Hari ini
merupakan hari terakhir penyelenggaraan Masa Orientasi Siswa atau lebih dikenal
dengan sebutan MOS di SMA Rise NosztaHolic pada tahun ajaran baru. Dan sudah
menjadi tradisi di sekolah itu dalam penutupan MOS selalu mengadakan acara
PENSI. Di mana para peserta MOS ataupun para panitia bisa mengekspose
bakat-bakatnya didepan publik. Entah itu akting, bernyanyi, bermain musik,
membaca puisi dan mungkin masih banyak lagi. Itu sangat seru bukan?! Ya,
pastinya mengesankan.
Namun tidak
dengan Rio. Cowok jebolan SMP 2 Rise dengan nilai yang sangat fantastis itu
terlihat biasa-biasa saja. Tidak bergairah. Karena mungkin Rio memang sosok
anak yang peniam, cuek, dan sikapnya kadang susah untuk ditebak. Tetapi ia
pintar dalam bidang akademik. Tak heran kalau ia mendapat urutan pertama saat
tes masuk SMA Rise NosztaHolic yang di favoritkannya.
Di sekolah baru,
Rio belum begitu banyak mendapatkan teman. Di mana saat-saat terakhir MOS
seperti ini, siswa-siswi lain merayakannya dengan bersuka cita menikmati acara
pentas seni di sekolah tersebut. Melainkan Rio lebih memilih pulang lebih dulu
untuk beristirahat.
“Gimana MOS
terakhir ini? Mengesankan?” tanya Zahra selaku kakak kandung Rio saat dalam
mobil.
“Cukup baik.”
balasnya singkat.
“Bagus deh kalo
gitu. Sekarang loe mau langsung pulang aja atau gimana?” tawar Zahra.
“Langsung aja
kak.” jawab Rio.
“Baiklah.”
Mobil bernomor
polisi B 1210 SA itu melaju sangatlah cepat. Hening. Selama perjalanan tak ada
sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Zahra tetap fokus menatap
lika-liku jalanan yang saat itu lumayan sepi. Sedangkan Rio. Sepertinya ia
melamun. Tatapan matanya begitu kosong dan sedikit berkaca-kaca. Entah apa yang
Rio pikirkan. Sesekali Zahra melirik Rio lewat kaca spion atas. Ia menghela
napas perlahan. Mungkin Zahra tau apa yang dirasakan Rio akhir-akhir ini.
Karena dua minggu yang lalu orang tua mereka kecelakaan saat setelah mengantarkan
Rio mengikuti tes.
Mama mereka
meninggal di tempat kejadian, sedangkan
sang papa meninggal ketika dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Tragis memang.
Tapi itu sudah takdir Tuhan. Dan sejak saat itulah Rio bersikap seperti ini.
Murung. Tak banyak bicara. Beda dengan Zahra. Tapi bukan berarti Zahra tidak
merasa kehilangan orang tuanya. Zahra juga mengalami hal yang sama seperti Rio.
Ia sangat shock berat waktu mendengar kabar buruk tersebut. Namun lambat laun,
ia sudah bisa ikhlas merelakan kepergian orang tuanya. Zahra juga ingin kalau
Rio bisa melakukan hal yang sama sepertinya. Ikhlas. Dan kembali menjadi Rio
yang dulu. Rio yang ceria dan Rio yang suka bercanda. Walaupun ia tau, itu
sangat sulit buat Rio.
“Ada apa kak? Kok
ngedadak berhenti sih?” tanya Rio sedikit kaget saat mobil berhenti mendadak.
“Kakak cari tau
dulu, ya?” balas Zahra sambil membuka pintu mobil yang dikendarainya. Rio pun
sama.
Di luar, mobil
ambulance bertengger manis di depan mobil Zahra dan Rio. Panik. Suasana hati orang
yang ada di sekitar rasakan saat itu. Di dalamnya terdengar isak tangis seorang
ibu paruh baya. Sangat jelas. Dan sepertinya itu darurat.
“Permisi.
Sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu perjalanan anda. Mobil ambulance
kami sedang mengalami masalah. Sedangkan kami harus cepat-cepat ke Rumah Sakit
karena ada pasien yang serius dan butuh dirawat sekarang juga. Apakah anda bisa
bantu kami?” jelas petugas itu ke Zahra. Zahra melirik Rio tanda minta
persetujuan. Rio mengangguk pelan.
“Bisa Pak, bisa.
Silahkan!”
***
Sesampainya di
Rumah Sakit tujuan, mereka disambut dengan segera oleh pihak Rumah Sakit. Gadis
itu diangkat dan didorong menuju ruang ICU. Rio dan Zahra ikut serta
mengantarkan sang Ibu yang masih berderai air mata ke ruang ICU. Kasihan banget gadis ini, mukanya sangat
pucat. Batin Rio.
“Maaf, Bu.
Sebaiknya tunggu di luar saja. Biar kami coba menanganinya.” kata sang Dokter
lalu menutup rapat daun pintu yang berkaca itu.
“Kita tunggu di sini
aja. Ibu yang sabar ya?” kata Zahra mencoba menenangkan.
“Makasih ya,
Nak. Kalian udah mau menolong ibu dan putri ibu. Sekali lagi makasih.” ucap ibu
itu sambil menggenggam tangan Zahra.
“Iya, Bu. Saya
seneng bisa bantu Ibu.”
“Oh iya, Bu.
Kami berdua pamit dulu, ya? Udah sore nih. Kasihan adik saya baru pulang
sekolah. Mungkin udah kecapean.” lanjut Zahra sambil menunjuk ke arah Rio yang
berdiri di depan pintu melihat para Dokter yang sedang menangani gadis
tersebut.
“Iya, Nak.
Sekali lagi ibu ucapin terimakasih.”
“Sama-sama.
Semoga anak ibu cepet sembuh.”
“Aamiin…”
***
“Kak, gue ke
kamar dulu ya?” pamit Rio setelah selesai makan malam.
“Mau dianterin,
gak? Hehehe.” ledek Zahra spontan.
“Hehehe. Gak
usah lah, kaya anak kecil aja.” Rio pun pergi sambil tersenyum. Zahra ikut tersenyum
ke adiknya tersebut.
Di kamar Rio.
“Woy, siapa loe?!”
tanya Rio kaget saat sampai di kamarnya dan melihat sesosok makhluk putih dekat
jendela.
“Aaaaaaaa setaaaannn!!!”
teriaknya kemudian. CLING!!! Makhluk itu menghilang.
“Ada apa, Yo?!
Kok teriak-teriak gitu?” tanya Zahra seketika. Ia khawatir dengan keadaan Rio.
“Itu kak, di… di situ ada setan!!!” Rio menjawab gugup.
“Setan?! Mana?
Gak ada apa-apa kok.” kata Zahra seraya memeriksa kamar Rio.
“Tapi bener, di situ
tadi ada setan! Suer deh. Gak bohong!” Rio mengucek matanya.
“Ya udahlah.
Cuma perasaan loe aja kali. Kakak mau cuci piring dulu. Keseringan nonton film
horor sih.” tegas Zahra berlalu.
“Bukan gitu juga
kali, tapi tadi beneran ada setan kok. Tapi tau ah, bodo amat!” gumam Rio
sedikit menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal itu. KLEK!!! Rio menutup
pintu kamarnya. Lalu ia melangkah menuju meja belajar. Kejem dah! Auranya mistis amat. Gue merinding! batin Rio. Perlahan
ia duduk.
“Siapapun dan
apapun wujud loe? Please jangan ganggu gue. Gue kan ga pernah ada masalah sama
loe. Mau loe kuntilanak kek, tuyul kek, genderuwo kek, atau apalah itu. Gue
mohon jangan ganggu kehidupan gue.” ucap Rio menatap sekelilingnya. Tiba-tiba
angin berhembus kencang hingga menerpa gorden dan terbuka lebar. Suhu kamar Rio
menjadi hangat. Membuat bulu kuduk merinding.
Busyet
dah, serem amat! pikir Rio tambah ketakutan. Bibirnya
pucat serta tubuhnya bercucuran keringat dingin. Menurut buku titisan Empu Gandring
yang pernah dibaca Rio, semua setan pasti takut sama yang namanya mantera. Dan
Rio pun mulai berkomat-kamit. Mengikuti petuah dari buku turunan Empu Gandring
tersebut.
“Bimsalabim ka
abra-abra! Pergilah kau!” ucap Rio meniru gaya para dukun. Suasana kamar malah
tambah mencekam. Rio makin panik.
“Hong bali hong.
Enyahlah kau setan ompong! Enyah dari sini! Gue taku.” ucap Rio lagi.
“Weeeeee!!!”
ledek makhluk tadi mendadak menampakkan diri depan muka Rio. Kontan membuat Rio
tersentak kaget dan berteriak sebisa mungkin.
“Huuaaaaaaa setaaaann!!!”
teriaknya saat itu juga.
“Percuma deh ya,
mau loe teriak sekenceng apapun juga gak bakal kedengeran sama orang-orang.
Kamar ini udah gue bikin kedap suara.” oceh makhluk tersebut.
“Elo siapa?!
Terus kenapa ada di kamar gue?! Pergi… pergi loe dari sini!” usir Rio. Ia
benar-benar sangat ketakutan.
“Loe jangan takut
gitu dong! Emang gue serem ya?! Ah cemen loe!”
“Elo gak makan
manusia kan?!”
“Etdah! Masa iya
gue makan manusia? Busyet amat. Ya kagak lah! Sembarangan aja loe kalo ngomong.
Udah deh, elo jangan takut lagi sama gue. Gue bukan setan, inget ya!” jelas
makhluk itu lagi. Rio tetap ketakutan dibuatnya.
“Gimana gue gak
takut? Seumur-umur gue gak pernah lihat setan, baru kali ini doang. Please,
jangan ganggu gue. Pergi sana! Jangan balik lagi!” bentak Rio kejam.
“Woy, gue bukan
setan! Gue ini cuma...”
“Udah pergi sana
loe! Jangan ganggu gue!” Rio melempar buku-bukunya. Ya walaupun percuma juga
Rio melakukan itu, toh itu bakal tembus.
KLEK! Pintu
dibukan dan hantu itu menghilang. CLING!
“Yo, loe belum
tidur? Lho, ini buku kenapa pada berantakan gitu?” tanya Zahra heran.
“Hmm… anu kak,
tadi ada… tadi ada tikus! Ya bener, tadi ada tikus. Jadi gue timpuk deh tuh
tikus pakai buku.” jelas Rio gugup.
“Oh gitu. Ya
udah deh, nih kakak bawain susu coklat buat loe.”
“Hehehe makasih.
Taro situ aja, kak. Gue mau beresin ini dulu.”
“Jangan lupa
diminum, mumpung masih anget. Night ya, kakak tidur duluan. Udah ngantuk nih.”
pamit Zahra sambil mengacak rambut Rio pelan.
“Iya, kak. Night
too.” Rio membereskan buku-buku yang berceceran di lantai. Tak lupa juga
menutup jendela dan gorden rapat-rapat, berharap makhluk tadi tak lagi datang
menghampirinya. Setelah semuanya beres, ia meminum susu dan bergegas untuk
pergi ke alam mimpi. Mending gue
langsung tidur deh, mumpung tuh setan satu gak nongol lagi. Batin Rio.
***
“Riiiiiioooooo!!!
Mau ikut lari pagi gak?” teriak Zahra di lantai bawah.
“Lari pagi? Nggak
ah, kak! Males. Duluan aja!” balasnya ogah-ogahan. Rio yang masih memakai baju
tidur itu hendak membuka gorden berniat untuk menghirup oksigen pagi.
“Kenapa loe
kakak loe lari pagi? Dasar males!” kata seseorang tiba-tiba. Rio kembali
tersentak.
“Siapa loe?!
Jangan bercanda deh!” sontak Rio agak keras. Karena ada suara tapi tidak ada
orangnya.
“Gue bukan
siapa-siapa. Gue cuma...” lanjut sang misterius itu.
“Udah deh loe,
jangan banyak bacot! Tunjukkin diri loe sekarang!”
“Iya-iya bawel.
Tapi sebelumnya loe harus janji dulu bakal ngasih gue kesempatan buat ngomong
sesuatu sama loe. Abis itu gue gak akan ngeganggu loe lagi deh. Gimana?”
“Baiklah.
Sekarang tunjukkin diri loe! Terus ngomong, dan segera pergi dari kamar gue!”
bentak Rio lagi.
“Ebusett! Kejem
amat loe jadi manusia. Tapi tak apalah. Loe jangan takut ya? Nyantai aja, gue
gak makan manusia kok.”
“Iya.” CLING!!!!
Makhluk itu muncul 1 meter di atas kepala Rio dengan gayanya yang menyebalkan
bagi Rio.
“Sebenernya mau
loe itu apaan sih?! Gue kan gak pernah ganggu loe sebelumnya. Kenal loe juga,
nggak!” cetus Rio langsung.
“Iya deh gue
minta maaf. Puas loe?! Lagian gue ke sini cuma mau ngucapin MAKASIH doang kok,
karena elo sama kaka loe udah mau nolongin gue.” ucapnya agak sinis. Ngambek
mungkin dimarahin mulu.
“Nolongin loe?
Kapan?” heran Rio yang sedang duduk bersila ditempat tidurnya. Makhluk itu
pindah ke samping Rio.
“Ettdah! Masa
loe pikun sih?! Gue kan yang kemaren siang ditolong sama loe waktu gue sekarat
di mobil ambulance.” tegasnya jengkel.
“Elo? Gadis
itu?! Jadi, loe udah meninggal?!” Rio kaget sambil menunjuk-nunjuk muka makhluk
tersebut.
“Gue juga
bingung, gue udah meninggal apa belum.” ucapnya sambil terbang ke dekat balkon
kamar Rio.
“Maksud loe?
Udah jelas-jelas elo bisa melayang gitu. Itu tandanya loe udah meninggal. Dan
loe itu SETAN! Kenapa mesti bingung?” Rio beranjak mendekatinya.
“Tapi kenapa gue
ditolak mentah-mentah di akhirat?! Terus kalau gue setan nih ya, kenapa coba
pagi-pagi gini gue bisa muncul?! Ga masuk akal kan?” erangnya sedikit emosi.
“Hmm... iya juga
sih. Emang loe pernah ngelakuin kesalahan apa semasa masih hidup? Masa iya
Tuhan tega sama loe.” tanya Rio simpati.
“Gue? Kesalahan?
Hmm... Gue sih pengen-pengen aja cerita, tapi loe mau dengerin gue gak? Percuma
juga kan kalau gue cerita panjang lebar tapi elonya gak mau dengerin.” Kata
makhluk tersebut malas.
“Loe tuh ya
nyebelin banget sih jadi setan! Pantes aja Tuhan gak mau nerima loe.” kesal Rio
“Oke-oke gue cerita
nih! Dengerin ya! Dulu gue tuh pernah... Blablabla.” jelas makhluk bawel itu
secara panjang lebar. Rio hanya turut mendengarkan dan mengikuti alur
ceritanya.
“Jadi, loe mau
gak bantu gue?” makhluk itu mengakhiri ceritanya dengan sebuah pertanyaan.
“Hmm… gitu ya?
Tapi maaf ya gue ga bisa. Gue ga bisa bantu loe. Itu sangat sulit buat gue.”
balas Rio langsung. Makhluk itu menekuk wajahnya.
“Pleaaasssseee,
gue mohon. Karena cuma loe satu-satunya yang bisa lihat gue. Dan untuk terakhir
ini gue mohon sama loe.” ia menatap Rio penuh pengharapan.
“Tapi gue gak
bisa.”
“Hmm… ya udah
deh. Gue gak maksa. Makasih ya udah mau dengerin cerita gue. Gue harus pergi
dari sini. Mungkin di luar sana ada yang bisa bantu gue.” ucapnya sedikit
kecewa. Ia bersiap untuk terbang melayang ke arah langit.
“Tunggu! Kalau
gitu gue usahain deh. Gue mau bantu loe.” cegah Rio kemudian.
“Serius?”
“Gue serius. Oh
iya, nama loe siapa? Belum ganti nama kan?” tanya Rio.
“Aduh bego! Kita
belum kenalan dulu ya? Gila aja gue udah maen bacot-bacot aja. Bego-bego-bego!”
kagetnya sambil menepuk jidat.
“Gak apa-apa
lagi. Nyantai aja. Gue Rio. Loe siapa?” ia menjulurkan tangan.
“Gue Sivia Rain.
Cukup panggil gue Sivia atau Via. Heh, gak usah julurin tangan, kenapa? Gue kan
setan. Percuma deh loe, sampe mak lampir bisa nari ballet juga, loe ga bakal
bisa nyentuh gue.” kata Sivia cekikikan.
“Hahaha gue
lupa! Tapi akhirnya loe ngaku juga kalau loe itu emang setan. Ckckck.” ledek
Rio. Mereka pun ketawa-ketawa tidak jelas.
Sejak saat itu
Rio dan Sivia mulai berteman. Walaupun berbeda alam, tapi mereka sangat dekat.
Bahkan dekatnya melebihi tali persahabatan 2 orang manusia. Ke manapun Rio
pergi, Sivia siap sedia mengikutinya. Entah itu ke sekolah, jalan-jalan, lari
pagi, main basket, belajar, dan bahkan bermain PS pun ia tetap ada. Tapi cuma
satu yang Sivia tidak boleh ikut. Ya, ke kamar mandi. Ia dilarang keras-keras
oleh Rio supaya tidak muncul ketika Rio mandi. Lagian siapa juga yang mau ngikutin loe ke kamar mandi? Iiuuh… Najis
tralala-trilili! batin Sivia waktu mendengar peraturan tersebut.
Dan pernah suatu
hari mereka datang ke Rumah Sakit untuk menjenguk raga Sivia yang masih
terbujur kaku dan begitu pucat. Rio sempat sedih saat melihat Sivia meneteskan
air mata dekat jasadnya. Lantas itu membuat Rio ingin cepat-cepat membantu
Sivia dan menemukan seorang cowok yang bernama Alvindra Jo. Ada hubungan apa sih Alvin sama Sivia? Gue
penasaran! batin Rio.
***
“Ada yang mau
ditanyakan?” kata Bu Tia (temen gue ini
mah :D @tyataya) setelah panjang-lebar, ngalor-ngidul, dan sana-sini
menjelaskan pelajaran sejarah di kelas X.1. Bu Tia itu bisa dibilang salah satu
guru yang KILLER, bahkan THE MOST KILLER bagi siswa-siswi didiknya sendiri. Kacamata
yang dipakainya super tebal, kurang lebih 3 cm. Badannya aduhai alias gendutnya
tidak ketulungan deh. Sampai-sampai semua baju yang ia pakai jarang banget yang
muat. Dan setiap kali ia masuk ke kelas X.1, pasti sering banget membawa
seonggok buku-buku yang wajib wal kudu mereka baca dan mereka pahami saat itu
juga. Kejam amat! Tapi ya begitulah sekilas penderitaan yang dialami oleh Rio
dkk.
Suasana pun
semakin mencekam saat Bu Tia menatap tajam para siswanya. Tiba-tiba Sivia
muncul di samping tubuh aduhainya Bu Tia sambil bermelet ria. Sontak membuat
Rio kaget setengah mati. Tuh setan gak
ada kerjaan lain apa selain muncul dekat Bu Tia? pikir Rio. Sivia nyengir
dan langsung menghilang.
“Bu!” Rio
mengangkat tangan.
“Iya. Mau nanya
apa, Mario?” tanya bu Tia yang suaranya seakan menggelegar bak petir di hujan
badai.
“Anu, Bu. Sa… saya
mau ke toilet, sebentar.” Lanjutnya gugup. Sontak membuat seisi kelas mendadak
ramai. Mereka semua tertawa melihat tingkah Rio yang lucu.
“Diiiiiaaaamm!!!
Ya sudah, silahkan!” seru Bu Tia.
***
“Sivia? Sini deh
loe!” panggil Rio di dalam toilet.
“Gue di sini,
Yo!”
“Gue udah bilang
berapa kali sih sama loe? Kalau gue lagi belajar di kelas tuh jangan pernah
muncul! Gimana kalau mereka pada lihat loe?!” bentak Rio.
“Santai Yo,
santai. Abisnya gue sebel banget sama tuh guru killer. Kerjanya ngomooooonngg
mulu! Kalau nggak ngomong pasti ngomel. Ga tau apa kalau muridnya pada ngebul
gitu kaya knalpot. Percuma juga kan kalau dia ngomong panjang-lebar, tapi gak
ada yang masuk satupun ke telinga?!” oceh Sivia seakan mewakili semua murid di
alam semesta ini.
“Oh gitu ya?
Modus banget loe jadi setan! Tau gak sih kalau ocehan loe barusan itu memberi
tanda kalo loe itu mantan, mantan murid gak bener! Iya kan?! Lagian ada apa
sih? Tumben muncul ngedadak? Jangan
bilang kalau loe kangen sama gue!” tanya Rio.
“Yo, loe gak
apa-apa kan? Sama siapa di dalam?” tanya seseorang di balik pintu.
“Siapa di luar?”
“Gabriel.”
“Oh, gue gak
apa-apa kok, Yel. Sendirian. Kenapa deh?”
“Oh, baguslah.
Kalau gitu gue duluan ya? Cepetan masuk, pelajaran Bu Tia mau selesai tuh!”
balas Gabriel singkat dan ia langsung pergi.
“Makanya kalau
ngomong sama gue tuh pelan-pelan, jangan kenceng-kenceng! Sekalian aja pakai
toak masjid noh! Biar disangka orang edan sekalian. Loe mau?” lanjut Sivia.
“Gak usah banyak
bacot deh loe! Tadi mau ngomong apa ke gue?!”
“Ikut gue,
sekarang! NO BACOT!!!” Sivia menembus pintu.
Nih
setan satu bikin ribet gue aja! dumel Rio sambil jalan
sedikit gancang di belakang Sivia.
Sivia dengan
santainya melayang dua jengkal di atas lantai koridor. Semakin lama semakin
cepat. Sampai-sampai Rio kewalahan mengikutinya.
“Jangan
mentang-mentang gak pakai kaki deh loe. Gue capek, bego!” gerutu Rio. Sivia
tetap tidak menghiraukan. Sampai akhirnya Sivia berhenti dekat Taman Sekolah.
Ia tertegun. Entah apa yang ia rasakan. Di taman itu memang sepi, belum ada
siapa-siapa. Karena mungkin saat itu masih dalam jam pelajaran. Sivia menatap
tajam seseorang yang kebetulan sedang duduk sendirian di kursi. Tingginya
sekitar 170 cm-an, kulitnya putih kekuningan, rambutnya panjang, dengan mata
sedikit sipit serta hidungnya yang mancung, terlihat sedang melamun. Tampak
dari ekspresi wajahnya yang begitu datar dengan tatapan kosong. Di tangannya
memegang sebuah foto bergambarkan dirinya dengan seorang cewek cantik berambut
pendek dan senyumannya yang begitu manis. Keduanya melet ke arah kamera. Saat
itu mereka berseragam putih-biru.
“Itu siapa?
Mantan loe?” tanya Rio memecah tatapan Sivia.
“Iya.” jawabnya
lirih.
“Berarti dia
Alvin?!” tanya Rio tegas. Sivia mengangguk pelan.
“Yo, elo masih
mau bantu gue kan? Dan elo masih megang janji loe ke gue kan?” Sivia
berkaca-kaca.
“Tenang aja, Vi.
Gue masih mau kok bantu loe. Gue kan udah janji.” bales Rio. Ia melangkah
menghampiri Alvin.
“Hei, sendirian
aja?” sapa Rio sok akrab.
“Oh iya, gu... gue
lagi pengen sendiri aja kok.” balasnya sedikit kaget dan berusaha mengusap air
matanya.
“Sorry ya,
ganggu. Gue Rio.” ucap Rio yang padahal udah tau nama cowok tersebut dari
Sivia.
“Alvin.”
jawabnya sambil membalas tangan Rio.
“Itu siapa? Cewek
loe?” lanjut Rio basa-basi.
“Iya.”
“Cantik, ya? Dia
sekolah di sini juga?”
“Nggak kok, dia
gak sekolah di sini. Malahan gue gak tau keberadaan dia sekarang.” kata Alvin
mencoba membuka diri.
“Maksudnya?” tanya
Rio. Alvin terdiam.
“Sorry ya Vin, bukan
maksud gue buat ikut campur hubungan loe.”
“Gak apa-apa kok.
Nyantai aja.”
“Kalau boleh
tau, namanya siapa? Loe bisa curhat kok sama gue. Itu juga kalau loe mau.”
“Hmm... namanya
Sivia. Dia cewek yang sangat sempurna buat gue. Cantik, manis, setia, jahil,
dan apa adanya. Gue pacaran sama dia udah 3 tahun lebih. Tapi sekarang udah
putus. Jujur, gue bener-bener gak tau alasannya dia mutusin gue. Padahal gue
udah sayang banget sama dia, Yo. Bahkan gue rela ngelakuin apapun buat dia, sekalipun
nyawa gue taruhannya. Tapi percuma! Gue udah terlanjur putus sama dia, dan sejak
saat itu pula dia menghilang dari hidup gue. Gue gak tau dia di mana. Gue
kangen banget sama dia, Yo. Hehehe sorry, gue jadi curhat gini.” potong Alvin.
Rio tersenyum. Dan Sivia terlihat menangis di hadapan Alvin. Tangannya berusaha
menyentuh pipi Alvin. Tapi bagaimanapun juga ia tikan akan bisa menyentuh
Alvin. Dan Rio yang menyadari hal itu hanya berusaha agar air matanya tidak
terjatuh di pipinya.
“Maafin gue,
Vin. Gue memang salah.” lirih Sivia. Tangannya bergetar dekat muka Alvin.
“Vin, sorry ya?
Gue harus ke kelas nih. Gue lupa kalau gue lagi belajar sejarah. Loe tau
sendiri kan gimana tuh guru? Killer banget!” kata Rio. Sesekali Rio melirik
Sivia bermaksud meminta ijin ke kelas dan memberi waktu lebih buat Sivia
memadang puas wajah Alvin. Sivia mengangguk.
“Oh iya gak
apa-apa kok. Nanti loe dihukum, lagi.” balas Alvin. Rio tersenyum dan langsung
berlari ke kelasnya.
“Vi, elo di mana
sekarang? Gue kangen banget sama loe. I Miss You So Much.” gumam Alvin sambil
mencium fotonya. Sejenak angin menghembus hangat pipi Alvin. Ia tersenyum. Karena
ia juga tau kalau Sivia pun sangat merindukannya. Ia beranjak dari duduk
manisnya. Menembus tubuh Sivia yang masih menangis memandangi Alvin.
“I Miss You Too,
Alvin!” ucap Sivia. Alvin melangkah dengan tegapnya sambil mengusap air mata.
“Alvin, gue di sini!”
teriak Sivia. Alvin menengok. Mungkin ada ikatan batin kali ya. Sejenak, Sivia
tersenyum. Lalu Alvin melanjutkan langkahnya perlahan. Jleb moment!
***
“Gue seneng deh.”
kata Zahra memulai pembicaraan.
“Maksud kakak?”
balas Rio. Malam itu mereka sedang berada di balkon kamar Rio. Menikmati malam
yang indah serta ditemani teh dan camilan kesukaan mereka. Chittato.
“Ya gue seneng
aja bisa lihat loe ceria lagi kaya gini, gak murung. Gue jadi gak khawatir lagi
sama loe.” jawab Zahra.
“Oh gitu?
Ceritanya seneng nih lihat gue ceria lagi?” senggol Rio agak genit.
“Lagian siapa
sih yang gak seneng kalau lihat cowok unyu-unyu, manis, lucu, imut plus kece
tersenyum? Kaya ade gue ini. Gak nahan banget deh senyumannya.” goda Zahra. Rio
hanya menyenggol pundak kakaknya perlahan.
“Ish! Gaya loe
gembel banget, Kak. Ups, maksud gue gombal. Hahaha.” mereka cekikikan bareng.
“Gue kan belajar
ngegombal dari loe juga. Loe lupa?!”
“Hah?!
Sorry-sorry jack ya! Gue sih anti gombal. Say NO to gombal pokoknya.” timpal
Rio.
“Wew! Gaya loe,
Yo. Ya udahlah lupakan! Mending cheers dulu aja deh.” ajak Zahra sambil
mengangkat gelas yang ada di sampingnya tersebut.
“Oke, yuk!”
TRING!!! Mereka kembali tersenyum.
“Kak, gue kangen
banget sama Mama Papa.” kata Rio sambil menatap bintang.
“Gue juga kangen
banget sama mereka, Yo. Tapi loe gak usah khawatir. Gue yakin kok, mereka pasti
bangga bisa melihat kita tersenyum lagi.” balas Zahra mantap.
“Ada bintang
jatuh tuh, Kak! Make a wish yuk?” ajak Rio semangat. Dan mereka memulai make a
wishnya sambil menutup mata.
“Seneng deh
kalau lihat mereka ceria kaya gitu. Terharu gue. Jadi kepengen cepet-cepet
balik ke tubuh gue lagi. Gue kangen banget sama nyokap. Gue juga nyesel udah
pernah ngelakuin hal yang bodoh itu!” gumam Sivia yang dari tadi memperhatikan
Rio dan Zahra. Busyet deh tuh setan.
Gila kali ya senyam-senyum sendiri? batin Rio saat membuka matanya.
“Elo ngapain
disitu?! Pakai acara senyam-senyum segala lagi.” ceplos Rio tak sadar kalau di sampingnya
ada Zahra.
“Hah? Apaan?!”
respon Zahra heran.
“Eh, anu… itu,
apa? Tomcat. Ya bener, tomcat! Gue lihat tomcat senyum ke gue barusan.” kilah
Rio rada gugup.
“Ebusett! Masa
sih ada tomcat bisa senyum? Ngelantur loe ah! Ya udah deh, kakak tidur duluan
ya? Ngantuk! Besok mau kuliah pagi. Babay!” Zahra pergi ke kamarnya.
“Oke, good night
ya.” ucap Rio. Zahra mengacungkan jempol. Dan Sivia langsung mengambil alih
tempat Zahra tadi. Di samping Rio.
“Eh bego! Loe
tuh kalau ngomong jangan asal jeplak aja dong! Masa gue di samain sama TOMCAT!
Yang bener aja?!” bentak Sivia menuntut hak azasinya.
“Hahaha sorry
deh. Abisnya gue bingung mau ngeles apa lagi sama kakak gue. Lagipula kalo
dilihat-lihat nih ya, muka loe emang gak jauh beda sih sama TOMCAT. Hahaha.”
ledek Rio.
“Kurang ajar loe!
Heuh!” Sivia menggeram.
“Vi, sorry ya?”
“Buat?”
“Masalah tadi pagi
di sekolah. Gue belum bisa ajak Alvin ke rumah sakit. Soalnya gue takut kalau dia
tambah shock. Gue gak tega, Vi.” kata Rio lirih.
“Gak apa-apa kok,
Yo. Masih ada waktu besok. Ya walaupun cuma bentar.” balas Sivia pasrah.
“Maksud loe?!
Sebentar gimana?” tanya Rio heran.
“Besok itu
kesempatan terakhir gue buat minta maaf sama semua orang yang gue sayangi, Yo.”
“Hah?! Besok?!
Berarti loe gak bisa nemenin gue lagi dong?” Rio bangkit sambil menatap Sivia
tajam
“Mungkin emang
udah saatnya gue untuk pergi, Yo. Maafin gue ya, selama gue ada di sini udah
sering banget bikin loe kesel.” Sivia mendekati pembatas balkon.
“Hmm… nyantai
aja kali. Seharusnya gue yang minta maaf sama loe. Gue belum bisa mempertemukan
Alvin sama raga loe. Tapi tenang aja, Vi. Gue janji kok, besok gue bakal bawa
Alvin ke Rumah Sakit. Secepatnya!” balas Rio sangat tegas sambil menatap bulan
yang terbelah dua alias sepotong itu.
“Makasih ya, Yo.
Gka salah gue minta bantuan sama loe.”
“Hehehe gue gitu
lho! Lho, kok? Vi?! Loe di mana? Ah kebiasaan nih setan satu, sering ngilang
gitu aja! Awas loe ya, kalau muncul lagi gue jitak!” oceh Rio saat mendapati
Sivia menghilang dari posisi sebelumnya.
“Ya udahlah.
Mending gue tidur aja. Udah malem juga.” Gumamnya kemudian sembari menutup
pintu dan semua yang terbuka sekitar kamarnya. Sorry yo, bukannya gue ngilang dari hadapan loe. Kesempatan gue udah habis.
Dan gue gak bakal bisa lagi dilihat sama loe. Maafin gue. Gue harus pergi!
batin Sivia seakan menahan air mata.
***
Pagi buta.
Mentari masih enggan terbit dari persembunyiannya. Padahal saat itu jam dinding
sudah menunjuk angka 06.30. Saat itupula Rio keluar dari kamar dan turun tangga
dengan raut wajah yang tak semangat. Entah karena masih mengantuk atau apa.
Yang pasti ia terlihat sangat lesu. Sivia
kok tumben ya gak ngebangunin gue? Biasanya dia cerewet banget kalau tau gue
belum bangun. Batin Rio. Kemudian ia berjalan menuju mobil.
“Yo?” sapa Zahra
pelan.
“Hmm…” balasnya
males-malesan.
“Loe kenapa sih?
Tumben gak semangat gitu?” lanjut Zahra lagi. Rio hanya tersenyum pelit ke arah
Zahra.
“Aneh deh!”
gumam Zahra yang kemudian menyalakan mesin dan melesat cepat.
***
SMA Rise
NosztaHolic
Dalam keceriaan
kelas X.1 yang sedang asyik bermain games kelas. Tampak salah satu di antara
mereka terlihat sangat tidak menikmati permainan tersebut. Rio. Ia lebih
memilih diam ketimbang ikut nimbrung bareng teman-teman kelasnya bermain games.
Walaupun berkali-kali Gabriel mengajaknya bermain, berkali-kali itupula Rio
menolak. Entah apa yang ia pikirkan saat itu.
“Sivia?!” kata
Rio saat teringat akan sosok Sivia yang dari pagi belum muncul di hadapannya.
Rio langsung berlari keluar kelas dengan buru-buru dan memasang wajah yang
begitu cemas.
Rio berlari
mengitari tiap-tiap sudut sekolahnya. Itu membuat semua anak merasa heran
dengan tingkah Rio yang aneh. Seperti sedang dikejar-jelas waktu. Ia mendatangi
kantin, lapangan basket, lapangan futsal, kolam renang, bahkan toilet
sekalipun. Tetapi ia tetap tidak berhenti dari larinya. Sepertinya ia belum
mendapatkan apa yang ia cari.
“Ah, shit! Di
mana sih dia?!” sewot Rio pada dirinya sendiri. Kemudian ia berjalan pelan
sambil memutar otak ke mana ia harus pergi. TAMAN! Ya. Pasti dia di sana. Gak salah lagi! pikir Rio tiba-tiba.
Lalu menghentakkan kakinya jauh-jauh. Ketika sampai di suatu tempat yang
ditujunya tersebut. Di mana saat dulu ia pernah ke sana bersama Sivia. Taman
sekolah. Itu dia! Rio mendekati
seseorang tersebut.
“Ikut gue
sekarang!” kata Rio dan menarik paksa tangan orang tersebut.
“Yo, ada apaan
sih? Lepasin!” ia mencoba melepaskan tangannya. Tapi genggaman Rio lebih kuat
darinya.
“Loe harus ikut
gue, Vin. Udah saatnya loe tau semuanya!” jelas Rio sama orang itu yang ternyata
Alvin. Alvin hanya berheran ria sama ucapan Rio barusan.
***
“Udahlah, Vi.
Mereka gak mungkin datang!” gumam Sivia yang selalu menatap pintu. Berharap
Alvin dan Rio datang menjenguk jasadnya.
Di ruang ICU
terlihat seorang Dokter dan dua orang Suster sedang menatap pilu seorang gadis
yang tergeletak lemah di atas ranjang. Perlahan, mereka melepaskan alat-alat
kedokteran yang selama seminggu lebih menempel di tubuh gadis tersebut. Tak
lupa juga di samping kirinya terlihat seorang ibu sedang menangis yang
tangisannya semakin menjadi-jadi. Ia meratapi kepergian sang puteri yang
dicintainya, Sivia. Itu namanya.
Ma,
maafin Via. Via udah sering buat mama nangis, Via udah sering buat mama jengkel,
Via sayang mama. Dan Via gak mau melihat mama menangis lagi, Via ingin mama ikhlasin
kepergian Via. Please!
batin Sivia yang ternyata masih berdiri di samping jasadnya. Tiba-tiba…
BRAK!!! Pintu
terbuka sedikit keras.
“SIVIA?!” kata
Alvin. Rio menyusul di belakangnya.
“Alvin? Rio?”
kata Sivia sedikit kaget. Alvin mendekati ranjang pasien hingga menembus roh
Sivia.
“Sivia… bangun
Vi, bangun! Gue di sini. Gue sayang banget sama loe. Loe harus bangun, please!
Loe bangun, Vi!” histeris Alvin memaksa Sivia untuk bangun. Sampai tak kuasa
menahan air matanya hingga terjatuh di pipi Sivia.
“Ibu yang tabah,
ya? Mungkin ini sudah suratan takdir dari Tuhan. Ibu harus ikhlas.” ucap Rio
mencoba menenangkan mama Sivia.
“Via...” lirih
mama Sivia di pelukkan Rio.
“Via, please
bangun! Gue sayang banget sama loe.” Alvin mencium kening Sivia.
“Alvin, gue juga
sayang banget sama loe. Tapi gue harus pergi. Kita udah beda alam, gue udah meninggal.
Tapi loe harus tau kalau gu... Aaaaaaaaa!!!” teriak Sivia saat dirinya tertarik
sesuatu yang sangat kuat. Bahkan lebih sangat kuat hingga ia tak bisa
menahannya. Ssshhhttt!!!
“Eugghh!!!”
berontak Sivia. Alvin terkejut. Rio juga. Tak lupa mamanya.
“Sivia???” kaget
mereka barengan.
“Ma… ma. Alvin.
Ri... Rio!” lirih Sivia saat matanya terbuka kembali.
Sivia hidup lagi.
Mungkin kejadian itu adalah kejadian yang sangat langka. Tak biasa. Bahkan bisa
dibilang mustahil. Tapi itu kenyataannya. Sivia hidup lagi. Apa mungkin
mukjizat? Ataukah hanya sekedar kesempatan? Mungkinkah? Tapi entahlah!
“Ma, maafin Via
ya? Via udah bikin mama khawatir bahkan sampai mama nangis. Maafin Via, Via
udah tidur terlalu lama dan bikin mama terus dan terus nungguin Via di sini.
Sehingga mama jarang makan. Via sayang mama. Tapi Via mohon, mama jangan nangis
lagi. Mama harus tersenyum. Via mohon, ma.” lirih Via seraya berlinangan air
mata.
“Via, mama
sayang kamu, Nak. Mama janji, mama gak akan nangis lagi. Tapi Via harus kuat
ya?” ucap mamanya seraya membelai kepala Sivia serta mencium keningnya. Alvin
masih di samping Sivia, begitupun Rio. Mereka ikutan nangis melihat kejadian
tersebut.
“Alvin, maafin
gue ya? Gue gak pernah ngasih tau loe yang sebenernya. Karena gue sangat sayang
banget sama loe, Vin. Gue takut loe kecewa sama gue. Makanya gue mutusin loe,
gue terpaksa, Vin.” ucap Sivia sambil menggenggam erat telapak tangan Alvin.
“Kenapa Via?
Kenapa loe lakuin itu sama gue? Loe tau kan kalau gue tuh sayang banget sama
loe? Gue cinta! Terus kenapa loe gak bilang sama gue kalau loe mengidap
penyakit kanker otak?! Loe tega sama gue, Vi. Harusnya loe bilang itu dari
dulu.” balas Alvin lirih.
“Tapi Vin, gue
takut loe kecewa sama gue. Dan gue takut loe bakalan ninggalin gue. Itu lebih
sakit dari kanker ini.”
“Tapi gue lebih
kecewa kalau loe gak ngasih tau gue. Dan asal loe tau, gue gak pernah punya
niat buat ninggalin loe. Sampai kapanpun! Sekarang gue nyesel! Gue gak bisa
jaga loe, gak bisa nemenin loe saat loe seperti ini. Gue nyesel, Vi. Gue
nyesel! Please, loe harus kuat. Ada gue di sini. Dan beri kesempatan kedua gue
buat menghapus semua kesalahan gue sama loe, Vi.” Alvin memeluk erat Sivia. Rio
memeluk sang mama.
“Maafin gue,
Vin. Gue salah, gue memang salah.” balas Sivia. Alvin melepaskan pelukkannya
dan menghapus air mata yang berlinang di pipi manis Sivia.
“Rio...” lirih
Sivia lagi.
“Iya, Vi. Gue di
sini.” balas Rio menyentuh tangan kiri Sivia.
“Yo, makasih
banyak ya karena loe udah mau nolongin gue waktu gue sekarat, nemenin gue waktu
gue masih gentayangan, dan loe juga udah mau bantu gue bawa Alvin ke sini.
Sekali lagi makasih banyak ya, Yo? Tak lupa juga sama ka Zahra. Semoga kalian
bisa selalu tersenyum bahagia.” kata Sivia ke Rio.
“Iya, Vi. Gue
juga mau ucapin makasih banyak karena loe udah sering ngehibur gue, nemenin gue
ke manapun. Loe sering ngasih gue omelan-omelan yang baik. Tapi yang terpenting
buat gue adalah, loe udah mengembalikan senyum gue yang pernah terkubur
dalam-dalam semenjak bokap nyokap gue meninggal.” balas Rio. Alvin tersenyum
tenang.
“Gue seneng
banget Yo bisa temenan sama loe. Walaupun kita beda alam, tapi gue merasa
nyaman kalau gue berada di dekat loe.” Sivia tersenyum dan kemudian melirik
matanya ke sang mama.
“Mama, mama yang
ikhlas ya? Mama harus relain Via pergi. Mama jangan nangis lagi. Via sayang
mama.”
“Via, mama gak
akan nangis lagi kok. Mama ikhlas, Nak. Kamu harus kuat menjalani cobaan ini.
Mama sayang kamu.” ciuman hangat mendarat di kening Sivia.
“Yo, gue mohon
ikhlasin gue ya? Jangan murung lagi! Gue tau loe orangnya ceria. Gue juga
sayang sama loe.”
“Iya, Vi. Tapi
loe harus kuat. Gue yakin loe pasti kuat!” Rio membelai lembut tangan Sivia dan
mencoba memberi semangat padanya.
“Vin…”
“Iya, Vi.” jawab
Alvin. Ia membelai kepala Sivia lagi. Sivia berusaha untuk menyentuh pipi Alvin
yang berjarak sekitar 30 cm-an dari tangannya.
“Gu… gue sayang
banget sama loe, Vin. Please, loe ja... jangan nangis lagi. Loe… loe harus
ikhlasin gu...gue, Vin. Maafin semua kesalahan gue ya? Via sa... sayang banget
sama ka... kalian se… semua. Ja… jangan na... nangis la…lagi!!!” tangan Sivia
terjatuh lemas sebelum sampai menyentuh pipi Alvin.
“Vi… Viiiaaa!!!
Jangan tinggalin gue, Vi!” histeris Alvin.
“Via…” rintih
sang mama.
“Siviaaa…”
lanjut Rio pelan.
Senyuman manis
terbesit di bibir Sivia. Ia begitu beruntung sekali di saat-saat terakhirnya,
ia masih bisa untuk meminta maaf dan mengucap kata terimakasih pada semua orang
yang disayanginya. Mama, Alvin dan Rio mengalirkan butiran-butiran bening di
mata mereka. Mereka menangis bukan karena Sivia meninggal. Melainkan mereka
menangis karena bangga dan bahagia karena Sivia masih bisa tersenyum di akhir
hayatnya itu.
Dan saat itulah
muncul dua sosok makhluk putih yang menggandeng Sivia beranjak dari jasadnya.
Rio kaget melihat hal tersebut. Karena makhluk putih itu adalah sosok kedua
orang tuanya. Mereka tersenyum ke arah Rio begitupun Sivia. Rio hendak
memanggil. Namun mereka sudah melayang tinggi dan melenyap seketika. Rio hanya
bisa tersenyum dan bangga pada dirinya karena sudah bisa mengikhlaskan
kepergian Sivia dan kedua orang tuanya. I Love You, Ma. I Love You, Pa. Rio sayang sama kalian. Dan buat loe, Sivia? Gue janji
bakal inget loe terus. I Love You, Friend!
batin Rio sambil tersenyum.
Seketika itu
terhirup wangi anggrek (bunga kesukaan Sivia) selama 5 menit di ruang ICU.
Mama, Alvin dan Rio saling berangkulan. Dan mereka tersenyum manis. Mencoba
mengikhlaskan kepergian Sivia.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar