@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Senin, 27 Agustus 2012

Berteman Saja [AlVia Version]

Sering kali ku melihat
Kau curi-curi pandang ke arah diriku



Bel istirahat terdengar nyaring berbunyi. Sontak membuat semua siswa berhamburan bak segerombolan kelelawar yang mencari makan saat malam tiba. Sedetik, setiap titik sudut sekolah sudah terisi penuh dengan berbagai aktifitasnya masing-masing. Entah itu cuma sekedar duduk sambil memandangi orang-orang lewat, ngobrol-ngobrol di kursi taman, bermain basket dan futsal bagi segelintir cowok-cowok yang menggilainya, dan bahkan ada juga yang cuma iseng-iseng saja jalan-jalan menyusuri koridor kelas. Rutinnya, setiap pukul 10 pagi tiba, kantin SMP Harapan 1 yang cukup luas dan bersih itu mendadak berubah menjadi pasar sayur yang selalu dipenuhi para konsumennya, penuh sesak. Karena mungkin kantinlah yang merupakan tempat paling menyenangkan setelah perpustakaan, apalagi suasananya yang masih asri, bersih dan nyaman. Bakalan betah deh di kantin.

Dipojok kanan kantin, tepatnya dekat penjual siomay. Via dan Prissy, dua orang sahabat yang sejak Play Group hingga sekarang selalu sekelas itu sedang asyik menikmati seporsi siomay dan es teh manisnya. Di tempat ini memang sudah menjadi daerah kekuasaan mereka. Selain adem, nyaman dan bersih, juga merupakan tempat yang paling strategis untuk ngobrolin一lebih tepatnya meledek keunikan orang-orang ketika sedang menyantap makanannya. Itu adalah hal yang tepat untuk menghilangkan penat akibat pelajaran yang cukup menyita otak, menurut mereka. Di kelas, Via adalah siswa yang phobia sama yang namanya Matematika, ia lebih suka pelajaran Bahasa Inggris. Dan bertolak belakang dengan sahabatnya, Prissy. Meski berbeda kesukaan, mereka tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan mereka menjadi lebih akrab dengan adanya perbedaan.
“Gokil! Tadi seru banget ulangannya. Tumben-tumbenan Bu Eva ngasih soal segampang itu.” ucap Prissy heboh. Lantas membuat Via tersedak mendengarnya dan kewalahan mencari minum. Bukan karena kaget dengan ucapan Prissy, melainkan shock dengan statement sahabatnya yang bilang “Ngasih soal segampang itu.”
“Loe sinting kali, ya?! Segitu dibilang gampang?! Gue sih boro-boro ngerti. Tadi gue sehidup semati ngerjainnya, tauk!” oceh Via setelah berhasil meneguk es teh manisnya.
“Gampang, tauk, Vi! Buktinya gue bisa semua. Itu sih elonya aja yang... maaf, oon! Hehehe.” ledek Prissy sedikit hati-hati, takut menyinggung perasaan Via. Maklum, Via terkadang suka sensitif.
“Sialan! Gini-gini juga gue pernah juara kelas!”
“Iya, gue tahu! Tapi itukan dulu, waktu kelas satu SD.” ledeknya lagi sembari mengambil sesendok siomay di piring Via.
“Setidaknya gue pernah jadi juara kelas. Daripada elo, belum, kan?” balas Via enteng. Prissy memajukan bibirnya beberapa senti.
“Bentar deh, Vi! Kayaknya ada yang aneh,一” spontan Prissy dengan mendekatkan mukanya ke Via. Via mengernyitkan dahi, bingung.
“... gue perhatikan dari tadi nih ya, tuh cowok ngelihatin loe terus, deh. Loe kenal sama dia, Vi?” tanya Prissy sambil mengisyaratkan bola matanya.

Cowok oriental yang sedang duduk sekitar sepuluh meter dari tempat Via dan Prissy duduk, seakan merasa ketahuan kalau dia sejak tadi memandangi Via, cowok itu memalingkan wajahnya dan berpura-pura mengobrol dengan salah seorang temannya yang juga duduk di meja yang sama.
“Mana? Nggak, ah! Perasaan loe aja, kali.” Via mengikuti arah pandangan Prissy.
“Seriusan, Vi! Dari tadi ngelihatin loe mulu, tauk! Apa jangan-jangan dia suka sama loe deh, Vi?” goda Prissy rada berbisik.
“Ah, ngaco loe! Kenal juga, nggak!” tukas Via. Prissy malah nyengir gak jelas.
“Tapi kalau emang beneran suka, gimana? Hehehe.” cecar Prissy semakin memojokkan Via. Membuat sahabatnya itu menjadi ilfeel.
“Tauk, ah! Ayo balik!” Via melangkahkan kakinya setelah sebelumnya membayar dua porsi siomay yang tadi disantapnya itu.
“Bentaran, gue mau minum dulu. Via... Via!” teriak Prissy melihat Via semakin jauh melangkahkan kakinya.
“Ibu, Prissy ke kelas dulu, ya? Besok janji deh ke sini lagi. Babay!” pamitnya ke Ibu tukang siomay.
“Iya Non, hati-hati!” jawabnya walaupun masih sibuk membereskan mejanya yang banyak dengan piring kotor.

***


Via membalikkan badannya. “Kok gue salting gini, sih?! Lagian kenapa sih tuh anak lihatin gue mulu?!” gumamnya kesal saat menyadari ada seseorang yang memandangnya dari jauh.
“Via! Loe kenapa, sih? Gue panggil-panggil malah diam mulu!” tanya Prissy heran.
“Oh... iya, Pris, kenapa?” respon Via gelagapan. Kaget.
“Jam olahraga sudah mau selesai. Kita disuruh kumpul di sana sama Pak Joe.” Prissy menarik tangan Via. Orang aneh! batinnya, masih tetap memandangi orang yang tadi memperhatikannya.
“Pris! Bentaran, ya. Gue ke toilet dulu.” pinta Via sesampainya di tempat tujuan.
“Kemana loe? Jangan lama-lama!” cerewet Prissy.
“Tenang aja, Pris! Cuma setengah jam, kok.” jawab Via enteng.

Di koridor, langkah Via semakin cepat. Matanya sangat serius menyelidik tempat-tempat yang ia lewati. Ternyata Via bukan pergi ke toilet, melainkan sedang mencari seseorang yang sudah seminggu ini membuatnya risih. Tuh dia! batin Via saat menemukan orang yang dicarinya.
“Hei, tunggu!” teriaknya. Orang tersebut menengok, ekspresi mukanya seakan terkejut saat melihat Via lah orang yang memanggilnya.
“Hai! Maaf ya sebelumnya, gue sudah ganggu. Eum... gue mau nanya, loe ada perlu apa ya, sama gue? Perasaan akhir-akhir ini gue sering banget ngelihat loe lagi mata-matain semua gerak-gerik gue. Bukannya gue ge-er ya, cuman gue risih aja kalau terus-terusan dilihatin loe dari jauh. Serasa jadi buronan, gitu.” kata Via rinci一terkesan to the point. Orang tersebut hanya tersenyum. Sangat manis.
“Maaf juga ya, sebelumnya. Gue gak ada maksud apa-apa, kok. Apalagi punya niat buat mata-matain loe. Cuman... gue, gue senang aja kalau lihatin loe dari jauh. Loe itu unik!一” jawab orang tersebut, jujur. Via mengembungkan kedua pipinya, memaklumi.
“... nama gue Alvin!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan kanannya.
“Via!” balas Via singkat sambil menjabat tangan Alvin.

***


Menggodaku...
Bikin ku malu...
Titip salam lewat semua teman-temanku



“Hai!” sapa Alvin sambil melambaikan telapak tangannya ketika Via dan Prissy lewat di depan kelasnya.
“Hai Alvin!” balas Prissy dengan melempar senyumnya ke semua teman-teman Alvin.
“Prissy! Loe jangan keganjenan gitu, deh!” bisik Via pelan, namun penuh penekanan. Kemudian Via hanya tersenyum hambar ke arah Alvin dengan terus menggandeng Prissy agar tetap melangkah ke tempat tujuan awalnya, kantin.
“Sakit tauk, Vi! Loe kenapa, sih?!” protes Prissy ke Via yang tadi mencubitnya waktu lewat kelas Alvin.
“Sudah deh, gak usah banyak omong!”

Seperti biasa, Via dan Prissy mendatangi tukang siomay yang sudah menjadi langganan mereka.
“Vi, Alvin itu cakep gak, sih?” tanya Prissy ditengah-tengah makannya.
“Gak tahu!” jawab Via enteng.
“Ish! Nyebelin. Seriusan!”
“Menurut loe aja gimana?” tanya balik Via.
“Menurut gue sih Alvin itu cakep, cool, cuek, manis, pokoknya perfect deh!一” jawab Prissy seakan membayangkan sosok Alvin di pikirannya.
“… Menurut loe sih, Vi? Gimana?”
“Samain aja deh sama pernyataan loe tadi.” jawab Via datar一lebih tepatnya sih enggan ngebahas soal tersebut.
“Eh! Alvin ke sini tuh, Vi!” heboh Prissy.
“Bodoh, ah! Mau ke sini kek, enggak kek!” jawab Via enteng.
“Gue boleh gabung, gak?” ijin Alvin ke Via dan Prissy.
“Boleh kok, Vin. Duduk aja!” kata Prissy semangat.
“Makasih!”
“Sendirian, Vin?” tanya Via, tetap sibuk dengan siomaynya.
“Lagi pengen sendiri aja. Kenapa, gitu?”
“Gak apa-apa, nanya aja.”
“Oya, Vin! Ngomong-ngomong tipe cewek loe kayak gimana?” serobot Prissy, kepo.
“Eum... kayak gimana, ya? Pengennya?” tanya balik Alvin. Mendadak, Via terkekeh mendengarnya. Apalagi saat melihat ekspresi muka Prissy yang cengo.
“Emang enak! Hahaha.” ledek Via.
“Ih, Alvin! Seriusan, dong!” tukas Prissy.
“Hehehe... sorry! Tipe cewek gue, ya? Eum... simpel kok, gak muluk-muluk. Gue lebih suka cewek yang... kayak Via, unik!一” ucap Alvin spontan. Lagi, Via tersedak. Prissy pun ikut terkejut dengan kata-kata Alvin.
“... maksud gue, gue suka cewek yang mempunyai sifat unik, yang cewek-cewek lain gak punya. Gitu...” sambungnya saat melihat ekspresi muka kedua orang di depannya. Maksudnya apaan, sih? umpat Via dalam hati.
“Oh... gitu maksudnya.” respon Prissy singkat. Sontak membuat muka Via berubah menjadi merah jambu. Bukan karena kata-kata Alvin barusan, melainkan tatapan bola mata Alvin yang terus memandangnya lekat dengan seulas senyum.

***


Dua minggu yang lalu mereka一Alvin dan Via kenalan, dua minggu itu pula Via selalu dibuat salting oleh sikap Alvin yang terbilang tidak biasa. Acapkali Via dan Prissy lewat ke kelas Alvin, selalu saja mereka mendapatkan senyuman termanis dan sapaan halus dari Alvin yang kontan membuat hati Via dan Prissy dag-dig-dug gak jelas一terlebih Via. Sekilas, mungkin hal itu sangat wajar untuk seorang teman. Tapi yang ini beda, Via melihat ada seberkas cahaya cinta di pelupuk mata Alvin dikala Alvin menatapnya. Lensa matanya selalu bersinar, memancarkan tujuh warna pelangi ke mata Via.
“Vi, tadi si Alvin nanyain loe, tuh!” kata Prissy yang baru datang dan langsung duduk di samping Via.
“Oh, ya?” responnya tanpa sedikitpun melirik Prissy. Via sibuk berkutat dengan PR Kimia yang belum dikerjakannya.
“Iya. Dia nanya kenapa gue gak bareng sama loe.” lanjut Prissy yang kini matanya mengikuti laju jemari Via di atas buku tulisnya.
“Kurang kerjaan! Gitu aja ditanyain.”
“Itu namanya perhatian, Via!” Prissy menyenggol pundak Via pelan.
“Perhatian?一” Via menatap Prissy heran.
“... Emang Alvin siapa gue?” sambungnya sesantai mungkin.
“Astaga, Vi! Jangan-jangan一” heboh Prissy seakan menyadari sesuatu yang selama ini gak pernah terpikirkan olehnya. Dan belum sempat Prissy melanjutkan kalimatnya, Ify一teman ekskul Via dan Prissy datang menghampiri mereka.
“Vi, gue dapet titipan nih buat loe.” kata Ify sambil menyodorkan kotak kecil berwarna merah muda ke Via. Dahi Via mengernyit seketika, tak lupa juga Prissy.
“Titipan? Dari siapa, Fy?” tanyanya heran. Ia menatap kotak itu dan melirik ke arah Prissy dan Ify bergantian.
“Gue juga gak tahu, Vi. Tadi kan gue dari kantin, terus ada dua orang cowok yang ngasih ini ke gue, katanya sih nitip buat elo.一” jelas Ify rinci.
“... Tapi roman-romannya sih mereka juga kayak ketitipan lagi, gitu?” sambung Ify memperjelas.
“Kira-kira dari siapa, ya?” Prissy memainkan telunjuknya di dagu, berlagak mikir.
“Terus mereka bilang apa aja sama loe, Fy?” tanya Via一lagi masih penasaran.
“Kalau gak salah sih mereka juga nitip salam buat loe. Sudah, itu aja.” jawabnya mantap.
“Oh... kalau gitu makasih banyak ya, Fy!” ucap Via tulus. Ify tersenyum.
“Iya, sama-sama. Gue balik ke kelas dulu ya, Vi, Pris? Kasihan Shilla lagi nunggu di luar. Babay!” pamit Ify yang langsung melangkah pergi menyusul Shilla一teman sekelas Ify yang mengantarnya ke kelas Via dan Prissy.
“Hati-hati ya, Fy!” kata Prissy dan Via berbarengan.
“Oke!” ceplosnya mantap sambil mengacungkan jempol. Shilla ikut tersenyum seakan bilang ke Via dan Prissy kalau dia juga pamit untuk ke kelas.
“Dari siapa ya, Vi?” tanya Prissy sambil kembali melirik kotak di tangan Via.
“Bentar, gue buka dulu!” Via membuka kotak itu secara perlahan.
“Kalung?” gumam Prissy saat Via mengambil sesuatu yang ada di dalam kotak tersebut.
“Ini dari Alvin, Pris!” kaget Via tegas.

***


Kau bilang kau suka padaku
Aku hargai itu...



Sabtu sore, matahari disertai lembayung senja bersembunyi dibalik guratan awan yang sedikit terlihat pekat. Pohon-pohon kelapa mematung, diam, seakan raja angin telah lelah menghembuskan sejuk udaranya ke bumi. Beriak air laut pun sedikit melemah dan hampir tak terlihat di permukaan. Warna birunya sedikit tertutupi oleh hamparan oranye yang menyelimuti di atasnya. Hening. Suasananya benar-benar damai. Meskipun sunyi, keindahan alam seakan setia menampakkan dirinya untuk menghibur dua pasang mata yang kini sedang berdiri menatap satu titik di ujung sana.

Alvin mengajak Via ke pantai yang tak jauh dari tempat mereka berkemah. Karena hari ini sekolah mereka sedang mengadakan Persami一Perkemahan Sabtu Minggu yang rutin diadakan setahun sekali pada tanggal 14 Agustus untuk ikut memperingati ulang tahun Pramuka yang cukup berprestasi di Sekolah Harapan 1. Sejenak, Via membiarkan kakinya tersapu oleh ombak yang begitu dingin hingga merambat ke seluruh tubuhnya.
“Ini indah banget, Vin! Kok elo bisa tahu kalau di sini ada tempat seindah ini, sih?” tanya Via dengan menatap Alvin yang berdiri di belakangnya.
“Sebelumnya gue sudah pernah ke sini, Vi. Dan menurut gue pun sama dengan pendapat loe barusan. Pantai ini adalah pemandangan terindah yang pernah gue temui seumur hidup.” jawab Alvin seraya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Via. Mereka terlalu kagum menikmati setiap titik alam yang mempesona ini.
“Oh... terus, maksud loe ngajak gue ke sini? Kenapa?” tanya Via一lagi. Kali ini ia menatap semu wajah cowok di sampingnya.
“Eum... gak apa-apa. Gue cuma pengen ngajak loe aja. Lagian kan sayang kalau tempat seindah ini cuma gue aja yang tahu. Makanya gue ajak loe.” jawab Alvin enteng. Aneh! batin Via. Lalu ia kembali menatap matahari yang kini tinggal sepenggal terbenam.
“Kenapa loe gak ngajak Prissy dan yang lainnya? Pasti mereka juga bakal senang deh melihat semua ini. Apalagi, menyaksikan matahari terbenam yang menakjubkan.” Alvin terenyuh. Ia belum mau menjawab pertanyaan Via. Hening. Untuk beberapa menit tak ada suara yang menyeruak diantara Alvin dan Via. Yang terdengar hanyalah detak jantung mereka berdua yang semakin seirama. Sejenak, Alvin memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
“... itu karena, aku cuma ingin kamu seorang, Vi! Dan aku hanya ingin kamulah satu-satunya cewek yang harus tahu tempat ini terlebih dulu ketimbang cewek-cewek lain.” jawab Alvin spontan, namun terdengar tulus di telingan Via. Via menatap Alvin lekat, ia bingung dengan perubahan bahasa Alvin yang tadinya gue-elo menjadi aku-kamu. Dan lagi, Via terus memandang wajah Alvin seakan berharap kelanjutan dari kata-kata Alvin barusan.
“Tempat ini indah, sejuk, asri dan pastinya nyaman. Dan lagi, yang seharusnya kamu tahu, semua perasaan itu selalu hadir disaat aku dekat dengan kamu, Vi. Entah kenapa?” jelas Alvin dengan tanpa sedikitpun menatap mata Via. Via terus menatap Alvin lekat.
“Loe lagi bercanda, kan, Vin? Gak lucu, ah! Balik ke tenda, yuk? Sudah mau malam nih, takut pada nyariin.” ajak Via sambil menyentuh pundak Alvin dan berjalan perlahan meninggalkannya. Alvin termangu, menarik napasnya panjang-panjang. Kemudian ia mengikuti Via dari belakang.

***


Bintang bertaburan. Sepoi angin malam menusuk pori-pori kulit. Dingin. Namun kehangatan mulai terasa dikala api unggun membara terang di tengah-tengah lingkaran manusia yang saling berpegangan tangan. Mata mereka bersinar memantulkan cahaya api malam itu. Alunan melodi gitar pun ikut memeriahkan suasana sekitar serta diselingkan lagu-lagu remaja yang menggema. Meskipun sebagian dari mereka ada juga yang menghindar dari alunan musik teman-temannya dan lebih memilih menyendiri di tenda atau hanya sekedar mengobrol berdua di tempat lain. Seperti biasa, layaknya di sekolah.
“Vi, loe bawa sarung tangan dua, gak?” tanya Prissy ke Via yang sedang duduk di depan tenda ditemani segelas kopi susu yang baru dibuatnya.
“Kayaknya bawa, deh. Ambil aja di tas gue, Pris!” jawab Via.
“Sip! Thanks, ya!”
“Oke. Apa sih yang enggak buat my barbie? Hehehe.” balas Via agak lebay. Tiba-tiba, tangan Via seakan ada yang menarik. Perlahan, namun pasti.

Via terkesiap. Awalnya ia hendak berteriak, namun niatnya terhenti ketika mengetahui kalau orang yang menariknya itu adalah Alvin. Ada apa lagi sih, Vin? Loe tuh sering bikin gue penasaran, deh! umpat Via dalam hati. Namun, Via sengaja tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia membiarkan Alvin menarik tangannya. Meski ia harus bertanya-tanya kemana Alvin akan membawanya?

Alvin berhenti di tempat yang pernah ia kunjungi bersama Via sore tadi. Dilepaskannya tangan Via perlahan, namun langkahnya terus bergerak meskipun sapuan air laut membasahi celana panjangnya. Via termangu, mengeluarkan ekspresi kagumnya saat melihat betapa eloknya sang bulan yang membentang bebas di atas lautan. Gagah. Berkilau. Bersinar terang. Air laut yang biru pun seakan bersemu putih menyerap sinar lampion raksasa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa itu. Pohon-pohon kelapa yang sempat membisu cukup lamapun dengan lihainya bergerak memberikan sentuhan halus ke kulit ari. Serta ombak kecil yang semakin malam semakin melebar itu ikut serta memberi kedamaian di sekitar pantai. Wajah Alvin berseri, ia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
“Ini lebih mengagumkan dari yang tadi sore, Vin!” ucap Via yang ikut mematung di pinggir Alvin. Lalu, mereka pun duduk berniat untuk sejenak menikmati terangnya bulan serta hangatnya angin malam yang tidak begitu kencang berhembus. Tak perduli meski celana mereka terkena sapuan ombak-ombak kecil yang menghampirinya.

***


Kilauan oranye api unggun mulai memudar. Namun hangatnya masih menguasai sekitar tenda. Sedangkan penghuninya masih menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas masing-masing.
“Fy, loe lihat Via, gak?” tanya Prissy ke Ify yang lagi ngumpul sambil nyanyi-nyanyi bareng anak-anak pramuka yang lain.
“Via? Gue gak lihat, Pris. Emangnya Via ke mana? Kan biasanya berdua mulu sama loe?” tanya balik Ify.
“Gue juga gak tahu, Fy. Makanya gue nanya ke elo, kirain gue tuh elo tahu Via dimana.” ucap Prissy. Ify menggeleng.
“Ada apa sih, Fy?” tanya cowok di sebelah Ify.
“Ini, teman gue lagi nyari sahabatnya.” jawab Ify mantap. Orang tersebut menatap Prissy sejenak.
“Oh... yang tadi duduk di tenda itu, bukan?” tanya Gabriel一cowok tadi dengan menunjuk tenda Via dan Prissy.
“Iya, betul! Loe tahu gak, dia ke mana?” Prissy mengalihkan pandangannya ke Gabriel.
“Kalau gak salah tadi tuh lari ke sana, bareng Alvin!” Gabriel menunjuk arah yang tadi dilalui Alvin dan Via.
“Hah? Alvin?! Mau kemana, ya? Eum... ya sudah, makasih ya! Kalau gitu gue ke tenda dulu.” pamit Prissy. Tapi, belum sempat ia melangkah, tangannya dipegang Gabriel.
“Mau ke mana? Kenapa gak gabung dulu aja bareng kita-kita?” tawar Gabriel ikut berdiri di hadapan Prissy.
“Nggak, ah! Dingin. Gue gak kuat kalau di luar lama-lama.” balas Prissy pelan.
 “Emangnya loe gak bawa sarung tangan?” tanya Gabriel saat melihat tangan Prissy yang terus-terusan mengepal kedinginan.

“Gue lupa bawa. Tadi kan gue sempat minjam ke Via, katanya sih ada di tas, pas dicari malah gak ada. Makanya gue nyariin dia.” jelasnya sambil berjalan pelan. Gabriel juga mengikutinya dari samping.
“Gue bawa dua tuh, loe mau minjam?” tawar Gabriel disertai senyum khasnya.
“Eum... boleh!” terima Prissy dengan membalas senyum Gabriel.
“Bentar ya, gue ambil dulu di tenda.” Gabriel berlari kecil menuju tendanya. Tanpa sadar, Prissy terus-terusan memandangi punggung cowok yang belum dikenalnya itu dengan mata berbinar. Baik banget, sih? batinnya.

Beberapa detik kemudian, “Sorry lama. Nih sarung tangannya!” kata Gabriel setelah sampai di hadapan Prissy.
“Makasih, ya!” Prissy meraihnya dan segera memakai sarung tangan tersebut.
“Eum... nama loe siapa?一” tanya Gabriel canggung.
“... Gue Gabriel!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan.
“Prissy!”
“Nama yang cantik! Seperti orangnya.” goda Gabriel yang sukses membuat pipi bakpao Prissy memerah jambu.
“Ih bisa aja, deh.” ucapnya sambil memalingkan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.
“Seriusan! Gak bohong!” yakin Gabriel.
“Gombal, nih? Eum... ngomong-ngomong Via sama Alvin ke mana, ya? Kebiasaan deh ngilang gitu aja!” Prissy menatap bulan yang saat itu sudah cukup meninggi.
“Gue juga gak tau, Pris.一” jawab Gabriel. Sesaat, hening mulai mengembara untuk beberapa detik.
“Bulannya cantik, ya?” tanya Gabriel seakan tak ada lagi pertanyaan yang lebih penting.
“Iya. Jarang-jarang bisa lihat bulan seindah ini.” jawab Prissy kagum.
“Gue sih sering banget lihat kayak beginian. Hampir tiap hari, malah.”
“Oh, ya? Kok bisa?” Prissy menatap Gabriel kaget.
“Ya... soalnya di rumah gue ada lukisan bulan yang persis kayak gini. Hehehe.” jawabnya dibarengi dengan ketawa yang lucu.
“Ih, kirain beneran. Ada-ada aja loe, Yel.”
“Eum... Prissy! Kalau boleh tahu, loe sudah punya一”
“Iel! Prissy! Mau ikut foto-foto, gak? Ayo sini!” teriak Ify di tengah kerumunan orang-orang di dekat bara api unggun. Saat itu pula, Gabriel mengembuskan napas panjangnya. Gugup.
Pertanyaan terberat yang hendak diucapkannya itu telah terpotong oleh panggilan Ify yang kurang bersahabat.
“Bentar, Fy! Gue ikutan! ... Ayo, Yel! Mau ikut foto-foto, gak?” tawar Prissy dengan membantu Gabriel bangun. Terpaksa Gabriel mengikuti Prissy yang lebih dulu pergi setelah menarik tangannya untuk bangun. Ia menggaruk kepala belakangnya yang gak gatal itu.
“Loe sudah punya pacar, belum, Pris?” gumam Gabriel dengan menatap punggung Prissy. Galau.

***


Mereka berdua bangun dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ternyata ombak yang menyapu pantai sudah semakin meninggi. Angin malam pun semakin kencang berhembus. Gelombang pasang telah tiba.
“Kita balik ke tenda yuk, Vin? Anak-anak yang lain takut pada nyariin.” ajak Via. Alvin tak merespon. Ia masih enggan meninggalkan pantai itu. Terlalu disayangkan.
“Gue duluan ya, Vin?” sambung Via saat menyadari kalau Alvin tak berkata apa-apa. Ia pun melangkah pergi meninggalkannya sendirian.
“Vi? Jangan pergi! Aku mohon,一” panggil Alvin pelan. Tetapi jelas terdengar di telinga Via.
“... Aku, aku sudah tidak tahan lagi dengan perasaan ini, Vi. Terlalu sulit untukku memendam perasaan yang indah ini terlalu lama.” Via tergelak, tak bisa mengerti dengan ucapan Alvin barusan. Ia pun melangkah mendekati Alvin yang masih terpaku dengan kakinya yang terus-terusan tersapu ombak.
“Maksud kamu apa, Vin? Aku gak ngerti.” dilihatnya mata Alvin yang berbinar seakan memantulkan cahaya bulan ke bola matanya.
“Aku... aku cinta sama kamu, Vi! Aku sayang! Dan aku gak bisa jauh dari kamu. Sudah lama, sejak pertama kali aku ketemu kamu, aku begitu mengaggumimu, Vi. Entah kenapa, semua yang aku lihat dari kamu dan semua yang aku rasakan saat melihatmu, itu membuatku merasa bahagia. Via... entah kenapa, setelah mengenal kamu lebih dekat dan bisa masuk ke dalam kehidupan kamu lebih jauh, aku merasakan kebahagiaan yang benar-benar belum pernah aku rasakan sebelumnya.一” jelas Alvin jujur. Kali ini nasibnya ia pasrahkan di hadapan Via一gadis yang selama ini ia kagumi dan ia cintai.
“... Via, maukah kamu jadi pacarku?” tembak Alvin seraya menggenggam tangan Via dan berlutut di hadapannya.
“Vin...一” lirih Via diiringi dengan tarikan napas yang begitu berat.
“... Maaf sebelumnya, bukannya aku gak pernah tahu akan perubahan sikap kamu ke aku itu didasari adanya perasaan suka ataupun cinta. Aku hanya berharap gak tahu itu semua, Vin. Aku takut itu hanya ge-er ku semata.一” Via mengangkat tangan Alvin agar berdiri.
“... Dan malam ini, aku sudah tahu semuanya. Dugaanku benar, kamu memang suka sama aku, bahkan bukan cuma suka, tapi cinta. Alvin... maafin aku, ya? Aku hargai kok perasaan kamu dan aku acungkan jempol karena kamu sudah mempunyai keberanian buat nembak aku. Cuman, aku gak bisa terima kamu! Aku belum mau pacaran, Vin. Aku pengen serius sekolah dulu.” terpaksa Via melepaskan genggaman Alvin dan membelakanginya. Maksud Via cuma satu, ia gak kuasa melihat kekecewaan yang terpancar dari raut wajah Alvin.
“Eum... gak apa-apa kok, aku ngerti. Lagian aku juga gak maksa kamu buat jadi pacar aku. Itu hak kamu, Vi!” lirih Alvin.
“Maafin aku, Vin!” suara Via melemah. Alvin tersenyum.
“Via... aku boleh minta sesuatu, gak? Untuk kali ini aja.” pinta Alvin tiba-tiba. Via membalikkan badannya.
Anything for you, Alvin.”
“Makasih, ya. Eum... aku, aku cuma ingin kamu peluk aku, walaupun cuma sebentar. Aku mohon,” ucapnya penuh harapan. Sedetik, tubuh Via mendarat dipelukkan Alvin. Erat.
“Kita masih bisa berteman, kan?” tanya Via dalam pelukkan.
“Selalu... apapun yang terjadi, aku pasti ada untukmu!” jawab Alvin mantap. Mendengar itu, Via semakin erat memeluknya. Seakan gak mau kehilangan Alvin, begitupun sebaliknya.

Di langit, bintang-bintang ikut berseri. Sang bulan pun tersenyum melihat mereka berdua. Alvin dan Via.


Kita masih sangat muda
Belum waktunya...
Sekolah saja dulu raih cita-cita
Urusan pacaran tak usah sekarang
Kita BERTEMAN SAJA...




The End. Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Jumat, 10 Agustus 2012

The Viagers


The Viagers adalah sebuah geng yang cukup disegani di Kampus Dirgantara. Gengnya yang terdiri dari dua orang cewek-cewek cantik tetapi macho tersebut memang tidak usah diragukan lagi dalam hal tawuran, berantem, gulat dan sebangsanya. Sebagai preman pembela kebenaran, mereka merupakan idola baru bagi cewek-cewek di kampusnya. Visinya yang berbunyi “Cowok brengsek harus lenyap di muka bumi ini!” tersebut memberi napas lega bagi korban cowok-cowok brengsek yang sering terjadi di kampus mereka. Keren, kan?!

Dilihat dari segi fisik, mereka berdua gak sama sekali mempunyai tampang preman. Kedua anggota The Viagers itu bernama Via dan Agni. Via, wajahnya yang baby face dan lekuk tubuhnya yang bisa dibilang montok itu jauh sekali untuk bisa masuk dalam kategori “preman”. Sedangkan Agni, walaupun postur tubuhnya memadai untuk menjadi preman, namun tetap saja wajah dan senyumnya yang manis itu belum pantas masuk kategori preman tersebut. Apalagi bagi orang yang belum kenal dekat dengan mereka. Hanya saja yang membedakan mereka dengan cewek lainnya adalah cara berdandannya. The Viagers tidak menomorsatukan fashion. Cara berpakaian mereka sangat simple, cukup memakai kaus oblong dan dirangkap dengan kemeja kotak-kotak berlengan pendek serta celana jeans yang robek-robek dibagian lututnya. Menurut mereka, apapun yang dipakai, selama itu masih nyaman pasti nempel terus di badan.

Sore ini The Viagers sedang mengeksekusi mangsanya dibawah pohon beringin dekat kantin kampus.

Jbret!!! Satu hantaman keras mendarat mulus di hidung cowok berkulit hitam dan berambut keriting yang terduduk pasrah di akar-akar pohon beringin.
“Jangan mentang-mentang cowok, deh, loe! Loe kira cewek itu bisa dibayar pakai uang, hah?! Seenak ingus aja loe memperlakukan cewek kaya gitu!” Via meremas kerah baju cowok tersebut dengan tangan satunya yang sudah ancang-ancang untuk menghajarnya lagi.
“Ampun, Vi! Gue janji gak bakal kaya gitu, lagi. Ampun! Jangan pukul gue terus.” rintih cowok tersebut. Hidungnya mengeluarkan darah segar akibat hantaman Via. Sejenak, Via melepaskan tangannya dan melangkah mendekati sahabatnya.
“Urusin tuh kunyuk! Gue udah muak lihat mukanya!” kata Via ke Agni yang sedari tadi melipat tangan di dada sambil melihat aksi Via melibas cowok brengsek yang sudah kurang ajar sama Viagers.
“Siap, bos! Serahin sama gue!” balas Agni seraya menatap sinis ke arah cowok yang bersangkutan. Via langsung ngeloyor pergi dari tempat kejadian.

Pasalnya, Via pernah mengalami kejadian yang suram dengan yang namanya preman. Ibunya meninggal karena dibunuh dan diperkosa oleh tiga orang preman saat setelah berbelanja di Pasar bersama Via waktu ia masih kelas 3 SD. Dan bukan itu saja, Ayahnya Via juga meninggal karena ditusuk pisau oleh seorang preman yang hendak merampok rumah dan mengambil uang simpanan milik keluarganya. Mungkin itu salah satu sebabnya kenapa Via benci banget sama yang namanya cowok brengsek dan preman-preman yang beraninya main keroyokan. Bagi Via, merekalah pengecut paling besar di dunia ini.

Beda jauh dengan Agni. Agni memang gak punya alasan tertentu kenapa sekarang ia memilih menjadi preman. Tapi, gak tau kenapa dari kecil itu Agni sering berantem sama anak cowok. Entah itu nangisin anak tetangganya, bahkan sampai merusak mainan teman sebayanya hanya demi keisengan semata bagi Agni. Mungkin itu bakat bawaan dari kecil yang dimiliki Agni, kali, ya? Hehehe...

Via menyandarkan tubuhnya didepan gerbang kampus. Mulutnya tak pernah henti menggigit batang korek api.
“Gimana? Udah beres?” tanya Via saat Agni tiba disampingnya sambil menepuk-nepuk telapak tangan.
“Beres! Udah gue sekap di gudang. Biar kapok tuh, monyet!” jawab Agni enteng. Sedetik, Via tersenyum simpul dan merangkul Agni. Mereka berjalan menelusuri trotoar.

***


Brak!!! Dua orang cowok tersungkur diantara meja-meja yang berantakan didalam gudang. Wajah mereka babak belur akibat keroyokan keempat orang cowok yang wajahnya lebih sangar ketimbang dua cowok tadi.

“Bangun, loe! Jbret!!!” cowok berkulit putih dan berambut gondrong langsung terkapar saat pukulan Sion一mahasiswa yang sering buat onar di Kampus Dirgantara itu melayang tepat di hidungnya. Sedangkan cowok yang satunya sudah lebih dulu tak berdaya dibawah kaki Sion. Namun...
“Jbret!!! Pengecut, loe!” teriak Agni tiba-tiba. Sion langsung tersungkur saat punggungnya dihantam Agni.
“Kalau berani jangan main keroyokan, dong! Pengecut, tau, nggak! Cemen!” sambung Via dengan gaya macho nya. Sion cs mulai geram mendengar ucapan Via barusan. Mereka menyerang Via dengan formasi 2 : 1. Sion dan Daud mengincar Via, sedangkan Riko dan Patton mengincar Agni.

Hantaman Riko meleset mengenai wajah Patton. Sedetik, Patton langsung tersungkur ke lantai. Dengan sigap, Agni menendang bagian vital Riko.
“Aaarrrggghhh...” rintih Riko sambil memegangi restletingnya. Brak!!! Agni terkapar sesaat setelah Patton menyabetnya dengan kayu.
“Agni!!!” teriak Via melihat sahabatnya terkulai lemah di lantai. Mata Via semakin merah, tangannya mengepal keras dan tanpa komando menghajar satu-persatu lawannya tanpa ampun. Sion cs pun menyerah dan langsung lari terbirit-birit.
“Loe gak apa-apa, kan, Ag?!” tanya Via khawatir sambil mengulurkan tangannya. Agni berusaha bangun dengan bantuan Via dan kedua orang cowok yang tadi dikeroyok sama Sion cs.
“Gue gak apa-apa, kok, Vi. Cuman pundak gue aja agak sakit.” balas Agni sambil memijit-mijit pundaknya.
“Syukur, deh. Dasar cowok-cowok brengsek! Gak ada kapok-kapoknya bikin onar di kampus ini!” sewot Via seketika.
Thanks, ya! Loe berdua udah nolongin kita.” ucap cowok bermata sipit dengan menyodorkan tangannya.
“Iya... kalau gak ada kalian, mungkin kita berdua udah babak belur.” sambung cowok satunya.
“Emang udah babak belur, kali!” cetus Via pelan.
“Sama-sama. Oh, iya... gue Agni, ini Via一sohib gue.” Agni membalas uluran tangan mereka.
“Gue, Alvin!”
“Cakka!”
“Oke... lain kali kalau mereka malakin loe berdua, jangan pernah dikasih! Nanti malah ngelunjak.” jelas Agni sambil menepuk pundak Cakka dan Alvin.
“Sip, deh! Gue terima saran loe.” kata Cakka. Namun Alvin langsung menyanggahnya.
“Kalau gitu caranya, nasib kita bakal kaya gini lagi, dong?”
“Selama kita masih ada, kalian selalu aman. Tenang, aja!” jawab Via singkat. Tangannya masih ia lipatkan di dada.
“Wuih... keren! Kalian benar-benar pahlawan sejati!” sambar Cakka tiba-tiba.
“Makasih ya, sebelumnya.” Alvin tersenyum manis sambil memegang pundak Via. Via mendadak salah tingkah dibuatnya.
“Hmmm... sama-sama.” Via ikut tersenyum. Ia mencoba menstabilkan detak jantungnya.
“Ayo balik, Ag! Kita masih banyak urusan.” ajak Via kemudian. Agni mengangguk mengiyakan. Setelah permisi ke Alvin dan Cakka, mereka berlalu pergi.
“Apa mereka berdua itu The Viagers, Kka?” bisik Alvin ke Cakka yang masih seriusan memandangi punggung Viagers yang semakin jauh.
“Mungkin. Tapi, kok, mereka gak sesangar yang gue kira, sih?! Mereka cantik-cantik!” kata Cakka. Alvin hanya mengangguk pelan.
“Iya juga, sih. Gue kira The Viagers itu lebih sangar mukanya dari preman-preman jalanan didepan. Hmmm... tapi gue kagum, mereka keren banget, Kka! Macho, man!” Alvin menepuk pundak Cakka dan langsung berjalan begitu saja meninggalkannya.
“Hmmm... macho? Apa gak salah, tuh?! Mereka kan, cewek! Tapi... bisa juga, sih!” dumel Cakka yang masih mencerna kata-kata Alvin barusan. Kemudian, Cakka langsung mengejar Alvin yang jaraknya sudah lumayan jauh.

***


“Bang... baksonya satu, ya? Gak pake kecap, sambalnya tiga sendok, kuahnya sedikit aja, terus... gak pake lama! Oke?” pesan Agni panjang lebar. Kali ini Viagers lagi di kantin sambil makan bakso.
“Baksonya, neng!” belum sedetikpun Agni memesan, abang tukang bakso tersebut sudah menyodorkan pesanannya.
“Asyik, dah! Cepet amat, bang? Ini beneran pesanan gue?” tanya Agni sambil memeriksa satu-persatu pesanannya. Abang itu hanya tersenyum ikhlas.
“Tanpa loe ngoceh juga, tuh abang tukang bakso udah khatam sama pesanan loe, kali! Pan udah langganan.” kata Via yang sekarang tinggal menyedot es teh manisnya. Bakso Via sudah habis lebih dulu.
“Hehehe... iya juga, sih.” Agni terkekeh. Kemudian ia menaikan salah satu kakinya keatas kursi, siap menyantap makanan favoritnya. Via hanya menelan ludah melihat Agni yang superlahap menghabiskan dua porsi bakso. Merasa ada yang memperhatikan, Agni melotot ke arah Via.
“Kenapa, loe? Mau?!” Agni mengangkat sendok yang berisi sebutir bakso yang sudah setengah bulat.
“Kagak! Gue cuma mual aja lihat loe makan. Kaya gak pernah makan sebulan, tau! Lahap bener!” ceplos Via sambil menahan tawa.
“Bodoh! Terserah gue, dong! Mau loe bilang lahap kek, rakus kek, yang penting gue kenyang.” timpal Agni dengan mulut yang masih mengunyah.
“Serah loe, deh!” Via berhenti ngomel. Tiba-tiba...
“Hai, Vi! Hai, Ag! Kayanya lagi asyik, nih!” sapa Cakka yang langsung duduk disamping Agni. Agni berusaha menyapa balik meski mulutnya penuh dengan bakso. Sedangkan Via hanya tersenyum melihat Cakka dan Alvin yang baru datang.

Deg! Alvin merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dan seirama dengan dilontarkannya sebuah senyuman dari seorang Via.

Semenjak tragedi pengeroyokan Sion cs terhadap Alvin dan Cakka, mereka menjadi lebih akrab bahkan bisa dibilang sebagai teman dekat Viagers. Mungkin mereka berdualah cowok pertama yang menjadi teman Via dan Agni. Karena, sebelumnya gak ada sama sekali cowok yang berani mendekati Viagers. Alasannya beragam. Ada yang takut dihajar lah, disekap di gudang lah, di siram saus lah. Soalnya dulu The Viagers pernah menyiram semangkuk saus ke kepala seorang cowok yang sudah berani-beraninya menggoda mereka di kantin. Alhasil, cowok tersebut harus melakukan ritual keramas sebanyak 100 kali. Hebat, ya? Hahaha...

The Viagers mau berteman dengan Alvin dan Cakka karena mereka menganggap bahwa Alvin-Cakka itu cowok yang baik-baik, asyik, gak pernah macam-macam dan apa adanya. Tidak seperti cowok-cowok lain yang bisanya muji-muji, ngegombal dan embel-embelnya. Ya, walaupun Alvin dan Cakka itu juniornya The Viagers, tapi gak pernah ada rasa canggung dan sok berkuasa diantara mereka berempat.

Anehnya, status Agni sekarang adalah sebagai pacarnya Cakka. Entah apa yang terjadi sama mereka berdua. Tiba-tiba mereka bilang ke Alvin sama Via kalau mereka itu pacaran. Sontak, pernyataan tersebut membuat Alvin-Via kaget sekaget-kagetnya. Kok bisa-bisanya ya, mereka pacaran? pikir Alvin dan Via saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, mereka memaklumi hubungan Cakka dan Agni. Mungkin kedekatan mereka akhir-akhir ini menumbuhkan benih-benih cinta keduanya. Siapa yang tau, coba?

Dan pasalnya, Cakka menyatakan perasaannya itu ketika Agni sedang kehilangan jiwa kepremanannya yang selama ini melekat di tubuh Agni. Waktu itu Agni sedang ulang tahun. Cakka, yang sebelumnya sudah tau tanggal lahir Agni, ia mempunyai inisiatif untuk memberi surprise langsung ke rumahnya. Dan saat itu pula Cakka menembak Agni dihadapan orang banyak, termasuk orang tau Agni. Siapa yang gak klepek-klepek, coba? Sekalipun itu seorang preman. Hehehe...
“Wuih... lahap bener makannya? Lapar, neng?” ledek Cakka.
“Bukan lapar lagi, emang kelaparan! Hahaha...” timpal Via dibarengi ketawanya yang khas.
“Sialan loe, Vi! Hmmm... tapi emang iya, sih. Hehehe...” balas Agni sambil nyengir gak jelas. Sontak membuat semuanya ketawa melihat ekspresi Agni.

Zing! Pandangan mata Alvin dan Via bertemu disaat mereka sedang tertawa. Sedetik, Alvin langsung mengalihkan pandangannya ke Cakka dan Agni. Sedangkan Via hanya mengaduk-aduk teh manis pakai sedotan. Mencoba menutupi kesaltingan masing-masing.
“Kalau gue lihat-lihat, nih, ya! Kalian berdua itu cocok, deh.” kata Agni tiba-tiba. Via mengangkat alisnya heran.
“Siapa, Ag?” tanya Alvin penasaran.
“Yaa... elo sama Via lah. Benar nggak, Kka?” jawab Agni meminta persetujuan Cakka一pacarnya. Alvin dan Via saling berpandangan aneh.
“Iya, bener! Tapi itu juga kalau Via nya mau. Secara gitu, si Alvin itu anak manja. Nah, sedangkan Via? Preman, man! Macho!” ceplos Cakka sedikit nyindir.
“Sialan loe, Kka! Yang manja itu elo! Mau tidur aja mesti ditemenin dulu sama nyokap, loe!” bela Alvin sambil melempar sedotan ke arah Cakka.
“Hah! Serius loe, Vin?!” kaget Agni.
“Seriusan lah! Ngapain gue bohong?”
“Apa bener, Kka? Yang dibilang Alvin barusan?” tanya Agni ke Cakka.
“Hehehe... kadang-kadang, doang! Abisnya udah jadi tradisi gue. Mau gimana, lagi?” jawab Cakka enteng. Mendengar itu, Agni melotot ke arah Cakka.
“Kayanya gue harus pergi, deh! Sebelum terlambat.” Cakka langsung kabur melihat wajah Agni yang berubah angker.
“Cakkaaa...” teriak Agni sambil mengejarnya.
“Bendera perang siap dikibarkan!” kata Via pelan. Alvin tersenyum mendengar ucapan Via. Aduh! Kenapa gue jadi melow gini sih kalau melihat Alvin senyum? batin Via.
“Kesana, yuk, Vi?” ajak Alvin dengan menggenggam pergelangan tangan Via. Sedetik, Via mengangguk perlahan. Kemudian mereka menyusul Cakka dan Agni yang sedang kejar-kejaran gak jelas.

***


“Minumnya, Vi?” tawar Alvin seketika. Kemudian ikut duduk disamping Via dibawah pohon dekat lapangan bola yang sudah tidak terpakai.
Thanks, ya.” jawab Via singkat.
“Hmmm... gue seneng deh ngelihat Cakka sama Agni ketawa, gitu.一” kata Alvin yang kini menatap dua orang yang sedang enjoy bermain bola一Cakka dan Agni.
“...一Perasaan gue adem kalau lihat mereka berdua, tuh.” lanjutnya pelan.
“Iya... gue juga ngerasa gitu. Tapi kadang-kadang lucu juga ngelihat mereka berdua. Gak tau kenapa.” sambung Via sambil mengikuti arah pandangan Alvin.
“Loe gak iri sama mereka, Vi?” tanya Alvin spontan.
“Maksud, loe? Kenapa gue mesti iri?” respon Via dengan memandang Alvin aneh. Alvin langsung tersedak mendengar respon Via. Ia nyengir seketika.
“Maksud gue... apa, ya? Hmmm... ini, maksudnya loe itu gak iri apa, melihat mereka pacaran?” jelas Alvin hati-hati. Via terenyuh dan melemparkan pandangannya ke Cakka dan Agni一lagi.
“Pacaran? Iri? Hmmm... gue belum minat pacaran, Vin. Jadi gue gak pernah sama sekali iri sama mereka. Lagian, mana ada sih yang mau sama gue? Gue itu urakan, berandal, galak bahkan bisa dibilang preman. Yang ada cowok-cowok pada takut sama gue.一” ucap Via terpotong.
“...一Kecuali loe sama Cakka yang mau temenan sama gue.” lanjutnya. Sejenak, Alvin tersenyum dan langsung mengambil topi yang selalu Via pakai tiap hari. Ia memandang lekat wajah Via.
“Loe itu cantik, Vi? Kenapa loe minder? Mereka semua takut sama loe karena mereka belum tau elo yang sebenarnya, Vi.” Alvin menyelipkan rambut Via yang terurai menutupi pipi chubby nya.
“Tapi gue masih belum yakin sama diri gue sendiri.” respon Via.
“Itu sih terserah loe, Vi. Mau dengerin kata-kata gue atau nggak! Yang jelas, gue cuma berkata sejujurnya dan benar-benar gue lihat, selama ini.” ucap Alvin一lagi sambil pergi meninggalkan Via sendirian. Via hanya bisa menatap punggung Alvin yang semakin jauh tanpa berkata apapun.
“Loe memang beda, Vin.” lirihnya pelan sambil beranjak bangun. Via berlari kecil menyusul ke tempat Cakka, Agni dan Alvin yang sedang bermain bola.

***


Grusak!!! Cakka tersungkur ke pinggir got saat setelah sebuah motor menyerempet tubuhnya. Agni yang saat itu dalam perjalanan pulang bareng Cakka, langsung emosi melihat sang pengendara motor yang ternyata Sion dan Riko.
“Woy! Turun, loe! Bangsat!” bentak Agni sambil menunjuk-nunjuk motor yang masih terus melesat.
“Kka! Loe gak apa-apa, kan? Mana yang luka?” tanya Agni khawatir dan berusaha membantu Cakka bangun.
“Aaarrrggghhh... sakit!” lirih Cakka sambil memegangi dahinya yang sedikit berdarah.
“Dahi loe berdarah, Kka! Loe ke rumah gue, ya? Biar gue obatin. Ayo!” Agni mengangkat Cakka dan menuntunnya berjalan.
“Gue sayang sama loe, Ag!” ucap Cakka tiba-tiba. Agni menghentikan langkahnya sejenak. Tangan Cakka yang sebelumnya dirangkulkan di pundaknya, ia turunkan.
“Dalam keadaan loe yang kaya gini aja, loe masih sempet-sempetnya sok romantis! Gombal banget!” ucap Agni ketus.
“Seriusan! Gue gak lagi ngegombal, kali.” Cakka tersenyum jahil melihat ekspresi Agni yang lucu, tapi tetap macho. Hahaha...
“Chuppp...” Cakka menundukkan wajahnya sejenak, sedangkan Agni memasrahkan dirinya dan mencoba menikmati kecupan pertama yang diberikan Cakka di bibir mungilnya.
“Aaarrrggghhh... Agni!” teriak Cakka sembari memundurkan kepalanya.
“Loe kenapa, Kka?” tanya Agni.
“Jangan digigit, dong! Bibir gue sakit, tau!” protes Cakka, tetap dengan nada sepelan mungkin. Si Agni malah nyengir melihat pacarnya kesakitan, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Cakka.
“Abisnya gue belum pernah ngelakuin ini sebelumnya. Sorry, ya?” bisiknya. Mendengar itu, Cakka langsung memeluk ceweknya erat.
“Gak apa-apa, sayang. Lama-kelamaan juga bakal terbiasa. Nanti gue ajarin, deh.” Agni melepaskan pelukan Cakka.
“Ogah, ah! Itu sih maunya elo! Dasar mesum! Hahaha...” tolak Agni sambil menoyor kepala Cakka. Si Cakka malah nyengir gak jelas sambil menggaruk-garuk kepalanya.

***


Hari ini Alvin bertamu di rumah Via. Setelah mempersilahkan Alvin untuk duduk, Via pamit ke dapur mengambil minuman. Sejurus kemudian, Alvin melangkah mendekati foto-foto yang tertata rapi didalam bingkai sambil senyum-senyum sendiri.
“Itu foto gue waktu kecil.一” kata Via yang tiba-tiba muncul dibelakang Alvin dengan membawa dua botol minuman.
“...一Nih minum dulu, Vin!” Via memberikan minuman ke Alvin yang masih berdiri mematung memandangi foto-fotonya.
“Makasih, Vi. Oh, iya... loe terlihat feminim banget di foto ini. Beda jauh sama Via yang sekarang, lebih tomboy. Tapi gue tetap suka, kok!” spontan Alvin. Via mengangkat alisnya heran.
“Maksud, loe?”
“Maksud gue... gue suka style loe yang sekarang. Keren, macho, tapi tetap cantik. Cuman... gue gak suka sama sifat loe, Vi. Loe gak pernah sehati sama perasaan loe sendiri. Loe selalu minder dengan perasaan loe sendiri, dan loe selalu berpikiran kalau semua cowok di dunia ini sama.一” kata Alvin, tanpa sedikitpun menatap wajah Via.
“...一Coba deh, buka hati loe buat seseorang! Entah itu siapa? Yang jelas, loe jangan berpikiran negatif dulu sama cowok!” lanjutnya. Kini Alvin menatap lekat wajah Via yang sedari tadi menatapnya dalam.
“Loe benar, Vin. Tapi gue belum siap dengan semuanya. Gue masih trauma dengan kejadian yang menimpa bokap-nyokap gue. Dan gue belum bisa terima kalau nyokap gue diperlakukan seenaknya sama cowok brengsek!” Via meneteskan air matanya dengan terpaksa.
“Gak semuanya cowok itu brengsek, kan, Vi?一” Alvin mengusap air mata Via.
“... 一Vi... bukannya gue mau nasehatin loe atau apa, tapi gue cuma mau loe itu bisa ngerasain yang mestinya loe rasain saat ini. Coba loe lihat Cakka, Agni dan semua teman-teman kampus diluar sana! Mereka begitu menikmati kasih sayang yang lebih dari apa yang mereka inginkan. Dan gue一sebagai teman loe, gue cuma ingin loe itu ngerasain semuanya, Vi. Kasih sayang dari seseorang yang benar-benar menyayangi loe.” jelas Alvin sambil memegang pundak Via. Via hanya mematung, berusaha mencerna semua kata-kata yang Alvin lontarkan.
“Tapi, gue一” ucap Via terpotong. Alvin mendadak mendekati telinga Via.
“Lihatlah orang-orang terdekat loe! Ada seseorang yang benar-benar mencintai loe, Vi.” bisiknya. Kemudian Alvin pamit untuk pulang ke rumahnya. Sedangkan Via masih berdiri tanpa berucap sepatah katapun.

***


Setelah lima menit sang dosen meninggalkan ruangan Management Informatika, Via langsung pergi ke taman dan duduk didekat pohon cemara. Agni yang tanpa dijemput, tiba-tiba datang dan langsung duduk disamping Via.
“Vi... gue traktir bakso, ya?” kata Agni.
“Ogah, ah! Gue lagi gak ada uang. Hehehe...” Via menatap wajah Agni sekilas.
“Yeehh... maksudnya, gue mau traktir elo bakso! Mau kagak? Gue yang bayar, kok.” tawarnya.
“Seriusan, Ag?! Wuih... mantap! Kemasukan setan apa, loe? Tumben-tumbenan baik sama gue.” ledek Via sambil nyengir.
“Seriusan, lah! Ah, elo mah gak asyik, Vi! Niat gue kan baik, kok malah diledek, sih?” Agni mendengus kesal.
“Cup... cup... cup...! Gue bercanda doang, Ag. Jangan ngambek, dong? Preman kok ngambek, sih?” kata Via sambil mengusap-usap rambut Agni. Si Agni malah mesem kaya orang gila.
“Siapa bilang gue ngambek? Orang gue lagi seneng, kok. Tau nggak, kenapa?” tanyanya.
“Nggak!” jawab Via datar.
“Ih! Kok elo biasa-biasa aja, sih? Pura-pura nanya balik, ngapa? Biar kesannya penasaran. Bener-bener gak asyik, loe, Vi!” ketus Agni.
“Oke-oke... gue ralat! Nggak tau, Agni sayang. Emangnya loe kenapa? Cerita sama gue, dong? Puas, loe?!”
“Nah... gitu, dong! Sini, gue bisikin!” Agni mendekati telinga Via.
“Busyet... gila loe, Ag! Yang bener? Dipinggir jalan?!” heboh Via setelah Agni selesai membisikinya.
“Sssttt... Via! Gak pake teriak-teriak juga, kali. Nanti yang lain pada denger!” gereget Agni.
“Muehehe... sorry, Ag! Gue refleks, doang. Si Cakka nekad juga sama loe, Ag.” kata Via pelan banget.
“Gue juga gak nyangka, Vi. Untungnya gue masih sadar kalo Cakka itu pacar gue. Kalo nggak, mungkin udah gue hajar tuh anak! Biasalah, naluri preman. Hehehe...” Agni merangkul Via.

Baru juga Via mau merespon kata-kata Agni, tiba-tiba ada seorang cewek berponi yang datang menghampiri mereka berdua dengan napas yang gak beraturan. Lantas, itu membuat The Viagers langsung berdiri dan penasaran sama berita apa yang akan dikabarkan cewek tersebut.
“Hosh... hosh... hosh... Via! Agni! Gawat! Si一” kata cewek itu terpotong-potong.
“Ada apaan, Pris?!” tanya Via penasaran.
“Santai dulu, santai. Tenangin diri loe dulu, Pris! Tarik napas... buang! Tarik lagi... buang lagi!” sambung Agni mencoba menenangkan cewek yang dipanggil “Pris” sama Viagers. Cewek tersebut langsung mengikuti perintah Agni dan kemudian melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong.
“...一Sion cs lagi ngebantai junior kita, Vi, Ag!”
“Serius, loe?! Dimana?! Ngajak ribut tuh orang!” sewot Agni. Via hanya mengepalkan tangannya.
“Tadi pas gue keluar dari WC, mereka lagi di pojok gudang kampus.” jawab Prissy一cewek tadi.
“Brengsek!” Via langsung berlari ke tempat yang diberitahu Prissy barusan.
Thanks, ya, Pris!” ucap Agni. Prissy hanya tersenyum ramah.


Di gudang sekolah.


Dua orang cowok diikat di kursi dengan wajah yang memar dan sudut bibir yang berdarah. Kepala mereka tertunduk lemas, matanya sayu dan sekujur tubuhnya yang basah akibat disiram air oleh Sion cs. Sejenak, Sion mendongakan wajah kedua orang tersebut dengan paksa.
“Kali ini gak ada orang yang bisa nolong kalian lagi! Plak!!!” tamparan keras mendarat di pipi mulus Alvin. Ya, dua cowok itu adalah Cakka dan Alvin.
“Mana pacar loe, hah?! Suruh dia kesini! Hadapi gue sekarang!” tantang Sion ke Cakka. Wajah Cakka langsung berubah sangar, ia mencoba berontak. Namun, Sion langsung menghajar perutnya hingga ia tersungkur dengan kursinya.
“Cakkaaa...!!!” teriak Agni sesaat sampai di gudang.
“Wow! Lihat, tuh! Pacar loe yang paling tersayang udah datang buat nyelamatin loe berdua.” Sion menjambak rambut Cakka dan Alvin agar menghadap ke arah Viagers.
“Bangsat! Lepasin, gak?!” sewot Via.
“Oke-oke. Nyantai, mbakbro! Gue bakal lepasin semua monyet loe. Tapi dengan satu syarat, loe harus langkahin dulu mayat gue!” tantang Sion. Daud dan Riko segera menghadang langkah Via dan Agni yang kadar emosinya sudah full.

Brak!!! Riko memukul pundak Via dengan kayu. Namun nihil, Via berhasil menangkisnya. Dan tanpa pandang bulu, Via menendang perut Riko hingga tersungkur ke tanah.
“Anjing, loe. Jbret!!!” giliran Agni menghantam perut Daud setelah tangannya terkena sabetan sabuknya yang cukup tajam. Daud pun ikut tersungkur disamping Riko. Akhirnya, dua anak buah Sion pun berhasil Viagers lumpuhkan.

Melihat anak buahnya sudah tak berdaya lagi, Sion langsung menyerang Via yang terus menatapnya dengan tajam. Sedangkan Agni langsung mengalihkan pandangannya ke arah Patton yang sedari tadi menyekap Cakka dan Alvin yang sudah tak berdaya.

Jbret!!! Via terpental kebelakang. Tangannya yang tadi terpukul oleh Riko, ia pakai untuk menahan serangan demi serangan yang dilayangkan Sion. Sejurus kemudian, Via terjatuh saat tendangan Sion mendarat di perutnya. Melihat Via terkulai lemah, emosi dan tenaga Alvin meningkat. Ia pun berusaha melepaskan ikatan yang melilit keras di tubuhnya.

Hajaran demi hajaran terus dilayangkan Sion di wajah Via. Namun apadaya, Via sudah tak bisa lagi menahan pukulan-pukulan Sion. Tenaganya sudah terkuras habis, darah segar yang mengalir di hidung dan mulutnya itu membuat Via semakin lemah. Namun, tiba-tiba...
“Brak!!! Dasar pengecut, loe! Beraninya sama cewek, doang. Bajingan!” teriak Alvin dengan sempoyongan. Sedetik kemudian, Sion sudah tersungkur dan terjatuh pingsan akibat sabetan kayu yang dilayangkan Alvin di punggungnya.
“Vi... bangun, Vi! Loe gak apa-apa, kan? Loe harus kuat!” histeris Alvin seraya mengangkat kepala Via dan menaruhnya dipangkuannya. Butiran-butiran bening deras menetes di pipi Alvin saat melihat Via benar-benar gak merespon ucapannya. Meskipun tubuhnya sudah digoncang-goncangkan, Via tetap belum sadar.

Disisi lain, Agni sudah berhasil melumpuhkan Patton. Ia segera menolong Cakka dan mencoba menuntunnya berjalan ke tempat Alvin dan Via dengan sisa tenaganya.
“Via...” ucap Agni lirih. Agni bersimpuh diatas tubuh Via, ia memeluknya erat.
“Via bangun, Vi! Jangan tinggalin gue. Gue mohon.” histeris Agni meledak. Tangannya menggoncang-goncangkan tubuh Via. Alvin dan Cakka hanya bisa menunduk, mereka berdua tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena semua tenaga mereka telah habis terkuras dan tidak kuat lagi kalau harus mengangkat Via ke rumah sakit. Hanya keajaibanlah yang mampu menolong mereka berempat.

***


2 Tahun Kemudian.


Mata Via terpejam saat bibirnya terkunci rapat oleh seorang cowok yang sudah dua tahun ini menjadi pacarnya. Cowok itu Alvin. Ya, Alvin dan Via sudah jadian sejak tragedi pembantaian di gudang kampus dua tahun lalu. Dalam hitungan menit, kepala Via serasa tak bisa digerakkan karena tangan Alvin sangat erat memegangnya. Via hanya bisa memeluk tubuh Alvin dan berusaha menikmati First Kiss nya yang saat ini membuatnya mati berdiri. Pasalnya, selama mereka pacaran, Alvin dan Via tidak pernah melakukan yang namanya ciuman. Mereka menjalani sewajarnya saja. Tetapi entah kenapa malam ini Alvin dan Via ingin melewati malam minggunya hanya berdua dengan ditemani bintang-bintang diatas gedung. Selain itu, sebuah tenda yang dikelilingi lilin-lilin cantik ikut menjadi bagian dari mereka. Tak lupa juga sedikit hidangan makan malam yang telah Alvin siapkan seromantis mungkin.
“Kamu luar biasa, Vi!” ucap Alvin pelan. Via tersenyum, matanya berbinar terang seakan memantulkan cahaya bulan ke mata Alvin.
“Kamu juga luar biasa, Vin. Aku pasti gak akan bisa ngelupain semua ini. Terkhusus, first kiss kita!” Alvin tersenyum mendengarnya. Sedetik, Via sudah tenggelam dipelukan Alvin.
“Aku beruntung pernah dipukulin sama Sion cs!” kata Alvin.
“Lho, kenapa?”
“Karena mereka, aku bisa ketemu cewek yang hebat, macho dan cantik!一” Alvin memegang kedua pipi Via.
“... 一Dan karena mereka juga, aku menyadari bahwa aku mempunyai seorang malaikat penjaga yang sangat aku cintai, lebih dari apapun. Meskipun一mantan seorang preman.” kemudian Alvin berjongkok sambil mengeluarkan kotak kecil berwarna merah yang didalamnya terdapat benda mungil berkilau.
“Vi... malam ini, aku pasrahkan semua hidup dan matiku padamu. Dari semua kelancanganku terhadapmu, dan demi semua rasa cintaku yang semakin hari semakin bersemi di hatiku. Aku mohon... ijinkanlah aku berlindung selamanya di hatimu. Will you merry me?” kata Alvin sambil menjulurkan tangannya ke hadapan Via. Lantas, Via mengambil cincin itu dan langsung melemparkannya kedalam tenda.
“Aku gak butuh cincin itu! Aku hanya butuh kamu, Alvin! Malaikat yang selalu memberi semangat dihidupku.一” Via memeluk Alvin一lagi.
“...一Aku mau menikah denganmu!“ bisiknya.
“Benarkah?! Please, ulangi! Aku mau dengar sekali lagi, Vi! Will you merry me?
Yes, i will!一” Alvin tersenyum. Via menggenggam tangan Alvin erat.
“...一Tapi ada syaratnya!” katanya kemudian.
“Syarat? Apa syaratnya?” tanya Alvin penasaran.
“Iya, syarat. Tapi kamu harus janji dulu bakal menuhi syarat ini. Gimana?”
“Apapun syaratnya, akan aku lakukan. Demi kamu...” ucap Alvin yakin.
“Oke... syaratnya itu adalah,一” potong Via sambil tersenyum jahil.
“...一kamu harus lawan aku dulu! Gimana? Berani, gak?” tantangnya sambil berancang-ancang seperti mau melawan seorang musuh.
“Hah! Serius loe, Vi?! Aduh... mampus, gue! Gak ada syarat lain, gitu? Please, jangan yang ini. Gue nyerah!” heboh Alvin. Tiba-tiba lututnya terasa lemas.

Disisi lain, ada dua orang cewek dan cowok sedang asyik tersenyum ikhlas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka termangu melihat tingkah Alvin dan Via yang benar-benar konyol. Padahal mereka mau menikah, tapi tetap saja gak normal. Hahaha...
“Dasar pasangan yang aneh! Yang satu preman, yang satunya lagi anak rumahan!” ucap Cakka pelan sambil merangkul cewek yang berdiri disampingnya一Agni. Ya, mereka berdua adalah Cakka dan Agni yang sudah lebih dulu menikah. Sekarang, di rahim Agni sudah tercipta seorang bayi yang nantinya bakal menggantikan sebuah geng fenomenal, yaitu The Viagers. Kita tunggu saja kisahnya lain waktu.


The End!

By: Tatang Heriana [taher] Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR