Cinta. . .
Entah aku sendiri tak paham betul apa sebenarnya makna dari cinta
Yang kutahu, cinta adalah sebuah rasa
Sebuah yang berawal dari mata
Dan dari mata turun ke hati
Lantas dari hati naik lagi ke mulut
Maka dari mulut lah kata cinta diucapkan
Begitukah cinta?
Entahlah. . .
Karena bagiku, cinta itu hadir saat aku memandangnya tanpa jemu
Memandangnya pula saat ia bertutur lembut di hadapanku
Dan memandangnya saat ia berkata sambil melotot, “Alvin, maju kamu ke depan!”
Seluruh
di kelas XI Bahasa 2 itu serempak terkekeh hebat saat salah seorang
dari mereka membacakan puisi karyanya sendiri di depan kelas. Lucu.
Ekspresi dari siswa tersebut saat membaca puisinya itu terlihat
benar-benar polos. Membuat sang guru yang sedari tadi duduk di pojokan
kelas itu menggeleng heran. Siswanya yang satu ini memang selalu
bersikap aneh acapkali ia mengajar di kelasnya.
Sungguh aku benar-benar mencintaimu, Bucan. . .
Tepuk
tangan serempak menggema saat siswa tadi menyelesaikan bait puisinya.
Selain itu, ada juga yang bersiul sebagai tanda kesalutan atas
keberanian siswa tadi yang membacakan puisi tentang isi hatinya sendiri.
“Terimakasih,
terimakasih, terimakasih!” ucap siswa tersebut sambil menundukan badan
berkali-kali. Ia tersenyum, bahkan sesekali ia memberi long kiss kepada
teman-temannya.
“Oke, cukup! Alvin, silahkan kamu duduk kembali.”
perintah Bu Guru pada siswa yang ternyata bernama Alvin itu. Namun Alvin
malah terdiam. Ia menatap heran gurunya yang menyuruh ia duduk begitu
saja.
“Lho kok disuruh duduk sih, Bucan?” tanya Alvin datar.
“Iya,
duduk. Kamu sudah selesai kan baca puisinya? Jadi sekarang giliran
teman kamu yang lain.” jawab Bu Guru lembut. Lantas kembali mengulurkan
tangan untuk mempersilahkan Alvin duduk kembali di kursinya. Tapi Alvin
tetap berdiri. Ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat.
“Aku gak mau!” timpalnya. Sampai Bu Guru membuang napas heran dan melangkah mendekati Alvin.
“Kenapa?
Mau baca puisi sekali lagi? Ya udah kalau kamu mau baca puisi lagi, Ibu
persilahkan dengan hormat.” ungkap Bu Guru seraya melipat tangan di
hadapan Alvin. Dan Alvin pun ikut melipat tangan sambil menatap mata Bu
Guru lekat. Ia menarik napas kemudian.
“Bucan, dengerin ya! Tadi itu
aku bukan baca puisi, tapi aku lagi mengungkapkan perasaan aku sama
Bucan. Gimana sih, masa Bucan gak peka? Ah, payah nih!” Alvin berucap
dengan diakhiri decakan sinisnya. Membuat teman-teman kelas tertawa,
menggeleng heran, mengernyit, dan bahkan saling bisik satu sama lain.
Terlebih Bu Guru yang kini memutar mata seraya membuang napas. Ulah aneh
Alvin kembali kumat menurutnya.
“Alvin, kamu jangan bercanda ya! Di
sini kamu sedang belajar, jadi jangan bicara yang aneh-aneh! Cepetan
duduk!” gertak Bu Guru mulai tegas. Namun sepertinya hal itu tidak
berlaku buat Alvin. Ia malah tersenyum menghadapi gertakan dari Bu Guru
tersebut.
“Bucanku yang wajahnya gak kalah manis dari Pevita Pearce,
dengerin ya! Aku gak lagi bercanda, aku serius. Aku bener-bener suka
sama Bucan, dari pertama aku ketemu Bucan malah.” ujar Alvin jujur. Dari
sorot matanya bahkan tidak terlihat kalau ia sedang bercanda.
“Udahlah
terima aja, Bu! Si Alvin beneran suka sama Ibu tuh kayanya. Iya kan
temen-temen?” teriak seorang siswa dari arah belakang. Lalu siswa yang
lain menyahutinya dengan kata-kata yang hampir semuanya menyetujui akan
teriakan dari siswa tadi. Alvin lantas mengangguk.
“Tuh, mereka aja
setuju. Berarti aku sama Bucan memang cocok. Bucan mau kan jadi pacar
aku?” ungkap Alvin yang kini mulai berani memegang kedua tangan Bu Guru
yang sekarang berdiri dengan wajah syok di hadapan siswa-siswinya.
“Alvin,
Ibu gak suka sama sikap kamu! Sekarang kamu keluar dari kelas ini!”
usir Bu Guru tegas setelah dengan keras ia menepis pegangan tangan dari
Alvin. Alvin pun mematung.
“Keluar dari kelas ini sekarang juga! Kamu
diskors dari pelajaran saya selama tiga minggu. Mengerti?!” sekali lagi
Bu Guru menggertak. Tangannya ia tunjukan ke arah pintu keluar dari
kelas tersebut.
“Tapi, Bucan?”
“KELUAR!!!” Alvin lantas menunduk
sambil sedikit demi sedikit berjalan mundur. Sepertinya Alvin mulai
menyadari kalau gurunya itu sudah benar-benar marah.
“Dan untuk
kalian semua, Ibu gak akan segan-segan buat skors kalian juga kalau
kalian bersikap sama seperti Alvin. Mengerti?!” kini giliran teman-teman
Alvin yang diancam oleh guru yang belum genap lima bulan mengajar di
SMA yang ditempati Alvin dan kawan-kawan itu.
“Mengerti, Bu.” koor
mereka kompak. Lantas beliau duduk di tempatnya dan kembali memulai
aktivitas belajar mengajar yang tadi sempat terpotong.
Jesivia,
S.Pd. Atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Bu Sivia itu kini
mengatur napasnya perlahan. Entah ia sendiri sedikit menyesali dan
menyayangkan dengan sikapnya tadi yang mengusir dan bahkan sampai
menskors Alvin dari pelajarannya selama beberapa minggu. Tapi bukankah
itu pantas didapatkan oleh siswa yang sudah bersikap tidak sopan kepada
seorang guru? Ralat! Tidak sopan? Hey, bukannya seorang siswa yang
memiliki perasaan lebih kepada seorang guru itu wajar-wajar saja? Atau,
apa karena tempat dan waktunya yang kurang tepat? Atau karena merasa
dipermalukan di hadapan semua siswa-siswinya? Tapi. . . Entahlah!
Sivia
mengerjap seketika. Saat berbagai persepsi akan salah atau tidaknya
ulah Alvin dan sikap tegasnya tadi mulai berkecimpung di otaknya. Ia pun
menggeleng kemudian. Kata-kata puitis yang beberapa menit yang lalu
Alvin ucapkan pun mulai terngiang di telinganya. Meski berusaha untuk
menepis, namun kata-kata itu malah semakin terdengar sangat jelas
olehnya. Kembali, ia memejamkan mata untuk kedua kalinya.
Kalau
Sivia boleh mengeluh, kenapa harus ada siswa seperti Alvin di sekolah
ini? Siswa yang selalu mengusik dan merusak konsentrasinya saat sedang
mengajar. Siswa yang selalu nekad berbuat apapun demi mencuri
perhatiannya. Dan juga siswa yang anehnya selalu hadir saat ia akan
membaringkan tubuh di kala waktu istirahat tiba. Kenapa harus Alvin?
Salah satu siswa pertama yang aneh yang ia temui saat kakinya baru
menginjak sekolah ini sebagai guru honorer. Kenapa harus. . .
Belum
sempat untuk Sivia menyelesaikan keluhannya, suara bel istirahat
berbunyi begitu saja. Membuat siswa-siswi kelas XI Bahasa 2 sedikit demi
sedikit bergemuruh tak jelas.
“Kalau begitu pelajaran ini kita
lanjutkan lusa. Silahkan istirahat, permisi!” ucap Sivia ramah. Ia
memeluk terlebih dahulu beberapa buku yang dibawanya sebelum ia keluar
dari kelas tersebut.
***
Di ruang guru, Sivia terduduk
sambil menjatuhkan pelan buku-buku yang dibawanya. Kepalanya entah
kenapa terasa penat sekali saat ini. Ia pun langsung menyambar segelas
air bening yang sudah tersedia di hadapannya.
“Pasti gara-gara Alvin
lagi,” terka seseorang seraya menyentuh pundak Sivia lembut. Sivia
lantas membuang napas, melirik sendu ke arah orang tersebut, dan menaruh
gelas yang dipegangnya setelah itu.
“Yah, begitulah.” jawabnya
pasrah. Lalu menggeserkan tubuhnya untuk memberi jeda tempat supaya
orang tersebut bisa duduk di sampingnya.
“Kayanya Alvin itu bener-bener suka sama loe deh, Vi.” ujar orang tersebut setelah cukup singkat ia berpikir.
“Menurut gue juga gitu. Tapi Al,” Sivia memotong sebentar ucapannya, gelisah.
“Gue
bingung harus bersikap seperti apa sama Alvin. Di satu sisi, gue merasa
risih dengan ulah Alvin yang cukup nekad itu. Tapi di sisi lain, gue
kasian sama dia. Tau sendiri kan sikap gue gimana kalau Alvin sudah
bertingkah aneh sama gue?” ungkap Sivia panjang lebar. Membuat
Alyssa一teman Sivia sesama guru honorer di sekolah tersebut一tersenyum iba
padanya. Ia paham betul apa yang sedang dirasakan Sivia saat ini.
“Udahlah
Vi, gak usah dipikirin! Cuekin aja lagi, entar juga tuh anak nyerah
sendiri. Ya kan?” ucap Alyssa yakin. Tangannya ia rangkulkan di pundak
Sivia.
“Udah ratusan kali gue lakuin itu, Al. Tapi hasilnya? Loe
lihat sendiri kan tuh anak masih aja ngejar-ngejar gue. Mesti gimana
lagi coba?” cekal Sivia sangsi.
“Hmm. . . Kalau gak gitu jalan
satu-satunya ya. . .” Alyssa berpikir sejenak sebelum ia melanjutkan
kata-katanya. Membuat Sivia terpaksa menunggu akan kelanjutan kata-kata
dari teman seperjuangannya itu.
“Apaan?” tanya Sivia kemudian.
“Ya mau gak mau loe mesti turutin kemauan Alvin itu apa.” lanjut Alyssa sekenanya.
“Maksud
loe, gue mesti jadi pacarnya Alvin gitu?” ucap Sivia sembari
mengernyit. Alyssa kemudian mengangguk. Menurutnya cuma itulah
satu-satunya cara yang sangat ampuh untuk menghentikan semua keluhan
Sivia tentang Alvin.
“Enggak! Gue itu gak suka sama Alvin, Al. Dia terlalu muda buat gue,” ujarnya seraya menggeleng cepat.
“Tapi
menurut gue Alvin itu cakep lho, Vi. Toh zaman sekarang usia udah gak
ngaruh lagi kan dalam sebuah hubungan?” ucap Alyssa dengan entengnya.
“Alyssa, tolong ya? Jangan ngawur deh kalau ngomong!” tegur Sivia yang mulai heran dengan ucapan guru honorer yang satu itu.
“Hey,
gue gak ngawur! Gue ngomong dengan fakta yang ada, Sivia. Coba deh lain
kali loe perhatian lagi si Alvin, dia itu gak seperti remaja-remaja
pada umumnya. Dia beda dari yang lain.” balas Alyssa dengan sedikit
mensugesti Sivia. Lantas Sivia terlihat berpikir sejenak.
“Tapi ya terserah loe juga sih. Gue cuma nyaranin doang,” lanjutnya lagi yang kali ini seraya bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana?”
“Mau ngasih tugas ke kelas X.4, kenapa?”
“Ngasih tugas? Emang loe gak mau masuk habis istirahat?” tanya Sivia sambil melirik arloji yang dipakainya.
“Kayanya enggak deh. Gue disuruh menghadap pak kepsek sehabis istirahat. Jadi gue mau ngasih tugas mandiri aja sama mereka.”
“Oh,
ya udah deh kalau gitu.” balas Sivia dengan anggukan ringannya. Dan
Alyssa pun menyempatkan untuk tersenyum dulu sebelum ia pergi
meninggalkan Sivia di ruang guru.
“Hmm. . . Gue? Jadi pacarnya Alvin?
Ya Tuhan, mau taruh di mana reputasi gue sebagai seorang guru? Ck!”
gumamnya sangsi. Entah kenapa tiba-tiba saja perkataan dari Alyssa
terngiang-ngiang kembali di telinganya. Lalu menggeleng sebagai tanda
tolakan dari gumamannya tadi.
***
“Gila loe Vin, gue
gak nyangka loe bisa senekad itu! Parah.” timpal salah seorang sahabat
Alvin saat sedang duduk bersama di pojokan kantin. Di tempat biasa
mereka bertiga nongkrong. Sebuah tempat yang bisa menyaksikan semua
aktivitas siswa-siswi yang mengunjungi kantin saat istirahat tiba.
Menyenangkan bukan?
“Tau nih parah banget loe, Vin. Loe kerasukan
setan apa sih sampai nekad banget nembak Bu Sivia di depan kelas?” kini
giliran sahabat Alvin yang satunya lagi yang berkicau. Alvin menghela
napas sambil matanya memandang gelas yang terletak tak jauh di dekat
tangannya. Lantas diputar-putarkannya gelas cantik yang sudah tak ada
isinya itu perlahan.
“Gak tau gue juga bingung Cak, Yo. Hmm. . .
Mungkin karena gue udah terlanjur cinta kali ya sama Bucan? Entahlah,”
ucapnya resah. Cakka dan Mario一sahabat Alvin tadi一kini saling pandang
dan tertawa sangsi setelahnya. Menurut mereka otak Alvin sudah mulai
eror akhir-akhir ini. Ralat! Semenjak kehadiran Sivia di sekolah ini
lebih tepatnya.
“Vin, emang di sekolah ini gak ada yang lebih cantik atau lebih seksi gitu dari Bu Sivia?” tanya Mario skeptis.
“Atau
yang usianya sama kaya loe gitu? Ya setidaknya lebih muda lah. Gak ada
ya, Vin?” lanjut Cakka yang seakan satu pemikiran dengan Mario. Alvin
sontak menggeleng. Tak peduli dengan semua ocehan sahabatnya tersebut.
“Ya elah Vin, loe kena sindrom apa sih sebenernya?”
“Iya
sih Bu Sivia itu cantik, seksi, pinter, baik lagi. Tapi kan umur loe
sama umur Bu Sivia itu jauh, Vin. Ranah pemikirannya udah beda. Udah gak
bisa diajak main-main lagi.” kata Mario dan Cakka bergantian. Mereka
berdua seakan kompak untuk tidak menyetujui akan rasa cinta Alvin pada
gurunya sendiri.
“Yang namanya Alvin gak pernah sekalipun main-main.
Gue jatuh cinta sama Bucan, dan gue serius. Udah deh loe berdua gak usah
ikut campur sama urusan gue yang satu ini.” respon Alvin sambil menatap
wajah kedua sahabatnya tajam.
“Bukannya kita mau ikut campur sama
urusan loe Vin, kita bilangin loe kaya gini karena kita gak mau lihat
loe kecewa suatu saat nanti. Itu aja kok,” kata Cakka dengan rangkulan
tangannya di pundak Alvin.
“Gue setuju. Tapi kalau emang loe beneran jatuh cinta sama Bu Sivia, ya kita mau gimana lagi?” lanjut Mario pasrah.
“Nah gitu dong! Yang namanya sahabat kan harus saling dukung. Iya enggak?”
“Yoi,
gue setuju. Tapi sekarang kan loe diskors sama Bu Sivia, Vin. Gimana
tuh jadinya? Apa loe masih nekad buat ngejar-ngejar Bu Sivia? Entar loe
malah dikeluarin lagi,” tanya Cakka cukup bingung. Mario pun mengangguk
menyetujui pertanyaan-pertanyaan Cakka.
“Alvin masih tetap Alvin.
Bukan tipe orang yang mudah menyerah. Lagipula, apa kalian pernah lihat
atau denger berita gitu kalau seorang siswa dikeluarin dari sekolah
karena jatuh cinta sama gurunya? Belum pernah kan? Jadi gak perlu
khawatir juga lah,” jawab Alvin enteng. Sedangkan Cakka dan Mario hanya
bisa saling pandang dan seakan dalam hatinya bilang iya-juga-sih.
“Hayo,
mikir kan loe berdua? Ya udah yuk cabut? Bentar lagi bel nih, gue gak
mau kena hukuman lagi di pelajarang yang lain.” lanjut Alvin yang kini
bangkit sambil merapikan bajunya yang sedikit berantakan. Lalu bergegas
sembari diikuti sahabat-sahabatnya dari belakang.
***
Awan
hitam di atas langit kini sudah menurunkan beban beratnya ke bumi.
Tetesan air yang semakin kerap menghantam tanah itu membuat aktivitas
manusia terhenti seketika. Begitu juga yang dialami Sivia saat ini.
Aksinya yang tadi menerima telepon cukup lama saat bel pulang sekolah
berbunyi itu menyebabkan ia terjebak hujan dan kebetulan Sivia juga
tidak membawa payung. Membuatnya terpaksa berdiri di koridor sekolah
demi menunggu hujan reda.
“Tambah deras lagi hujannya,” lirih Sivia
dengan sedikit melongokkan kepalanya ke arah depan. Menatap awan yang
masih mendung dengan sesekali mengusap lengannya yang kedinginan.
“Jodoh
itu emang gak ke mana ya, Bucan? Perasaan tadi ketemu, sekarang ketemu
lagi.” kata seseorang yang suaranya benar-benar sudah tidak asing lagi
di telinga Sivia.
“Alvin?” ucap Sivia saat ia menengok dan mendapati
Alvin sedang tersenyum manis ke arahnya. Lantas Alvin berdiri di
sampingnya sambil melipat tangan di dada.
“Iya Bucan, ini Alvin.
Kenapa? Kangen ya sama Alvin?” kata Alvin asal. Lalu Sivia memutar mata
dan membuang napas jengah. Siswanya yang satu ini benar-benar tidak
sopan jika dinilai dari ucapannya di hadapan seorang guru.
“Terserah kamu deh mau ngomong apa, Ibu lagi males meladeni omongan kamu yang suka ngawur itu.” ketus Sivia sinis.
“Iya
deh iya Alvin minta maaf kalau gitu. Alvin janji gak bakal ngomong
ngawur lagi sama Bucan.” Alvin lagi-lagi tersenyum. Membuat guru cantik
yang berdiri di sampingnya itu menatapnya skeptis.
“Baguslah kalau
begitu. Jadi Ibu gak perlu repot-repot lagi menskors kamu lebih lama.”
ujar Sivia dingin. Tak menghiraukan sama sekali ekspresi Alvin yang kini
sudah berubah masam. Alvin terdiam.
“Kamu belum pulang?” lanjutnya
datar. Meski matanya tak menatap ke arah Alvin, namun itu cukup membuat
Alvin merasa senang. Ternyata diam-diam Sivia perhatian juga padanya.
“Harusnya Alvin yang nanya gitu ke Bucan. Kalau Alvin kan dari dulu pulangnya sore terus, biasalah basketan dulu.”
“Oh,”
respon Sivia sangat singkat. Telapak tangannya ia usap-usapkan demi
mengusir rasa dingin yang mendera kedua lengan terbukanya.
“Bucan sendiri kenapa belum pulang?” pertanyaan retoris yang keluar dari mulut Alvin sontak membuat Sivia menyeringai sinis.
“Gak lihat ada hujan turun apa?”
“Oh
iya ya? Hehehe. Kali aja gitu ada alesan lain yang menyebabkan Bucan
belum pulang.” ucap Alvin polos. Sedangkan Sivia membalasnya dengan
berdecak saja. Lebih tepatnya memilih untuk diam ketimbang harus
merespon obrolan-obrolan tidak penting dari seorang Alvin.
Sedetik,
mereka berdua terdiam. Menikmati irama-irama merdu yang diciptakan oleh
sang hujan yang kini sedikit mereda. Cukup lama. Sampai Alvin
memutuskan untuk melepaskan jaketnya saat ia tanpa sengaja melihat Sivia
yang sedikit menggigil karena kedinginan.
“Bucan kedinginan ya? Nih
pakai aja jaket punya Alvin. Alvin gak apa-apa kok. Lagian hujannya udah
mulai reda juga. Kayanya seru tuh buat main basket. Alvin duluan ya,
Bucan? Daaah!” ucap pamit Alvin yang dalam hitungan detik saja sudah
menghilang dari hadapan Sivia. Ia berlari menerobos tetesan air hujan
menuju lapangan basket. Dan sesampainya di sana, Alvin langsung
mengambil bola basket yang tergeletak di tengah lapang yang lantas
dimainkannya meski keadaan sekitar sedikit tergenang air. Ia terlihat
sangat senang saat itu.
Sedangkan di sisi lain, Sivia hanya bisa
terdiam seraya menggeleng melihat ulah Alvin tersebut. Dengan tanpa
sadar jaket pemberian Alvin pun ia lipat dan ia peluk bersama tas yang
ia bawa. Sampai Sivia mampu mencium wangi parfum yang masih melekat di
jaket tersebut. Wangi parfum yang begitu maskulin yang selalu ia cium
saat ia berdekatan dengan Alvin.
“Alvin, Alvin. Kamu itu emang aneh.” gumamnya dengan diselingi sebuah senyuman.
***
“Silahkan
kalian rangkum materi tentang paragraf yang ada di buku paket halaman
215 sampai 220. Setelah itu kalian isi tugas mandiri yang ada di halaman
selanjutnya. Mengerti?” suruh Sivia setelah cukup singkat ia
menerangkan materi baru di pelajaran yang ia ajarkan di kelas XI Bahasa
2. Lalu kelas tersebut pun berkoor kompak untuk menuruti perintah dari
gurunya itu.
“Ada yang tau Alvin ke mana?” tiba-tiba Sivia kembali
berbicara. Pasalnya sejak ia masuk beberapa menit yang lalu, ia tidak
mendapati sosok Alvin di kursinya. Hanya ada Cakka yang duduk sendiri di
sana.
“Alvin di UKS, Bu.” celetuk Cakka saat Sivia menatapnya dengan sebuah pertanyaan. Sivia pun mengernyit mendengarnya.
“UKS? Memangnya Alvin sedang sakit?”
“Sepertinya
begitu, Bu. Soalnya tadi wajah Alvin pucat banget, terus pingsan. Jadi
Cakka sama Mario bawa Alvin ke UKS.” jelas Cakka rinci. Sivia kini
membulatkan mulut. Sedikit syok dengan apa yang diucapkan Cakka
tersebut.
“Baiklah kalau begitu kalian kerjakan tugas dari Ibu, Ibu
mau nengok Alvin sebentar.” ujarnya seraya bergegas pergi dari kelas
Alvin dan kawan-kawan.
“Baik, Bu!” kompak mereka lagi. Lalu saling berbisik setelah Sivia keluar dalam hitungan detik.
“Bu Sivia kok kelihatannya syok gitu ya, Cak?” bisik Mario ke arah Cakka yang duduk di belakangnya. Cakka mengangkat bahu.
“Khawatir kali sama Alvin. Ya wajarlah namanya juga guru.” jawab Cakka santai.
“Iya
juga ya? Eh, tapi bukannya Alvin lagi diskors sama Bu Sivia? Kok Bu
Sivia malah nanyain Alvin ke mana sih?” lagi-lagi Mario bertanya, merasa
ada yang janggal dengan sikap Sivia kepada Alvin.
“Ya mana gue tau?
Itu kan urusan Bu Sivia sama Alvin. Udahlah jangan banyak nanya! Gak
bakal kelar-kelar tugas kita kalau loe nanya mulu.” semprot Cakka kesal.
“Iya-iya sori. Aelah!” Mario menekuk wajahnya.
***
Dengan
sangat hati-hati, Sivia mengusap poni berantakan milik Alvin yang
sedikit menutupi dahinya. Lembut. Meski selama Sivia menetap di sekolah
ini ia sering mendapatkan hal yang aneh-aneh dari Alvin, namun saat ini
Sivia cukup terhenyak hatinya begitu melihat wajah Alvin yang sangat
pucat. Padahal baru kemarin ia bisa tersenyum karena tingkah Alvin, tapi
kini anak tersebut malah terbaring lemah di hadapannya sekarang.
“Hey,
bangun! Ada Ibu di sini.” bisik Sivia lembut. Tangannya kembali ia
usapkan di ubun-ubun Alvin. Sampai Sivia dapat merasakan suhu panas yang
mendera tubuh Alvin saat itu.
“Astaga, badannya panas banget.”
lirihnya resah. Lalu Sivia mengambil kain putih yang tercelup di sebuah
mangkuk berisi air dingin yang sudah tersedia tak jauh di tempat Alvin
terbaring. Ia memerasnya terlebih dahulu sebelum ia menempelkannya di
kening Alvin. Membuat Alvin sedikit menggerakan kepalanya. Sontak
terbangun seketika.
“Bucan?” ucapnya parau. Rasa sakit di kepalanya membuat Alvin sedikit meringis saat berbicara.
“Kamu sakit apa? Kok sampai pingsan gitu sih?” tanya Sivia sambil memegang jemari Alvin.
“Alvin
gak sakit kok, Bucan. Alvin cuma pusing doang. Kalau masalah pingsan,
mungkin karena Alvin belum makan aja.” jawab Alvin jujur. Tatapan
matanya begitu sayu saat itu.
“Pasti gara-gara main basket sambil hujan-hujanan kemarin. Iya kan?”
“Mungkin. Tapi Alvin gak apa-apa kok. Bucan jangan khawatir ya?” ungkap Alvin yang berhasil membuat Sivia menyeringai.
“Dari
mana kamu tau kalau Ibu khawatir sama kamu hah?” tanya Sivia dengan
nada yang bisa dikatakan tegas. Namun tetap terdengar lembut di telinga
Alvin. Alvin pun terkekeh.
“Apa sih yang Alvin gak tau dari Bucan?
Pasti Bucan dateng ke sini karena Bucan khawatir kan sama Alvin? Hmm. . .
Atau jangan-jangan Bucan kangen ya sama Alvin? Hayo ngaku!” terka Alvin
percaya diri. Ternyata Alvin tetaplah Alvin, selalu saja membuat Sivia
jengah dalam kondisi apapun. Membuat guru berparas cantik tersebut
membuang napas gusar.
“Kalau bukan karena sakit, mungkin Ibu sudah
menskors kamu lebih lama lagi.” timpalnya ketus. Alvin kembali terkekeh.
Lucu sendiri melihat ekspresi guru tambatan hatinya itu.
“Ya maaf, Alvin kan cuma becanda doang.”
“Iya-iya, Ibu tau. Hmm. . . Vin, Ibu boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Sivia dengan mengganti topik.
“Nanya apaan, Bucan? Boleh kok. Tapi jangan nanya tentang pelajaran ya, Bucan? Hehehe.”
“Enggak kok, ini tentang perasaan kamu.”
“Perasaan Alvin? Maksud Bucan?”
“Iya,
perasaan kamu. Hmm. . . Ibu cuma pengen tau aja kenapa kamu bisa suka
sama Ibu. Padahal kan gadis yang lebih cantik dari Ibu dan tentunya
seumuran sama kamu itu banyak banget di sekolah ini. Tapi kok kamu tetep
keukeuh sih suka sama Ibu?” tanya Sivia dengan pertanyaan yang mungkin
sudah ia ingin tanyakan kepada Alvin sejak dulu. Kontan Alvin
menyempatkan diri tersenyum sebelum ia menjawab pertanyaan dari Sivia.
“Kalau
masalah itu, entah Alvin juga bingung harus menjawab apa. Tapi yang
jelas, semua pertanyaan Bucan tersebut jawabannya cuma ada di sini.”
jawab Alvin seraya menggenggam dan menuntun tangan Sivia ke arah
dadanya.
“Ada di hati Alvin. Karena hal apapun yang berasal dari
dalam hati itu tidak bisa lagi dijelaskan oleh kata-kata. Bucan ngerti
kan apa yang Alvin bilang?” lanjutnya. Sivia menghela napas. Perkataan
dari Alvin benar-benar membuatnya harus berpikir lebih keras.
“Tapi
sepertinya kamu itu hanya kagum sama ibu, gak lebih.” sangkal Sivia
kemudian. Maka dengan cepat Alvin menggeleng. Lalu berusaha bangun dari
terbaringnya dan duduk menghadap Sivia.
“Kagum itu rasanya gak
seperti ini, Bucan. Perasaan ini menyatakan kalau Alvin bener-bener
jatuh cinta sama Bucan.” ungkap Alvin sangat yakin. Ia sungguh tidak
meragukan lagi apa yang sedang ia rasakan saat ini.
“Ya sudahlah,
lupakan! Toh tadi Ibu cuma nanya kok. Tetapi kalaupun semua itu benar
adanya, Ibu harap kamu gak akan kecewa sama kenyataan yang akan kamu
dapatkan nanti. Cepet sembuh ya? Ibu mau kembali ke kelas dulu,” ujar
Sivia seadanya. Ia mengusap kembali kening Alvin sebelum ia berdiri.
“Bucan?”
panggil Alvin kemudian. Sepertinya ia masih menginginkan kehadiran guru
cantik itu di sisinya. Sivia tersenyum, lalu tanpa ragu mencium hangat
kening Alvin sebagai tanda penolakan dari permohonan tersirat yang Alvin
berikan tadi.
“Ibu keluar dulu ya?” pamit Sivia sangat pelan. Lantas
kali ini Alvin sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, sebuah kecupan
hangat yang ia rasakan tadi itu sudah lebih dari cukup menurutnya.
“Makasih udah nengokin Alvin,” gumamnya senang. Tak lupa juga memberi senyuman kepada Sivia yang kini berjalan keluar UKS.
***
Lampu
di kamar itu masih menyala, sedikit temaram. Namun itu menandakan kalau
di sana masih ada seorang manusia yang terbangun saat kedua jarum jam
saling berpelukan di atas angka duabelas.
Hening. Hanya detak jantung, deru napas, dan dentingan jarum jam sajalah yang terdengar di kamar tersebut.
Srek!
Untuk kesekian kalinya si penghuni kamar merobek selembar kertas
bermotif unik dari bindernya. Beberapa kalimat yang ia tulis di kertas
tersebut pun diremasnya seketika. Lantas dibuang tak tentu arah.
Kejadian yang sama yang selalu ia ulang sejak beberapa menit yang lalu.
“Aduh, gue bingung!” resahnya cukup akut. Sampai ia harus sedikit mengacak rambutnya yang sudah tak beraturan lagi.
“Gue
gak tega kalau harus ngomong langsung sama dia. Dia itu masih muda,
pasti emosinya juga masih labil. Ya Tuhan,” ujarnya kali ini. Sembari
memandang sebuah jaket yang kini menggantung di dinding dekat tempat
tidurnya. Lalu membuang napas.
“Apa sebaiknya gue menghindar aja kali
ya? Toh nanti juga dia bakal tau sendiri tanpa harus gue kasih tau
terlebih dulu.” ungkapnya sembari memejamkan mata. Lalu meraup wajah
sembari menyandarkan punggungnya di badan kursi. Cukup frustasi.
***
“Bu
Alyssa tunggu!” teriak Alvin di sebuah koridor kelas yang cukup sepi
siang itu. Sedangkan seorang guru yang sudah dua kali dipanggil namanya
oleh Alvin itu malah belum juga menghentikan langkahnya. Apa karena
teriakan Alvin yang kurang keras? Mungkin saja. Yang jelas kini Alvin
masih berlari demi mengejar langkah cepat dari guru tersebut. Ibu
Alyssa, guru fisikanya waktu kelas X.
“Bu Alyssa?!” sekali lagi Alvin memanggil.
Dan.
. . Tap! Langkah Alyssa terhenti seketika. Tentu saat gendang
telinganya menangkap gelombang frekuensi yang menyerukan namanya. Lalu
menengok dan mendapati Alvin sedang berlari kecil ke arahnya.
“Alvin
manggil Ibu?” tanya Alyssa polos. Namun Alvin tak lantas membalas, ia
malah memegangi lututnya dibarengi deru napasnya yang memburu.
“Bu Alyssa cepet banget jalannya. Capek nih, Bu.” Alvin mendumal.
“Oh
ya? Aduh, maaf banget Ibu gak tau. Lagipula Ibu juga gak denger kalau
kamu manggil Ibu. Memangnya ada apa sih?” tanya Alyssa sembari berusaha
menatap wajah Alvin yang menunduk.
“Hmm. . . Ini Bu, Alvin cuma mau
nanya sesuatu sama Ibu.” ucap Alvin masih patah-patah. Asupan oksigennya
masih belum stabil saat itu.
“Oh gitu. Ya udah mendingan sambil
duduk aja ngomongnya. Kasihan kamu masih ngos-ngosan gitu.” Alyssa
menuntun Alvin untuk duduk di kursi taman yang letaknya tak jauh dari
tempat mereka berdiri.
“Jadi kamu mau nanya apa sama Ibu?” setelah
mereka duduk dan setelah Alvin cukup bisa mengatur napasnya kembali,
Alyssa pun membuka obrolan dengan sebuah pertanyaan.
“Alvin mau nanya masalah Bucan sama Bu Alyssa.” ucap Alvin antusias.
“Bucan?” respon Alyssa cukup bingung.
“Eh,
maksud Alvin itu Bu Sivia. Bucan itu nama panggilan kesayangan dari
Alvin buat Bu Sivia. Artinya Bu Cantik, atau enggak Ibu guru yang
cantik. Hehehe.” jelas Alvin yang sempat membuat Alyssa sedikit
terkekeh.
“Oh, maksud kamu itu Bu Sivia? Duh, ada-ada saja kamu ini.
Hmm. . . Emang kenapa dengan Bu Sivia?” tanya balik Alyssa penasaran.
Yang kontan membuat Alvin langsung mengatur napasnya sesegera mungkin.
“Ngg.
. . Bu Alyssa tau gak Bucan ke mana? Kok udah tiga hari ini Alvin gak
pernah lihat Bucan ngajar lagi sih. Apa Bucan lagi sakit?” tanya Alvin
penasaran.
Pasalnya, semenjak kejadian Alvin masuk UKS tiga hari
yang lalu, Sivia tidak pernah lagi menampakan diri di sekolah tersebut.
Membuat Alvin一atau mungkin murid-murid Sivia yang lain一bertanya-tanya
akan ketidakhadiran guru cantik tersebut. Ke mana dan di manakah Sivia
saat ini? Mungkin pertanyaan itulah yang selalu terngiang di pikiran
Alvin sampai sekarang.
Alyssa pun tersenyum, “Oh itu. Enggak kok,
Bu Sivia gak lagi sakit. Bu Sivia baik-baik aja. Bu Sivia sedang ada
urusan yang lain, jadi saat ini Bu Sivia belum bisa ngajar dulu. Mungkin
besok atau lusa juga udah masuk lagi.” ujarnya menjelaskan. Setelah
mendengar itu, Alvin pun mengangguk dan membulatkan mulut tanda
mengerti.
“Oh. . . Jadi gitu ya, Bu?”
“Iya. Kenapa gitu? Kangen ya sama Bucanmu itu?” goda Alyssa seraya memainkan matanya usil.
“Enggak
kok. Alvin cuma nanya doang. Soalnya heran aja gitu kalau Bucan gak
masuk, apalagi sampai tiga hari berturut-turut. Biasanya kan Bucan itu
paling rajin kalau ngajar.” kilah Alvin cepat-cepat. Sembari menghindar
dari tatapan mata Alyssa yang meledek tentunya.
“Oh gitu. Masa sih? Ibu gak percaya deh.”
“Ah Ibu, gak usah ngeledek gitu deh.”
“Hehehe. Iya kan?”
“Aih!
Tapi ya udah deh, makasih ya Bu atas infonya? Kalau gitu Alvin pamit ke
kelas. Maaf udah ganggu waktu Ibu, permisi!” pamit Alvin setelah ia
bangkit dari kursi taman yang didudukinya. Alyssa pun sama, ia
mengangguk setelah mendengar perkataan dari mantan muridnya waktu kelas X
itu. Lalu sama-sama pergi dengan arah yang berbeda.
***
Mentari
terbit belum terlalu tinggi. Sekitar lima sentimeter di atas bumi jika
diukur secara asal. Karena memang faktanya saat ini suasananya masih
terlalu pagi. Bunga-bunga kompak bermekaran satu sama lain. Begitupun
semilir angin yang tak henti menyapu lembut dedaunan. Menggenapkan aura
sejuk yang sangat jelas terasa saat itu. Asri. Belum setitik pun polusi
udara maupun suara yang menyerang suasana sekitar.
Di sudut lain,
di tempat yang biasanya dihuni oleh satpam sekolah, Alvin terduduk
ditemani ponsel pribadinya. Cukup lama Alvin di sana一sebelum matahari
terbit mungkin一demi melakoni niatnya untuk menunggu seseorang. Seseorang
yang telah membuat Alvin mengerti akan cinta yang sesungguhnya, cinta
yang bebas datang kepada siapapun tanpa memandang usia dan sebagainya.
Siapa lagi kalau bukan guru tercintanya? Sivia.
Dan waktu pun
tetap berlalu. Sudah hampir tiga perempat jam Alvin menunggu. Namun yang
ditunggu belum juga menampakan batang hidungnya. Sampai-sampai wilayah
sekolah yang tadinya hanya ia sendiri yang menghuni, kini sudah banyak
penghuni-penghuni lain yang berdatangan. Siswa-siswi, guru-guru, staff
sekolah, penjual makanan dan tidak ketinggalan juga pak satpam yang
jangkung besar pun kini sudah ikut duduk di samping Alvin.
“Lho, kok
Dek Alvin malah di sini sih? Bukannya sebentar lagi pelajaran pertama
mau dimulai?” tanya pak satpam sembari menatap heran wajah Alvin yang
terlihat gelisah.
“Oh iya Pak, saya juga tau. Tapi saya lagi nunggu
seseorang nih, dari tadi gak dateng-dateng.” jawab Alvin dengan melirik
arloji di lengan kirinya. Sambil sesekali melirik ke arah pintu gerbang
tentunya.
“Oh gitu ya? Kenapa gak ditelpon aja? Siapa tau gak jadi
berangkat atau terjadi sesuatu apa gitu sama temen Dek Alvin.” usul pak
satpam yang kini mulai sibuk mengeluarkan semua barang-barang
keperluannya di dalam laci meja. Alvin lantas berpikir.
“Bisa jadi
juga sih, Pak. Hmm. . . Ya udah deh kalau gitu saya masuk dulu ya, pak?
Permisi!” ujar Alvin sambil meraih tasnya dan kemudian keluar dari
tempat tersebut setelah ia berpamitan dengan pak satpam. Lantas
mengempatkan melirik terlebih dahulu ke arah pintu gerbang sebelum ia
benar-benar melangkah pergi.
“Mungkin emang gak masuk lagi kali ya?
Hmm. . . Ya sudahlah,” gumamnya. Dengan sedikit malas, Alvin pun
berjalan masuk ke area sekolah. Meski hanya beberapa langkah saja, namun
entah kenapa kakinya terasa berat untuk digerakan. Mungkin karena Alvin
merasa kalau penantiannya dari pagi sudah terbilang sia-sia itulah yang
membuatnya sedikit galau.
Lalu untuk kesekian kalinya Alvin
kembali menengok ke arah belakang. Berharap kalau kali ini ia bisa
melihat seseorang yang sedang ia rindukan beberapa hari terakhir ini.
Dan.
. . Dzing! Tepat sekali. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat di depan
gerbang sekolah. Membuat Alvin mengernyit sambil memicingkan mata demi
memperjelas penglihatannya.
“Bucan?” gumam Alvin cukup senang. Apalagi saat kedua matanya menangkap sosok Sivia yang baru saja keluar dari mobil tersebut.
“Itu
beneran Bucan kan?” ucapnya kemudian. Lantas dengan raut sumringah,
Alvin pun sedikit berlari untuk menghampiri Sivia. Namun baru saja Alvin
hendak memanggil nama Sivia dari kejauhan, tiba-tiba saja keluar
seorang pria berbadan tinggi dan berkacamata hitam dari mobil yang tadi
Sivia tumpangi. Membuat Alvin mengurungkan niatnya untuk memanggil dan
berhenti begitu saja dari larinya.
“Entar siang aku jemput kamu ya?”
pinta si pria saat ia sudah berada di hadapan Sivia. Sedangkan Sivia
hanya mengangguk sambil sesekali tersenyum lebar ke arah pria tersebut.
“Ya
udah kalau gitu aku ke kantor dulu ya? Sampai ketemu nanti siang.” pria
itu kembali berucap. Kali ini terdengar cukup manis. Bahkan lebih manis
lagi saat bibirnya mendarat lembut di kening Sivia. Lalu melangkah
pergi setelah menyentuh kedua pundak guru cantik tersebut.
Saat
melihat kejadian itu, tak ada yang bisa Alvin lakukan lagi selain
berdiri dengan lutut yang terasa lemas. Bukan hanya itu, jantung Alvin
seakan tertusuk oleh milyaran jarum yang dilempar secara sengaja oleh
Sivia. Sakit. Sesak. Dan kalaupun harus bernapas, mungkin Alvin
memerlukan alat bantu bernapas untuk ia menghirup oksigen. Karena entah
mesti ada berapa kalimat hiperbola lagi yang Alvin butuhkan untuk
menggambarkan suasana hatinya saat ini? Cukup mengenaskan.
Mobil
itu melaju perlahan saat si pria memberi senyuman dan lambaian tangan ke
arah Sivia. Sedangkan setelah itu Sivia terdiam, melirik ke arah arloji
di tangannya sebentar, lalu berbalik badan untuk bergegas masuk ke area
sekolah.
“Alvin?” gumamnya sedikit kaget. Padahal baru saja sedetik
Sivia membalikan badan, namun sosok Alvin langsung tertangkap oleh
wilayah pandangnya. Lantas dengan cepat Alvin pun berjalan mundur
sebelum akhirnya ia berlari saat Sivia hendak melangkah.
“Alvin, tunggu!” teriak Sivia kali ini. Lalu berlari pelan untuk mengejar siswa yang mengaku sebagai pengagumnya itu. Alvin.
***
“Hey,
kenapa kamu gak masuk? Bukankah pelajaran pertama di kelasmu itu Bu
Sivia?” tanya Alyssa saat ia tanpa sengaja melihat Alvin sedang terduduk
di pojokan koridor perpustakaan. Terlihat sedang asyik sendiri
memutar-mutar pensil di keramik. Sontak ia menengok begitu mendengar dua
pertanyaan dari Alyssa tadi.
“Alvin lagi diskors, Bu.” jawabnya yang
terdengar cukup di telinga Alyssa. Membuat Alyssa tertarik untuk duduk
di samping Alvin dan mengobrol lebih privasi lagi dengan mantan muridnya
itu. Karena kebetulan juga Alyssa tidak sedang mengajar hari ini, ia
kebagian jadi guru piket.
“Iya juga sih. Tapi bukannya kemarin kamu nanyain Bu Sivia?” kembali, Alyssa bertanya cukup heran.
“Itu
kan kemaren,” jawab Alvin datar. Entah rasanya sedikit malas untuk
Alvin mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Alyssa yang menyangkut nama
Sivia.
“Memang apa bedanya dengan sekarang?”
“Bu Alyssa, apa Bu
Sivia sudah menikah?” bukannya menjawab, Alvin langsung menyerobot
pertanyaan dari Alyssa dengan sebuah pertanyaan tegas yang kontan
membuat guru bertubuh mungil itu terlihat sedikit kaget mendengarnya.
Lalu terdiam, bingung sendiri harus menjawab apa.
“Kenapa Bu Alyssa
diam saja? Apa Bu Alyssa sama Bucan sengaja buat merahasiakan hal ini
dari Alvin? Iya kan, Bu?” lanjut Alvin dengan sebuah terkaan.
“Alvin, sebenarnya Bu Sivia itu. . .”
“Sudah
menikah. Dan itulah alasan kenapa kemarin Ibu gak masuk beberapa hari.”
baru saja Alyssa hendak menjawab pertanyaan Alvin, tiba-tiba saja
seseorang menyambungi dengan cepat. Dan seseorang itu tentu saja Sivia,
guru cantik yang kini sudah berdiri di dekat Alvin dan Alyssa duduk.
Mereka berdua kompak menengok seraya menampakan ekspresi kagetnya
masing-masing.
“Bucan?” lirih Alvin parau.
“Hmm. . . Ya sudah
kalau begitu saya pamit dulu ya? Mau kembali mengontrol ke kelas-kelas.
Permisi!” pamit Alyssa saat matanya menangkap kode dari Sivia. Sivia pun
mengangguk sembari tersenyum. Lalu ia bergegas menggantikan posisi
Alyssa yang tadi duduk di samping Alvin. Sedangkan Alvin hanya diam
tanpa berkata.
“Sebenernya Ibu pengen banget ngasih tau kamu kalau
Ibu mau menikah,” kata Sivia dengan melanjutkan kembali topik
pembicaraan semula.
“Tapi Ibu takut menyakiti hati kamu,” lanjutnya seketika.
“Karena itu Ibu sengaja merahasiakan masalah ini dari kamu. Ibu harap kamu mengerti,” ucap Sivia kembali melanjutkan.
“Alvin
kecewa sama Bucan, sangat kecewa. Bukan kecewa karena Bucan sudah
menikah, tapi Alvin kecewa karena Bucan sudah gak mau terus terang sama
Alvin.” ujar Alvin sesal. Bahkan matanya pun enggan sekali melirik ke
Sivia.
“Bucan gak tau kan gimana perasaan Alvin waktu Bucan
menghilang tanpa ada kabar? Dan Bucan juga gak tau kan gimana perasaan
Alvin waktu melihat Bucan dicium keningnya sama seorang laki-laki?”
tukas Alvin tiba-tiba. Matanya yang kini sedikit berlinang pun masih
saja enggan untuk menatap ke arah Sivia.
“Alvin. . .”
“Kalau saja kemarin Bucan mau terus terang sama Alvin, mungkin rasanya gak sesakit ini.” ucap Alvin lagi.
“Ibu
minta maaf kalau Ibu gak mau terus terang sama kamu. Ibu tau itu salah.
Tapi yakinlah, Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu. Ibu gak mau
melihat kamu kecewa sama Ibu. Yah. . . Meskipun pada akhirnya kamu
kecewa juga sama Ibu, tapi setidaknya Ibu sudah berusaha untuk tidak
membuat kamu kecewa. Sekali lagi Ibu minta maaf.” ujar Sivia tegas. Tak
peduli walau Alvin masih terlihat cuek padanya. Bahkan siswa tersebut
malah tersenyum ketus ke arah Sivia.
“Kata maaf gak akan bisa
menghilangkan rasa sakit di sini.” kata Alvin sinis sambil menunjuk
dadanya. Lalu berdiri dengan perasaan yang entahlah mesti seperti apa
menggambarkannya. Sampai Alvin merasakan kalau tangan Sivia menggenggam
tangannya.
“Kamu berhak marah sama Ibu, Ibu terima. Tapi bukankah Ibu
berhak juga melakukan semua ini? Ini keputusan Ibu. Kamu mengerti kan?”
tegas Sivia yang langsung membuat Alvin terdiam seribu bahasa. Entah
sepertinya Alvin seakan tertelak oleh kata-kata Sivia tersebut.
“Memang,
kamu gak pernah salah suka sama Ibu. Itu hak kamu. Tapi bukan berarti
Ibu harus suka juga kan sama kamu? Perasaan hati itu gak bisa dipaksain,
Vin.” lanjutnya.
“Kalau Bucan gak suka sama Alvin, kenapa waktu itu
Bucan mencium Alvin?” tanya Alvin yang masih terkesan ketus. Sivia
menghela napas.
“Itu tak lebih dari ciuman seorang ibu kepada anaknya.” jawab Sivia mantap. Ia ikut berdiri kemudian.
“Dulu
Ibu pernah bilang sama kamu; kamu boleh-boleh saja suka sama Ibu, tapi
kamu jangan terlalu berharap lebih sama Ibu. Dan inilah arti dari
kata-kata Ibu waktu itu, Ibu gak bisa menjadi apa yang kamu inginkan.
Arah pikiran kita berbeda.” ujar Sivia seraya menyentuh pundak Alvin.
“Dengar,
kamu itu masih sangat muda, petualangan kamu dalam percintaan juga
masih panjang. Kamu pasti akan menemukan perempuan yang jauh lebih baik
lagi dari Ibu.” Sivia tersenyum terlebih dahulu sebelum ia kembali
memegang tangan Alvin dan menaruhnya di depan dada siswa tersebut.
“Simpanlah
perasaan kamu untuk calon isterimu nanti, bukan untuk Ibu yang sudah
menjadi isteri orang lain.” lalu pergi meninggalkan Alvin yang sudah
kehabisan kata-kata sedari tadi. Bulir bening pun mengalir tanpa komando
di pipi Alvin.
“Bucan?!”
Alvin sedikit berlari untuk mengejar
Sivia yang telah berjalan sedikit jauh. Karena saking susahnya untuk
Alvin berbicara lagi, ia hanya bisa memeluk erat Sivia saat itu. Ia
menyadari kalau semua perkataan Sivia itu benar adanya. Toh pepatah juga
mengatakan kalau cinta itu tak harus memiliki, bukan? Mungkin itu
benar.
Selengkapnya...