Selamanya, sahabat akan tetap menjadi
sahabat. Tidak akan pernah berubah menjadi kekasih, atau bahkan musuh
sekalipun.
Kecuali jika Tuhan yang merubahnya.
***
Sivia
tersenyum simpul, cukup manis. Ekspresi alami yang keluar dari bibirnya tatkala
ia sedang merasa bahagia seperti yang ia rasakan saat ini. Lalu menarik napas
pelan-pelan. Kedua matanya berbinar saat ia selesai menempelkan sebuah foto di
samping curahan hatinya yang sengaja ia tulis di sebuah buku. Buku unik
berwarna merah jambu kesukaannya atau yang lebih dikenal banyak orang dengan
sebutan diary book.
Siswi kelas
XII di sebuah SMA ternama di Jogja ini masih duduk-duduk manis saja di
kursinya, tidak peduli dengan suasana kelasnya yang sudah kosong tanpa penghuni
sejak bel istirahat berbunyi delapan menit yang lalu. Di mana anak-anak yang
lain saling berebut tempat di kantin atau sekedar untuk membuang napas jengah
di luar kelas, Sivia malah terlalu enjoy dengan bukunya bahkan sampai
senyum-senyum sendiri seperti orang gila baru.
"Davino
Verassya. Hmm… dia
lagi, dia lagi. Kenapa sih selalu foto dia yang gue lihat di buku lo?
Sekali-kali foto gue kek yang ditempelin di buku lo itu. Toh gue juga gak kalah
keren kan dari dia? Payah lo ah!"
Sivia
kembali menarik napas ditambah dengan kedua matanya yang berputar. Lantas
berdecak. Rasanya cukup jengah tentu saja saat mendengar sebuah ucapan
menyebalkan yang baru saja masuk ke dalam telinganya. Ucapan dengan inti yang
sama yang selalu ia dengar enam bulan terakhir ini. Sejak pertama kali Sivia
mengenal sosok Rassya lebih jelasnya. Anak kelas X ter-catchy yang
pernah Sivia ketahui selama hidupnya. Dan anak kelas X yang menyadarkan Sivia
kalau cinta itu tak bisa lagi memandang usia.
Lalu ia
menengok dengan lirikan yang cukup sinis ke arah seseorang tadi. "Ini kan
buku gue, jadi ya terserah gue dong mau nempelin foto siapa? Lagian kenapa sih
hidup lo protes mulu bisanya? Heran deh!" sungutnya.
Setelah
bersungut ria, Sivia pun menggeser duduknya.Tentunya untuk memberi tempat duduk
kepada cowok yang tadi tiba-tiba datang dan berkata dengan super percaya
dirinya itu. Kenzio Alvin. Anak kelas tetangga sekaligus sebagai sahabat
terdekat Sivia saat ini. Ralat! Sejak PAUD lebih tepatnya.
Cowok yang
akrab dipanggil Alvin itu kini duduk di samping Sivia. Tatapannya terlampau
jelas menerkam ke arah wajah gadis berpipi tebal tersebut. Meskipun begitu,
Sivia tetap masa bodoh dengan kembali beralih memandangi foto yang ada di
bukunya itu.
Alvin
berdesis, "Bukannya protes sih, ya gue cuman sirik aja gitu sama tuh anak.
Seumur-umur gue belum pernah tuh lihat lo nempelin foto gue atau apa gitu di
buku lo. Iya kan?" umpatnya kemudian.
"Gila
aja bro, rajin amat gue nempelin foto lo. Kaya gak ada kerjaan lain aja."
cetus Sivia tajam.
Sedetik,
sebelum Sivia sempat menarik napas di akhir kalimatnya, Alvin sudah mendaratkan
kepalan tangannya di ubun-ubun gadis tersebut.
"Alvin,
sakit tau!" rintih cewek itu saat merasakan jitakan keras di kepalanya.
"Suruh
siapa lo kejem bener sama gue? Huh!" gerutu Alvin kemudian. Kali ini ia
beralih menyenggol kasar pundak Sivia.
"Ish!
Lo tuh ya kalau jadi cowok gak ada lembut-lembutnya amat sih sama cewek?
Ngeselin!"
Alvin
menyeringai, "Kalau gak ngeselin ya bukan Kenzio Alvin namanya." lalu
tertawa tidak jelas.
"Udah
ah sana jauh-jauh dari gue! Huusss!!!"
"Gak
mau." tolak Alvin yang kemudian dengan sengaja menggeserkan duduknya
secara cepat. Membuat Sivia semakin terpepet ke dinding dekat mejanya.
"Alviiiiiinnn… ih!"
"Kenapa
sih?"
"Iseng
banget lo jadi orang!" respon Sivia dengan mendorong balik tubuh Alvin.
"Emangnya lo mau ngapain sih ke sini? Kangen sama gue?" tanyanya
kemudian.
Dan bukannya
menjawab pertanyaan dari sahabatnya tersebut, Alvin malah mengeluarkan tatapan
skeptisnya yang seakan bilang pede-bener-lo-jadi-orang.
"Tau
kok gue emang ngangenin. Tapi plis ya, siang ini gue lagi gak mood buat
ngapa-ngapain. Lagi pengen sendiri juga sih. Jadi lebih baik lo cari
pelampiasan ke yang lain aja," ujar Sivia sekenanya.
Alvin
semakin kerap mengerutkan dahinya saat mendengar itu. Lalu memutar mata seraya
membuang napas jengah. "Gak usah sok bad mood bad mood-an kaya anak
alay gitu deh! Ikut gue yuk, boring nih."
"ALVIIIIIINNN!!!"
Mereka
berdua keluar kelas dengan segera. Di mana salah satu dari mereka yang terpaksa
ikut keluar karena ditarik tangannya kuat-kuat. Dan selebihnya Sivia hanya
pasrah meski dengan sesekali mulutnya mencibir hebat ke arah Alvin. Toh
buktinya Alvin tetap tak menggubris seperti biasa.
***
Davino
Verassya -atau yang lebih akrab dipanggil Rassya itu- berjalan cukup santai di
koridor menuju kantin. Tangannya memegang sebuah benda kecil berwarna biru yang
sesekali ia lempar-lemparkan ke atas dengan jarak dekat. Sesekali juga ia
tersenyum tentu saja. Berusaha menyapa teman-teman yang dikenalinya saat
bertemu di jalan.
Dan seketika
saja langkahnya terhenti di dekat penjual softdrinksebelum akhirnya
kedua mata Rassya menangkapsatu sosok orang yang memang menjadi tujuan utamanya
ia datang ke kantin. Tepat setelah sebelumnya ia mengunjungi kelas
dariseseorang tersebut yang hasilnya malah memaksa Rassya untukdatang ke tempat
yang saat ini ia jejaki. Kantin ramah lingkungan yang dimiliki sekolahnya.
Perlahan,
Rassya kembali melangkahkan kakinya dengan antusias. "Hai, kak
Alvin!" sapanya kemudian.Ternyata Rassya mencari Alvin, selaku teman baik
dari kakak kandungnya yang kebetulan saat ini izin untuk tidak masuk sekolah
karena suatu hal.
Mendengar
itu, Alvin yang sedang berkutat dengan ponsel dan makanan ringan di sekitarnya,
refleks saja menengok ke arah sumber suara tadi. Ia langsung mendapati Rassya
yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Setengah meter di belakang Sivia yang
memang saat itu juga duduk semeja di depan Alvin.Maka Sivia pun ikut menengok
ke arah Rassya.
"Rassya???"
ujar Sivia sumringah. Bahkan langsung berdiri menghadap Rassya saking senangnya
melihat cowok tersebut begitu dekat di depannya.
"Hai,
kak Sivia!" sapa Rassya manis.
"Hai
juga, Rassya! Oh iya, sini sini duduk di sebelah kakak." sambut Sivia yang
entah kenapa terkesan heboh menurut Alvin yang terlihat berkali-kali memutar
mataseraya membuang napas.
"Iya
kak, makasih."ujar Rassya yang sedikit bingung sendiri melihat kehebohan
Sivia. Ia langsung duduk dengan memasang wajah polosnya seketika.
"Oh
iya, kamu mau pesen apa?" tawar Sivia antusias.
"Gak
usahkak, makasih. Kebetulan aku lagi gak laper nih.Tohniat aku jugake sini
bukan buat makan kok,tapi..."
"Tapi
apa? Oh... Mau cari kak Sivia ya? Emang ada perlu apa sih sama kakak? Jadi gak
enak nih sampai disusul segala ke kantin,"kata Sivia saat memotong begitu
saja kalimat dari Rassya.
Rassya hanya
tersenyum meresponnya. Tapi sepertinya tidak dengan Alvin, ia seakan ingin
muntah begitu mendengar ucapan Sivia yang overdosis banget. Entah
kesurupan makhluk semacam apa yang membuat sahabatnya berperilaku seperti alien
itu. Tuh anak udah bener-bener gak waras!Rutuk Alvin.
"Bukan
nyari kak Sivia kok. Aku ke sini nyari kak Alvin, mau ngasih ini." ujar
Rassya dengan menyodorkan benda yang dipegangnya sejak awal. "Tadi pagi
kak Cakka nitip ini sama aku, katanya suruh kasihin ke kak Alvin. Soalnya hari
ini kak Cakka gak masuk. Nih kak." lanjut Rassya.
Alvin
langsung menerima benda itu dari tangan Rassya. Sebuah flashdisk yang
tiga hari lalu dipinjam Cakka -teman sebangkunya- untuk mengkopi tugas mingguan
dari guru Bahasa. Alvin lantas menatap benda itu sekilas dan kembali menatap
Rassya setelahnya."Thanks, Sya." ucap Alvin.
"Iya,
kak. Makasih juga udah dipinjemin kata kak Cakka." balas Rassya ramah.
Alvin tersenyum dan mengangguk.
"Salam
ya buat Cakka. Semoga cepet pulih dan bisa masuk sekolah lagi."
"Siap!
Makasih, kak. Kalau gitu aku pamit ke kelas dulu ya? Maaf tadi udah ganggu
waktu kalian."
"Yoi...
woles aja kali, Sya." ujar Alvin santai.
"Kak
Sivia, aku duluan ya?" pamit Rassya ke Sivia. Lalu pergi begitu saja saat
Sivia sekedar mengangguk meresponnya.
"HAHAHAHAHAHAHA!!!"
"Kenapa
lo ketawa?"
"HAHAHAHAHAHAHA!!!"
ulah Alvin dengan menunjuk-nunjuk wajah Sivia berkali-kali. Tanpa lepas dari
tertawanya yang tak henti-henti. "Kalau gue jadi lo, mendingan gue milih
pura-pura amnesia terus langsung pergi dari sini ketimbang harus berubah jadi
kutil monyet kaya tadi. Hahaha. Emang enak digituin sama doi? Hahaha."
ledeknya.
Sivia
menekuk wajah. Sepertinya Alvin tau benar apa yang dirasakan Sivia saat ini.
Kikuk dan super malu begitu Rassya mematahkan secara lembut akan kepercayaan diri
dari Sivia tadi. Ralat! Keagresifan lebih tepatnya. Lalu ia mencibir
ketus,"Nyebelin lo!"
"Lagian
lo jadi orang jangan terlalu murahan gitu kenapa? Malu kan kalau sampai gak
direspon sama doi kaya tadi? Hahaha."
"Sialan
lo, Vin! Tadi gue bukannya murahan, gue cuma kelewat seneng aja lihat tuh anak
ada di deket gue, sampai bingung sendiri harus ngapain." bela Sivia
sembari melampiaskan rasa malunya kepada kertas menu yang ada di depannya yang
sudah tak berbentuk saat ini.
"Oh ya?
Jadi lo kalau lagi kelewat seneng langsung berubah kaya tadi gitu ya? Idih
najis banget gue punya sahabat yang perilakunya macam alien pluto gitu."
ucap Alvin bergidik.
"Alvin,
plis deh! Tadi itu bukan gue yang sebenernya. Udah ah, gak usah dibahas!"
"Hahaha."
"ALVIN!"
bentak Sivia yang mulai melotot tak jelas. Dan tentu saja itulah salah satu
jurus andalan dari Sivia yang paling Alvin takutkan dari cewek tersebut.
Menurutnya,
kalau Sivia sudah melotot seperti ini, semua jenis predator yang ada di
film-film barat itu seakan-akan berkumpul dan bersatu menjadi sosok Sivia yang
menyeramkan. Sama halnya dengan apabila terjadiperkawinan antara boneka Chucky
dan Annabelle, maka sosok Sivia lah yang akan menjadi anaknya. Atau
bahkan lebih menyeramkan lagi dari itu semua.Begitulah pemikiran Alvin saat
mengetahui Sivia sudah marah.
"Ya
udah gue diem nih."kata Alvin meski masih kentara menahan tawanya.
Cewek
tersebut memutar mata. "Emang si Cakka sakit apa sih?" tanyanya
lantas. Seakan baru terpikirkan sosok Cakka yang biasanya -meskipun tanpa ia
duga- selalu ikut nimbrung saat dirinya sedang makan berdua dengan Alvin. Atau
selalu menjadi orang pertama yang Sivia cari untuk mengorek lebih dalam lagi
tentang adik kandungnya, Rassya.
"Ya,
gak jauh-jauh dari demam lah pokoknya. Atau enggak maagnya kumat." balas
Alvin yang seakan hafal betul penyakit rutin yang Cakka derita kalau ia tidak
masuk sekolah-selain ada keperluan keluarga.
"Oh
gitu. Pulang sekolah jenguk yuk?" ajak Sivia refleks. Alvin yang tadi
kembali sibuk dengan ponselnya, refleks juga langsung menggeleng tanpa beralih
dari kesibukannya itu."Lho, kenapa? Masa lo gak mau jenguk temen lo
sendiri sih?" tanya Sivia heran.
"Lo mau
jenguk Cakka apa mau ketemu Rassya?"
Sebuah
pertanyaan yang keluar dari mulut Alvin tersebut cukup membuat Sivia terpaksa
menelan ludah. Lagi-lagi Alvin selalu bisa menebak apa yang ada di pikiran
Sivia. Sementara Alvin terlalu masa bodoh dengan ekspresi dari sahabatnya
sekarang, ia malah tetap fokus menatap layar ponselnya. Menjelajahi dunia game
yang banyak tersedia di dalamnya.
"Ya
itung-itung aja sambil menyelam minum air, Vin. Ye kan?"kata Sivia sembari
bangkit dari duduknya. Kemudian berkemas membereskan barang-barang miliknya
dari atas meja.
"Terserah
lo lah." balas Alvin datar. Ia ikut bangkit dan berkemas untuk kembali ke
kelas setelah bel masuk berbunyi untuk kedua kalinya.
***
"Vinoooooo!!!
Udah dong ah, udah! Geliiiiii... Vino, ih! Vinoooooo!!!" teriak seorang
cewek berambut panjang dengan poni miringnyacukup heboh.
"Hahaha.
Bodo! Suruh siapa kamu duluan tadi yang gelitikin aku. Rasain nih
pembalasanku!" ujar si cowok yang semakin menjadi-jadi dalam mengerjai si
cewek dengan menggelitiki area tubuh sensitifnya.
Sore itu, di
sebuah taman depan rumahnyayang cukup luas dan sejuk, Rassya bercanda ria
dengan salah seorang sahabat kecilnya yang sudah beranjak dewasa. Katya Sabrina
-atau yang lebih akrab dipanggil Keyoleh Rassya sejak kecil.
Katya adalah
satu-satunya cewek yang paling dekat dengan Rassya saat ini. Selain karena
rumah mereka yang berdekatan, selain karena orangtua mereka yang bersahabat
sejak muda, dan selain karena mereka selalu saja sekelassedari SD kecuali pas
SMA,tetapi bukan itu alasankenapa Katya lah satu-satunya cewek yang paling
dekat dengan Rassya.
Melainkan
karena mereka berdua saling memiliki rasa satu sama lain. Bukan sekedar
sahabat, dan bukan juga sekedar teman dekat semasa kecil. Tetapi lebih dari
adanya rasa nyaman dan saling membutuhkan satu sama lain. Kesimpulan, Rassya
maupun Katya saling suka sejak mereka menyadari adanya getaran tak biasa di
dada masing-masing tatkala mereka sedang berdua. Tepatnya sejak mereka duduk di
kelas VIII satu setengah tahun yang lalu.
Dan
beruntungnya, Rassya -atau Vino yang sering Katya panggil- sudah mengungkapkan
perasaannya kepada Katya meski si cewek tersebut belum menjawabnya sampai
sekarang. Lima hari yang lalu tepatnya Rassya menembak Katya.
"Vino,
udah dong! Aku ngambek nih?" pinta dan ancam Katya seketika.
Mendengar
ultimatum itu, Rassya kontan berhenti melakukan aksi jahilnya. Ia lantas
terduduk di atas rerumputan bersamaan dengandipeluknyatubuh cewek tersebut dari
belakang. Kemudian tertawa lepas meskipun kadang terhalang helaan napas yang
memburu mereka.
"Kamu
jail banget sih jadi orang, geli tau!" adu Katya yang langsung pindah dari
pangkuan Rassya dengan duduk di samping kirinya.
Rassya
terkekeh geli. Lucu sendiri melihat ekspresi kesal dari Katya ini. Terkesan
wajahnya terlihat lebih cantik dari yang biasa Rassya lihat. Apalagi kalau
sedang merengut seperti sekarang. Sofunny.
"Iya
deh maaf. Tadi kan cuma becanda doang. Lagian kamu juga sih yang duluan."
ucap Rassya sambil menyenggol pelan tubuh mungil Katya.
Katya
mendengus, "Ya aku juga becanda doang tadi." belanya.
"Ya udah,
berarti kita impas." balas Rassya dengan sedikit memainkan lirikan matanya
yang cukup menerbangkan hati itu.
"Oke,"
kata Katya sedikit berpaling wajah. Ia tidak mau harus kehabisan napas kalau
sampai lama-lama menerima paksa tusukan tajam yang diberikan Rassya lewat
tatapannya.
"Key?"
Katya
refleks menengok. Ia menjawab panggilan Rassya dengan sebuah ekspresi saja
tanpa suara. Namun, bukannya menjelaskan apa maksud dari panggilannya
tadi,Rassya malah kembali terdiam, matanya entah kenapa cepat-cepat berpaling
dari wajah cewek tersebut.Membuat kening Katya berkerut cukup kerap. Aneh.
"Sampai
sekarang apakamu masih belum bisamenjawab perasaan aku, Key?" tanya Rassya
setelah cukup lama mereka berdua menghening.
Kali ini
Katya menelan ludahnya hebat. PrediksiKatya sendiri bahwa Rassya akan
menagihjawabanatas ungkapan cintanya itu memang benar terjadi hari ini. Dan
sialnya, Katya masih belum siap untuk menjawab -bahkan terpikirkan pun tidak.
Maka dari itu rasa gelisah pun tiba-tiba menjalar di tubuh mungilnya.
"Aku..."
ucapnya ragu. Sekilas, ia dapat melihat siluet wajah samping Rassya dari sudut
tersisi matanya. Untuk kali ini Katya tidak mampu menatap wajah Rassya
sedetikpun.
"Aku
gak bisa bilang kata lain selain kata iya. Aku mau jadi pacar kamu, Vino."
jawab Katya lancar. Entah kerasukan setan apa sampai ia bisa berbicara selancar
itu.
"Seriously?"
dan dengan yakin Katya mengangguk. Kemudian tersenyum. Dansetelahnya, Katya
hanya merasakan satu pelukan hangat yang menjalar di tubuhnya. Pelukan perdana
dariRassya setelah resmi sebagai pacar.
Di sisi
lain, ada seseorang yang menggeleng tak suka saat melihat Rassya memeluk mesra
Katya.Tepatnya seseorang yang baru saja datang dan langsung mendapati
pemandangan yang cukup dibilang menyayat hati itu.
"Bawa
gue pulang sekarang juga, Vin!" ujarnya ketus.
"Lho?"
***
Sivia
melempar kerikil-kerikil yang berada di sekitarnya ke tengah danau. Kesal.
Marah. Gundah. Galau.Pokoknya perasaan Sivia saat itu benar-benar campur aduk.
Tak bisa digambarkan lagi oleh kata-kata sepertinya. Juga tak peduli dengan
seseorang yang sejak tadi mencibir tak jelas di belakangnya. Malah ia tetap
fokus menatap lurus ke arah tengah danau. Membiarkan seseorang itu mencibir
dengan sendirinya tanpaada niat sedikitpun untuk diladeni olehnya.
Merasa
cibirannya tak dianggap, Alvin -seseorang tersebut tentu saja-
langsungmengambil langkah pelan mendekati Sivia. Ia duduk di samping gadis
tersebut dengan kedua tangan yang ia sanggakan ke belakang, lalu menarik napas
serileksnya. Entah harus bicara apa lagi dengan cewek menyebalkan yang ada di
sampingnya itu. Kalau sudah begini, Sivia terlihat seperti anak kecil yang
otomatis membuat Alvin harus bisa berusaha keras menenangkannya.
"Ngapain
lo lihat-lihat gue kaya gitu hah?!" terka Sivia ketus.
Glek! Belum
hampir dua detik Alvin selesai menghela napas seraya memandangi Sivia dari
samping, tiba-tiba saja ia langsung ditusuk dengan pertanyaan yang menyebalkan.
Kontan saja membuat kening Alvin dibuat mengkerutsangat kerap detik itu
juga.Sesaat ia memicingkan matanya heran, lantas bergidik mengerikan.
"Dih
siapa juga yang lagi lihatin lo? Plis deh gak usah sok kepedean
gitu!"timpal Alvin dengan nada sinisnya.
"Lah
itu tadi ngapain?" ujar Sivia dibarengi decakan jengah di akhir
kalimatnya.
Alvin kini
tertawa kecil. Gemas dengan sahabatnya yang satu ini. Kemudian menoyor kepala
Sivia cukup keras yang otomatis langsung merubah ekspresi wajah gadis tersebut
menjadi lebih seram. Ekspresi alami Sivia yang rautnya terinspirasi dengan
perpaduan antara ekspresi marah bonekaChucky dan boneka Annabelle.
"Rese
banget sih lo!" ketus Sivia jengah.
Alvin
kembali tertawa, kali ini terkesan singkat dan cukup diakhiri dengan tarikan
napasnya saja. Entah kenapa rasanya geli sendiri melihat seorang Sivia
berperilaku aneh macam alien seperti saat ini. Atau lebih tepatnya karena
memang Alvin baru mengetahui tingkah laku Sivia disaat galau atau patah hati
dan semacamnya.
"Lo
cemburu lihat Rassya sama cewek tadi pelukan?" tanya Alvin polos. Lebih
terkesan bodoh sih sebenarnya. Hingga Sivia refleks melemparkan kerikil
terakhir yang ia pegang ke tengah danau.
"Bukan
cemburu lagi, tapi gue benci! Gue benci sama Rassya!Rassya bener-bener gak
peka! Kenapa sih dia lebih milih cewek itu daripada gue? Plis deh cantikan juga
gue ketimbang cewek tadimah. Ye kan, Vin?" gerutu Sivia asal.
Alvin
lagi-lagi sempat tertawa, namun hal itu langsung direm begitu Sivia menatapnya
seakan-akan meminta persetujuan dari Alvin. Kontan Alvin mengangguk sekenanya.
"Ya
kali kalau si Rassya matanya minus duapuluh. Hahaha."
"ALVIN!"
"Apaan?"
"Nyebelin
lo!"
"Hahaha.
Udahlah, kenapa sih galau-galau gak jelas kaya anak alay gitu? Mungkin si
Rassya emang bukan jodoh lo kali. Terima aja kali, Vi. Toh masih ada gue kan?
Lebih cakep pula. Hehe." kata Alvin seraya menaik-turunkan alisnya.
Sivia
bergidik, "Najis lo!Mendingan gue pacaran sama kambing dah kalau
gitu."
"Hahaha.
Sialan lo! Hmm... Tapi faktanya gue emang lebih ganteng kan dari Rassya?"
"Whatever
lah! Pokoknya gue bener-benergak rela kalau si Rassya udah taken! Gue
masih gak ikhlas sejuta persen. GAK IKHLAS!!! Ngerti?" dumal Sivia kini.
Namun belum
saja Sivia menarik napas untuk keduakalinya, secara spontan ia merasakan
kepalanya dipegang erat oleh seseorang yang sejak tadi di sampingnya. Sivia pun
super kaget begitu kedua buah bibirnya seketika saja terkunci oleh bibir Alvin.
Lembut. Lembab. Dan cukup hangat. Lantas ia melotot tak percaya.
"Gue
cinta sama lo."
***
"Vi,
gue mau ngomong sesuatu sama lo." ujar Alvin saat istirahat sekolah tiba.
Sivia yang
baru saja selesai membereskan buku-buku pelajarannya kontan mendongak. Kemudian
acuh begitu ia tau kalau yang ia lihat adalah Alvin. Tangannya kembali pura-pura
sibuk menyentuh apa saja yang ada di sekitarnya.
"Soal
kejadian kemaren," sambung Alvin ragu.Sivia kontan terdiam, pergerakannya
seakan terpaku saat Alvin kembali bicara."Gue... Gue bener-bener gak sadar
kemaren, gue nyesel. Gue mau minta maaf sama lo, Vi. Lo mau kan maafin gue? Please."
"Lupain
aja."
"Please,
gue nyesel. Gue ngerasa kalau gue udah berlaku kurang ajar sama lo, gue
brengsek!"
"Udah?"
ucap Sivia dengan tatapan malasnya. Saat ini sepertinya Sivia masih belum ingin
menghabiskan waktu istirahatnya hanya dengan mengobrol masalah tak penting
dengan Alvin.
"Sivia,"
lirih Alvin mulai jenuh melihat sikap Sivia yang acuh padanya.
Lagipula
wajar saja Sivia acuh pada Alvin,toh suruh siapa juga Alvin berani-beraninya
mencium bibir Sivia saat kondisi hati gadis tersebut sedang kesal. Gadis mana
yang tidak marah kalau diperlakukan seperti itu oleh sahabatnya. Mungkin.
"Gue
benci lihat muka lo!" timpal Sivia sembari beranjak pergi dari tempat
duduknya.
"Tapi
asal lo tau..."
Sivia terhenti,
mencobamenunggu kelanjutan kalimat Alvin yang terpotong sebelum ia keluar
meninggalkan sahabatnya sendiri.
"...gue
bener-bener cinta sama lo, Vi. Maaf kalau gue udah lancang, gue cuma mau
ngungkapin sesuatu yang memang gue rasain selama ini."sambung Alvin dengan
memandang punggung Sivia yang berdiri empat langkah di depannya.
Alih-alih
menunggu Sivia merespon, ia malah dibuat menarik napas panjang karena faktanya
Sivia langsung menghentakan langkahnya kembali tanpa mengeluarkan kata-kata
sedikitpun. Menggenapkan rasa sesal yang mengendap di hati Alvin saat itu.
***
Istirahat
kali ini suasana kantin terlihat ramai dan cukup padat. Setiap sudutnya sudah
terisi oleh berbagai gerombolan siswa daripuluhan kelas yang ada di sekolah
tersebut. Hampir tidak ada satupun penjual makanan yang terlihat sepi.
Masing-masing sama rata, seperti sudah memiliki pelanggan tetap.
Di
tengah-tengah keramaian, Sivia duduk termenung di pojokan kantin. Sendiri.
Matanya menatap kosong ke satu titik. Sama sekali tidak terbawa aruskeadaan
sekitarnya yang cukup ramai. Di mana teman-temannya begitu heboh saat berbagi
cerita di sebelah mejanya. Sivia malah tetap masa bodoh.
"Ehem!
Aku perhatiin dari tadi kok kak Sivia ngelamun mulu sih? Ada masalah ya? Bisa
dong cerita-cerita," bilang seseorang sesaat setelah dirinya duduk di
samping Sivia.
Sivia sempat
melirik namun ia segera menarik sudut matanya ke semula setelah ia tau siapa
yang duduk di sampingnya. Siapa lagi kalau bukan cowok yang kemarin sudah
membuat hatinya pecah berantakan… Rassya. Rassya melengkungkan bibirnya manis, menampakan
lesung pipinya yang ganjil di sebelah kiri.
"Karena
kebetulan hari ini aku lagi seneng banget, terus kak Sivia juga kelihatannya
lagi sedih gitu, gimana kalau aku traktir kak Sivia makan? Sepuasnya deh. Biar
kak Sivia gak ngelamun-ngelamun lagi kaya tadi, mau ya kak?" tawar Rassya
seraya menundukan kepalanya. Berusaha menatap wajah Sivia yang seakan enggan
menatap wajahnya.
"Gak
usah, gue lagi gak nafsu makan. Mendingan lo pergidari sini deh, gue lagi
pengen sendiri." tolak dan usir Sivia malas.
"Oh, ya
udah deh. Tapi kak Sivia lagi gak kenapa-kenapa kan? Atau, lagiada masalah?
Cerita dong kak, siapa tau aku bisa bantu." pinta Rassya pelan.
Sedetik,
Sivia membuang napas. Lalu ia kembali melirik Rassya dengan sangat tajam.
"Gue bilang gue lagi pengen sendiri. Lo denger gak sih?!" tukasnya.
"Maaf
kak, Rassya cuman mau..."
"Lo
yang pergi dari sini atau gue yang pergi?"
Rassya
menelan ludahnya kuat-kuat. Niat awalnya untuk menghibur Sivia yang terlihat
murung itu gagal total. Bahkan sekarang Rassya yang jadi sasaran kekesalan
Sivia yang ia sendiri belum tau penyebabnya apa.
"Aku
minta maaf kalau aku udah ganggu kakak. Permisi." pamit Rassya sebelum
akhirnya ia melenggang pergi daritempat tersebut.
"Maafin
gue, Sya..."
***
Alvin duduk
di sebuah jempatan terpotong yang menjurus ke tengah danau. Kedua kakinya ia
celupkan ke dalam air seraya berayun pelan. Sore itu ia masih belum mau
berbicara sepatah katapun -juga karena lawan bicaranya yang masih saja betah
membisu. Sivia.
Sama. Sivia
melakukan hal yang sama dengan Alvin, hanya saja gadis tersebut duduk
berlawanan arah dengan cowok berambut basah sekaligus acak-acakan karena memang
baru selesai latihan futsal satu jam yang lalu. Ia terpaksa ikut ke danau
karena ajakan dari Sivia.
Namun,
meskipun Sivia sendiri yang mengajak ke danau, tapi entah kenapa gadis tersebut
belum juga angkat bicara -atau setidaknya memberi tau apa tujuan awalnya ia
mengajak Alvin ke sana. Ke tempat yang sudah menjadi saksi bisu akan
persahabatan mereka yang hampir terjalin lama itu.
"Lo
masih marah sama gue, Vi?" tanya Alvin perdana. Sebuah pertanyaan yang
akhirnya harus keluar juga dari mulut cowok tersebut. Tatapannya masih tertuju
pada riak air yang ia buat sendiri dengan ayunan kakinya.
Bukannya
menjawab, Sivia malah membuang napasnya yang jelas terdengar oleh Alvin. Entah
permainan apa yang sedang Sivia gunakan agar Alvin seperti terlihat orang yang
selalu merasa bersalah. Faktanya sudah hampir empat hari mereka berdua saling
diam, tak pernah terlihat lagi adanya canda tawa atau sekedar berdialog antara
mereka. Ralat! Sebenarnya Alvinsudah sangat seringberusaha untuk bicara dengan
Sivia, namun sikap Sivia yang selalu acuh itu membuat Alvin kewalahan dan
sedikit menyerah.
"Gue
beneran gak bisa berbuat apa-apalagi selain meminta maaf sama lo. Gue minta
maaf. Gue bener-bener nyesel." lanjut Alvin.
Sivia tetap
diam. Sepertinya ia membiarkan terlebih dulu untuk Alvin mengeluarkan kata-katanya.
Dan begitupun Alvin yang yakin kalau Sivia tidak hanya sekedar diam saat itu.
Melainkan menyimak tanpa merespon ucapannya yang membuat dirinya semakin
semangat untuk mengeluarkan unek-unek di hatinya.
"Kalauemang
rasa yang ada di hati guemembuat lo menjauh sepertiini, mungkin lebih baik gue
buang jauh-jauh rasa itu di hati gue, Vi. Gue gak pantes jatuh cinta sama
sahabat gue sendiri." ujar Alvin masih dalam keadaan sama seperti semula,
memunggungi Sivia.
"Gue
masih butuh lo di setiap detik gue, Vi. Mau ya maafin gue? Gue gak kuat
diem-dieman mulu sama lo."
Sekilas,
Alvin menengok ke arah Sivia. Matanya penuh harap kalau Sivia mau memberi maaf
padanya. Sementara Sivia tetap fokus dengan kegiatannya mengaduk-aduk dengan
kedua kaki mungilnya.
"Empat
hari yang lalu lo udah ambil first kissgue, terus sekarang lo bilang
kalau lo masih mau bersahabat sama gue? Hanya bersahabat? Apa gak ada yang
lebih berengsek lagi dari itu, Vin?" ucap Sivia pada akhirnya.
Sementara
Alvin saat mendengar itu, ia langsung menelan ludahnya kuat-kuat. Apa maksud
dari ucapan Sivia tersebut menurut Alvin. Maka Alvin mengernyit saat itu juga.
"Maksud
lo?"
"Gak
penting. Gue udah maafin lo kok. Tapi maaf, gue gak bisa jadi sahabat lo
lagi." balas Sivia datar. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan melangkah
ke ujung jembatan. Ia berdiri seraya memejamkan mata di sana.
"Kenapa?"
tanya Alvin yang ikut bangun dan mendekat ke arah Sivia.Dan dari arah samping,
Alvin dapat dengan jelas memandang wajah cantik Sivia. Rambutnya sedikit
berkibar karena tertiup angin.
"Gue
gak bisa." jawabnya.
"Kenapa
gak bisa?" tanya Alvin untuk kedua kalinya.
Sivia refleks
membuka matanya, "Ya kalau gue bilang gak bisa ya gak bisa. Kaya wartawan
aja lo nanya mulu. Heran deh."
"Ya
lagian alesan lo gak jelas gitu. Gimana sih? Lagipula kita sahabatan udah lama
banget, dari orok, masa cuma gara-gara masalah ini lo gak mau lagi jadi sahabat
gue sih?" heran Alvin mulai bingung.
"Emang
gue pikirin? Toh lo yang mulai duluan kan?"
Alvin membuang
napas, "Jangan gitu dong, Vi. Masa lo tega sih sama persahabatan
kita?"
"Yang
tega itu sebenernya gue atau lo?" sekilas, Sivia memutar matanya jengah.
"Tapi
kan gue udah minta maaf sama lo. Ayolah, Vi! Pliiiiisssss..." pinta Alvin
seraya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajah.
"Hmm...
Oke. Lo beneran mau sahabatan lagi sama gue?" tanya Sivia yang refleks
diangguki oleh Alvin. "Ada syaratnya."
"Kenapa
harus ada syarat?" protes Alvin.
"Mau
jadi sahabat aku lagi gak sih? Kalau gak mau ya udah. Gampang kan?" ucap
Sivia sedikit ketus.
"Iya-iya,gak
bisa nyantaibanget sih lo. Kasih tau apa syaratnya?" balas Alvin ikut
ketus.
Sesaat,
Sivia terlihat berpikir sembari matanya meneliti secara jeli tubuh Alvin dari
atas sampai bawah dan sebaliknya. Sampai akhirnya ia menemukan ide gila yang
secara spontan muncul dari otaknya.
"Coba
lo tutup mata dulu." pinta Sivia. Di sana Alvin sempat mengernyit meskipun
ujung-ujungnya ia mau melakukan apa yang Sivia pinta tadi.
"Nih
gue udah tutup mata. Sekarang ngapain lagi?" tanya Alvin pelan.
Sementara
Sivia tak lantas menjawab, ia hanya tersenyumjahilsaja meresponnya. Lalu dengan
sangat hati-hati gadis tersebut meraih kedua tangan Alvin untuk ia letakkan di
pinggangnya. Membuat raut wajah Alvinberubahbingung. Lo mau ngapain sih?
Tidak sampai
di situ saja Alvin dibuat bingung, sekarang tambah dibuat bingung lagi saat
kedua tangan Sivia menutup kedua telinganya perlahan. Alvin sempat ingin
bertanya, namun niatnya itu ia urungkan begitu ia -sepertinya- sudah menyadari
apa yang hendak Sivia lakukan detik itu. Saat Sivia dengan frontalnya melumat
kedua bibir tipis berwarna merah muda milik Alvin.
Syok.
Perasaan Alvin saat itu benar-benar tidak bisa digambarkan oleh apapun. Jantung
dan paru-parunya seakan tidak lagi berfungsi seperti biasanya. Lutut pun terasa
lemas ditambah asupan udara yang tersumbat membuat Alvin kewalahan. Dan ia
tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melotot, menahan napas, dan menikmati
serta dengan terpaksa mengikutiaturan main yang sedang diberikan Sivia detik
ini.
Satu menit
berlalu. Bibir Sivia dan bibir Alvin yang saling berpagutan pun akhirnya
terlepas begitu saja. "Skor kita satu sama."ucap Sivia pelan sambil
diiringi senyum khasnya.
Karena masih
sangat tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya, Alvinbelum bisa
bereaksi sewajarnya. Ia hanya memandangi wajah Sivia tanpa berkedip sekali pun.
Itu tadi beneran Sivia? Astaga!
"Jadi
mulai sekarang kita resmi sahabatan lagi. Hmm... Eh, pacar juga boleh
deh." sambung Sivia seraya terkekeh kecil. Lantas melepaskan tangan Alvin
yang masih menempel di pinggangnya. Setelah itu ia melenggang pergi
meninggalkan Alvin sendirian di ujung jembatan.
Sejauh ini
Alvin masih tak merespon. Atau sepertinya Alvin bingung sendiri harus bereaksi
seperti apa sekarang ini. Senang kah? Atau malah sebaliknya? Entahlah. Yang
jelas saat ini Alvin hanya bisa menyentuh bibirnya tak percaya.
"Sivia
cium bibir gue?" gumamnya.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar