yaaaaaaa?!” tanyanya dengan senyum menggoda. Huh, ini lagi si Prissy, temen lagi bete’ malah diledekin.



“siapa lagi?! Sumpah yaaa gue benci banget sama si curut sialan itu!!!”



“hahaha kenapa sih loe benci banget sama dia?!”



“soalnya dia ngeselin kuadrat nyebelin setengah mampuss!!!”



“padahal Alvin baik lho, ganteng lagi”



“dih tu bocah tengil ganteng?! Baik?! Entar nunggu dunia kiamat!!! Masih mending Iyel kemana-mana… ooppss…”



“alah menurut gue juga bagusan Alvin daripada si Iyel, paling ngga si Alvin bukan tipe cowok ngga sabaran yang lebih milih macarin dua cewek sekaligus kaya Iyel!!!”



“tapi Alvin itu ngeseliiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnn!!! Gue benci banget sama dia!!!”



“sampe segitunya. Gue sumpahin jadian loe sama dia!!!”



“OGAH!!!”



***







Dia Alvin, Alvin Jonathan. Si makhluk bergenre cowok yang paling menyebalkan yang pernah kutemui seumur hidupku. Cowok iseng yang nyebelin setengah mampuss yang menjadi temen sekelas Prissy di kelas X dan sekarang menjadi teman sekelasku itu. Tiap hari adaaaa ajaa ulah menyebalkannya yang membuat hariku berantakan. Entah nimpuk pake kertas lah, narik-narik dasi lah, ngumpetin buku PR lah, sms iseng lah. Pokoknya ngga ada hari tanpa keisengan Alvin deh!!!



***







“si Prissy lama amat sih?! Yang ngajak siapa yang dateng duluan siapa. Huh kebiasaan emang tu cewek, doyan banget ngaret sih?!” aku menggerutu kesal sambil celingukan mencari sosok Prissy di tengah lautan manusia yang memadati alun-alun kota. Pekan ini sedang ada bazaar yang diselenggarakan oleh salah satu universitas swasta di kotaku. Tadi di sekolah Prissy ngerengek-rengek minta temenin ke bazaar ini karna ada yang kepengen dia cari. Tapi sampe sekarang –berarti udah hampir setengah jam aku menginjakkan kaki di bazaar ini– batang hidung tu cewek sipit satu tetep aja ngga keliatan.



“aduh Vi, maap yaaakk gue telat” tiba-tiba sosok Prissy hadir di sampingku. Di belakangnya mengekor seorang gadis kecil.



“halo kak Viaaa” sapa anak kecil itu riang. Sesaat aku mengangkat alis, kemudian menatap Prissy dengan tatapan ngapain-loe-ajak-Afika?!



“sorry Vi, ne tuyul satu maksa-maksa gue buat ikut ke sini. Nyokap tuh nyebelin, pake acara ngedukung ne tuyul lagi. Ngga pa-pa kan kalo Afika ikut?!” jelas Prissy setengah jengkel setengah bersalah.



“yah, mau gimana lagi?! Tu bocah udah terlanjur ikut sih” aku mengangkat bahu, kemudian membungkuk agar tubuhku sejajar dengan tubuh kecil Afika. “nanti jangan nakal yaa, jangan jauh-jauh dari kak Via sama kak Prissy, okee?!”



“okeee” sahut Afika riang.



Perlahan kami bertiga mulai memasuki stan demi stan yang ada di bazaar tersebut, dari stan aksesoris, stan perawatan kecantikan, stan pakaian, sampai pameran hasil karya mahasiswa di universitas tersebut pun kami masuki.



“DOR!!!” seseorang mengagetkanku ketika aku lagi sibuk memperhatikan salah satu mahasiswa membuat rangkaian bunga dari kristal. Prissy sendiri lagi ngelayap bareng Afika ke stan boneka tak jauh dari stan yang aku masuki sekarang. Refleks aku memukul bahu orang tersebut.



“aduuuuuhhh!!! sakit, gila!!!” orang itu mengumpat pelan sambil mengusap punggungnya yang kurasa sedikit memerah karna ulahku barusan.



“Alvin?! Ngapain loe disini?! Ngintilin gue yaaaa?!” tanyaku curiga begitu aku mengenal sosok yang mengagetkanku dengan sengaja itu.



“idih kurang kerjaan banget gue ngintilin mak lampir galak kaya loe” sangkalnya sambil memasukkan tangan ke saku celana.



“heh maksud loe apa ngatain gue mak lampir galak haah?!” sungutku kesal sambil melipat kedua tangan di dada.



“emang bener kok. Tuh buktinya” sahutnya kalem kemudian berpura-pura sibuk menyimak setiap penjelasan dari mahasiswa yang tengah merakit bunga kristal itu. Aku merengut kesal dan mengumpat pelan.



“ck daripada tu muka yang udah jelek jadi makin jelek karna ketekuk mulu, mending loe ikut gue deh” sekarang dia malah berusaha menarikku keluar dari stan.



“eeeehh ngga mau gue!!! gue masih pengen disini!!! Loe aja sono yang minggat!!! Jauh-jauh dari gue kalo perlu!!!” tolakku keras sambil berusaha melepaskan cekalan tangannya.



“elah galak amat sih?! Udah deh sekali-kali nurut sama gue kenapa?!”



“ngga mauuuu!!! Lepasin tangan gueee!!!”



“ck diem deh, gue lagi baik neh nemenin loe jalan keliling stan ini. Harusnya loe tuh terimakasih sama gue, jarang-jarang tau ada orang ganteng jalan sama maklampir, apalagi maklampir galak kaya loe” ujar Alvin santai. Aku langsung berang dan mencubit lengannya kuat-kuat.



“aduuuhh sakit Via!!! Ga pake cubit bisa kali yaa?! Ah rese’ loe” Alvin bersungut kesal sambil mengusap lengannya yang memerah karena cubitanku tadi. Sebodo deh, siapa suruh rese’. Aku langsung melenggang meninggalkan Alvin, tapi baru selangkah lengannya kembali menahan langkahku, sekarang malah merangkulku paksa menuju stan minuman tak jauh dari stan yang tadi kami masuki.



“Alviiiinnn lepasiiiinn!!!” aku berontak dalam rangkulannya. Sialnya, tenaga Alvin kuat banget. Mentang cowok juga.



“udah, diem. Nurut sama gue, jangan berontak, oke?!”



“Ngga mau!!!”



“Ato loe lebih mau gue cium?!” ancamnya santai. Aku melotot mendengar ancamannya.



“coba aja kalo berani!!!” tantangku kesal.



Alvin sedikit terkesiap, kemudian tersenyum jahil. “yakin?!”



Aku meneguk ludah, apalagi ketika dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.



“iya iya gue diem gue diem!!!” seruku cepat sambil menjauhkan wajahnya dan cemberut. Sesaat kemudian dia langsung tertawa terbahak-bahak.



“nah gitu dong, nurut sama Alvin Jonathan. Oke nona Sivia yang manis, Alvin jonathan akan membawamu ke suatu tempat”



***







“aduuuhh Viaaaa sakiit” ringis Prissy saat aku menariknya paksa menuju koridor yang cukup sepi di dekat Lab Biologi. Aku menatapnya murka.



“kenapa loe ninggalin gue kemaren?! Gue jadi ketemu Alvin kan!!!” amukku kesal sambil melipat tangan di dada. Sesaat Prissy mengangkat satu alis dan tersenyum menggoda.



“eeciiieeeeeeee yang seneng ketemu Alvin, hahaha” yee si Prissy malah ketawa, ngga setia temen banget sih!!!



“heh siapa yang seneng sih ketemu dia?! Adanya gue empet tau!!!” semprotku kesal. Heran deh, bukannya Prissy tau yaa aku benci banget sama Alvin?! Kok malah digodain?! Dasar Prissy nyebelin!!!



“halah ngeles lagi loe. Bilang aja seneng hahaha”



“gue ngga ngeles, Prissyyyyy!!! Empet gue ketemu dia!!! Rasanya pengen gue makan idup-idup tu cowok satu!!!” ujarku berapi-api sambil mengepalkan tangan dan meninju udara di sekitarku. Prissy terkekeh geli melihat ulahku.



“loe tuh yaa, aneh banget tau ngga”



Lha, kok aneh?! Ah sialan si Prissy!!!



“aneh kenapa?!” tanyaku jutek. Cemberut. Kesal.



“iyalah aneh. Orang si Alvin baik gitu, ganteng, ramah, perhatian lagi. Kok loe malah empet sih ketemu dia?! Yang lain aja pada gigit jari ngeliat Alvin ngedeketin loe. Harusnya loe tuh bersyukur tau dideketin prince charming kaya Alvin, bukannya malah ngomel-ngomel ngga jelas gini” jelas Prissy sambil menatapku dengan senyum geli. Aku merengut mendengar penjelasannya.



“helloooow?! Ngga salah tuh?! si Alvin?! Baik?! Ntar kalo kucing kawin sama ayam!!!”



“Via, Via. Segitu ngga sukanya loe sama Alvin”



“gue bukan ngga suka!!! Tapi gue BENCI sama dia!!! Gue benci tingkahnya yang ngeselin abis!!! Pokoknya gue BENCI ALVIN!!!” ujarku ketus, sedikit memberi penekanan pada kata BENCI.



“hah ngga tau deh gue musti gimana lagi ngomong sama loe. Ati-ati aja yaa ntar loe kena karma malah suka sama dia. Benci sama cinta beda tipis lhooo”



“NGGA BAKAL!!! GUE BAKAL TETEP BENCI SAMA DIA!!! SELAMANYA!!!” ujarku berapi-api. Tanpa sadar aku menangkap bayangan seorang cowok dengan rambut harajuku melintas tak jauh dari koridor tempat kami berdiri sekarang. Alvin?!



***







Namun hatiku jadi rindu

Ingat kelakuan nakalmu

Kini semua terasa lucu

Aku rindu kamu



“hm, bagusan yang mana, Pris?! Yang putih apa yang biru yaa?!” tanyaku sambil menyodorkan dua buah topi kupluk berwarna putih dan biru ke arah Prissy. Prissy yang asyik melihat kalung mendekat ke arahku dan memperhatikan dengan seksama kedua kupluk itu.



“kayaknya bagusan yang putih deh. Buat siapa sih?!” tanya Prissy sambil mengamati kupluk putih yang terbuat dari rajutan benang wol. Ada sedikit jambul diatasnya, cukup manis.



“hm iya sih, yang putih lebih bagus. Buat kak Rio” aku menyebut nama kakakku yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



“hah?! Ngga salah loe ngasih kak Rio beginian?! Gilaaa ini too sweet for man, Viaaa!!” pekik Prissy histeris sambil menatap lama kupluk putih di tanganku ini.



“yeee enggalah gila aja kak Rio make beginian. Ini tuh buat hadiah ulang tahun ceweknya. Karna dia males beli sendiri jadi gue disuruh milihin kado buat ceweknya itu. Ngerti?!” jelasku gemas. Sesaat Prissy mengangkat satu alisnya, kemudian mengangkat bahu. Tak peduli?! Atau udah ngerti tentang maksud topi kupluk putih ini?! Entahlah.



“oo gitu kirain loe mau ngasih buat dipake kak Rio, gitu, hahaha”



“anjir gila apa, ngga bisa ngebayangin deh gue kak Rio make beginian. Langsung disate gue sama tu monster jangkung satu. Hiiiiyyy!!” aku bergidik ngeri membayangkan ucapanku sendiri. Kenapa monster jangkung?! Karna kak Rio tuh tinggi banget, aku aja kalah tinggi dari dia. Nasib deh jadi si kuntet.



“hahaha. Yaudah, udah semua kan?! Bayar yuk, abis itu kita cari makan, laper neh gue belom makan dari istirahat tadi”  Prissy menyeret tanganku menuju kasir dan membayar semua belanjaan kami. Prissy dengan kalung yang tadi asyik dibelainya, aku dengan kupluk putih yang langsung kuminta dikemas dalam bentuk kado.



“makasih, Mbak” ujarku sambil tersenyum manis dan melangkah meninggalkan toko aksesoris yang kami datangi tadi. “mau makan dimana?!” tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru mal tempat kami berada sekarang.



“eum, Coffee Bean gimana?!” tawar Prissy sambil menunjuk Coffee Bean di lantai bawah.



“ah ngga mau ah, KFC aja yuk” aku menunjuk KFC yang terletak tepat di samping Coffee Bean itu.



“males ah gue kesana. Green Café aja deh” putus Prissy sambil menyeretku ke sebuah café yang terletak tak jauh dari toko aksesoris yang kami masuki tadi.



“eh iya, tadi loe bilang tu topi buat ceweknya kak Rio, kenapa ngga dia sendiri aja sih yang ngebeliin?! Secara ini ultah ceweknya lhooo” tanya Prissy ketika kami melangkah masuk ke Green Café.



“ngga tau juga sih. Kayanya kak Rio rada ogah deh sama ceweknya. Gue ngga tau neh ceweknya yang mana” jelasku sambil menyeret Prissy ke pojok café.



“serius?! kok bisa jadian sih kalo emang kaya gitu?!”



“gue juga ngga tau, urusan kak Rio itu mah”



Sesaat obrolan kami terhenti oleh pelayan café yang menghampiri kami dan menanyakan pesanan. Setelah mencatat semua pesanan kami, pelayan café itu berjalan menjauhi kami. Tak lama dia kembali lagi dengan dua nampan di tangannya.



“makasih, Mas” ujar Prissy sambil tersenyum manis.



“eh, gue perhatiin akhir-akhir ini kok si Alvin rada kalem yaa?!” tanya Prissy di sela-sela makan siang kami. Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaannya. Heran.



“kalem gimana maksud loe?!” tanyaku bingung.



“yaa kalem, ngga ngegodain loe, ngga ngisengin loe, ngga gangguin loe. Gitu deh pokoknya” jelas Prissy sambil menyeruput jus alpukatnya. Aku terdiam sejenak mencerna penjelasan Prissy.



Iya juga yaa. Udah hampir semingguan ini si Alvin ngga pernah ngejailin aku lagi. Sama temen-temennya dia masih sama sih, masih suka bikin rusuh di kelas, tapi kalo sama aku kok beda yaa?! Kalo kata Prissy dia jadi rada kalem. Kaya bukan Alvin gitu.



“ohya?! bagus deh” ujarku sok cuek. Sebenarnya apa yang ada dihati dan apa yang barusan kuucapkan sesungguhnya bertolak belakang. Entah kenapa mendadak aku merindukan semua tingkah ngeselin si Alvin yang akhir-akhir ini ngga keliatan lagi. Entah kenapa aku tidak menyukai Alvin yang sekarang, Alvin yang kalem. Entah kenapa…



“eh Vi, itu Alvin bukan sih?!” tau-tau si Prissy nunjuk dua orang yang melintas di depan café yang kami masuki. Aku memicingkan mata, merasa mengenal cowok berambut sedikit gondrong yang berjalan merangkul cewek kurus berdagu tirus itu.



“wah sama siapa tuh si Alvin?! Ceweknya bukan yaa?! Kaya kenal deh gue” dan rentetan kalimat lain mengalir dari bibir Prissy. Aku tidak mempedulikan ocehan Prissy. Mataku terus menatap kepergian dua orang itu dengan perasaan tak karuan.



***







Pagi ini aku melangkahkan kaki dengan riang menyusuri koridor menuju kelasku. Tiba-tiba langkahku terhenti begitu ekor mataku menangkap bayangan Alvin tak jauh dari tempatku sekarang. Aku langsung memasang wajah galak seperti biasa, dan semakin menjadi kala jarak kami mendekat. Tapi Alvin hanya melewatiku, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Catat, TANPA MENOLEH SEDIKITPUN! Seolah tidak ada Sivia Azizah yang masuk dalam wilayah pandangnya. Seolah tidak ada Sivia Azizah yang siap diganggunya.



Langkahku terhenti untuk kedua kali. Secepat kilat aku membalikkan badan menatap punggung Alvin yang mengenakan seragam basket bernomor punggung 9 perlahan mengecil dalam pandanganku. Keningku berkerut.



Aneh. Tumben dia ngga nyari ribut sama gue. Pikirku bingung.



Aku masih menatap koridor yang dilalui Alvin, bahkan hingga dia berbelok ke koridor kanan menuju lapangan basket, pandanganku tak kunjung teralih. Hingga tepukan seseorang di pundakku membuatku langsung mengerjapkan mata dan tersadar dimana posisiku sekarang. Aku membalikkan badan dan menemukan Prissy menatapku aneh.



“loe ngeliatin apaan, Vi?! Serius banget?!” tanyanya heran.



Aku gelagapan. Secepat kilat aku memutar otak untuk menjawab pertanyaan Prissy. “ngga pa-pa, tadi ada cowok cakep banget lewat di depan gue” jawabku sekenanya. Aku tertegun menyadari jawabanku. Cowok cakep?! Gila aja si Alvin cakep. Aku langsung menggeleng pelan mengingkari jawabanku tadi.



“lah malah geleng-geleng kepala. Loe kenapa sih?!” Prissy makin bingung.



“ngga pa-pa. Ke kelas yuk” aku buru-buru menarik tangannya sebelum Prissy sempat mencercaku dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Ketika berjalan beberapa langkah, aku memutar kepala, menatap koridor tempat Alvin menghilang tadi. Sebersit perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku. Ck, gue udah gila kali yaa?!



***







“gilaaa loe makan brutal banget, Priss?! Udah berapa lama loe ngga makan?!” tanyaku takjub saat melihat piring nasi goreng di depan Prissy tandas dalam sekejap, disusul dengan mangkuk bakso yang kini mengambil alih posisi nasi goreng tadi.



“gue laper neh tadi ngga makan, mana puyeng lagi ngedengerin si Krisno ngoceh ngga jelas itu” jelas Prissy asal sambil terus menyeruput kuah baksonya. Aku meneguk ludah melihat cara makan Prissy, lalu menatap sepiring mie ayam yang masih utuh di depanku. Mendadak rasa laparku menguap. Aku mendorong piring mie ayam itu ke depan, mendekati mangkuk bakso Prissy.



“kenapa?!” tanya Prissy bingung saat sepiring mie ayam masuk dalam wilayah pandangnya.



“buat loe aja deh, gue udah kenyang ngeliatin loe makan” ujarku malas. Sesaat Prissy mengangkat alis, kemudian tersenyum kecil.



“hahaha sampe segitunya. Anyway, thanks yaa, gue emang masih laper sih, tadi rencananya gitu bakso gue habis gue mau pesen gado-gado, tapi mie ayam boleh juga deh. Thanks yaa” kata Prissy polos. Aku langsung menatapnya jengah. Gini neh si Prissy kalo sisi gilanya keluar. Makan suka ngga inget tempat ngga inget waktu.  Sedetik kemudian giliran mangkuk baksonya yang kosong, bahkan kuahnya juga habis disikat si Prissy.



Aku menggelengkan kepala lalu bangkit dari tempat duduk, berniat membeli jajanan ringan yang mungkin bisa mengganjal perut. Terlalu kenyang mau makan yang berat-berat, tapi laper juga kalo ngga makan-makan.



“mau kemana?!” tanyanya dengan mulut penuh mie ayam. Aku sampai bergidik ngeri membayangkan banyaknya makanan yang udah masuk dalam perut Prissy dalam waktu tak kurang dari tujuh menit.



“beli gorengan” jawabku seadanya lalu melangkah menuju gerobak Mang Udin dan menyambar mangkuk plastik dan mengisinya dengan tahu isi dan tempe goreng. Kemudian tanganku tergerak untuk mengambil kroket dan risol, juga bakwan udang dan kentang goreng. Samar-samar tadi aku mendengar Prissy menyebutkan sebagian gorengan yang kini mengisi mangkuk di tanganku.



“minta sambelnya dong, Mang” pintaku pada Mang Udin. Tapi yang terdengar kemudian bukan hanya suaraku, ada suara lain yang bersanding dengan suaraku, suara cowok. Tiba-tiba dadaku berdesir. Aku mengenal suara ini. Ini kan suara…



“Alvin?!” gumamku tak percaya saat mendapati sosok jangkung Alvin berdiri tepat disampingku.



Alvin menoleh sejenak dan memasang senyum tipis. Sangat tipis. Seolah tak berniat tersenyum kepadaku. Bibirnya terbuka untuk menggumamkan sesuatu. “hai, Vi” gumamnya pelan. Sangat pelan hingga aku sendiri tak yakin dia menyapaku.



“ini Neng, Mas, sambelnya” Mang Udin menyodorkan dua mangkuk sambal ke arahku dan Alvin, yang langsung disambut dengan senang hati –ralat, kelewat senang hati, seolah sambal Mang Udin adalah penyelamatnya dari maut, jika aku bisa menyebutnya begitu– oleh Alvin.



“makasih, Mang” ujarnya lalu berlalu meninggalkanku dan bergabung dengan teman-temannya tak jauh dari tempatku dan Prissy tadi.



Sesaat aku terpaku menatap kepergiannya. Beragam tanya muncul di benakku. Tumben si Alvin diem aja. Tumben si Alvin ngga ngeselin kaya biasanya. Tumben si Alvin tampangnya datar kaya gitu. Tumben… dan beribu ‘tumben’ lainnya memenuhi pikiranku.



Tapi satu hal yang mau tak mau sangat mengganggu pikiranku. Jujur aku kehilangan. Kehilangan sosok Alvin yang dulu sering menggangguku. Kehilangan sosok Alvin yang nyebelin setengah mampus dan suka bikin naik darah. Bukan Alvin yang mendadak kalem dan ngga banyak tingkah kaya gini. Bukan Alvin yang cuma nyapa terus pergi kaya gini.

Aku kangen Alvin yang dulu…



“Neng, ini sambelnya” seruan Mang Udin menyadarkanku dari lamunanku.



“eh iya makasih yaa, Mang” ujarku gelagapan lalu berjalan tergesa menghampiri Prissy.



“lama amat sih?! Gue udah keburu laper lagi neh” omel Prissy begitu aku udah duduk di depannya.



Aku melongo menatapnya, lebih tepatnya ke piring mie ayam yang kini udah kosong melompong. “mie ayam loe udah abis lagi?!” tanyaku takjub.



Prissy mengangguk enteng lalu mulai mengambil sepotong tahu isi dari mangkuk yang masih kupegang. “gue laper, Vi. Sumpah laper banget” ujarnya.



“gila, demi apa gue punya temen rakus kaya loe?!” aku menggeleng dramatis.



Prissy hanya tertawa renyah menyambut ucapanku. Aku ikut tertawa bersamanya, hingga sudut mataku menatap bayangan Alvin yang duduk tak jauh dari tempat kami ini. Sesaat aku menangkap ekspresi tak terbaca dari wajah Alvin. Seakan… seakan… Entahlah. Aku juga ngga tau. Akhirnya aku mengangkat bahu tak peduli dan memutuskan larut dalam acara makanku dan Prissy.



***







Cinta cinta cinta datang padaku

Malu malu malu ku akui itu

Tapi tapi kamu tlah menawan hatiku

Cintaku bersemi di putih abu-abu



“kenapa loe?! kusut amat tu muka?!” tegur Prissy sambil mengempaskan diri di sampingku yang tengah asyik menikmati semilir angin di rumah pohon di belakang rumahku.



“ngga kenapa-napa” sahutku malas, cenderung ketus sebenarnya. Tapi biarlah. Aku ngga peduli.



“yakin ngga kenapa-napa?! Kok jutek gitu?!” tanya Prissy lagi.



“gue ngga pa-pa, Priss!” ujarku sekali lagi. Lebih tegas dari yang tadi. Mungkin juga terkesan lebih ketus. Tapi biarlah. Toh aku juga ngga peduli.



Sekilas aku melihat senyum jahil terpeta di wajah Prissy. Aku menghela napas dan masih berpura-pura tak peduli. Seketika hening menguasai. Baik aku dan Prissy sama-sama ngga niat untuk buka mulut, sekedar berbasa-basi ato ngobrol apa aja yang ngga penting.



“mau dengerin gue cerita ngga, Vi?!” tiba-tiba Prissy bersuara. Aku menatapnya dengan kening berkerut. Prissy sendiri terlihat menatap jauh ke depan.



“cerita apa?!” tanyaku bingung.



“gue punya temen di SMP dulu, temen deket deh pokoknya, kaya kita gini. Temen gue ini punya sepupu yang ganteng banget. Sayangnya si cowok sepupunya temen gue ini cuek banget sama cewek. Cewek yang deket sama dia cuma mamanya sama temen gue ini, itu juga karna mereka seumuran dan temen gue itu emang mudah deket sama orang”



“terus urusan sama gue apa?!” aku menyela cerita Prissy.



Prissy melotot tajam ke arahku, membuatku langsung keder dan mengangkat dua jariku. “jangan dipotong bisa ngga sih?!” sengitnya tajam. Aku langsung nyengir dan mengangguk pasrah.



“hehehe iya deh iya maaf maaf. Yaudah terusin deh, gue ngga bakal nyela lagi. Terusin aja terusin” ujarku setengah bersalah setengah nyengir.



“dengerin, jangan dipotong-potong lagi!” ujar Prissy mewanti-wanti.



Aku mengangguk patuh.



“pas SMA, tau-tau tu cowok satu sekolah sama gue. Satu kelas lagi. Gue aja baru tau kemaren pas gue ketemu temen gue dan cerita-cerita banyak sama dia, termasuk soal sepupunya. Pantes aja pas pertama ngeliat tu cowok kok gue rasanya familier gitu, taunya gue pernah liat dia di folder temen gue di laptopnya. Semester awal sih dia persis kaya yang dibilang temen gue. Ganteng tapi cuek sama cewek. Gue sendiri ngeliat gimana usaha cewek-cewek di sekolah – ngga temen seangkatan ngga kakak kelas – buat ngedeketin dia, tapi dianya tetep cuek aja. Seolah ngga ada cewek di deket dia. Bener-bener cuek deh pokoknya” Prissy menghentikan ceritanya, lalu menatapku seolah menuntut komentar.



“dia ngga doyan cewek kali, ato gay” jawabku sekenanya.



Prissy melotot mendengar jawabanku, membuatku lagi-lagi nyengir, menampilkan deretan gigi putihku di depannya. “sembarangan aja loe. Dia bukan ngga doyan cewek yaa, apalagi gay, please deh, Vi” ujar Prissy jengah.



“hahaha yaa mana gue tau. Abisan aneh banget kok ada cowok segitu cueknya sama cewek. Gue jadi penasaran tu cowok siapa. Satu angkatan sama kita kan?! Gue kenal dong yaa pasti”



“dengerin gue cerita sampe selesai deh baru ntar gue kasih tau siapa orangnya”



“yah ngga asyik loe, Pris”



“mau ngga?!”



“iya deh iya terserah loe aja. Lanjut deh cepet” serahku pasrah.



“pas semester dua neh, tu cowok mulai nunjukin gelagat aneh. Tiap hari kerjaannya cuma satu: gangguin murid baru yang jadi siswi kelas sebelah. Meskipun kerjaannya cuma ngegangguin tu cewek, tapi banyak variasi yang dia gunain. Mulai dari nimpuk pake bola basket lah, naroh cicak di tasnya lah, ngerebut makan siangnya lah, banyak deh pokoknya. Tapi dia cuma kaya gitu sama tu cewek aja, sama yang lain tetep cuek bebek. Temen-temen sih cuma nganggep wajar aja, soalnya tu cowok emang dasarnya usil, tapi usilnya cuma sama sesama cowok aja.



“tapi gue ngga nganggep itu wajar. Awalnya mungkin gue bisa nganggep itu wajar. Tapi lama-lama gue mulai nangkap ada yang aneh disini. Kalo emang dia orangnya usil, kenapa dia cuma usil sama tu cewek?! Kenapa ngga sama yang lain?! Sama gue aja dia cuek banget”



Aku tertegun. Cerita Prissy sama persis dengan cerita yang kualami. Aku masuk ke sekolah Prissy kan semester kedua kelas X, dan sejak itu Alvin selalu menggangguku dengan serentetan kejahilan yang sanggup bikin aku histeris ngga karuan. Anehnya, Alvin cuma iseng sama aku doang. Sama anak-anak yang lain –terlebih yang cewek– dia biasa aja, cenderung cuek malah. Apa mungkin…



“suatu hari karna udah kelewat penasaran, gue nekat nemuin tu cowok. Awalnya sih dia ngga mau ngaku, ngeles begini begitu, tapi setelah gue paksa-paksa akhirnya tu cowok ngaku juga, dia bilang kalo dia emang tertarik sama cewek yang sering diganggunya itu. Dia bilang ada sesuatu dari cewek itu yang bikin dia ngga bisa berhenti buat mikirin tu cewek. Sampe akhirnya dia mutusin buat deket sama tu cewek dengan cara ngegangguin dia kaya gitu. Harus gue akuin idenya kreatif, sekaligus cari mati. Dia emang berhasil masuk dalam hidup tu cewek, tapi dengan stigma negative. Gue udah sering ngingetin dia soal resiko dari keputusannya ini, tapi dia cuek aja”



Lagi-lagi aku tertegun. Jantungku mendadak berdebar tak karuan. Apa…



“akhir-akhir ini sikap tu cowok balik lagi kaya awal gue ketemu dia, balik lagi ke awal dia belum kenal cewek yang sering diganggunya itu. Gue sempet heran. Gue udah nyoba nanya sama dia tapi ditanggepin ogah-ogahan sama dia. Dan lagi-lagi gue tau jawabannya pas gue ketemu temen gue yang sepupunya si cowok itu. Dia bilang sepupunya balik lagi ke sifat asalnya karna ternyata cewek yang dia suka itu ngga bener-bener nganggep dia ada. Cewek yang dia suka malah benci banget sama dia karna sikapnya yang sering banget gangguin tu cewek. Dia shock, kecewa, dan akhirnya milih buat ngga lagi gangguin tu cewek. Cukup ngawasin dari jauh aja”



“dan… cowok itu adalah…”



“Alvin. Temen gue yang jadi sepupu si Alvin adalah Ify, cewek yang jalan sama Alvin di mall dulu. Dan cewek beruntung yang bisa deket sama Alvin dalam konteks yang negative itu loe, Via”



***







Aku menatap ring basket di depanku dengan ragu, lalu menatap bola di tanganku tak kalah ragu. Cukup lama aku terdiam memandang ring basket yang menjulang kokoh di depanku itu. Saat aku hendak menurunkan tangan, sebuah suara yang sudah sangat kukenal menyapa indera pendengaranku.



“kenapa ngga di-shoot?! Ngga bisa yaaa?!” ledeknya sambil meraih bola dalam genggamanku.



Aku mendelik dan mendengus sebal. Terlalu gengsi untuk mengaku kalah di depannya. “siapa yang takut?! Aku cuma… cuma…” aku langsung gelagapan, sibuk mencari alasan yang tepat.



“halah, bilang aja ngga bisa apa susahnya sih?! Neh yaa aku ajarin” lalu dia mulai menembak bola basket itu yang langsung masuk ke dalam ring basket itu dengan mulus tanpa menyentuh ujung ringnya.



Aku mencibir kesal. “pamer aja terus” cibirku kesal.



Dia tersenyum, lalu berjalan ke arahku dan menyentil hidungku gemas. “masih aja gengsian yaa, hahaha” ledeknya.



“nyebelin” ujarku ketus lalu melipat tangan di dada dan mengalihkan pandangan.



Dia malah tertawa girang. “gitu aja ngambek sih?!” ujarnya sambil tersenyum kecil.



“biarin” aku masih berujar ketus.



Tiba-tiba sebuah tangan merengkuh pinggangku dan mengangkat tubuhku, membuatku serasa ‘terbang’. Aku melonjak panik dan serta merta mencengkeram erat kedua lengan kokohnya yang menyangga tubuhku. “ALVIIIINNN TURUNIN!!!”



“NGGA BAKAL!!! HAHAHA”



Dia Alvin. Alvin Jonathan. Pacarku.





*the end* Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Selasa, 23 Juli 2013

Craziest Story

Sang fajar menyingsing tepat dibelahan bumi bagian timur.Kini malam menjelma menjadi siang. Dan suasana alam sekitar sedikit demisedikit mencerah. Keheningan dan kenyamananpun ikut lenyap terasa risih dangaduh. Kicau burung terdengar sayup. Orang-orang terlihat sibuk dengan berbagaiaktifitas rutin setiap paginya. Seperti menyirami pot tanaman, jogging barengkeluarga dan temen-temen di area perumahan, adapun yang hanya duduk santaididepan pintu untuk sekedar menghirup udara segar serta ditemani segelas tehhangat dan satu porsi roti panggang. Bahkan ada juga yang masih tertidur pulasditempat pembuangan sampah #ups ! Maksud gue tempat tidur haha.
Jarum jam dinding dikamar gue menunjuk kearah angka 6 dan 9. Yaps betul ! Itupukul 06:45 wib. Tapi gue masih males-malesan diatas bed yang super empuk itu.Tak peduli pintu kamar diketuk meskipun dengan ketukan 4/4 juga #haha dikiradirigen kali.

" Alvin, bangun nak ! Udah siang " gue spontan membuka mata setelahmendengar suara indah nan merdu dibalik selimut. Pemilik suara itu adalahnyokap gue, udah jadi kebiasaannya untuk ngebangunin gue tiap pagi. Tapisebelum gue ngenalin satu persatu keluarga gue. Kalian belum kenal gue kan ?Oke deh, gue mau ngenalin diri gue dulu ke elo-elo pada.


Nama gue Alvin Aliandra Nathan. Tapi kalo pengen lebih simple lagi, gue punyako nama panggilan yang entah dari mana asalnya. Kalian bisa panggil gue Alvin,Andra, Nathan, Vino, or Alan bahkan masih banyak lagi malah. Gue juga kagakngerti sama nama gue sendiri. Padahal nama gue cuma 3 kata, tapi panggilannyanyampe 3 halaman koran #haha ko jadi curhat ?.
Gue itu anak semata wayang di keluarga gue. Makannya ga heran lagi kalo guesering diperlakukan se-special mungkin alias dimanja sama bonyok gue. Tapi guebukan anak manja lho. Gue tinggal dirumah yang lumayan gede dan mewah sertaberlantai dua. Dimana dirumah tersebut didiami oleh 5 orang manusia yang sejakgue dilahirkan udah ada disamping gue. Mereka adalah :

Pertama. Bokap gue. Namanya Mr. Jonas Aliandra Alvin. Dari namanya aja udahkeliatan bulenya kan ? Yaps benul (benar dan betul). Mr. Jonas itu naturalisasidari Spanyol. Hebat kan bokap gue ? #haha. Gue sayang banget sama bokap gue,karena dia itu sosok bokap yang arif dan bijaksana.

Kedua. Nyokap gue. Namanya Mrs. Julia. Nyokap gue asli orang Indonesia, yakebetulan aja merit sama bokap gue yang bule itu. Jadi muka gue ikut-ikutanbule #hehe bangga dikit. Nyokap gue orangnya super duper cerewet. Tapi diatetep baik ko, bahkan kebaikannya udah ga bisa diungkap lagi oleh kata-kata#dalem yah haha.

Ketiga. Pembantu tersayang gue. Namanya bi Inah. Kalo menurut gue, bi Inah itupembantu rumah tangga yang super duper-duper hebat dan ga ada duanya. Kenapacoba ? Ya karena bi Inah itu serba bisa dan jago banget sama yang namanyamasak. Dari masak sayur asem sampe pizza sekalipun, lewat ! #haha.

Keempat. Tukang kebun gue. Namanya pa Ijo. Selain jadi tukang kebun dirumahgue, pa Ijo juga sering jadi best friend gue lho. Kalo ada waktu senggang, paIjo sering gue ajak maen bola, playstation, sampe curhat sekalipun. Yangpenting happy, kata pa Ijo tiap hari ke gue.

Dan yang kelima. Yang kelima siapa yah ? Lah ko gue lupa sih ? Bentar, gue maumikir dulu (???). Oh iya, yang kelima kan gue sendiri ? #hehe. Daripada banyakomong, kita flashback lagi dari awal. Tadi sampe bangun tidur ya ? Lanjut !


" Iya mah, bentar ! " jawab gue males-malesan. Maklumlah, gue abisbegadang tadi malem. Jadi ngga mood bangun pagi-pagi #haha nge-les.
Seperti biasa, pagi ini gue sarapan bareng sama keluarga. Dengan menu makananala Indonesia, kami sangat lahap menyantapnya. Soalnya masakan bi Inah itumantap banget suer. Dan setelah semuanya selesai, gue langsung pamitanberangkat sekolah. Bonyok gue pergi ke kantor, maklumlah keluarga gue kankeluarga sibuk #hehe kirain keluarga berencana. Tapi sebelum berangkat kesekolah, gue minta bi Inah buat ngeberesin kamar gue yang super berantakan.Jadi ketauan deh kalo gue itu pemalas #hehe.

Gue melesat mengendarai motor CBR pemberian bonyok gue waktu gue ultah setahunlalu. Tapi kali ini gue heran, perasaan gue kaga enak. Padahal semuaperlengkapan udah gue bawa, perut gue udah diisi, uang saku juga udah ada. Danbelum juga gue selesai ngebayangin, hal yang gue khawatirin itu terjadi.


" Brrpppttpp ! Akh sialan ! " ceplos gue memukul sang motor. Gueturun dengan wajah muram.
" Hiuh ! Pom bensin masih jauh lagi " gue semakin panik. Disitu guehanya pasrah. Bisa dibilang kalo gue tinggal menunggu keajaiban datang. Tapi,saat gue mau nyoba nelpon bokap gue. Gue ngeliat sebuah mobil jazz berwarnahitam pekat berhenti dihadapan gue. Sekilas kaca mobil itu terbuka lebar danseorang cewe yang ber-raut wajah manis dengan senyuman yang sangat menggodapunmenyapa.

" Alvin ! Motor loe kenapa ? " tanya cewe tersebut. Namun gue masihdiem melihat aura kecantikan yang ditebar olehnya.

Oh iya. Cewe itu namanya Sivia Nathania. Tapi gue manggil dia dengan sebutan Sivia.Padahal temen-temennya manggil dia Vinia. Ya mungkin aja panggilan Sivia itupanggilan kesayangan gue ke dia #ciieelaah. Cewe yang satu ini orangnya cakep,baik, sopan, colorful dan perfectolah pokonya. Dia satu sekolah sama gue,makannya gue semangat banget berangkat sekolah #haha. Karena sejak pertama kaligue ketemu dia, gue langsung jatuh bangun ke dia #ups ! Jatuh cinta kali haha.Tapi sayangnya, dia udah punya cowo. Hati gue hancur banget tau ngga, pas taudia udah punya cowo. Tapi daripada gue stres dan bunuh diri gara-gara cewe, guecoba untuk ngelupain dia semampu gue, meski gue harus sakit hati dan spotjantung kalo tiap kali gue ngeliat dia lagi jalan sama cowonya di sekolah#curcol masbro !. Eh iya. Tadi sampe mana ya ? Lanjut !


" Ini Vi, motor gue bensinnya unlimited " jelas gue sedikit malu.
" Oh begitu. Yaudah ikut gue aja yuk ! Mumpung gue lagi baik nih. Hehehe"
" Terus nasib motor gue, gimana ? "
" Akh. Masalah itu sih gampang, biar gue yang urus. Ayo masuk ! "suruhnya dengan semangat 45 #hehe lebay.
Dan guepun hanya pasrah memasuki mobil Sivia. Gue nyetir dengan fokus dan penuhhati-hati. Selama perjalanan ga ada sepatah katapun yang terucap dari mulut guesama Sivia. Dia enjoy dengan iPad serta earphonenya, dan gue enjoy denganmenatap lika-liku jalanan.

Pas parkir di area sekolah, gue sama Sivia langsung turun. Sejenak gue menatapmuka di kaca spion sembari menggibas poni yang lumayan berantakkan.


" Huh ! Kaya cakep aja loe, Vin. Pake acara ngaca segala " ledek Siviake gue dengan sedikit bibir yang ditarik melengkung keatas.
" Hehehe. Tanpa ngacapun gue sih udah cakep kali, Vi. Oh iya, Vinks yatumpangannya. Kalo ga ada loe, mungkin gue bisa telat datang kesini "
" Sssttt. Soal itu ga usah dibahas deh. Masuk yuk ! " Sivia nariktangan gue kenceng. Gue hanya pasrah ajalah, biarpun diseret-seret sampe ngesotkaya gini #haha yang ini boongan.

Di koridor saat menuju kelas, gue bingung banget pas anak-anak sekolah yangberada di sekeliling gue menatap gue dengan tatapan menahan tawa. Ada apadengan diri gue ?.


" Eh Vi, anak-anak pada kenapa sih ? Ko gitu banget ngeliatinnya "tanya gue ke Sivia yang masih erat megang tangan gue.
" Gue juga ga tau Vin. Tapi bentar deh. Astaga ! Pantesan aja anak-anakpada liatin loe. Noh restleting loe kebuka ! " pas Sivia bilang gitu, guelangsung liat celana gue. Dan respect pula gue ambil langkah seribu ke toiletninggalin Sivia.
" Apes banget gue hari ini ! " sontak gue yang berada didalem wcdengan pikiran yang melayang akan kejadian barusan. Gue malu sama Sivia, samamereka semua. Tapi bodoh amat lah ! Gue nekad ke kelas sendirian. Untungtemen-temen kelas gue belum pada tau. Kalo mereka sampe tau, gue bisa mati kutudiledek sama Cakka dan Rio serta yang lain. Mereka itu temen gue yang palingusil dan gampang pula di usilin. Walaupun gue sebagai bos besar mereka, tapigue malah sering dibodohin sama mereka. Dan gue masuk ke kelas dengan wajahse-cold mungkin. Dipojok sana terlihat Cakka dan Rio lagi asyik ngobrolbersama.


" Hei bro ! Muke loe kenapa ? Ko kusut gitu " sahut Rio yang duduk dimeja belakang.
" Iya, kenapa sih Vin ? Masih pagi buta juga udah nekuk muka "sambung Cakka yang lagi duduk disamping Nathalie, gebetannya.
" Pagi ini gue apes banget Kka, Yo. Udah sih motor gue mogok, ditambahcelana gue yang... " gue langsung menge-rem pembicaraan. Soalnya hampiraja gue keceplosan akan kejadian tadi pagi.
" Terus loe naek apaan kemari ? " tanya Cakka pindah kursi
" Gue diajak Sivia " jawab gue sangat simple sambil melempar tas kekursi. Tapi Cakka sama Rio sontak ngedeketin gue dengan wajah terlihatpenasaran.
" Sivia Nathania ?! "
" Ko bisa ?! "
" Bukannya dia udah punya cowo yah ?! "
Saat itu gue serasa jadi tersangka yang lagi diinterogasi sama polisi denganpertanyaan-pertanyaan yang super konyol. Tapi bodoh amat lah ! Gue ga ngegubrissatupun pertanyaan mereka. Gue ngeluyur keluar dengan santai ninggalin tikusgot tersebut.
" Eh Vin, Vin ! Jawab dulu ngapa pertanyaan gue ! "
" Nama gue ALVIN = A.L.V.I.N! bukan IPIN ! " teriak gue sambilcengengesan. Mereka ngikutin gue dari belakang. Tiba-tiba ada yang nyapa gue dikejauhan.

" Alvin ! " gue langsung nengok kearah sumber suara. Ternyata orangitu adalah Sivia. Gue lari nyamperin dia, tapi Cakka sama Rio masih ngikutingue dibelakang.


" Ada apaan Vi ? "
" Temenin gue makan donk, bisa ? "
" Emh... " gue mikir bentar
" Bisa ko bisa ! " sontak Rio dan Cakka menyenggol-nyenggol gue.Guepun ngerti akan maksud mereka.
" Emangnya cowo loe kemana, Vi ? " tanya gue.
" Gue udah putus ! Males gue sama dia. Tega-teganya dia selingkuh samacewe lain dibelakang gue " jelas Sivia sedikit emosi. Dan gue hanya shockaja ngedenger pernyataan dari Sivia. Gue langsung minta maaf, gue takut Siviajadi sedih akan hubungan cintanya. Tapi-tapi, itu berarti ada harapan besarbuat gue. Siap mamen ! #haha.

" Gue sama Cakka diajak kagak nih, Vi ? " celamit Rio bergurau
" Emh. Gimana ya ? Ngga mau akh. Elo sama Bella aja noh, tadi juga diangajak ke kantin. Kalo Cakka kan ada Nathalie. Hehehe " bales Sivia. WajahRio manyun. Cakka juga ngikutin Rio manyun. Mampus deh loe pada ! Emang enak dikacangin. Dan tak lama juga si Bella datang ikut ngegabung diperbincangan kitaberempat.


" Vin. Tadi elo manggil nama gue ya ? " tanyanya dengan pipi tembemdan betis yang lumayan bengkak. Kebayang kan gimana bentuk badannya ?.
" Ngga ! " jawab gue sama Sivia kompakkan. Kenapa bisa gitu ? Soalnyakan panggilan Sivia itu Vi. Jadi kalo temen-temen Sivia manggil dia dengansebutan "Vin" ya gue jadi respect nengok. Nama gue kan Alvin juga.
" Eciiieee... Ko kompakkan gitu sih ? " sontak Bella, Rio serta Cakka.
" Oh iya Bel, katanya elo mau ke kantin. Bareng gue aja yuk ! " ajak Riomenarik tangan Bella yang lumayan berisi itu. Muka Bella langsung sumringah,yang gue tau si Bella naksir juga sama Rio. Cocok dah mereka haha.


Tanpa basa-basi, gue gandeng Sivia ke kantin. Pas ngelewatin sebuah koridor,gue ngeliat seseorang yang lumayan ga asing lagi dimata gue. Dan guepun mulaibicara.
" Ehem. Vi, sebaiknya kita jangan lewat sini deh ! "
" Emang kenapa ? Ga apa-apa lagi... " ucap Sivia. Belum selesai diangomong, dia langsung diem ngeliat seseorang yang juga tak asing dimatanya.
" Gue bilang juga apa. Elo jadi sedih kan ? " kata gue sambilmerangkul Sivia. Jelas aja dia sedih, orang mantan cowonya si Galih lagimesra-mesraan didepan matanya.
" Ya udah deh kita cabut aja dari sini. Jangan dipikirin ya Vi " ajakgue ga tega ngeliat Sivia nangis kecil di pundak gue. Gue tau elo sedih, Vi.Tapi buat apa coba, elo nangisin orang yang ga penting dan udah nyakitin elokaya si Galih. Buang-buang air mata !. Andaikan elo tau Vi, perasaan gue keelo. Pasti gue akan selalu jagain loe dan ga akan ngebikin air mata loe keluarlagi. Namun semua itu hanya angan-angan belaka aja. Gue cuma bisa ngerangkulloe seperti ini.


" Eh Vi, mau pesen apaan ? " tanya gue sesaat nyampe di kantin.
" Gue bodoh banget, Vin ! Buat apa coba gue sedih ? Dia kan bukansiapa-siapa gue lagi ! " gebrak Sivia sedikit kagak nyambung denganpertanyaan gue tadi. Gue hanya tersenyum dan kembali duduk disampingnya.
" Elo mau kan jadi sahabat gue ? " tanya Sivia lagi dengan meremastelapak tangan kanan gue. Jangankan jadi sahabat loe, jadi pacar loe juga guemau, Vi. Dan disitu gue semakin lebar tersenyum. Gue ngangguk, memberi tandakalo gue itu mau jadi sahabatnya. Blek ! Sivia meluk gue erat.
" Gue mohon Vin, elo jangan pernah tinggalin gue sendirian " Siviamelepas pelukkannya. Di pipi mulusnya terlinang air mata. Gue semakin ga tegangeliat Sivia nangis. Dan gue ingin menghapus air matanya.
" Gue janji ko. Jangan nangis lagi yah, Vi. Senyum dong biar cakep !" air matanya sirna dan senyum manisnya pun keluar dari bibir Sivia. Gueseneng banget hari ini, dan ga akan pernah sedikitpun gue lupain seumur hidup.Dimana ini pertama kali gue ke kantin bareng Sivia, memeluk Sivia, memberiketenangan dan senyuman dalam kesedihannya, dan bahkan menjadi sahabat Siviayang otomatis akan selalu berada disampingnya. Gue mimpi apa yah semalem ?Haduh ! Bodo akh, yang penting gue happy haha.

Waktu berputar sangat cepat. Gue pulang naek taxi. Seharusnya sih gue balikbareng Sivia, tapi katanya dia harus ngejemput sang adik dirumah tantenya. Tapitak apalah. Gue udah nyantai didalem taxi. Semakin taxi melaju, semakin jelasterlihat rumah yang cantik dan megah itu tersenyum menyambut kedatangan gue.Sambil bersiul, gue melangkah mendekati tombol bel yang tingginya hampir samadengan badan gue. Ting-tong ! Munculah sosok pa Ijo dibalik garasi dengansenyum khasnya.


" Silahkan masuk Tuan Alvin Aliandra Alvin yang sangat tampan " guehanya nyengir kuda. Dirangkulnya pundak pa Ijo sambil berjalan, kita berduacengengesan ga jelas.
" Gue masuk dulu yah pa " gue menepuk pelan pundak pa Ijo. Diakembali memotong rumput deket kolam ikan. Dan guepun masuk kamar melepas lelahdengan suasana hati yang lumayan bahagia.

 ***

Tepat pukul 03:00 pagi. Jam weker di kamar gue santer terdengar memecahkeheningan malam. Sampe-sampe ayam jago milik tetanggapun kaget dan keheranan.Soalnya dia kalah cepat dari jam weker milik gue. Mungkin ayam jagonya habisbegadang kali yah, sampe kesiangan gitu #hehe. Disitu gue mulai terusik danmencoba bangun ala Singa Afrika yang bulu kepalanya mengembang sekitar kuranglebih 20 cm. Dan dengan kapasitas nyawa yang masih dibawah KKM-pun gue maksaduduk seraya memasang wajah stroke alias melongo ga jelas. Kamar terlihatsamar-samar, karena sang mata yang masih seperempat terbuka. Semakin lamaduduk, hidung mulai terasa sesak. Gue berusaha ngumpulin nafas yang masihberkeliaran dialam mimpi. Entah apa yang terjadi, mata gue semakin berat untukkebuka. Bahkan lebih berat lagi dari angkat beban 2 kuintal. Bilapun harusdiganjal pake besi beton juga, mungkin kaga bakalan bisa melek lagi.
Eits tunggu dulu deh. Perasaan gue ini tuh masih malem kan. Ko jam weker gueudah maen bunyi-bunyi aja sih ? Apa mungkin udah faktor usia kali. Jam itukankado ulang tahun dari bokap gue waktu gue masih kelas 2 SD. Pantes ! Kalaumanusia sih lagi menginjak fase pikun #haha. Makannya suka bunyi ga tepat waktugitu deh.
Lanjut !
Kurang lebih 15 menit gue guling-guling di kasur yang udah ga jelas bentukaslinya. Niatnya sih mau tidur lagi, tapi tetep aja kaga bisa. Terpaksa deh guebangun. Kebetulan tenggorokan gue juga udah dehidrasi tingkat khatulistiwa nih.Jadi gue loncat dari lantai 2 ke lantai 1 menuju dapur. Tap-tap-tap. Krreekk.Astaga ! Apaan tuh ? Gue kaget bener pas ngebuka pintu kulkas. Bukannya airminum yang gue temui, malah seekor tikus yang lagi kedinginan dan meloncat kebadan gue. Hari ini emang aneh yah ? Masa iya ada tikus dalam kulkas. Kehabisanstok makanan kali ya. Sampe nekad masuk kulkas gue segala. Untung loe kaga matikedinginan. Kalo sampe mati, bisa berabe gue. Gue kan kaga tau keluarga loe adadimana. Gimana kalau mereka nuduh gue ngebunuh loe ? Terus gue ditangkeppolisi. Gimana coba nasib gue ?
Emangnya loe mau tanggung jawab kalau gue masuk penjara ? #lah ko ? Gue gilaapa stres yah ? Masa cuma gara-gara tikus aja gue jadi ngomel-ngomel ga jelasgini. Walaupun mulut gue sampe berbusa juga, tuh tikus kagak bakalan ngertiocehan gue. Tapi ya sudahlah. Mendingan gue balik ke kamar aja, lagian gue jugasudah ga nafsu buat minum.
Pas lewat ruang keluarga. Gue berhenti sejenak memandang heran sebuah televisiyang masih menyala. Disitu gue mikir ga karuan. Jangan-jangan ada setan lagi.Tapi, masa setan bisa nyalain TV. Mau nonton apa coba. Sinetron ? Apa dramakorea ? Atau mungkin mau bikin boyband kali yah #hehe. Bodoh amatlah. Emang guepikirin. Daripada dianggurin, mending gue nonton aja sekalian. Gue duduk disofa ala raja firaun. Kaki dilipat naik diatas meja dan tangan mengganjalkepala sekaligus menggenggam remote. Lama kelamaan mata gue jadi tambah beratlagi. Gue paksa buat melek, tapi tetap aja ga bisa. Terpaksa deh gue ketidurandi sofa dengan keadaan TV yang masih menyala alias melembur.

" Pagi all. Hoam " gue meregangkan kedua tangan dan menabuka matasecara perlahan.
" Lah ko ? Gue ada dimana nih ? " sontak gue kaget pas melihatsuasana sekeliling gue yang sangat asing. Tempat ini sepi dan sunyi. Hawanyadingin dan didominasi oleh warna putih sedikit berkabut. Ini sungguh asing buatgue, bahkan lebih asing dari Ragunan. Seperti ga ada kehidupan di tempat ini.Namun gue coba melangkah untuk mencari seseorang yang bisa memberi tahu dimanague sekarang. Semakin jauh kaki ini melangkah, semakin asing pula tempat yanggue pijak ini. Suasananya berubah drastis. Yang tadi berwarna putih, kinimenjadi gelap dan pekat. Tak sengaja gue melihat seberkas sinar putih di ujungsana. Semakin dekat dan semakin dekat lagi titik putih itu ternyata sesosokwanita cantik dan bergaun indah melambaikan tangan kearah gue. Wajahnyasangatlah bersinar, seakan mata guepun ga sanggup untuk menatapnya. Sedikitjelas tetapi samar-samar, wanita itu tersenyum dan menyebut nama gue berulangkali.


To Be Continue Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR