Sering kali ku melihat
Kau curi-curi pandang ke arah diriku
Bel
istirahat terdengar nyaring berbunyi. Sontak membuat semua siswa
berhamburan bak segerombolan kelelawar yang mencari makan saat malam
tiba. Sedetik, setiap titik sudut sekolah sudah terisi penuh dengan
berbagai aktifitasnya masing-masing. Entah itu cuma sekedar duduk sambil
memandangi orang-orang lewat, ngobrol-ngobrol di kursi taman, bermain
basket dan futsal bagi segelintir cowok-cowok yang menggilainya, dan
bahkan ada juga yang cuma iseng-iseng saja jalan-jalan menyusuri koridor
kelas. Rutinnya, setiap pukul 10 pagi tiba, kantin SMP Harapan 1 yang
cukup luas dan bersih itu mendadak berubah menjadi pasar sayur yang
selalu dipenuhi para konsumennya, penuh sesak. Karena mungkin kantinlah
yang merupakan tempat paling menyenangkan setelah perpustakaan, apalagi
suasananya yang masih asri, bersih dan nyaman. Bakalan betah deh di
kantin.
Dipojok kanan kantin, tepatnya dekat penjual siomay. Via dan Prissy, dua orang sahabat yang sejak Play Group
hingga sekarang selalu sekelas itu sedang asyik menikmati seporsi
siomay dan es teh manisnya. Di tempat ini memang sudah menjadi daerah
kekuasaan mereka. Selain adem, nyaman dan bersih, juga merupakan tempat
yang paling strategis untuk ngobrolin一lebih tepatnya meledek keunikan
orang-orang ketika sedang menyantap makanannya. Itu adalah hal yang
tepat untuk menghilangkan penat akibat pelajaran yang cukup menyita
otak, menurut mereka. Di kelas, Via adalah siswa yang phobia
sama yang namanya Matematika, ia lebih suka pelajaran Bahasa Inggris.
Dan bertolak belakang dengan sahabatnya, Prissy. Meski berbeda
kesukaan, mereka tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan mereka
menjadi lebih akrab dengan adanya perbedaan.
“Gokil! Tadi seru
banget ulangannya. Tumben-tumbenan Bu Eva ngasih soal segampang itu.”
ucap Prissy heboh. Lantas membuat Via tersedak mendengarnya dan
kewalahan mencari minum. Bukan karena kaget dengan ucapan Prissy,
melainkan shock dengan statement sahabatnya yang bilang “Ngasih soal segampang itu.”
“Loe
sinting kali, ya?! Segitu dibilang gampang?! Gue sih boro-boro ngerti.
Tadi gue sehidup semati ngerjainnya, tauk!” oceh Via setelah berhasil
meneguk es teh manisnya.
“Gampang, tauk, Vi! Buktinya gue bisa
semua. Itu sih elonya aja yang... maaf, oon! Hehehe.” ledek Prissy
sedikit hati-hati, takut menyinggung perasaan Via. Maklum, Via
terkadang suka sensitif.
“Sialan! Gini-gini juga gue pernah juara kelas!”
“Iya, gue tahu! Tapi itukan dulu, waktu kelas satu SD.” ledeknya lagi sembari mengambil sesendok siomay di piring Via.
“Setidaknya gue pernah jadi juara kelas. Daripada elo, belum, kan?” balas Via enteng. Prissy memajukan bibirnya beberapa senti.
“Bentar deh, Vi! Kayaknya ada yang aneh,一” spontan Prissy dengan mendekatkan mukanya ke Via. Via mengernyitkan dahi, bingung.
“...
gue perhatikan dari tadi nih ya, tuh cowok ngelihatin loe terus, deh.
Loe kenal sama dia, Vi?” tanya Prissy sambil mengisyaratkan bola
matanya.
Cowok oriental yang sedang duduk sekitar sepuluh
meter dari tempat Via dan Prissy duduk, seakan merasa ketahuan kalau
dia sejak tadi memandangi Via, cowok itu memalingkan wajahnya dan
berpura-pura mengobrol dengan salah seorang temannya yang juga duduk di
meja yang sama.
“Mana? Nggak, ah! Perasaan loe aja, kali.” Via mengikuti arah pandangan Prissy.
“Seriusan, Vi! Dari tadi ngelihatin loe mulu, tauk! Apa jangan-jangan dia suka sama loe deh, Vi?” goda Prissy rada berbisik.
“Ah, ngaco loe! Kenal juga, nggak!” tukas Via. Prissy malah nyengir gak jelas.
“Tapi kalau emang beneran suka, gimana? Hehehe.” cecar Prissy semakin memojokkan Via. Membuat sahabatnya itu menjadi ilfeel.
“Tauk, ah! Ayo balik!” Via melangkahkan kakinya setelah sebelumnya membayar dua porsi siomay yang tadi disantapnya itu.
“Bentaran, gue mau minum dulu. Via... Via!” teriak Prissy melihat Via semakin jauh melangkahkan kakinya.
“Ibu, Prissy ke kelas dulu, ya? Besok janji deh ke sini lagi. Babay!” pamitnya ke Ibu tukang siomay.
“Iya Non, hati-hati!” jawabnya walaupun masih sibuk membereskan mejanya yang banyak dengan piring kotor.
***
Via
membalikkan badannya. “Kok gue salting gini, sih?! Lagian kenapa sih
tuh anak lihatin gue mulu?!” gumamnya kesal saat menyadari ada
seseorang yang memandangnya dari jauh.
“Via! Loe kenapa, sih? Gue panggil-panggil malah diam mulu!” tanya Prissy heran.
“Oh... iya, Pris, kenapa?” respon Via gelagapan. Kaget.
“Jam olahraga sudah mau selesai. Kita disuruh kumpul di sana sama Pak Joe.” Prissy menarik tangan Via. Orang aneh! batinnya, masih tetap memandangi orang yang tadi memperhatikannya.
“Pris! Bentaran, ya. Gue ke toilet dulu.” pinta Via sesampainya di tempat tujuan.
“Kemana loe? Jangan lama-lama!” cerewet Prissy.
“Tenang aja, Pris! Cuma setengah jam, kok.” jawab Via enteng.
Di
koridor, langkah Via semakin cepat. Matanya sangat serius menyelidik
tempat-tempat yang ia lewati. Ternyata Via bukan pergi ke toilet,
melainkan sedang mencari seseorang yang sudah seminggu ini membuatnya
risih. Tuh dia! batin Via saat menemukan orang yang dicarinya.
“Hei,
tunggu!” teriaknya. Orang tersebut menengok, ekspresi mukanya seakan
terkejut saat melihat Via lah orang yang memanggilnya.
“Hai! Maaf
ya sebelumnya, gue sudah ganggu. Eum... gue mau nanya, loe ada perlu
apa ya, sama gue? Perasaan akhir-akhir ini gue sering banget ngelihat
loe lagi mata-matain semua gerak-gerik gue. Bukannya gue ge-er ya,
cuman gue risih aja kalau terus-terusan dilihatin loe dari jauh. Serasa
jadi buronan, gitu.” kata Via rinci一terkesan to the point. Orang tersebut hanya tersenyum. Sangat manis.
“Maaf
juga ya, sebelumnya. Gue gak ada maksud apa-apa, kok. Apalagi punya
niat buat mata-matain loe. Cuman... gue, gue senang aja kalau lihatin
loe dari jauh. Loe itu unik!一” jawab orang tersebut, jujur. Via
mengembungkan kedua pipinya, memaklumi.
“... nama gue Alvin!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan kanannya.
“Via!” balas Via singkat sambil menjabat tangan Alvin.
***
Menggodaku...
Bikin ku malu...
Titip salam lewat semua teman-temanku
“Hai!” sapa Alvin sambil melambaikan telapak tangannya ketika Via dan Prissy lewat di depan kelasnya.
“Hai Alvin!” balas Prissy dengan melempar senyumnya ke semua teman-teman Alvin.
“Prissy!
Loe jangan keganjenan gitu, deh!” bisik Via pelan, namun penuh
penekanan. Kemudian Via hanya tersenyum hambar ke arah Alvin dengan
terus menggandeng Prissy agar tetap melangkah ke tempat tujuan awalnya,
kantin.
“Sakit tauk, Vi! Loe kenapa, sih?!” protes Prissy ke Via yang tadi mencubitnya waktu lewat kelas Alvin.
“Sudah deh, gak usah banyak omong!”
Seperti biasa, Via dan Prissy mendatangi tukang siomay yang sudah menjadi langganan mereka.
“Vi, Alvin itu cakep gak, sih?” tanya Prissy ditengah-tengah makannya.
“Gak tahu!” jawab Via enteng.
“Ish! Nyebelin. Seriusan!”
“Menurut loe aja gimana?” tanya balik Via.
“Menurut gue sih Alvin itu cakep, cool, cuek, manis, pokoknya perfect deh!一” jawab Prissy seakan membayangkan sosok Alvin di pikirannya.
“… Menurut loe sih, Vi? Gimana?”
“Samain aja deh sama pernyataan loe tadi.” jawab Via datar一lebih tepatnya sih enggan ngebahas soal tersebut.
“Eh! Alvin ke sini tuh, Vi!” heboh Prissy.
“Bodoh, ah! Mau ke sini kek, enggak kek!” jawab Via enteng.
“Gue boleh gabung, gak?” ijin Alvin ke Via dan Prissy.
“Boleh kok, Vin. Duduk aja!” kata Prissy semangat.
“Makasih!”
“Sendirian, Vin?” tanya Via, tetap sibuk dengan siomaynya.
“Lagi pengen sendiri aja. Kenapa, gitu?”
“Gak apa-apa, nanya aja.”
“Oya, Vin! Ngomong-ngomong tipe cewek loe kayak gimana?” serobot Prissy, kepo.
“Eum...
kayak gimana, ya? Pengennya?” tanya balik Alvin. Mendadak, Via
terkekeh mendengarnya. Apalagi saat melihat ekspresi muka Prissy yang
cengo.
“Emang enak! Hahaha.” ledek Via.
“Ih, Alvin! Seriusan, dong!” tukas Prissy.
“Hehehe... sorry!
Tipe cewek gue, ya? Eum... simpel kok, gak muluk-muluk. Gue lebih suka
cewek yang... kayak Via, unik!一” ucap Alvin spontan. Lagi, Via
tersedak. Prissy pun ikut terkejut dengan kata-kata Alvin.
“...
maksud gue, gue suka cewek yang mempunyai sifat unik, yang cewek-cewek
lain gak punya. Gitu...” sambungnya saat melihat ekspresi muka kedua
orang di depannya. Maksudnya apaan, sih? umpat Via dalam hati.
“Oh...
gitu maksudnya.” respon Prissy singkat. Sontak membuat muka Via
berubah menjadi merah jambu. Bukan karena kata-kata Alvin barusan,
melainkan tatapan bola mata Alvin yang terus memandangnya lekat dengan
seulas senyum.
***
Dua minggu yang
lalu mereka一Alvin dan Via kenalan, dua minggu itu pula Via selalu
dibuat salting oleh sikap Alvin yang terbilang tidak biasa. Acapkali
Via dan Prissy lewat ke kelas Alvin, selalu saja mereka mendapatkan
senyuman termanis dan sapaan halus dari Alvin yang kontan membuat hati
Via dan Prissy dag-dig-dug gak jelas一terlebih Via. Sekilas, mungkin hal
itu sangat wajar untuk seorang teman. Tapi yang ini beda, Via melihat
ada seberkas cahaya cinta di pelupuk mata Alvin dikala Alvin
menatapnya. Lensa matanya selalu bersinar, memancarkan tujuh warna
pelangi ke mata Via.
“Vi, tadi si Alvin nanyain loe, tuh!” kata Prissy yang baru datang dan langsung duduk di samping Via.
“Oh, ya?” responnya tanpa sedikitpun melirik Prissy. Via sibuk berkutat dengan PR Kimia yang belum dikerjakannya.
“Iya.
Dia nanya kenapa gue gak bareng sama loe.” lanjut Prissy yang kini
matanya mengikuti laju jemari Via di atas buku tulisnya.
“Kurang kerjaan! Gitu aja ditanyain.”
“Itu namanya perhatian, Via!” Prissy menyenggol pundak Via pelan.
“Perhatian?一” Via menatap Prissy heran.
“... Emang Alvin siapa gue?” sambungnya sesantai mungkin.
“Astaga,
Vi! Jangan-jangan一” heboh Prissy seakan menyadari sesuatu yang selama
ini gak pernah terpikirkan olehnya. Dan belum sempat Prissy melanjutkan
kalimatnya, Ify一teman ekskul Via dan Prissy datang menghampiri mereka.
“Vi,
gue dapet titipan nih buat loe.” kata Ify sambil menyodorkan kotak
kecil berwarna merah muda ke Via. Dahi Via mengernyit seketika, tak lupa
juga Prissy.
“Titipan? Dari siapa, Fy?” tanyanya heran. Ia menatap kotak itu dan melirik ke arah Prissy dan Ify bergantian.
“Gue
juga gak tahu, Vi. Tadi kan gue dari kantin, terus ada dua orang
cowok yang ngasih ini ke gue, katanya sih nitip buat elo.一” jelas Ify
rinci.
“... Tapi roman-romannya sih mereka juga kayak ketitipan lagi, gitu?” sambung Ify memperjelas.
“Kira-kira dari siapa, ya?” Prissy memainkan telunjuknya di dagu, berlagak mikir.
“Terus mereka bilang apa aja sama loe, Fy?” tanya Via一lagi masih penasaran.
“Kalau gak salah sih mereka juga nitip salam buat loe. Sudah, itu aja.” jawabnya mantap.
“Oh... kalau gitu makasih banyak ya, Fy!” ucap Via tulus. Ify tersenyum.
“Iya,
sama-sama. Gue balik ke kelas dulu ya, Vi, Pris? Kasihan Shilla lagi
nunggu di luar. Babay!” pamit Ify yang langsung melangkah pergi menyusul
Shilla一teman sekelas Ify yang mengantarnya ke kelas Via dan Prissy.
“Hati-hati ya, Fy!” kata Prissy dan Via berbarengan.
“Oke!”
ceplosnya mantap sambil mengacungkan jempol. Shilla ikut tersenyum
seakan bilang ke Via dan Prissy kalau dia juga pamit untuk ke kelas.
“Dari siapa ya, Vi?” tanya Prissy sambil kembali melirik kotak di tangan Via.
“Bentar, gue buka dulu!” Via membuka kotak itu secara perlahan.
“Kalung?” gumam Prissy saat Via mengambil sesuatu yang ada di dalam kotak tersebut.
“Ini dari Alvin, Pris!” kaget Via tegas.
***
Kau bilang kau suka padaku
Aku hargai itu...
Sabtu
sore, matahari disertai lembayung senja bersembunyi dibalik guratan
awan yang sedikit terlihat pekat. Pohon-pohon kelapa mematung, diam,
seakan raja angin telah lelah menghembuskan sejuk udaranya ke bumi.
Beriak air laut pun sedikit melemah dan hampir tak terlihat di
permukaan. Warna birunya sedikit tertutupi oleh hamparan oranye yang
menyelimuti di atasnya. Hening. Suasananya benar-benar damai. Meskipun
sunyi, keindahan alam seakan setia menampakkan dirinya untuk menghibur
dua pasang mata yang kini sedang berdiri menatap satu titik di ujung
sana.
Alvin mengajak Via ke pantai yang tak jauh dari
tempat mereka berkemah. Karena hari ini sekolah mereka sedang
mengadakan Persami一Perkemahan Sabtu Minggu yang rutin diadakan setahun
sekali pada tanggal 14 Agustus untuk ikut memperingati ulang tahun
Pramuka yang cukup berprestasi di Sekolah Harapan 1. Sejenak, Via
membiarkan kakinya tersapu oleh ombak yang begitu dingin hingga merambat
ke seluruh tubuhnya.
“Ini indah banget, Vin! Kok elo bisa tahu
kalau di sini ada tempat seindah ini, sih?” tanya Via dengan menatap
Alvin yang berdiri di belakangnya.
“Sebelumnya gue sudah pernah
ke sini, Vi. Dan menurut gue pun sama dengan pendapat loe barusan.
Pantai ini adalah pemandangan terindah yang pernah gue temui seumur
hidup.” jawab Alvin seraya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Via.
Mereka terlalu kagum menikmati setiap titik alam yang mempesona ini.
“Oh... terus, maksud loe ngajak gue ke sini? Kenapa?” tanya Via一lagi. Kali ini ia menatap semu wajah cowok di sampingnya.
“Eum...
gak apa-apa. Gue cuma pengen ngajak loe aja. Lagian kan sayang kalau
tempat seindah ini cuma gue aja yang tahu. Makanya gue ajak loe.” jawab
Alvin enteng. Aneh! batin Via. Lalu ia kembali menatap matahari yang kini tinggal sepenggal terbenam.
“Kenapa
loe gak ngajak Prissy dan yang lainnya? Pasti mereka juga bakal senang
deh melihat semua ini. Apalagi, menyaksikan matahari terbenam yang
menakjubkan.” Alvin terenyuh. Ia belum mau menjawab pertanyaan Via.
Hening. Untuk beberapa menit tak ada suara yang menyeruak diantara
Alvin dan Via. Yang terdengar hanyalah detak jantung mereka berdua yang
semakin seirama. Sejenak, Alvin memasukkan kedua tangan ke dalam saku
celananya.
“... itu karena, aku cuma ingin kamu seorang, Vi! Dan
aku hanya ingin kamulah satu-satunya cewek yang harus tahu tempat ini
terlebih dulu ketimbang cewek-cewek lain.” jawab Alvin spontan, namun
terdengar tulus di telingan Via. Via menatap Alvin lekat, ia bingung
dengan perubahan bahasa Alvin yang tadinya gue-elo menjadi aku-kamu.
Dan lagi, Via terus memandang wajah Alvin seakan berharap kelanjutan
dari kata-kata Alvin barusan.
“Tempat ini indah, sejuk, asri dan
pastinya nyaman. Dan lagi, yang seharusnya kamu tahu, semua perasaan
itu selalu hadir disaat aku dekat dengan kamu, Vi. Entah kenapa?” jelas
Alvin dengan tanpa sedikitpun menatap mata Via. Via terus menatap
Alvin lekat.
“Loe lagi bercanda, kan, Vin? Gak lucu, ah! Balik ke
tenda, yuk? Sudah mau malam nih, takut pada nyariin.” ajak Via sambil
menyentuh pundak Alvin dan berjalan perlahan meninggalkannya. Alvin
termangu, menarik napasnya panjang-panjang. Kemudian ia mengikuti Via
dari belakang.
***
Bintang
bertaburan. Sepoi angin malam menusuk pori-pori kulit. Dingin. Namun
kehangatan mulai terasa dikala api unggun membara terang di
tengah-tengah lingkaran manusia yang saling berpegangan tangan. Mata
mereka bersinar memantulkan cahaya api malam itu. Alunan melodi gitar
pun ikut memeriahkan suasana sekitar serta diselingkan lagu-lagu remaja
yang menggema. Meskipun sebagian dari mereka ada juga yang menghindar
dari alunan musik teman-temannya dan lebih memilih menyendiri di tenda
atau hanya sekedar mengobrol berdua di tempat lain. Seperti biasa,
layaknya di sekolah.
“Vi, loe bawa sarung tangan dua, gak?” tanya
Prissy ke Via yang sedang duduk di depan tenda ditemani segelas kopi
susu yang baru dibuatnya.
“Kayaknya bawa, deh. Ambil aja di tas gue, Pris!” jawab Via.
“Sip! Thanks, ya!”
“Oke. Apa sih yang enggak buat my barbie? Hehehe.” balas Via agak lebay. Tiba-tiba, tangan Via seakan ada yang menarik. Perlahan, namun pasti.
Via
terkesiap. Awalnya ia hendak berteriak, namun niatnya terhenti ketika
mengetahui kalau orang yang menariknya itu adalah Alvin. Ada apa lagi sih, Vin? Loe tuh sering bikin gue penasaran, deh!
umpat Via dalam hati. Namun, Via sengaja tak mengeluarkan sepatah
katapun. Ia membiarkan Alvin menarik tangannya. Meski ia harus
bertanya-tanya kemana Alvin akan membawanya?
Alvin
berhenti di tempat yang pernah ia kunjungi bersama Via sore tadi.
Dilepaskannya tangan Via perlahan, namun langkahnya terus bergerak
meskipun sapuan air laut membasahi celana panjangnya. Via termangu,
mengeluarkan ekspresi kagumnya saat melihat betapa eloknya sang bulan
yang membentang bebas di atas lautan. Gagah. Berkilau. Bersinar
terang. Air laut yang biru pun seakan bersemu putih menyerap sinar
lampion raksasa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa itu. Pohon-pohon kelapa
yang sempat membisu cukup lamapun dengan lihainya bergerak memberikan
sentuhan halus ke kulit ari. Serta ombak kecil yang semakin malam
semakin melebar itu ikut serta memberi kedamaian di sekitar pantai.
Wajah Alvin berseri, ia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
“Ini
lebih mengagumkan dari yang tadi sore, Vin!” ucap Via yang ikut
mematung di pinggir Alvin. Lalu, mereka pun duduk berniat untuk sejenak
menikmati terangnya bulan serta hangatnya angin malam yang tidak
begitu kencang berhembus. Tak perduli meski celana mereka terkena
sapuan ombak-ombak kecil yang menghampirinya.
***
Kilauan
oranye api unggun mulai memudar. Namun hangatnya masih menguasai
sekitar tenda. Sedangkan penghuninya masih menyibukkan diri dengan
berbagai aktifitas masing-masing.
“Fy, loe lihat Via, gak?” tanya Prissy ke Ify yang lagi ngumpul sambil nyanyi-nyanyi bareng anak-anak pramuka yang lain.
“Via? Gue gak lihat, Pris. Emangnya Via ke mana? Kan biasanya berdua mulu sama loe?” tanya balik Ify.
“Gue juga gak tahu, Fy. Makanya gue nanya ke elo, kirain gue tuh elo tahu Via dimana.” ucap Prissy. Ify menggeleng.
“Ada apa sih, Fy?” tanya cowok di sebelah Ify.
“Ini, teman gue lagi nyari sahabatnya.” jawab Ify mantap. Orang tersebut menatap Prissy sejenak.
“Oh... yang tadi duduk di tenda itu, bukan?” tanya Gabriel一cowok tadi dengan menunjuk tenda Via dan Prissy.
“Iya, betul! Loe tahu gak, dia ke mana?” Prissy mengalihkan pandangannya ke Gabriel.
“Kalau gak salah tadi tuh lari ke sana, bareng Alvin!” Gabriel menunjuk arah yang tadi dilalui Alvin dan Via.
“Hah?
Alvin?! Mau kemana, ya? Eum... ya sudah, makasih ya! Kalau gitu gue ke
tenda dulu.” pamit Prissy. Tapi, belum sempat ia melangkah, tangannya
dipegang Gabriel.
“Mau ke mana? Kenapa gak gabung dulu aja bareng kita-kita?” tawar Gabriel ikut berdiri di hadapan Prissy.
“Nggak, ah! Dingin. Gue gak kuat kalau di luar lama-lama.” balas Prissy pelan.
“Emangnya loe gak bawa sarung tangan?” tanya Gabriel saat melihat tangan Prissy yang terus-terusan mengepal kedinginan.
“Gue
lupa bawa. Tadi kan gue sempat minjam ke Via, katanya sih ada di tas,
pas dicari malah gak ada. Makanya gue nyariin dia.” jelasnya sambil
berjalan pelan. Gabriel juga mengikutinya dari samping.
“Gue bawa dua tuh, loe mau minjam?” tawar Gabriel disertai senyum khasnya.
“Eum... boleh!” terima Prissy dengan membalas senyum Gabriel.
“Bentar
ya, gue ambil dulu di tenda.” Gabriel berlari kecil menuju tendanya.
Tanpa sadar, Prissy terus-terusan memandangi punggung cowok yang belum
dikenalnya itu dengan mata berbinar. Baik banget, sih? batinnya.
Beberapa detik kemudian, “Sorry lama. Nih sarung tangannya!” kata Gabriel setelah sampai di hadapan Prissy.
“Makasih, ya!” Prissy meraihnya dan segera memakai sarung tangan tersebut.
“Eum... nama loe siapa?一” tanya Gabriel canggung.
“... Gue Gabriel!” lanjutnya dengan mengulurkan tangan.
“Prissy!”
“Nama yang cantik! Seperti orangnya.” goda Gabriel yang sukses membuat pipi bakpao Prissy memerah jambu.
“Ih bisa aja, deh.” ucapnya sambil memalingkan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.
“Seriusan! Gak bohong!” yakin Gabriel.
“Gombal,
nih? Eum... ngomong-ngomong Via sama Alvin ke mana, ya? Kebiasaan deh
ngilang gitu aja!” Prissy menatap bulan yang saat itu sudah cukup
meninggi.
“Gue juga gak tau, Pris.一” jawab Gabriel. Sesaat, hening mulai mengembara untuk beberapa detik.
“Bulannya cantik, ya?” tanya Gabriel seakan tak ada lagi pertanyaan yang lebih penting.
“Iya. Jarang-jarang bisa lihat bulan seindah ini.” jawab Prissy kagum.
“Gue sih sering banget lihat kayak beginian. Hampir tiap hari, malah.”
“Oh, ya? Kok bisa?” Prissy menatap Gabriel kaget.
“Ya... soalnya di rumah gue ada lukisan bulan yang persis kayak gini. Hehehe.” jawabnya dibarengi dengan ketawa yang lucu.
“Ih, kirain beneran. Ada-ada aja loe, Yel.”
“Eum... Prissy! Kalau boleh tahu, loe sudah punya一”
“Iel!
Prissy! Mau ikut foto-foto, gak? Ayo sini!” teriak Ify di tengah
kerumunan orang-orang di dekat bara api unggun. Saat itu pula, Gabriel
mengembuskan napas panjangnya. Gugup.
Pertanyaan terberat yang hendak diucapkannya itu telah terpotong oleh panggilan Ify yang kurang bersahabat.
“Bentar,
Fy! Gue ikutan! ... Ayo, Yel! Mau ikut foto-foto, gak?” tawar Prissy
dengan membantu Gabriel bangun. Terpaksa Gabriel mengikuti Prissy yang
lebih dulu pergi setelah menarik tangannya untuk bangun. Ia menggaruk
kepala belakangnya yang gak gatal itu.
“Loe sudah punya pacar, belum, Pris?” gumam Gabriel dengan menatap punggung Prissy. Galau.
***
Mereka
berdua bangun dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ternyata ombak
yang menyapu pantai sudah semakin meninggi. Angin malam pun semakin
kencang berhembus. Gelombang pasang telah tiba.
“Kita balik ke
tenda yuk, Vin? Anak-anak yang lain takut pada nyariin.” ajak Via.
Alvin tak merespon. Ia masih enggan meninggalkan pantai itu. Terlalu
disayangkan.
“Gue duluan ya, Vin?” sambung Via saat menyadari
kalau Alvin tak berkata apa-apa. Ia pun melangkah pergi meninggalkannya
sendirian.
“Vi? Jangan pergi! Aku mohon,一” panggil Alvin pelan. Tetapi jelas terdengar di telinga Via.
“...
Aku, aku sudah tidak tahan lagi dengan perasaan ini, Vi. Terlalu sulit
untukku memendam perasaan yang indah ini terlalu lama.” Via tergelak,
tak bisa mengerti dengan ucapan Alvin barusan. Ia pun melangkah
mendekati Alvin yang masih terpaku dengan kakinya yang terus-terusan
tersapu ombak.
“Maksud kamu apa, Vin? Aku gak ngerti.” dilihatnya mata Alvin yang berbinar seakan memantulkan cahaya bulan ke bola matanya.
“Aku...
aku cinta sama kamu, Vi! Aku sayang! Dan aku gak bisa jauh dari kamu.
Sudah lama, sejak pertama kali aku ketemu kamu, aku begitu
mengaggumimu, Vi. Entah kenapa, semua yang aku lihat dari kamu dan
semua yang aku rasakan saat melihatmu, itu membuatku merasa bahagia.
Via... entah kenapa, setelah mengenal kamu lebih dekat dan bisa masuk
ke dalam kehidupan kamu lebih jauh, aku merasakan kebahagiaan yang
benar-benar belum pernah aku rasakan sebelumnya.一” jelas Alvin jujur.
Kali ini nasibnya ia pasrahkan di hadapan Via一gadis yang selama ini ia
kagumi dan ia cintai.
“... Via, maukah kamu jadi pacarku?” tembak Alvin seraya menggenggam tangan Via dan berlutut di hadapannya.
“Vin...一” lirih Via diiringi dengan tarikan napas yang begitu berat.
“...
Maaf sebelumnya, bukannya aku gak pernah tahu akan perubahan sikap
kamu ke aku itu didasari adanya perasaan suka ataupun cinta. Aku hanya
berharap gak tahu itu semua, Vin. Aku takut itu hanya ge-er ku
semata.一” Via mengangkat tangan Alvin agar berdiri.
“... Dan
malam ini, aku sudah tahu semuanya. Dugaanku benar, kamu memang suka
sama aku, bahkan bukan cuma suka, tapi cinta. Alvin... maafin aku, ya?
Aku hargai kok perasaan kamu dan aku acungkan jempol karena kamu sudah
mempunyai keberanian buat nembak aku. Cuman, aku gak bisa terima kamu!
Aku belum mau pacaran, Vin. Aku pengen serius sekolah dulu.” terpaksa
Via melepaskan genggaman Alvin dan membelakanginya. Maksud Via cuma
satu, ia gak kuasa melihat kekecewaan yang terpancar dari raut wajah
Alvin.
“Eum... gak apa-apa kok, aku ngerti. Lagian aku juga gak maksa kamu buat jadi pacar aku. Itu hak kamu, Vi!” lirih Alvin.
“Maafin aku, Vin!” suara Via melemah. Alvin tersenyum.
“Via... aku boleh minta sesuatu, gak? Untuk kali ini aja.” pinta Alvin tiba-tiba. Via membalikkan badannya.
“Anything for you, Alvin.”
“Makasih,
ya. Eum... aku, aku cuma ingin kamu peluk aku, walaupun cuma sebentar.
Aku mohon,” ucapnya penuh harapan. Sedetik, tubuh Via mendarat
dipelukkan Alvin. Erat.
“Kita masih bisa berteman, kan?” tanya Via dalam pelukkan.
“Selalu...
apapun yang terjadi, aku pasti ada untukmu!” jawab Alvin mantap.
Mendengar itu, Via semakin erat memeluknya. Seakan gak mau kehilangan
Alvin, begitupun sebaliknya.
Di langit, bintang-bintang ikut berseri. Sang bulan pun tersenyum melihat mereka berdua. Alvin dan Via.
Kita masih sangat muda
Belum waktunya...
Sekolah saja dulu raih cita-cita
Urusan pacaran tak usah sekarang
Kita BERTEMAN SAJA...
The End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar