Ruangan itu masih terlihat sepi sejak dua jam yang lalu. Karena mungkin
si penghuni terlalu betah bersembunyi di balik selimut tebal yang kini
sudah tak jelas lagi bentuk aslinya. Ditambah dengan berbagai macam
peralatan sekolah yang berserakan tak jelas di sekitar tempat tidur itu
menggenapkan suasana kamar yang super berantakan.
Pasalnya, si
penghuni kamar yang memang berjenis kelamin cewek itu hobi banget
membuat tempat tidurnya berantakan. Apalagi kalau pas pulang sekolah, ia
selalu membuang tas maupun sepatunya asal. Jadi tak diharamkan lagi
kalau ia sering mendapatkan omelan dari kedua orangtuanya. Begitulah
remaja zaman sekarang. Selalu hidup seenaknya sendiri.
“Via, cepetan
bangun! Mama udah masakin makanan kesukaan kamu.” sedetik setelah tangan
orang yang berbicara tersebut membuka pintu, ia langsung menggeleng
pasrah.
“Kamu tuh kebiasaan banget ya bikin kamar berantakan kalau
pulang sekolah!” omel wanita paruh baya tadi seraya mengambil satu
persatu benda-benda yang berserakan dan menaruhnya ke tempat benda-benda
tersebut biasa disimpan. Lalu ia beralih ke tempat tidur, tepatnya ke
arah selimut yang masih membalut asal seorang cewek yang masih tentram
di alam mimpinya meski wanita paruh baya tadi sudah memberi
omelan-omelan yang mungkin memang sering didengarnya setiap hari. Bahkan
setiap detik.
“Ayo bangun, Via! Entar keburu dingin makanannya. Ayo
cepetan bangun!” cewek bernama panggilan Via itu akhirnya membuka kedua
matanya perlahan. Sejenak, ia memajukan bibir bawahnya ke depan.
“Masih ngantuk, Ma.” rengeknya.
“Tapi kamu belum makan siang, Sayang. Lagian tidur siang itu gak perlu lama-lama, dua jam juga cukup.”
“Tapi, Ma?”
“Udah
cepetan bangun! Cuci muka dulu, terus makan siang. Mama tunggu di
bawah.” ia mendengus setelah beberapa detik pintu kamarnya ditutup oleh
sang Mama.
“Gue tidur lagi ah, masih ngantuk. Lagian gak makan siang
juga gak bakal mati kan?” ditariknya kembali selimut yang masih setia
menutupi sebagian kakinya.
“Aawww!!!” jerit cewek tersebut tiba-tiba. Lantas ia meringis dan sedikit mengipas-ngipaskan kelima jemarinya ke dekat pipi. Perih.
“Dasar
cincin sialan! Jadi perih kan pipi gue?” kesalnya kemudian setelah
cincin yang belum lama ini dipakainya dengan tak sengaja menggores pipi
kirinya. Lalu ia mengusap perlahan permata berwarna ungu yang terdapat
di lingkaran cincin tersebut.
***
Sivia Rain. Cewek
cantik yang bersifat sedikit tomboy itu keluar dari toilet dengan
terpaksa. Karena tadi aksi tidur lagi untuk kedua kalinya itu gagal
begitu sang Mama datang dan kembali mengomel kepadanya. Lantas ia
menyambar handuk kecil dan mengelap mukanya perlahan.
“Woy, siapa loe?!” tiba-tiba Sivia melihat seseorang sedang tersenyum kepadanya di balik cermin. Ia sedikit tersentak.
“Han...
han... hantuuuuu!!!” lalu Sivia berteriak kencang dan berlari ke lantai
bawah setelah sosok orang yang tadi tersenyum kepadanya menghilang
begitu saja.
“Mamaaaa ada hantuuuuu!!!”
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya heran saat Sivia memeluknya erat sambil histeris ketakutan.
“Di kamar Via ada hantu, Ma!” ujarnya. Sang Mama terkekeh seketika. Lalu ia melepaskan pelukan anaknya perlahan.
“Kamu mimpi? Mana ada hantu di siang bolong kaya gini?” Sivia mendecak.
“Tapi tadi Via bener-bener lihat hantu, Ma! Dia senyum sama Via, terus ngilang gitu aja.” ungkap Sivia meyakinkan.
“Makanya jangan lama-lama kalau tidur siang. Jadi mimpiin hantu kan?”
“Ih, Mama! Via gak mimpi tau, Via bener-bener lihat hantu.”
“Udah-udah!
Mendingan sekarang kamu makan siang dulu. Mama mau ke dapur sebentar.”
kata sang Mama sembari melangkah pergi meninggalkan Sivia yang kini
bertingkah aneh menurutnya.
“Masa sih gue mimpi? Tapi gue beneran
lihat kok!” ucap Sivia pada diri sendiri. Ia masih heran dengan apa yang
dialaminya sekarang.
“Tau ah! Ngapain juga gue ngurusin hantu? Kan
belum tentu tuh hantu ngurusin gue!” kemudian Sivia duduk dan menyantap
satu porsi nasi goreng yang sudah disiapkan Mamanya di meja makan
tersebut.
“Nih minumnya, Sayang.”
“Makasih ya, Ma!” Sivia pun langsung tersenyum ke Mamanya.
“Udah ketemu hantunya?” sang Mama menyeringai jahil ke arah anaknya.
“Mamaaaa!!!”
“Lagian kamu ada-ada aja sih. Masa jam segini ada hantu?”
“Ya mungkin aja lagi bergadang tuh si hantunya, Ma.” mereka tertawa kemudian.
“Cepetan abisin makanannya! Terus bantu Mama cuci piring.” Sivia mengangguk dan mencoba mempercepat gerakan makannya.
***
Sivia
langsung duduk lesu di teras depan kelasnya setelah beberapa saat ia
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru Geografi ke anak-anak kelas
XI IPS 1. Kemudian Sivia termenung seketika, memandang ke arah lapangan
basket yang saat itu ada sebagian anak cowok sedang bermain di sana.
“Loe
kenapa sih, Vi? Lecek gitu muka loe. Loe sakit?” Sivia menggeleng cepat
begitu Ify一salah satu sahabat Sivia一bertanya padanya.
“Terus loe kenapa?” Ify mengernyit.
“Gue
gak apa-apa, Fy. Tadi gue lupa nyetrika muka gue, jadi lecek gini deh.
Hehehe.” gurau Sivia sambil memamerkan lesung pipitnya ke Ify.
“Pantesan!
Sini gue setrikain, gue bawa setrikaan kok di tas. Hahaha.” kini
giliran Ify yang memamerkan gigi putihnya yang terjaga ketat oleh behel
berwarna hitam tersebut.
“Boleh juga tuh. Ambil gih!” ucap Sivia yang berhasil membuat Ify membulatkan mulut.
“Serius loe? Entar ya gue ambil dulu?” mereka tiba-tiba terkekeh tak jelas. Lalu diam kembali, seperti semula.
“Eh
Vi, tuh cincin beli di mana? Kok jadul gitu sih? Warisan ya?” Sivia
mengangkat tangan kirinya perlahan. Ia memandang lekat cincin yang kini
jadi bahan pertanyaan Ify.
“Gue gak beli cincin ini, Fy. Dan cincin ini juga bukan warisan dari bokap nyokap gue.”
“Terus?”
“Gue
nemu cincin ini di jalan, seminggu yang lalu.” jawab Sivia yakin. Untuk
sejenak, Ify menarik tangan sahabatnya dan meneliti lebih detail lagi
cincin yang dipakai Sivia tersebut.
“Kelihatannya keramat banget nih cincin, Vi. Serem gue lihatnya.”
“Ah,
biasa aja! Parnoan loe jadi orang.” Sivia menyenggol pundak Ify
spontan. Kemudian ia kembali memandang segerombolan cowok-cowok yang
sedang memperebutkan bola besar berwarna merah di lapangan pusat milik
sekolahnya.
“Lihatin Cakka mulu deh!” goda Ify jahil.
Di tengah lapang sana
memang ada satu cowok yang mungkin bisa dibilang cowok paling keren
ketimbang cowok-cowok yang lain. Rambutnya sedikit panjang, berpostur
badan tinggi dan berkulit putih yang kini terduduk sambil tersenyum
melihat teman-temannya bermain basket sambil bercanda ria. Lantas ia
mengelap keringat serta meraih sebotol minuman yang sudah tersedia di
dekatnya.
“Kalau iya emang kenapa? Loe cemburu?” lalu Ify mengernyit mendengar jawaban sahabatnya tersebut.
“Cemburu? Kenapa mesti cemburu? Gue gak suka sama Cakka.”
“Gue juga gak suka sama Cakka. Gue cuma kagum,”
“Masa
sih? Kagum kok sampai segitunya ya?” tanya Ify heran.
“Awas loe
hati-hati, jangan sampai berlebihan kagumnya. Dia udah punya Shilla lho,
si Lady Bossy!” lanjut Ify.
“Slow ajalah, Fy. Gue gak bakalan suka
sama Cakka, karena gue bukan tipe cewek yang suka rebut cowok orang. So,
percaya sama gue.” Sivia tersenyum yakin ke arah Ify.
“Tapi kenapa loe mau aja kalau diajak ke kantin berdua sama Cakka? Ish!” sedetik, Sivia langsung merangkul pundak Ify pelan.
“Cakka
emang pacarnya Shilla, tapi bukan berarti dia gak boleh main sama gue
kan? Lagian loe tau sendiri kalau Cakka itu temen gue dari kelas X.” Ify
mengangguk.
“Iya juga sih. Dan menurut gue nih ya, Cakka itu kayanya gak bener-bener suka deh sama Shilla.” bisiknya. Sivia mengangkat bahu.
“Kalau itu gue gak tau, Fy. Mungkin dia kepaksa kali pacaran sama Shilla demi tradisi sekolah ini. Mungkin lho Fy, mungkin!”
“Bisa
jadi, bisa jadi. Faktanya emang semua siswa-siswi yang pernah jadi
kapten basket sama kapten cheers itu berpacaran cuma buat sensasi doang.
Gak bener-bener pacaran.” Sivia kembali mengangkat bahu.
“Udahan ah! Kok malah jadi ngomongin Cakka sama Shilla? Kaya gak ada yang lebih penting aja.”
“Iya ya? Kok kita malah ngomongin hubungan Cakka sama Shilla?” sambung Ify.
“Loe sih yang duluan!”
“Kok gue?”
“Emang elo!”
“Lah kok?”
“Tau ah! Kantin aja yuk? Laper gue,” ajak Sivia tanpa menghiraukan ekspresi sahabatnya yang terbengong-bengong.
***
“Woy, keluar loe! Jangan nakut-nakutin gue!” Sivia
berdiri menghadap balkon kamarnya. Ia sudah merasa kesal dengan semua
gangguan yang telah mengusik kehidupannya akhir-akhir ini.
Dan
beberapa detik setelah Sivia mencoba mengancam, sesosok makhluk putih
mendadak muncul di hadapan Sivia. Sivia mematung sejenak, mulutnya
seakan susah untuk berteriak. Ia hanya berdiri kaku dengan memasang
wajah ketakutannya sekuat mungkin.
“Hantuuuuu!!!” teriaknya kemudian.
Ingin rasanya Sivia berlari sejauh mungkin dari makhluk putih tersebut,
namun kakinya seakan sudah menempel dengan lantai dan sulit digerakkan.
“Pergi loe dari sini, pergi! Jangan ganggu gue!” histeris Sivia sembari menutup mukanya.
“Gue
gak pernah ganggu loe kan? Gue juga gak pernah ada masalah sama loe!
Jadi gue mohon, jangan ganggu gue.” makhluk itu malah tersenyum.
“Gue
di sini bukan buat ganggu loe. Dan asal loe tau ya, gue itu bukan
hantu! Gue jin.” kini giliran makhluk itu yang angkat bicara. Untuk
sesaat, Sivia terdiam dan membuka matanya sedikit demi sedikit. Meski
dalam keadaan takut, ia berusaha memberanikan diri menghadapi makhluk
yang hampir saja membuatnya mati berdiri di tempat.
“Sekarang mau loe
apa? Loe gak mau bunuh gue kan?” tanya Sivia takut-takut. Bahkan Sivia
sedikit berancang-ancang untuk mencari celah buat kabur dari makhluk
mengerikan tersebut.
“Sembarangan loe kalau ngomong! Emangnya gue jin
apaan pakai acara bunuh-bunuh manusia segala.” makhluk itu memutar
matanya kesal.
“Terus loe mau ngapain? Please, jangan ganggu gue! Gue
gak mau ada urusan sama loe. Kita itu beda dunia!” Sivia mengatupkan
kedua tangannya di dada.
“Gue gak mau ngapa-ngapain kok. Gue cuma mau
bilang makasih sama loe. Udah itu aja.” kata makhluk itu santai.
Sedangkan Sivia hanya mengerutkan keningnya bingung.
“Makasih buat apa? Gue gak ngerti.”
“Makasih
karena loe udah keluarin gue dari cincin kutukan itu.” Sivia
membulatkan mulutnya. Lantas ia beralih ke sebuah cincin yang melingkar
indah di jari manisnya.
“Maksud loe? Loe keluar dari sini?” tanyanya kemudian.
“Iya, gue keluar dari situ. Dulu gue dikutuk sama leluhur gue di dalem
cincin itu, dan kutukan itu akan hilang kalau ada seorang manusia yang
mau mengusap permata yang ada di cincin tersebut.” jelas makhluk tadi
seraya mendekati Sivia yang masih berdiri terdiam.
“Jangan deketin gue!” ancam Sivia keras. Lantas makhluk tersebut langsung berhenti.
“Kenapa mesti takut? Kan gue udah jelasin semuanya.”
“Loe udah bilang terimakasih kan sama gue? Jadi loe bisa pergi sekarang!” usir Sivia yakin.
“Gue gak bisa pergi gitu aja. Gue,” tiba-tiba Sivia berontak dan berusaha melepaskan cincin yang ada di jemarinya.
“Gue
harus lepasin cincin ini! Gue gak mau terus-terusan diganggu sama
makhluk aneh seperti loe!” makhluk itu malah tertawa melihat tingkah
Sivia. Lantas ia terbang sedikit lebih tinggi dari kepala cewek
tersebut.
“Sampai kapanpun loe gak bakal bisa lepasin cincin itu!” Sivia melotot seketika.
“Kenapa?! Arrrrgggghhhh!!!”
“Cincin itu gak akan pernah bisa lepas sebelum loe mau meminta dua permohonan sama gue.”
“Gue gak mau! Pasti ada cara lain buat lepasin cincin ini di jari gue!” bentak Sivia keras.
“Loe gak bakal bisa! Percaya sama gue,”
“Terus
sekarang gue harus ngapain biar cincin ini bisa lepas?!” makhluk itu
kembali tersenyum dan berpindah posisi ke samping Sivia.
“Mintalah
dua permohonan sama gue! Pasti bakal gue kabulin.” Sivia menghela napas
beratnya. Untuk kali ini otaknya benar-benar tak bisa diajak untuk
berpikir jernih.
“Gue mau loe pergi jauh-jauh dari gue dan gak pernah kembali lagi ke sini. Udah itu aja!” makhluk itu mendecak. Sebal.
“Maaf
bos, kayanya permohonan tersebut gak bisa gue kabulin. Karena gue cuma
bisa mengabulkan permohonan-permohonan yang gak ada sangkut pautnya sama
gue.”
“Ish! Katanya loe mau ngabulin apapun permintaan gue? Jin macam apaan loe?!”
“Gue
itu jin modern! Beda dengan jin-jin yang lain. Dan gue adalah jin
paling kece di antara jin-jin abad ke-20 ini.” Sivia mendengus. Ia
berusaha keras memutar bola matanya.
“Songong banget loe jadi jin! Apa loe mau gue masukin lagi ke sini?!” ancam Sivia seketika.
“Ampun bos, ampun! Gue bercanda doang kali.”
“Terserah loe deh! Oh iya, loe sekarang mengabdi sama gue kan?” makhluk itu mengangguk.
“Loe mau turutin semua permintaan gue kan?” makhluk itu mengangguk lagi.
“Oke,
kalau gitu sekarang loe masuk dulu ke dalem cincin ini, entar gue
panggil loe lagi kalau gue butuh bantuan loe. Gimana?” tawar Sivia
enteng.
“Baiklah!”
“Tapi tunggu dulu! Loe punya nama gak? Kenalin,
gue Sivia. Loe boleh manggil gue dengan sebutan Via.” ungkap Sivia
seraya menjulurkan tangannya.
“Oh, tentu punya dong! Nama gue
JinKer.” makhluk itu membalas uluran tangan Sivia. Selain wujudnya mirip
seperti manusia biasa, makhluk itu juga bisa menyentuh benda-benda yang
ada di sekitarnya. Maklum, makhluk zaman modern. Ya begitulah.
“JinKer? Gak ada nama lain yang lebih bagus gitu?” ledek Sivia sambil mengangkat salah satu alisnya.
“JinKer itu ada singkatannya, bos!”
“Apa tuh?”
“Jin Keren! Bagus gak?”
“Pede parah loe! Cepetan loe ganti nama loe sekarang juga!”
“Gimana kalau nama gue diganti dengan nama majikan gue waktu dulu, Tuan Joe!” Sivia mengernyit.
“Jangan! Nama itu terlalu keren buat loe.”
“Ya udah deh nama anaknya aja, Tuan Alvin. Gimana?” Sivia berpikir sejenak.
“Alvin?
Apa gak kebagusan juga buat loe? Tapi terserah loe aja deh!” makhluk
itu一yang kini berganti nama menjadi Alvin一akhirnya tersenyum.
“Baiklah, bos! Hahaha nama gue Alvin sekarang.” sumringah Alvin sambil melayang-layang tak jelas di udara.
“Jangan panggil gue bos! Gue bukan bos loe, ngerti?!” omel Sivia sinis.
“Terus gue manggil apa dong?”
“Panggil gue Sivia atau Via!” Alvin mengangkat jempolnya sambil nyengir.
“Eh, tapi loe gak bisa dilihat sama orang lain kan?” tanya Sivia penasaran. Alvin mengangkat bahu.
“Kurang
tau kalau itu. Ya seharusnya sih cuma loe yang bisa lihat gue, tapi
kadang-kadang ada juga sih yang bisa lihat gue.” Sivia mengangguk.
“Ya udah deh kalau gitu loe masuk dulu ke sini, gue mau tidur. Besok gue mau berangkat pagi-pagi, ada piket.”
“Laksanakan!” teriak Alvin penuh semangat. Lantas ia bergegas masuk.
***
Sivia langsung meringis kesakitan saat pantatnya tanpa
sengaja menyentuh lantai begitu keras. Tak kalah juga dengan orang yang
jatuh bersamaan dengan Sivia, ia mendengus kesal. Lantas mereka berdiri
dengan sedikit menahan rasa perih di pantatnya sambil mendumal sinis.
“Loe pakai mata gak sih kalau jalan?!” oceh cewek yang kini menekuk wajah emosinya di hadapan Sivia. Sivia memutar mata sejenak.
“Yang jalan gak pakai mata itu gue apa loe?!”
“Ish! Udah jelas-jelas loe yang nabrak gue. Gimana sih?!” bela cewek tersebut tak mau kalah dari Sivia.
“Masa
sih? Yang lagi jalan itu siapa ya? Perasaan dari tadi gue berdiri di
sini aja deh. Loe kali yang nabrak gue!” kata Sivia sinis.
“Loe jangan nyalahin gue!”
“Gue
gak nyalahin loe kok. Tapi fakta yang bilang kalau loe yang salah.
Ngaku salah aja susah banget sih. Ish!” cewek itu menggeram dan mencoba
meminta pembelaan dari cowok yang memang sejak tadi berjalan bersamanya.
Cakka.
“Shilla, udah deh jangan emosi gitu. Lagian Via gak salah
kok, kamu juga yang jalannya gak lihat-lihat.” kata Cakka enteng dan
langsung membuat Sivia tersenyum bangga mendengarnya.
“Kok kamu malah belain dia sih, Sayang? Kamu jahat deh sama aku!” Shilla memanyunkan bibirnya.
“Bukan
gitu maksud aku. Tapi emang kamu yang salah, Sayang. Semua yang ada di
sini juga pada tau kok. Coba deh tanya mereka?” lalu Cakka menunjuk
orang-orang yang mungkin bisa menjadi saksi dengan kejadian yang barusan
dialami Sivia dan Shilla.
“Tau ah! Aku benci sama kamu!” Shilla beranjak meninggalkan Cakka dan Sivia dengan perasaan dongkol.
“Shilla?!”
“Cepetan tuh kejar!” suruh Sivia ogah-ogahan.
“Sori ya, Vi?”
“Nyantai ajalah. Gue gak apa-apa kok. Udah sana kejar pacar loe!” Cakka pun tersenyum dan langsung menuruti saran dari Sivia.
“Dasar cewek aneh!” decak Sivia kemudian.
“Siapa sih dia? Musuh loe, Vi?” tiba-tiba Alvin muncul di samping Sivia. Untuk sejenak, Sivia memutar mata kesal.
“Bisa gak sih munculnya gak mendadak gitu?! Mau bikin gue jantungan?!” Alvin nyengir seketika.
“Gitu aja kok marah sih? Sori-sori,” Alvin mengatupkan kedua tangannya sigap.
“Mereka siapa sih? Ngeselin banget kelihatannya.” tanya Alvin lagi.
“Kepo banget loe jadi orang! Eh, maksud gue, jadi jin.”
“Emang kalau jin kepo itu salah ya?” Sivia melotot ke arah Alvin yang kini raut mukanya berubah bingung.
“Salah besar! Soalnya ini urusan manusia, bukan urusan jin!” timpal Sivia sambil bermelet ria.
“Ya udah kalau gitu.”
“Ciye ngambek ciye! Dasar jin alay loe! Hahaha.” Sivia menjitak kepala Alvin keras.
“Vi, loe gak sakit kan?” tanya seseorang yang tak sengaja melihat tingkah aneh Sivia.
“Hah? Maksud loe?!” balas Sivia penuh heran.
“Loe kaya orang gila Vi, ngomong sendiri.” Sivia langsung menepuk keningnya perlahan.
“Emang enak dikira gila? Hahaha.” ledek Alvin jahil.
“Eh,
gue tuh lagi latihan buat praktek drama tau!” kilah Sivia ke orang
tadi. Lantas ia langsung melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut.
“Dasar manusia aneh! Huuuuhhhh!!!” gumam Alvin sambil melayang-layang gak jelas mengikuti Sivia.
“Gara-gara loe juga sih!” bentak Sivia di tengah-tengah langkahnya menuju toilet.
“Malah gue yang disalahin sih? Dasar, pengennya menang sendiri aja!” decak Alvin sambil melipat kedua tangannya.
“Emang loe yang salah kali! Suruh siapa loe nongol tiba-tiba?”
“Ya
kan namanya juga jin. Masa gue mesti bilang-bilang dulu sama loe? Apa perlu gue
mesti BBM loe sebelum gue dateng? Terus gue mesti mention atau ngewall ke akun twitter sama facebook
loe juga gitu? Ish!” sinis Alvin tak mau kalah.
“Tau ah! Capek gue ngomong
sama jin kaya loe! Mendingan loe pergi deh sana, gue belum butuh loe
juga!” usir Sivia ke Alvin sebelum ia masuk ke dalam toilet.
“Iya-iya
gue bakal pergi dari sini. Loe itu majikan paling nyebelin yang pernah
gue punya, Vi!” dan secepat kilat Alvin pun menghilang sebelum ia
mendapatkan serangan balik yang lebih ganas dari sang majikan. Sivia.
“Emangnya
loe jin paling oke?! Ngaca woy, ngaca!” teriak Sivia di dalam toilet.
Dan kemudian ruangan itu mulai menghening. Sivia sudah menyadari kalau
Alvin telah pergi meninggalkannya.
“Ternyata jin juga bisa emosional ya?” lalu ia tersenyum sinis.
***
Bulan tak menampakkan diri malam ini. Langit mendung.
Bintang pun hanya ada sebagian yang bisa terlihat oleh mata telanjang
saat itu. Sepi. Bahkan binatang malam yang biasanya terdengar merdu pun
seakan kompak menghilang ditelan malam. Begitu juga angin yang masih tak
berhembus walau hanya sekejap.
Alvin ikut duduk di samping Sivia
yang kakinya sengaja dicelupkan sebagian ke kolam renang. Lalu Alvin
menyenggol pundak cewek tersebut perlahan sampai Alvin langsung
mendapatkan tatapan bertanya darinya.
“Loe kenapa sih? Tumben diem mulu seharian ini. Biasanya kan kaya ibu tiri, super cerewet.” Sivia melotot sesaat.
“Baru juga dibilang, udah kumat aja. Aneh loe!” heran Alvin. Sivia terkekeh pelan.
“Loe kenapa sih?”
“Gue pengen punya pacar!” jawab Sivia sekenanya. Alvin tersentak sebentar dan kemudian tertawa puas mendengarnya.
“HAHAHA…”
“Loe kok malah ketawa sih? Sialan!”
“Abisnya
loe lucu! Pengen punya pacar aja sampai segitunya. Cemen loe, Vi!”
Sivia mendengus. Namun sedetik kemudian ia tersenyum ke arah Alvin dan
mengangkat kedua alisnya berkali-kali.
“Kenapa loe? Kesambet?” tanya Alvin heran.
“Gue belum minta apa-apa kan sama loe?” Alvin menggeleng.
“Terus?”
“Gimana kalau gue minta pacar aja sama loe? Kan enak tuh bisa milih semau gue.” pinta Sivia asal.
“Hah? Serius loe mau minta pacar sama gue?” tanya Alvin refleks.
“Gue serius! Bisa kan dikabulin?”
“Bisa
aja sih. Emangnya loe gak bisa nyari pacar sendiri, ya? Atau
jangan-jangan loe gak laku? Oh, gue ngerti sekarang.” spontan, Sivia
mencubit perut Alvin keras sampai meringis kesakitan.
“Enak aja loe
kalau ngomong! Bukannya gue gak laku, cuma gue belum nemu yang tepat
aja. Dan asal loe tau ya, yang naksir gue itu banyak!” serang Sivia
habis-habisan. Sedangkan Alvin sama sekali tak menghiraukan ocehan cewek
yang duduk di sebelahnya tersebut.
“Oke-oke, gue percaya sama loe. Terus sekarang loe pengen tipe cowok yang kaya gimana?” tanya Alvin langsung.
“Tapi gak jadi deh!”
“Lho? Kok gak jadi sih? Labil amat loe jadi manusia.”
“Bentar, gue pikir-pikir dulu.”
“Jangan kelamaan mikir!”
“Bawel loe ah!” timpal Sivia kesal. Lantas mereka terdiam sejenak.
“Gue gak jadi minta pacar sama loe, Vin.” Alvin menyipitkan mata.
“Kenapa emang?”
“Gak apa-apa. Tadi gue bercanda doang kok.” kata Sivia enteng.
“Oh, ya udah.”
“Gini
aja deh, elo kan bisa menyamar jadi manusia tuh? Gimana kalau loe jadi
manusia terus pura-pura jadi pacar gue. Mau gak?” Sivia meminta dengan
penuh harap ke Alvin.
“ENGGAK!!!”
“Kok gitu sih?! Katanya loe mau kabulin semua permintaan gue? Ish!” Sivia mencibir.
“Kan
gue udah pernah bilang sama loe kalau gue gak bisa kabulin permintaan
loe yang ada hubungannya sama gue. Loe lupa, hah?!” tanya Alvin tegas.
“Tau ah! Bete gue sama loe.” Sivia pun berusaha bangkit dari pinggir kolam.
“Jangan ikutin gue lagi!” bentaknya kemudian.
“Siapa juga yang mau ngikutin loe? Pede!”
“Arrrrgggghhhh!!! Nyebelin banget loe!” teriak Sivia sembari mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat.
“Perasaan gue gak nyebelin-nyebelin banget deh. Elonya aja yang lebay!”
“Dasar jin gila!” timpal Sivia sebelum benar-benar masuk ke kamarnya. Sedangkan Alvin hanya memandang aneh ulah cewek tersebut.
“Kok
gue salah mulu sih di mata dia? Ish!” lantas Alvin melanjutkan kegiatan
Sivia sebelumnya. Mencelupkan sebagian kakinya ke kolam.
***
“Via,
lihat deh!” tunjuk Ify saat Sivia sedang sibuk memainkan ponselnya di
taman sekolah. Lalu Sivia mengikuti arah telunjuk Ify.
“Si Shilla sama siapa tuh?” tanya Ify kemudian.
“Gebetan barunya kali.” jawab Sivia asal. Ia belum begitu jelas melihat sosok cowok yang sedang berjalan bersama Shilla.
“Masa
sih? Emangnya Shilla sama Cakka udah putus? Gila tuh cewek, cepet bener
move onnya.” gumam Ify takjub. Namun Sivia tak menghiraukan, ia terlalu
sibuk dengan ponsel kesayangannya.
Perlahan namun pasti, Shilla
dan cowok misterius itu melangkah melewati tempat Sivia dan Ify duduk.
Seperti biasa, Shilla melirik sinis ke arah mereka sebelum si cowok
memutuskan untuk berhenti melangkah.
“Sivia?!” sapa cowok asing tersebut. Sivia langsung mendongak perlahan.
“ALVIN?!” gumam Sivia benar-benar kaget sekaligus syok.
“Loe kenal sama Sivia?” tanya Shilla sedikit manja. Alvin hanya tersenyum.
“Dia pacar gue.” Sivia langsung tersentak mendengarnya. Begitu juga dengan Ify dan Shilla.
“What?!”
“Makasih ya udah mau temenin gue. Sampai ketemu lagi!” kata Alvin santai. Lantas ia berjalan ke arah Sivia.
“Ish!”
desah Shilla kemudian. Ia menghentakan kakinya keras dan berjalan kesal
tak tentu arah. Sedangkan Sivia masih tak percaya dengan apa yang
sekarang dilihatnya. Ya, sosok Alvin yang tadinya hanya sebagai jin
super menyebalkan bagi Sivia, kini ia sudah menjelma menjadi sosok
manusia yang terlihat sangat tampan dan mempesona. Bahkan Alvin一bisa
dikatakan一lebih cool dari Cakka yang faktanya pernah menjadi Most Wanted
di sekolah tersebut.
“Kok gitu amat lihatinnya? Ada yang aneh ya
dari gue?” kata Alvin berusaha membuyarkan aksi bengong kedua cewek yang
ada di hadapannya.
“Eh, enggak kok!” ucap Sivia gelagapan.
“Oh
iya, loe temennya Via kan? Kenalin, gue Alvin!” ucap Alvin ramah.
Sedangkan Ify hanya tersenyum canggung dan tanpa ragu sedikitpun
membalas uluran tangan Alvin.
“Gue Ify!” lantas Alvin mengangguk.
“Bilang-bilang gue dulu kek kalau loe mau nyamar jadi manusia! Jadi gue gak perlu kaget lagi lihat loe.” bisik Sivia gemas.
“Ya
sori. Gue gak sempet bilang sama loe karena tadi malem kan loe marah
sama gue. Jadi gue males mau bilangnya.” balas Alvin tak kalah berbisik.
“Dasar jin koplak loe!”
“Udahlah, kita bahas ini nanti. Yang jelas sekarang loe jadi pacar gue.” Alvin tersenyum manis ke arah Sivia.
“Ish! Pacar pura-pura ya!”
“Iya gue tau.”
“Kalian lagi ngomongin apaan sih? Gue dikacangin nih, nyebelin deh!” kata Ify kesal.
“Sori Fy, sori. Maklum lah, udah lama gak ketemu.” respon Sivia asal.
“Iya deh terserah. Oh iya Vin, loe masuk di kelas mana?” tanya Ify kemudian.
“Katanya sih gue masuk kelas XI IPS 1. Itu di mana ya?” kata Alvin pura-pura tidak tau.
“Masa? Berarti kita sekelas dong?”
“Oh ya?”
“Iya, gue sama Sivia juga di kelas XI IPS 1.”
“Bagus deh kalau gitu.” Alvin tersenyum.
“Ya udah kita ke kelas aja yuk?” lalu Sivia menarik tangan Alvin dan Ify bergantian.
***
Alvin
berdiri di samping motornya. Cukup lama. Semenjak bel pulang sekolah
berbunyi sekitar limabelas menit yang lalu. Sesekali ia melirik
arlojinya untuk memastikan sudah berapa lama ia menunggu pacarnya.
Ralat! Pacar pura-puranya.
Dan baru saja Alvin hendak mengambil
ponselnya di saku celana, ia merasa kalau pundaknya ada yang menyentuh
perlahan. Alvin pun menoleh.
“Hai, Vin!” Shilla langsung tersenyum setelah berhasil memalingkan pandangan Alvin dari ponselnya.
“Hai!”
“Lagi nungguin siapa? Sivia ya?” Alvin mengangguk.
“Bukannya Sivia ada latihan basket ya siang ini?” tanya Shilla lagi memastikan.
“Iya, Via emang lagi latihan basket. Kenapa deh?” Shilla menggeleng.
“Gak
apa-apa. Biasanya kalau lagi latihan basket itu pulangnya lama lho,
Vin. Loe beneran mau nunggu dia?” kata Shilla sedikit menghasut.
“Ya
gak apa-apalah. Lagian apa salahnya sih nungguin pacar meskipun sampai
sore?” lalu Alvin tersenyum. Namun tidak dengan Shilla, ia malah memutar
matanya tanpa Alvin ketahui.
“Oh iya, loe mau gak anter gue pulang?” pintanya kemudian.
“Emang gak bareng Cakka?”
“Cakka
kan lagi latihan basket, Vin. Dan biasanya juga Sivia suka dianter
Cakka sepulang latihan basket.” ucap Shilla seraya menyentuh pundak
Alvin. Mungkin itu adalah salah satu cara ampuh Shilla untuk menggoda
seorang cowok yang ditaksirnya.
“Sori gue gak bisa, Shil. Sori banget ya?” lantas Shilla mendecak tak karuan.
“Oh, ya udah.” kesalnya kemudian. Ia pun langsung pergi meninggalkan Alvin.
“Cewek aneh,”
***
“Hari
ini gue seneeeeng banget! Tau gak kenapa?” kata Sivia saat dirinya dan
Alvin sedang menikmati angin sore di salah satu taman kota sambil
menikmati es buah. Lantas Alvin menggeleng tanpa sedikitpun berhenti
menyedot kuah manis yang ia pegang saat itu.
“Gue seneng karena gue
banyak disyirikin sama temen-temen di sekolah.” Alvin langsung tersedak
mendengarnya. Apa Sivia gak salah bilang? Entahlah.
“Disyirikin kok malah seneng sih? Loe aneh deh!” responnya kemudian. Sivia tersenyum.
“Ya seneng lah! Kan biasanya si
Shilla tuh yang suka disyirikin sama temen-temen sekolah, soalnya dia
sering banget pacaran sama cowok-cowok keren yang ada di sekolah kita.”
jelas Sivia enteng.
“Emangnya apa yang mau disyirikin dari loe, Vi?” tanya Alvin penasaran. Sivia mendecak.
“Ya
gitu deh, temen-temen di sekolah pada syirik sama gue karena gue
pacaran sama loe. Termasuk si Shilla! Hahaha.” jelas Sivia sumringah.
“Oh,
jadi gue dimanfaatin nih ceritanya? Tega loe ya!” kata Alvin merengut.
Sivia malah mengangkat kedua jari tengah dan telunjuknya ke arah Alvin.
“Ya enggak gitu juga, Vin. Gue gak ada maksud kok buat manfaatin loe.” Alvin mendengus.
“Gak mau tau! Gue mau ngambek pokoknya.”
“Ish!
Ngambekan loe jadi jin! Eh, ngomong-ngomong kok elo gak pernah jadi jin
lagi sih sekarang?” tanya Sivia yang baru menyadari akan sesuatu hal.
“Gue betah jadi manusia, Vi. Rasanya pengen banget jadi manusia untuk selamanya.” jawab Alvin sepenuh hati.
“Itu mustahil, Vin! Soalnya dunia manusia sama dunia jin itu beda.”
“Iya sih, tapi bisa aja kan kalau Tuhan udah berkehendak?” lantas Alvin tersenyum manis ke arah Sivia.
“Terobsesi banget ya om jadi manusia? Hahaha.” ledek Sivia kemudian sambil mencubit pelan hidung mancung Alvin.
“Iya lah! Biar bisa pacaran beneran sama loe. Hehehe.”
“Ish! Ngarep banget loe jadi pacar gue!”
“Oh gitu ya sekarang? Oke-oke,”
“Kenapa loe?”
“Enggak!”
“Ih, gak jelas banget sih!”
“Gue
emang gak jelas Vi, tapi gue keren.” kata Alvin seraya mengangkat
alisnya berkali-kali. Dan entah kenapa perut Sivia mendadak mual
mendengarnya.
“Apa? Keren? Gak salah ngomong kan loe? Keren dari mananya?!”
“Gue
itu kerennya tersembunyi, Vi. Cuma orang yang imannya kuat aja yang
bisa lihat kekerenan gue.” Sivia langsung mengeluarkan tampang sebalnya.
“Maksud loe?!”
“Cari tau aja sendiri!”
“DASAR!!!”
sejenak, Alvin menatap jahil cewek yang duduk di sampingnya. Cukup
lama. Dan akhirnya Alvin langsung berlari secepat mungkin setelah
bibirnya berhasil mendarat mulus di pipi kanan Sivia.
“ALVIIIINNNN!!!” respon Sivia setengah teriak. Si Alvin malah melet sambil terus berlari.
“Sialan
loe, Vin! Lihat aja nanti pembalasan gue! Alviiiin tunggu!” ancamnya
tegas sambil menghentakan kaki keras-keras untuk mengejar Alvin.
***
Alvin
merebahkan tubuhnya sesantai mungkin di udara. Ia terdiam一terkesan
lebih memilih bungkam一untuk sesaat. Alvin dan Sivia belum juga membuka
obrolan sepatah kata pun semenjak sepuluh menit mereka bertatap muka di
balkon kamar milik Sivia.
Lantas Alvin berpindah posisi ke
samping cewek yang kini matanya memandang entah ke mana. Tapi tetap saja
ia seakan tak dihiraukan kehadirannya oleh Sivia malam itu.
“Ngomong dong, Vi! Diem mulu dari tadi.” kata Alvin memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.
“Loe marah sama gue ya?” tanyanya. Sivia tak bergeming.
“Emangnya gue salah apaan sih sama loe, Vi?” tiba-tiba Sivia melotot ke arah Alvin.
“Pikir aja sendiri!” dan Alvin pun tersentak seketika. Keningnya ia kerutkan heran.
“Gue salah apa sih?”
“Emang jin juga ada yang bego ya? Ish!” sinis Sivia yang semakin membuat Alvin tak mengerti.
“Gue salah apaan sih, Vi? Heran gue sama loe.”
“LOE UDAH BERANI NYIUM GUE! DAN GUE GAK SUKA ITU!” bentak Sivia kesal.
“Gue
memang nyuruh loe buat jadi pacar pura-pura gue, tapi bukan berarti loe
main seenaknya aja nyium pipi gue!” Alvin hanya bisa diam. Entah kenapa
untuk kali ini ia tidak bisa sama sekali melawan bentakan Sivia.
“Gue minta maaf,”
“Gue gak butuh kata maaf! Gue mau loe pergi jauh-jauh dari gue sekarang juga!” usir Sivia sinis.
“Gue gak bisa pergi gitu aja sebelum loe meminta permohonan terakhir loe ke gue.” kata Alvin berusaha santai.
“Gak perlu! Pokoknya sekarang loe pergi dari gue dan jangan pernah kembali lagi ke sini!”
“Via?”
“Anggap
aja itu permohonan terakhir gue sama loe.” kata Sivia yakin. Sekarang
Alvin sudah tak bisa berkutik lagi di dekat majikannya tersebut.
Perlahan, wujudnya pun sedikit demi sedikit memudar dan kemudian hilang
sempurna di samping Sivia.
“Maafin gue, Vi.” lirihnya sebelum ia benar-benar terbang jauh.
“Yes, berhasil!” bisik Sivia pelan. Bahkan sangat-sangat pelan. Senyum kemenangan pun terukir jelas di bibirnya.
“Emangnya enak gue kerjain? Hahaha.” timpal Sivia sembari melipat tangan dan mengangkat dagunya ke atas.
“Tapi tadi gue berlebihan gak sih? Enggak kan?”
“Hmm… gue takut kalau kata-kata gue di masukin ke hati sama dia.”
“Eh, emang jin punya hati gak sih? Enggak kan, gak punya?”
“Tapi kalau beneran dia gak mau dateng lagi ke sini gimana dong? Ish!” Sivia berdecak dan sesekali mengacak rambutnya perlahan.
“Arrrrgggghhhh!!! Gue bener-bener bodoh!” teriaknya penuh sesal. Tapi percuma, toh Alvin juga sudah pergi jauh darinya.
***
“Udah saatnya kita akhiri semua drama ini, bos!”
“Iya, gue tau. Gue lagi cari timing yang tepat aja buat mengakhirinya.”
“Terus kita mau ngapain lagi, bos? Apa ada rencana lain?”
“Gak ada kok. Untuk beberapa hari ini kita menghilang sejenak dari kehidupan dia, biar dia gak curiga. Dan sekarang kita berdoa aja supaya misi kita berjalan lancar seperti apa yang kita harapkan.”
“Oke, bos! Gue mengerti.”
“Bagus!”
***
Suasana
pagi di sekolah cukup membosankan sekali bagi Sivia. Apalagi dengan
adanya pelajaran Sejarah yang cukup membuat mata terasa berat dan ingin
sekali tidur saat itu juga.
“Vi, loe gak apa-apa kan?” tanya Ify penasaran melihat mata Sivia yang sedikit sayu.
“Gue gak apa-apa kok, Fy. Kenapa emang?” jawab dan tanya Sivia kemudian.
“Yang bener?”
“Beneran. Gue cuma ngantuk doang, Fy.”
“Serius?
Ke UKS aja yuk?” ajak Ify. Sivia menggeleng. Lalu ia mengalihkan
pandangannya ke tempat Alvin biasa duduk. Sivia menghela napas berat.
“Loe kangen sama Alvin?” tanya Ify.
“Gimana kalau pulang sekolah nanti kita ke rumahnya Alvin?” lagi-lagi Sivia menggeleng.
“Emangnya
loe gak mau jenguk Alvin, Vi? Mau hampir seminggu lho dia gak berangkat
sekolah.” lantas Sivia menatap Ify dengan tatapan yang mengiba dan itu
membuat Ify semakin merasa kasihan sama Sivia. Sudah lima hari ini Sivia
bersikap seperti itu. Tak bergairah.
Ify tidak tau apa yang
sebenarnya terjadi antara Alvin dan sahabatnya tersebut. Sivia bilang ke
Ify kalau Alvin itu sakit, bukan ninggalin dia. Bahkan Ify pun tidak
tau kalau Alvin itu adalah jin. Itu juga karena Sivia tidak pernah mau cerita tentang
masalah yang satu ini ke Ify. Lagipula kalaupun Sivia cerita yang
sebenarnya sama sahabatnya tersebut, pasti tidak akan pernah dipercaya.
Karena Ify juga merupakan tipe orang yang tidak begitu percaya akan
hal-hal ghaib.
“Loe tenang aja ya Vi, pasti besok Alvin berangkat kok.” ungkap Ify seraya mengusap lembut pundak Sivia. Sivia mengangguk pasti.
“Gue kangen banget sama Alvin.”
“Iya,
gue tau loe kangen sama Alvin. Tapi sekarang loe fokus dulu sama
pelajaran. Kayanya kita bakal kena sasaran empuk sama guru Sejarah tuh,
Vi.” bisik Ify yang telah menyadari ada sepasang mata yang sedang
menatap mereka tajam.
***
“Vin, loe di mana sih?
Kangen tau!” lirih Sivia di tengah-tengah lamunannya. Ia menatap ke
salah satu bintang yang seakan mengajaknya berbicara.
“Waktu itu gue bercanda doang buat bales dendam sama loe. Dan sekarang gue nyesel ngelakuin itu.”
“Loe balik dong, Vin! Gue kangeeeen banget! Baru kali ini lho gue kangen sama jin. Emangnya loe gak kangen sama gue ya?”
“Ish!
Loe itu bener-bener nyebelin, Vin!” Sivia terus menerus meluapkan semua
isi hatinya. Sampai ia tak menyadari kalau butiran-butiran bening
mengalir di pelupuk matanya.
“Gue tau kok kalau sekarang loe ada di sini, buat nemenin gue. Iya kan?”
“Loe juga pasti tau gue lagi nangis sekarang.”
“Ayo
dong keluar! Jangan beraninya sembunyi doang!” sejenak, Sivia mengusap
air matanya dan menunggu Alvin menampakkan wujudnya meski itu tidak
mungkin terjadi.
“Loe itu jin paling pengecut yang pernah gue kenal tau gak?!”
“Katanya
kalau permata di cincin ini gue usap, loe bakal muncul. Tapi mana
buktinya?!” tanya Sivia sinis sembari menatap iba cincin yang ada di
jari manisnya.
“Gue benci sama loe, Vin! Gue benci!”
“Dan gue
nyesel pernah ketemu sama loe!” teriaknya kemudian. Lantas Sivia
langsung berlari ke dalam kamarnya sambil mengusap kembali air matanya
cepat-cepat.
Di sisi lain, sosok putih itu muncul tiba-tiba di balik jendela. Tersenyum sesaat dan menghilang kembali dalam sekejap.
***
Mentari tersenyum manis menyapa dunia di pagi minggu yang
cerah ini. Hangat. Sejuk. Serta sedikit belaian angin yang mampu
menetralisir suhu tubuh menjadi segar. Pepohonan masih terlihat basah
akibat terkena jutaan uap air yang mengembun dikala pagi menjelang.
Asri. Karena tak setitik pun lingkungan tersebut terkontaminasi oleh
berbagai polusi.
Sivia langsung duduk di bawah pohon beringin
setelah beberapa menit ia berlari kecil mengitari komplek rumahnya.
Perlahan, Sivia menjulurkan kaki untuk meregangkan otot-ototnya yang
terasa pegal dengan sedikit pijatan. Lalu ia menarik napas kuat-kuat dan
membuang secara perlahan. Berulang kali Sivia melakukan itu.
“Terimakasih
Tuhan atas nikmat yang telah Engkau berikan pada hambaMu ini.” syukur
Sivia sambil tersenyum menghadap langit. Matanya ia pejamkan seketika.
Membiarkan hembusan angin membelai wajahnya. Dan belum sampai sedetik
Sivia membuka mata, wilayah pandangan Sivia langsung menangkap sosok
cowok yang sudah tak asing lagi di matanya. Cowok itu tersenyum begitu
manis ke arahnya.
“Alvin???” kaget Sivia tak percaya. Ia pun langsung berdiri dari duduknya.
“Hai, Vi!” sapa cowok tersebut yang ternyata Alvin.
“ALVIIIINNNN!!!
Loe ke mana aja sih? Gue kangen banget tau!” teriak Sivia spontan
sambil memeluk erat cowok yang ada di hadapannya tersebut.
“Gue ada terus kok. Elonya aja yang gak nyadar kalau gue ada.”
“Loe jahat banget sih, Vin?!”
“Kok jahat?”
“Iya,
jahat! Loe gak pernah ada lagi buat gue. Padahal gue butuh banget sama
loe. Katanya kalau gue usap permata ini, loe bakal dateng. Tapi mana
buktinya? Hampir dua minggu ini loe gak pernah dateng.” rengek Sivia
seraya menunjukan cincinnya di hadapan Alvin.
“Kata siapa? Buktinya sekarang gue ada di sini.” balas Alvin bercanda.
“Ish! Nyebelin banget sih?!”
“Tapi loe kangen kan sama gue? Hehehe.”
“Maafin
gue ya, Vin? Yang waktu itu gue bercanda doang kok. Gue gak bener-bener
nyuruh loe pergi dari gue. Niat gue cuma mau ngerjain loe aja sekaligus
gue mau bales dendam karena loe udah nyium gue.” kata Sivia lirih. Alvin hanya tersenyum sambil menggeleng.
“Gak apa-apa kok, gue gak
marah. Lagian yang loe marahin waktu malem itu bukan gue kok.” katanya
mantap. Kontan membuat Sivia mengernyit.
“Maksud loe?” perlahan, Alvin menghela napas panjang sebelum ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Sebenernya
gue itu bukan jin, Vi. Gue manusia biasa, sama kaya loe.” kata Alvin
jujur. Dan itu membuat Sivia semakin kerap mengerutkan keningnya.
“Maksudnya apaan sih, Vin? Gue gak ngerti. Loe gak lagi bercanda kan?”
“Enggak, Vi! Gue beneran serius.” kata Alvin sambil memegang pundak Sivia untuk meyakinkan.
“Jadi
gini ceritanya, waktu itu sekitar jam satu siang. Gue duduk santai di
teras rumah sambil makan cemilan kesukaan gue. Terus tiba-tiba gue lihat
seorang cewek pakai seragam SMA lewat dengan raut muka yang
acak-acakan, super kusut, tapi dia tetap kelihatan cantik dan
mempesona.”
“Dan entah kenapa gue merasakan ada sesuatu yang beda
di sini, di jantung gue. Gue merasa ada getaran hebat yang mengguncang
perasaan gue. Yang mungkin banyak orang-orang bilang sih itu namanya
cinta pada pandangan pertama. Iya, mungkin bisa dikatakan begitu, gue
jatuh cinta sama cewek itu.”
“Lalu mulai saat itulah gue membuat
siasat untuk mencari tau semuanya tentang dia. Pokoknya seluk beluk dia
deh. Dan berhubung gue indigo, tau kan indigo?” tanya Alvin sejenak
sebelum ia meneruskan ceritanya. Sivia mengangguk, sudah paham dengan
apa yang ditanyakan Alvin tersebut.
“Jadi gue memutuskan untuk
meminta bantuan dari temen kecil gue, JinKer.” Sivia langsung menatap
Alvin dengan tatapan bertanya setelah mendengar Alvin menyebutkan kata
JinKer.
“JinKer itu temen kecil gue yang sekarang udah gue angkat sebagai asisten pribadi gue, asisten pribadi yang ghaib. Hehehe.”
“Terus?”
“Ya
dari situlah gue menyusun rencana besar bareng dia. Sampai seolah-olah
JinKer itu adalah jin penghuni cincin yang cewek itu temui di depan
pagar rumah gue.”
“Cincin ini maksud loe?” tanya Sivia memastikan.
“Iya, cincin itu. Dan cewek tersebut adalah elo, Sivia Rain.” Sivia menggeleng tak percaya.
“Gue ngelakuin ini cuma ingin tau lebih jauh lagi tentang loe melalui JinKer, Vi.”
“Mungkin
ini gak lucu buat loe, dan gue juga tau kalau ini adalah cara yang
selalu digunakan oleh para pengecut. Gue pun terpaksa lakuin ini karena
gue terlalu pesimis dengan diri gue sendiri buat kenal sama loe lebih
dekat. Gue minta maaf kalau memang gue salah.” tiba-tiba Sivia menangkap
sosok putih yang juga tak asing lagi di matanya tersebut. JinKer. Atau
yang selama ini Sivia panggil dengan sebutan Alvin. Lantas JinKer
tersenyum ke arahnya.
“JinKer?” gumam Sivia perlahan.
“Gue sama
JinKer minta maaf ya, Vi? Maaf karena gue sama JinKer udah bohongin loe.
Maaf karena gue sama JinKer udah sekongkol buat jadiin loe peran utama
dalam drama konyol ini. Dan terakhir, ini khusus dari gue, maaf karena
gue baru bisa ceritain semuanya sekarang. Jujur, gue kesulitan sendiri
untuk mencari waktu yang tepat buat ceritain hal ini, Vi. Satu lagi,
maaf juga karena gue udah jatuh cinta sama loe. Dan kini gue serahin
semuanya sama loe, terserah loe mau maafin gue sama JinKer atau enggak.”
kata Alvin mengakhiri pengakuan panjangnya. Sivia menutup mata sesaat.
“Jadi selama ini gue dibohongin sama kalian berdua?” Alvin dan JinKer hanya menunduk sambil sesekali mengangguk mengiyakan.
“Jadi yang selama ini bareng sama gue di sekolah itu Alvin? Bukan JinKer?” mereka kembali mengangguk.
“Ish! Tega banget ya kalian sama gue?!”
“Makanya
dari itu gue minta maaf, Vi. Loe boleh kok benci sama gue. Dan loe juga
boleh ngelakuin apa aja yang loe mau sama gue. Gue pasti terima.”
pasrah Alvin dengan menatap dalam mata Sivia.
“Baiklah, gue gak marah kok. Nyantai aja!” balas Sivia enteng. Ia tersenyum.
“Serius, Vi?” Sivia mengangguk.
“Karena
dengan mau terus terangnya loe sama gue sekarang, itu udah cukup buat
gue. Kejujuran itu lebih penting dari segalanya.” ucap Sivia tulus.
Alvin dan JinKer pun tersenyum senang.
“Dan apapun alasan kalian ngelakuin semua ini ke gue, gue udah gak perduli lagi kok. ” ucapnya penuh yakin.
“Mungkin karena gue udah terlanjur sayang sama kalian. Dan gue gak mau
jauh lebih lama lagi dari kalian, apalagi sampai harus kehilangan untuk
kedua kalinya. Gue gak mau!” kontan Alvin mendekat dan menyentuh pundak
Sivia yang berdiri sambil menatap sendu ke arahnya.
“Sivia…”
“Gue seneng banget udah kenal kalian.” lantas Sivia tersenyum.
“Gue
juga seneng kok kenal sama loe, Vi. Ya walaupun loe itu super cerewet,
galak, sinis, pokoknya menyebalkan deh. Tapi gue tetep seneng kok.
Hehehe.” JinKer pun yang tadinya hanya terdiam membisu di tempat,
akhirnya angkat bicara. Sivia mencibir.
“Loe juga nyebelin tau, Jin! Sebelas-duabelas sama Alvin. Mentang-mentang mukanya samaan. Ish!” mereka tertawa kemudian.
“Oh iya Jin, gue masih boleh minta satu permohonan lagi kan?” pinta Sivia ramah. JinKer mengangguk.
“Boleh.
Mau minta apa?” jawab dan tanya JinKer seraya mendekati Sivia dan
Alvin. Sejenak, Sivia tersenyum manis ke arah cowok yang sejak tadi
berdiri di hadapannya tesebut.
“Gue mau Alvin jadi pacar gue! Loe bisa kan?” refleks, Alvin dan JinKer langsung saling pandang.
“Bisa enggak?”
“Oh bisa dong, bisa! Dengan senang hati gue kabulin. Hehehe.” kata JinKer sambil menyenggol pelan tubuh Alvin.
“Tanpa loe minta ke JinKer pun gue mau kok jadi pacar loe, Vi. Bukannya selama ini kita udah pacaran ya?”
“Tapi kan cuma pura-pura. Gue maunya yang beneran.”
“Oh, gitu ya? Oke, mulai sekarang kita pacaran beneran. Deal?” Sivia mendecak.
“Ish! Gak romantis banget sih?!”
“Emang mesti romantis gitu?”
“Ya iya lah!”
“Tapi gue gak bisa romantis, Vi. Gue cuma bisa bilang, mau gak elo jadi pacar gue?” Sivia menghela napas gusar.
“Terserah deh! Oke, gue mau.” jawabnya ogah-ogahan.
“Ish! Gak ikhlas banget bilangnya.”
“Bodo!”
“Jelek loe!”
“Alviiiinnnn!!!
Nyebelin banget sih loe!” tiba-tiba Sivia merasakan pelukan hangat
menjalar ke seluruh tubuhnya. Nyaman. Pelukan pertama yang ia rasakan
dari Alvin. Pelukan seorang pacar. Pacar pertamanya.
Lalu mereka saling pandang satu sama lain. Diam. Cukup mata dan hati mereka saja yang berbicara.
The End!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar