@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Rabu, 31 Juli 2013

Cinta dalam Beda

Bumi masih terlelap dalam gelap. Senyap. Pohon-pohon yang biasanya aktif bergerak pun ikut mengatupkan daunnya. Mungkin hawa dingin yang mampu menusuk kulit hingga ke daging itu yang menjadi penyebab utama kepasifan yang terjadi di alam ini. Yang terdengar hanya suara-suara binatang kecil yang entah di mana mereka berada. Juga detak jarum jam yang kala itu menunjuk ke angka 2.

Ayam jago bertengger gagah di atas pagar. Berusaha merebahkan sayap-sayapnya perlahan, hendak berkokok. Namun belum sempat ayam itu membuka paruhnya, ia terkejut dan langsung kembali masuk ke dalam kandangnya saat bunyi gemuruh dari segerombolan warga komplek di wilayah itu semarak menggema. Sepertinya ayam tersebut merasa minder dan mengurungkan niatnya berkokok serta memilih untuk tidur kembali di kandangnnya.
“Sahur, sahur, sahur!” beberapa orang warga dengan semangat yang menggelora serta membawa berbagai peralatan musik tersebut begitu kompak berkeliling komplek. Meski tak jarang juga di antara mereka yang masih terlihat mengantuk.
“Bukannya ini masih tengah malem, ya? Kok ada rame-rame gitu, sih?” kesal salah satu penghuni rumah yang tak sengaja terbangun akibat gemuruh musik dan teriakan-teriakan yang dilakukan para warga tersebut. Lalu ia berjalan gontai mendekati balkon kamarnya.
“Lagi pada ngapain sih mereka?” gumam pria itu ketika matanya tertuju pada segerombolan warga yang sedang arak-arakan di tengah malam begini.
“Ck. Kurang kerjaan. Ganggu orang lagi tidur aja!” ocehnya. Lantas ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Perlahan, matanya terlelap.

***


“Selamat pagi Ma, Pa!”
“Selamat pagi, Sayang! Sini sarapan dulu bareng Mama sama Papa.”
“Enggak ah, Ma. Alvin bawa bekal aja deh, takut telat. Oh iya, Angel mana?”
“Angel masih di kamar. Udah, sarapan dulu aja! Lagian masih pagi ini, kok.”
“Soalnya hari inikan hari pertama Alvin masuk ke sekolah baru, Ma. Tau sendiri kan Jakarta kayak gimana?”
“Beneran mau bawa bekal?” sang Papa yang sedari tadi terdiam dengan korannya pun ikut angkat bicara.
“Apa? Kak Alvin mau bawa bekal?! Hahaha… apa gak malu tuh sama umur?” ledek Angel yang baru saja menginjak anak tangga terakhir. Pria tinggi bernama Alvin tersebut langsung melotot ke arah Angel一adik perempuannya.
“Diem kamu!”
“Emang kalau bawa bekal mau dimakan di mana?” tanya Mama. Alvin tersenyum simpul mendengarnya.
“Ya di kelas dong, Ma. Masa mau di lapangan basket?”
“Maksudnya bukan begitu, Sayang. Di sekolah kamu yang sekarang kan mayoritasnya orang muslim, dan mereka semua lagi pada puasa. Apa kamu gak malu?” jelas Papa Alvin seraya melipat koran perlahan.
“Puasa? Tapi Alvin kan bukan muslim?” tanyanya polos. Ia ikut duduk di samping Papa dan Mamanya.
“Iya, puasa. Setidaknya kamu harus bisa menghargai mereka yang lagi puasa.” sambung Mama Alvin bijak. Alvin hanya mengangguk.
“Tuh dengerin!” timpal Angel meledek.
“Iya, kamu juga! Jangan bisanya ngomong doang kayak komentator.” balas Alvin dengan mencubit pipi Angel gemas.
“Sakit, Kak!!! Bisa gak sih kalau gak pakai cubit pipi?”
“Gak bisa!” Alvin menjulurkan lidahnya.
“Ih, dasar Kakak sipit!” Angel ikut mencubit pipi Kakaknya. Sedangkan dua orang paruh baya yang sedang duduk di depan Alvin dan Angel itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kebiasaan lama kedua anaknya tersebut. Ribut.
“Udah, udah! Cepet sarapan dulu! Katanya gak mau telat?”
“Oke, Pa!” kompak Alvin dan Angel barengan.
“Nanti jangan bandel ya di kelas? Jaga sikap kalian. Utamakan kesopanan dan selalu menghormati guru dan teman-teman baru kalian.” pesan Papa mereka seraya mengusap kepala anaknya itu. Alvin mengangkat jempolnya mantap. Begitu juga Angel.
“Kalau gitu kita berangkat dulu ya Ma, Pa?” Alvin dan Angel mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. Meski mulut mereka masih terisi penuh dengan roti.

***


Di kelas, Alvin masih bersantai ria dengan menopang dagunya sambil memandangi setiap detail suasana di sekitarnya. Bel istirahat memang sudah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Tetapi Alvin belum ada niatan untuk keluar kelas一atau karena ia masih canggung meminta pada teman barunya mengelilingi sekolah ini一dalam mengenal lebih dekat lagi sarana-sarana apa saja yang tersedia di sini. Dan bahkan Alvin lebih memilih duduk di kursinya meski keadaan kelas sudah lumayan sepi.
“Berhijab Itu Menyenangkan!” gumamnya pelan saat mata sipitnya menatap pada sebuah cover buku yang sedang dibaca oleh salah seorang siswi di depan kelasnya. Sejenak, Alvin tertegun memandangi si pembaca buku tersebut一entah ia tertarik dengan yang mana? Siswi itu memang berbeda dengan siswi-siswi lain yang pernah Alvin temui saat kakinya menapakkan untuk pertama kalinya di sekolah ini.
“Dia kok aneh, ya? Cara berpakaiannya berbeda dengan yang lain.” perlahan hati Alvin tergerak untuk mendekati gadis tersebut.
“Hai, aku Alvin! Siswa baru di sekolah ini. Nama kamu siapa?” gadis itu tersenyum ke arah Alvin. Manis.
“Aku Sivia Azzahra. Cukup panggil Sivia atau Via aja.” balas gadis yang bernama Sivia tersebut. Perlahan, Alvin mengepalkan tangannya ragu saat Sivia tak membalas uluran tangannya.
“Lagi baca apa?”
“Lagi baca ini,” Sivia menunjukkan cover buku yang di bacanya. Alvin hanya mengangguk sambil membulatkan mulutnya.
“Kamu gak ikut main sama temen-temen baru kamu?” lanjut Sivia seraya menutup buku itu dan menaruh di pangkuannya.
“Aku masih canggung sama mereka, makanya aku milih di kelas aja. Ya hitung-hitung kenalan lebih dekat lagi sama kelas baru.” kata Alvin asal. Sivia tersenyum mendengarnya.
“Oh iya, daripada bengong di kelas mending kita sholat dhuha aja. Gimana?” ajak Sivia semangat.
“Boleh,” jawab Alvin spontan. Entah kenapa lidah dan hati Alvin dengan mudahnya menerima ajakan Sivia untuk sholat dhuha. Sedangkan ia sendiri tidak mengetahui apa itu sholat dhuha?
“Jarang banget lho ada anak cowok sholat dhuha di sekolah. Bahkan mungkin gak ada sama sekali,” ucap Sivia heran. Sedangkan Alvin hanya berusaha mensejajarkan langkah kakinya dengan gadis yang baru saja dikenalnya一gadis yang entah akan membawanya ke mana sekarang ini.
“Memangnya kenapa?” tanya Alvin penasaran. Sivia menggeleng kepala.
“Mungkin mereka sama Tuhan aja yang tau.” jawabnya begitu sampai di depan sebuah masjid yang tak jauh dari kelas mereka sebelumnya. Sejenak, Alvin terus memandangi bangunan yang berdiri megah di hadapannya itu. Bangunan yang terdapat banyak pintu di setiap sisinya. Bangunan yang di atasnya terdapat kubah dan dua simbol bulan bintang menempel di puncak kubah tersebut. Bangunan yang unik. Bangunan apa ini? kata hati Alvin saat itu.
“Kok malah bengong? Ayo copot sepatunya, terus masuk!” seketika lamunan Alvin buyar begitu Sivia menyuruhnya mencopot sepatu yang dipakainya.
“Oh, sepatunya dicopot?” Sivia mengernyit sejenak mendengar ucapan Alvin.
“Iya lah dicopot. Kita kan mau ambil wudhu.”
Wudhu?”
“Udah ah, nanti keburu masuk.” kata Sivia yang buru-buru masuk ke tempat wudhu.
“Nanti aku nyusul,” ucap Alvin sedikit ragu. Lantas ia lebih memilih duduk di pinggiran masjid dengan raut wajah yang masih kebingungan. Sesekali mata Alvin melirik ke arah dalam masjid一untuk mengamati apa yang sebenarnya dilakukan Sivia di dalam sana.
“Alvin, jadi sholat dhuha gak?” tiba-tiba Sivia keluar dengan memakai pakaian yang benar-benar asing di mata Alvin. Alvin mengernyit, ia menatap heran tubuh Sivia dari atas hingga ke bawah. Pakaian apa itu? Kok aneh, ya? umpat Alvin di hatinya. Lantas membuat Sivia kebingungan dengan sikap Alvin yang aneh tersebut.
“Kamu kenapa, Vin? Kok lihatin aku kayak gitu?” tanya Sivia seraya mengoreksi mukena yang dipakainya.
“Gak apa-apa kok, Vi. Aku lain kali aja deh sholatnya.” jawab Alvin kaku. Hal-hal baru semenjak 30 menit yang lalu ia mengenal Sivia itu selalu membuat penasaran otaknya.
“Oh, ya udah. Aku sholat dulu, ya?” Alvin mengangguk. Ia terus memandangi Sivia dari belakang.
“Vi, kenapa wajah kamu terlihat lebih bersinar kalau memakai pakaian yang serba putih itu. Aura keanggunan kamu begitu jelas memancar.” gumamnya terharu. Lagi, Alvin selalu memandangi semua gerak-gerik Sivia selama di dalam masjid. Mulai dari mengangkat kedua tangan hingga Sivia bersujud. Detail. Sampai Alvin hafal gerakan sholat yang Sivia lakukan.

***


“Lagi nunggu siapa, Vi?” Sivia yang sedari tadi sedang menghafal surat-surat pendek Al-Quran pun tiba-tiba dikagetkan dengan pertanyaan seseorang yang menghampirinya di depan gerbang sekolah. Sedetik, Sivia mengusap dadanya.
“Kamu ngagetin aja, Vin.” timpalnya gemetar. Alvin malah terkekeh membalasnya.
“Mau minum?” tawar Alvin santai. Padahal Sivia sudah menatapnya heran.
“Kamu gak puasa?” Alvin tergelak mendengarnya. Seakan air yang berada di tenggorokannya terasa sulit untuk ditelan.
“Aku… aku gak puasa, Vi. Maaf, bukan maksud aku buat,”
“Kenapa gak puasa? Puasa itu wajib bagi setiap muslim, Vin. Apalagi kamu seorang laki-laki.” kata Sivia sambil menatap sinis mata Alvin. Kontan membuat Alvin berusaha untuk berpaling dari tatapan maut Sivia tersebut.
“Sebenernya aku itu non muslim, Vi. Aku minta maaf, ya? Aku lupa kalau sekarang lagi bulan puasa. Maaf juga karena aku tadi belum sempet bilang sama kamu kalau aku non muslim.” jelas Alvin seraya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Jadi kamu non muslim? Aduh, maaf aku gak tau.” ungkap Sivia dengan menundukkan kepalanya. Dan dalam hitungan detik, keheningan menguasai mereka. Alvin yang dilema dengan botol minuman yang digenggamnya, sedangkan Sivia yang terlalu canggung untuk membuka pembicaraan dengan Alvin. Entah apa yang ada di otak mereka. Sampai suara seorang satpam mematahkan aksi diam-diam dua orang manusia tersebut.
“Belum pada pulang, De?” tanya Pak Satpam yang baru saja selesai mengunci gerbang sekolah. Alvin dan Sivia terkesiap.
“Mau sekalian ngabuburit, Pak.” jawab Sivia ramah. Sedangkan Alvin hanya ikut tersenyum ke arah Pak Satpam.
“Oh, ya udah kalau gitu Bapak pulang duluan, ya? Jangan pacaran di tempat yang sepi!” bisiknya jahil. Lantas membuat Alvin dan Sivia berpandangan aneh.
“Ngabuburit itu apaan ya, Vi?” Alvin menggaruk kepalanya pelan.
“Ngabuburit itu ya ngelakuin sesuatu apa aja buat nunggu buka puasa. Ada yang itikaf di masjid, tadarusan, jalan-jalan, nonton televisi, dan mungkin banyak lagi.” jelas Sivia seraya melangkahkan kakinya menjauhi gerbang sekolah.
“Emang ngabuburit itu wajib?” tanya Alvin penasaran.
“Enggak juga. Itu cuma tradisi orang-orang di bulan ramadhan aja. Dan gak semuanya yang puasa itu harus ngabuburit.” jelas Sivia seraya tersenyum melihat ekspresi wajah Alvin yang menurutnya sangat lucu.
“Oh iya, boleh aku nanya lagi?”
“Dengan senang hati,”
“Kalau di bulan ramadhan seperti ini, orang muslim itu hanya puasa dari makan dan minum aja atau ada yang lain?” Alvin mengangkat alisnya.
“Enggak hanya mulut aja yang puasa, semuanya juga harus puasa. Seperti mata, telinga, hidung, hati, dan perilaku kita juga harus ikut berpuasa. Semua komponen itu tidak boleh melakukan hal-hal negatif yang otomatis dilarang sama Tuhan.” jelas Sivia rinci一terkesan antusias.
“Karena percuma aja kita puasa kalau kita tetap melakukan hal-hal yang buruk. Dan yang ada kita cuma capek-capek nahan laper tapi gak dapet pahala dari Tuhan.” lanjutnya.
“Oh, jadi gitu?” kata Alvin yang baru paham sedikit tentang islam.
“Vi, aku boleh minta nomor handphone kamu?” pintanya kemudian.
“Boleh,” lalu Sivia mendikte digit demi digit nomor handphonenya ke Alvin. Dan saking asyiknya mereka ngobrol, sampai tak menyadari kalau mereka sudah berjalan jauh.

***


Senja menggelap. Garis oranye yang terbias di ufuk barat itu sedikit memburam. Bintik-bintik putih berkilau mulai menghiasi langit kala itu. Dan semua kegiatan umat manusia di luar sana mulai berkurang bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib. Damai. Suara-suara malam belum bersahutan.

Sudah hampir setengah jam Alvin memutar-mutar handphonenya di atas kasur. Tangannya terlalu ragu untuk mengetik kata-kata dan mengirimnya kepada salah satu kontak nama yang sejak tadi dipandangnya sendu. Bahkan Alvin sangat takut untuk menekan tombol Call yang sudah jelas-jelas ia sentuh dari tadi. Lagi, bola matanya melirik jam dinding berbentuk bola itu dengan gelisah. Mungkin Alvin menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Tapi kenyataannya hal itu sudah dilakukannya berulang kali dan selalu ia urungkan. Keberaniannya belum terkumpul untuk menelepon atau hanya sekedar mengirim sms kepada kontak yang bertuliskan Sivia tersebut.
“Telepon apa sms, ya?” rutuk Alvin seraya bangkit dari kasur dan segera melangkah menuju balkon.
“Coba telepon aja, deh.” belum sampai lima detik Alvin menekan tombol hijau di handphonenya, suara merdu Sivia sudah terdengar sangat jelas di telinga Alvin.
“Hallo? Assalamualaikum.”
“Hai, Vi! Ini aku, Alvin.”
“Oh kamu, ada apa?”
“Gak ada apa-apa, sih. Cuma mau ucapin selamat berbuka puasa aja.”
“Hehehe… makasih, ya?”
“Sama-sama. Aku ganggu ya, Vi?”
“Enggak, kok. Cuma aku lagi siap-siap buat sholat tarawih aja.”
Sholat tarawih? Berarti kamu mau ke masjid yang ada di sekolah lagi, dong?” tiba-tiba terdengar tawa kecil di seberang sana. Tawa Sivia tentunya.
“Kok ketawa, Vi?”
“Abis kamu lucu, sih. Sholat kan bisa di mana aja, gak mesti di sekolah. Yang penting tempatnya harus suci. Nah, kebetulan kan rumah kamu lumayan deket dengan masjid tuh, aku sholat tarawih di situ.”
“Hehehe… aku kan gak tau, Vi. Masa? Kalau gitu aku ikut, ya? Aku mau temenin kamu.”
“Serius mau temenin aku ke masjid?”
“Itu juga kalau kamu mau,”
“Gak ngerepotin?”
“Enggak sama sekali. Gimana?”
“Hem… ya udah, deh.”
“Hore! Aku jemput, ya?”
“Gak usah! Aku naik sepeda aja.”
“Tapi kan rumah kamu lumayan jauh, Vi? Terus kamu juga abis puasa, kan?”
“Gak apa-apa, kok. Nanti aku sms lagi. Wassalamualaikum.”
“Sivia?” Alvin membuang napas beratnya perlahan saat Sivia menutup sambungan teleponnya cepat-cepat.
“Duh kasihan deh yang teleponnya dimatiin sama si pacar.” ledek Angel yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Alvin.
“Gak usah sok tau, deh! Mau ngapain kamu ke kamar Kakak? Tumben,” Angel tersenyum simpul. Ia langsung menggandeng tangan kanan Kakaknya.
“Pasti ada maunya, nih. Udah cepetan bilang aja!” tebak dan suruh Alvin yang sudah hafal dengan tingkah sang Adik tersebut.
“Malem ini Angel tidur di kamar Kak Alvin, ya? Please!” rengeknya memaksa. Alvin berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Angel.
“Berani bayar berapa?”
“Berapa, ya? Boleh cubit pipi Angel sepuasnya, deh! Tapi jangan sakit-sakit ya, Kak?” Alvin terkekeh mendengarnya. Lalu ia tersenyum jahil.
“Duh lucu banget sih malaikat kecil punya Kakak ini.”
“Angel bilang jangan sakit-sakit, Kakak!” Angel meringis kesakitan.
“Ini udah pelan, Sayang. Lagian kamu unyu banget, sih?” goda Alvin sembari memeluk adiknya erat.
“Tapi Kakak mau ada perlu dulu sama temen. Gak apa-apa kan ditinggal sebentar?” lanjutnya manis.
“Oke, Kakak sipit! Lagian Angel juga belum ngantuk.”
“Yang sipit itu siapa, ya?” ledek Alvin sambil mengacak poni adiknya itu.
“Sesama sipit jangan saling mendahului.” balas Angel tidak mau kalah. Ia mencubit hidung Kakaknya dan langsung berlari ke bawah.
“Angeeeeelll!!! Awas ya kalau ke tangkep!”

***


Alvin tertegun melihat orang-orang muslim beribadah dari kejauhan. Ia melihat satu orang laki-laki yang berdiri sendiri di depan orang-orang muslim lainnya. Orang tersebut itulah yang paling aktif dan bersuara paling keras dari yang lain, sedangkan di belakangnya ada ada beberapa baris laki-laki dan beberapa baris perempuan. Dan mereka bersuara dalam waktu-waktu tertentu saja. Apakah dia itu pemimpin orang-orang muslim dalam beribadah? batinnya saat itu. Bahkan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang ingin ia tanyakan dan ia ingin ketahui jawabannya dari apa yang hanya bisa ia lihat.
“Selama inikah orang muslim itu beribadah?” gumam Alvin yang sudah lumayan bosan menanti Sivia selesai sholat tarawih.
“Tuhan, kenapa mesti ada banyak agama di dunia ini? Bukankah semua agama itu mengajarkan hal yang sama? Mengajarkan hal yang baik. Dan kenapa harus ada perbedaan dalam beribadah?” Alvin menatap salah satu di antara puluhan orang muslim yang sedang khusyuk beribadah tersebut. Sivia Azzahra. Perempuan yang wajahnya paling bersinar dari yang lain menurutnya. Dan entah kenapa hati Alvin terasa lebih tenang setiap ia melihat wajah damai milik Sivia.
“Ternyata perempuan itu terlihat lebih cantik kalau memakai kain penutup kepala itu.” kembali Alvin memandang Sivia yang saat ini sudah selesai menunaikan sholat tarawih. Lantas, setelah Sivia bersalaman dengan para jamaah perempuan yang lain, Sivia segera menghampiri Alvin yang sudah lama duduk ditemani beberapa nyamuk, mungkin.
“Maaf ya udah nunggu lama.” ucapnya merdu. Alvin mengangkat pundak maklum.
“Tidak masalah. Oh iya, mau langsung pulang apa gimana? Gak mau ikut ngumpul-ngumpul dulu sama yang lain?” tanya Alvin yang matanya sesekali melirik ke arah masjid yang kebetulan masih ada beberapa teman sebaya Sivia sedang duduk melingkar sambil memegang kitab yang sama dengan kitab milik Sivia. Al-Quran.
“Tadinya sih aku mau tadarusan dulu, tapi aku gak tega sama kamu. Kamu udah terlalu lama nunggu aku. Toh tadarusan sih di rumah juga bisa.”
“Beneran? Gak apa-apa kok kalau aku harus nunggu lagi.” kata Alvin ramah. Sivia hanya tersenyum.
“Aku gak mau repotin kamu, Vin. Ya udah yuk pulang!”
“Padahal aku pengen banget lho denger kamu nyanyi kayak mereka.”
“Nyanyi? Itu namanya ngaji, bukan nyanyi.” ucap Sivia maklum.
“Aduh, salah lagi. Iya, itu maksud aku. Oh iya Vi, emangnya kamu gak capek, ya?”
“Capek kenapa?”
“Kan abis puasa seharian penuh, terus malemnya harus ibadah lagi sampai satu setengah jam lebih.”
“Hehehe… enggak, lah. Itu udah kewajiban aku sebagai orang muslim, Vin. Dan mau gak mau harus dijalanin sepenuh hati. Toh cuma setahun sekali, belum tentu tahun depan aku bisa kayak gini lagi.” jelas Sivia antusias. Seperti biasa, Alvin hanya mengangguk paham.
“Aku salut deh sama kamu. Kamu itu perempuan yang hebat!” puji Alvin tulus. Kontan membuat pipi Sivia bersemu merah.
“Mungkin di luar sana banyak perempuan yang lebih hebat lagi dari aku.” ucapnya merendah.
“Tapi aku gak tertarik dengan perempuan-perempuan hebat yang ada di luar sana. Aku cuma kagum sama kamu, Sivia.”
“Kamu bisa aja,” kata Sivia yang semakin erat memeluk mukena dan Al-Quran yang sejak tadi dipeluknya di dada.

Tiba-tiba hening ikut serta dalam setiap langkah kaki Alvin dan Sivia. Cukup lama. Bahkan hiperbolanya, sang bulan pun sempat tertidur menunggu mereka kembali berbicara.
“Sivia, kenapa sih perempuan muslim itu gak semuanya pakai kerudung? Bukankah kata kamu memakai kerudung itu wajib bagi setiap perempuan muslim?” tanya Alvin penasaran. Karena memang di sekolah pun hanya Sivia saja yang memakai kerudung.
“Menutup aurat itu memang wajib. Tapi kalau masalah itu aku gak tau, Vin. Karena itu urusan mereka dengan Tuhan. Atau mungkin mereka ingin memperbaiki perilaku-perilaku yang masih tidak baik terlebih dahulu sebelum bener-bener berkerudung. Kan percuma juga kalau pakai kerudung tapi perilaku kita masih buruk. Yang ada nantinya menjadi bahan omongan orang lain.” jawab Sivia panjang lebar.
“Oh gitu, ya? Padahal menurut aku, perempuan itu jadi terlihat lebih anggun kalau pakai kerudung.” ungkapnya seraya tersenyum ke arah Sivia. Sivia ikut membalas.
“Kurasa juga begitu,”
“Ngomong-ngomong, kamu udah lama pakai kerudung?”
“Lumayan, sejak kelas 4 SD. Kenapa?”
“Gak apa-apa, nanya aja. Berarti selain hebat, kamu juga konsisten. Aku jadi tambah salut sama kamu.” puji Alvin lagi untuk kesekian kalinya. Tak sadar kalau mereka sudah berada di depan rumah Alvin. Lantas Sivia segera mengambil sepeda yang sebelumnya ia titipkan di rumah Alvin dan langsung pamit pulang.
“Makasih ya udah nemenin aku sholat tarawih malem ini. Makasih juga buat titipan sepedanya.”
“Oke, sama-sama. Makasih juga udah mau jawab semua pertanyaan-pertanyaan bodoh dari aku. Aku jadi tambah pengetahuan.”
“Aku seneng kok bisa berbagi. Kalau gitu aku pamit dulu ya, Vin? Assalamualaikum.”
“Hati-hati di jalan ya, Vi!” Sivia mengangkat jempolnya. Lantas ia berlalu dengan sepeda berwarna merah muda miliknya. Alvin terus memandangi Sivia yang sosoknya semakin menjauh dan menghilang dari lingkup pandang matanya. Dan tiba-tiba ia teringat akan malaikat kecilnya yang mungkin sudah terlalu lama menunggunya di dalam sana. Angel Laura.

***


“Kka?” bisik Alvin pelan. Ia menyenggol pundak Cakka一teman sebangkunya一yang masih sibuk menggambar tokoh kartun manga di buku tulisnya.
“Iya?” balas Cakka singkat. Mata dan tangannya terlalu serius menggeluti hobi yang sudah ia gemari sejak SD.
“Loe mau gak ajarin gue tentang islam?” pinta Alvin yang berhasil membuat ekspresi wajah Cakka berubah heran.
“Loe bercanda? Gue gak mau, ah!” tolaknya langsung.
“Gue seriusan. Bukannya berbagi ilmu itu baik, ya? Ayolah, Kka!”
“Tapi pengetahuan gue tentang islam masih bener-bener dangkal, Vin. Gue gak berani,” Alvin mendecak.
“Emangnya loe ada niat buat masuk islam, Vin?” lanjut Cakka sedikit ragu. Ia takut salah ucap.
“Aku gak tau, Kka. Aku cuma ingin tau lebih jauh lagi tentang islam. Buat nambah pengetahuan gitu, deh.”
“Oh, kirain beneran mau masuk islam. Atau jangan-jangan loe lagi suka sama cewek yang beragama islam, ya?” goda Cakka. Lalu Alvin berdiri dan tersenyum jahil ke arah Cakka.
“Pengen tau aja!”
“Tau kok, tau. Loe naksir cewek sebelah, kan? Itu lho, yang pakai kerudung.” ledek Cakka lagi sambil menaik turunkan kedua alisnya.
“Sok tau amat, loe! Gue sama dia temenan doang.”
“Meski gue tau mata loe itu sipit, tetep aja mata loe gak bisa bohong!”
“Ngawur aja! Emang loe bisa nebak perasaan orang melalui mata? Basi!” timpal Alvin yang langsung ngeloyor keluar kelas.
“Gue seriusan, Alvin! Udah, loe ngaku aja sama gue.” Cakka berusaha mengejar Alvin.
“Gue bisa jaga rahasia, kok.” bisiknya setelah Cakka berhasil menyamakan langkahnya dengan Alvin.
“Rahasia apaan sih, Kka? Orang gue gak punya rahasia juga. Dasar aneh!”
“Kalau bulan puasa itu gak boleh bohong, lho? Nanti puasanya batal.” ancam Cakka lucu.
“Loe ngigo? Gue emang gak puasa dari dulu.”
“Oh iya, ya? Gue lupa! Tapi kan tetep aja gak boleh bohong!”
“Emang siapa sih yang bohong? Gak ada,”
“Terserah loe deh, Vin! Gue capek debat sama loe.”
“Siapa suruh?” Cakka mendengus kesal.
“Lagian loe kepo banget sih jadi orang.” lanjut Alvin.
“Apaan tuh kepo? Gue baru denger,”
“Cari di google!”
“Ngeselinnya parah loe, Vin.”
No comment!

***


Klik! Secercah sinar lampu mengelabui mata Angel yang setengah terbuka. Kenyamanannya di balik selimut pun mulai terusik saat mata sipitnya menangkap sosok sang Kakak yang sedang sibuk sendiri di depan cermin. Kak Alvin lagi ngapain, ya? batin Angel penasaran.
“Kak Alvin lagi ngapain malem-malem gini di depan kaca?” tanya Angel yang sontak membuat Alvin terkejut setengah mati.
“Kamu ngagetin aja sih, De! Untung Kakak gak jantungan.” respon Alvin seraya mengusap dadanya gusar.
“Abisnya Kak Alvin ini aneh, masa jam segini udah kayak orang yang mau kerja ke kantor aja. Mau ke mana sih, Kak?” Angel menopang dagunya di atas bantal guling.
“Kakak mau bantuin warga sini buat bangunin sahur.” jawab Alvin sembari mencubit hidung mancung Angel. Lalu ia mengacak poni adiknya pelan.
“Kita kan gak puasa, Kak? Kenapa harus ikut-ikutan bangunin sahur?” Alvin tersenyum melihat adiknya tersebut.
“Gak ada salahnya kan bantu warga setempat? Lagian kasihan juga kalau mereka sampai kesiangan buat sahur. Ya seperti Mama sama Papa pernah bilang, kita harus saling menghargai.” jelas Alvin manis. Angel mengangguk paham.
“Oh iya, ya? Kakaknya Angel itu emang baik, deh!”
“Iya, dong! Selain cakep, Kakak juga harus baik.” ucapnya sambil mengangkat alisnya.
“Iya deh, iya. Tapi Kak Alvin jangan lupa bawa jaket sama syal. Di luar kan udaranya dingin, dan Angel gak mau kalau Kak Alvin sampai sakit.”
“Siap, bos! Apapun yang diperintahkan sama Bos Angel, akan saya laksanakan. Hehehe… Kakak berangkat dulu ya, Sayang? Tidur lagi yang nyenyak.” kata Alvin sambil memberi kecupan hangat di kening Angel. Angel pun tersenyum manis. Betapa bahagianya ia mempunyai seorang Kakak yang begitu sangat menyayanginya.
“Hati-hati ya, Kak! Angel sayang Kakak.” Alvin menyunggingkan senyumnya sebelum ia menutup pintu kamarnya.

Pukul 02.15 WIB. Para warga sudah bersiap-siap dengan membawa alat-alat musik modern maupun tradisional. Tapak demi tapak pun mereka jejaki ke setiap lingkungan komplek dengan berbagai macam atraksi. Seperti bernyanyi, menari, memainkan alat musik, dan bahkan ada juga yang cuma berteriak gak jelas demi membangunkan warga setempat untuk sahur.

Selalu, Alvin dibuat tertawa oleh tingkah mereka yang lucu. Dan bahkan tak jarang Alvin disuruh menyanyi dan bermain musik oleh salah seorang di antara mereka. Tentu, dengan senang hati Alvin mengabulkan permintaan mereka. Toh apa susahnya menyanyi buat seorang Alvin?
“Bapak-bapak, sebelumnya Alvin minta maaf, ya? Alvin cuma bisa ikut sampai sini aja. Gak apa-apa, kan?” pinta Alvin ramah.
“Gak apa-apa kok, Nak Alvin. Malahan Bapak mau bilang terimakasih karena Nak Alvin udah mau ikut berpartisipasi.” jawab salah seorang dari mereka. Alvin tersenyum.
“Alvin seneng kok bisa ikut. Dan kapan-kapan boleh ikut lagi, kan?”
“Oh, tentu boleh. Kapanpun Nak Alvin mau. Kalau begitu kami mau lanjut dulu, ya?”
“Oke, Pak! Tetep semangat!” balas Alvin antusias. Sivia udah bangun belum, ya? batinnya setelah para warga sudah cukup jauh melangkah. Ia segera merogoh saku celananya cepat-cepat. Dan…
“Aduh! Handphone gue gak dibawa.” sesalnya tiba-tiba. Saking buru-burunya sampai ia lupa bawa handphone. Alhasil, Alvin cuma bisa memandangi rumah Sivia di depan pagar. Ia merasa tidak enak kalau harus bertamu malam-malam seperti ini.

***


“Angel, ya?” tanya Sivia ketika ia bertemu Alvin di taman kota bersama adiknya一Angel. Sivia sama Alvin memang sudah berjanjian untuk ngabuburit bareng di taman kota. Dan berhubung Alvin tidak tega meninggalkan Angel sendirian di rumah, mau gak mau ia harus mengajak malaikat kecilnya itu ngabuburit bareng Sivia.
“Iya, Kak. Pasti ini Kak Sivia?” tebak Angel lucu.
“Kok tau sih, De? Dari Kak Alvin, ya?” Sivia berjongkok di hadapan Angel. Sedangkan Alvin hanya bisa memandang kedua orang perempuan yang ada di hadapannya itu.
“Hehehe… iya, Kak. Angel juga pernah lihat foto Kakak di handphone Kak Alvin.” kata Angel polos. Alvin melotot dibuatnya.
“Oh, jadi kamu yang suka buka-buka handphone Kakak? Gak sopan, tau!” respon Alvin dibuat sesantai mungkin. Tiba-tiba wajah Alvin bersemu merah ketika Sivia dan Angel memandangnya aneh.
“Maaf Kak, maaf. Angel lagi iseng aja. Oh iya, Kak Sivia udah lama pacaran sama Kak Alvin?” mendengar pertanyaan Angel tersebut, Alvin dan Sivia saling berpandangan heran. Mereka langsung menggeleng.
“Kak Sivia sama Kak Alvin itu gak pacaran, Sayang. Kak Sivia itu temen Kakak.” bantah Alvin cepat. Sivia mengangguk berulang kali, membenarkan kata-kata Alvin.
“Bener tuh kata Kak Alvin. Kak Sivia sama Kak Alvin cuma temenan.”
“Oh gitu, ya? Tapi kenapa gak pacaran aja? Kak Sivia sama Kak Alvin kan cocok.”
“Angel kok sekarang jadi bawel, ya?!” timpal Alvin yang sedikit kesal dengan ulah adiknya. Angel menekuk wajah.
“Gak apa-apa, namanya juga anak kecil. Oh iya, rambut Angel kok bisa bagus kayak gini, sih? Bagi tipsnya, dong?” tanya Sivia seraya membelai lembut kepala Angel. Angel tersenyum.
“Rambut Angel gak pernah diapa-apain kok, Kak. Dari dulu emang udah kayak gini. Emangnya Kak Sivia gak punya rambut, ya?” tanya Angel penasaran. Alvin dan Sivia langsung terkekeh mendengarnya.
“Kak Sivia juga punya rambut kok, Sayang.” balas Sivia mantap. Namun itu tak membuat rasa penasaran Angel hilang begitu saja.
“Kalau gitu kenapa kepalanya Kak Sivia ditutupin terus? Apa Kakak malu ya karena rambutnya jelek?”
“Sayang, Kak Sivia itu menutupi kepalanya biar kelihatan lebih cantik dan lebih sopan.” sambung Alvin yang ikut berjongkok di depan Angel. Sivia tersenyum.
“Dan Kakak pengen kelihatan beda dari perempuan lain. Bukankah begitu, Kak Alvin?” kata Sivia sedikit bercanda. Lantas mereka bertiga tertawa.
“Pantes aja Kak Alvin suka sama Kak Sivia, abisnya Kak Sivia itu selain cantik juga baik.” Alvin kembali melotot. Angeeeelll!!! Kamu tuh nyebelin banget, sih?! teriak Alvin dalam hati. Ingin rasanya Alvin kabur dari dua perempuan ini sebelum ia benar-benar dipojokkan oleh adiknya itu.
“Masa, sih? Kak Sivia kok gak tau, ya?” tanya Sivia jahil.
“Iya, sampai pernah Kak Alvin bela-belain bangun tengah malem buat ikut bangunin warga sahur. Dan itu pasti karena Kak Sivia. Iya kan, Kak?” ucap Angel sambil memamerkan deretan gigi putihnya.
“Kamu tuh sok tau banget sih, Sayang! Lagian yang puasa di komplek kita kan bukan Kak Sivia doang, tapi banyak.” alibi Alvin seraya membekap mulut Angel gemas.
“Jangan gitu dong Vin, kasihan Angel.”
“Abisnya nih bocah suka ngelantur kalau ngomong. Jangan didenger ya, Vi?” Alvin melepaskan tangannya dari mulut Angel.
“Kak Alvin tuh nyebelin banget, sih?!”
“Tuh kan jadi ngambek,” timpal Sivia ke Alvin.
“Oh iya, Angel mau es krim, enggak?” rayunya kemudian.
“Mau Kak, mau! Tapi belinya dua aja ya, Kak? Kak Alvin jangan dikasih.” kata Angel sinis.
“Oke, oke, fine! Mulai nanti malem kamar Kakak tertutup rapat buat yang namanya Angel.” ujar Alvin meledek.
“Emangnya Angel pikirin? Hahaha…”
“Angeeeelll!!!” Alvin mencoba mengejar Angel dan Sivia yang sudah berlari duluan meninggalkannya.

Benang senja masih setia membiaskan warna oranyenya di ufuk barat. Angin bertiup perlahan, menyentuh kulit dengan lembutnya. Daun-daun yang tadinya berwarna hijau pun seakan menguning saat sang raja siang mulai menenggelamkan dirinya sedikit demi sedikit. Serta orang-orang yang ngabuburit juga mulai berhamburan ke sana ke mari. Begitu juga dengan Alvin, Sivia, dan Angel yang sudah terlebih dahulu melangkahkan kakinya untuk pulang.
“Makasih ya Kak buat es krimnya? Angel seneng deh.” ucap Angel manja. Sivia tersenyum, ia membelai poni Angel dengan penuh kasih sayang.
“Sama-sama, Sayang. Kak Sivia juga mau bilang makasih karena Angel udah mau temenin Kak Sivia ngabuburit.” Sivia memeluk Angel tanpa canggung. Mereka seakan sudah kenal lama.
“Kamu gak bilang makasih sama aku, Vi? Curang,” Sivia dan Angel tertawa.
“Kok malah ketawa, sih?” lanjut Alvin kemudian.
“Iya, makasih juga buat kamu yang udah mau temenin aku ngabuburit. Kalau gitu aku pamit pulang, ya? Bentar lagi udah mau buka puasa.” pamit Sivia yang tak lupa mencubit pelan pipi Angel.
“Mau aku antar?” tawar Alvin. Sivia menggeleng.
“Gak perlu kok, Vin. Aku jalan sendiri aja.”
“Oh, ya udah. Aku sama Angel juga pamit pulang, ya?”
“Hati-hati di jalan ya, Kak Sivia! Sampai ketemu lagi.” kata Angel semangat.
“Iya, cantik. Kalian juga hati-hati, ya! Sampai ketemu dilain waktu. Insya Allah.” Alvin dan Angel tersenyum serta melambaikan tangannya melihat Sivia pergi.
“Ayo, Sayang!” ajak Alvin seketika. Ia menggendong Adiknya yang sudah kelihatan lelah.

***


Sudah hampir setengah jam Alvin berdiam diri di posisinya. Dan setengah jam itu pula ia melirik resah arloji putih yang melingkar indah di tangan kirinya. Sesekali Alvin berdecak. Matanya ia edarkan ke sekeliling restoran yang dikunjunginya di sore menjelang malam ini. Mencari seseorang yang benar-benar dinantinya sedari tadi.

Gundah. Lagi-lagi Alvin memainkan jemarinya di atas meja, menciptakan irama mungil yang mungkin mewakili suasana hatinya saat itu. Apa dia lupa? batinnya pasrah. Ia kembali memutar gelas yang sudah terisi jus melon itu. Namun Alvin tak sedikitpun berniat untuk meminumnya.

Raut wajahnya kembali mendatar saat seorang pelayan menghampirinya untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi Alvin hanya bisa mengatupkan kedua telapak tangannya. Memohon maaf karena ia memang belum berniat untuk memesan makanan. Pelayan itu tersenyum, tersenyum wajar. Sampai Alvin merasa tak enak hati kepadanya.
“Mohon sebentar lagi ya, Mas?” pinta Alvin ramah. Pelayan itu mengangguk dan kembali berbalik badan.
Fried potato sama es teh manisnya dua ya, Mas?” pinta seseorang begitu sang pelayan hendak meninggalkan meja yang ditempati Alvin. Kontan membuat Alvin langsung mendongakan kepalanya ke arah sumber suara.
“Sivia?” senyum pria itu mengembang pas melihat seseorang yang ditunggunya sedari tadi dengan penuh gelisah itu akhirnya datang juga.
“Maaf banget aku telat.” ucap Sivia penuh penyesalan. Dan tanpa ragu sedikitpun ia segera duduk di hadapan Alvin. Membuat pria satu ini terdiam sejuta kata. Matanya begitu fokus memandangi setiap titik pakaian yang Sivia kenakan kala itu. Sivia terlihat benar-benar cantik.
“Ada yang salah sama aku?” Sivia mengoreksi pakaian yang ia kenakan tersebut ketika Alvin menatapnya tak biasa.
“Enggak ada, kok. Kamu cuma terlihat lebih cantik malem ini.” jujur Alvin tanpa sadar dan berhasil merubah air muka Sivia yang tersipu malu.
“Makasih,” ucapnya pelan. Bahkan hampir tak terdengar.
“Maaf ya aku telat. Tadi jalannya macet.” lanjutnya dengan dibarengi anggukan kepala Alvin.
“Gak apa-apa kok, nyantai aja. Oh iya, ini udah waktunya buka puasa, kan?” tanya Alvin antusias. Sivia melirik tangan kirinya yang memang tertera arloji ungu yang melingkar indah di sana. Ia mengangguk ke arah Alvin.
“Kalau gitu kamu buka puasa dulu aja, ini belum aku minum.” lanjut Alvin seraya menyodorkan jus melon yang sudah ia pesan sebelumnya.
“Iya, makasih. Aku buka puasa dulu, ya?” Alvin tersenyum, lalu ia melihat Sivia yang menengadahkan tangan dengan mulut yang sedikit bergumam sebelum Sivia meminum jus pemberiannya. Alvin terus memandangnya kagum.
“Doa berbuka puasa,” ucap Sivia halus. Ia sudah mengetahui apa yang ada di pikiran Alvin tersebut. Lantas Alvin kembali tersenyum dan menganggukan kepalanya berulang kali.
“Ini Mbak, pesanannya.” kata sang pelayan ramah. Dan kurang dari 5 detik, beberapa porsi makanan yang dipesan Sivia pun sudah tersedia di hadapannya.
“Terimakasih ya, Mas?” balas Sivia tak kalah ramah. Pelayan itu ikut tersenyum sebelum pergi meninggalkan meja Alvin dan Sivia.
“Kok tau sih kalau aku suka kentang goreng?” tanya Alvin sumringah. Sivia hanya mengernyit.
“Iya? Tadi aku cuma asal pesen aja, kok. Emang suka kentang goreng juga? Sama dong kalau gitu.” kata Sivia sembari mencolek saus tomat yang ada di hadapannya.
“Selamat makan!” lanjutnya senang.
“Iya, selamat makan!” kata Alvin ikut senang. Lantas mereka terbius dengan percakapan-percakapan yang tidak terlalu penting di malam itu. Anggap saja ini hanya sekedar buka puasa bersama. Bukan makan malam yang romantis layaknya dua orang kekasih.

***


“Makasih ya buat traktirannya.” ucap Sivia ketika mobil Alvin berhenti di depan rumahnya. Alvin menghela napas.
“Harusnya aku yang bilang makasih sama kamu, Vi. Kamu udah mau menyempatkan waktu untuk berbuka puasa bareng aku.”
“Itu karena izin Allah dan aku gak punya hak buat nolak ajakan kamu, selama itu hal positif.” Sivia melengkungkan garis bibirnya. Membuat Alvin mendadak kehilangan topik pembicaraan di hadapan gadis yang malam ini terlihat sangat cantik itu.
“Mau masuk dulu?” tawar Sivia lembut. Sedetik, Alvin masih diam sejuta kata.
“Alvin?” sapa Sivia lagi yang berusaha membuyarkan lamunan seorang Alvin.
“Eh, iya? Kamu tadi bilang apa, Vi?” tanya Alvin gelagapan.
“Mau mampir dulu apa mau langsung pulang?” tanya Sivia sekali lagi.
“Hem… aku langsung pulang aja deh kayaknya. Aku gak mau ganggu waktu kalian buat ibadah. Titip salam aja buat orang tua kamu.” Sivia menganggukan kepalanya datar.
“Serius mau pulang? Padahal malem ini aku gak sholat tarawih, lho? Ini kan malem lebaran. Hem… ya udah kalau gitu aku masuk dulu ya, Vin?” pamit Sivia pasrah. Perlahan ia membuka pintu mobil Alvin.
“Sivia?!” panggil Alvin setelah beberapa detik Sivia menapakkan kakinya ke tanah. Dan Sivia pun menunduk, menengok ke arah Alvin yang saat itu menampakan ekspresi kebingungan.
“Kenapa? Kamu berubah pikiran?”
“Kamu cantik,” Sivia tergelak untuk sesaat dan kemudian tersenyum.
“Makasih. Ada yang mau diomongin lagi?” tanya Sivia canggung. Alvin menggeleng. Ini anak kenapa, sih? batin Sivia sambil berbalik badan.
“Sivia?!” panggil Alvin lagi.
“Iya, kenapa?”
“Enggak jadi,” Sivia membuang napas berat dibuatnya. Alvin terlihat sangat aneh malam ini.
“Sivia?!”
“Jangan bercanda mulu dong, Vin! Aku mau masuk ke rumah.” kesal Sivia benar-benar. Ia sama sekali tak menatap Alvin.
“Aku suka sama kamu,” Sivia tersedak mendengar ucapan Alvin. Ludah yang ada di mulutnya terasa sangat sulit untuk ditelan.
“Aku lagi gak mau bercanda ya, Vin. Udah, deh!” kata Sivia sedikit kesal. Ia tak menyadari kalau Alvin sudah berdiri di belakangnya.
“Aku gak bercanda, aku serius. Dan aku benar-benar suka sama kamu, Vi.” Sivia berbalik dan melihat jelas kedua mata Alvin yang begitu dalam menatapnya. Lalu ia beralih.
“Kamu beneran suka sama aku, Vin? Memangnya apa yang kamu suka dari aku?” Alvin tersenyum melihat Sivia berbicara tanpa melihat sedikitpun wajah lawan bicaranya.
“Apakah suka atau cinta itu butuh alasan?”
“Tapi aku mau tau alasan kamu,” Alvin mengangguk pelan. Ia berusaha mengubah posisi berdirinya agar ia bisa menatap mata Sivia.
“Aku suka semuanya yang ada di kamu.” kata Alvin asal.
“Aku suka denger kata-kata seperti itu di sinetron. Please, aku serius.” paksa Sivia penuh harap. Ia begitu erat menggenggam tali tas selempangnya yang masih setia menggantung di pundak kirinya. Alvin menarik napas kuat-kuat dan membuangnya perlahan. Meski ini bukan pertama kalinya Alvin menyatakan cinta kepada seorang gadis, namun ia masih saja kaku. Sivia itu gadis yang beda.
“Mau tau jawabannya kenapa aku suka sama kamu? Maaf, aku juga gak begitu paham dengan perasaan ini. Yang aku tau, aku selalu merasa tenang dan nyaman kalau aku di dekat kamu. Dan rasanya aku ingin berlama-lama berada di sisi kamu. Hem… mungkin itu alasannya.” Alvin mengangkat bahu pasrah.
“Lalu?” tanya Sivia kemudian.
“Aku, aku ingin kita lebih dari sekedar teman.”
“Maksud kamu? Aku gak ngerti, Vin.” ucapnya polos. Lantas Alvin dengan segera menggenggam kedua telapak tangan Sivia cepat.
“Aku cinta sama kamu, Sivia. Dan aku mau melanjutkan hubungan pertemanan kita ke jenjang yang lebih spesial lagi.” dahi Sivia mengernyit.
“Bolehkah aku jadi pacar kamu?” lanjut Alvin penuh harap. Sivia masih diam, ia terus menatap sendu tangan Alvin yang menggenggam erat tangannya.
“Maaf, aku gak maksud,” dengan segera Alvin melepaskan genggamannya di tangan Sivia.
“Tapi aku?” ungkap Sivia lirih. Matanya sedikit berkaca.
“Aku sama kamu itu,” belum sempat Sivia melanjutkan ucapannya, Alvin langsung memotong.
“Iya, aku tau. Dari semalem pun aku udah menyangka kalau alasan itu akan keluar dari mulut kamu.” Alvin mengangkat pundaknya lemas. Sepertinya ia sudah mengetahui apa jawaban Sivia.
“Alvin,”
“Kita memang beda, Vi. Tapi, apakah perbedaan itu selalu menjadi alasan dalam sebuah hubungan? Bukankah perbedaan itu indah?” Alvin mencoba tersenyum meski terlihat dipaksakan.
“Kita gak mungkin bersatu, Vin.” Sivia menunduk.
“Iya kah? Kenapa?”
“Kamu pasti tau alasan aku. Karena aku masih terlalu takut kalau orang tuaku tau anaknya memiliki hubungan spesial dengan pria yang berbeda keyakinan. Aku takut mereka melarang, Vin.”
“Kita yang akan menjalaninya, bukan mereka.” kata Alvin mantap.
“Tapi kalau itu memang alasan kamu buat nolak aku, aku gak memaksa.” kata Alvin lagi sambil melangkah mundur menjauhi Sivia.
“Aku yakin, Tuhan punya rencana lain yang lebih indah di balik pertemuan dan pertemanan kita selama ini. Dan aku yakin kalau perbedaan itu gak selamanya menjadi alasan yang menyakitkan dalam sebuah hubungan. Suatu saat nanti, perbedaan pasti akan bersatu.” Sivia menatap nanar langkah Alvin. Mulutnya semakin terasa sulit untuk berkata.
“Alvin,”
“Aku pamit. Makasih ya untuk waktunya. Dan maaf aku udah lancang sama kamu. Permisi!” Alvin berbalik dan mencoba membuka pintu mobil yang seakan sulit ia buka.
“Mungkin kamu bener, Vin. Memang Tuhan-lah yang menakdirkan kita untuk berbeda. Dan mungkin Tuhan jugalah yang menakdirkan kita untuk bersatu. Aku sangat yakin bahwa ini adalah alasan Tuhan menciptakan perbedaan. Yaitu untuk bersatu.” kata Sivia yakin. Sedangkan Alvin masih dalam posisinya. Berdiri dalam diam. Berusaha mengurungkan niatnya masuk ke dalam mobil.
“Dan aku gak bisa bohongi perasaan aku sendiri.” untuk sedetik, Alvin memejamkan mata. Begitupun Sivia.
“Sivia?”
“Alvin, aku belum jawab pertanyaan kamu, tapi kenapa kamu mau pergi? Hanya segitukah keberanian kamu?” sinis Sivia sedikit galak.
“Karena aku terlalu pesimis, Vi.” Alvin menunduk. Kepalanya ia paksakan untuk terasa gatal.
“Aku butuh pemimpin yang bertanggung jawab, bukan yang pengecut.”
“Maaf. Tapi aku janji bakal bertanggung jawab.” ucapnya yakin. Sivia terkekeh mendengarnya.
“Dan aku gak suka sama orang yang sering ngumbar janji.”
“Tapi aku beneran janji, Sivia.”
“Tuh, kan?! Udah aku bilang kalau aku gak suka sama orang yang ngumbar janji.” Sivia melipat tangannya di dada.
“Oke, oke! Aku gak mau janji. Aku cuma mau berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu.” kata Alvin seraya mendekati Sivia yang masih melipat dada itu.
“Gombal!”
“Aku serius.”
“Aku gak percaya!”
“Ya Tuhan. Sesulit inikah untuk jadi kekasih ciptaan-Mu yang satu ini?” Alvin mengangkat kepalanya ke atas. Di sana sudah terlihat jelas olehnya bintang-bintang yang berkedip.
“Alviiiiinn!!! Kamu nyebelin, deh!”
“Tapi kita udah resmi, kan?” goda Alvin dengan senyum jahilnya. Sivia melotot.
“Maunya?”
“Aku sayang kamu!” kata Alvin lagi tanpa menghiraukan ucapan Sivia sebelumnya. Sivia tersenyum.
“Aku juga sayang kamu!”

Mata mereka saling berbicara. Berbicara dengan kata-kata yang mungkin terlalu sulit untuk diterjemahkan oleh mulut. Cukup lama mereka mematung. Terlalu canggung untuk melakukan hal yang layaknya dilakukan sepasang kekasih baru.

Kurang dari dua detik Alvin memeluk Sivia. Dan dengan segera ia melepaskannya saat gema takbir saling beradu di udara.

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar