The King and The Queen
Pak
Alex menghela napas setelah dengan santainya beliau menyeruput segelas teh
manis yang dibuat dan dibawakan khusus oleh anak bungsu kesayangannya. Siapa
lagi kalu bukan Cakka Pratama. Ia sekilas membenarkan posisi duduk dan letak
kacamata yang selalu menghiasi raut wajah paruh bayanya. Lalu memandang sejenak
pohon beringin yang tingginya kini sejajar dengan tempat yang didudukinya
bersama sang anak.
“Jadi
karena perempuan bernama Sivia itu yang membuat Alvin berubah akhir-akhir ini?
Hmm…” hampir beberapa menit hening mengembara di antara mereka berdua setelah
Cakka selesai bicara sebelumnya, Pak Alex pun mulai merespon. Menanggapi cerita
serius sang anak yang melibatkan perubahan sifat Alvin yang dirasanya cukup
drastis itu.
“Sepertinya
begitu, Pi. Cakka yakin banget.” balas Cakka mantap. Seakan dugaannya itu tak
bisa diragukan lagi kebenarannya. Pak Alex menatap Cakka kemudian. Lalu
tersenyum seketika.
“Apa
dia kekasihnya Alvin?” pertanyaan singkat dari sang Papi tersebut langsung
membuat Cakka menelan ludah kuat-kuat. Hatinya mendadak pilu. Entahlah. Padahal
itu hanya sebuah pertanyaan sederhana yang memerlukan jawaban iya atau bukan.
Pak
Alex mengangkat salah satu alisnya. Heran melihat Cakka yang belum juga
menjawab pertanyaannya tadi. Ditambah dengan ekspresi wajah Cakka yang
cenderung datar, semakin membuat sang Papi mengernyit bingung dan sempat
menyimpulkan satu pertanyaan yang mengganjal. Ada sesuatu apa antara Alvin,
Cakka, dan perempuan bernama Sivia itu?
“Cakka?”
“Heh?
Iya kenapa, Pi?” Pak Alex menggeleng pelan. Tangannya kembali menjamah segelas
teh manis yang masih seperempat habis itu. Dan menyeruputnya penuh nikmat.
“Kamu
belum jawab pertanyaan Papi. Apakah Sivia itu kekasihnya Alvin?”
“Hmm…
setau Cakka sih bukan, Pi. Sivia itu adik kelas Cakka sama Alvin. Dia itu penerima
beasiswa di Sarfagos. Masa Papi gak tau?” tanya balik Cakka setelah
menjelaskan. Lantas Pak Alex langsung menyipitkan matanya begitu mendengar
kalau Sivia adalah salah satu penerima beasiswa di SMA yang mana dirinya
sebagai pemegang saham terbesar di dalamnya.
“Oh
ya?”
“Iya,
Pi. Dia sekelas sama Ify di X.1.” Pak Alex membulatkan mulutnya sambil
mengangguk berulang kali.
“Tapi
bukan karena Sivia dapet beasiswa kan yang bisa membuat Alvin berubah?” tanya
Pak Alex spontan. Di otaknya masih ada rasa penasaran yang begitu besar. Namun
sedetik kemudian beliau tersenyum setelah Cakka dengan polosnya mengangkat bahu
sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Sepertinya
Alvin sedang jatuh cinta sama Sivia.” cetus Pak Alex kemudian. Membuat anak
bungsu yang duduk tak jauh di sampingnya itu berpaling cepat ke wajahnya. Kaget
akan statement sang Papi yang
menyimpulkan sesuatu begitu saja.
“Heh?
Apa Papi bilang? Alvin jatuh cinta sama Sivia? Ah, gak mungkin!” tolak Cakka
refleks.
“Lho?
Kenapa emang?”
“Hmm…
ya enggak apa-apa. Maksudnya, mana mungkin Alvin jatuh cinta sama Sivia? Secara
gitu Alvin pernah bully Sivia di
depan kelasnya sendiri.” ucap Cakka ketus. Pak Alex tersedak mendengarnya.
“Hah?!
Alvin ngebully perempuan?” tanyanya
syok. Baru sekarang ini beliau mendengar kalau Alvin membully seorang perempuan. Karena setahu beliau, Alvin itu tipe
laki-laki yang paling tidak suka berurusan sama yang namanya perempuan. Melihat
Alvin jalan sama perempuan saja beliau belum pernah, apalagi sampai membully seperti yang dibilang Cakka
barusan.
“Eh,
hmm… bukan gitu maksud Cakka, Pi.” kata Cakka sedikit aneh. Alasannya hanya
satu, Cakka tidak ingin kalau Alvin sampai kena hukuman lagi oleh sang Papi jika
ucapannya tadi tidak cepat diralat. Soalnya kalau itu semua terjadi, toh Cakka
juga yang bakal kena imbasnya dari Alvin.
“Lho?
Tadi bilangnya gitu. Gimana sih kamu?” ujar Pak Alex mulai heran melihat sikap
anaknya yang sedikit labil.
“Maksud
Cakka itu, mana mungkin Alvin jatuh cinta sama Sivia? Orang mereka aja baru
kenal akhir-akhir ini. Udah gitu Sivia sama Alvin juga kaya kucing sama tikus,
suka debat-debat gak jelas.” kilah Cakka asal. Otaknya sudah berusaha untuk
mencari alasan yang masuk akal agar bisa menutup kesalahucapannya tadi. Dan
hanya itulah hasilnya.
Kontan
Pak Alex tersenyum kembali ke arah Cakka. Seakan paham dengan kisah percintaan
anak-anak zaman sekarang. Yang awalnya saling benci dan akhirnya akan menjadi
cinta. Itu sudah bukan rahasia umum lagi.
“Kok
malah ketawa sih, Pi? Aneh deh!” timpal Cakka heran.
“Ya,
lucu aja lihat kamu. Masa iya kamu selaku anak muda zaman sekarang masih gak
ngerti masalah kaya gitu?”
“Maksudnya?”
“Cakka…
anak Papi yang ganteng, pernah denger kan kata-kata benci jadi cinta?” untuk
sementara Cakka berpikir. Hampir setengah menit. Lantas mengangguk cepat ke
arah Papinya.
“Nah,
mungkin itu yang terjadi sekarang sama kakak kamu. Makanya dia bisa berubah
secepat itu.” kata Pak Alex maklum. Untuk sejenak Cakka tak bergeming. Mencerna
baik-baik kata-kata yang baru saja menyentuh gendang telinganya itu. Bener juga kata Papi. Gak mungkin Alvin
bisa berubah secepat itu kalau dia gak ada rasa apa-apa sama Sivia. Mungkinkah?
batinnya berbicara.
“Hmm…
bisa jadi juga sih, Pi.” sedetik, Pak Alex pun berdiri dan melangkah mendekati
pembatas balkon ruang keluarga di lantai dua. Beliau menghirup udara sore yang
cukup sejuk saat itu.
“Bagus
deh kalau begitu, Papi ikut senang mendengarnya.” Pak Alex langsung berbalik badan dan menatap
Cakka yang juga ikut berdiri dari duduknya.
“Papi
masuk dulu ya? Papi mau siap-siap buat ketemuan sama client Papi di kantor sore ini.”
“Hmm…
iya udah, Pi.” balas Cakka lembut dibarengi dengan usapan tangan Pak Alex di
kepalanya. Cakka tersenyum.
***
“Bagus
gak?” tanya Prissy saat dirinya baru saja keluar dari ruang ganti di sebuah
toko baju yang cukup luas itu. Ia memutar badannya pelan supaya cowok hitam
manis yang kini duduk tak jauh di depannya tersebut dapat melihat dan
memberikan komentarnya akan baju yang baru saja dicobanya itu.
“Hmm…
bagus. Tapi kependekan roknya.” respon si cowok yang tidak lain adalah Gabriel.
Membuat Prissy berdiri sejenak sambil memandangi ujung roknya.
“Oh,
gitu ya? Ngg… ya udah deh gue ganti lagi. Wait
ya? Hehehe.”
Gabriel
mengangguk dan tersenyum melihat Prissy yang langsung berbalik dan masuk
kembali ke ruang ganti. Kemudian ia menggeleng pasrah. Sudah berapa kali saja
cewek tersebut keluar masuk ke dalam sana. Sampai Gabriel mulai bosan karena
terus-terusan duduk sambil menunggu Prissy keluar kembali untuk sekedar meminta
komentar darinya. Coba saja tadi pas pulang sekolah Gabriel menolak ajakan
Prissy yang meminta buat mampir sejenak di toko baju yang dilewati mereka
berdua. Mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Padahal niat awal Gabriel
itu ingin mengajak cewek sipit berpipi chubby
tersebut untuk makan siang di restoran milik keluarganya. Tetapi ya sudahlah.
Toh sudah terlanjur juga Gabriel berada di sini.
“Taraaaaaa!!!
Kalau yang ini gimana? Pasti cocok kan? Gak kependekan dan gak ketat juga.”
ujar Prissy heboh. Lagi-lagi ia berputar di hadapan Gabriel yang kini melongo
tak jelas melihatnya.
“Hallo? Ada yang salah kah?” merasa tak
direspon, Prissy langsung melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Gabriel.
Gabriel tetap tak bergeming. Yang jelas kini matanya tak berpaling sedikitpun
dari sosok Prissy yang memakai gaun putih selutut dan tak berlengan itu. Sangat
cantik. Bahkan baru kali ini Gabriel melihat Prissy secantik dan semanis
seperti yang ia lihat sekarang.
“Loe
kenapa sih, Gab? Aneh deh!”
“Eh,
gak apa-apa kok. Sori gue ngelamun. Tadi loe nanya apa, Pris?” Gabriel berdalih
begitu tersadar dari bayang-bayang pesona Prissy. Sejenak, Prissy membuang
napas lewat mulutnya. Memaklumi akan keanehan yang terjadi pada cowok hitam
manis yang kini berdiri di hadapannya itu.
“Ini,
baju ini cocok gak buat gue?” tanya Prissy lagi kemudian. Gabriel lantas
berjalan mengitari tubuh Prissy sambil memainkan jari telunjuknya di dagu.
Prissy hanya mematung sebisanya.
“Hmm…
menurut gue cocok-cocok aja sih. Gak lebih. Gak kurang. Pas. Dan yang pasti… you look so beautiful, Pricilla.” puji
Gabriel jujur. Membuat wajah cantik bermata segaris milik Prissy itu mendadak
memerah jambu. Apalagi kini Gabriel menatapnya dengan penuh arti. Entahlah.
Prissy seakan tak bisa berkutik sekarang. Ia hanya bisa tersenyum semampunya.
“Thank you.”
“Never mind.” balas Gabriel singkat. Lalu
terdiam kembali hampir empat detik.
“Hmm…
eh, loe udah kan beli bajunya? Balik yuk? Udah sore nih.” ajaknya kemudian
sambil melirik arloji putih yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya.
Prissy mengernyit seketika.
“Lho
kok? Tadi katanya mau makan siang?”
“Udah
telat. Udah sore juga. Loe sih kelamaan belanjanya.” ucap Gabriel dengan
diselingi nada jengah saat menatap ekspresi Prissy yang terkesan tanpa dosa
itu.
“Heh?
Emang ini jam berapa sih?”
“Jam
setengah empat.”
“What?! Serius loe? Jadi, gue buang-buang
waktu hampir dua jam setengah cuma buat beli baju ini? Oh my Ghost!” Gabriel berdecak. Seakan di dalam hatinya berkata
baru-nyadar-loe? Lantas menggeleng tanpa ada keinginan untuk merespon balik
ucapan Prissy.
“I’m so sorry, Gabriel.” ungkap Prissy
merasa bersalah.
“Ya
udah gak apa-apa. Lain kali aja mungkin kita lunch barengnya. Ayo?” tanpa ada rasa ragu sedikitpun, Gabriel
menarik tangan Prissy cepat-cepat dan kemudian merangkulnya perlahan. Tak
perduli meski kini Prissy memandang aneh tangan Gabriel yang merangkul di
pundaknya tersebut.
***
Kilauan
oranye masih terbesit indah dan membentang lurus di antara perbatasan langit
dan bumi di ufuk barat. Bersamaan dengan terbenamnya sang surya yang akan
menutup lelahnya setelah menyinari bumi kurang lebih duabelas jam dalam sehari.
Sinar terangnya sedikit demi sedikit mulai meredup. Malam pun tiba dengan
disambut gerombolan kelelawar yang berterbangan kian ke mari mencari makan.
Di
sebuah tempat tidur dengan bed cover
ungu bergambarkan tokoh kartun Jepang di salah satu rumah megah berlantai dua
itu terlihat seorang cowok tinggi kurus sedang memandangi layar laptop sambil
menopang dagu di atas bantal. Kaos oblong putih dengan boxer hitam pekat
bercorak polkadot masih melekat di tubuhnya sejak ia tertidur sepulang sekolah
siang tadi. Pertanda kalau dirinya sedang malas keluar kamar untuk sekedar
mandi ataupun menyapa kedua orang tuanya di hari yang mulai malam ini. Ia
seakan sudah terjebak dalam kenyamanannya di atas kasur. Cowok itu… Rio
Sebastian.
Sesekali
Rio melirik ponsel yang tergeletak tak jauh di sampingnya. Masih sama. Tak ada
satu nada panggilan ataupun sms yang biasanya ia dapat sebelum-sebelumnya. Rio
mulai mendecak sebal. Benar-benar bad
mood detik ini. Lantas dengan malas Rio mengambil ponsel tersebut dan
memainkannya asal sampai akhirnya ia menemukan ide untuk menelpon seseorang. Seseorang
yang entah kenapa membuatnya tersenyum mendadak seperti sekarang ini.
“Hallo?” panggilan di ujung sana mulai
terdengar meski sedikit redup. Walaupun begitu Rio kembali tersenyum. Suara
tersebut berhasil memecah perasaan jengah yang sempat dirasakannya tadi.
“Hallo, Fy?” balas Rio sumringah.
Ternyata seseorang yang ditelponnya itu adalah Ify. Cewek berbehel yang
dianggapnya sebagai bidadari terbeautiful
di dunia ini.
“Iya,
kak. Tumben nelpon. Ada apa?”
“Hmm…
gak apa-apa sih. Cuma pengen nelpon aja. Kenapa gitu? Ganggu ya?” Rio merubah
posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya terfokus pada langit-langit yang
mungkin sudah
tergambar
wajah Ify di sana. Ya, mungkin.
“Enggak
juga kok. Lagian tumben aja kak Rio nelpon gue. Kangen ya? Hahaha.” Ify
terkekeh setelahnya. Entah ia sedang bercanda atau memang sedang memberi kode.
“Aih…
kok tau sih? Loe peramal ya, Fy?”
“Hahaha.
Tau lah, kak! Cieeeeee… yang lagi kangen gue.”
“Ya
begitulah. Hehehe. Hmm… eh, loe lagi apa sih?”
“Udah
kepo ya sekarang? Ish!”
“Please deh, Fy! Orang nanya gak ada
salahnya kan? Lagian tinggal jawab aja apa susahnya sih?”
“Iya-iya,
jangan bawel! Gue lagi duduk-duduk gak jelas aja. Loe sih, kak?”
“Oh
gitu? Hmm… gue? Gue baru bangun tidur nih, abis mimpiin loe tadi. Hehehe.”
balas Rio terkekeh. Lalu ia bangun dan duduk bersila sambil tangannya menyambar
bantal guling.
“Aih…
itu ngegombal, kak? Ish! Muka loe itu gak pantes buat ngegombal tau, kak?!
Lebih cocoknya buat ngemis. Hahaha.” glek! Rio seketika menelan ludahnya kuat.
Kata-kata dari Ify barusan itu terasa sangat entahlah. Ia memutar mata
kemudian.
“Canda
kak, canda. Gitu aja langsung ngambek.” lanjut Ify saat Rio tak balik merespon
dan menyangka kalau Rio menanggapi serius candaannya tadi.
“Heh?
Siapa yang ngambek? Orang lagi mikir juga. Bingung nih mau ngomong apalagi.”
“Oh
ya? Bagus deh kalau gitu. Hmm… ngomong-ngomong tadi kan kak Rio baru
bangun tidur tuh? Udah mandi belum?”
“Oh,
belum dong! Hehehe. Kenapa gitu?”
“Ish!
Pantesan aja dari tadi bau. Aih…”
“Hahaha.
Ada-ada aja loe, Fy. Lagi males keluar kamar gue.”
“Terus
hubungannya sama belum mandi apa?”
“Ya,
kan kamar mandinya ada di luar kamar.”
“Serah
loe deh, kak. Udahan ah!”
“Lho?
Kok udahan sih?”
“Ya,
suka-suka gue dong?! Toh ngapain juga telpon-telponan sama orang yang belum
mandi? Ish! Jorok banget!”
“Iya
deh iya gue mandi. Padahal kan gak mandi juga gue mah tetep cakep.”
“What to the Ever. WHATEVER!!! Intinya
gue gak mau telponan sama orang yang jorok. Do
you understand?”
“Iya,
gue ngerti. Gue mandi nih. Tapi jangan di matiin ya?” Ify langsung mengernyit
mendengarnya. Rio memang suka keluar jalur kalau bicara.
“Lho?
Kenapa gak boleh dimatiin?”
“Ya
loe nungguin gue mandi gitu, Fy.”
“Males
pakai banget! Kaya gak ada kerjaan lain aja.”
“Ayolah,
Fy! Gue mandinya bawa handphone aja
deh ya?”
“What?! Kak Rio, please deh jangan ngawur kalau ngomong!”
“Gue
serius, Ify.”
“Serah
loe deh, kak. Udah sana mandi cepetan! Gue matiin ya, kak? Bye!” dan klik! Ify mematikan sepihak sambungan teleponnya.
“Eh,
Fy? Aih… dimatiin! Ck!” sedetik, Rio memandangi LCD handphonenya dengan tatapan sendu. Namun sedetik kemudian ia
kembali tersenyum. Ada rasa senang tersendiri di hatinya kalau sudah mendengar
suara Ify.
“Ify…
Ify… rasanya cuma loe cewek satu-satunya yang bisa menjadikan hidup gue lebih
indah lagi. Iya, cuma loe.” lalu Rio turun dari kasur dan melangkah keluar
kamar setelah sebelumnya ia mengangkat bahu. Merasa heran dengan perasaan yang
ada di dadanya akhir-akhir ini. Terlebih saat dirinya mengenal seorang Ify.
***
“Loe
suka sama Sivia, Vin?” tanpa ada angin dan hujan sedetikpun, pertanyaan itu
bagaikan petir dengan kekuatan super dahsyat yang menyambar pendengaran milik
seorang Alvin yang saat itu terduduk memandangi langit di balkon kamarnya.
Alvin tergelak sesaat. Derap langkah kaki Cakka terdengar semakin mendekat.
“Tau
etika kalau masuk ke kamar orang kan?” bukannya menjawab pertanyaan adiknya
tersebut, Alvin dengan nada lumayan sinis malah balik bertanya.
“Ck!
Gue nanya buat dijawab, bukan buat ditanya balik!” balas Cakka tak kalah sinis.
Membuat Alvin yang sebelum kedatangan Cakka memancarkan wajah berserinya itu
kini langsung berubah drastis dengan melototkan mata ke arah adiknya.
“Apa
sejak kecil loe gak pernah diajarin buat ketuk pintu terlebih dahulu sebelum
masuk ke kamar orang hah? Udah lupa?!” Cakka tetap tak menggubris. Bahkan dengan
wajah datarnya ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana kemudian
berjalan mendekati pembatas balkon.
“Cuma
jawab aja apa salahnya sih, Vin? Toh pintu kamar loe kebuka, kenapa mesti ketuk
pintu? Ck! Kaya gak tau gue aja.” tukasnya santai. Alvin kembali berdecak. Tatapan
membunuhnya ia tujukan ke arah Cakka yang kini memunggunginya.
“Tapi
gue gak suka!”
“Oh,
ya udah. Kalau gitu gue minta maaf. Clear
kan? Sekarang jawab pertanyaan gue. Loe suka sama Sivia atau nggak?” Cakka
berbalik badan dan menatap Alvin yang sudah berdiri dari duduknya.
“Itu
bukan urusan loe!”
“Jawab
pertanyaan gue, Alvin Pratama! Gue kan nanya baik-baik, gak ngajak ribut.”
gertak Cakka mulai naik pitam dengan sikap kakaknya tersebut.
“Udah
gue bilang itu bukan urusan loe! Loe ngerti bahasa Indonesia gak sih, Cak?! Apa
perlu gue pakai bahasa asing biar loe ngerti? Ck! Heran gue sama loe.” sindir
Alvin kemudian. Entah ia sendiri belum paham betul apa tujuan Cakka menanyakan
hal itu kepadanya. Lalu memutar matanya kesal.
“Oke,
kalau emang loe gak mau jawab. Gak masalah kok. Gue cuma gak mau aja kalau loe
sampai tega mempermainkan hati Sivia. Ya, meskipun gue tau sih kalau Sivia gak
ada perasaan apa-apa sama loe. Tapi feeling
gue bilang kalau loe suka sama dia. Bener kan, Vin?” jelas Cakka panjang lebar
sambil kembali membelakangi Alvin dengan diakhiri pertanyaan singkat. Matanya
mulai tertuju ke bintang-bintang yang ada di atas sana.
“Terus
apa hubungannya sama loe kalau gue suka sama Sivia? Loe bukan siapa-siapanya
dia kan?” tanya Alvin dengan nada sinisnya. Sekejap, Cakka terpaksa menelan
ludahnya kuat-kuat begitu baru sedetik terlontarnya pertanyaan tersebut dari
mulut Alvin. Bingung harus menjawab apa.
“Hmm…
ya, gue… gue cuma gak suka aja kalau loe ngelakuin yang nggak-nggak sama Sivia.
Seperti sebelum-sebelumnya. Gue gak suka, Vin. Sivia cewek baik.” jawab Cakka
sebiasa mungkin. Alvin pun berdecak. Seakan sudah mengetahui betul apa yang ada
di hati dan pikiran adiknya tersebut.
“Ck!
Gue tau kalau itu bukan alasan utama loe.” sindir Alvin. Cakka langsung
tergelak. Ia menengok ke arah Alvin dengan tatapan heran.
“Maksud
loe?”
“Jangan
pernah berlagak bego di depan gue! Loe suka kan sama Sivia?” tukas Alvin dengan
pertanyaan yang sama ketika Cakka mendatangi kamarnya beberapa menit yang lalu.
Cakka langsung tersentak mendengarnya. Pertanyaan tersebut bagai bumerang yang
kini berbalik menyerang padanya.
“Gue
suka sama Sivia?” ucap Cakka polos sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah
sendiri. Alvin menyeringai ketus.
“Harusnya
gue yang khawatir sama loe, Cak.” kemudian ia tertawa sinis sambil melewati
tubuh Cakka yang masih terpaku.
“Heh?”
“Gue
emang pernah menyakiti Sivia dan bikin dia nangis, tapi bukan berarti loe mesti
mencurigai gue terus-terusan kan?!”
“Bukan
gitu maksud gue, Vin. Gue cuma…”
“Loe
cemburu sama gue?” glek! Cakka kembali tergelak. Pertanyaan Alvin yang satu ini
entah kenapa tepat sekali atau bahkan benar-benar sangat tepat dengan apa yang
sedang dirasakannya saat melihat kedekatan Alvin dan Sivia akhir-akhir ini.
“Loe
cemburu karena gue udah deket sama Sivia. Iya kan, Cak?!” gertak Alvin
tiba-tiba. Namun Cakka malah tak bergeming sedikitpun. Tak mampu lagi mulutnya
mengeluarkan kata-kata di dekat Alvin.
“Loe
boleh cemburu sama gue, tapi bisa kan gak mesti nuduh gue yang nggak-nggak? Ck!
Harusnya loe mikir dulu sebelum ngomong! Yang bakal nyakitin Sivia itu gue apa
loe hah?!” dan di dalam diamnya, Cakka menyempatkan diri untuk mengernyit
ketika mendengar perkataan Alvin.
“Gue
gak pernah sedikitpun punya niat buat nyakitin Sivia. Ngerti?!” ucap Cakka
akhirnya. Dan itu membuat Alvin langsung tertawa meremehkan. Seakan-akan Alvin
tidak pernah tau sifat dan karakter adiknya tersebut. Ia menepuk pundak Cakka
perlahan.
“Cakka
Pratama, cowok terpopuler di Sarfagos. Gue kenal loe sejak bayi, gue tau apapun
tentang loe yang mungkin loe sendiri gak tau.”
“So?” Alvin tersenyum sesaat. Kemudian
kembali menampakan ekspresi meremehkannya dengan cepat.
“Ck!
Loe boleh berpikiran negatif tentang gue, gue terima. Itu hak loe. Tapi bukan
berarti loe jauh lebih baik dari gue!”
“Maksud
loe apaan sih? Gue gak ngerti. To the
point aja bisa kan?”
“Oh,
oke kalau begitu. Dulu gue emang pernah menyakiti Sivia, bikin dia nangis dan
malu di depan temen-temen gue. Tapi setidaknya sekarang gue udah bisa membuat
Sivia tersenyum dan tertawa karena gue. Bukan seperti loe yang awal-awalnya
berlagak menjadi pahlawan buat dia, tapi nanti ujung-ujungnya loe sendiri yang
bakal nyakitin dia. Cih!”
“Loe
ngomong apaan sih, Vin? Kayanya yakin banget kalau gue bakal nyakitin Sivia.”
Cakka terheran.
“Hahaha.
Cakka… Cakka… selain bego, loe juga jago ya bikin cewek berharap? Sampai-sampai
Sivia juga jatuh hati sama loe karena harapan-harapan palsu loe itu. Salut gue.”
“Vin,
gue gak pernah memberikan harapan palsu ke Sivia. Gue cuma berusaha untuk
selalu ada saat dia butuh gue. Itu aja.” Alvin mendesis seketika. Terlalu lucu
mendengar kilahan dari seorang Cakka tersebut.
“Itu
apa namanya kalau bukan harapan palsu hah? Loe tau kan perasaan Sivia itu kaya
gimana kalau ada cowok yang berperilaku seperti yang sering loe lakuin ke dia?
Pasti dia bakal mikir kalau loe punya perasaan lebih sama dia. Ck! Loe
bener-bener jahat, Cak! Gue gak bisa bayangin kalau Sivia sampai bener-bener
jatuh cinta sama loe, sedangkan perasaan loe masih tak mau lepas sama cewek
masa lalu loe. Cowok macam apaan loe hah?”
“Cewek
masa lalu gue?”
“AGNI!!!”
sambar Alvin cepat-cepat.
“Vin,
serius gue gak…”
“Jangan
mengelak! Gue bukan tipe orang yang mudah dibohongin. Hmm… sekarang gini aja
deh, kalau emang loe gak bisa lupain Agni di hidup loe, loe jangan pernah
deketin Sivia lagi! Gue gak mau Sivia sampai tau kalau loe cuma memberi harapan
palsu ke dia.” suruh Alvin sinis. Lalu melangkah perlahan meninggalkan Cakka.
“Loe
gak ada hak buat larang-larang gue deket sama siapapun, apalagi sama Sivia!”
Alvin berhenti seketika. Membuang napas sambil memutar mata saat Cakka dengan
tegasnya membentak. Kemudian membalikan badan dan tertawa sinis.
“Tapi
loe suka sama Agni kan?” tanya Alvin lembut. Mungkin sedikit melenceng dari
perkataan Cakka tadi. Tapi itulah alasannya kenapa Alvin menyuruh Cakka
menjauhi Sivia. Karena ia sendiri tau kalau Cakka masih menyimpan rasa yang
pernah terpendam kepada Agni yang faktanya dulu adalah sahabat kecilnya.
Cakka
lagi-lagi mematung. Alvin benar-benar seperti peramal yang bisa mengetahui apa
saja yang orang lain sedang rasakan. Walaupun sebenarnya ia tau kalau Alvin
hanya asal tebak, tapi kenyataannya itu hampir sembilan puluh persen benar
adanya. Cakka tak bisa mengelak lagi. Kembalinya Agni ke Indonesia seakan
membawa dan membentuk lagi separuh hatinya yang dulu pernah hilang begitu saja.
Bahkan di sekolah pun Cakka sudah jarang lagi bertemu dengan Sivia dan lebih
banyak mengahbiskan waktu istirahatnya dengan Agni. Tidak seperti saat Cakka
pertama kenal dengan Sivia.
“Loe
gak bisa jawab kan, Cak? Ya udah makanya jauhin Sivia. Toh itu demi kebaikan
loe juga. Loe gak mau kan kalau Sivia sampai benci sama loe seperti dia benci
sama gue dulu? Think again, brother!
Sebenernya hati loe itu buat siapa? Sivia… atau Agni? Jangan coba-coba memberi
hati untuk keduanya!” ujar Alvin pelan dan penuh penekanan. Dan kemudian
melanjutkan langkahnya meninggalkan Cakka. Cakka membuang napas kuat-kuat.
Berusaha merenungkan kembali kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut
kakaknya.
“Ck!
Mungkin loe bener, Vin. Tapi hati gue masih belum bisa menentukan semua ini.
Arrrggghhh!!!” sedikit stres, Cakka mengacak rambutnya asal. Entahlah akan
bermimpi seperti apa ia nanti malam.
***
Sarfagos Senior High School.
Sepuluh
menit setelah bel istirahat kedua berbunyi, Cakka langsung bergegas menuju
kelas X.1 dan mengajak salah satu siswi di antaranya ke suatu tempat. Tempat
yang faktanya selalu ia kunjungi saat bersama siswi tersebut. Perpustakaan. Dan
siswi itu siapa lagi kalau bukan… Sivia.
Sivia
sejak tadi mengernyit melihat ulah Cakka yang menggandeng tangannya tanpa
sedikitpun mengeluarkan suara. Sampai sekarang mereka duduk di salah satu kursi
yang tak jauh dari jendela tersebut belum ada juga sepatah kata pun yang mereka
ucapkan hanya untuk sekedar basa-basi atau apalah itu namanya. Cukup lama
terdiam, Sivia akhirnya angkat bicara. Memecah keheningan di tempat duduk
mereka berdua.
“Kak
Cakka kenapa sih? Kok diem aja dari tadi? Terus maksud kak Cakka ajak aku ke
sini mau ngapain?” tanya Sivia bertubi-tubi. Cakka masih tetap diam. Ia hanya
melirik dengan sedikit senyum ke arah cewek yang dasi kupu-kupunya sedikit
berantakan itu.
“Kak
Cakka gak kenapa-kenapa kan?” lanjut Sivia pelan. Terbesit rasa khawatir di
dalam hatinya saat menatap mata Cakka yang sungguh dalam. Cakka langsung
menggeleng.
“Kak
Cakka kenapa sih sebenernya?! Heran deh! Tadi kakak bawa aku ke sini secara
paksa, sekarang kakak malah diem. Gimana sih?!” Cakka terkekeh seketika.
Mungkin karena lucu melihat wajah kesal milik cewek cantik berlesung pipi satu
di dekat bibir bawahnya itu.
“Entar
malem aku jemput kamu ya, Vi? Kita ke Prom
Night bareng.” Cakka berucap dengan santainya tanpa menjawab terlebih dulu
ocehan dari Sivia tadi. Sontak membuat cewek tersebut menampakan wajah syoknya
dengan dahi mengernyit.
“Heh?
Kak Cakka mau jemput aku entar malem? Hmm… eh, mending gak usah deh! Aku gak
mau ngerepotin kakak. Gak apa-apa kan, kak?” tolak Sivia meski tidak enak hati
mengucapkannya.
“Oh,
nggak kok. Aku gak ngerasa direpotin sama kamu. Kan aku yang ngajak, bukan kamu
yang minta. So, kamu gak usah
khawatir, Vi.”
“Tapi,
kak?” baru saja Sivia hendak memberi penolakan yang lebih signifikan, tangan
Cakka sudah bersandar di bahu Sivia. Begitupun wajah Cakka yang kini sangat
dekat dengan wajahnya itu memberikan tatapan memohon.
“Vi,
kamu kenal kakak udah lumayan lama kan? So,
udah gak perlu buat kamu canggung-canggung lagi sama kakak. Oke?”
“Iya,
aku tau. Tapi kali ini aku bener-bener gak bisa, kak. Aku…”
“Kamu
kenapa? Kamu gak mau dateng?” tanya Cakka masih dengan merangkul bahu Sivia.
Sivia menggeleng.
“Bukan
gitu maksud aku, kak. Cuman aku udah sama kak…”
“SIVIA!!!
Aih… dari tadi gue cariin ke mana-mana, ternyata loe ada di sini. Ish! Kak
Cakka juga gak bilang-bilang dulu kalau mau nyulik Sivia. Kalau tau gitu kan
gue gak perlu repot-repot nyariin dia.” belum sempat Sivia selesai bicara, Ify
yang baru datang tiba-tiba memotongnya begitu saja. Membuat Cakka dan Sivia
saling pandang melihat tingkah Ify yang mengoceh tak jelas.
“Kenapa
sih, Fy?” tanya Sivia mewakili Cakka juga.
“Gue
mau ngajak loe makan. Ayo! Laper nih gue.” cepat-cepat Ify menarik tangan Sivia
dari duduknya.
“Tapi
kak Cakka gimana?”
“Udahlah
biarin! Gak apa-apa kan, kak?” kata Ify sekenanya. Melihat ekspresi wajah
keponakannya yang menyebalkan itu, Cakka hanya mengangguk pasrah. Kemudian
tersenyum ke arah Sivia yang seakan bilang pamit ketika Ify menggandeng
tangannya keluar perpustakaan.
“Hmm…
ck! Punya ponakan gitu amat ya? Ganggu kesenangan orang lain aja kerjaannya.
Huh!” gumam Cakka pelan. Matanya ia edar ke sekeliling perpustakaan yang saat
itu memang sepi. Cuma ada dirinya bersama Pak Bruno–penjaga perpus–yang
tertidur pulas di meja kerjanya. Kemudian Cakka tersenyum dan menggeleng.
***
“Aih…
gue gak sabar nunggu malem. Kira-kira gue bakal ngapain aja ya sama My Bidadari Terbeautiful gue? Hmm…” gumam Rio sembari membayangkan sosok Ify yang
entah akan secantik apa pas di Prom Night
nanti. Wajah manis Rio tiba-tiba berseri. Sedangkan kedua sahabatnya yang sejak
tadi seru-seruan bercanda dengan lempar-lemparan kertas itu tak menggubris
sedikitpun ucapan Rio. Terkesan bosan kalau mendengar Rio berbicara masalah Ify
yang ujungnya akan melenceng ke mana-mana. Seperti yang sudah-sudah.
“Eh,
loe berdua sama siapa sih sebenernya? Gue penasaran maksimal deh beneran.”
tanya Rio yang berhasil membuat Alvin dan Gabriel berhenti dari aktivitas
mereka. Sontak Alvin dan Gabriel langsung mendekatkan mulut mereka ke kedua
telinga Rio.
“KEPO!!!”
kompaknya kemudian.
“Aih…
biasa aja bisa?! Gue belum budek kok.” tukas Rio seraya mengusap-usap kedua
telinganya cepat.
“Nah,
itu dia yang kita mau! Iya gak, Gab?” Gabriel terkekeh menjawabnya.
“Heh?!
Sialan loe berdua! Gue nanya serius tau?!”
“Kita
juga jawab serius tadi. Gimana sih?” timpal Gabriel tak mau kalah. Alvin
mengangkat jempolnya menyetujui.
“Serah
loe berdua deh! Yang jelas gue tunggu gandengan loe-loe pada ya entar malem?”
“Siap!!!”
teriak Alvin dan Gabriel sambil hormat. Lalu tertawa tak jelas. Membuat semua
anak-anak XI IPS 2 yang tadinya sibuk masing-masing pun kini beralih pandangan
ke arah mereka bertiga. Selalu dan selalu begitu. Alvin dan kawan-kawan tak
pernah absen memberikan kesan aneh tersendiri tatkala sedang berkumpul bareng.
Seakan-akan dunia yang sangat luas ini milik mereka bertiga gitu deh.
“Apa
loe lihat-lihat hah? Baru tau orang ganteng lagi kumpul?” timpal Rio asal ke
arah teman-teman kelasnya. Sontak membuat sorakan keras menggema seketika di
sana. Sorakan untuk kepercayaan diri seorang Mario Sebastian tentunya. Begitu
juga dengan Alvin dan Gabriel yang ikut memberikan sorakan kepada salah satu
sahabatnya tersebut. Namun Rio malah tersenyum dan memberikan ciuman jauh
kepada teman-temannya itu. Dasar Rio aneh.
***
Shilla
berjalan pelan di samping Ray yang masih saja terdiam sejak sebelas menit yang
lalu, saat Ray tanpa sengaja bertemu dengan Shilla di dekat perbatasan antara
kelas X dan kelas XI. Kini mereka berjalan berdampingan menuju gerbang sekolah
untuk pulang. Shilla pun ikut tak bergeming, terkesan ingin menunggu Ray angkat
bicara terlebih dahulu dengan sesekali matanya melirik dan tersenyum ke arah
cowok berambut sedikit gondrong tersebut.
“Hmm…
Shil?” ujar Ray spontan. Lantas Shilla menautkan senyuman sebagai jawaban
sekaligus pertanyaan balik darinya.
“Ng…
entar malem jangan lupa ya? Gue ke rumah loe sekitar jam tujuhan. Oke?” kata
Ray seraya berhenti pas di tengah gerbang.
“Oh,
itu? Shilla gak bakal lupa kok, kak. Kak Ray santai aja. Entar malem Shilla
tunggu ya di rumah?” balas Shilla tersenyum.
“Oke
deh kalau gitu. Loe pulang sama siapa? Gue anterin ya?” tawar Ray kemudian.
Meski banyak siswa lain yang berlalu lalang keluar gerbang, Ray dan Shilla
malah enjoy saja berdiri di
tengah-tengah tanpa memperdulikan siapapun yang melihatnya.
“Woy!
Kalau pacaran jangan di tengah jalan dong! Gue mau lewat nih.” tukas seseorang
dengan sedikit berteriak di balik helmnya yang masih melekat tanpa dibuka
sedikitpun. Namun teriakan itu terdengar cukup jelas di telinga Ray dan Shilla.
Sontak mereka berdua menengok dan menemukan sosok Cakka dan Ify yang duduk di
atas motor dengan memamerkan deretan gigi putihnya. Ray pun berdecak seketika.
“Siapa
yag pacaran sih? Ngarang mulu!” Cakka tertawa kecil mendengar ucapan Ray
tersebut. Sedangkan Shilla hanya memilih diam ketimbang ikut angkat bicara.
Yang ada ia akan diledek terus-terusan oleh Cakka.
“Pacaran
juga gak apa-apa kok. Kalian cocok tau?! Kak Ray ganteng, Shilla juga cantik.
Iya kan, kak Cakka?” Ify menimpali. Cakka langsung mengangkat jempol sebagai
tanda setujunya akan tanggapan Ify itu.
“Ih,
Ify! Kok kamu jadi kaya kak Cakka sih? Suka ngeledekin Shilla sama kak Ray
gitu.” Shilla memanyunkan bibirnya sedetik.
“Bukan
gitu maksud gue, Shil. Gue cuma bilang jujur kok. Kalian emang cocok! Swear!”
“Ya
udah deh daripada kita ganggu kalian di sini, kita duluan ya? Have fun. Bye!”
“Bye, Shil!” Cakka dan Ify terkekeh
sebelum mereka pergi dari hadapan Ray dan Shilla yang kini memasang wajah badmoodnya.
“Mentang-mentang
punya hubungan darah, kompak ya nyebelinnya?” ucap Ray heran. Kemudian saling
pandang dan berbalas senyum dengan Shilla sebelum akhirnya kembali terdiam.
***
Time
to Prom Night.
Bulan
tersenyum. Cahaya terangnya membias ke setiap jutaan bintang yang juga tak
kalah indahnya dengan sang ratu malam tersebut. Ditambah dengan tiupan angin
yang tak begitu kencang itu ikut menggenapkan suasana damai yang dapat
dirasakan semua insan yang ada di dunia ini.
Dengan
helaan napas yang sedikit gugup, Alvin masih setia berdiri di dekat pintu sambil
mondar-mandir tak jelas untuk menunggu seseorang yang belum juga keluar meski
sudah hampir setengah jam Alvin menunggu di sana. Sembari matanya dengan
sesekali melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Ia mulai berdecak
gelisah. Rasa bosan sedikit demi sedikit menyeruak di otaknya. Namun baru saja
Alvin hendak duduk di kursi yang ada di teras rumah tersebut, tiba-tiba sebuah panggilan
lembut menyapanya perlahan.
“Maaf
lama, kak.” kata seseorang yang baru saja muncul di balik pintu. Seseorang yang
tentunya sedang ditunggu Alvin sejak tadi. Sontak membuat Alvin sedikit
tersentak kaget dibuatnya begitu baru sedetik dirinya menengok ke arah sumber
suara.
“Sss…
Sii… Sivia?” Alvin tiba-tiba mendadak kaku. Bahkan mulutnya seakan-akan sulit
untuk berbicara walaupun hanya satu kata. Cewek yang kini berdiri tak jauh di
hadapannya itu terlihat bukan seperti Sivia yang ia tau sebelumnya. Dengan
sedikit menelan ludah, Alvin memandangi tubuh Sivia dari bawah ke atas dan
sebaliknya. She is so beautiful!
Sedangkan
Sivia masih berdiri mematung. Matanya mengikuti arah pandang Alvin yang
terkesan syok jika dilihat dari ekspresi wajahnya tersebut. Dan faktanya memang
benar begitu. Alvin syok melihat aura wajah Sivia yang sangat mempesona dengan
pakaian yang cukup simpel tapi terlihat elegan. Gaun putih yang menjuntai indah
sampai lutut dan tanpa lengan itu membalut tubuh Sivia dengan sempurna. Flat shoes dengan sentuhan
berlian-berlian kecil di ujungnya juga ikut serta mengindahkan penampilan kaki
jenjang Sivia malam ini. Tak ketinggalan juga kalung perak berbandul hati yang
melingkar di leher Sivia pun sempat menjadi pusat perhatian Alvin selaku si
pemberi kalung yang kini dipakai oleh gadis sedikit tomboy yang sudah
bermetamorfosis menjadi permaisuri tersebut. Alvin sedikit tersenyum. Berusaha
menetralkan rasa gugup yang menggelegar dalam hati, pikiran, serta jiwanya.
Sedangkan
Sivia masih berdiri gelisah di hadapan seorang Alvin. Mulai resah karena
ditatap seperti itu oleh cowok yang kini terlihat lebih maskulin dengan
mengenakan jas hitam pekat yang pas dengan bentuk badannya dan dipadukan dengan
kaos yang warnanya senada dengan semua aksesoris yang dikenakan Sivia malam itu.
Warna putih polos tanpa corak. Serta celana jeans
hitam berbias putih di bagian pahanya ditambah sepatu sneackers yang juga matching
dengan warna jeans yang dikenakannya tersebut
memberi kesan kalau Alvin bukanlah tipe orang yang suka berdandan formal.
Terkesan simple dan casual.
“Apa
ada yang salah sama baju yang aku pakai, kak?” tanya Sivia sembari mengoreksi
kembali semua yang ia kenakan dari bawah sampai atas. Alvin langsung tersentak.
Tersadar dari ekspresi terpesonanya melihat Sivia yang super cantik malam ini.
Sampai-sampai ia sendiri tak menyadari berapa lama ia mematung sejak kehadiran
Sivia sekitar limabelas menit yang lalu.
“Hmm…
eh, ng… gak ada kok, Vi. Gue cuma kaget aja lihat loe pakai baju kaya gini.”
jawab Alvin refleks.
“Gak
pantes ya, kak? Hmm… aku emang gak pernah dandan seperti ini, jadi rasanya aneh
gitu. Apa aku ganti aja?” tanya Sivia dengan sedikit menyunggingkan senyum
terpaksanya.
“Oh…
jangan-jangan, Vi! Nggak kok, loe cantik. Cantik banget malah. Gak terlalu glamour, tapi good looking! Sederhana deh pokoknya.” ucap Alvin seadanya sambil
menggelengkan kepala berulang kali. Sivia tersenyum kemudian, membuat bibir
merah mudanya mengembang manis tanpa komando.
“Kak
Alvin bisa aja. Hmm… tapi kak Alvin juga ganteng sih, sedikit.” Sivia terkekeh.
“Tanpa
loe bilang pun, gue udah ganteng dari sananya. Ayo berangkat! Entar telat lagi.”
ajak Alvin seraya mengakat sedikit lengan kirinya. Memberi kode ke Sivia untuk
menyelipkan tangan kanannya seperti para pangeran di luar sana yang hendak
menggandeng permaisurinya yang sangat cantik jelita.
“Thanks!” gumam Sivia setelah dengan
lembut tangannya menggapit tangan Alvin. Mereka pun berjalan sebiasa mungkin
menuju mobil Ferrari 458 Spider
berwarna silver dengan kap terbuka
yang terparkir di depan rumah Sivia.
“Bentar,
sang pangeran akan membukakan pintu untuk permaisurinya terlebih dahulu.” ucap
Alvin sembari menundukkan badan dan membuka perlahan pintu mobil. Sivia
terkekeh seketika.
“Serasa
jadi permaisuri beneran deh. Hehehe.” Alvin tersenyum saja membalasnya. Lantas
ia berlari kecil menuju tempat kemudi saat Sivia sudah terduduk manis lengkap
dengan sabuk pengaman yang mengait di tubuhnya. Mereka pun mulai melaju menuju
pesta.
***
Satu
per satu siswa Sarfagos berdatangan dengan pasangan masing-masing serta
berdandan layaknya anak muda sekarang yang terkesan gaul dan sedikit sentuhan glamour ditambah make-up seperlunya. Walaupun ada saja satu-dua-tiga siswi yang
berdandan ala “Mommy” yang
berlebihan. Jadi kesannya terlihat jauh lebih tua dari dandanan seharusnya.
Tapi walaupun begitu mereka tetap enjoy
demi menikmati acara yang diadakan Sarfagos setiap tahunnya tersebut.
Dan
malam ini, suasana Sarfagos sudah disulap sedemikian rupa menjadi tempat yang
sangat menyenangkan. Banyak makanan dan minuman yang tersedia di atas meja yang
tersebar di setiap titik sudut dekat ruangan aula yang faktanya akan menjadi
tempat utama acara Prom Night
tersebut. Di mana di dalam sana tak ada satupun meja yang tersedia karena akan
dijadikan tempat puncak acara untuk berdansa serta pemilihan King and Queen ke-11 Sarfagos Senior High School yang sudah
menjadi tradisi setiap tahunnya. Yang ada hanya karpet merah yang tergelar
sepanjang pintu masuk ruangan sampai meja DJ
yang di atasnya terpampang dua buah mahkota yang nantinya akan dipakai si
penobat King and Queen ke-11. Serta
dekorasi ruangan yang seperti halnya tempat disko lengkap dengan lampu-lampu
gemerlap di langit-lagit pun ikut mendukung untuk acara puncak nanti malam. So pectacular!
Sepuluh
menit sebelum acara dimulai, semua siswa-siswi yang sudah hadir di sana dibuat
terpukau dengan kedatangan Cakka yang baru saja turun dari mobil berwarna putih
itu dengan menggandeng seorang cewek hitam manis yang rambutnya diikat satu
serta mengenakan gaun panjang silver
bercorak bunga dibagian dadanya tersebut berjalan dengan santai di samping
Cakka sambil menautkan senyuman ke arah siapapun yang memandangnya.
“Gue
grogi dilihatin seperti itu sama anak-anak.” bisik si cewek yang ternyata
adalah Agni.
“Santai
aja, Ag. Loe cantik banget kok malam ini.”
“Thanks, Cakka.” respon Agni sumringah.
Mereka tetap berjalan lurus ke depan. Bersiap disambut oleh para panitia yang
akan memotretnya untuk dijadikan dokumentasi sekolah.
Dan
tak lama setelah Cakka datang, disusul oleh Rio dan Ify serta Gabriel dengan
Prissy yang tanpa sengaja datang bersamaan. Keempatnya lantas tertawa begitu
menyadari pasangan mereka satu sama lain. Rio yang mengenakan tuxedo warna hitam dengan kemeja putih
sangat sinkron dengan Ify yang memakai dress
sepaha dengan cardigan tipis yang
membalut bahunya. Serasi. Begitupun Gabriel yang terlihat tampan dengan sweater abu-abu berkancing yang membalut
kemeja putih berdasi merah itu sangat matching
dengan Prissy yang berdandan ala putri kerajaan lengkap dengan mahkota kecil di
atas rambut hitam bergelombangnya yang dibiarkan tergerai. Mereka tak
henti-hentinya tersenyum selama berjalan beriringan.
Setelah
dirasa sudah cukup ramai dan waktu pun sudah mulai menunjuk ke angka delapan, Prom
Night Sarfagos ke-11 segera dimulai.
“Oke,
semuanya… silahkan berkumpul di sini. Sebentar lagi acara akan segera dimulai.”
sambut salah seorang MC yang tak lain
adalah salah satu guru kesenian yang ada di Sarfagos. Pak Lingga. Guru paling
gaul serta paling catchy yang ada di
SMA tersebut. Sedetik, seluruh siswa-siswi berkumpul di tengah-tengah aula.
Menunggu rentetan acara yang akan mereka jalankan malam ini.
“Sebelum
acara ini dimulai, sebaiknya kita berikan tepuk tangan dulu sebagai
penghormatan buat Ibu Jessie selaku Kepala Sekolah dan Pak Alex selaku orang yang
sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup sekolah kita ini. Oke, terima kasih.”
ucap Pak Lingga bersamaan dengan bergemuruhnya tepukan tangan seisi aula yang
memang dapat menampung ratusan siswa itu. Bu Jessie dan Pak Alex hanya tersenyum.
Ada rasa bahagia tersendiri saat berdiri di depan siswa-siswinya yang kini penampilannya
terlihat sangat beda. Tidak seperti biasa yang selalu memakai seragam dengan dasi
kupu-kupu kecil di tengah-tengah kerahnya.
“Sebelumnya
saya mau memberikan kesempatan terlebih dahulu buat Ibu dan Bapak yang
terhormat ini untuk memberikan sepatah dua patah kata untuk membuka acara ini.”
pinta Pak Lingga sambil menyodorkan microphone.
Pak Alex pun saling pandang dengan Bu Jessie. Berbalas kode siapa dulu yang
akan memberikan sambutannya.
“Hmm…
oke, berhubung acara inti dalam perayaan kesebelas tahun Sarfagos ini sudah
dilakukan tadi pagi dengan pemotongan tumpeng di tengah lapangan basket, Bapak dan
Ibu Jessie gak mau banyak bicara lagi di sini. Karena ini memang acara khusus
untuk kalian semua anak-anakku. Dan sekarang sudah saatnya Bapak untuk bilang… IT’S TIME TO PARTY!!!” teriak Pak Alex
heboh dibarengi dengan berdentumnya suara musik disko yang menggema serta
gemerlap lampu warna-warni yang juga muncul serentak di langit-langit. Semua
siswa berjoged ria di sana sambil bersorak ria. Tapi sayangnya semua itu tak
berlaku lama. Karena tiba-tiba musik berhenti saat salah satu siswi yang beridiri
di dekat pintu masuk refleks berteriak menyebut nama Alvin yang kebetulan baru saja
datang.
“Wow!
Alviiiiiinnnnnn!!! Keren banget!!!” ceplos seseorang di kerumunan tak kalah
heboh. Alvin tersenyum semanis mungkin sambil tetap menggandeng Sivia yang juga
ikut senyum memaksa ke arah siswa-siswi yang kini pandangannya tertuju pada
mereka berdua. Dan tanpa menghiraukan sedikitpun, Alvin dan Sivia berjalan
santai menuju tempat DJ Lingga alias
Pak Lingga berdiri. Sontak lautan yang terdiri dari ratusan manusia itupun
terbelah begitu saja. Seakan memberi jalan untuk Alvin dan Sivia lewat.
“Kok
kita dilihatin gitu sih, kak? Emang ada yang salah ya?” bisik Sivia di
tengah-tengah langkahnya yang lumayan gugup.
“Gak
ada yang salah. Mereka lihatin loe kaya gitu karena mereka iri sama loe.” balas
Alvin sambil tetap memasang wajah secool
mungkin.
“Heh?
Iri? Kenapa mesti iri, kak?”
“Udah
deh loe diem aja! Anggap aja ini acara milik kita berdua. Dan mereka semua
sedang melihat pangeran sama permaisurinya berjalan.” timpal Alvin asal.
Membuat Sivia mengernyit tak mengerti. Kemudian mereka berhenti pas di depan podium
yang Pak Lingga, Bu Jessie dan Pak Alex berdiri. Senyum pun mengembang di
antara masing-masing mereka. Terlebih Pak Alex yang selama tiga tahun ke
belakang belum pernah melihat Alvin tersenyum sebahagia dan setampan serta sekalem
seperti sekarang ini.
“Kok
jadi sepi gini sih? Mana musiknya? Pak Lingga, let’s play the music!” pinta Alvin semangat. Dan tanpa menunggu
lama, musik pun kembali menggema. Membuyarkan pandangan semua siswa yang sempat
terpaku akan kedatangan anak pertama pemilik Sarfagos tersebut. Mereka membaur
lagi menjadi satu di tengah-tengah aula.
“Kak,
aku gak bisa joged. Udah ah!” teriak Sivia ketika Alvin terus-terusan memegang
kedua tangannya.
“Gak
apa-apa, asal aja. Yang penting gerak, jangan diem!” suruh Alvin balas teriak
karena alunan musik yang semakin berdentum kencang. Sivia pun terkekeh melihat
Alvin yang berjoged tak tentu arah di hadapannya. Menggemaskan.
Di
sudut lain, Cakka berdiri dengan malasnya di tengah lautan manusia. Walaupun
Agni sudah berusaha meraih tangan Cakka untuk bergerak, namun Cakka tetap tak bergairah.
Matanya terus memandang ke arah Sivia yang begtu enjoy berjoged sambil sesekali tertawa karena Alvin selalu menggodanya.
“Jadi
Sivia dateng sama Alvin? Hmm…” gumamnya pelan. Sangat-sangat pelan bahkan.
Hanya Tuhan, dirinya dan udara lah yang mungkin bisa mendengarnya.
“Cak,
loe kenapa sih? Kok jadi murung gitu muka loe?” tanya Agni mulai heran dengan
perubahan raut wajah Cakka kepadanya.
“Gue
gak apa-apa kok, Ag. Bentar ya, gue mau minum dulu. Haus nih.”
“Oh,
ya udah deh kalau gitu.”
***
“Huwaaaaaa…
Sivia!!! Sumpah deh loe cantik banget! Gue ngiri lihat loe.”
“Iya
bener banget, Fy! Gue aja sampai pangling lihat Sivia.” heboh Ify dan Prissy
bergantian saat mereka bertiga bertemu di salah satu sudut aula dengan pasangan
mereka masing-masing.
“Masa
sih? Perasaan gue dandan biasa-biasa aja deh. Kalian berdua juga cantik kok.
Apalagi kak Prissy, kaya barbie
banget!” puji balik Sivia.
“Kalau
gue sih kaya siapa, Vi?”
“Hmm…
kaya bajak laut, Fy. Hahaha.”
“Aih…
sialan loe!”
“Hehehe.
Nggak kok, loe juga cantik banget.” Ify menyengir seketika.
“Cieee…
yang sama kak Alvin. Hahaha.”
“Lho?
Emang kenapa kalau gue sama kak Alvin? Ada yang salah ya?”
“Gak
ada yang salah sih, Vi. Tapi kelihatan cocok banget kalian berdua. Iya kan,
Fy?” sambung Prissy cepat.
“Nah,
itu maksud gue!”
“Cocok?
Nggak ah, mungkin kebetulan aja cocok.” kilah Sivia menepis pikiran aneh yang
ada di benak Ify dan Prissy.
“Tapi
beneran deh gue gak bohong, Vi. Loe sama Alvin serasi sangat!” sambung Prissy lagi.
“Udah
jadian aja gih! Gemes gue lihat loe sama kak Alvin malem ini! Toh sama-sama jomblo
kan?” goda Ify sembari melirik Alvin yang duduk sambil mengobrol bersama kedua
sahabatnya tepat di belakang mereka.
“Ih,
apaan sih? Nyebelin deh. Gue sama kak Alvin gak ada hubungan apa-apa, cuma
temen biasa.”
“Dari
temen biasa kan bisa jadi temen luar biasa, Vi” kata Prissy ikut menggoda.
“Ah,
kak Prissy juga ikut-ikutan Ify aja. Nyebelin!” Ify dan Prissy sontak tertawa
kecil melihat wajah Sivia yang berubah badmood.
“Bakal
ada yang benci jadi cinta nih kayanya. Duh, so
sweet banget ya kaya sinetron?”
“Iffffffyyyyyy!!!”
Sivia langsung mengunci mulut mungil ify dengan tangan kanannya kuat-kuat.
Di
sudut lain, tepat dua langkah dari gerombolan Sivia dan kawan-kawan, Alvin dan
Gabriel tersenyum sinis ke arah Rio yang masih saja tak percaya akan cewek yang
digandeng mereka berdua malam ini.
“Kebukti
kan kalau gue bukan maho?” ceplos Gabriel asal di dekat telinga Rio. Alvin
hanya tertawa kecil mendengarnya.
“Tapi
kok bisa sih? Jangan bilang loe berdua main pelet?” tebak Rio penuh yakin. Dan
itu membuatnya mendapatkan tatapan membunuh dari kedua sahabat di samping
kiri-kanannya.
“Sori,
gue gak minat pakai pelet!” ketus Alvin.
“Gue
juga!” timpal Gabriel mengikuti.
“Tapi
kok bis…” baru saja Rio hendak berstatement,
Pak Lingga sudah berdiri dan menyapa di podium paling depan.
“Oke
semuanya… ayo kumpul lagi di sini! Kita have
fun bareng malem ini pokoknya. Masih pada semangat kaaaaaan?!” tanya Pak Lingga
semangat.
“Masiiiiiihhhhhh!!!”
koor mereka kompak.
“Bagus!
Oke, sebentar lagi kita akan menuju ke puncak acara nih. Di mana kita akan
segera mengetahui siapakah siswa-siswi di sini yang akan dinobatkan sebagai King and Queen ke-11 Sarfagos Senior High School. Tepuk
tangannya mana?!” sorak sorai bergemuruh seisi aula. Tak sabar untuk mengetahui
siapa yang akan menjadi Raja dan Ratu Sarfagos di tahun kejayaannya yang
kesebelas ini.
Semua
yang ada di sana pun saling pandang dan berbisik demi menebak-nebak siapa saja
yang pantas mendapatkan gelar tersebut. Gelar yang mana para peraihnya tersebut
biasanya akan menjadi sepasang kekasih seperti yang sudah-sudah. Tapi entahlah dengan
yang sekarang. Apakah akan mengikuti jejak para pendahulunya? Atau bahkan sebaliknya?
Kita lihat saja nanti.
“Dan
menurut pengamatan kami selaku panitia Prom
Night kali ini, yang pantas menjadi King
and Queen malam ini adalah…” musik kembali bergemuruh. Seirama dengan
detakan jantung para siswa-siswi yang ada di sana.
“Siapa
nih kira-kira? Kamu? Kamu? Atau kamu?” tebak Pak Lingga sembari menunjuk satu per
satu siswa-siswi yang ada di pandangannya.
“Kita
sambut The King of the year kita malam
ini! Congratulations for…” lampu-lampu
di langit-langit aula mulai mencari-cari sosok yang akan disebutkan namanya oleh
Pak Lingga itu.
“ALVIIIIIINNNNNN!!!”
sedetik kalimat itu berbunyi, Alvin tak bergeming sama sekali. Ia malah
mengernyit dengan memandang aneh teman-temannya yang ikut senang karena
mendengar Alvin lah yang menjadi Raja Sarfagos tahun ini. Mereka pun berteriak
heboh dan bertepuk tangan tanpa henti. Terlebih Gabriel dan Rio yang juga
sempat tak percaya mendengarnya.
“Wuih…
sadis beneeerrr!!! Gila parah loe, Vin!” ujar Gabriel sambil menepuk pundak
Alvin bangga. Begitupun Rio.
“Mantap,
brader!” ujarnya heboh.
“Please welcome, Alvin Pratama!” panggil
Pak Lingga yang belum juga direspon oleh Alvin yang terlihat tak percaya. Gue menang bukan karena gue anak Papi Alex
kan? Kok mesti gue seih? Batinnya heran. Kakinya ia langkahkan dengan paksa
karena tubuhnya didorong terus-terusan oleh Gabriel.
“Selamat
ya, Vin?” ucap Pak Lingga sembari menjabat tangan Alvin yang masih menampakan wajah
tak berserinya. Ia hanya tersenyum kecil.
“Hmm…
oke, sekarang saatnya untuk kita mengetahui siapa yang akan dinobatkan sebagi The Queen of The Year! Are you
readdddyyyyyy???!!!”
“Readddyyyyyy!!!”
“Baiklah.
Musiknya yang tegang dong biar kesannya amazing!”
canda Pak Lingga. Semua siswa bersorak. Mungkin banyak juga di hati mereka yang
bilang, “Pasti gue yang jadi Queennya!”.
“Dan…
The Queen of The Year is…” musik
lagi-lagi bergemuruh lebih cepat dari sebelumnya. Memberi getaran tersendiri bagi
siswi yang mungkin sudah tak sabar lagi untuk menunggu pengumuman bergengsi tersebut.
Pak Linggi terdiam sejenak, menggenggam microphone
di dada sebelum beliau kembali berbicara.
“And congratulations
for…” sama seperti sebelumnya, musik dan lampu-lampu kembali beradu. Lebih gemerlap
lagi.
“SIVIAAAAAA!!!”
teriak Pak Lingga akhirnya. Sontak membuat semua orang yang berada di aula
tersebut berteriak heboh sambil matanya tertuju ke arah Sivia yang kini berekspresi
tak percaya itu. Banyak alasan tentunya. Ada yang senang mendengar Sivia
menjadi Ratu dan ada juga yang menyesal karena belum juga bisa meraih gelar The Queen of The Year di SMA Sarfagos.
Sivia
mematung sambil menutupi mulut dengan kedua tangannya. Antara percaya dan tidak
percaya akan pengumuman yang baru saja didengarnya tersebut.
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR