@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Senin, 04 Agustus 2014

This is Love?

Cinta. . .
Entah aku sendiri tak paham betul apa sebenarnya makna dari cinta
Yang kutahu, cinta adalah sebuah rasa
Sebuah yang berawal dari mata
Dan dari mata turun ke hati
Lantas dari hati naik lagi ke mulut
Maka dari mulut lah kata cinta diucapkan

Begitukah cinta?
Entahlah. . .
Karena bagiku, cinta itu hadir saat aku memandangnya tanpa jemu
Memandangnya pula saat ia bertutur lembut di hadapanku
Dan memandangnya saat ia berkata sambil melotot, “Alvin, maju kamu ke depan!”


Seluruh di kelas XI Bahasa 2 itu serempak terkekeh hebat saat salah seorang dari mereka membacakan puisi karyanya sendiri di depan kelas. Lucu. Ekspresi dari siswa tersebut saat membaca puisinya itu terlihat benar-benar polos. Membuat sang guru yang sedari tadi duduk di pojokan kelas itu menggeleng heran. Siswanya yang satu ini memang selalu bersikap aneh acapkali ia mengajar di kelasnya.


Sungguh aku benar-benar mencintaimu, Bucan. . .


Tepuk tangan serempak menggema saat siswa tadi menyelesaikan bait puisinya. Selain itu, ada juga yang bersiul sebagai tanda kesalutan atas keberanian siswa tadi yang membacakan puisi tentang isi hatinya sendiri.
“Terimakasih, terimakasih, terimakasih!” ucap siswa tersebut sambil menundukan badan berkali-kali. Ia tersenyum, bahkan sesekali ia memberi long kiss kepada teman-temannya.
“Oke, cukup! Alvin, silahkan kamu duduk kembali.” perintah Bu Guru pada siswa yang ternyata bernama Alvin itu. Namun Alvin malah terdiam. Ia menatap heran gurunya yang menyuruh ia duduk begitu saja.
“Lho kok disuruh duduk sih, Bucan?” tanya Alvin datar.
“Iya, duduk. Kamu sudah selesai kan baca puisinya? Jadi sekarang giliran teman kamu yang lain.” jawab Bu Guru lembut. Lantas kembali mengulurkan tangan untuk mempersilahkan Alvin duduk kembali di kursinya. Tapi Alvin tetap berdiri. Ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat.
“Aku gak mau!” timpalnya. Sampai Bu Guru membuang napas heran dan melangkah mendekati Alvin.
“Kenapa? Mau baca puisi sekali lagi? Ya udah kalau kamu mau baca puisi lagi, Ibu persilahkan dengan hormat.” ungkap Bu Guru seraya melipat tangan di hadapan Alvin. Dan Alvin pun ikut melipat tangan sambil menatap mata Bu Guru lekat. Ia menarik napas kemudian.
“Bucan, dengerin ya! Tadi itu aku bukan baca puisi, tapi aku lagi mengungkapkan perasaan aku sama Bucan. Gimana sih, masa Bucan gak peka? Ah, payah nih!” Alvin berucap dengan diakhiri decakan sinisnya. Membuat teman-teman kelas tertawa, menggeleng heran, mengernyit, dan bahkan saling bisik satu sama lain. Terlebih Bu Guru yang kini memutar mata seraya membuang napas. Ulah aneh Alvin kembali kumat menurutnya.
“Alvin, kamu jangan bercanda ya! Di sini kamu sedang belajar, jadi jangan bicara yang aneh-aneh! Cepetan duduk!” gertak Bu Guru mulai tegas. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku buat Alvin. Ia malah tersenyum menghadapi gertakan dari Bu Guru tersebut.
“Bucanku yang wajahnya gak kalah manis dari Pevita Pearce, dengerin ya! Aku gak lagi bercanda, aku serius. Aku bener-bener suka sama Bucan, dari pertama aku ketemu Bucan malah.” ujar Alvin jujur. Dari sorot matanya bahkan tidak terlihat kalau ia sedang bercanda.
“Udahlah terima aja, Bu! Si Alvin beneran suka sama Ibu tuh kayanya. Iya kan temen-temen?” teriak seorang siswa dari arah belakang. Lalu siswa yang lain menyahutinya dengan kata-kata yang hampir semuanya menyetujui akan teriakan dari siswa tadi. Alvin lantas mengangguk.
“Tuh, mereka aja setuju. Berarti aku sama Bucan memang cocok. Bucan mau kan jadi pacar aku?” ungkap Alvin yang kini mulai berani memegang kedua tangan Bu Guru yang sekarang berdiri dengan wajah syok di hadapan siswa-siswinya.
“Alvin, Ibu gak suka sama sikap kamu! Sekarang kamu keluar dari kelas ini!” usir Bu Guru tegas setelah dengan keras ia menepis pegangan tangan dari Alvin. Alvin pun mematung.
“Keluar dari kelas ini sekarang juga! Kamu diskors dari pelajaran saya selama tiga minggu. Mengerti?!” sekali lagi Bu Guru menggertak. Tangannya ia tunjukan ke arah pintu keluar dari kelas tersebut.
“Tapi, Bucan?”
“KELUAR!!!” Alvin lantas menunduk sambil sedikit demi sedikit berjalan mundur. Sepertinya Alvin mulai menyadari kalau gurunya itu sudah benar-benar marah.
“Dan untuk kalian semua, Ibu gak akan segan-segan buat skors kalian juga kalau kalian bersikap sama seperti Alvin. Mengerti?!” kini giliran teman-teman Alvin yang diancam oleh guru yang belum genap lima bulan mengajar di SMA yang ditempati Alvin dan kawan-kawan itu.
“Mengerti, Bu.” koor mereka kompak. Lantas beliau duduk di tempatnya dan kembali memulai aktivitas belajar mengajar yang tadi sempat terpotong.

Jesivia, S.Pd. Atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Bu Sivia itu kini mengatur napasnya perlahan. Entah ia sendiri sedikit menyesali dan menyayangkan dengan sikapnya tadi yang mengusir dan bahkan sampai menskors Alvin dari pelajarannya selama beberapa minggu. Tapi bukankah itu pantas didapatkan oleh siswa yang sudah bersikap tidak sopan kepada seorang guru? Ralat! Tidak sopan? Hey, bukannya seorang siswa yang memiliki perasaan lebih kepada seorang guru itu wajar-wajar saja? Atau, apa karena tempat dan waktunya yang kurang tepat? Atau karena merasa dipermalukan di hadapan semua siswa-siswinya? Tapi. . . Entahlah!

Sivia mengerjap seketika. Saat berbagai persepsi akan salah atau tidaknya ulah Alvin dan sikap tegasnya tadi mulai berkecimpung di otaknya. Ia pun menggeleng kemudian. Kata-kata puitis yang beberapa menit yang lalu Alvin ucapkan pun mulai terngiang di telinganya. Meski berusaha untuk menepis, namun kata-kata itu malah semakin terdengar sangat jelas olehnya. Kembali, ia memejamkan mata untuk kedua kalinya.

Kalau Sivia boleh mengeluh, kenapa harus ada siswa seperti Alvin di sekolah ini? Siswa yang selalu mengusik dan merusak konsentrasinya saat sedang mengajar. Siswa yang selalu nekad berbuat apapun demi mencuri perhatiannya. Dan juga siswa yang anehnya selalu hadir saat ia akan membaringkan tubuh di kala waktu istirahat tiba. Kenapa harus Alvin? Salah satu siswa pertama yang aneh yang ia temui saat kakinya baru menginjak sekolah ini sebagai guru honorer. Kenapa harus. . .

Belum sempat untuk Sivia menyelesaikan keluhannya, suara bel istirahat berbunyi begitu saja. Membuat siswa-siswi kelas XI Bahasa 2 sedikit demi sedikit bergemuruh tak jelas.
“Kalau begitu pelajaran ini kita lanjutkan lusa. Silahkan istirahat, permisi!” ucap Sivia ramah. Ia memeluk terlebih dahulu beberapa buku yang dibawanya sebelum ia keluar dari kelas tersebut.

***


Di ruang guru, Sivia terduduk sambil menjatuhkan pelan buku-buku yang dibawanya. Kepalanya entah kenapa terasa penat sekali saat ini. Ia pun langsung menyambar segelas air bening yang sudah tersedia di hadapannya.
“Pasti gara-gara Alvin lagi,” terka seseorang seraya menyentuh pundak Sivia lembut. Sivia lantas membuang napas, melirik sendu ke arah orang tersebut, dan menaruh gelas yang dipegangnya setelah itu.
“Yah, begitulah.” jawabnya pasrah. Lalu menggeserkan tubuhnya untuk memberi jeda tempat supaya orang tersebut bisa duduk di sampingnya.
“Kayanya Alvin itu bener-bener suka sama loe deh, Vi.” ujar orang tersebut setelah cukup singkat ia berpikir.
“Menurut gue juga gitu. Tapi Al,” Sivia memotong sebentar ucapannya, gelisah.
“Gue bingung harus bersikap seperti apa sama Alvin. Di satu sisi, gue merasa risih dengan ulah Alvin yang cukup nekad itu. Tapi di sisi lain, gue kasian sama dia. Tau sendiri kan sikap gue gimana kalau Alvin sudah bertingkah aneh sama gue?” ungkap Sivia panjang lebar. Membuat Alyssa一teman Sivia sesama guru honorer di sekolah tersebut一tersenyum iba padanya. Ia paham betul apa yang sedang dirasakan Sivia saat ini.
“Udahlah Vi, gak usah dipikirin! Cuekin aja lagi, entar juga tuh anak nyerah sendiri. Ya kan?” ucap Alyssa yakin. Tangannya ia rangkulkan di pundak Sivia.
“Udah ratusan kali gue lakuin itu, Al. Tapi hasilnya? Loe lihat sendiri kan tuh anak masih aja ngejar-ngejar gue. Mesti gimana lagi coba?” cekal Sivia sangsi.
“Hmm. . . Kalau gak gitu jalan satu-satunya ya. . .” Alyssa berpikir sejenak sebelum ia melanjutkan kata-katanya. Membuat Sivia terpaksa menunggu akan kelanjutan kata-kata dari teman seperjuangannya itu.
“Apaan?” tanya Sivia kemudian.
“Ya mau gak mau loe mesti turutin kemauan Alvin itu apa.” lanjut Alyssa sekenanya.
“Maksud loe, gue mesti jadi pacarnya Alvin gitu?” ucap Sivia sembari mengernyit. Alyssa kemudian mengangguk. Menurutnya cuma itulah satu-satunya cara yang sangat ampuh untuk menghentikan semua keluhan Sivia tentang Alvin.
“Enggak! Gue itu gak suka sama Alvin, Al. Dia terlalu muda buat gue,” ujarnya seraya menggeleng cepat.
“Tapi menurut gue Alvin itu cakep lho, Vi. Toh zaman sekarang usia udah gak ngaruh lagi kan dalam sebuah hubungan?” ucap Alyssa dengan entengnya.
“Alyssa, tolong ya? Jangan ngawur deh kalau ngomong!” tegur Sivia yang mulai heran dengan ucapan guru honorer yang satu itu.
“Hey, gue gak ngawur! Gue ngomong dengan fakta yang ada, Sivia. Coba deh lain kali loe perhatian lagi si Alvin, dia itu gak seperti remaja-remaja pada umumnya. Dia beda dari yang lain.” balas Alyssa dengan sedikit mensugesti Sivia. Lantas Sivia terlihat berpikir sejenak.
“Tapi ya terserah loe juga sih. Gue cuma nyaranin doang,” lanjutnya lagi yang kali ini seraya bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana?”
“Mau ngasih tugas ke kelas X.4, kenapa?”
“Ngasih tugas? Emang loe gak mau masuk habis istirahat?” tanya Sivia sambil melirik arloji yang dipakainya.
“Kayanya enggak deh. Gue disuruh menghadap pak kepsek sehabis istirahat. Jadi gue mau ngasih tugas mandiri aja sama mereka.”
“Oh, ya udah deh kalau gitu.” balas Sivia dengan anggukan ringannya. Dan Alyssa pun menyempatkan untuk tersenyum dulu sebelum ia pergi meninggalkan Sivia di ruang guru.
“Hmm. . . Gue? Jadi pacarnya Alvin? Ya Tuhan, mau taruh di mana reputasi gue sebagai seorang guru? Ck!” gumamnya sangsi. Entah kenapa tiba-tiba saja perkataan dari Alyssa terngiang-ngiang kembali di telinganya. Lalu menggeleng sebagai tanda tolakan dari gumamannya tadi.

***


“Gila loe Vin, gue gak nyangka loe bisa senekad itu! Parah.” timpal salah seorang sahabat Alvin saat sedang duduk bersama di pojokan kantin. Di tempat biasa mereka bertiga nongkrong. Sebuah tempat yang bisa menyaksikan semua aktivitas siswa-siswi yang mengunjungi kantin saat istirahat tiba. Menyenangkan bukan?
“Tau nih parah banget loe, Vin. Loe kerasukan setan apa sih sampai nekad banget nembak Bu Sivia di depan kelas?” kini giliran sahabat Alvin yang satunya lagi yang berkicau. Alvin menghela napas sambil matanya memandang gelas yang terletak tak jauh di dekat tangannya. Lantas diputar-putarkannya gelas cantik yang sudah tak ada isinya itu perlahan.
“Gak tau gue juga bingung Cak, Yo. Hmm. . . Mungkin karena gue udah terlanjur cinta kali ya sama Bucan? Entahlah,” ucapnya resah. Cakka dan Mario一sahabat Alvin tadi一kini saling pandang dan tertawa sangsi setelahnya. Menurut mereka otak Alvin sudah mulai eror akhir-akhir ini. Ralat! Semenjak kehadiran Sivia di sekolah ini lebih tepatnya.
“Vin, emang di sekolah ini gak ada yang lebih cantik atau lebih seksi gitu dari Bu Sivia?” tanya Mario skeptis.
“Atau yang usianya sama kaya loe gitu? Ya setidaknya lebih muda lah. Gak ada ya, Vin?” lanjut Cakka yang seakan satu pemikiran dengan Mario. Alvin sontak menggeleng. Tak peduli dengan semua ocehan sahabatnya tersebut.
“Ya elah Vin, loe kena sindrom apa sih sebenernya?”
“Iya sih Bu Sivia itu cantik, seksi, pinter, baik lagi. Tapi kan umur loe sama umur Bu Sivia itu jauh, Vin. Ranah pemikirannya udah beda. Udah gak bisa diajak main-main lagi.” kata Mario dan Cakka bergantian. Mereka berdua seakan kompak untuk tidak menyetujui akan rasa cinta Alvin pada gurunya sendiri.
“Yang namanya Alvin gak pernah sekalipun main-main. Gue jatuh cinta sama Bucan, dan gue serius. Udah deh loe berdua gak usah ikut campur sama urusan gue yang satu ini.” respon Alvin sambil menatap wajah kedua sahabatnya tajam.
“Bukannya kita mau ikut campur sama urusan loe Vin, kita bilangin loe kaya gini karena kita gak mau lihat loe kecewa suatu saat nanti. Itu aja kok,” kata Cakka dengan rangkulan tangannya di pundak Alvin.
“Gue setuju. Tapi kalau emang loe beneran jatuh cinta sama Bu Sivia, ya kita mau gimana lagi?” lanjut Mario pasrah.
“Nah gitu dong! Yang namanya sahabat kan harus saling dukung. Iya enggak?”
“Yoi, gue setuju. Tapi sekarang kan loe diskors sama Bu Sivia, Vin. Gimana tuh jadinya? Apa loe masih nekad buat ngejar-ngejar Bu Sivia? Entar loe malah dikeluarin lagi,” tanya Cakka cukup bingung. Mario pun mengangguk menyetujui pertanyaan-pertanyaan Cakka.
“Alvin masih tetap Alvin. Bukan tipe orang yang mudah menyerah. Lagipula, apa kalian pernah lihat atau denger berita gitu kalau seorang siswa dikeluarin dari sekolah karena jatuh cinta sama gurunya? Belum pernah kan? Jadi gak perlu khawatir juga lah,” jawab Alvin enteng. Sedangkan Cakka dan Mario hanya bisa saling pandang dan seakan dalam hatinya bilang iya-juga-sih.
“Hayo, mikir kan loe berdua? Ya udah yuk cabut? Bentar lagi bel nih, gue gak mau kena hukuman lagi di pelajarang yang lain.” lanjut Alvin yang kini bangkit sambil merapikan bajunya yang sedikit berantakan. Lalu bergegas sembari diikuti sahabat-sahabatnya dari belakang.

***


Awan hitam di atas langit kini sudah menurunkan beban beratnya ke bumi. Tetesan air yang semakin kerap menghantam tanah itu membuat aktivitas manusia terhenti seketika. Begitu juga yang dialami Sivia saat ini. Aksinya yang tadi menerima telepon cukup lama saat bel pulang sekolah berbunyi itu menyebabkan ia terjebak hujan dan kebetulan Sivia juga tidak membawa payung. Membuatnya terpaksa berdiri di koridor sekolah demi menunggu hujan reda.
“Tambah deras lagi hujannya,” lirih Sivia dengan sedikit melongokkan kepalanya ke arah depan. Menatap awan yang masih mendung dengan sesekali mengusap lengannya yang kedinginan.
“Jodoh itu emang gak ke mana ya, Bucan? Perasaan tadi ketemu, sekarang ketemu lagi.” kata seseorang yang suaranya benar-benar sudah tidak asing lagi di telinga Sivia.
“Alvin?” ucap Sivia saat ia menengok dan mendapati Alvin sedang tersenyum manis ke arahnya. Lantas Alvin berdiri di sampingnya sambil melipat tangan di dada.
“Iya Bucan, ini Alvin. Kenapa? Kangen ya sama Alvin?” kata Alvin asal. Lalu Sivia memutar mata dan membuang napas jengah. Siswanya yang satu ini benar-benar tidak sopan jika dinilai dari ucapannya di hadapan seorang guru.
“Terserah kamu deh mau ngomong apa, Ibu lagi males meladeni omongan kamu yang suka ngawur itu.” ketus Sivia sinis.
“Iya deh iya Alvin minta maaf kalau gitu. Alvin janji gak bakal ngomong ngawur lagi sama Bucan.” Alvin lagi-lagi tersenyum. Membuat guru cantik yang berdiri di sampingnya itu menatapnya skeptis.
“Baguslah kalau begitu. Jadi Ibu gak perlu repot-repot lagi menskors kamu lebih lama.” ujar Sivia dingin. Tak menghiraukan sama sekali ekspresi Alvin yang kini sudah berubah masam. Alvin terdiam.
“Kamu belum pulang?” lanjutnya datar. Meski matanya tak menatap ke arah Alvin, namun itu cukup membuat Alvin merasa senang. Ternyata diam-diam Sivia perhatian juga padanya.
“Harusnya Alvin yang nanya gitu ke Bucan. Kalau Alvin kan dari dulu pulangnya sore terus, biasalah basketan dulu.”
“Oh,” respon Sivia sangat singkat. Telapak tangannya ia usap-usapkan demi mengusir rasa dingin yang mendera kedua lengan terbukanya.
“Bucan sendiri kenapa belum pulang?” pertanyaan retoris yang keluar dari mulut Alvin sontak membuat Sivia menyeringai sinis.
“Gak lihat ada hujan turun apa?”
“Oh iya ya? Hehehe. Kali aja gitu ada alesan lain yang menyebabkan Bucan belum pulang.” ucap Alvin polos. Sedangkan Sivia membalasnya dengan berdecak saja. Lebih tepatnya memilih untuk diam ketimbang harus merespon obrolan-obrolan tidak penting dari seorang Alvin.

Sedetik, mereka berdua terdiam. Menikmati irama-irama merdu yang diciptakan oleh sang hujan yang kini sedikit mereda. Cukup lama. Sampai Alvin memutuskan untuk melepaskan jaketnya saat ia tanpa sengaja melihat Sivia yang sedikit menggigil karena kedinginan.
“Bucan kedinginan ya? Nih pakai aja jaket punya Alvin. Alvin gak apa-apa kok. Lagian hujannya udah mulai reda juga. Kayanya seru tuh buat main basket. Alvin duluan ya, Bucan? Daaah!” ucap pamit Alvin yang dalam hitungan detik saja sudah menghilang dari hadapan Sivia. Ia berlari menerobos tetesan air hujan menuju lapangan basket. Dan sesampainya di sana, Alvin langsung mengambil bola basket yang tergeletak di tengah lapang yang lantas dimainkannya meski keadaan sekitar sedikit tergenang air. Ia terlihat sangat senang saat itu.

Sedangkan di sisi lain, Sivia hanya bisa terdiam seraya menggeleng melihat ulah Alvin tersebut. Dengan tanpa sadar jaket pemberian Alvin pun ia lipat dan ia peluk bersama tas yang ia bawa. Sampai Sivia mampu mencium wangi parfum yang masih melekat di jaket tersebut. Wangi parfum yang begitu maskulin yang selalu ia cium saat ia berdekatan dengan Alvin.
“Alvin, Alvin. Kamu itu emang aneh.” gumamnya dengan diselingi sebuah senyuman.

***


“Silahkan kalian rangkum materi tentang paragraf yang ada di buku paket halaman 215 sampai 220. Setelah itu kalian isi tugas mandiri yang ada di halaman selanjutnya. Mengerti?” suruh Sivia setelah cukup singkat ia menerangkan materi baru di pelajaran yang ia ajarkan di kelas XI Bahasa 2. Lalu kelas tersebut pun berkoor kompak untuk menuruti perintah dari gurunya itu.
“Ada yang tau Alvin ke mana?” tiba-tiba Sivia kembali berbicara. Pasalnya sejak ia masuk beberapa menit yang lalu, ia tidak mendapati sosok Alvin di kursinya. Hanya ada Cakka yang duduk sendiri di sana.
“Alvin di UKS, Bu.” celetuk Cakka saat Sivia menatapnya dengan sebuah pertanyaan. Sivia pun mengernyit mendengarnya.
“UKS? Memangnya Alvin sedang sakit?”
“Sepertinya begitu, Bu. Soalnya tadi wajah Alvin pucat banget, terus pingsan. Jadi Cakka sama Mario bawa Alvin ke UKS.” jelas Cakka rinci. Sivia kini membulatkan mulut. Sedikit syok dengan apa yang diucapkan Cakka tersebut.
“Baiklah kalau begitu kalian kerjakan tugas dari Ibu, Ibu mau nengok Alvin sebentar.” ujarnya seraya bergegas pergi dari kelas Alvin dan kawan-kawan.
“Baik, Bu!” kompak mereka lagi. Lalu saling berbisik setelah Sivia keluar dalam hitungan detik.
“Bu Sivia kok kelihatannya syok gitu ya, Cak?” bisik Mario ke arah Cakka yang duduk di belakangnya. Cakka mengangkat bahu.
“Khawatir kali sama Alvin. Ya wajarlah namanya juga guru.” jawab Cakka santai.
“Iya juga ya? Eh, tapi bukannya Alvin lagi diskors sama Bu Sivia? Kok Bu Sivia malah nanyain Alvin ke mana sih?” lagi-lagi Mario bertanya, merasa ada yang janggal dengan sikap Sivia kepada Alvin.
“Ya mana gue tau? Itu kan urusan Bu Sivia sama Alvin. Udahlah jangan banyak nanya! Gak bakal kelar-kelar tugas kita kalau loe nanya mulu.” semprot Cakka kesal.
“Iya-iya sori. Aelah!” Mario menekuk wajahnya.

***


Dengan sangat hati-hati, Sivia mengusap poni berantakan milik Alvin yang sedikit menutupi dahinya. Lembut. Meski selama Sivia menetap di sekolah ini ia sering mendapatkan hal yang aneh-aneh dari Alvin, namun saat ini Sivia cukup terhenyak hatinya begitu melihat wajah Alvin yang sangat pucat. Padahal baru kemarin ia bisa tersenyum karena tingkah Alvin, tapi kini anak tersebut malah terbaring lemah di hadapannya sekarang.
“Hey, bangun! Ada Ibu di sini.” bisik Sivia lembut. Tangannya kembali ia usapkan di ubun-ubun Alvin. Sampai Sivia dapat merasakan suhu panas yang mendera tubuh Alvin saat itu.
“Astaga, badannya panas banget.” lirihnya resah. Lalu Sivia mengambil kain putih yang tercelup di sebuah mangkuk berisi air dingin yang sudah tersedia tak jauh di tempat Alvin terbaring. Ia memerasnya terlebih dahulu sebelum ia menempelkannya di kening Alvin. Membuat Alvin sedikit menggerakan kepalanya. Sontak terbangun seketika.
“Bucan?” ucapnya parau. Rasa sakit di kepalanya membuat Alvin sedikit meringis saat berbicara.
“Kamu sakit apa? Kok sampai pingsan gitu sih?” tanya Sivia sambil memegang jemari Alvin.
“Alvin gak sakit kok, Bucan. Alvin cuma pusing doang. Kalau masalah pingsan, mungkin karena Alvin belum makan aja.” jawab Alvin jujur. Tatapan matanya begitu sayu saat itu.
“Pasti gara-gara main basket sambil hujan-hujanan kemarin. Iya kan?”
“Mungkin. Tapi Alvin gak apa-apa kok. Bucan jangan khawatir ya?” ungkap Alvin yang berhasil membuat Sivia menyeringai.
“Dari mana kamu tau kalau Ibu khawatir sama kamu hah?” tanya Sivia dengan nada yang bisa dikatakan tegas. Namun tetap terdengar lembut di telinga Alvin. Alvin pun terkekeh.
“Apa sih yang Alvin gak tau dari Bucan? Pasti Bucan dateng ke sini karena Bucan khawatir kan sama Alvin? Hmm. . . Atau jangan-jangan Bucan kangen ya sama Alvin? Hayo ngaku!” terka Alvin percaya diri. Ternyata Alvin tetaplah Alvin, selalu saja membuat Sivia jengah dalam kondisi apapun. Membuat guru berparas cantik tersebut membuang napas gusar.
“Kalau bukan karena sakit, mungkin Ibu sudah menskors kamu lebih lama lagi.” timpalnya ketus. Alvin kembali terkekeh. Lucu sendiri melihat ekspresi guru tambatan hatinya itu.
“Ya maaf, Alvin kan cuma becanda doang.”
“Iya-iya, Ibu tau. Hmm. . . Vin, Ibu boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Sivia dengan mengganti topik.
“Nanya apaan, Bucan? Boleh kok. Tapi jangan nanya tentang pelajaran ya, Bucan? Hehehe.”
“Enggak kok, ini tentang perasaan kamu.”
“Perasaan Alvin? Maksud Bucan?”
“Iya, perasaan kamu. Hmm. . . Ibu cuma pengen tau aja kenapa kamu bisa suka sama Ibu. Padahal kan gadis yang lebih cantik dari Ibu dan tentunya seumuran sama kamu itu banyak banget di sekolah ini. Tapi kok kamu tetep keukeuh sih suka sama Ibu?” tanya Sivia dengan pertanyaan yang mungkin sudah ia ingin tanyakan kepada Alvin sejak dulu. Kontan Alvin menyempatkan diri tersenyum sebelum ia menjawab pertanyaan dari Sivia.
“Kalau masalah itu, entah Alvin juga bingung harus menjawab apa. Tapi yang jelas, semua pertanyaan Bucan tersebut jawabannya cuma ada di sini.” jawab Alvin seraya menggenggam dan menuntun tangan Sivia ke arah dadanya.
“Ada di hati Alvin. Karena hal apapun yang berasal dari dalam hati itu tidak bisa lagi dijelaskan oleh kata-kata. Bucan ngerti kan apa yang Alvin bilang?” lanjutnya. Sivia menghela napas. Perkataan dari Alvin benar-benar membuatnya harus berpikir lebih keras.
“Tapi sepertinya kamu itu hanya kagum sama ibu, gak lebih.” sangkal Sivia kemudian. Maka dengan cepat Alvin menggeleng. Lalu berusaha bangun dari terbaringnya dan duduk menghadap Sivia.
“Kagum itu rasanya gak seperti ini, Bucan. Perasaan ini menyatakan kalau Alvin bener-bener jatuh cinta sama Bucan.” ungkap Alvin sangat yakin. Ia sungguh tidak meragukan lagi apa yang sedang ia rasakan saat ini.
“Ya sudahlah, lupakan! Toh tadi Ibu cuma nanya kok. Tetapi kalaupun semua itu benar adanya, Ibu harap kamu gak akan kecewa sama kenyataan yang akan kamu dapatkan nanti. Cepet sembuh ya? Ibu mau kembali ke kelas dulu,” ujar Sivia seadanya. Ia mengusap kembali kening Alvin sebelum ia berdiri.
“Bucan?” panggil Alvin kemudian. Sepertinya ia masih menginginkan kehadiran guru cantik itu di sisinya. Sivia tersenyum, lalu tanpa ragu mencium hangat kening Alvin sebagai tanda penolakan dari permohonan tersirat yang Alvin berikan tadi.
“Ibu keluar dulu ya?” pamit Sivia sangat pelan. Lantas kali ini Alvin sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, sebuah kecupan hangat yang ia rasakan tadi itu sudah lebih dari cukup menurutnya.
“Makasih udah nengokin Alvin,” gumamnya senang. Tak lupa juga memberi senyuman kepada Sivia yang kini berjalan keluar UKS.

***


Lampu di kamar itu masih menyala, sedikit temaram. Namun itu menandakan kalau di sana masih ada seorang manusia yang terbangun saat kedua jarum jam saling berpelukan di atas angka duabelas.

Hening. Hanya detak jantung, deru napas, dan dentingan jarum jam sajalah yang terdengar di kamar tersebut.

Srek! Untuk kesekian kalinya si penghuni kamar merobek selembar kertas bermotif unik dari bindernya. Beberapa kalimat yang ia tulis di kertas tersebut pun diremasnya seketika. Lantas dibuang tak tentu arah. Kejadian yang sama yang selalu ia ulang sejak beberapa menit yang lalu.
“Aduh, gue bingung!” resahnya cukup akut. Sampai ia harus sedikit mengacak rambutnya yang sudah tak beraturan lagi.
“Gue gak tega kalau harus ngomong langsung sama dia. Dia itu masih muda, pasti emosinya juga masih labil. Ya Tuhan,” ujarnya kali ini. Sembari memandang sebuah jaket yang kini menggantung di dinding dekat tempat tidurnya. Lalu membuang napas.
“Apa sebaiknya gue menghindar aja kali ya? Toh nanti juga dia bakal tau sendiri tanpa harus gue kasih tau terlebih dulu.” ungkapnya sembari memejamkan mata. Lalu meraup wajah sembari menyandarkan punggungnya di badan kursi. Cukup frustasi.

***


“Bu Alyssa tunggu!” teriak Alvin di sebuah koridor kelas yang cukup sepi siang itu. Sedangkan seorang guru yang sudah dua kali dipanggil namanya oleh Alvin itu malah belum juga menghentikan langkahnya. Apa karena teriakan Alvin yang kurang keras? Mungkin saja. Yang jelas kini Alvin masih berlari demi mengejar langkah cepat dari guru tersebut. Ibu Alyssa, guru fisikanya waktu kelas X.
“Bu Alyssa?!” sekali lagi Alvin memanggil.

Dan. . . Tap! Langkah Alyssa terhenti seketika. Tentu saat gendang telinganya menangkap gelombang frekuensi yang menyerukan namanya. Lalu menengok dan mendapati Alvin sedang berlari kecil ke arahnya.
“Alvin manggil Ibu?” tanya Alyssa polos. Namun Alvin tak lantas membalas, ia malah memegangi lututnya dibarengi deru napasnya yang memburu.
“Bu Alyssa cepet banget jalannya. Capek nih, Bu.” Alvin mendumal.
“Oh ya? Aduh, maaf banget Ibu gak tau. Lagipula Ibu juga gak denger kalau kamu manggil Ibu. Memangnya ada apa sih?” tanya Alyssa sembari berusaha menatap wajah Alvin yang menunduk.
“Hmm. . . Ini Bu, Alvin cuma mau nanya sesuatu sama Ibu.” ucap Alvin masih patah-patah. Asupan oksigennya masih belum stabil saat itu.
“Oh gitu. Ya udah mendingan sambil duduk aja ngomongnya. Kasihan kamu masih ngos-ngosan gitu.” Alyssa menuntun Alvin untuk duduk di kursi taman yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Jadi kamu mau nanya apa sama Ibu?” setelah mereka duduk dan setelah Alvin cukup bisa mengatur napasnya kembali, Alyssa pun membuka obrolan dengan sebuah pertanyaan.
“Alvin mau nanya masalah Bucan sama Bu Alyssa.” ucap Alvin antusias.
“Bucan?” respon Alyssa cukup bingung.
“Eh, maksud Alvin itu Bu Sivia. Bucan itu nama panggilan kesayangan dari Alvin buat Bu Sivia. Artinya Bu Cantik, atau enggak Ibu guru yang cantik. Hehehe.” jelas Alvin yang sempat membuat Alyssa sedikit terkekeh.
“Oh, maksud kamu itu Bu Sivia? Duh, ada-ada saja kamu ini. Hmm. . . Emang kenapa dengan Bu Sivia?” tanya balik Alyssa penasaran. Yang kontan membuat Alvin langsung mengatur napasnya sesegera mungkin.
“Ngg. . . Bu Alyssa tau gak Bucan ke mana? Kok udah tiga hari ini Alvin gak pernah lihat Bucan ngajar lagi sih. Apa Bucan lagi sakit?” tanya Alvin penasaran.

Pasalnya, semenjak kejadian Alvin masuk UKS tiga hari yang lalu, Sivia tidak pernah lagi menampakan diri di sekolah tersebut. Membuat Alvin一atau mungkin murid-murid Sivia yang lain一bertanya-tanya akan ketidakhadiran guru cantik tersebut. Ke mana dan di manakah Sivia saat ini? Mungkin pertanyaan itulah yang selalu terngiang di pikiran Alvin sampai sekarang.

Alyssa pun tersenyum, “Oh itu. Enggak kok, Bu Sivia gak lagi sakit. Bu Sivia baik-baik aja. Bu Sivia sedang ada urusan yang lain, jadi saat ini Bu Sivia belum bisa ngajar dulu. Mungkin besok atau lusa juga udah masuk lagi.” ujarnya menjelaskan. Setelah mendengar itu, Alvin pun mengangguk dan membulatkan mulut tanda mengerti.
“Oh. . . Jadi gitu ya, Bu?”
“Iya. Kenapa gitu? Kangen ya sama Bucanmu itu?” goda Alyssa seraya memainkan matanya usil.
“Enggak kok. Alvin cuma nanya doang. Soalnya heran aja gitu kalau Bucan gak masuk, apalagi sampai tiga hari berturut-turut. Biasanya kan Bucan itu paling rajin kalau ngajar.” kilah Alvin cepat-cepat. Sembari menghindar dari tatapan mata Alyssa yang meledek tentunya.
“Oh gitu. Masa sih? Ibu gak percaya deh.”
“Ah Ibu, gak usah ngeledek gitu deh.”
“Hehehe. Iya kan?”
“Aih! Tapi ya udah deh, makasih ya Bu atas infonya? Kalau gitu Alvin pamit ke kelas. Maaf udah ganggu waktu Ibu, permisi!” pamit Alvin setelah ia bangkit dari kursi taman yang didudukinya. Alyssa pun sama, ia mengangguk setelah mendengar perkataan dari mantan muridnya waktu kelas X itu. Lalu sama-sama pergi dengan arah yang berbeda.

***


Mentari terbit belum terlalu tinggi. Sekitar lima sentimeter di atas bumi jika diukur secara asal. Karena memang faktanya saat ini suasananya masih terlalu pagi. Bunga-bunga kompak bermekaran satu sama lain. Begitupun semilir angin yang tak henti menyapu lembut dedaunan. Menggenapkan aura sejuk yang sangat jelas terasa saat itu. Asri. Belum setitik pun polusi udara maupun suara yang menyerang suasana sekitar.

Di sudut lain, di tempat yang biasanya dihuni oleh satpam sekolah, Alvin terduduk ditemani ponsel pribadinya. Cukup lama Alvin di sana一sebelum matahari terbit mungkin一demi melakoni niatnya untuk menunggu seseorang. Seseorang yang telah membuat Alvin mengerti akan cinta yang sesungguhnya, cinta yang bebas datang kepada siapapun tanpa memandang usia dan sebagainya. Siapa lagi kalau bukan guru tercintanya? Sivia.

Dan waktu pun tetap berlalu. Sudah hampir tiga perempat jam Alvin menunggu. Namun yang ditunggu belum juga menampakan batang hidungnya. Sampai-sampai wilayah sekolah yang tadinya hanya ia sendiri yang menghuni, kini sudah banyak penghuni-penghuni lain yang berdatangan. Siswa-siswi, guru-guru, staff sekolah, penjual makanan dan tidak ketinggalan juga pak satpam yang jangkung besar pun kini sudah ikut duduk di samping Alvin.
“Lho, kok Dek Alvin malah di sini sih? Bukannya sebentar lagi pelajaran pertama mau dimulai?” tanya pak satpam sembari menatap heran wajah Alvin yang terlihat gelisah.
“Oh iya Pak, saya juga tau. Tapi saya lagi nunggu seseorang nih, dari tadi gak dateng-dateng.” jawab Alvin dengan melirik arloji di lengan kirinya. Sambil sesekali melirik ke arah pintu gerbang tentunya.
“Oh gitu ya? Kenapa gak ditelpon aja? Siapa tau gak jadi berangkat atau terjadi sesuatu apa gitu sama temen Dek Alvin.” usul pak satpam yang kini mulai sibuk mengeluarkan semua barang-barang keperluannya di dalam laci meja. Alvin lantas berpikir.
“Bisa jadi juga sih, Pak. Hmm. . . Ya udah deh kalau gitu saya masuk dulu ya, pak? Permisi!” ujar Alvin sambil meraih tasnya dan kemudian keluar dari tempat tersebut setelah ia berpamitan dengan pak satpam. Lantas mengempatkan melirik terlebih dahulu ke arah pintu gerbang sebelum ia benar-benar melangkah pergi.
“Mungkin emang gak masuk lagi kali ya? Hmm. . . Ya sudahlah,” gumamnya. Dengan sedikit malas, Alvin pun berjalan masuk ke area sekolah. Meski hanya beberapa langkah saja, namun entah kenapa kakinya terasa berat untuk digerakan. Mungkin karena Alvin merasa kalau penantiannya dari pagi sudah terbilang sia-sia itulah yang membuatnya sedikit galau.

Lalu untuk kesekian kalinya Alvin kembali menengok ke arah belakang. Berharap kalau kali ini ia bisa melihat seseorang yang sedang ia rindukan beberapa hari terakhir ini.

Dan. . . Dzing! Tepat sekali. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Membuat Alvin mengernyit sambil memicingkan mata demi memperjelas penglihatannya.
“Bucan?” gumam Alvin cukup senang. Apalagi saat kedua matanya menangkap sosok Sivia yang baru saja keluar dari mobil tersebut.
“Itu beneran Bucan kan?” ucapnya kemudian. Lantas dengan raut sumringah, Alvin pun sedikit berlari untuk menghampiri Sivia. Namun baru saja Alvin hendak memanggil nama Sivia dari kejauhan, tiba-tiba saja keluar seorang pria berbadan tinggi dan berkacamata hitam dari mobil yang tadi Sivia tumpangi. Membuat Alvin mengurungkan niatnya untuk memanggil dan berhenti begitu saja dari larinya.
“Entar siang aku jemput kamu ya?” pinta si pria saat ia sudah berada di hadapan Sivia. Sedangkan Sivia hanya mengangguk sambil sesekali tersenyum lebar ke arah pria tersebut.
“Ya udah kalau gitu aku ke kantor dulu ya? Sampai ketemu nanti siang.” pria itu kembali berucap. Kali ini terdengar cukup manis. Bahkan lebih manis lagi saat bibirnya mendarat lembut di kening Sivia. Lalu melangkah pergi setelah menyentuh kedua pundak guru cantik tersebut.

Saat melihat kejadian itu, tak ada yang bisa Alvin lakukan lagi selain berdiri dengan lutut yang terasa lemas. Bukan hanya itu, jantung Alvin seakan tertusuk oleh milyaran jarum yang dilempar secara sengaja oleh Sivia. Sakit. Sesak. Dan kalaupun harus bernapas, mungkin Alvin memerlukan alat bantu bernapas untuk ia menghirup oksigen. Karena entah mesti ada berapa kalimat hiperbola lagi yang Alvin butuhkan untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini? Cukup mengenaskan.

Mobil itu melaju perlahan saat si pria memberi senyuman dan lambaian tangan ke arah Sivia. Sedangkan setelah itu Sivia terdiam, melirik ke arah arloji di tangannya sebentar, lalu berbalik badan untuk bergegas masuk ke area sekolah.
“Alvin?” gumamnya sedikit kaget. Padahal baru saja sedetik Sivia membalikan badan, namun sosok Alvin langsung tertangkap oleh wilayah pandangnya. Lantas dengan cepat Alvin pun berjalan mundur sebelum akhirnya ia berlari saat Sivia hendak melangkah.
“Alvin, tunggu!” teriak Sivia kali ini. Lalu berlari pelan untuk mengejar siswa yang mengaku sebagai pengagumnya itu. Alvin.

***


“Hey, kenapa kamu gak masuk? Bukankah pelajaran pertama di kelasmu itu Bu Sivia?” tanya Alyssa saat ia tanpa sengaja melihat Alvin sedang terduduk di pojokan koridor perpustakaan. Terlihat sedang asyik sendiri memutar-mutar pensil di keramik. Sontak ia menengok begitu mendengar dua pertanyaan dari Alyssa tadi.
“Alvin lagi diskors, Bu.” jawabnya yang terdengar cukup di telinga Alyssa. Membuat Alyssa tertarik untuk duduk di samping Alvin dan mengobrol lebih privasi lagi dengan mantan muridnya itu. Karena kebetulan juga Alyssa tidak sedang mengajar hari ini, ia kebagian jadi guru piket.
“Iya juga sih. Tapi bukannya kemarin kamu nanyain Bu Sivia?” kembali, Alyssa bertanya cukup heran.
“Itu kan kemaren,” jawab Alvin datar. Entah rasanya sedikit malas untuk Alvin mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Alyssa yang menyangkut nama Sivia.
“Memang apa bedanya dengan sekarang?”
“Bu Alyssa, apa Bu Sivia sudah menikah?” bukannya menjawab, Alvin langsung menyerobot pertanyaan dari Alyssa dengan sebuah pertanyaan tegas yang kontan membuat guru bertubuh mungil itu terlihat sedikit kaget mendengarnya. Lalu terdiam, bingung sendiri harus menjawab apa.
“Kenapa Bu Alyssa diam saja? Apa Bu Alyssa sama Bucan sengaja buat merahasiakan hal ini dari Alvin? Iya kan, Bu?” lanjut Alvin dengan sebuah terkaan.
“Alvin, sebenarnya Bu Sivia itu. . .”
“Sudah menikah. Dan itulah alasan kenapa kemarin Ibu gak masuk beberapa hari.” baru saja Alyssa hendak menjawab pertanyaan Alvin, tiba-tiba saja seseorang menyambungi dengan cepat. Dan seseorang itu tentu saja Sivia, guru cantik yang kini sudah berdiri di dekat Alvin dan Alyssa duduk. Mereka berdua kompak menengok seraya menampakan ekspresi kagetnya masing-masing.
“Bucan?” lirih Alvin parau.
“Hmm. . . Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya? Mau kembali mengontrol ke kelas-kelas. Permisi!” pamit Alyssa saat matanya menangkap kode dari Sivia. Sivia pun mengangguk sembari tersenyum. Lalu ia bergegas menggantikan posisi Alyssa yang tadi duduk di samping Alvin. Sedangkan Alvin hanya diam tanpa berkata.
“Sebenernya Ibu pengen banget ngasih tau kamu kalau Ibu mau menikah,” kata Sivia dengan melanjutkan kembali topik pembicaraan semula.
“Tapi Ibu takut menyakiti hati kamu,” lanjutnya seketika.
“Karena itu Ibu sengaja merahasiakan masalah ini dari kamu. Ibu harap kamu mengerti,” ucap Sivia kembali melanjutkan.
“Alvin kecewa sama Bucan, sangat kecewa. Bukan kecewa karena Bucan sudah menikah, tapi Alvin kecewa karena Bucan sudah gak mau terus terang sama Alvin.” ujar Alvin sesal. Bahkan matanya pun enggan sekali melirik ke Sivia.
“Bucan gak tau kan gimana perasaan Alvin waktu Bucan menghilang tanpa ada kabar? Dan Bucan juga gak tau kan gimana perasaan Alvin waktu melihat Bucan dicium keningnya sama seorang laki-laki?” tukas Alvin tiba-tiba. Matanya yang kini sedikit berlinang pun masih saja enggan untuk menatap ke arah Sivia.
“Alvin. . .”
“Kalau saja kemarin Bucan mau terus terang sama Alvin, mungkin rasanya gak sesakit ini.” ucap Alvin lagi.
“Ibu minta maaf kalau Ibu gak mau terus terang sama kamu. Ibu tau itu salah. Tapi yakinlah, Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu. Ibu gak mau melihat kamu kecewa sama Ibu. Yah. . . Meskipun pada akhirnya kamu kecewa juga sama Ibu, tapi setidaknya Ibu sudah berusaha untuk tidak membuat kamu kecewa. Sekali lagi Ibu minta maaf.” ujar Sivia tegas. Tak peduli walau Alvin masih terlihat cuek padanya. Bahkan siswa tersebut malah tersenyum ketus ke arah Sivia.
“Kata maaf gak akan bisa menghilangkan rasa sakit di sini.” kata Alvin sinis sambil menunjuk dadanya. Lalu berdiri dengan perasaan yang entahlah mesti seperti apa menggambarkannya. Sampai Alvin merasakan kalau tangan Sivia menggenggam tangannya.
“Kamu berhak marah sama Ibu, Ibu terima. Tapi bukankah Ibu berhak juga melakukan semua ini? Ini keputusan Ibu. Kamu mengerti kan?” tegas Sivia yang langsung membuat Alvin terdiam seribu bahasa. Entah sepertinya Alvin seakan tertelak oleh kata-kata Sivia tersebut.
“Memang, kamu gak pernah salah suka sama Ibu. Itu hak kamu. Tapi bukan berarti Ibu harus suka juga kan sama kamu? Perasaan hati itu gak bisa dipaksain, Vin.” lanjutnya.
“Kalau Bucan gak suka sama Alvin, kenapa waktu itu Bucan mencium Alvin?” tanya Alvin yang masih terkesan ketus. Sivia menghela napas.
“Itu tak lebih dari ciuman seorang ibu kepada anaknya.” jawab Sivia mantap. Ia ikut berdiri kemudian.
“Dulu Ibu pernah bilang sama kamu; kamu boleh-boleh saja suka sama Ibu, tapi kamu jangan terlalu berharap lebih sama Ibu. Dan inilah arti dari kata-kata Ibu waktu itu, Ibu gak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Arah pikiran kita berbeda.” ujar Sivia seraya menyentuh pundak Alvin.
“Dengar, kamu itu masih sangat muda, petualangan kamu dalam percintaan juga masih panjang. Kamu pasti akan menemukan perempuan yang jauh lebih baik lagi dari Ibu.” Sivia tersenyum terlebih dahulu sebelum ia kembali memegang tangan Alvin dan menaruhnya di depan dada siswa tersebut.
“Simpanlah perasaan kamu untuk calon isterimu nanti, bukan untuk Ibu yang sudah menjadi isteri orang lain.” lalu pergi meninggalkan Alvin yang sudah kehabisan kata-kata sedari tadi. Bulir bening pun mengalir tanpa komando di pipi Alvin.
“Bucan?!”

Alvin sedikit berlari untuk mengejar Sivia yang telah berjalan sedikit jauh. Karena saking susahnya untuk Alvin berbicara lagi, ia hanya bisa memeluk erat Sivia saat itu. Ia menyadari kalau semua perkataan Sivia itu benar adanya. Toh pepatah juga mengatakan kalau cinta itu tak harus memiliki, bukan? Mungkin itu benar.

Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Strange Taste

Hujan yang turun membasahi bumi sekitar dua jam yang lalu kini mulai mereda. Bahkan mungkin sudah benar-benar reda. Hanya saja ada beberapa tetes air yang jatuh dari deretan genteng dan rimbun daun yang sedikit tertiup angin. Menyebabkan siswa-siswi yang tadinya hanya berdiam diri menunggu hujan di dalam kelas atau di pinggiran koridor, kini sedikit demi sedikit mulai berhamburan keluar. Menyebar ke beberapa sudut sekolah untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.

Dan seketika saja, di salah satu kelas, seorang siswi tiba-tiba terpeleset dengan posisi pantat yang menyentuh lantai terlebih dahulu. Entah apa yang membuat siswi itu terpeleset, yang jelas saat ini ia hanya bisa menahan rasa malu karena siswa-siswi di kelas tersebut hampir semuanya tertawa. Tertawa untuk musibah lucu yang dialami siswi tadi tentunya.
“Kalau jalan ati-ati bisa kali, Vi?” ujar seseorang seraya mengangkat tubuh berat siswi tersebut.
“Gue udah ati-ati tau! Tapi tetep aja gue jatuh. Sial banget sih gue,” ocehnya setelah berhasil dibangunkan oleh seseorang tersebut yang tiada lain adalah sahabat baiknya.
“Mending kita keluar dulu deh, malu tuh ditertawain sama mereka. Ayo!” sekilas, setelah melihat suasana sekitar, seseorang itu langsung menarik tangan siswi tadi keluar kelas. Lebih tepatnya berusaha untuk menghindar dari ejekan semua teman-teman kelas mereka. Lantas kemudian mereka dengan cepat melangkahkan kaki menuju tempat yang memang sebelumnya akan mereka tuju. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat yang biasanya para siswa-siswi datangi saat jam istirahat tiba? Kantin.
“Pelan-pelan kenapa jalannya? Masih perih nih pantat gue ah.” cibir siswi itu cukup sinis. Genggaman dan tarikan tangan yang dilakukan sahabatnya tersebut dirasa cukup sadis. Sampai ia tidak bisa menstabilkan apalagi mensejajarkan langkah kakinya dengan sahabatnya itu.
“Ya derita loe itu mah. Lagian loe tadi pakai acara kepleset segala, mau punya adik lagi?” ledek orang yang kini masih menggenggam tangan siswi itu asal. Bahkan dibarengi dengan tawa meledeknya juga. Membuat gadis cantik berpakaian putih abu-abu itu mendengus.
“Apa hubungannya coba?” ujar siswi itu sembari memberi tekanan nada di setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Pasti ada lah! Orang tua zaman dulu sering ngomong gitu kok.” siswi itu pun menyeringai sinis mendengarnya. Terkadang sahabatnya yang satu ini suka berbicara asal.
“Itu mitos doang. Payah loe ah, gitu aja dipercaya. Udah lepasin tangan gue! Udah nyampe kan?” pintanya begitu langkah mereka terhenti di salah satu penjual mie ayam langganan mereka.

Siswi itu bernama Sivia. Siswi cantik yang tidak begitu populer di SMA Padma yang kini menjadi tempatnya mencari ilmu. Dan orang yang tadi menarik tangannya adalah Alvin, sahabat baik Sivia setelah hampir lima tahun ia mengenalnya semenjak kelas satu SMP. Cukup lama mereka berdua bersahabat, ditambah lagi mereka yang dari kelas satu SMP sampai sekarang kelas tiga SMA selalu ditempatkan dalam satu kelas itulah yang membuat persahabatan mereka semakin erat. Bahkan saking eratnya, mereka sampai pernah bertukar tempat tinggal dalam dua hari. Untuk mengalami bagaimana rasanya Alvin hidup di rumah Sivia dan Sivia hidup di rumah Alvin dalam dua hari tersebut. Lucu bukan?

Dan dalam hitungan detik saja, Alvin seketika menyeringai polos. Tentu saja sembari memandang sekilas tangannya yang masih menggenggam tangan Sivia. Lalu melepaskannya pelan-pelan bersamaan dengan keluarnya satu kata dari mulut Alvin.
“Sori,”
“Huh, dasar!” timpal Sivia dengan memutar mata. Sedangkan Alvin hanya terkekeh kecil membalasnya.
“Mau pesen apa, Vi? Gue traktir deh.” tawar Alvin mantap.
“Wah, serius loe?” respon Sivia antusias. Sedangkan Alvin langsung mengangguk sebagai jawaban.
“Asik dah! Bentar ya gue pesen dulu? Terserah gue nih mau pesen apa aja?” tanya Sivia lagi-lagi. Ia masih cukup ragu dengan perintah Alvin tersebut. Siapa tau saja Alvin sedang bercanda saat ini.
“Terserah loe dan sepuas loe mau pesen apa aja.” jawab Alvin.
“Beneran gak sih?” lagi, Sivia bertanya untuk kesekian kalinya. Membuat Alvin berdecak jengah. egitu tidak percayanya kah Sivia dengan Alvin meski ia sudah memampang jelas-jelas wajah seriusnya itu.
“Kapan gue bohong sama loe? Ish!” ketusnya kemudian. Sivia malah memamerkan giginya kompak. Lantas mengacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Santai bro! Ya kali gitu loe lagi becanda sama gue. Tapi baiklah, gue pesen nih?”
“Iye iye, Sivia. Susah amat loe tinggal mesen doang. Aih!” Alvin lagi-lagi mendengus. Seperti biasa, suka kesal sendiri kalau ulah Sivia yang cukup menyebalkan itu mulai kumat.
“Udah belom?” tanya Alvin setelah beberapa menit menunggu Sivia bernegosiasi dengan si penjual mie ayam. Namun Sivia tak langsung meresepon. Ralat! Atau mungkin memang tak mendengar pertanyaan Alvin karena saking sibuknya memesan ini itu. Soalnya, selain berjualan mie ayam, di warung yang ditempati Alvin dan Sivia juga menjual beberapa makanan ringan yang tentu saja nikmat bila disantap dengan makanan utama dari warung tersebut.

Namun seketika Alvin memicingkan mata. Karena tiba-tiba saja一tanpa disengaja一wilayah pandangnya menangkap sosok cantik berambut panjang dengan bando kecil yang melengkung di atas poni indahnya. Alvin terpaku sesaat. Bahkan sampai tak menyadari kalau Sivia sudah duduk manis di sampingnya.
“Woy, gak usah ngayal deh! Tuh cewek udah ada yang punya.” gertak Sivia yang seakan tau apa yang ada di pikiran Alvin. Kontan membuat Alvin sedikit tersentak kaget dibuatnya. Ia mengelus dada dan membuang napas gusar.
“Dih, siapa juga yang naksir sama tuh cewek? Sok tau loe!” kilah Alvin sinis.
“Gak usah bohong loe sama gue, gak nyadar apa mata loe tambah sipit kalau loe bohong?” Sivia berucap asal dan langsung mendapatkan tatapan membunuh dari Alvin setelahnya.
“Gak seru gitu ya kalau ngomongnya gak bawa-bawa mata gue? Gue tau kok mata gue minimalis, tapi tolonglah jangan bawa-bawa mata gue kalau lagi bahas sesuatu.” timpal Alvin jengah. Entah sepertinya Alvin paling sensitif kalau sudah menyangkut masalah mata. Sedangkan Sivia malah terkekeh begitu melihat tampang kusut Alvin.
“Ya kali. Hahaha.”“Elo tuh ya!” geram Alvin geregetan. Rasanya ingin sekali memakan Sivia hidup-hidup. Namun Sivia langsung melotot ke arah Alvin. Memperlihatkan wajah sangarnya di hadapan siswa tampan bermata sipit itu.
“Mau apa loe hah?!” Alvin pun membuang napas. Aksi kesalnya kepada Sivia diurungkan Alvin seketika. Dasar Sivia, maunya menang sendiri saja.
“Ini pesanannya, dik Sivia, dik Alvin.” tiba-tiba saja, di tengah-tengah aksi tatap-tatapan sangar Alvin dan Sivia, si pemilik warung datang dengan membawa empat porsi mie ayam beserta embel-embelnya. Dan itu membuat Alvin menelan ludah, syok.
“Gila loe, Vi! Yang bener aja mesen mie ayam sebanyak ini? Rakus amat loe,” rutuk Alvin ke Sivia. Pasalnya, dalam satu meja yang di duduki mereka berdua, hampir semuanya terisi berbagai makanan tanpa ada jeda sedikitpun. Alvin menggeleng tak percaya.
“So what gitu lho? Kan loe sendiri yang bilang ke gue suruh mesen makanan sesuka gue.” ungkap Sivia enteng. Perlahan, tangannya mulai menjamah beberapa makanan yang ada di depan matanya. Sedangkan Alvin masih terdiam, belum berniat mengikuti sahabatnya itu menyantap makanan.
“Tapi gak gini juga kali.”
“Kenapa? Loe gak mampu bayar? Bilang aja sama gue,” terka Sivia asal. Matanya melirik sinis ke arah Alvin. Alvin pun berdecak.
“Bukan gitu maksud gue. Mampu kok gue bayar ini semua. Cuma. . .” perkataan Alvin terpotong sebentar begitu melihat lahapnya Sivia menyantap mie ayam.
“Cuma apa?” tanya siswi itu susah payah lantaran makanan yang masih berkumpul di mulutnya.
“Ya sayang aja kalau semuanya gak ke makan.”
“Aih! Loe tenang aja kali Vin, pasti semuanya ke makan kok. Ayo cepet makan! Loe pasti laper kan?” ujar Sivia cukup enteng setelah ia meminum jus jeruk miliknya.
“Enggak ah, udah kenyang gue lihat loe makan.”
“Oh, ya udah. Enak lho padahal.” lagi, Sivia berucap. Berusaha menggugah kembali selera makan Alvin. Namun tetap saja Alvin tak tergoda, ia malah geli dan kadang tersenyum manis saat menatap pipi Sivia yang terlihat lebih kembung saat makan. Menggemaskan. Hingga Alvin tak menyadari kalau ia terlalu hanyut memandangi kecantikan Sivia. Lalu mengerjapkan mata cepat-cepat.

***


Kelas itu mulai menyepi dari hiruk-pikuk kegiatan siswa-siswi yang bermacam-macam. Karena setelah hampir sepuluh menit bel pulang dibunyikan, seluruh siswa SMA Padma langsung berhamburan keluar. Begitu juga dengan siswa-siswi penghuni kelas XII Ips 2. Yang kini hanya tinggal satu orang saja yang terduduk di atas meja seraya menatap gusar sebuah meja di pojokan kelas. Tempat duduk milik Alvin tepatnya.

Entah kenapa orang itu merasakan dadanya sakit sekali acapkali ia melihat kedekatan Alvin dan Sivia. Meskipun ia tau kalau sebenarnya mereka berdua hanya bersahabat. Bahkan bukan “sebenarnya” lagi, mereka memang bersahabat. Semua orang juga tau itu.

Ia membuang napas, “Entah harus sampai kapan gue tersiksa seperti ini. Apa karena perasaan gue yang salah?” lalu melirik jam dinding yang tertera di atas papan tulis sebelum akhirnya ia melangkah perlahan meninggalkan kelas.

***


“Hai, Vi! Loe masih di sini? Kok belum pulang?” sapa seseorang yang berhasil membuat detak jantung Sivia bergetar lebih cepat. Kaget.
“Sori, gue ngagetin ya?” lanjut seseorang tadi begitu melihat gerak-gerik Sivia yang mengelus dada sambil mengatur napas. Sivia pun menggeleng sembari tersenyum.
“Gak apa-apa kok. Belum nih, loe juga belum pulang?” jawab dan tanya balik Sivia manis.
“Oh, kenapa gitu? Terus Alvin ke mana? Tumben loe gak bareng Alvin, biasanya gandengan mulut kaya truk. Hehehe.”
“Enggak ah biasa aja. Alvin balik duluan nih, ada urusan penting katanya. Ngg. . . Tau deh suka sok sibuk tuh anak.” ujar Sivia pasrah. Seseorang tadi hanya mengangguk sambil membulatkan mulut.
“Kalau gitu pulang bareng gue aja yuk?” deg! Detak jantung Sivia seakan berhenti begitu mendengar satu kalimat ajakan dari seseorang tersebut. Entah kenapa tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Cakka ngajak pulang bareng gue? Oh my God! umpat Sivia dalam hati.
“Mau enggak, Vi? Kalau gak mau juga gak apa-apa kok, gak maksa.” Cakka, siswa yang sekarang berdiri di dekat Sivia itu kini tersenyum manis sambil terlihat menarik napas. Teman sekelas Sivia dan Alvin yang cukup cerdas. Selain cerdas, Cakka juga merupakan sosok siswa idaman bagi semua siswi-siswi di kelas XII Ips 2 atau bahkan mungkin di SMA Padma. Wajahnya yang tampan serta pembawaannya yang maskulin itu pernah membuat Sivia jatuh hati. Mungkin perasaan Sivia masih sama setelah setahun ia memendam rasa kepada Cakka.
“Sivia?” dirasa belum ada respon dari Sivia, Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah gadis tersebut.
“Eh, iya. . . Sori gue gak fokus. Mau kok mau, tapi duduk dulu di sini ya? Masih panas nih,” ucap Sivia gelagapan. Cakka mengangkap bahu. Bermaksud menyetujui permintaan Sivia itu. Ia pun ikut duduk di samping Sivia seraya matanya memandang suasana sekitar yang sudah sepi.
“Cuacanya ekstrim banget ya hari ini? Tadi pagi hujan, sekarang panas.” ucap Cakka setelahnya. Topik pembicaraan yang entah dari mana ia dapatkan.
“Iya, biasalah efek global warming. Suka labil gitu. Kadang panas, terus hujan, panas lagi, hujan lagi. Gitulah pokoknya.” balas Sivia asal.
“Berarti sama kaya loe,” glek! Sivia menelan ludah paksa.
“Heh?”
“Iya, loe juga gitu. Kadang cantik, kadang jelek, kadang cantik banget, kadang enggak sama sekali. Hehehe.” ujar Cakka dibarengi senyumnya yang manis sekali. Membuat Sivia meleleh tiba-tiba. Sampai ia tak kuasa melihat wajah Cakka. Bahkan melirik sedikitpun enggan. Takut tubuhnya menguap terus menghilang tak bersisa. Hiperbola? Mungkin. Tapi memang seperti itulah yang Sivia rasakan saat ini.
“Aih! Gue kan cantik mulu tiap hari.” kata Sivia berusaha santai. Mereka pun terkekeh setelah Cakka memberi ekspresi yang seakan bilang ah-yang-bener?
“Eh, itu apaan di saku baju loe?” beberapa detik, setelah Sivia berhenti dari tertawa, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang menyembul di saku baju Cakka. Lantas Cakka menunduk.
“Apaan? Ini?” tanya dan tunjuk Cakka kemudian. Sivia mengangguk.
“Ini cokelat. Tadi gue beli di kantin. Loe mau? Nih ambil aja!” tawar Cakka baik. Untuk sejenak Sivia terdiam. Memandang cokelat di tangan Cakka dan wajah si pemilik cokelat itu bergantian.
“Beneran?”
“Iya, ambil aja. Gue udah kenyang kok.” lalu Sivia menerimanya tanpa sungkan. Sampai akhirnya hening mengembara di antara mereka. Hanya saja dedaunan yang jatuh yang menjadi objek pandang mereka sambil duduk di tempat penjaga gerbang sekolah. Meski terkadang Sivia melirik Cakka tanpa sepengetahuan pemilik nama tersebut. Atau sebaliknya.
“Sivia?” panggil Cakka pelan. Sivia kontan menengok tanpa harus menyahut. Ditatapnya mata Cakka yang kala itu berbinar cerah.

Sivia terkutuk pergerakannya seketika. Apalagi saat wajah Cakka mendekati wajahnya. Sesak. Entah rasanya sesak sekali dada Sivia saat ini. Bukan sesak karena sakit, melainkan karena Sivia terlalu susah mencuri kesempatan untuk mengambil napas saat tangan Cakka menyentuh sudut bibirnya.
“Jangan kaya anak kecil dong kalau makan cokelat. Belepotan gini,” bisik Cakka yang berhasil membuat bibir Sivia bergetar. Lalu Cakka beralih ke posisi semula ia duduk. Memandang kembali ke arah sekitar.
Thanks,” ucap Sivia pelan. Masih berusaha menstabilkan detak jantungnya yang sudah tak karuan.
“Pulang yuk? Entar kesorean lagi,” karena merasa sekolah mereka sudah terlalu sepi, akhirnya Cakka bangkit dan mengulurkan tangannya ke arah Sivia. Mengajak pulang bareng seperti yang Cakka tawarkan beberapa menit yang lalu ke Sivia. Sedangkan Sivia tak lantas menjawab, ia hanya tersenyum sembari menerima uluran tangan dari Cakka dengan perasaan kagum. Entahlah ia terlalu senang hari ini. Bahkan rasanya tak ingin sekali untuk Sivia melewati hari ini sedetikpun. Nice day, right?

Mereka pun berlalu dengan santainya meninggalkan sekolah.

***


Alvin menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Keringat yang bercucuran di keningnya pun masih kentara kalau ia begitu kelelahan. Napasnya masih memburu.
“Alvin gak mau tau, Mama harus siapin makanan dan minuman kesukaan Alvin sekarang juga!” pinta Alvin saat beberapa detik Mamanya muncul di ambang pintu. Sang Mama menggeleng saja melihat kemanjaan anaknya itu. Lalu beliau melangkah mendekati Alvin. Ikut duduk dan kemudian merangkul remaja yang masih memakai seragam sekolah itu dengan tulus.
“Duh, manja banget sih? Baru juga bawain belanjaan Mama, masa udah minta imbalan aja.” ucapnya lembut. Sembari mengusap kening Alvin yang penuh keringat tentunya.
“Tapi kan belanjaan Mama seabreg gitu. Pada berat-berat lagi,” adu Alvin seketika.
“Oh, jadi gak ikhlas nih bantuin Mama?”
“Aih! Ikhlas kok Ma, ikhlas. Sumpah deh!” refleks Alvin dengan sedikit mendongakan wajahnya ke arah sang Mama yang kini langsung tersenyum.
“Iya deh Mama percaya. Sana mandi dulu gih! Nanti Mama masakin makanan kesukaan kamu.”
“Beneran?” sang Mama pun mengangguk.
“Yeah! Thanks, Ma.” sejurus kemudian Alvin berlalu dari duduknya setelah beberapa detik mencium lembut pipi Mamanya.
“Alvin, Alvin. . .” gumam beliau pelan. Lalu mengambil tas, sepatu, dan jaket milik Alvin yang ditaruhnya begitu saja di sekitaran ruang tamu.

***


Mungkin ini terkesan sangat aneh kalau sampai kamu dan mereka-mereka yang ada di luar sana mengetahuinya. Tapi yakinlah, ini yang benar-benar aku rasakan. Aku menyukaimu, Alvin.


Klik! Orang itu menekan opsi kirim yang tertera di layar ponselnya. Sebuah pesan singkat yang ia tuju untuk orang yang sudah lama ia sukai. Alvin.

Kemudian ia duduk, meraih sebuah bingkai yang di dalamnya terdapat gambaran dirinya bersama Alvin. Ia tersenyum sesaat.
“Entah ini cuma sekedar rasa kagum gue terhadap loe atau mungkin gue memang bener-bener suka sama loe, gue juga bingung. Hmm. . . Tapi yang jelas, semenjak gue ditempatkan di kelas loe tahun kemarin, gue hanya tertarik sama loe.” ungkapnya sungguh-sungguh. Bingkai itu ia letakkan kembali di tempatnya semula.
“Oh Tuhan, kenapa gue harus seperti ini?” ia merebahkan tubuhnya setelah itu, memandang langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong.
“Gue yakin ini bukan takdir! Aaarrrggghhh!!!” cukup jengah, orang tersebut mengacak rambutnya dan bangkit kembali dengan gejolak hati yang labil.
***


“Hah? Serius loe? Sini coba gue pengen tau!” respon Sivia syok setelah Alvin menceritakan masalah orang misterius yang akhir-akhir ini suka menerornya. Maka dengan sigap Sivia menyambar ponsel Alvin cepat-cepat.
“Wah, kayanya ini mah masih peneror yang sama deh menurut gue. Kok bisa neror loe lagi ya, Vin? Perasaan kemaren-kemaren udah enggak,” ujar Sivia bingung. Matanya menatap Alvin yang kini duduk di kusen jendela.

Di minggu siang ini Sivia memang sengaja main ke rumah Alvin. Seperti biasa. Walaupun terkadang Alvin yang main ke rumah Sivia. Tapi lebih banyak Sivia yang main ke rumah Alvin karena ia paling senang sekali mengacak-acak kamar mewah milik sahabatnya itu. Itu sudah menjadi hobi katanya.

Namun tidak untuk sekarang, Sivia datang ke sini khusus untuk menemani Alvin yang ditinggal sendirian di rumah sekaligus untuk mendengarkan curhatan Alvin yang sering dikeluhkannya via telepon.
“Gue juga mikir gitu, Vi. Gue kira tuh peneror udah insyaf gak neror gue lagi, eh sekarang malah balik lagi.” keluh Alvin yang kini berpindah tempat ke dekat Sivia yang duduk sila di atas tempat tidurnya.
“Penggemar rahasia loe kali, Vin. Cie punya penggemar rahasia. Hahaha.” ledek Sivia dengan menunjuk-nunjuk wajah Alvin. Kontan ia mendapatkan timpukan bantal dari cowok tersebut.
“Apaan sih?”
“Iiihhh Alviiin!!!” teriak Sivia seraya ikut mengambil bantal dan membalas timpukan dari Alvin. Dan dalam hitungan detik saja kamar itu sudah berantakan tidak karuan.

Bahkan bukan hanya kamar yang berantakan, tubuh mereka berdua pun ikut berantakan. Bagaimana tidak, selain lempar-lemparan dan timpuk-timpukan bantal, Alvin dan Sivia juga sempat-sempatnya saling menjambak dan saling tarik-tarikan baju. Sampai tiba-tiba. . .

Brek! Baju milik salah satu di antara mereka robek karena tarikan yang terlalu kencang.
“AH, BAJU GUE?! ALVIIIIIINNN JANGAN KABUR LOE!!!” teriak Sivia sangar. Ia pun langsung berlari keluar kamar mengejar Alvin.
“Alvin, sini loe!”
“Hahaha. Sori Vi, gue gak sengaja.”
“GAK! Pokoknya harus gue bales!” teriak Sivia bersemangat. Meski harus loncat sana dan loncat sini demi menangkap seorang Alvin untuk membalas atas robeknya baju yang saat ini dipakai Sivia. Sampai tiba waktunya Sivia berhasil menangkap Alvin di dekat pintu masuk utama dari rumah tersebut.
“Ampun Vi, ampun! Gue minta maaf deh, gue ngaku salah.” pinta Alvin seraya melindungi kepalanya. Namun itu tidak berlaku bagi Sivia, ia tetap mencengkeram kerah baju Alvin sampai Alvin sedikit mendongakan kepalanya ke atas.
“Baju gue robek. Jadi, baju loe harus robek juga. Adil kan?” dan srek! Hanya sekejap saja Sivia menarik cengkeramannya di kerah baju Alvin, namun efeknya begitu mengenaskan. Kerah baju Alvin robek sebelah ditambah tiga kancing bajunya yang copot dari tempat seharusnya.
“Tepat sekali. Hahaha.” ujar Sivia puas. Tidak peduli dengan Alvin yang sudah menggeram hebat.
“SIVIAAAAAA!!!”

Mungkin gendang telinga Sivia sudah pecah saat itu juga kalau ia tidak dengan sigap menutupinya.
“Ini baju baru gueee!” rahang Alvin lantas mengeras.
“Ya mana gue tau itu baju baru loe. Loe kan gak bilang,” balas Sivia tanpa dosa.
“Gak asik loe ah!” timpal Alvin sambil menatap iba kerah bajunya serta kancing-kancing yang berceceran di lantai.
“Ye, siapa suruh loe duluan ngerobek baju gue?” celoteh Sivia masih tetap tidak mau disalahkan.
“Tapi gue gak sengaja.”
“Ya bodo. Emang gue pikirin?”
“Arrrggghhh. . . Loe tuh ya!” lagi-lagi Alvin menggeram. Kali ini sambil menghentakan kakinya pergi dari hadapan Sivia.
“Lho, malah dia yang marah sih? Kan sama-sama robek? Aih!” rutuk Sivia heran. Pandangannya terus tertuju ke arah Alvin yang berjalan sambil mencibir meski tak terdengar.
“Emangnya gue juga gak bisa marah apa?” lanjutnya setelah melihat robekan baju di bagian pinggangnya. Ia berdecak.

***


Cakka mengernyit sesaat. Heran melihat Sivia yang tiba-tiba saja datang dengan memohon untuk duduk bersamanya dalam beberapa hari. Namun sebelum ia mengabulkan permintaan Sivia tersebut, Cakka melirik Alvin terlebih dahulu yang saat itu duduk sendirian. Padahal biasanya Sivia sering sekali duduk bersama Alvin, selalu lebih tepatnya. Membuat Cakka mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi antar Alvin dan Sivia saat ini.
“Mau ya, Cak?” pinta Sivia lagi-lagi.
“Hmm. . . Ya udah deh boleh. Tapi lagi gak ada masalah kan sama Alvin? Entar si Alvin malah salah paham sama gue lagi.”
Thanks ya. Gak ada kok, santai aja. Gue lagi pengen duduk di depan aja, tulisannya suka gak kelihatan kalau duduk di belakang.” Cakka sekilas mengangguk. Mencoba menerima alasan dari Sivia meski sebenarnya tidak sepenuhnya Cakka percaya.

Sedangkan di sisi lain, Alvin terduduk dengan santainya di tempat biasa. Meskipun sesekali matanya melirik ke arah Sivia yang kini duduk bersama Cakka, namun ia tetap berusaha masa bodoh dengan hal itu. Aksi ngambeknya terhadap gadis tersebut masih berlaku untuk hari ini.
“Hai, Vin. Gue boleh duduk di sini?” dalam kesibukannya mencari-cari buku sejarah di dalam tas, tiba-tiba saja seorang siswi berdiri di samping Alvin dibarengi senyum manisnya. Alvin sontak terkejut begitu menangkap wajah siswi tersebut.
“Eh, iya kenapa? Sori tadi gue gak denger.” respon Alvin sedikit gelagapan.
“Sori kalau gue ngagetin. Gue mau minta izin aja kok buat duduk di sini. Gak apa-apa kan? Tadi Sivia nyuruh gue duduk di sini, soalnya dia mau duduk sama Cakka.” ucap siswi itu jujur. Alvin lantas membulatkan mulutnya.
“Oh, gitu. Ya udah Shil, duduk aja! Gak apa-apa kok.” balas Alvin dengan mengizinkan siswi bernama Nashilla itu duduk bersamanya. Lalu ia melirik sinis ke arah Sivia lagi-lagi.
“Oh, jadi gitu nyuruh orang lain duduk bareng gue biar loe bisa duduk bareng Cakka? Oke Vi, oke.” rutuk Alvin pelan. Namun pandangannya langsung ia alihkan begitu menyadari kalau Sivia akan menengok.
“Hmm. . . Vin, entar istirahat ke kantin bareng yuk? Gue traktir deh sebagai tanda terimakasih gue udah diizinin buat duduk di sini. Gimana, mau ya?” tawar Nashilla di tengah-tengah kesibukan Alvin mencuri pandang.
“Ya elah gak usah repot-repot lah, Shil. Tempat ini bebas kok buat siapa aja termasuk loe. Santai aja!” Nashilla lagi-lagi tersenyum. Membuat Alvin entah kenapa tiba-tiba salah tingkah. Padahal sudah hampir dua tahun Alvin sekelas dengan Nashilla, tapi baru sekarang ini ia bisa duduk apalagi mengobrol berdua dengannya. Dan satu lagi, Nashilla terlihat begitu cantik kalau diperhatikan lekat-lekat. Alvin seketika mengerjap, berusaha membuyarkan apa yang sedang ia pikirkan tentang Nashilla. Sedangkan di sisi lain ada seseorang sedang menatap Alvin dan Nashilla cukup kesal. Sivia.

***


“Hmm. . . Kadang gue heran deh sama loe, Cak.” ungkap Sivia di tengah-tengah kesibukan Cakka menyalin catatan ekonomi dari buku paket saat istirahat pertama tiba.
“Heran kenapa?” tanya Cakka tanpa beralih sedikitpun dari kegiatannya tersebut. Sedangkan Sivia hanya memandangi gerak-gerik jemari Cakka yang berduel dengan pulpen serta bukunya sedari tadi. Lalu kembali berbicara saat Cakka bertanya.
“Heran aja gitu. Loe kan cakep, pinter lagi, tapi kok gak punya pacar ya? Emangnya loe gak laku?” terka Sivia asal. Sejenak, Cakka menghentikan aksinya dan melirik ke arah Sivia.
“Belum berniat punya pacar tepatnya. Bukan gak laku,” lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
“Masa sih? Tapi loe normal kan, Cak?” glek! Cakka menelan ludah kuat-kuat.
“MAKSUD LOE?! Udah deh jangan banyak ngomong dulu, gue lagi nyatet nih. Oke?”
“Ya sori, gue kan nanya doang. Kali aja gitu loe maho atau gay.” tanpa Sivia sadari, Cakka sudah menatapnya kesal saat baru beberapa detik Sivia berkata itu.
“Gue bukan maho ataupun gay. Ngerti!” bentak Cakka sembari bangkit dan pergi begitu saja meninggalkan Sivia.
“Lho, kok marah sih? Gue kan cuma nanya.” lirih Sivia dengan nada yang semakin pelan di akhir-akhir kalimat. Sepertinya Cakka mulai jengah dengan ulah Sivia yang sedari tadi bersuara tak pernah henti. Cukup mengganggu.

Lalu Sivia menengok ke arah pojokan kelas dan mendapati Alvin dan Nashilla tengah bercanda ria sambil tertawa. Terlihat sangat akrab dan mesra. Membuat Sivia merasakan sesak yang cukup sakit di dadanya.
“Sivia, sini gabung!” sejenak, baru saja Sivia hendak mengalihkan pandangannya, Nashilla kontan memanggil. Bermaksud mengajak Sivia untuk bergabung dengannya dan Alvin.
“Enggak ah, Shil. Gue mau keluar kok, nyari makan. Duluan ya?” dan secepat kilat Sivia menolak dan secepat kilat juga ia pergi dari tempat itu. Cukup bosan melihat Alvin yang cuek padanya pagi ini.
“Bentar ya, ada sms.” ujar Alvin saat ponselnya bergetar. Tepat setelah Sivia keluar dari kelas tentunya.


Mungkin rasanya sakit saat ada seseorang mengira aku ini begini ataupun begitu. Tapi jujur, lebih sakit lagi rasanya saat melihat kamu tertawa mesra dengan orang lain. Meski aku sudah berusaha untuk sembunyi.


“Shit! Siapa sih sebenernya nih orang?!” tukas Alvin pelan.
“Sms dari siapa, Vin? Kok gitu sih ekspresinya?” tanya Nashilla penasaran saat melihat perubahan raut wajah Alvin setelah membaca sebuah pesan singkat. Alvin lantas berkilah.
“Bukan siapa-siapa, Shil. Dari orang rumah.”
“Oh,”
“Oh iya, tadi kita sampai di mana ya ngobrolnya?” pancing Alvin ke topik semula yang ia obrolkan dengan Nashilla tadi. Kemudian kembali mengalir.

***


Di saat sedang berkutat dengan ponselnya, Cakka sedikit tersentak saat Sivia menyapanya dari belakang. Bahkan ponsel Cakka hampir terjatuh saking kagetnya.
“Iya kenapa, Vi?” ucapnya datar. Sivia langsung duduk di samping remaja tersebut.
“Sori ya masalah tadi? Gue gak ada maksud kok buat bilang itu, niatnya cuma becanda doang kok. Sori ya?” mohon Sivia tulus. Cakka menarik napas pendek.
“Gak apa-apa kok Vi, loe gak salah. Di dalem emang suasananya panas, jadi mudah emosi.”
“Maksud loe?”
“Lupain! Oh iya Vi, ada sesuatu yang mau gue omongin sama loe.” suruh dan pinta Cakka sepintas. Sivia pun mengernyit.
“Tentang?” tanyanya. Cakka lagi-lagi menarik napas. Kali ini lebih panjang dari sebelumnya. Seakan kalau ia akan mengungkapkan apa yang selama ini terpendam di dalam hatinya.
“Tentang perasaan.” ujar Cakka ragu.
“Oh, ya udah ngomong aja. Gue siap dengerin kok.” ucap Sivia enteng. Meski sedikit terbesit rasa malu-malu di wajahnya. Namun Sivia berusaha bersikap sebiasa mungkin di hadapan Cakka. Jangan sampai ketahuan kalau ia sedang berharap lebih kalau Cakka akan mengungkapkan perasaan suka kepadanya.

Seketika, Cakka melihat-lihat suasana sekitar. Mencoba memastika tidak ada lagi seorang pun selain mereka berdua. Dan nampaknya memang benar, di taman sekolah dekat perpustakaan itu jarang sekali didatangi siswa-siswi.
“Sebenernya gue. . .” ucap Cakka terpotong. Ekspresi gugup dan takut-takut pun tak lupa Cakka pancarkan di wajahnya.
“Sebenernya loe, kenapa?” pancing Sivia pelan-pelan.
“Tapi loe janji ya jangan bilang siapa-siapa?” pinta Cakka spontan. Yang sontak menambah rasa penasaran Sivia.
“Iya, gue janji kok. Percaya sama gue.” Cakka lagi-lagi menarik napas. Meski kali terasa sangat sulit untuk mengambil oksigen.
“Gue. . .”
“Iya, loe sebenernya kenapa sih? Jangan bikin gue penasaran deh!” timpal Sivia mulai bosan. Saat ini Cakka terlalu banyak basa-basi menurutnya.
“Gue takut Vi, gue takut loe bakal jauhin gue kalau tau masalah ini. Bahkan mungkin bukan loe aja, tapi semua orang!” gusar Cakka sambil menutup wajahnya frustasi. Menambah jadi tiga kali lipat rasa penasaran yang Sivia simpan di benaknya.
“Loe aneh, Cak.” ceplos Sivia skeptis. Mulai jengah dengan sikap remaja yang satu ini.
“Gue emang aneh, Vi. Gue. . .”
“Terserah loe deh, Cak. Bingung gue sama loe. Kalau emang gak niat ngomong ya udah. Gue cabut, permisi!” pamit Sivia seraya bangkit dari duduk. Namun dengan refleks Cakka mencekal tangan Sivia dan menariknya kembali. Sampai Sivia dengan terpaksa duduk karena kedua pundaknya saat ini dipegang keras oleh Cakka. Bahkan Sivia mampu merasakan napas memburu dari Cakka dan melihat cucuran keringat yang membasahi wajah remaja tersebut. Keduanya saling tatap. Hanya beberapa detik saja.
“Yang loe bilang itu bener, Vi. Gue aneh, gue beda sama cowok-cowok yang lain. Gue. . .” kembali, Cakka memotong perkataannya. Berusaha mengontrol emosinya di hadapan Sivia. Juga karena melihat ekspresi Sivia yang sedikit ketakutan akan sikapnya tersebut.
“Gue gay, Vi. Gue gak normal! Gue penyuka sesama jenis. Dan yang tadi loe bilang di kelas itu bener. Gue emang gay! Dan parahnya lagi. . .” untuk kesekian kalinya Cakka berhenti. Rasanya sedikit lega meski rasa takut masih menyelimuti hati dan pikirannya.
“Dan parahnya lagi gue suka sama sahabat loe. Bahkan gue jatuh cinta sama sahabat loe itu.” jujur Cakka terpaksa. Ia melepaskan genggamannya di pundak Sivia seketika. Berbalik badan serta memejamkan mata tanpa Sivia ketahui.

Sedangkan Sivia hanya diam terpaku oleh seribu bahasa begitu mendengar pengakuan dari Cakka. Remaja yang selama ini ditaksirnya diam-diam. Entah bagaimana rasa sakit yang Sivia rasakan saat ini. Ia benar-benar syok.
“Loe. . . Loe becanda kan, Cak? Loe gak lagi serius kan? Bilang Cak, bilang!” tukas Sivia yang masih tak percaya dengan semua pengakuan Cakka. Tangannya menggoyang-goyangkan punggung Cakka keras. Sontak Cakka dengan yakin menggeleng.
“Gue gak lagi becanda, Vi. Gue serius. Inilah gue aslinya, gak seperti yang loe lihat sehari-hari.”
“Gak mungkin!” lirih Sivia sambil menutup mulutnya. Benar-benar tak menyangka kalau Cakka seorang penyuka sesama jenis. Sungguh fakta yang menyakitkan bagi Sivia. Sia-siakah Sivia memendam rasa suka pada Cakka selama dua tahun? Sedangkan Cakka tidak seperti yang Sivia kira selama ini. Sia-siakah? Entahlah.
“Gue capek kalau terus-terusan memendam kelainan gue ini, Vi. Gue capek!” lanjut Cakka kembali berbalik menghadap Sivia.
“Berarti yang selama ini neror Alvin itu. . .”
“Gue. Gue yang neror. Entah rasanya seneng banget kalau gue udah sms Alvin seperti itu.” aku Cakka spontan.
“Oh Tuhan, Cakka!” sesal Sivia menyayangkan sikap Cakka.
“Kenapa loe bilang semua ini ke gue hah? Kenapa?! Apa loe gak tau kalau gue suka sama loe? Sakit tau Cak, sakit!” lirih Sivia parau. Entah harus marah sama siapa Sivia saat ini. Toh bukankah selama ini Cakka tak pernah menyuruh Sivia untuk menyukainya. Pantaskah Sivia untuk marah?“Maafin gue. Jujur, gue pun tersiksa dengan semua ini. Gue bingung harus berbuat apa. Di suatu sisi gue pengen hidup normal, tapi di sisi lain, setiap gue melihat Alvin berduaan atau becanda ria dengan cewek-cewek lain, gue cemburu. Terus gue harus gimana? Ada yang salahkah dengan diri gue? Atau. . . Atau Tuhan ingin mendiskriminasi gue dari ciptaanNya yang lain? Iyakah, Vi?” lirih Cakka sendu. Sivia menggeleng. Menolak mentah-mentah apa yang ditanyakan Cakka tersebut. Lantas ia dengan segera memeluk Cakka. Berusaha menahan emosinya dan berusaha menenangkan Cakka dari kelainan yang dialaminya itu.
“Bukan loe yang salah, apalagi Tuhan. Maafin gue, gue juga bisa rasain apa yang loe rasain sekarang. Gue ngerti Cak, gue ngerti. Gak perlu loe jelasin semuanya.” pinta Sivia di atas pundak Cakka.
“Makasih karena loe udah ngerti masalah gue. Tapi gue mohon sama loe, jangan bilang sama siapa-siapa tentang masalah ini. Terlebih sama Alvin. Gue mohon. . .” pinta Cakka seraya berbisik. Sivia mengangguk paham.
“Gue pengen sendiri, Vi.” lanjutnya pelan. Lalu Sivia melepaskan pelukannya perlahan. Menatap mata Cakka dalam-dalam sebelum akhirnya ia mengangguk dan bangkit untuk pergi dari tempat tersebut.
“Maafin gue,” ucap Cakka sekali lagi. Sivia memejamkan mata sekejap, lalu berbalik badan dan berlari seraya menutup mulutnya. Di hati kecilnya masih tak percaya dengan pengakuan yang Cakka tuturkan tadi.

Sedangkan di sisi lain ada seseorang yang juga sangat syok mendengar semua pembicaraan antara Sivia dan Cakka. Terlebih lagi saat mendengar namanya disebut. Alvin. Ia menggeleng tak percaya. Ternyata teman sekelasnya bahkan teman satu tim basketnya itu seorang penyuka sesama jenis. Apalagi ia tau kalau seseorang tersebut menyukainya.
“Drama macam apa ini?” tukasnya tanpa sadar. Pantas saja Alvin merasakan ada yang beda sama Cakka selama ia menjadi murid baru di kelasnya. Terlebih saat Cakka menatap matanya tanpa Alvin ketahui apa maksud yang terkandung dalam tatapan tersebut. Lalu Alvin berjalan mundur sambil terus menggeleng.
***


Hei, Vin! Gue Cakka. Sori ya kalau selama ini gue suka neror loe lewat sms. Pasti loe udah denger kan alesan gue ngelakuin itu dari Sivia? Sekali lagi sori ya, Vin? Gue gak maksud neror loe kok. Gue cuma. . . Yah, lupain lah! Anggap aja semua itu gak pernah terjadi. Gue pengen menjalani hidup baru. Gue pengen berubah, gue pengen normal kaya loe dan yang lain. Hari ini gue ikut bokap ke Thailand, mau tinggal di sana selamanya. Eh, enggak ding! Mungkin entar suatu saat bakal balik lagi ke sini kalau gue kangen. Ya pasti kangen lah pokoknya. Salam buat Sivia ya, Vin? Jagain dia terus. Dan terakhir, maafin gue kalau selama ini gue banyak salah. Emang banyak sih, gak ke hitung mungkin. Tapi setidaknya gue udah minta maaf sama kalian. Mau kan maafin gue? Makasih. Sekarang gue mau take off dulu. Selamat tinggal!


Sivia menarik napas begitu selesai membaca pesan singkat dari Cakka di ponsel Alvin. Ia menatap Alvin kemudian.
“Vin, Cakka?” lirihnya sendu. Alvin mengangguk cepat.
“Cakka pasti kembali ke sini kok. Walaupun entah kapan, yang jelas Cakka pasti akan datang lagi buat nyatain cintanya buat loe. Gue yakin,” ujar Alvin seraya merangkul Sivia lembut.
“Tapi, Vin?”
“Udahlah Vi, ikhlasin. Biarkan Cakka menenangkan dan memperbaiki diri di sana. Lagian di sini masih ada gue kaaan? Gak kalah keren dari Cakka, udah gitu normal lagi. Hehehe.” ledek Alvin sambil memainkan alisnya. Sivia memutar mata.
“Apaan sih?! Gak lucu!” sungut Sivia ketus.
“Iya, gue becanda doang kali. Udah ah, balik yuk? Udah sore nih,” balas Alvin tanpa perduli dengan raut wajah Sivia yang kusut. Ia merangkulnya mesra. Lalu berjalan.

“Karena apapun yang sedang terjadi sekarang, ketahuilah, gue akan selalu ada di samping loe. Meski loe tak pernah tau akan perasaan gue yang sebenarnya, Sivia.” ucap Alvin dalam hati.

Perlahan Alvin pun tersenyum saat melihat wajah Sivia dari samping. Lalu mengusap manja kepala belakang gadis tersebut sambil terus berjalan. Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR