Hujan yang turun membasahi bumi sekitar dua jam yang lalu kini mulai
mereda. Bahkan mungkin sudah benar-benar reda. Hanya saja ada beberapa
tetes air yang jatuh dari deretan genteng dan rimbun daun yang sedikit
tertiup angin. Menyebabkan siswa-siswi yang tadinya hanya berdiam diri
menunggu hujan di dalam kelas atau di pinggiran koridor, kini sedikit
demi sedikit mulai berhamburan keluar. Menyebar ke beberapa sudut
sekolah untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.
Dan seketika
saja, di salah satu kelas, seorang siswi tiba-tiba terpeleset dengan
posisi pantat yang menyentuh lantai terlebih dahulu. Entah apa yang
membuat siswi itu terpeleset, yang jelas saat ini ia hanya bisa menahan
rasa malu karena siswa-siswi di kelas tersebut hampir semuanya tertawa.
Tertawa untuk musibah lucu yang dialami siswi tadi tentunya.
“Kalau jalan ati-ati bisa kali, Vi?” ujar seseorang seraya mengangkat tubuh berat siswi tersebut.
“Gue
udah ati-ati tau! Tapi tetep aja gue jatuh. Sial banget sih gue,”
ocehnya setelah berhasil dibangunkan oleh seseorang tersebut yang tiada
lain adalah sahabat baiknya.
“Mending kita keluar dulu deh, malu tuh
ditertawain sama mereka. Ayo!” sekilas, setelah melihat suasana sekitar,
seseorang itu langsung menarik tangan siswi tadi keluar kelas. Lebih
tepatnya berusaha untuk menghindar dari ejekan semua teman-teman kelas
mereka. Lantas kemudian mereka dengan cepat melangkahkan kaki menuju
tempat yang memang sebelumnya akan mereka tuju. Ke mana lagi kalau bukan
ke tempat yang biasanya para siswa-siswi datangi saat jam istirahat
tiba? Kantin.
“Pelan-pelan kenapa jalannya? Masih perih nih pantat
gue ah.” cibir siswi itu cukup sinis. Genggaman dan tarikan tangan yang
dilakukan sahabatnya tersebut dirasa cukup sadis. Sampai ia tidak bisa
menstabilkan apalagi mensejajarkan langkah kakinya dengan sahabatnya
itu.
“Ya derita loe itu mah. Lagian loe tadi pakai acara kepleset
segala, mau punya adik lagi?” ledek orang yang kini masih menggenggam
tangan siswi itu asal. Bahkan dibarengi dengan tawa meledeknya
juga. Membuat gadis cantik berpakaian putih abu-abu itu mendengus.
“Apa hubungannya coba?” ujar siswi itu sembari memberi tekanan nada di setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Pasti
ada lah! Orang tua zaman dulu sering ngomong gitu kok.” siswi itu pun
menyeringai sinis mendengarnya. Terkadang sahabatnya yang satu ini suka
berbicara asal.
“Itu mitos doang. Payah loe ah, gitu aja dipercaya.
Udah lepasin tangan gue! Udah nyampe kan?” pintanya begitu langkah
mereka terhenti di salah satu penjual mie ayam langganan mereka.
Siswi
itu bernama Sivia. Siswi cantik yang tidak begitu populer di SMA Padma
yang kini menjadi tempatnya mencari ilmu. Dan orang yang tadi menarik
tangannya adalah Alvin, sahabat baik Sivia setelah hampir lima tahun ia
mengenalnya semenjak kelas satu SMP. Cukup lama mereka berdua
bersahabat, ditambah lagi mereka yang dari kelas satu SMP sampai
sekarang kelas tiga SMA selalu ditempatkan dalam satu kelas itulah yang
membuat persahabatan mereka semakin erat. Bahkan saking eratnya, mereka
sampai pernah bertukar tempat tinggal dalam dua hari. Untuk mengalami
bagaimana rasanya Alvin hidup di rumah Sivia dan Sivia hidup di rumah
Alvin dalam dua hari tersebut. Lucu bukan?
Dan dalam hitungan
detik saja, Alvin seketika menyeringai polos. Tentu saja sembari
memandang sekilas tangannya yang masih menggenggam tangan Sivia. Lalu
melepaskannya pelan-pelan bersamaan dengan keluarnya satu kata dari
mulut Alvin.
“Sori,”
“Huh, dasar!” timpal Sivia dengan memutar mata. Sedangkan Alvin hanya terkekeh kecil membalasnya.
“Mau pesen apa, Vi? Gue traktir deh.” tawar Alvin mantap.
“Wah, serius loe?” respon Sivia antusias. Sedangkan Alvin langsung mengangguk sebagai jawaban.
“Asik
dah! Bentar ya gue pesen dulu? Terserah gue nih mau pesen apa aja?”
tanya Sivia lagi-lagi. Ia masih cukup ragu dengan perintah Alvin
tersebut. Siapa tau saja Alvin sedang bercanda saat ini.
“Terserah loe dan sepuas loe mau pesen apa aja.” jawab Alvin.
“Beneran
gak sih?” lagi, Sivia bertanya untuk kesekian kalinya. Membuat Alvin
berdecak jengah. egitu tidak percayanya kah Sivia dengan Alvin meski ia
sudah memampang jelas-jelas wajah seriusnya itu.
“Kapan gue bohong
sama loe? Ish!” ketusnya kemudian. Sivia malah memamerkan giginya
kompak. Lantas mengacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Santai bro! Ya kali gitu loe lagi becanda sama gue. Tapi baiklah, gue pesen nih?”
“Iye
iye, Sivia. Susah amat loe tinggal mesen doang. Aih!” Alvin lagi-lagi
mendengus. Seperti biasa, suka kesal sendiri kalau ulah Sivia yang cukup
menyebalkan itu mulai kumat.
“Udah belom?” tanya Alvin setelah
beberapa menit menunggu Sivia bernegosiasi dengan si penjual mie ayam.
Namun Sivia tak langsung meresepon. Ralat! Atau mungkin memang tak
mendengar pertanyaan Alvin karena saking sibuknya memesan ini itu.
Soalnya, selain berjualan mie ayam, di warung yang ditempati Alvin dan
Sivia juga menjual beberapa makanan ringan yang tentu saja nikmat bila
disantap dengan makanan utama dari warung tersebut.
Namun
seketika Alvin memicingkan mata. Karena tiba-tiba saja一tanpa
disengaja一wilayah pandangnya menangkap sosok cantik berambut panjang
dengan bando kecil yang melengkung di atas poni indahnya. Alvin terpaku
sesaat. Bahkan sampai tak menyadari kalau Sivia sudah duduk manis di
sampingnya.
“Woy, gak usah ngayal deh! Tuh cewek udah ada yang
punya.” gertak Sivia yang seakan tau apa yang ada di pikiran Alvin.
Kontan membuat Alvin sedikit tersentak kaget dibuatnya. Ia mengelus dada
dan membuang napas gusar.
“Dih, siapa juga yang naksir sama tuh cewek? Sok tau loe!” kilah Alvin sinis.
“Gak
usah bohong loe sama gue, gak nyadar apa mata loe tambah sipit kalau
loe bohong?” Sivia berucap asal dan langsung mendapatkan tatapan
membunuh dari Alvin setelahnya.
“Gak seru gitu ya kalau ngomongnya
gak bawa-bawa mata gue? Gue tau kok mata gue minimalis, tapi tolonglah
jangan bawa-bawa mata gue kalau lagi bahas sesuatu.” timpal Alvin
jengah. Entah sepertinya Alvin paling sensitif kalau sudah menyangkut
masalah mata. Sedangkan Sivia malah terkekeh begitu melihat tampang
kusut Alvin.
“Ya kali. Hahaha.”“Elo tuh ya!” geram
Alvin geregetan. Rasanya ingin sekali memakan Sivia hidup-hidup. Namun
Sivia langsung melotot ke arah Alvin. Memperlihatkan wajah sangarnya di
hadapan siswa tampan bermata sipit itu.
“Mau apa loe hah?!” Alvin pun
membuang napas. Aksi kesalnya kepada Sivia diurungkan Alvin seketika.
Dasar Sivia, maunya menang sendiri saja.
“Ini pesanannya, dik Sivia,
dik Alvin.” tiba-tiba saja, di tengah-tengah aksi tatap-tatapan sangar
Alvin dan Sivia, si pemilik warung datang dengan membawa empat porsi mie
ayam beserta embel-embelnya. Dan itu membuat Alvin menelan ludah, syok.
“Gila
loe, Vi! Yang bener aja mesen mie ayam sebanyak ini? Rakus amat loe,”
rutuk Alvin ke Sivia. Pasalnya, dalam satu meja yang di duduki mereka
berdua, hampir semuanya terisi berbagai makanan tanpa ada jeda
sedikitpun. Alvin menggeleng tak percaya.
“So what gitu lho? Kan loe
sendiri yang bilang ke gue suruh mesen makanan sesuka gue.” ungkap Sivia
enteng. Perlahan, tangannya mulai menjamah beberapa makanan yang ada di
depan matanya. Sedangkan Alvin masih terdiam, belum berniat mengikuti
sahabatnya itu menyantap makanan.
“Tapi gak gini juga kali.”
“Kenapa? Loe gak mampu bayar? Bilang aja sama gue,” terka Sivia asal. Matanya melirik sinis ke arah Alvin. Alvin pun berdecak.
“Bukan
gitu maksud gue. Mampu kok gue bayar ini semua. Cuma. . .” perkataan
Alvin terpotong sebentar begitu melihat lahapnya Sivia menyantap mie
ayam.
“Cuma apa?” tanya siswi itu susah payah lantaran makanan yang masih berkumpul di mulutnya.
“Ya sayang aja kalau semuanya gak ke makan.”
“Aih!
Loe tenang aja kali Vin, pasti semuanya ke makan kok. Ayo cepet makan!
Loe pasti laper kan?” ujar Sivia cukup enteng setelah ia meminum jus
jeruk miliknya.
“Enggak ah, udah kenyang gue lihat loe makan.”
“Oh,
ya udah. Enak lho padahal.” lagi, Sivia berucap. Berusaha menggugah
kembali selera makan Alvin. Namun tetap saja Alvin tak tergoda, ia malah
geli dan kadang tersenyum manis saat menatap pipi Sivia yang terlihat
lebih kembung saat makan. Menggemaskan. Hingga Alvin tak menyadari kalau
ia terlalu hanyut memandangi kecantikan Sivia. Lalu mengerjapkan mata
cepat-cepat.
***
Kelas itu mulai menyepi dari
hiruk-pikuk kegiatan siswa-siswi yang bermacam-macam. Karena setelah
hampir sepuluh menit bel pulang dibunyikan, seluruh siswa SMA Padma
langsung berhamburan keluar. Begitu juga dengan siswa-siswi penghuni
kelas XII Ips 2. Yang kini hanya tinggal satu orang saja yang terduduk
di atas meja seraya menatap gusar sebuah meja di pojokan kelas. Tempat
duduk milik Alvin tepatnya.
Entah kenapa orang itu merasakan
dadanya sakit sekali acapkali ia melihat kedekatan Alvin dan Sivia.
Meskipun ia tau kalau sebenarnya mereka berdua hanya bersahabat. Bahkan
bukan “sebenarnya” lagi, mereka memang bersahabat. Semua orang juga tau
itu.
Ia membuang napas, “Entah harus sampai kapan gue tersiksa
seperti ini. Apa karena perasaan gue yang salah?” lalu melirik jam
dinding yang tertera di atas papan tulis sebelum akhirnya ia melangkah
perlahan meninggalkan kelas.
***
“Hai, Vi! Loe masih
di sini? Kok belum pulang?” sapa seseorang yang berhasil membuat detak
jantung Sivia bergetar lebih cepat. Kaget.
“Sori, gue ngagetin ya?”
lanjut seseorang tadi begitu melihat gerak-gerik Sivia yang mengelus
dada sambil mengatur napas. Sivia pun menggeleng sembari tersenyum.
“Gak apa-apa kok. Belum nih, loe juga belum pulang?” jawab dan tanya balik Sivia manis.
“Oh, kenapa gitu? Terus Alvin ke mana? Tumben loe gak bareng Alvin, biasanya gandengan mulut kaya truk. Hehehe.”
“Enggak
ah biasa aja. Alvin balik duluan nih, ada urusan penting katanya. Ngg. .
. Tau deh suka sok sibuk tuh anak.” ujar Sivia pasrah. Seseorang tadi
hanya mengangguk sambil membulatkan mulut.
“Kalau gitu pulang bareng
gue aja yuk?” deg! Detak jantung Sivia seakan berhenti begitu mendengar
satu kalimat ajakan dari seseorang tersebut. Entah kenapa tiba-tiba
lidahnya terasa kelu. Cakka ngajak pulang bareng gue? Oh my God! umpat Sivia dalam hati.
“Mau
enggak, Vi? Kalau gak mau juga gak apa-apa kok, gak maksa.” Cakka,
siswa yang sekarang berdiri di dekat Sivia itu kini tersenyum manis
sambil terlihat menarik napas. Teman sekelas Sivia dan Alvin yang cukup
cerdas. Selain cerdas, Cakka juga merupakan sosok siswa idaman bagi
semua siswi-siswi di kelas XII Ips 2 atau bahkan mungkin di SMA Padma.
Wajahnya yang tampan serta pembawaannya yang maskulin itu pernah membuat
Sivia jatuh hati. Mungkin perasaan Sivia masih sama setelah setahun ia
memendam rasa kepada Cakka.
“Sivia?” dirasa belum ada respon dari Sivia, Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah gadis tersebut.
“Eh,
iya. . . Sori gue gak fokus. Mau kok mau, tapi duduk dulu di sini ya?
Masih panas nih,” ucap Sivia gelagapan. Cakka mengangkap bahu. Bermaksud
menyetujui permintaan Sivia itu. Ia pun ikut duduk di samping Sivia
seraya matanya memandang suasana sekitar yang sudah sepi.
“Cuacanya
ekstrim banget ya hari ini? Tadi pagi hujan, sekarang panas.” ucap Cakka
setelahnya. Topik pembicaraan yang entah dari mana ia dapatkan.
“Iya,
biasalah efek global warming. Suka labil gitu. Kadang panas, terus
hujan, panas lagi, hujan lagi. Gitulah pokoknya.” balas Sivia asal.
“Berarti sama kaya loe,” glek! Sivia menelan ludah paksa.
“Heh?”
“Iya,
loe juga gitu. Kadang cantik, kadang jelek, kadang cantik banget,
kadang enggak sama sekali. Hehehe.” ujar Cakka dibarengi senyumnya yang
manis sekali. Membuat Sivia meleleh tiba-tiba. Sampai ia tak kuasa
melihat wajah Cakka. Bahkan melirik sedikitpun enggan. Takut tubuhnya
menguap terus menghilang tak bersisa. Hiperbola? Mungkin. Tapi memang
seperti itulah yang Sivia rasakan saat ini.
“Aih! Gue kan cantik mulu
tiap hari.” kata Sivia berusaha santai. Mereka pun terkekeh setelah
Cakka memberi ekspresi yang seakan bilang ah-yang-bener?
“Eh, itu
apaan di saku baju loe?” beberapa detik, setelah Sivia berhenti dari
tertawa, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang menyembul di saku baju
Cakka. Lantas Cakka menunduk.
“Apaan? Ini?” tanya dan tunjuk Cakka kemudian. Sivia mengangguk.
“Ini
cokelat. Tadi gue beli di kantin. Loe mau? Nih ambil aja!” tawar Cakka
baik. Untuk sejenak Sivia terdiam. Memandang cokelat di tangan Cakka dan
wajah si pemilik cokelat itu bergantian.
“Beneran?”
“Iya, ambil
aja. Gue udah kenyang kok.” lalu Sivia menerimanya tanpa sungkan. Sampai
akhirnya hening mengembara di antara mereka. Hanya saja dedaunan yang
jatuh yang menjadi objek pandang mereka sambil duduk di tempat penjaga
gerbang sekolah. Meski terkadang Sivia melirik Cakka tanpa sepengetahuan
pemilik nama tersebut. Atau sebaliknya.
“Sivia?” panggil Cakka pelan. Sivia kontan menengok tanpa harus menyahut. Ditatapnya mata Cakka yang kala itu berbinar cerah.
Sivia
terkutuk pergerakannya seketika. Apalagi saat wajah Cakka mendekati
wajahnya. Sesak. Entah rasanya sesak sekali dada Sivia saat ini. Bukan
sesak karena sakit, melainkan karena Sivia terlalu susah mencuri
kesempatan untuk mengambil napas saat tangan Cakka menyentuh sudut
bibirnya.
“Jangan kaya anak kecil dong kalau makan cokelat. Belepotan
gini,” bisik Cakka yang berhasil membuat bibir Sivia bergetar. Lalu
Cakka beralih ke posisi semula ia duduk. Memandang kembali ke arah
sekitar.
“Thanks,” ucap Sivia pelan. Masih berusaha menstabilkan detak jantungnya yang sudah tak karuan.
“Pulang
yuk? Entar kesorean lagi,” karena merasa sekolah mereka sudah terlalu
sepi, akhirnya Cakka bangkit dan mengulurkan tangannya ke arah Sivia.
Mengajak pulang bareng seperti yang Cakka tawarkan beberapa menit yang
lalu ke Sivia. Sedangkan Sivia tak lantas menjawab, ia hanya tersenyum
sembari menerima uluran tangan dari Cakka dengan perasaan kagum.
Entahlah ia terlalu senang hari ini. Bahkan rasanya tak ingin sekali
untuk Sivia melewati hari ini sedetikpun. Nice day, right?
Mereka pun berlalu dengan santainya meninggalkan sekolah.
***
Alvin
menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Keringat yang bercucuran di
keningnya pun masih kentara kalau ia begitu kelelahan. Napasnya masih
memburu.
“Alvin gak mau tau, Mama harus siapin makanan dan minuman
kesukaan Alvin sekarang juga!” pinta Alvin saat beberapa detik Mamanya
muncul di ambang pintu. Sang Mama menggeleng saja melihat kemanjaan
anaknya itu. Lalu beliau melangkah mendekati Alvin. Ikut duduk dan
kemudian merangkul remaja yang masih memakai seragam sekolah itu dengan
tulus.
“Duh, manja banget sih? Baru juga bawain belanjaan Mama, masa
udah minta imbalan aja.” ucapnya lembut. Sembari mengusap kening Alvin
yang penuh keringat tentunya.
“Tapi kan belanjaan Mama seabreg gitu. Pada berat-berat lagi,” adu Alvin seketika.
“Oh, jadi gak ikhlas nih bantuin Mama?”
“Aih!
Ikhlas kok Ma, ikhlas. Sumpah deh!” refleks Alvin dengan sedikit
mendongakan wajahnya ke arah sang Mama yang kini langsung tersenyum.
“Iya deh Mama percaya. Sana mandi dulu gih! Nanti Mama masakin makanan kesukaan kamu.”
“Beneran?” sang Mama pun mengangguk.
“Yeah! Thanks, Ma.” sejurus kemudian Alvin berlalu dari duduknya setelah beberapa detik mencium lembut pipi Mamanya.
“Alvin,
Alvin. . .” gumam beliau pelan. Lalu mengambil tas, sepatu, dan jaket
milik Alvin yang ditaruhnya begitu saja di sekitaran ruang tamu.
***
Mungkin
ini terkesan sangat aneh kalau sampai kamu dan mereka-mereka yang ada
di luar sana mengetahuinya. Tapi yakinlah, ini yang benar-benar aku
rasakan. Aku menyukaimu, Alvin.
Klik! Orang itu
menekan opsi kirim yang tertera di layar ponselnya. Sebuah pesan singkat
yang ia tuju untuk orang yang sudah lama ia sukai. Alvin.
Kemudian ia duduk, meraih sebuah bingkai yang di dalamnya terdapat gambaran dirinya bersama Alvin. Ia tersenyum sesaat.
“Entah
ini cuma sekedar rasa kagum gue terhadap loe atau mungkin gue memang
bener-bener suka sama loe, gue juga bingung. Hmm. . . Tapi yang jelas,
semenjak gue ditempatkan di kelas loe tahun kemarin, gue hanya tertarik
sama loe.” ungkapnya sungguh-sungguh. Bingkai itu ia letakkan kembali di
tempatnya semula.
“Oh Tuhan, kenapa gue harus seperti ini?” ia
merebahkan tubuhnya setelah itu, memandang langit-langit kamarnya dengan
pandangan kosong.
“Gue yakin ini bukan takdir!
Aaarrrggghhh!!!” cukup jengah, orang tersebut mengacak rambutnya dan
bangkit kembali dengan gejolak hati yang labil.
***
“Hah?
Serius loe? Sini coba gue pengen tau!” respon Sivia syok setelah Alvin
menceritakan masalah orang misterius yang akhir-akhir ini suka
menerornya. Maka dengan sigap Sivia menyambar ponsel Alvin cepat-cepat.
“Wah,
kayanya ini mah masih peneror yang sama deh menurut gue. Kok bisa neror
loe lagi ya, Vin? Perasaan kemaren-kemaren udah enggak,” ujar Sivia
bingung. Matanya menatap Alvin yang kini duduk di kusen jendela.
Di
minggu siang ini Sivia memang sengaja main ke rumah Alvin. Seperti
biasa. Walaupun terkadang Alvin yang main ke rumah Sivia. Tapi lebih
banyak Sivia yang main ke rumah Alvin karena ia paling senang sekali
mengacak-acak kamar mewah milik sahabatnya itu. Itu sudah menjadi hobi
katanya.
Namun tidak untuk sekarang, Sivia datang ke sini khusus
untuk menemani Alvin yang ditinggal sendirian di rumah sekaligus untuk
mendengarkan curhatan Alvin yang sering dikeluhkannya via telepon.
“Gue
juga mikir gitu, Vi. Gue kira tuh peneror udah insyaf gak neror gue
lagi, eh sekarang malah balik lagi.” keluh Alvin yang kini berpindah
tempat ke dekat Sivia yang duduk sila di atas tempat tidurnya.
“Penggemar
rahasia loe kali, Vin. Cie punya penggemar rahasia. Hahaha.” ledek
Sivia dengan menunjuk-nunjuk wajah Alvin. Kontan ia mendapatkan timpukan
bantal dari cowok tersebut.
“Apaan sih?”
“Iiihhh Alviiin!!!”
teriak Sivia seraya ikut mengambil bantal dan membalas timpukan dari
Alvin. Dan dalam hitungan detik saja kamar itu sudah berantakan tidak
karuan.
Bahkan bukan hanya kamar yang berantakan, tubuh mereka
berdua pun ikut berantakan. Bagaimana tidak, selain lempar-lemparan dan
timpuk-timpukan bantal, Alvin dan Sivia juga sempat-sempatnya saling
menjambak dan saling tarik-tarikan baju. Sampai tiba-tiba. . .
Brek! Baju milik salah satu di antara mereka robek karena tarikan yang terlalu kencang.
“AH, BAJU GUE?! ALVIIIIIINNN JANGAN KABUR LOE!!!” teriak Sivia sangar. Ia pun langsung berlari keluar kamar mengejar Alvin.
“Alvin, sini loe!”
“Hahaha. Sori Vi, gue gak sengaja.”
“GAK!
Pokoknya harus gue bales!” teriak Sivia bersemangat. Meski harus loncat
sana dan loncat sini demi menangkap seorang Alvin untuk membalas atas
robeknya baju yang saat ini dipakai Sivia. Sampai tiba waktunya Sivia
berhasil menangkap Alvin di dekat pintu masuk utama dari rumah tersebut.
“Ampun
Vi, ampun! Gue minta maaf deh, gue ngaku salah.” pinta Alvin seraya
melindungi kepalanya. Namun itu tidak berlaku bagi Sivia, ia tetap
mencengkeram kerah baju Alvin sampai Alvin sedikit mendongakan kepalanya
ke atas.
“Baju gue robek. Jadi, baju loe harus robek juga. Adil
kan?” dan srek! Hanya sekejap saja Sivia menarik cengkeramannya di kerah
baju Alvin, namun efeknya begitu mengenaskan. Kerah baju Alvin robek
sebelah ditambah tiga kancing bajunya yang copot dari tempat seharusnya.
“Tepat sekali. Hahaha.” ujar Sivia puas. Tidak peduli dengan Alvin yang sudah menggeram hebat.
“SIVIAAAAAA!!!”
Mungkin gendang telinga Sivia sudah pecah saat itu juga kalau ia tidak dengan sigap menutupinya.
“Ini baju baru gueee!” rahang Alvin lantas mengeras.
“Ya mana gue tau itu baju baru loe. Loe kan gak bilang,” balas Sivia tanpa dosa.
“Gak asik loe ah!” timpal Alvin sambil menatap iba kerah bajunya serta kancing-kancing yang berceceran di lantai.
“Ye, siapa suruh loe duluan ngerobek baju gue?” celoteh Sivia masih tetap tidak mau disalahkan.
“Tapi gue gak sengaja.”
“Ya bodo. Emang gue pikirin?”
“Arrrggghhh. . . Loe tuh ya!” lagi-lagi Alvin menggeram. Kali ini sambil menghentakan kakinya pergi dari hadapan Sivia.
“Lho,
malah dia yang marah sih? Kan sama-sama robek? Aih!” rutuk Sivia heran.
Pandangannya terus tertuju ke arah Alvin yang berjalan sambil mencibir
meski tak terdengar.
“Emangnya gue juga gak bisa marah apa?” lanjutnya setelah melihat robekan baju di bagian pinggangnya. Ia berdecak.
***
Cakka
mengernyit sesaat. Heran melihat Sivia yang tiba-tiba saja datang
dengan memohon untuk duduk bersamanya dalam beberapa hari. Namun sebelum
ia mengabulkan permintaan Sivia tersebut, Cakka melirik Alvin terlebih
dahulu yang saat itu duduk sendirian. Padahal biasanya Sivia sering
sekali duduk bersama Alvin, selalu lebih tepatnya. Membuat Cakka
mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi antar Alvin dan Sivia saat
ini.
“Mau ya, Cak?” pinta Sivia lagi-lagi.
“Hmm. . . Ya udah deh boleh. Tapi lagi gak ada masalah kan sama Alvin? Entar si Alvin malah salah paham sama gue lagi.”
“Thanks ya.
Gak ada kok, santai aja. Gue lagi pengen duduk di depan aja, tulisannya
suka gak kelihatan kalau duduk di belakang.” Cakka sekilas mengangguk.
Mencoba menerima alasan dari Sivia meski sebenarnya tidak sepenuhnya
Cakka percaya.
Sedangkan di sisi lain, Alvin terduduk dengan
santainya di tempat biasa. Meskipun sesekali matanya melirik ke arah
Sivia yang kini duduk bersama Cakka, namun ia tetap berusaha masa bodoh
dengan hal itu. Aksi ngambeknya terhadap gadis tersebut masih berlaku
untuk hari ini.
“Hai, Vin. Gue boleh duduk di sini?” dalam
kesibukannya mencari-cari buku sejarah di dalam tas, tiba-tiba saja
seorang siswi berdiri di samping Alvin dibarengi senyum manisnya. Alvin
sontak terkejut begitu menangkap wajah siswi tersebut.
“Eh, iya kenapa? Sori tadi gue gak denger.” respon Alvin sedikit gelagapan.
“Sori
kalau gue ngagetin. Gue mau minta izin aja kok buat duduk di sini. Gak
apa-apa kan? Tadi Sivia nyuruh gue duduk di sini, soalnya dia mau duduk
sama Cakka.” ucap siswi itu jujur. Alvin lantas membulatkan mulutnya.
“Oh,
gitu. Ya udah Shil, duduk aja! Gak apa-apa kok.” balas Alvin dengan
mengizinkan siswi bernama Nashilla itu duduk bersamanya. Lalu ia melirik
sinis ke arah Sivia lagi-lagi.
“Oh, jadi gitu nyuruh orang lain
duduk bareng gue biar loe bisa duduk bareng Cakka? Oke Vi, oke.” rutuk
Alvin pelan. Namun pandangannya langsung ia alihkan begitu menyadari
kalau Sivia akan menengok.
“Hmm. . . Vin, entar istirahat ke kantin
bareng yuk? Gue traktir deh sebagai tanda terimakasih gue udah diizinin
buat duduk di sini. Gimana, mau ya?” tawar Nashilla di tengah-tengah
kesibukan Alvin mencuri pandang.
“Ya elah gak usah repot-repot lah,
Shil. Tempat ini bebas kok buat siapa aja termasuk loe. Santai aja!”
Nashilla lagi-lagi tersenyum. Membuat Alvin entah kenapa tiba-tiba salah
tingkah. Padahal sudah hampir dua tahun Alvin sekelas dengan Nashilla,
tapi baru sekarang ini ia bisa duduk apalagi mengobrol berdua dengannya.
Dan satu lagi, Nashilla terlihat begitu cantik kalau diperhatikan
lekat-lekat. Alvin seketika mengerjap, berusaha membuyarkan apa yang
sedang ia pikirkan tentang Nashilla. Sedangkan di sisi lain ada
seseorang sedang menatap Alvin dan Nashilla cukup kesal. Sivia.
***
“Hmm.
. . Kadang gue heran deh sama loe, Cak.” ungkap Sivia di tengah-tengah
kesibukan Cakka menyalin catatan ekonomi dari buku paket saat istirahat
pertama tiba.
“Heran kenapa?” tanya Cakka tanpa beralih sedikitpun
dari kegiatannya tersebut. Sedangkan Sivia hanya memandangi gerak-gerik
jemari Cakka yang berduel dengan pulpen serta bukunya sedari tadi. Lalu
kembali berbicara saat Cakka bertanya.
“Heran aja gitu. Loe kan
cakep, pinter lagi, tapi kok gak punya pacar ya? Emangnya loe gak laku?”
terka Sivia asal. Sejenak, Cakka menghentikan aksinya dan melirik ke
arah Sivia.
“Belum berniat punya pacar tepatnya. Bukan gak laku,” lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
“Masa sih? Tapi loe normal kan, Cak?” glek! Cakka menelan ludah kuat-kuat.
“MAKSUD LOE?! Udah deh jangan banyak ngomong dulu, gue lagi nyatet nih. Oke?”
“Ya
sori, gue kan nanya doang. Kali aja gitu loe maho atau gay.” tanpa
Sivia sadari, Cakka sudah menatapnya kesal saat baru beberapa detik
Sivia berkata itu.
“Gue bukan maho ataupun gay. Ngerti!” bentak Cakka sembari bangkit dan pergi begitu saja meninggalkan Sivia.
“Lho,
kok marah sih? Gue kan cuma nanya.” lirih Sivia dengan nada yang
semakin pelan di akhir-akhir kalimat. Sepertinya Cakka mulai jengah
dengan ulah Sivia yang sedari tadi bersuara tak pernah henti. Cukup
mengganggu.
Lalu Sivia menengok ke arah pojokan kelas dan
mendapati Alvin dan Nashilla tengah bercanda ria sambil tertawa.
Terlihat sangat akrab dan mesra. Membuat Sivia merasakan sesak yang
cukup sakit di dadanya.
“Sivia, sini gabung!” sejenak, baru saja
Sivia hendak mengalihkan pandangannya, Nashilla kontan memanggil.
Bermaksud mengajak Sivia untuk bergabung dengannya dan Alvin.
“Enggak
ah, Shil. Gue mau keluar kok, nyari makan. Duluan ya?” dan secepat
kilat Sivia menolak dan secepat kilat juga ia pergi dari tempat itu.
Cukup bosan melihat Alvin yang cuek padanya pagi ini.
“Bentar ya, ada sms.” ujar Alvin saat ponselnya bergetar. Tepat setelah Sivia keluar dari kelas tentunya.
Mungkin
rasanya sakit saat ada seseorang mengira aku ini begini ataupun begitu.
Tapi jujur, lebih sakit lagi rasanya saat melihat kamu tertawa mesra
dengan orang lain. Meski aku sudah berusaha untuk sembunyi.
“Shit! Siapa sih sebenernya nih orang?!” tukas Alvin pelan.
“Sms
dari siapa, Vin? Kok gitu sih ekspresinya?” tanya Nashilla penasaran
saat melihat perubahan raut wajah Alvin setelah membaca sebuah pesan
singkat. Alvin lantas berkilah.
“Bukan siapa-siapa, Shil. Dari orang rumah.”
“Oh,”
“Oh
iya, tadi kita sampai di mana ya ngobrolnya?” pancing Alvin ke topik
semula yang ia obrolkan dengan Nashilla tadi. Kemudian kembali mengalir.
***
Di
saat sedang berkutat dengan ponselnya, Cakka sedikit tersentak saat
Sivia menyapanya dari belakang. Bahkan ponsel Cakka hampir terjatuh
saking kagetnya.
“Iya kenapa, Vi?” ucapnya datar. Sivia langsung duduk di samping remaja tersebut.
“Sori
ya masalah tadi? Gue gak ada maksud kok buat bilang itu, niatnya cuma
becanda doang kok. Sori ya?” mohon Sivia tulus. Cakka menarik napas
pendek.
“Gak apa-apa kok Vi, loe gak salah. Di dalem emang suasananya panas, jadi mudah emosi.”
“Maksud loe?”
“Lupain! Oh iya Vi, ada sesuatu yang mau gue omongin sama loe.” suruh dan pinta Cakka sepintas. Sivia pun mengernyit.
“Tentang?”
tanyanya. Cakka lagi-lagi menarik napas. Kali ini lebih panjang dari
sebelumnya. Seakan kalau ia akan mengungkapkan apa yang selama ini
terpendam di dalam hatinya.
“Tentang perasaan.” ujar Cakka ragu.
“Oh,
ya udah ngomong aja. Gue siap dengerin kok.” ucap Sivia enteng. Meski
sedikit terbesit rasa malu-malu di wajahnya. Namun Sivia berusaha
bersikap sebiasa mungkin di hadapan Cakka. Jangan sampai ketahuan kalau
ia sedang berharap lebih kalau Cakka akan mengungkapkan perasaan suka
kepadanya.
Seketika, Cakka melihat-lihat suasana sekitar. Mencoba
memastika tidak ada lagi seorang pun selain mereka berdua. Dan
nampaknya memang benar, di taman sekolah dekat perpustakaan itu jarang
sekali didatangi siswa-siswi.
“Sebenernya gue. . .” ucap Cakka terpotong. Ekspresi gugup dan takut-takut pun tak lupa Cakka pancarkan di wajahnya.
“Sebenernya loe, kenapa?” pancing Sivia pelan-pelan.
“Tapi loe janji ya jangan bilang siapa-siapa?” pinta Cakka spontan. Yang sontak menambah rasa penasaran Sivia.
“Iya, gue janji kok. Percaya sama gue.” Cakka lagi-lagi menarik napas. Meski kali terasa sangat sulit untuk mengambil oksigen.
“Gue. . .”
“Iya,
loe sebenernya kenapa sih? Jangan bikin gue penasaran deh!” timpal
Sivia mulai bosan. Saat ini Cakka terlalu banyak basa-basi menurutnya.
“Gue
takut Vi, gue takut loe bakal jauhin gue kalau tau masalah ini. Bahkan
mungkin bukan loe aja, tapi semua orang!” gusar Cakka sambil menutup
wajahnya frustasi. Menambah jadi tiga kali lipat rasa penasaran yang
Sivia simpan di benaknya.
“Loe aneh, Cak.” ceplos Sivia skeptis. Mulai jengah dengan sikap remaja yang satu ini.
“Gue emang aneh, Vi. Gue. . .”
“Terserah
loe deh, Cak. Bingung gue sama loe. Kalau emang gak niat ngomong ya
udah. Gue cabut, permisi!” pamit Sivia seraya bangkit dari duduk. Namun
dengan refleks Cakka mencekal tangan Sivia dan menariknya kembali.
Sampai Sivia dengan terpaksa duduk karena kedua pundaknya saat ini
dipegang keras oleh Cakka. Bahkan Sivia mampu merasakan napas memburu
dari Cakka dan melihat cucuran keringat yang membasahi wajah remaja
tersebut. Keduanya saling tatap. Hanya beberapa detik saja.
“Yang loe
bilang itu bener, Vi. Gue aneh, gue beda sama cowok-cowok yang lain.
Gue. . .” kembali, Cakka memotong perkataannya. Berusaha mengontrol
emosinya di hadapan Sivia. Juga karena melihat ekspresi Sivia yang
sedikit ketakutan akan sikapnya tersebut.
“Gue gay, Vi. Gue gak
normal! Gue penyuka sesama jenis. Dan yang tadi loe bilang di kelas itu
bener. Gue emang gay! Dan parahnya lagi. . .” untuk kesekian kalinya
Cakka berhenti. Rasanya sedikit lega meski rasa takut masih menyelimuti
hati dan pikirannya.
“Dan parahnya lagi gue suka sama sahabat loe.
Bahkan gue jatuh cinta sama sahabat loe itu.” jujur Cakka terpaksa. Ia
melepaskan genggamannya di pundak Sivia seketika. Berbalik badan serta
memejamkan mata tanpa Sivia ketahui.
Sedangkan Sivia hanya diam
terpaku oleh seribu bahasa begitu mendengar pengakuan dari Cakka. Remaja
yang selama ini ditaksirnya diam-diam. Entah bagaimana rasa sakit yang
Sivia rasakan saat ini. Ia benar-benar syok.
“Loe. . . Loe becanda
kan, Cak? Loe gak lagi serius kan? Bilang Cak, bilang!” tukas Sivia yang
masih tak percaya dengan semua pengakuan Cakka. Tangannya
menggoyang-goyangkan punggung Cakka keras. Sontak Cakka dengan yakin
menggeleng.
“Gue gak lagi becanda, Vi. Gue serius. Inilah gue aslinya, gak seperti yang loe lihat sehari-hari.”
“Gak
mungkin!” lirih Sivia sambil menutup mulutnya. Benar-benar tak
menyangka kalau Cakka seorang penyuka sesama jenis. Sungguh fakta yang
menyakitkan bagi Sivia. Sia-siakah Sivia memendam rasa suka pada Cakka
selama dua tahun? Sedangkan Cakka tidak seperti yang Sivia kira selama
ini. Sia-siakah? Entahlah.
“Gue capek kalau terus-terusan memendam kelainan gue ini, Vi. Gue capek!” lanjut Cakka kembali berbalik menghadap Sivia.
“Berarti yang selama ini neror Alvin itu. . .”
“Gue. Gue yang neror. Entah rasanya seneng banget kalau gue udah sms Alvin seperti itu.” aku Cakka spontan.
“Oh Tuhan, Cakka!” sesal Sivia menyayangkan sikap Cakka.
“Kenapa
loe bilang semua ini ke gue hah? Kenapa?! Apa loe gak tau kalau gue
suka sama loe? Sakit tau Cak, sakit!” lirih Sivia parau. Entah harus
marah sama siapa Sivia saat ini. Toh bukankah selama ini Cakka tak
pernah menyuruh Sivia untuk menyukainya. Pantaskah Sivia untuk marah?“Maafin
gue. Jujur, gue pun tersiksa dengan semua ini. Gue bingung harus
berbuat apa. Di suatu sisi gue pengen hidup normal, tapi di sisi lain,
setiap gue melihat Alvin berduaan atau becanda ria dengan cewek-cewek
lain, gue cemburu. Terus gue harus gimana? Ada yang salahkah dengan diri
gue? Atau. . . Atau Tuhan ingin mendiskriminasi gue dari ciptaanNya
yang lain? Iyakah, Vi?” lirih Cakka sendu. Sivia menggeleng. Menolak
mentah-mentah apa yang ditanyakan Cakka tersebut. Lantas ia dengan
segera memeluk Cakka. Berusaha menahan emosinya dan berusaha menenangkan
Cakka dari kelainan yang dialaminya itu.
“Bukan loe yang salah,
apalagi Tuhan. Maafin gue, gue juga bisa rasain apa yang loe rasain
sekarang. Gue ngerti Cak, gue ngerti. Gak perlu loe jelasin semuanya.”
pinta Sivia di atas pundak Cakka.
“Makasih karena loe udah ngerti
masalah gue. Tapi gue mohon sama loe, jangan bilang sama siapa-siapa
tentang masalah ini. Terlebih sama Alvin. Gue mohon. . .” pinta Cakka
seraya berbisik. Sivia mengangguk paham.
“Gue pengen sendiri, Vi.”
lanjutnya pelan. Lalu Sivia melepaskan pelukannya perlahan. Menatap mata
Cakka dalam-dalam sebelum akhirnya ia mengangguk dan bangkit untuk
pergi dari tempat tersebut.
“Maafin gue,” ucap Cakka sekali lagi.
Sivia memejamkan mata sekejap, lalu berbalik badan dan berlari seraya
menutup mulutnya. Di hati kecilnya masih tak percaya dengan pengakuan
yang Cakka tuturkan tadi.
Sedangkan di sisi lain ada seseorang
yang juga sangat syok mendengar semua pembicaraan antara Sivia dan
Cakka. Terlebih lagi saat mendengar namanya disebut. Alvin. Ia
menggeleng tak percaya. Ternyata teman sekelasnya bahkan teman satu tim
basketnya itu seorang penyuka sesama jenis. Apalagi ia tau kalau
seseorang tersebut menyukainya.
“Drama macam apa ini?” tukasnya
tanpa sadar. Pantas saja Alvin merasakan ada yang beda sama Cakka
selama ia menjadi murid baru di kelasnya. Terlebih saat Cakka menatap
matanya tanpa Alvin ketahui apa maksud yang terkandung dalam tatapan
tersebut. Lalu Alvin berjalan mundur sambil terus menggeleng.
***
Hei,
Vin! Gue Cakka. Sori ya kalau selama ini gue suka neror loe lewat sms.
Pasti loe udah denger kan alesan gue ngelakuin itu dari Sivia? Sekali
lagi sori ya, Vin? Gue gak maksud neror loe kok. Gue cuma. . . Yah,
lupain lah! Anggap aja semua itu gak pernah terjadi. Gue pengen
menjalani hidup baru. Gue pengen berubah, gue pengen normal kaya loe dan
yang lain. Hari ini gue ikut bokap ke Thailand, mau tinggal di sana
selamanya. Eh, enggak ding! Mungkin entar suatu saat bakal balik lagi ke
sini kalau gue kangen. Ya pasti kangen lah pokoknya. Salam buat Sivia
ya, Vin? Jagain dia terus. Dan terakhir, maafin gue kalau selama ini gue
banyak salah. Emang banyak sih, gak ke hitung mungkin. Tapi setidaknya
gue udah minta maaf sama kalian. Mau kan maafin gue? Makasih. Sekarang
gue mau take off dulu. Selamat tinggal!
Sivia menarik napas begitu selesai membaca pesan singkat dari Cakka di ponsel Alvin. Ia menatap Alvin kemudian.
“Vin, Cakka?” lirihnya sendu. Alvin mengangguk cepat.
“Cakka
pasti kembali ke sini kok. Walaupun entah kapan, yang jelas Cakka pasti
akan datang lagi buat nyatain cintanya buat loe. Gue yakin,” ujar Alvin
seraya merangkul Sivia lembut.
“Tapi, Vin?”
“Udahlah Vi,
ikhlasin. Biarkan Cakka menenangkan dan memperbaiki diri di sana. Lagian
di sini masih ada gue kaaan? Gak kalah keren dari Cakka, udah gitu
normal lagi. Hehehe.” ledek Alvin sambil memainkan alisnya. Sivia
memutar mata.
“Apaan sih?! Gak lucu!” sungut Sivia ketus.
“Iya,
gue becanda doang kali. Udah ah, balik yuk? Udah sore nih,” balas Alvin
tanpa perduli dengan raut wajah Sivia yang kusut. Ia merangkulnya mesra.
Lalu berjalan.
“Karena apapun yang sedang terjadi sekarang,
ketahuilah, gue akan selalu ada di samping loe. Meski loe tak pernah tau
akan perasaan gue yang sebenarnya, Sivia.” ucap Alvin dalam hati.
Perlahan
Alvin pun tersenyum saat melihat wajah Sivia dari samping. Lalu
mengusap manja kepala belakang gadis tersebut sambil terus berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar