@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Jumat, 03 Januari 2014

He-art 8th


 

The King and The Queen



Pak Alex menghela napas setelah dengan santainya beliau menyeruput segelas teh manis yang dibuat dan dibawakan khusus oleh anak bungsu kesayangannya. Siapa lagi kalu bukan Cakka Pratama. Ia sekilas membenarkan posisi duduk dan letak kacamata yang selalu menghiasi raut wajah paruh bayanya. Lalu memandang sejenak pohon beringin yang tingginya kini sejajar dengan tempat yang didudukinya bersama sang anak.
“Jadi karena perempuan bernama Sivia itu yang membuat Alvin berubah akhir-akhir ini? Hmm…” hampir beberapa menit hening mengembara di antara mereka berdua setelah Cakka selesai bicara sebelumnya, Pak Alex pun mulai merespon. Menanggapi cerita serius sang anak yang melibatkan perubahan sifat Alvin yang dirasanya cukup drastis itu.
“Sepertinya begitu, Pi. Cakka yakin banget.” balas Cakka mantap. Seakan dugaannya itu tak bisa diragukan lagi kebenarannya. Pak Alex menatap Cakka kemudian. Lalu tersenyum seketika.
“Apa dia kekasihnya Alvin?” pertanyaan singkat dari sang Papi tersebut langsung membuat Cakka menelan ludah kuat-kuat. Hatinya mendadak pilu. Entahlah. Padahal itu hanya sebuah pertanyaan sederhana yang memerlukan jawaban iya atau bukan.

Pak Alex mengangkat salah satu alisnya. Heran melihat Cakka yang belum juga menjawab pertanyaannya tadi. Ditambah dengan ekspresi wajah Cakka yang cenderung datar, semakin membuat sang Papi mengernyit bingung dan sempat menyimpulkan satu pertanyaan yang mengganjal. Ada sesuatu apa antara Alvin, Cakka, dan perempuan bernama Sivia itu?
“Cakka?”
“Heh? Iya kenapa, Pi?” Pak Alex menggeleng pelan. Tangannya kembali menjamah segelas teh manis yang masih seperempat habis itu. Dan menyeruputnya penuh nikmat.
“Kamu belum jawab pertanyaan Papi. Apakah Sivia itu kekasihnya Alvin?”
“Hmm… setau Cakka sih bukan, Pi. Sivia itu adik kelas Cakka sama Alvin. Dia itu penerima beasiswa di Sarfagos. Masa Papi gak tau?” tanya balik Cakka setelah menjelaskan. Lantas Pak Alex langsung menyipitkan matanya begitu mendengar kalau Sivia adalah salah satu penerima beasiswa di SMA yang mana dirinya sebagai pemegang saham terbesar di dalamnya.
“Oh ya?”
“Iya, Pi. Dia sekelas sama Ify di X.1.” Pak Alex membulatkan mulutnya sambil mengangguk berulang kali.
“Tapi bukan karena Sivia dapet beasiswa kan yang bisa membuat Alvin berubah?” tanya Pak Alex spontan. Di otaknya masih ada rasa penasaran yang begitu besar. Namun sedetik kemudian beliau tersenyum setelah Cakka dengan polosnya mengangkat bahu sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Sepertinya Alvin sedang jatuh cinta sama Sivia.” cetus Pak Alex kemudian. Membuat anak bungsu yang duduk tak jauh di sampingnya itu berpaling cepat ke wajahnya. Kaget akan statement sang Papi yang menyimpulkan sesuatu begitu saja.
“Heh? Apa Papi bilang? Alvin jatuh cinta sama Sivia? Ah, gak mungkin!” tolak Cakka refleks.
“Lho? Kenapa emang?”
“Hmm… ya enggak apa-apa. Maksudnya, mana mungkin Alvin jatuh cinta sama Sivia? Secara gitu Alvin pernah bully Sivia di depan kelasnya sendiri.” ucap Cakka ketus. Pak Alex tersedak mendengarnya.
“Hah?! Alvin ngebully perempuan?” tanyanya syok. Baru sekarang ini beliau mendengar kalau Alvin membully seorang perempuan. Karena setahu beliau, Alvin itu tipe laki-laki yang paling tidak suka berurusan sama yang namanya perempuan. Melihat Alvin jalan sama perempuan saja beliau belum pernah, apalagi sampai membully seperti yang dibilang Cakka barusan.
“Eh, hmm… bukan gitu maksud Cakka, Pi.” kata Cakka sedikit aneh. Alasannya hanya satu, Cakka tidak ingin kalau Alvin sampai kena hukuman lagi oleh sang Papi jika ucapannya tadi tidak cepat diralat. Soalnya kalau itu semua terjadi, toh Cakka juga yang bakal kena imbasnya dari Alvin.
“Lho? Tadi bilangnya gitu. Gimana sih kamu?” ujar Pak Alex mulai heran melihat sikap anaknya yang sedikit labil.
“Maksud Cakka itu, mana mungkin Alvin jatuh cinta sama Sivia? Orang mereka aja baru kenal akhir-akhir ini. Udah gitu Sivia sama Alvin juga kaya kucing sama tikus, suka debat-debat gak jelas.” kilah Cakka asal. Otaknya sudah berusaha untuk mencari alasan yang masuk akal agar bisa menutup kesalahucapannya tadi. Dan hanya itulah hasilnya.

Kontan Pak Alex tersenyum kembali ke arah Cakka. Seakan paham dengan kisah percintaan anak-anak zaman sekarang. Yang awalnya saling benci dan akhirnya akan menjadi cinta. Itu sudah bukan rahasia umum lagi.
“Kok malah ketawa sih, Pi? Aneh deh!” timpal Cakka heran.
“Ya, lucu aja lihat kamu. Masa iya kamu selaku anak muda zaman sekarang masih gak ngerti masalah kaya gitu?”
“Maksudnya?”
“Cakka… anak Papi yang ganteng, pernah denger kan kata-kata benci jadi cinta?” untuk sementara Cakka berpikir. Hampir setengah menit. Lantas mengangguk cepat ke arah Papinya.
“Nah, mungkin itu yang terjadi sekarang sama kakak kamu. Makanya dia bisa berubah secepat itu.” kata Pak Alex maklum. Untuk sejenak Cakka tak bergeming. Mencerna baik-baik kata-kata yang baru saja menyentuh gendang telinganya itu. Bener juga kata Papi. Gak mungkin Alvin bisa berubah secepat itu kalau dia gak ada rasa apa-apa sama Sivia. Mungkinkah? batinnya berbicara.
“Hmm… bisa jadi juga sih, Pi.” sedetik, Pak Alex pun berdiri dan melangkah mendekati pembatas balkon ruang keluarga di lantai dua. Beliau menghirup udara sore yang cukup sejuk saat itu.
“Bagus deh kalau begitu, Papi ikut senang mendengarnya.” Pak  Alex langsung berbalik badan dan menatap Cakka yang juga ikut berdiri dari duduknya.
“Papi masuk dulu ya? Papi mau siap-siap buat ketemuan sama client Papi di kantor sore ini.”
“Hmm… iya udah, Pi.” balas Cakka lembut dibarengi dengan usapan tangan Pak Alex di kepalanya. Cakka tersenyum.

***


“Bagus gak?” tanya Prissy saat dirinya baru saja keluar dari ruang ganti di sebuah toko baju yang cukup luas itu. Ia memutar badannya pelan supaya cowok hitam manis yang kini duduk tak jauh di depannya tersebut dapat melihat dan memberikan komentarnya akan baju yang baru saja dicobanya itu.
“Hmm… bagus. Tapi kependekan roknya.” respon si cowok yang tidak lain adalah Gabriel. Membuat Prissy berdiri sejenak sambil memandangi ujung roknya.
“Oh, gitu ya? Ngg… ya udah deh gue ganti lagi. Wait ya? Hehehe.”

Gabriel mengangguk dan tersenyum melihat Prissy yang langsung berbalik dan masuk kembali ke ruang ganti. Kemudian ia menggeleng pasrah. Sudah berapa kali saja cewek tersebut keluar masuk ke dalam sana. Sampai Gabriel mulai bosan karena terus-terusan duduk sambil menunggu Prissy keluar kembali untuk sekedar meminta komentar darinya. Coba saja tadi pas pulang sekolah Gabriel menolak ajakan Prissy yang meminta buat mampir sejenak di toko baju yang dilewati mereka berdua. Mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Padahal niat awal Gabriel itu ingin mengajak cewek sipit berpipi chubby tersebut untuk makan siang di restoran milik keluarganya. Tetapi ya sudahlah. Toh sudah terlanjur juga Gabriel berada di sini.
“Taraaaaaa!!! Kalau yang ini gimana? Pasti cocok kan? Gak kependekan dan gak ketat juga.” ujar Prissy heboh. Lagi-lagi ia berputar di hadapan Gabriel yang kini melongo tak jelas melihatnya.
Hallo? Ada yang salah kah?” merasa tak direspon, Prissy langsung melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Gabriel. Gabriel tetap tak bergeming. Yang jelas kini matanya tak berpaling sedikitpun dari sosok Prissy yang memakai gaun putih selutut dan tak berlengan itu. Sangat cantik. Bahkan baru kali ini Gabriel melihat Prissy secantik dan semanis seperti yang ia lihat sekarang.
“Loe kenapa sih, Gab? Aneh deh!”
“Eh, gak apa-apa kok. Sori gue ngelamun. Tadi loe nanya apa, Pris?” Gabriel berdalih begitu tersadar dari bayang-bayang pesona Prissy. Sejenak, Prissy membuang napas lewat mulutnya. Memaklumi akan keanehan yang terjadi pada cowok hitam manis yang kini berdiri di hadapannya itu.
“Ini, baju ini cocok gak buat gue?” tanya Prissy lagi kemudian. Gabriel lantas berjalan mengitari tubuh Prissy sambil memainkan jari telunjuknya di dagu. Prissy hanya mematung sebisanya.
“Hmm… menurut gue cocok-cocok aja sih. Gak lebih. Gak kurang. Pas. Dan yang pasti… you look so beautiful, Pricilla.” puji Gabriel jujur. Membuat wajah cantik bermata segaris milik Prissy itu mendadak memerah jambu. Apalagi kini Gabriel menatapnya dengan penuh arti. Entahlah. Prissy seakan tak bisa berkutik sekarang. Ia hanya bisa tersenyum semampunya.
Thank you.”
Never mind.” balas Gabriel singkat. Lalu terdiam kembali hampir empat detik.
“Hmm… eh, loe udah kan beli bajunya? Balik yuk? Udah sore nih.” ajaknya kemudian sambil melirik arloji putih yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Prissy mengernyit seketika.
“Lho kok? Tadi katanya mau makan siang?”
“Udah telat. Udah sore juga. Loe sih kelamaan belanjanya.” ucap Gabriel dengan diselingi nada jengah saat menatap ekspresi Prissy yang terkesan tanpa dosa itu.
“Heh? Emang ini jam berapa sih?”
“Jam setengah empat.”
What?! Serius loe? Jadi, gue buang-buang waktu hampir dua jam setengah cuma buat beli baju ini? Oh my Ghost!” Gabriel berdecak. Seakan di dalam hatinya berkata baru-nyadar-loe? Lantas menggeleng tanpa ada keinginan untuk merespon balik ucapan Prissy.
I’m so sorry, Gabriel.” ungkap Prissy merasa bersalah.
“Ya udah gak apa-apa. Lain kali aja mungkin kita lunch barengnya. Ayo?” tanpa ada rasa ragu sedikitpun, Gabriel menarik tangan Prissy cepat-cepat dan kemudian merangkulnya perlahan. Tak perduli meski kini Prissy memandang aneh tangan Gabriel yang merangkul di pundaknya tersebut.

***


Kilauan oranye masih terbesit indah dan membentang lurus di antara perbatasan langit dan bumi di ufuk barat. Bersamaan dengan terbenamnya sang surya yang akan menutup lelahnya setelah menyinari bumi kurang lebih duabelas jam dalam sehari. Sinar terangnya sedikit demi sedikit mulai meredup. Malam pun tiba dengan disambut gerombolan kelelawar yang berterbangan kian ke mari mencari makan.

Di sebuah tempat tidur dengan bed cover ungu bergambarkan tokoh kartun Jepang di salah satu rumah megah berlantai dua itu terlihat seorang cowok tinggi kurus sedang memandangi layar laptop sambil menopang dagu di atas bantal. Kaos oblong putih dengan boxer hitam pekat bercorak polkadot masih melekat di tubuhnya sejak ia tertidur sepulang sekolah siang tadi. Pertanda kalau dirinya sedang malas keluar kamar untuk sekedar mandi ataupun menyapa kedua orang tuanya di hari yang mulai malam ini. Ia seakan sudah terjebak dalam kenyamanannya di atas kasur. Cowok itu… Rio Sebastian.

Sesekali Rio melirik ponsel yang tergeletak tak jauh di sampingnya. Masih sama. Tak ada satu nada panggilan ataupun sms yang biasanya ia dapat sebelum-sebelumnya. Rio mulai mendecak sebal. Benar-benar bad mood detik ini. Lantas dengan malas Rio mengambil ponsel tersebut dan memainkannya asal sampai akhirnya ia menemukan ide untuk menelpon seseorang. Seseorang yang entah kenapa membuatnya tersenyum mendadak seperti sekarang ini.
Hallo?” panggilan di ujung sana mulai terdengar meski sedikit redup. Walaupun begitu Rio kembali tersenyum. Suara tersebut berhasil memecah perasaan jengah yang sempat dirasakannya tadi.

Hallo, Fy?” balas Rio sumringah. Ternyata seseorang yang ditelponnya itu adalah Ify. Cewek berbehel yang dianggapnya sebagai bidadari terbeautiful di dunia ini.

“Iya, kak. Tumben nelpon. Ada apa?”

“Hmm… gak apa-apa sih. Cuma pengen nelpon aja. Kenapa gitu? Ganggu ya?” Rio merubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya terfokus pada langit-langit yang mungkin sudah
tergambar wajah Ify di sana. Ya, mungkin.

“Enggak juga kok. Lagian tumben aja kak Rio nelpon gue. Kangen ya? Hahaha.” Ify terkekeh setelahnya. Entah ia sedang bercanda atau memang sedang memberi kode.

“Aih… kok tau sih? Loe peramal ya, Fy?”

“Hahaha. Tau lah, kak! Cieeeeee… yang lagi kangen gue.”

“Ya begitulah. Hehehe. Hmm… eh, loe lagi apa sih?”

“Udah kepo ya sekarang? Ish!”

Please deh, Fy! Orang nanya gak ada salahnya kan? Lagian tinggal jawab aja apa susahnya sih?”

“Iya-iya, jangan bawel! Gue lagi duduk-duduk gak jelas aja. Loe sih, kak?”

“Oh gitu? Hmm… gue? Gue baru bangun tidur nih, abis mimpiin loe tadi. Hehehe.” balas Rio terkekeh. Lalu ia bangun dan duduk bersila sambil tangannya menyambar bantal guling.

“Aih… itu ngegombal, kak? Ish! Muka loe itu gak pantes buat ngegombal tau, kak?! Lebih cocoknya buat ngemis. Hahaha.” glek! Rio seketika menelan ludahnya kuat. Kata-kata dari Ify barusan itu terasa sangat entahlah. Ia memutar mata kemudian.

“Canda kak, canda. Gitu aja langsung ngambek.” lanjut Ify saat Rio tak balik merespon dan menyangka kalau Rio menanggapi serius candaannya tadi.

“Heh? Siapa yang ngambek? Orang lagi mikir juga. Bingung nih mau ngomong apalagi.”

“Oh ya? Bagus deh kalau gitu. Hmm… ngomong-ngomong tadi kan kak Rio baru bangun  tidur tuh? Udah mandi belum?”

“Oh, belum dong! Hehehe. Kenapa gitu?”

“Ish! Pantesan aja dari tadi bau. Aih…”

“Hahaha. Ada-ada aja loe, Fy. Lagi males keluar kamar gue.”

“Terus hubungannya sama belum mandi apa?”

“Ya, kan kamar mandinya ada di luar kamar.”

“Serah loe deh, kak. Udahan ah!”

“Lho? Kok udahan sih?”

“Ya, suka-suka gue dong?! Toh ngapain juga telpon-telponan sama orang yang belum mandi? Ish! Jorok banget!”

“Iya deh iya gue mandi. Padahal kan gak mandi juga gue mah tetep cakep.”

What to the Ever. WHATEVER!!! Intinya gue gak mau telponan sama orang yang jorok. Do you understand?

“Iya, gue ngerti. Gue mandi nih. Tapi jangan di matiin ya?” Ify langsung mengernyit mendengarnya. Rio memang suka keluar jalur kalau bicara.

“Lho? Kenapa gak boleh dimatiin?”

“Ya loe nungguin gue mandi gitu, Fy.”

“Males pakai banget! Kaya gak ada kerjaan lain aja.”

“Ayolah, Fy! Gue mandinya bawa handphone aja deh ya?”

What?! Kak Rio, please deh jangan ngawur kalau ngomong!”

“Gue serius, Ify.”

“Serah loe deh, kak. Udah sana mandi cepetan! Gue matiin ya, kak? Bye!” dan klik! Ify mematikan sepihak sambungan teleponnya.

“Eh, Fy? Aih… dimatiin! Ck!” sedetik, Rio memandangi LCD handphonenya dengan tatapan sendu. Namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum. Ada rasa senang tersendiri di hatinya kalau sudah mendengar suara Ify.
“Ify… Ify… rasanya cuma loe cewek satu-satunya yang bisa menjadikan hidup gue lebih indah lagi. Iya, cuma loe.” lalu Rio turun dari kasur dan melangkah keluar kamar setelah sebelumnya ia mengangkat bahu. Merasa heran dengan perasaan yang ada di dadanya akhir-akhir ini. Terlebih saat dirinya mengenal seorang Ify.

***


“Loe suka sama Sivia, Vin?” tanpa ada angin dan hujan sedetikpun, pertanyaan itu bagaikan petir dengan kekuatan super dahsyat yang menyambar pendengaran milik seorang Alvin yang saat itu terduduk memandangi langit di balkon kamarnya. Alvin tergelak sesaat. Derap langkah kaki Cakka terdengar semakin mendekat.
“Tau etika kalau masuk ke kamar orang kan?” bukannya menjawab pertanyaan adiknya tersebut, Alvin dengan nada lumayan sinis malah balik bertanya.
“Ck! Gue nanya buat dijawab, bukan buat ditanya balik!” balas Cakka tak kalah sinis. Membuat Alvin yang sebelum kedatangan Cakka memancarkan wajah berserinya itu kini langsung berubah drastis dengan melototkan mata ke arah adiknya.
“Apa sejak kecil loe gak pernah diajarin buat ketuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar orang hah? Udah lupa?!” Cakka tetap tak menggubris. Bahkan dengan wajah datarnya ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana kemudian berjalan mendekati pembatas balkon.
“Cuma jawab aja apa salahnya sih, Vin? Toh pintu kamar loe kebuka, kenapa mesti ketuk pintu? Ck! Kaya gak tau gue aja.” tukasnya santai. Alvin kembali berdecak. Tatapan membunuhnya ia tujukan ke arah Cakka yang kini memunggunginya.
“Tapi gue gak suka!”
“Oh, ya udah. Kalau gitu gue minta maaf. Clear kan? Sekarang jawab pertanyaan gue. Loe suka sama Sivia atau nggak?” Cakka berbalik badan dan menatap Alvin yang sudah berdiri dari duduknya.
“Itu bukan urusan loe!”
“Jawab pertanyaan gue, Alvin Pratama! Gue kan nanya baik-baik, gak ngajak ribut.” gertak Cakka mulai naik pitam dengan sikap kakaknya tersebut.
“Udah gue bilang itu bukan urusan loe! Loe ngerti bahasa Indonesia gak sih, Cak?! Apa perlu gue pakai bahasa asing biar loe ngerti? Ck! Heran gue sama loe.” sindir Alvin kemudian. Entah ia sendiri belum paham betul apa tujuan Cakka menanyakan hal itu kepadanya. Lalu memutar matanya kesal.
“Oke, kalau emang loe gak mau jawab. Gak masalah kok. Gue cuma gak mau aja kalau loe sampai tega mempermainkan hati Sivia. Ya, meskipun gue tau sih kalau Sivia gak ada perasaan apa-apa sama loe. Tapi feeling gue bilang kalau loe suka sama dia. Bener kan, Vin?” jelas Cakka panjang lebar sambil kembali membelakangi Alvin dengan diakhiri pertanyaan singkat. Matanya mulai tertuju ke bintang-bintang yang ada di atas sana.
“Terus apa hubungannya sama loe kalau gue suka sama Sivia? Loe bukan siapa-siapanya dia kan?” tanya Alvin dengan nada sinisnya. Sekejap, Cakka terpaksa menelan ludahnya kuat-kuat begitu baru sedetik terlontarnya pertanyaan tersebut dari mulut Alvin. Bingung harus menjawab apa.
“Hmm… ya, gue… gue cuma gak suka aja kalau loe ngelakuin yang nggak-nggak sama Sivia. Seperti sebelum-sebelumnya. Gue gak suka, Vin. Sivia cewek baik.” jawab Cakka sebiasa mungkin. Alvin pun berdecak. Seakan sudah mengetahui betul apa yang ada di hati dan pikiran adiknya tersebut.
“Ck! Gue tau kalau itu bukan alasan utama loe.” sindir Alvin. Cakka langsung tergelak. Ia menengok ke arah Alvin dengan tatapan heran.
“Maksud loe?”
“Jangan pernah berlagak bego di depan gue! Loe suka kan sama Sivia?” tukas Alvin dengan pertanyaan yang sama ketika Cakka mendatangi kamarnya beberapa menit yang lalu. Cakka langsung tersentak mendengarnya. Pertanyaan tersebut bagai bumerang yang kini berbalik menyerang padanya.
“Gue suka sama Sivia?” ucap Cakka polos sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah sendiri. Alvin menyeringai ketus.
“Harusnya gue yang khawatir sama loe, Cak.” kemudian ia tertawa sinis sambil melewati tubuh Cakka yang masih terpaku.
“Heh?”
“Gue emang pernah menyakiti Sivia dan bikin dia nangis, tapi bukan berarti loe mesti mencurigai gue terus-terusan kan?!”
“Bukan gitu maksud gue, Vin. Gue cuma…”
“Loe cemburu sama gue?” glek! Cakka kembali tergelak. Pertanyaan Alvin yang satu ini entah kenapa tepat sekali atau bahkan benar-benar sangat tepat dengan apa yang sedang dirasakannya saat melihat kedekatan Alvin dan Sivia akhir-akhir ini.
“Loe cemburu karena gue udah deket sama Sivia. Iya kan, Cak?!” gertak Alvin tiba-tiba. Namun Cakka malah tak bergeming sedikitpun. Tak mampu lagi mulutnya mengeluarkan kata-kata di dekat Alvin.
“Loe boleh cemburu sama gue, tapi bisa kan gak mesti nuduh gue yang nggak-nggak? Ck! Harusnya loe mikir dulu sebelum ngomong! Yang bakal nyakitin Sivia itu gue apa loe hah?!” dan di dalam diamnya, Cakka menyempatkan diri untuk mengernyit ketika mendengar perkataan Alvin.
“Gue gak pernah sedikitpun punya niat buat nyakitin Sivia. Ngerti?!” ucap Cakka akhirnya. Dan itu membuat Alvin langsung tertawa meremehkan. Seakan-akan Alvin tidak pernah tau sifat dan karakter adiknya tersebut. Ia menepuk pundak Cakka perlahan.
“Cakka Pratama, cowok terpopuler di Sarfagos. Gue kenal loe sejak bayi, gue tau apapun tentang loe yang mungkin loe sendiri gak tau.”
So?” Alvin tersenyum sesaat. Kemudian kembali menampakan ekspresi meremehkannya dengan cepat.
“Ck! Loe boleh berpikiran negatif tentang gue, gue terima. Itu hak loe. Tapi bukan berarti loe jauh lebih baik dari gue!”
“Maksud loe apaan sih? Gue gak ngerti. To the point aja bisa kan?”
“Oh, oke kalau begitu. Dulu gue emang pernah menyakiti Sivia, bikin dia nangis dan malu di depan temen-temen gue. Tapi setidaknya sekarang gue udah bisa membuat Sivia tersenyum dan tertawa karena gue. Bukan seperti loe yang awal-awalnya berlagak menjadi pahlawan buat dia, tapi nanti ujung-ujungnya loe sendiri yang bakal nyakitin dia. Cih!”
“Loe ngomong apaan sih, Vin? Kayanya yakin banget kalau gue bakal nyakitin Sivia.” Cakka terheran.
“Hahaha. Cakka… Cakka… selain bego, loe juga jago ya bikin cewek berharap? Sampai-sampai Sivia juga jatuh hati sama loe karena harapan-harapan palsu loe itu. Salut gue.”
“Vin, gue gak pernah memberikan harapan palsu ke Sivia. Gue cuma berusaha untuk selalu ada saat dia butuh gue. Itu aja.” Alvin mendesis seketika. Terlalu lucu mendengar kilahan dari seorang Cakka tersebut.
“Itu apa namanya kalau bukan harapan palsu hah? Loe tau kan perasaan Sivia itu kaya gimana kalau ada cowok yang berperilaku seperti yang sering loe lakuin ke dia? Pasti dia bakal mikir kalau loe punya perasaan lebih sama dia. Ck! Loe bener-bener jahat, Cak! Gue gak bisa bayangin kalau Sivia sampai bener-bener jatuh cinta sama loe, sedangkan perasaan loe masih tak mau lepas sama cewek masa lalu loe. Cowok macam apaan loe hah?”
“Cewek masa lalu gue?”
“AGNI!!!” sambar Alvin cepat-cepat.
“Vin, serius gue gak…”
“Jangan mengelak! Gue bukan tipe orang yang mudah dibohongin. Hmm… sekarang gini aja deh, kalau emang loe gak bisa lupain Agni di hidup loe, loe jangan pernah deketin Sivia lagi! Gue gak mau Sivia sampai tau kalau loe cuma memberi harapan palsu ke dia.” suruh Alvin sinis. Lalu melangkah perlahan meninggalkan Cakka.
“Loe gak ada hak buat larang-larang gue deket sama siapapun, apalagi sama Sivia!” Alvin berhenti seketika. Membuang napas sambil memutar mata saat Cakka dengan tegasnya membentak. Kemudian membalikan badan dan tertawa sinis.
“Tapi loe suka sama Agni kan?” tanya Alvin lembut. Mungkin sedikit melenceng dari perkataan Cakka tadi. Tapi itulah alasannya kenapa Alvin menyuruh Cakka menjauhi Sivia. Karena ia sendiri tau kalau Cakka masih menyimpan rasa yang pernah terpendam kepada Agni yang faktanya dulu adalah sahabat kecilnya.

Cakka lagi-lagi mematung. Alvin benar-benar seperti peramal yang bisa mengetahui apa saja yang orang lain sedang rasakan. Walaupun sebenarnya ia tau kalau Alvin hanya asal tebak, tapi kenyataannya itu hampir sembilan puluh persen benar adanya. Cakka tak bisa mengelak lagi. Kembalinya Agni ke Indonesia seakan membawa dan membentuk lagi separuh hatinya yang dulu pernah hilang begitu saja. Bahkan di sekolah pun Cakka sudah jarang lagi bertemu dengan Sivia dan lebih banyak mengahbiskan waktu istirahatnya dengan Agni. Tidak seperti saat Cakka pertama kenal dengan Sivia.
“Loe gak bisa jawab kan, Cak? Ya udah makanya jauhin Sivia. Toh itu demi kebaikan loe juga. Loe gak mau kan kalau Sivia sampai benci sama loe seperti dia benci sama gue dulu? Think again, brother! Sebenernya hati loe itu buat siapa? Sivia… atau Agni? Jangan coba-coba memberi hati untuk keduanya!” ujar Alvin pelan dan penuh penekanan. Dan kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan Cakka. Cakka membuang napas kuat-kuat. Berusaha merenungkan kembali kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut kakaknya.
“Ck! Mungkin loe bener, Vin. Tapi hati gue masih belum bisa menentukan semua ini. Arrrggghhh!!!” sedikit stres, Cakka mengacak rambutnya asal. Entahlah akan bermimpi seperti apa ia nanti malam.

***


Sarfagos Senior High School.

Sepuluh menit setelah bel istirahat kedua berbunyi, Cakka langsung bergegas menuju kelas X.1 dan mengajak salah satu siswi di antaranya ke suatu tempat. Tempat yang faktanya selalu ia kunjungi saat bersama siswi tersebut. Perpustakaan. Dan siswi itu siapa lagi kalau bukan… Sivia.

Sivia sejak tadi mengernyit melihat ulah Cakka yang menggandeng tangannya tanpa sedikitpun mengeluarkan suara. Sampai sekarang mereka duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari jendela tersebut belum ada juga sepatah kata pun yang mereka ucapkan hanya untuk sekedar basa-basi atau apalah itu namanya. Cukup lama terdiam, Sivia akhirnya angkat bicara. Memecah keheningan di tempat duduk mereka berdua.
“Kak Cakka kenapa sih? Kok diem aja dari tadi? Terus maksud kak Cakka ajak aku ke sini mau ngapain?” tanya Sivia bertubi-tubi. Cakka masih tetap diam. Ia hanya melirik dengan sedikit senyum ke arah cewek yang dasi kupu-kupunya sedikit berantakan itu.
“Kak Cakka gak kenapa-kenapa kan?” lanjut Sivia pelan. Terbesit rasa khawatir di dalam hatinya saat menatap mata Cakka yang sungguh dalam. Cakka langsung menggeleng.
“Kak Cakka kenapa sih sebenernya?! Heran deh! Tadi kakak bawa aku ke sini secara paksa, sekarang kakak malah diem. Gimana sih?!” Cakka terkekeh seketika. Mungkin karena lucu melihat wajah kesal milik cewek cantik berlesung pipi satu di dekat bibir bawahnya itu.
“Entar malem aku jemput kamu ya, Vi? Kita ke Prom Night bareng.” Cakka berucap dengan santainya tanpa menjawab terlebih dulu ocehan dari Sivia tadi. Sontak membuat cewek tersebut menampakan wajah syoknya dengan dahi mengernyit.
“Heh? Kak Cakka mau jemput aku entar malem? Hmm… eh, mending gak usah deh! Aku gak mau ngerepotin kakak. Gak apa-apa kan, kak?” tolak Sivia meski tidak enak hati mengucapkannya.
“Oh, nggak kok. Aku gak ngerasa direpotin sama kamu. Kan aku yang ngajak, bukan kamu yang minta. So, kamu gak usah khawatir, Vi.”
“Tapi, kak?” baru saja Sivia hendak memberi penolakan yang lebih signifikan, tangan Cakka sudah bersandar di bahu Sivia. Begitupun wajah Cakka yang kini sangat dekat dengan wajahnya itu memberikan tatapan memohon.
“Vi, kamu kenal kakak udah lumayan lama kan? So, udah gak perlu buat kamu canggung-canggung lagi sama kakak. Oke?”
“Iya, aku tau. Tapi kali ini aku bener-bener gak bisa, kak. Aku…”
“Kamu kenapa? Kamu gak mau dateng?” tanya Cakka masih dengan merangkul bahu Sivia. Sivia menggeleng.
“Bukan gitu maksud aku, kak. Cuman aku udah sama kak…”
“SIVIA!!! Aih… dari tadi gue cariin ke mana-mana, ternyata loe ada di sini. Ish! Kak Cakka juga gak bilang-bilang dulu kalau mau nyulik Sivia. Kalau tau gitu kan gue gak perlu repot-repot nyariin dia.” belum sempat Sivia selesai bicara, Ify yang baru datang tiba-tiba memotongnya begitu saja. Membuat Cakka dan Sivia saling pandang melihat tingkah Ify yang mengoceh tak jelas.
“Kenapa sih, Fy?” tanya Sivia mewakili Cakka juga.
“Gue mau ngajak loe makan. Ayo! Laper nih gue.” cepat-cepat Ify menarik tangan Sivia dari duduknya.
“Tapi kak Cakka gimana?”
“Udahlah biarin! Gak apa-apa kan, kak?” kata Ify sekenanya. Melihat ekspresi wajah keponakannya yang menyebalkan itu, Cakka hanya mengangguk pasrah. Kemudian tersenyum ke arah Sivia yang seakan bilang pamit ketika Ify menggandeng tangannya keluar perpustakaan.
“Hmm… ck! Punya ponakan gitu amat ya? Ganggu kesenangan orang lain aja kerjaannya. Huh!” gumam Cakka pelan. Matanya ia edar ke sekeliling perpustakaan yang saat itu memang sepi. Cuma ada dirinya bersama Pak Bruno–penjaga perpus–yang tertidur pulas di meja kerjanya. Kemudian Cakka tersenyum dan menggeleng.

***


“Aih… gue gak sabar nunggu malem. Kira-kira gue bakal ngapain aja ya sama My Bidadari Terbeautiful gue? Hmm…” gumam Rio sembari membayangkan sosok Ify yang entah akan secantik apa pas di Prom Night nanti. Wajah manis Rio tiba-tiba berseri. Sedangkan kedua sahabatnya yang sejak tadi seru-seruan bercanda dengan lempar-lemparan kertas itu tak menggubris sedikitpun ucapan Rio. Terkesan bosan kalau mendengar Rio berbicara masalah Ify yang ujungnya akan melenceng ke mana-mana. Seperti yang sudah-sudah.
“Eh, loe berdua sama siapa sih sebenernya? Gue penasaran maksimal deh beneran.” tanya Rio yang berhasil membuat Alvin dan Gabriel berhenti dari aktivitas mereka. Sontak Alvin dan Gabriel langsung mendekatkan mulut mereka ke kedua telinga Rio.
“KEPO!!!”  kompaknya kemudian.
“Aih… biasa aja bisa?! Gue belum budek kok.” tukas Rio seraya mengusap-usap kedua telinganya cepat.
“Nah, itu dia yang kita mau! Iya gak, Gab?” Gabriel terkekeh menjawabnya.
“Heh?! Sialan loe berdua! Gue nanya serius tau?!”
“Kita juga jawab serius tadi. Gimana sih?” timpal Gabriel tak mau kalah. Alvin mengangkat jempolnya menyetujui.
“Serah loe berdua deh! Yang jelas gue tunggu gandengan loe-loe pada ya entar malem?”
“Siap!!!” teriak Alvin dan Gabriel sambil hormat. Lalu tertawa tak jelas. Membuat semua anak-anak XI IPS 2 yang tadinya sibuk masing-masing pun kini beralih pandangan ke arah mereka bertiga. Selalu dan selalu begitu. Alvin dan kawan-kawan tak pernah absen memberikan kesan aneh tersendiri tatkala sedang berkumpul bareng. Seakan-akan dunia yang sangat luas ini milik mereka bertiga gitu deh.
“Apa loe lihat-lihat hah? Baru tau orang ganteng lagi kumpul?” timpal Rio asal ke arah teman-teman kelasnya. Sontak membuat sorakan keras menggema seketika di sana. Sorakan untuk kepercayaan diri seorang Mario Sebastian tentunya. Begitu juga dengan Alvin dan Gabriel yang ikut memberikan sorakan kepada salah satu sahabatnya tersebut. Namun Rio malah tersenyum dan memberikan ciuman jauh kepada teman-temannya itu. Dasar Rio aneh.

***


Shilla berjalan pelan di samping Ray yang masih saja terdiam sejak sebelas menit yang lalu, saat Ray tanpa sengaja bertemu dengan Shilla di dekat perbatasan antara kelas X dan kelas XI. Kini mereka berjalan berdampingan menuju gerbang sekolah untuk pulang. Shilla pun ikut tak bergeming, terkesan ingin menunggu Ray angkat bicara terlebih dahulu dengan sesekali matanya melirik dan tersenyum ke arah cowok berambut sedikit gondrong tersebut.
“Hmm… Shil?” ujar Ray spontan. Lantas Shilla menautkan senyuman sebagai jawaban sekaligus pertanyaan balik darinya.
“Ng… entar malem jangan lupa ya? Gue ke rumah loe sekitar jam tujuhan. Oke?” kata Ray seraya berhenti pas di tengah gerbang.
“Oh, itu? Shilla gak bakal lupa kok, kak. Kak Ray santai aja. Entar malem Shilla tunggu ya di rumah?” balas Shilla tersenyum.
“Oke deh kalau gitu. Loe pulang sama siapa? Gue anterin ya?” tawar Ray kemudian. Meski banyak siswa lain yang berlalu lalang keluar gerbang, Ray dan Shilla malah enjoy saja berdiri di tengah-tengah tanpa memperdulikan siapapun yang melihatnya.
“Woy! Kalau pacaran jangan di tengah jalan dong! Gue mau lewat nih.” tukas seseorang dengan sedikit berteriak di balik helmnya yang masih melekat tanpa dibuka sedikitpun. Namun teriakan itu terdengar cukup jelas di telinga Ray dan Shilla. Sontak mereka berdua menengok dan menemukan sosok Cakka dan Ify yang duduk di atas motor dengan memamerkan deretan gigi putihnya. Ray pun berdecak seketika.
“Siapa yag pacaran sih? Ngarang mulu!” Cakka tertawa kecil mendengar ucapan Ray tersebut. Sedangkan Shilla hanya memilih diam ketimbang ikut angkat bicara. Yang ada ia akan diledek terus-terusan oleh Cakka.
“Pacaran juga gak apa-apa kok. Kalian cocok tau?! Kak Ray ganteng, Shilla juga cantik. Iya kan, kak Cakka?” Ify menimpali. Cakka langsung mengangkat jempol sebagai tanda setujunya akan tanggapan Ify itu.
“Ih, Ify! Kok kamu jadi kaya kak Cakka sih? Suka ngeledekin Shilla sama kak Ray gitu.” Shilla memanyunkan bibirnya sedetik.
“Bukan gitu maksud gue, Shil. Gue cuma bilang jujur kok. Kalian emang cocok! Swear!
“Ya udah deh daripada kita ganggu kalian di sini, kita duluan ya? Have fun. Bye!
Bye, Shil!” Cakka dan Ify terkekeh sebelum mereka pergi dari hadapan Ray dan Shilla yang kini memasang wajah badmoodnya.
“Mentang-mentang punya hubungan darah, kompak ya nyebelinnya?” ucap Ray heran. Kemudian saling pandang dan berbalas senyum dengan Shilla sebelum akhirnya kembali terdiam.

***


Time to Prom Night.

Bulan tersenyum. Cahaya terangnya membias ke setiap jutaan bintang yang juga tak kalah indahnya dengan sang ratu malam tersebut. Ditambah dengan tiupan angin yang tak begitu kencang itu ikut menggenapkan suasana damai yang dapat dirasakan semua insan yang ada di dunia ini.

Dengan helaan napas yang sedikit gugup, Alvin masih setia berdiri di dekat pintu sambil mondar-mandir tak jelas untuk menunggu seseorang yang belum juga keluar meski sudah hampir setengah jam Alvin menunggu di sana. Sembari matanya dengan sesekali melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Ia mulai berdecak gelisah. Rasa bosan sedikit demi sedikit menyeruak di otaknya. Namun baru saja Alvin hendak duduk di kursi yang ada di teras rumah tersebut, tiba-tiba sebuah panggilan lembut menyapanya perlahan.
“Maaf lama, kak.” kata seseorang yang baru saja muncul di balik pintu. Seseorang yang tentunya sedang ditunggu Alvin sejak tadi. Sontak membuat Alvin sedikit tersentak kaget dibuatnya begitu baru sedetik dirinya menengok ke arah sumber suara.
“Sss… Sii… Sivia?” Alvin tiba-tiba mendadak kaku. Bahkan mulutnya seakan-akan sulit untuk berbicara walaupun hanya satu kata. Cewek yang kini berdiri tak jauh di hadapannya itu terlihat bukan seperti Sivia yang ia tau sebelumnya. Dengan sedikit menelan ludah, Alvin memandangi tubuh Sivia dari bawah ke atas dan sebaliknya. She is so beautiful!

Sedangkan Sivia masih berdiri mematung. Matanya mengikuti arah pandang Alvin yang terkesan syok jika dilihat dari ekspresi wajahnya tersebut. Dan faktanya memang benar begitu. Alvin syok melihat aura wajah Sivia yang sangat mempesona dengan pakaian yang cukup simpel tapi terlihat elegan. Gaun putih yang menjuntai indah sampai lutut dan tanpa lengan itu membalut tubuh Sivia dengan sempurna. Flat shoes dengan sentuhan berlian-berlian kecil di ujungnya juga ikut serta mengindahkan penampilan kaki jenjang Sivia malam ini. Tak ketinggalan juga kalung perak berbandul hati yang melingkar di leher Sivia pun sempat menjadi pusat perhatian Alvin selaku si pemberi kalung yang kini dipakai oleh gadis sedikit tomboy yang sudah bermetamorfosis menjadi permaisuri tersebut. Alvin sedikit tersenyum. Berusaha menetralkan rasa gugup yang menggelegar dalam hati, pikiran, serta jiwanya.

Sedangkan Sivia masih berdiri gelisah di hadapan seorang Alvin. Mulai resah karena ditatap seperti itu oleh cowok yang kini terlihat lebih maskulin dengan mengenakan jas hitam pekat yang pas dengan bentuk badannya dan dipadukan dengan kaos yang warnanya senada dengan semua aksesoris yang dikenakan Sivia malam itu. Warna putih polos tanpa corak. Serta celana jeans hitam berbias putih di bagian pahanya ditambah sepatu sneackers yang juga matching dengan warna jeans yang dikenakannya tersebut memberi kesan kalau Alvin bukanlah tipe orang yang suka berdandan formal. Terkesan simple dan casual.
“Apa ada yang salah sama baju yang aku pakai, kak?” tanya Sivia sembari mengoreksi kembali semua yang ia kenakan dari bawah sampai atas. Alvin langsung tersentak. Tersadar dari ekspresi terpesonanya melihat Sivia yang super cantik malam ini. Sampai-sampai ia sendiri tak menyadari berapa lama ia mematung sejak kehadiran Sivia sekitar limabelas menit yang lalu.
“Hmm… eh, ng… gak ada kok, Vi. Gue cuma kaget aja lihat loe pakai baju kaya gini.” jawab Alvin refleks.
“Gak pantes ya, kak? Hmm… aku emang gak pernah dandan seperti ini, jadi rasanya aneh gitu. Apa aku ganti aja?” tanya Sivia dengan sedikit menyunggingkan senyum terpaksanya.
“Oh… jangan-jangan, Vi! Nggak kok, loe cantik. Cantik banget malah. Gak terlalu glamour, tapi good looking! Sederhana deh pokoknya.” ucap Alvin seadanya sambil menggelengkan kepala berulang kali. Sivia tersenyum kemudian, membuat bibir merah mudanya mengembang manis tanpa komando.
“Kak Alvin bisa aja. Hmm… tapi kak Alvin juga ganteng sih, sedikit.” Sivia terkekeh.
“Tanpa loe bilang pun, gue udah ganteng dari sananya. Ayo berangkat! Entar telat lagi.” ajak Alvin seraya mengakat sedikit lengan kirinya. Memberi kode ke Sivia untuk menyelipkan tangan kanannya seperti para pangeran di luar sana yang hendak menggandeng permaisurinya yang sangat cantik jelita.
Thanks!” gumam Sivia setelah dengan lembut tangannya menggapit tangan Alvin. Mereka pun berjalan sebiasa mungkin menuju mobil Ferrari 458 Spider berwarna silver dengan kap terbuka yang terparkir di depan rumah Sivia.
“Bentar, sang pangeran akan membukakan pintu untuk permaisurinya terlebih dahulu.” ucap Alvin sembari menundukkan badan dan membuka perlahan pintu mobil. Sivia terkekeh seketika.
“Serasa jadi permaisuri beneran deh. Hehehe.” Alvin tersenyum saja membalasnya. Lantas ia berlari kecil menuju tempat kemudi saat Sivia sudah terduduk manis lengkap dengan sabuk pengaman yang mengait di tubuhnya. Mereka pun mulai melaju menuju pesta.

***


Satu per satu siswa Sarfagos berdatangan dengan pasangan masing-masing serta berdandan layaknya anak muda sekarang yang terkesan gaul dan sedikit sentuhan glamour ditambah make-up seperlunya. Walaupun ada saja satu-dua-tiga siswi yang berdandan ala “Mommy” yang berlebihan. Jadi kesannya terlihat jauh lebih tua dari dandanan seharusnya. Tapi walaupun begitu mereka tetap enjoy demi menikmati acara yang diadakan Sarfagos setiap tahunnya tersebut.

Dan malam ini, suasana Sarfagos sudah disulap sedemikian rupa menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Banyak makanan dan minuman yang tersedia di atas meja yang tersebar di setiap titik sudut dekat ruangan aula yang faktanya akan menjadi tempat utama acara Prom Night tersebut. Di mana di dalam sana tak ada satupun meja yang tersedia karena akan dijadikan tempat puncak acara untuk berdansa serta pemilihan King and Queen ke-11 Sarfagos Senior High School yang sudah menjadi tradisi setiap tahunnya. Yang ada hanya karpet merah yang tergelar sepanjang pintu masuk ruangan sampai meja DJ yang di atasnya terpampang dua buah mahkota yang nantinya akan dipakai si penobat King and Queen ke-11. Serta dekorasi ruangan yang seperti halnya tempat disko lengkap dengan lampu-lampu gemerlap di langit-lagit pun ikut mendukung untuk acara puncak nanti malam. So pectacular!

Sepuluh menit sebelum acara dimulai, semua siswa-siswi yang sudah hadir di sana dibuat terpukau dengan kedatangan Cakka yang baru saja turun dari mobil berwarna putih itu dengan menggandeng seorang cewek hitam manis yang rambutnya diikat satu serta mengenakan gaun panjang silver bercorak bunga dibagian dadanya tersebut berjalan dengan santai di samping Cakka sambil menautkan senyuman ke arah siapapun yang memandangnya.
“Gue grogi dilihatin seperti itu sama anak-anak.” bisik si cewek yang ternyata adalah Agni.
“Santai aja, Ag. Loe cantik banget kok malam ini.”
Thanks, Cakka.” respon Agni sumringah. Mereka tetap berjalan lurus ke depan. Bersiap disambut oleh para panitia yang akan memotretnya untuk dijadikan dokumentasi sekolah.

Dan tak lama setelah Cakka datang, disusul oleh Rio dan Ify serta Gabriel dengan Prissy yang tanpa sengaja datang bersamaan. Keempatnya lantas tertawa begitu menyadari pasangan mereka satu sama lain. Rio yang mengenakan tuxedo warna hitam dengan kemeja putih sangat sinkron dengan Ify yang memakai dress sepaha dengan cardigan tipis yang membalut bahunya. Serasi. Begitupun Gabriel yang terlihat tampan dengan sweater abu-abu berkancing yang membalut kemeja putih berdasi merah itu sangat matching dengan Prissy yang berdandan ala putri kerajaan lengkap dengan mahkota kecil di atas rambut hitam bergelombangnya yang dibiarkan tergerai. Mereka tak henti-hentinya tersenyum selama berjalan beriringan.

Setelah dirasa sudah cukup ramai dan waktu pun sudah mulai menunjuk ke angka delapan, Prom Night Sarfagos ke-11 segera dimulai.
“Oke, semuanya… silahkan berkumpul di sini. Sebentar lagi acara akan segera dimulai.” sambut salah seorang MC yang tak lain adalah salah satu guru kesenian yang ada di Sarfagos. Pak Lingga. Guru paling gaul serta paling catchy yang ada di SMA tersebut. Sedetik, seluruh siswa-siswi berkumpul di tengah-tengah aula. Menunggu rentetan acara yang akan mereka jalankan malam ini.
“Sebelum acara ini dimulai, sebaiknya kita berikan tepuk tangan dulu sebagai penghormatan buat Ibu Jessie selaku Kepala Sekolah dan Pak Alex selaku orang yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup sekolah kita ini. Oke, terima kasih.” ucap Pak Lingga bersamaan dengan bergemuruhnya tepukan tangan seisi aula yang memang dapat menampung ratusan siswa itu. Bu Jessie dan Pak Alex hanya tersenyum. Ada rasa bahagia tersendiri saat berdiri di depan siswa-siswinya yang kini penampilannya terlihat sangat beda. Tidak seperti biasa yang selalu memakai seragam dengan dasi kupu-kupu kecil di tengah-tengah kerahnya.
“Sebelumnya saya mau memberikan kesempatan terlebih dahulu buat Ibu dan Bapak yang terhormat ini untuk memberikan sepatah dua patah kata untuk membuka acara ini.” pinta Pak Lingga sambil menyodorkan microphone. Pak Alex pun saling pandang dengan Bu Jessie. Berbalas kode siapa dulu yang akan memberikan sambutannya.
“Hmm… oke, berhubung acara inti dalam perayaan kesebelas tahun Sarfagos ini sudah dilakukan tadi pagi dengan pemotongan tumpeng di tengah lapangan basket, Bapak dan Ibu Jessie gak mau banyak bicara lagi di sini. Karena ini memang acara khusus untuk kalian semua anak-anakku. Dan sekarang sudah saatnya Bapak untuk bilang… IT’S TIME TO PARTY!!!” teriak Pak Alex heboh dibarengi dengan berdentumnya suara musik disko yang menggema serta gemerlap lampu warna-warni yang juga muncul serentak di langit-langit. Semua siswa berjoged ria di sana sambil bersorak ria. Tapi sayangnya semua itu tak berlaku lama. Karena tiba-tiba musik berhenti saat salah satu siswi yang beridiri di dekat pintu masuk refleks berteriak menyebut nama Alvin yang kebetulan baru saja datang.
“Wow! Alviiiiiinnnnnn!!! Keren banget!!!” ceplos seseorang di kerumunan tak kalah heboh. Alvin tersenyum semanis mungkin sambil tetap menggandeng Sivia yang juga ikut senyum memaksa ke arah siswa-siswi yang kini pandangannya tertuju pada mereka berdua. Dan tanpa menghiraukan sedikitpun, Alvin dan Sivia berjalan santai menuju tempat DJ Lingga alias Pak Lingga berdiri. Sontak lautan yang terdiri dari ratusan manusia itupun terbelah begitu saja. Seakan memberi jalan untuk Alvin dan Sivia lewat.
“Kok kita dilihatin gitu sih, kak? Emang ada yang salah ya?” bisik Sivia di tengah-tengah langkahnya yang lumayan gugup.
“Gak ada yang salah. Mereka lihatin loe kaya gitu karena mereka iri sama loe.” balas Alvin sambil tetap memasang wajah secool mungkin.
“Heh? Iri? Kenapa mesti iri, kak?”
“Udah deh loe diem aja! Anggap aja ini acara milik kita berdua. Dan mereka semua sedang melihat pangeran sama permaisurinya berjalan.” timpal Alvin asal. Membuat Sivia mengernyit tak mengerti. Kemudian mereka berhenti pas di depan podium yang Pak Lingga, Bu Jessie dan Pak Alex berdiri. Senyum pun mengembang di antara masing-masing mereka. Terlebih Pak Alex yang selama tiga tahun ke belakang belum pernah melihat Alvin tersenyum sebahagia dan setampan serta sekalem seperti sekarang ini.
“Kok jadi sepi gini sih? Mana musiknya? Pak Lingga, let’s play the music!” pinta Alvin semangat. Dan tanpa menunggu lama, musik pun kembali menggema. Membuyarkan pandangan semua siswa yang sempat terpaku akan kedatangan anak pertama pemilik Sarfagos tersebut. Mereka membaur lagi menjadi satu di tengah-tengah aula.
“Kak, aku gak bisa joged. Udah ah!” teriak Sivia ketika Alvin terus-terusan memegang kedua tangannya.
“Gak apa-apa, asal aja. Yang penting gerak, jangan diem!” suruh Alvin balas teriak karena alunan musik yang semakin berdentum kencang. Sivia pun terkekeh melihat Alvin yang berjoged tak tentu arah di hadapannya. Menggemaskan.

Di sudut lain, Cakka berdiri dengan malasnya di tengah lautan manusia. Walaupun Agni sudah berusaha meraih tangan Cakka untuk bergerak, namun Cakka tetap tak bergairah. Matanya terus memandang ke arah Sivia yang begtu enjoy berjoged sambil sesekali tertawa karena Alvin selalu menggodanya.
“Jadi Sivia dateng sama Alvin? Hmm…” gumamnya pelan. Sangat-sangat pelan bahkan. Hanya Tuhan, dirinya dan udara lah yang mungkin bisa mendengarnya.
“Cak, loe kenapa sih? Kok jadi murung gitu muka loe?” tanya Agni mulai heran dengan perubahan raut wajah Cakka kepadanya.
“Gue gak apa-apa kok, Ag. Bentar ya, gue mau minum dulu. Haus nih.”
“Oh, ya udah deh kalau gitu.”

***


“Huwaaaaaa… Sivia!!! Sumpah deh loe cantik banget! Gue ngiri lihat loe.”
“Iya bener banget, Fy! Gue aja sampai pangling lihat Sivia.” heboh Ify dan Prissy bergantian saat mereka bertiga bertemu di salah satu sudut aula dengan pasangan mereka masing-masing.
“Masa sih? Perasaan gue dandan biasa-biasa aja deh. Kalian berdua juga cantik kok. Apalagi kak Prissy, kaya barbie banget!” puji balik Sivia.
“Kalau gue sih kaya siapa, Vi?”
“Hmm… kaya bajak laut, Fy. Hahaha.”
“Aih… sialan loe!”
“Hehehe. Nggak kok, loe juga cantik banget.” Ify menyengir seketika.
“Cieee… yang sama kak Alvin. Hahaha.”
“Lho? Emang kenapa kalau gue sama kak Alvin? Ada yang salah ya?”
“Gak ada yang salah sih, Vi. Tapi kelihatan cocok banget kalian berdua. Iya kan, Fy?” sambung Prissy cepat.
“Nah, itu maksud gue!”
“Cocok? Nggak ah, mungkin kebetulan aja cocok.” kilah Sivia menepis pikiran aneh yang ada di benak Ify dan Prissy.
“Tapi beneran deh gue gak bohong, Vi. Loe sama Alvin serasi sangat!” sambung Prissy lagi.
“Udah jadian aja gih! Gemes gue lihat loe sama kak Alvin malem ini! Toh sama-sama jomblo kan?” goda Ify sembari melirik Alvin yang duduk sambil mengobrol bersama kedua sahabatnya tepat di belakang mereka.
“Ih, apaan sih? Nyebelin deh. Gue sama kak Alvin gak ada hubungan apa-apa, cuma temen biasa.”
“Dari temen biasa kan bisa jadi temen luar biasa, Vi” kata Prissy ikut menggoda.
“Ah, kak Prissy juga ikut-ikutan Ify aja. Nyebelin!” Ify dan Prissy sontak tertawa kecil melihat wajah Sivia yang berubah badmood.
“Bakal ada yang benci jadi cinta nih kayanya. Duh, so sweet banget ya kaya sinetron?”
“Iffffffyyyyyy!!!” Sivia langsung mengunci mulut mungil ify dengan tangan kanannya kuat-kuat.

Di sudut lain, tepat dua langkah dari gerombolan Sivia dan kawan-kawan, Alvin dan Gabriel tersenyum sinis ke arah Rio yang masih saja tak percaya akan cewek yang digandeng mereka berdua malam ini.
“Kebukti kan kalau gue bukan maho?” ceplos Gabriel asal di dekat telinga Rio. Alvin hanya tertawa kecil mendengarnya.
“Tapi kok bisa sih? Jangan bilang loe berdua main pelet?” tebak Rio penuh yakin. Dan itu membuatnya mendapatkan tatapan membunuh dari kedua sahabat di samping kiri-kanannya.
“Sori, gue gak minat pakai pelet!” ketus Alvin.
“Gue juga!” timpal Gabriel mengikuti.
“Tapi kok bis…” baru saja Rio hendak berstatement, Pak Lingga sudah berdiri dan menyapa di podium paling depan.
“Oke semuanya… ayo kumpul lagi di sini! Kita have fun bareng malem ini pokoknya. Masih pada semangat kaaaaaan?!” tanya Pak Lingga semangat.
“Masiiiiiihhhhhh!!!” koor mereka kompak.
“Bagus! Oke, sebentar lagi kita akan menuju ke puncak acara nih. Di mana kita akan segera mengetahui siapakah siswa-siswi di sini yang akan dinobatkan sebagai King and Queen ke-11 Sarfagos Senior High School. Tepuk tangannya mana?!” sorak sorai bergemuruh seisi aula. Tak sabar untuk mengetahui siapa yang akan menjadi Raja dan Ratu Sarfagos di tahun kejayaannya yang kesebelas ini.

Semua yang ada di sana pun saling pandang dan berbisik demi menebak-nebak siapa saja yang pantas mendapatkan gelar tersebut. Gelar yang mana para peraihnya tersebut biasanya akan menjadi sepasang kekasih seperti yang sudah-sudah. Tapi entahlah dengan yang sekarang. Apakah akan mengikuti jejak para pendahulunya? Atau bahkan sebaliknya? Kita lihat saja nanti.
“Dan menurut pengamatan kami selaku panitia Prom Night kali ini, yang pantas menjadi King and Queen malam ini adalah…” musik kembali bergemuruh. Seirama dengan detakan jantung para siswa-siswi yang ada di sana.
“Siapa nih kira-kira? Kamu? Kamu? Atau kamu?” tebak Pak Lingga sembari menunjuk satu per satu siswa-siswi yang ada di pandangannya.
“Kita sambut The King of the year kita malam ini! Congratulations for…” lampu-lampu di langit-langit aula mulai mencari-cari sosok yang akan disebutkan namanya oleh Pak Lingga itu.
“ALVIIIIIINNNNNN!!!” sedetik kalimat itu berbunyi, Alvin tak bergeming sama sekali. Ia malah mengernyit dengan memandang aneh teman-temannya yang ikut senang karena mendengar Alvin lah yang menjadi Raja Sarfagos tahun ini. Mereka pun berteriak heboh dan bertepuk tangan tanpa henti. Terlebih Gabriel dan Rio yang juga sempat tak percaya mendengarnya.
“Wuih… sadis beneeerrr!!! Gila parah loe, Vin!” ujar Gabriel sambil menepuk pundak Alvin bangga. Begitupun Rio.
“Mantap, brader!” ujarnya heboh.
Please welcome, Alvin Pratama!” panggil Pak Lingga yang belum juga direspon oleh Alvin yang terlihat tak percaya. Gue menang bukan karena gue anak Papi Alex kan? Kok mesti gue seih? Batinnya heran. Kakinya ia langkahkan dengan paksa karena tubuhnya didorong terus-terusan oleh Gabriel.
“Selamat ya, Vin?” ucap Pak Lingga sembari menjabat tangan Alvin yang masih menampakan wajah tak berserinya. Ia hanya tersenyum kecil.
“Hmm… oke, sekarang saatnya untuk kita mengetahui siapa yang akan dinobatkan sebagi The Queen of The Year! Are you readdddyyyyyy???!!!”
Readddyyyyyy!!!
“Baiklah. Musiknya yang tegang dong biar kesannya amazing!” canda Pak Lingga. Semua siswa bersorak. Mungkin banyak juga di hati mereka yang bilang, “Pasti gue yang jadi Queennya!”.
“Dan… The Queen of The Year is…” musik lagi-lagi bergemuruh lebih cepat dari sebelumnya. Memberi getaran tersendiri bagi siswi yang mungkin sudah tak sabar lagi untuk menunggu pengumuman bergengsi tersebut. Pak Linggi terdiam sejenak, menggenggam microphone di dada sebelum beliau kembali berbicara.
And congratulations for…” sama seperti sebelumnya, musik dan lampu-lampu kembali beradu. Lebih gemerlap lagi.
“SIVIAAAAAA!!!” teriak Pak Lingga akhirnya. Sontak membuat semua orang yang berada di aula tersebut berteriak heboh sambil matanya tertuju ke arah Sivia yang kini berekspresi tak percaya itu. Banyak alasan tentunya. Ada yang senang mendengar Sivia menjadi Ratu dan ada juga yang menyesal karena belum juga bisa meraih gelar The Queen of The Year di SMA Sarfagos.

Sivia mematung sambil menutupi mulut dengan kedua tangannya. Antara percaya dan tidak percaya akan pengumuman yang baru saja didengarnya tersebut.

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar