Sudah hampir berjam-jam Sivia berkutat dengan aktivitas yang sudah
digelutinya sejak siang tadi. Entah apa yang Sivia kerjakan di dalam
kamarnya tersebut. Yang jelas, di sana banyak berserakan benda-benda
seperti gunting, lakban, kertas warna-warni dan satu kotak lumayan besar
yang entah ada sesuatu apa di dalamnya.
Sesekali ia mengernyitkan dahi ketika otaknya sudah kehilangan ide untuk menyelesaikan aksi rahasianya tersebut.
“Duh,
gimana ya? Bingung nih,” gumamnya seraya menggigit kuku pada jari
telunjuknya. Baru saja Sivia akan menemukan ide cemerlangnya, tiba-tiba
sebuah ketukan pintu mengusik dua gendang telinganya dan itu berhasil
membuyarkan ide cemerlang yang didapat Sivia sebelumnya. Ia mendecak
kesal.
“Siapa?” teriak Sivia malas.
“Edha, Kak. Aku boleh masuk gak?” pinta seseorang yang mengaku bernama Edha tersebut. Sivia membuang napas.
“Masuk
aja, Dha. Gak dikunci kok,” jawabnya langsung. Sedetik, pintu kamar
Sivia terbuka dan muncul seorang cowok bertubuh tinggi, berkulit putih,
mata sipit ditambah dengan rambut hitam pekat yang menutupi kening cowok
tersebut. Ia adalah adik dari Sivia, Raydha Airlangga atau lebih sering
dipanggil Edha.
Usia Raydha sama Sivia itu hanya beda satu
tahun. Tapi mereka berdua sangat mirip, bahkan banyak yang bilang kalau
mereka berdua itu kembar. Dan bagi yang belum mengetahui kalau mereka
saudaraan, banyak juga yang menganggap Sivia dan Raydha itu pacaran.
Karena mereka lumayan sering banget jalan berdua di sekolah dan itu
membuat semua cewek atau cowok yang mengaggumi mereka itu patah hati.
Ya, tapi itu dulu. Sebelum Sivia mempunyai pacar. Sekitar setahun yang lalu.
“Lho?
Ini kamarnya kenapa, Kak? Kok berantakan gini sih?” syok Raydha begitu
matanya tertuju pada benda-benda yang berserakan di sekitar tubuh Sivia.
Seketika, Sivia nyengir dan mengangkat kedua jarinya.
“Kakak lagi
gak stres kan?” tanya Raydha memastikan sambil menyentuh lembut kening
kakaknya tersebut. Sivia mendengus dan melepaskan tangan Raydha
seketika.
“Kamu ngira Kakak stres? Kurang ajar!” kini giliran Raydha yang memamerkan deretan gigi putihnya. Tiba-tiba Sivia tersenyum.
“Tuh kan stres? Tadi marah, sekarang malah senyum-senyum gak jelas.” kata Raydha heran. Ia sedikit menjauh dari Sivia.
“Enak
aja! Kakak senyum karena lihat mata kamu yang tenggelem kalau lagi
nyengir. Hahaha lucu tau,” Sivia terkekeh. Untuk sejenak, Raydha
menghela napas kesalnya.
“Emang situ kagak?!” sinis Raydha. Sivia tergelak.
“Kakak? Kakak sih mendingan kali, ya setidaknya kelihatan dikit.” Sivia memeletkan lidahnya.
“Yayaya.” kata Raydha malas.
“Lagi bikin apa sih, Kak?” tanyanya kemudian.
“Pengen tau aja ih.”
“Emang gak boleh?”
“Enggak!”
“Sejak kapan Kak Via pelit?” Raydha mengembungkan pipinya.
“Untuk yang ini beda. Maaf-maaf aja,” Sivia mengacak pelan poni adiknya tersebut.
“Oh gitu ya sekarang? Oke!”
“Daripada
kamu diem di sini, mending kamu bantu Kakak bikin ini.” pinta Sivia
ramah. Tangannya kembali berkutat dengan kegiatan yang sudah digelutinya
sejak tadi. Raydha menyeringai jahil.
“Ogah!” tolak Raydha seraya
menutup kepala Sivia dengan plastik yang tergeletak di sampingnya tadi.
Lantas ia langsung kabur dari kamar Sivia sebelum diamuk balik oleh
kakaknya itu.
“Eddhhhhaaaa!!!” teriak Sivia kesal. Sangat kesal bahkan.
“Nyebelin banget sih kamu!”
***
“Hei, sendirian aja?” Sivia menepuk pundak adiknya yang sedang duduk di depan rumah.
“Biasanya juga sendiri kali,” ucapnya begitu Sivia ikut duduk di sampingnya.
“Lagi lihat apaan sih?” tanya Sivia sembari mengikuti arah pandang adiknya.
“Bintang?” lanjutnya. Raydha menggeleng.
“Bukan.
Tapi lagi lihat Mama,” lirih Raydha kemudian. Sivia melirik wajah
adiknya perlahan. Ia melihat tatapan sendu di mata Raydha.
“Kak, Edha
kangen Mama.” ucap Raydha tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya
dari bintang yang malam itu bersinar paling terang. Sivia tak bergeming.
Ia tau apa yang dirasakan adiknya tersebut.
“Kakak juga kangen, Dha.”
“Apa Mama baik-baik aja di sana?” Raydha menatap Sivia, meminta jawaban.
“Mama pasti baik-baik aja kok. Mama pasti tenang di sana, di surga.” jawab Sivia yakin. Sejenak, Raydha menyandarkan kepalanya di pundak Sivia.
“Kakak masih ada kok di sini. Jadi kamu tenang aja,” Sivia mengelus ubun-ubun adiknya perlahan. Raydha tak bergeming.
“Besok Kakak nebeng motor kamu ya?” pinta Sivia memecah keheningan. Raydha mengangkat kepalanya.
“Tumben,”
kata Raydha penuh heran. Karena sebelumnya Sivia memang sering sekali
diantar jemput oleh pacarnya. Bahkan terakhir kali Sivia berangkat
bareng adiknya itu tiga bulan yang lalu.
“Gak boleh? Ya udah,” Sivia memalingkan tubuhnya membelakangi Raydha.
“Bukan gitu. Emangnya gak bareng Kak Alvin?”
“Lagi pengen sama kamu aja. Gimana? Untuk beberapa hari ini aja kok.” kata Sivia penuh harap. Raydha mengangguk.
“Ya udah,” lantas Raydha merasakan pelukan erat dari kakaknya tersebut.
“Lagi marahan ceritanya nih?” tebaknya kemudian.
“Enggak juga.”
“Terus?”
“Pengen tau aja sih.”
“Kepo dikit gak apa-apa kan?” kata Raydha sambil tersenyum.
“Pengen ngasih kejutan aja.”
“Oh gitu,”
“Iya. Eh, masuk yuk? Gak baik juga kalau lama-lama kena angin malem.” ajak Sivia yang sudah berdiri duluan. Raydha terkekeh.
“Kaya lagu aja, Kak. Hahaha.” Sivia langsung mengernyit seketika.
“Udah
gak usah dipikirin.” bisiknya sambil berlalu ke dalam rumah. Sivia
masih mematung. Masih belum mengerti dengan kata-kata yang dilontarkan
adiknya tersebut. Begitulah.
“Selamat malam!” kata Sivia sebelum menutup rapat pintu rumahnya.
***
Sivia
membenamkan wajahnya di atas meja setelah beberapa detik bel istirahat
berbunyi dan guru yang tadi mengisi pelajaran di kelasnya pun keluar
begitu saja tanpa pamit. Mata Sivia terasa begitu berat untuk dibuka
walaupun hanya beberapa detik. Entah virus apa yang menerpanya? Padahal
sebelumnya ia segar bugar saat berangkat sekolah bersama Raydha. Tapi
sekarang Sivia malah terlihat tak bergairah sama sekali. Apa karena
pelajaran matematika tadi? Entahlah.
Sesekali Ify一teman sebangku Sivia一mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Sivia perlahan. Tapi Sivia tetap tak merespon sedikitpun.
“Kantin yuk, Vi? Aku laper nih.” ajak Ify maksa. Sivia masih tak bergeming.
“Via bangun dong!” lagi-lagi Ify menggoncangkan tubuh Sivia.
“Ntar aku nyusul deh, aku ngantuk nih. Kamu duluan aja ya?” lirih Sivia malas. Ify hanya membuang napasnya maklum.
“Ya udah deh kalau gitu. Aku tinggal ya, Vi?” Sivia mengangguk pelan dan membenamkan kembali kepalanya ke atas meja.
“Via?” tiba-tiba Sivia mendecak setelah sebuah sentuhan mendarat di kepalanya.
“Kan udah aku bilang, kamu duluan aja ke kantin. Ntar aku nyusul kok.” kesal Sivia tanpa mendongakan kepalanya sebentar pun.
“Kamu sakit? Kita ke UKS yuk?” Sivia langsung bangun setelah mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya.
“Alvin?”
“Iya. Kamu sakit, Vi?” Alvin menyentuh kening Sivia perlahan.
“Enggak kok, aku cuma ngantuk.” kata Sivia yang kembali menopang dagunya. Alvin mengangguk.
“Abis begadang mbak semalem?” seketika Alvin terkekeh dan membelai lembut poni cewek yang kini wajahnya terlihat lecek itu.
“Cuci muka dulu gih! Terus kita ke kantin. Belum sarapan kan?” Sivia menggeleng manja.
“Gendong,” pintanya kemudian.
“Gendong? Ini di sekolah mbak, gak malu sama yang lain?”
“Pelit!”
“Bukan gitu juga,”
“Tau ah!” Sivia ngeluyur begitu saja di hadapan Alvin yang masih berdiri kebingungan.
“Via, Via.” lantas ia mengikuti langkah pacarnya dari belakang.
Selama
perjalanan, Alvin tak henti-hentinya dibuat ketawa oleh tingkah Sivia
yang berjalan gontai, bahkan sesekali ia hendak jatuh karena saking
ngantuknya.
“Cepetan cuci muka!” suruh Alvin seraya mendorong pelan tubuh Sivia.
“Iya-iya sabar.” Alvin kembali terkekeh geli dibuatnya.
“Basuh yang banyak airnya.”
“Iya bawel!” teriak Sivia di dalam toilet.
“Udah?” tanya Alvin setelah beberapa detik Sivia keluar dari toilet. Sivia tersenyum.
“Kelihatannya aja gimana?”
“Kok
gak ada perubahan sih? Sama aja kayak sebelumnya, jelek. Hehehe.” ledek
Alvin seraya mencubit hidung mancung cewek yang ada di hadapannya
tersebut.
“Dih, sakit tau!”
“Bodo! Emang aku pikirin?” Alvin langsung merangkul Sivia dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
“Dasar nyebelin!” Sivia mencubit perut Alvin keras.
“Ish! Sakit banget tau!” Alvin meringis.
“Impas kan? Hahaha.”
“Ketawa lagi,”
“Bodo!”
“Ish! Awas ya nanti aku bales.” ancam Alvin spontan.
“Siapa takut?” tantang Sivia yakin. Tiba-tiba Alvin tersenyum jahil.
“Eh,
mau apa kamu?!” bentak Sivia begitu Alvin berusaha mendekatkan wajahnya
ke wajah Sivia. Alvin tak menghiraukan ucapan Sivia, ia terus
mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan wajah pacarnya tersebut.
Sivia langsung menutup wajahnya seketika.
“Kenapa ditutup sih?”
“Aku takut,”
“Takut kenapa?”
“Kamu, kamu mau cium aku kan?” tanya Sivia gugup. Alvin tertawa.
“Hahaha siapa juga yang mau cium kamu? Pede amat!” ledek Alvin yang berhasil membuat wajah Sivia berubah merah.
“Terus tadi mau ngapain?” tanya Sivia polos.
“Pengen banget ya aku cium?” Alvin kembali tersenyum jahil ke Sivia.
“Ogah!”
“Sini aku cium!” ledek Alvin lagi. Sedangkan Sivia langsung lari meninggalkan Alvin yang seperti orang kesurupan itu.
“Stres kamu, Vin!” teriak Sivia sembari memeletkan lidahnya. Alvin tertawa.
Tertawa puas melihat Sivia yang salah tingkah tersebut.
***
Ify
berjalan menelusuri koridor sendirian. Ia begitu santai melangkahkan
kaki seraya mulut mungilnya terus-terusan mendendangkan sebuah lagu yang
mungkin sedang mewakili perasaannya saat ini. Dan beberapa detik
setelah melewati parkiran yang ada di sekolah, Ify menghentikan
langkahnya saat seseorang memanggil namanya.
“Kak Ify?” lantas Ify memicingkan mata sesaat, memastikan lebih jelas siapa yang memanggilnya.
“Raydha?” gumamnya setelah mengetahui seseorang yang memanggilnya tadi. Ify berjalan mendekati Raydha.
“Ada apaan, Dha?” tanya Ify kemudian.
“Kak Via mana? Kok gak bareng sama Kak Ify?” tanya Raydha heran.
“Via? Bukannya Via udah pulang duluan? Emang dia gak bilang?” Raydha mengernyitkan keningnya. Lalu ia menggeleng.
“Kalau boleh tau, Kak Via pulang sama siapa ya? Sama Kak Alvin?”
“Kurang tau juga kalau itu. Tadi dia cuma izin pulang duluan aja.” Raydha mengangguk perlahan.
“Oh gitu ya? Hmm Kak Ify mau pulang?” tanya Raydha kemudian. Ify mengangguk.
“Mau bareng aku gak, Kak?”
“Hmm enggak usah deh, takut ngerepotin. Makasih ya sebelumnya? Kakak mau naik angkot aja.” tolak Ify ramah.
“Gak
apa-apa kok, Kak. Lagian kan rumah kita searah, jadi apa salahnya?
Hitung-hitung menghemat uang lah.” tawar Raydha lagi sedikit memohon.
“Tapi? Hmm ya udah deh.”
“Nah gitu dong!” lantas Ify langsung naik ke atas motor Raydha yang sejak tadi belum dinyalakan mesinnya.
“Udah, Kak?”
“Sip! Jangan ngebut-ngebut ya, Dha!”
“Siap, Kak!” motor yang mereka tumpangi pun melesat cepat seketika.
***
Alvin
melirik arlojinya perlahan. Sudah 15 menit ia menunggu, tetapi orang
yang ditunggu belum juga menampakan sosoknya di hadapan Alvin.
“Maaf ya lama.”
“Gak apa-apa kok. Ya udah yuk berangkat, takut kesorean.” ajak Alvin seraya meraih tangan pacarnya tersebut. Sivia.
Siang
ini, sepulang dari sekolah, Alvin ingin mengajak Sivia ke Butik milik
Mamanya. Selain Alvin yang ingin ajak Sivia, itu juga karena Mama Alvin
ingin berbagi pengalaman dengan Sivia dalam perjalanannya membangun
Butik yang saat ini cukup terkenal itu. Alvin cukup senang mendengarnya
sekaligus khawatir. Alvin merasa kalau ia akan diabaikan kalau Mamanya
sama Sivia udah bertemu, seakan punya dunia sendiri gitu. Ya, perempuan
memang begitu. Dunianya kadang sering bertolak belakang dengan dunia
laki-laki.
“Kak Alvin sama Kak Via mau ke mana?” tanya Raydha yang kebetulan berpapasan di depan gerbang rumahnya.
“Kamu baru pulang, Dha?” tanya Alvin ramah. Raydha mengangguk.
“Kakak
mau ke butik Mamanya Kak Alvin. Kamu gak apa-apa kan di rumah
sendirian? Kakak udah siapin makanan kok di dapur.” sambung Sivia jelas.
“Terus pulangnya kapan?”
“Kurang
tau, ntar deh Kakak smsin. Kakak pergi ya? Baik-baik di rumah.” pesan
Sivia kemudian. Sedangkan Raydha hanya mengangguk pasrah.
“Duluan ya?”
“Iya Kak hati-hati.” ucap Raydha sebelum Alvin dan Sivia menancap gas. Mereka melambaikan tangan, begitupun sebaliknya.
“Hmm sendirian lagi deh di rumah.” gumamnya kemudian. Lantas Raydha memasukan motornya ke dalam garasi rumahnya. Sejenak, Raydha memandang pintu rumah yang masih tertutup rapat. Kemudian mengangkat bahu dan membuang napas asal.
“Semua kebahagian di rumah ini mulai memudar,” gumamnya perlahan seraya meraih handle pintu tersebut.
***
“Makasih
ya udah mau temenin aku seharian ini. Aku seneeeennngggg banget!”
sumringah Sivia setelah beberapa detik melangkah dari motor Alvin. Alvin
tersenyum dan mengacak pelan poni cewek yang kini sedang kelewat
bahagia itu.
“Aku juga seneng bisa temenin kamu hari ini. Hmm tapi tadi aku bete,” jelasnya kemudian. Sivia mengernyit.
“Lho? Bete kenapa?”
“Ya bete aja, abis tadi pas di Butik aku dikacangin mulu. Kamu asik sendiri aja sama Mama,” Sivia tertawa mendengarnya.
“Malah ketawa sih? Gak ada yang lucu tau!”
“Maaf
deh maaf, lain kali janji kok gak bakal dikacangin lagi. Udah dong
ngambeknya, jelek tau!” Sivia mencubit hidung mancung Alvin keras. Alvin
meringis seketika.
“Viiiiaaaa!!!”
“Apa sih?”
“Sakit!”
“Cemen ah! Masa dicubit hidungnya aja sakit.” ledek Sivia seraya melipat kedua tangannya di dada.
“Mau coba? Sini aku cubit!”
“Ogah!”
“Sini-sini aku cubit, biar tau rasa.” Alvin berusaha meraih hidung Sivia untuk membalas dendam.
“Gak mauuuuu!!!”
“Harus mau!”
“Alviiiinnnn!!! Udah deh!”
“Bodo amat!”
“Aaawwww!!!” ringis Sivia setelah Alvin berhasil menjamah hidungnya. Sivia pun merengut.
“Sakit kan? Makanya jangan seenak upil nyubit hidung orang.”
“Tau ah!”
“Ngambeeeekkk.” kini Alvin mencubit pelan kedua pipi Sivia manja.
“Ish! Jelek banget ya kalau ngambek? Kaya badut Ancol.” ucap Alvin sambil terkekeh.
“Sialan! Terus kalau aku Badut Ancol, kamu siapanya?”
“Aku? Hmm siapanya ya? Pangerannya mungkin,” Alvin mengangkat alisnya berkali-kali.
“Maunya!”
“Ada yang salah? Bukannya muka pacarmu ini sebelas-duabelas sama Pangeran William ya?” Sivia menoyor kepala Alvin perlahan.
“Huuuuhh ngarep banget kamu! Masih cakepan kamu tau!”
“Serius? Masa sih? Ah yang bener?”
“Dih, sejak kapan kamu jadi alay gini?” kata Sivia heran. Ia sedikit menjauhkan diri dari Alvin.
“Tapi tetep sayang kan?” goda Alvin kemudian.
“Enggak!”
“Ya udah, gue pulang ya? Udah malem banget nih, gak enak sama tetangga.”
“Tapi kamu gak marah kan? Tadi aku bercanda doang kok.”
“Iya
tau. Aku pamit ya? Sampai ketemu lagi,” ucap Alvin sembari melakukan
kegiatan rutinnya setiap hari, mengacak poni pacarnya. Sivia mengangguk
dan tersenyum.
“Hati-hati ya, Sayang!” teriaknya pelan. Lalu ia segera membuka pintu dan masuk ke rumahnya dengan hati yang berbunga-bunga.
Dan
begitu Sivia sampai di depan kamarnya, langkah Sivia pun terhenti
seketika. Ia menghela napas perlahan dan berjalan mundur menuju ke salah
satu ruangan yang tadi sempat dilewatinya. Kamar Raydha, adiknya.
“Edha?”
gumamnya pelan. Sangat-sangat pelan. Mencoba memastikan kalau si
penghuni ada di dalam atau tidak. Lantas Sivia segera membuka pintu
kamar adiknya tersebut.
“Dha, udah tidur?” tanya Sivia sambil melongokkan kepalanya. Lalu ia mengernyit begitu sosok adiknya tak terlihat di sana.
“Kak Via?!” ucap Raydha yang tiba-tiba muncul di hadapan Sivia. Lantas Sivia tersentak kaget dan langsung mengusap-usap dadanya.
“Bisa gak sih gak bikin kaget? Untung aku gak jantungan.” sewot Sivia. Raydha mengerutkan kening. Heran.
“Lagian Kak Via ngapain sih masuk ke kamar aku kaya orang mau maling gitu?”
“Kakak cuma mau mastiin aja kalau kamu udah tidur apa belum? Itu aja kok,” Raydha membulatkan mulutnya.
“Kak Via baru pulang?” tanya Raydha kemudian. Sivia mengangguk cepat.
“Kak
Via abis ngapain aja sih? Pacaran? Jalan-jalan? Makan? Terus?” Sivia
menatap adiknya heran. Tak ada niat sedikitpun untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan adiknya.
“Harus selama itukah pacaran, Kak? Apa gak ada waktu lain?” tanya Raydha lagi dengan menatap sinis Sivia.
“Atau memang Kakak bener-bener gak ada waktu untuk adiknya sendiri? Iya, Kak?” Sivia menunduk.
“Kakak minta maaf,”
“Aku
butuh temen untuk sharing, Kak. Aku butuh Kakak. Karena cuma Kak Via
satu-satunya yang aku punya sekarang. Gak ada lagi, Kak.” lirih Raydha.
Suaranya semakin melemah.
“Mama udah meninggal, dan Papa terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya
di luar sana. Terus sekarang Kakak juga mau seperti mereka? Gak pernah
ada setiap aku butuhkan?” ucap Raydha dengan matanya yang sedikit
berkaca.
“Bukan gitu, Dha. Tapi Kakak,”
“Apa gak ada waktu
sedetikpun buat aku, Kak? Sedetikpun?!” Sivia kembali menunduk. Tak
kuasa melihat mata Raydha yang begitu menyesakkan jika dilihat
lama-lama.
“Maafin Kakak. Kakak gak ada maksud buat lakuin itu semua.
Kakak minta maaf,” kini giliran Raydha yang menunduk. Mencoba menyeka
butiran bening yang hendak terjatuh di sudut matanya.
“Kakak gak usah
minta maaf. Aku yang salah, mungkin aku terlalu egois. Mending sekarang
Kakak tidur, Kakak pasti capek. Selamat malam.” ucapnya ragu. Ia
langsung menutup pintu tanpa menghiraukan keadaan Sivia sama sekali.
“Maafin Kakak, Dha. Kakak yang salah, bukan kamu.” gumam Sivia menyesal. Lantas ia kembali melangkah menuju kamarnya.
“Selamat malam,” ucapnya sebelum benar-benar masuk dan beristirahat di dalam kamarnya.
***
Mentari
mengintip malu di ujung timur. Bersiap memberi setitik kehidupan di
alam raya ini. Serta membiaskan sebagian sinarnya yang cerah ke planet
bumi. Hangat. Karena sang angin belum begitu aktif berhembus di pagi
hari. Cukup menyapa dengan belaian lembutnya ke kulit ari.
Di
dapur, Sivia begitu sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk kebutuhan
pokoknya di rumah. Kebetulan hari ini hari minggu, jadi Sivia ingin
luangkan waktu di rumah tanpa mengikuti acara sedikitpun di luar sana.
Ia ingin menghabiskan hari minggunya bersama sang adik, Raydha
Airlangga. Dan sekarang Sivia sedang memasak makanan favorit Raydha,
nasi goreng.
“Kurang apa lagi ya? Hmm garam!” tebaknya tiba-tiba.
Sivia pun langsung mencomot sedikit garam dan menaburkannya perlahan di
atas nasi goreng yang hampir matang tersebut.
“Oke, mantap!” senyum
di wajah Sivia pun mengembang begitu dua porsi nasi goreng spesial
buatannya sudah siap sedia untuk disantap. Lalu ia beralih ke ruang
makan yang sudah tertata rapi dengan berbagai jenis minuman.
“Selesai!” kata Sivia mantap.
“Saatnya bangunin sang pangeran dulu,” Ia kembali tersenyum. Lantas pergi ke tempat tujuan. Kamar sang adik.
“Hey, bangun!” bisik Sivia lembut. Raydha pun menggeliat malas.
“Bangun,
Edha! Ini udah pagi, malu dong sama matahari.” kemudian Sivia mencoba
membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk. Sedetik, Raydha
langsung menutup wajahnya dengan bantal. Berusaha menghalangi pancaran
sinar yang menerpa wajah orientalnya. Sivia pun mendecak kesal.
“Edhhhhaaaaa!!!
Ayo bangun! Jangan mentang-mentang ini hari minggu, jadi kamu bisa
males-malesan kaya gitu. Cepetan bangun!” Raydha tak merespon meskipun
Sivia telah mengguncang-guncangkan tubuhnya berkali-kali.
“Kakak
hitung sampai lima. Kalau sampai hitungan kelima belum bangun, Kakak
siram pakai air es! Satu!” ancam Sivia seraya melipat tangan di dada.
“Dua!”
“Tiga!” Raydha masih setia bersembunyi di balik selimut.
“Empat!”
“Serius nih mau di siram air es? Empat setengah!” tegas Sivia penuh penekanan. Raydha tetap santai dengan posisinya.
“Lim…”
“Ampun
Kak ampun, jangan disiram! Nih aku udah bangun.” heboh Raydha sambil
mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Tiba-tiba Sivia
tertawa. Tertawa begitu lepas.
“Kak Viiiiaaaa!!! Nyebelin banget sih!” sewot Raydha begitu mengetahui kalau Sivia sedang mengerjainya.
“Kamu lucu deh! Hahaha.”
“Gak ada yang lucu Kak, gak ada!”
“Itu
tadi lucu banget ekspresinya. Hahaha.” Sivia memegangi perut. Sedangkan
Raydha hanya memutar matanya. Kesal dengan saudarinya yang satu ini.
“Ya udah aku tidur lagi aja.”
“Jangan
tidur lagi dong! Iya deh Kakak minta maaf. Ayo bangun! Kakak udah
masakin makanan kesukaan kamu lho.” Raydha mengernyitkan keningnya.
“Apa,
Kak? Nasi goreng ya?” Sivia mengangguk dan tersenyum manis ke adiknya
tersebut. Raydha pun langsung bangkit dan pergi meninggalkan Sivia di
kamarnya begitu saja. Sivia mendecak.
“Dasar anak bandel!” oceh Sivia kemudian..
Setibanya di ruang makan, Raydha langsung duduk manis di sana. Mencium satu persatu makanan yang sudah tersedia. Dan tanpa ragu sekalipun tangan Raydha meraih satu porsi nasi goreng yang begitu menggiurkan menurutnya.
“Tunggu, tunggu, tunggu! Cuci tangan dulu kali.” cegah Sivia spontan.
“Kan pakai sendok, Kak?” kata Raydha polos seraya menunjukkan sendok ke arah kakaknya.
“Kalau gitu berdoa dulu biar berkah.” respon Sivia manis. Raydha langsung mengangguk seketika.
“Oke, selamat makan!”
“Selamat makan juga!” balas Sivia ikut duduk di hadapan adik satu-satunya tersebut.
“Gimana masakan Kakak? Enak?” Raydha berpikir sejenak. Berusaha mempertajam indera pengecapnya untuk menilai masakan sang Kakak.
“Hmm lumayan,” kemudian ia tersenyum.
“Lumayan? Udah gitu aja?”
“Daripada gak enak, mending lumayan kan?” Raydha kembali tersenyum. Kali ini senyumannya mengandung arti kejahilan.
“Ini sehidup semati lho bikinnya, penuh pengorbanan.” ungkap Sivia dramatis.
“Oh ya?”
“Iya.
Soalnya masakan ini dibuat sangat spesial dan khusus untuk orang yang
sangat Kakak sayangi.” ucap Sivia dengan senyum-senyum genit ke arah
Raydha.
“Orang itu adalah duplikatnya Pangeran William.” lanjutnya.
“Hah? Siapa?”
“Ya kamu lah, siapa lagi?”
“Aku?” tanya Raydha singkat. Tapi tetap tidak lepas dari kegiatannya, makan nasi goreng.
“Iya,”
“Tapi aku kan bukan duplikatnya Pangeran William, Kak?” Sivia mengernyit.
“Iya juga sih. Eh, malah kamu lebih kece dari Pangeran William.”
“Nah, itu maksud aku! Aku jauh lebih kece dari dia. Hehehe.”
“Huh, dasar!”
“Emang faktanya gitu kan, Kak?” Raydha mengangkat kedua alisnya.
“Ya udah deh terserah kamu aja. Cepetan diabisin makannya!”
“Iya,
Kak.” lantas Sivia dan Raydha kembali menyantap makanan tanpa ada lagi
sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Hening mengembara untuk
sejenak. Hanya saja bunyi sendok dan piring yang terdengar di sana.
Setelah
lima menit selesai makan. Sivia dan Raydha masih terdiam dalam
duduknya. Bahkan mereka tidak saling tatap satu sama lain. Sampai Raydha
memberanikan diri membuka pembicaraan dengan ucapan lembut.
“Makasih ya Kak untuk semuanya.” Sivia pun tersenyum.
“Kakak udah mau buatin aku sarapan.” lanjut Raydha. Sivia masih terdiam, lebih memilih tersenyum ketimbang harus berbicara.
“Kak Via mau pergi ya abis ini?” tanya Raydha. Sivia menggeleng.
“Hari ini Kakak mau abisin waktu bareng kamu, Dha.” ucap Sivia kemudian seraya melangkah mendekati adiknya.
“Kakak gak mau kehilangan waktu Kakak sama keluarga cuma karena Kakak terlalu sibuk dengan orang lain.”
“Kak?”
“Kakak
janji, Kakak akan lebih banyak luangkan waktu buat keluarga. Ya
walaupun Papa jarang pulang ke rumah, setidaknya Kakak mencoba selalu
ada untuk kamu.” tiba-tiba Raydha merasakan tubuhnya dipeluk dengan
begitu lembut. Pelukan dari sang Kakak, Sivia Airlangga.
“Makasih ya, Kak. Aku seneeeeng banget!”
“Kakak juga seneng kok. Oh iya, sekarang kita mau ngapain lagi?” tanya Sivia yang masih memeluk adiknya itu. Raydha menggeleng.
“Kita ke makam Mama aja gimana?”
“Aku belum mandi, Kak. Mandi dulu ya?” ungkap Raydha santai.
“Ish! Belum mandi ya? Dih, nyesel Kakak meluk kamu.” sesal Sivia spontan. Ia cepat-cepat melepaskan pelukannya di tubuh Raydha.
“Aku gak nyuruh Kakak meluk aku kok. Salah sendiri,” Sivia mendecak.
“Ya udah sana mandi dulu! Ntar jam 9 kita ke makam Mama.”
“Oke, Kak!”
***
Alvin
duduk di depan rumahnya sambil menikmati segelas susu putih dan roti
tawar dalam menyambut pagi yang begitu cerah di hari minggu ini.
Sesekali ia melirik ponsel untuk memastikan adanya balasan sms atau
tidak dari sang pacar, Sivia.
“Sivia kenapa sih? Sms aku gak dibales-bales dari tadi.” heran Alvin seketika.
“Telpon aja kali ya?” kemudian ia mencari nama Sivia di contact personnya dan langsung menekan tombol hijau tanpa ragu.
“Angkat dong, Vi!” kesal Alvin begitu Sivia belum juga mengangkat telepon darinya.
“Hallo? Ada apa, Vin?”
“Gak ada apa-apa kok, pengen nelpon aja. Kamu lagi sibuk ya?”
“Oh, enggak kok. Kangen ya? Hehehe.”
“Iya nih. Kenapa sih sms aku gak dibales-bales?”
“Tadi aku lagi sarapan sama Edha. Maaf ya aku gak bales? Kamu udah sarapan belum?”
“Oh gitu. Ya udah gak apa-apa. Ini lagi sarapan kok.”
“Sarapan kok sambil nelpon sih?”
“Emang gak boleh ya? Abis aku kangen kamu gimana dong?”
“Iya deh iya. Lanjutin gih sarapannya!”
“Udah selesai, Sayang. Oh iya, udah mandi belum? Pasti belum ya?”
“Enak aja! Udah tau. Kamu kali yang belum? Ayo ngaku!”
“Ish! Udah dong.”
“Bagus deh kalau gitu.”
“Eh, ntar siang aku main ya ke rumah kamu. Gak ada acara lain kan hari ini?”
“Hmm lain kali aja deh. Aku mau ke makamnya Mama sama Edha. Gimana kalau besok aja pas pulang sekolah kita jalan-jalan?”
“Mau ke makam Mama kamu? Gimana kalau aku anter?”
“Makasih ya, Vin? Tapi aku cuma pengen berdua aja sama Edha. Gak apa-apa kan?”
“Hmm ya udah deh. Padahal aku kangen banget nih, pengen ketemu kamu.”
“Semalem kan kita jalan bareng, masa udah kangen aja sih? Lebay deh!”
“Biarin! Yang penting aku cakep. Hehehe.”
“Dih, pede banget sih!”
“Buktinya kamu suka sama aku. Iya kaaaan?”
“Kata siapa coba? Kamu kali yang suka sama aku. Kan kamu yang nembak aku duluan?”
“Tapi
kan kamu yang ngajak kenalan sama aku waktu pertama kita ketemu pas MOS
dulu. Dan kamu juga yang suka cari perhatian sama aku. Inget kan?
Hahaha.”
“Enak aja! Aku gak pernah cari perhatian sama kamu.”
“Masa sih?”
“Ah nyebelin.”
“Gitu aja ngambek. Jelek tau!”
“Terus kalau aku jelek, kamu mau ngapain?”
“Gak mau ngapa-ngapain sih. Aku cuma mau bilang kalau aku kangen banget sama kamu, Sivia.”
“Eh, Edha udah siap tuh kayanya. Udah dulu ya, Vin? Ntar malem kita lanjut lagi. See you, Sayang!”
“Tapi,
Vi? Via? Yaaaahhhh malah dimatiin. Payah nih!” sesal Alvin begitu
sambungan teleponnya terputus. Ia menghela napas perlahan.
“Aku
nyusul aja deh ke makam Mamanya Sivia sama Edha. Ya, aku harus nyusul.”
tekad Alvin yakin. Rasa kangen di hatinya sudah benar-benar berat untuk
ditahan lagi. Berlebihan? Mungkin.
***
Suasana sepi dan hening dapat Sivia dan Raydha rasakan begitu langkah kakinya berpijak di atas tanah pemakaman.
Semakin
cepat mereka melangkah, semakin dekat pula mereka dengan tempat
peristirahatan terakhir sang Mama. Tempat yang dua tahun lalu pernah
mereka tangisi bersama. Dan tempat yang sekaligus menjadi pertemuan terakhir mereka dengan sang Mama untuk selamanya.
Sivia
dan Raydha pun berjongkok di pinggir makam Mamanya. Diam. Hanya bisa
memandangi batu nisan yang bertengger kokoh serta sesekali mereka
mengusap batu yang memang bertuliskan nama orang tua perempuan mereka
itu.
“Ma, Mama tau gak? Via sama Edha itu kangeeeennnn banget sama
Mama.” lirih Sivia seketika. Ia menatap batu nisan yang kini disentuhnya
begitu lembut.
“Via sama Edha gak akan pernah lupa sama semua
nasihat-nasihat Mama tiap kali kita mau berangkat sekolah, omelan-omelan
Mama tiap kali kita ngelakuin kesalahan dan semua candaan serta tingkah
lucu Mama tiap kali kita sedang sedih.” lanjutnya perlahan. Lantas
Sivia terdiam untuk sejenak.
“Pokoknya Via sama Edha kangen banget sama Mama.” kata Sivia kemudian.
“Ma,
Mama yang tenang ya di sana? Mama jangan khawatirin Edha sama Kak Via,
Edha sama Kak Via baik-baik aja kok di sini.” kini giliran Raydha yang
menyampaikan isi hatinya kepada sang Mama.
“Edha sama Kak Via masih
punya Papa, Papa yang begitu sayang dan perduli sama kita. Hmm walaupun
Papa udah jarang banget sih pulang ke rumah, tapi kita yakin kalau Papa
juga sebenernya pengen banget bisa luangkan waktu untuk kita, cuma
karena urusan pekerjaan aja yang mungkin memang gak bisa Papa tinggalin
untuk sekejap pun.” Raydha tiba-tiba menunduk. Menghela napas untuk
sejenak.
“Tapi Edha sama Kak Via rela kok ditinggal-tinggal sama
Papa, toh Papa pun bekerja itu buat kelangsungan hidup kita kan? Dan
Edha sama Kak Via akan selalu sayang sekaligus kangen sama Mama, sama
Papa. Iya kan, Kak?” Sivia mengangguk saat Raydha meminta respon
darinya.
“Oh iya Ma, Edha juga udah punya bidadari pengganti Mama di
sini. Bidadari yang selalu jagain Edha, lindungin Edha, membuat Edha
selalu merasa bahagia dan merasa tenang kalau dia ada di samping Edha.”
Raydha melirik sang Kakak yang masih meraba-raba tanah gembur berwarna
merah di hadapannya.
“Bidadari itu adalah duplikatnya Mama, Kak Sivia.” ucap Raydha penuh senyum. Sivia mengangkat dagu dan menatap adiknya bangga. Lantas ia ikut tersenyum.
“Jadi
Mama gak usah khawatir lagi sama Edha, karena Edha masih punya Papa
sama Kak Via yang sayang sama Edha. Mama yang tenang ya di sana? Doa
Edha selalu menyertai Mama. Edha sayang sama Mama.”
“Via juga sayang
sama Mama. Dan Via pun akan selalu doain Mama di sini. Love you, Mom!”
sambung Sivia tulus. Lalu mereka menyiram air serta menaburkan berbagai
jenis bunga di pusaran sang Mama setelah sebelumnya mereka mendoakan
terlebih dahulu orang yang sangat disayanginya tersebut.
“Kita pulang yuk, Kak? Udah siang,” ajak Raydha seketika.
“Ma,
Via sama Edha pulang dulu ya? Lain kali Via sama Edha bakal ke sini
lagi kok, Via janji.” Raydha hanya mengangguk seakan menyetujui
perkataan sang Kakak.
***
“Via, Edha!” Sivia dan
Raydha menghentikan langkahnya begitu ada seseorang dengan tiba-tiba
memanggil nama mereka. Orang itu mendekat dan tersenyum.
“Alvin?” gumam Sivia sedikit heran. Begitupun Raydha.
“Kak Alvin?”
“Udah selesai nyekarnya? Maaf ya telat,” aku Alvin tanpa ragu.
“Kak Alvin tau dari siapa kalau kita ke sini?” tanya Raydha.
“Kakak tau dari Via, Dha. Tadi sempet telponan sebelum kalian berangkat ke sini.” Raydha membulatkan mulutnya.
“Oh gitu.”
“Kamu bandel juga ya ternyata? Bukannya aku udah larang kamu dateng ke sini ya? Ish! Telinganya ke mana sih?” cibir Sivia sinis.
“Aku itu kangen banget sama kamu, jadi gak ada salahnya kan kalau aku ke sini?”
“Terserah kamu deh!”
“Gak
apa-apa kali, Kak. Namanya juga pacar. Ya wajar-wajar ajalah kalau
dibela-belain dateng ke sini.” sambung Raydha yang langsung mendapatkan
jempol dari Alvin.
“Nah, bener banget tuh!”
“Ish! Kamu kok belain dia sih?”
“Bukannya gitu,”
“Ya udahlah. Terus sekarang mau ngapain?” tanya Sivia ke pacar dan adiknya. Mereka pun saling pandang.
“Aku main aja deh ke rumah kalian. Gak ganggu kan?”
“Oh enggak kok, Kak. Nyantai aja.”
“Kalau gitu langsung aja yuk kita pulang? Nanti keburu panas di sini.” ajak Sivia sembari menarik tangan Alvin dan adiknya. Alvin dan Raydha kembali saling pandang dan kemudian menggeleng pasrah melihat ulah Sivia.
***
Raydha
memutar handphone yang sejak tadi ia pegang seraya memikirkan suatu hal
yang kini berputar di otaknya. Lalu ia berdiri dan melangkahkan kakinya
ke dekat jendela. Sejenak, Raydha termenung. Perasaannya selalu
dirundung gelisah tatkala ia berpikir lebih dalam lagi tentang apa yang
ada di otaknya tersebut.
“Telpon Papa atau enggak ya?” tanya Raydha
pada diri sendiri. Kembali ia menatap layar handphone yang memang
tertera nama Papanya di sana. Dan tanpa ragu tangannya menekan tombol
hijau cepat-cepat.
“Hallo, Pa?”
“Hallo Sayang, ada apa? Tumben telpon Papa.”
“Edha kangen Papa. Papa kapan pulang?”
“Papa
juga kangen sama Edha. Tapi Papa minta maaf, Papa belum bisa pulang
dalam waktu dekat ini. Tapi Papa janji kok, Papa bakal pulang secepat
mungkin.”
“Papa inget gak sekarang tanggal berapa?”
“Hmm tanggal 19 September, kenapa?”
“Gak apa-apa kok, Pa. Edha cuma nanya aja,”
“Edha mau apa dari Papa?”
“Maksud Papa?”
“Masa Edha gak inget sih? Bukannya besok Edha mau ulang tahun?”
“Papaaaa!!!”
“Kenapa, Sayang?”
“Kirain Papa udah lupa sama ulang tahun Edha.”
“Enggak dong, Sayang. Papa akan selalu inget sama ulang tahun anak Papa sendiri. Edha mau apa dari Papa?”
“Hmm Edha gak mau apa-apa dari Papa. Edha cuma mau Papa pulang dan bisa rayain ulang tahun Edha di sini.”
“Papa minta maaf, Papa belum bisa pulang sekarang atau besok. Gak apa-apa kan, Sayang?”
“Edha gak mau.”
“Maafin Papa, Sayang.”
“Hmm ya udah, Edha ngerti kok. Papa gak usah minta maaf, Papa gak salah.”
“Makasih, Sayang. Sekali lagi nih Papa tanya, Edha mau apa dari Papa? Papa janji, Papa bakal kasih semua yang Edha minta.”
“Gak
usah, Pa. Edha cuma mau Papa doain Edha aja. Dan Edha juga mau Papa
cepet-cepet menuntaskan pekerjaan Papa, biar Papa bisa cepet pulang ke
rumah.”
“Baik, Papa usahakan. Jaga diri baik-baik ya, Sayang. Dan salam buat Kak Sivia. Papa kangen sekali sama kalian.”
“Iya Pa, Edha sama Kak Via juga kangen sekali sama Papa.”
“Ya udah kalau gitu Papa mau meeting dulu ya, Sayang. Dan Papa usahakan untuk segera pulang ke rumah. Secepatnya!”
“Janji ya, Pa?”
“Iya Papa janji. Udah dulu ya? Sampai ketemu nanti! Papa sayang kamu. Semangat!”
“Iya, semangat! Edha juga sayang Papa.” kata Raydha mantap. Klik! Raydha pun mengakhiri sambungan teleponnya dengan sang Papa.
***
Bunyi
jarum jam memecah keheningan malam yang benar-benar terasa dingin saat
itu. Meski tak ada angin yang berhembus. Dan meski tak ada setetes pun
air hujan yang jatuh menyentuh bumi. Atau mungkin karena suhu udara di
malam hari itu memang turun beberapa derajat dari malam-malam
sebelumnya? Entahlah! Yang jelas rasa dingin tersebut membuat semua
insan di dunia merasa betah berbaring di atas tempat tidur dengan
balutan selimut yang sangat tebal. Hangat.
Di suatu tempat, Alvin
terbangun dari lelap ketika tubuh tingginya yang entah kenapa tiba-tiba
terasa membeku bagai es. Ia pun duduk一dengan kedua mata yang masih
tertutup一sambil sesekali tangannya meraba-raba mencari selimut yang ia
kenakan sebelumnya. Lantas Alvin tersadar begitu tangannya belum juga
mendapatkan sesuatu yang ia cari tersebut.
“Lho? Kok selimutnya gak ada sih? Perasaan tadi sebelum tidur itu aku pakai selimut deh?” herannya seketika.
“Ish!
Pantes aja aku kedinginan kaya gini.” lantas Alvin pun turun dari
ranjang dan berniat ke kamar Mamanya untuk meminta selimut yang lain.
Namun baru saja ia hendak membuka pintu kamarnya, tiba-tiba…
“SURPRIIIISSSSEEEE!!!”
teriak Sivia, Ify dan kedua orangtua Alvin heboh. Alvin hanya mematung,
bola matanya membesar seketika. Kaget.
“Selamat ulang tahun,
Sayang!” kata kedua orangtua Alvin bergantian sambil mencium kening
anaknya tersebut. Alvin masih terdiam, hanya sebuah senyuman kecil yang
bisa ia tunjukkan kepada mereka.
“Happy birthday ya, Vin!” ucap Ify kemudian.
“Happy
birthday, Alvin! Happy birthday, Alvin! Happy birthday! Happy birthday!
Happy birthday, Alvin!” dan kini giliran Sivia yang kedua tangannya
membawa kue tart dengan lilin berangka 16 yang menyala itu melangkah mendekati Alvin sambil bernyanyi.
“Happy birthday ya, Sayang.” bisiknya kemudian.
“Ayo tiup lilinnya!” pinta Ify perlahan.
“Tapi
sebelum meniup lilinnya, make a wish dulu biar lebih afdol.” saran sang
Mama. Alvin dan yang lain langsung mengangguk. Kemudian Alvin menunduk
seraya memejamkan kedua matanya. Ia berdoa.
“Selesai. Sekarang boleh
tiup lilinnya kan?” tanyanya kemudian. Sivia tersenyum. Tersenyum
melihat mata Alvin yang berbinar karena terkena pantulan cahaya dari
lilin. Dan…
“Yeeeeaaaayyyy!!!” teriak semua orang yang ada di sana sambil bertepuk tangan ketika Alvin selesai meniupkan lilin.
“Makasih
ya untuk kejutannya? Alvin gak nyangka kalian bakal kasih surprise kaya
gini. Sekali lagi makasih.” Alvin mengatupkan kedua tangannya di dada
sambil tersenyum bahagia.
“Terkhusus buat Via dan Ify yang udah mau bela-belain buat dateng ke sini.”
“Ini
semua idenya Via kok, Sayang. Dia meminta Mama sama Papa buat ikut
berpartisipasi memberi kejutan sama kamu.” balas Mama Alvin seraya
mengusap perlahan kepala anaknya tersebut.
“Makasih ya, Sayang.” bisik Alvin ke Sivia yang mungkin hanya mereka saja yang mendengarnya.
“Kalau
gitu Papa sama Mama ke kamar dulu ya? Tadi Papa sama Mama gak sempet
istirahat dari sepulang kerja.” kini giliran Papa Alvin yang angkat
bicara.
“Makasih ya atas bantuannya Om, Tante. Via sama Ify minta
maaf karena udah ganggu waktu istirahat Om sama Tante.” kata Sivia
ramah. Ify hanya ikut tersenyum menyetujui Sivia.
“Gak apa-apa kok, Sayang. Toh ini untuk Alvin juga kan? Jadi gak ada masalah buat kita.”
“Dan
sekarang Tante serahkan semuanya sama Kalian. Tante sama Om izin buat
istirahat ya? Gak apa-apa kan, Sayang?” Alvin mengangguk perlahan.
“Have fun ya! Jangan lupa tidur lagi kalau udah selesai.” mereka mengangguk.
***
“Happy
birthday, Edha! Happy birthday, Edha! Happy birthday! Happy birthday!
Happy birthday, Edha!” Raydha meniup sebatang lilin yang dipegangnya
setelah sebelumnya ia menyanyikan lagu wajib ulang tahun untuk dirinya
sendiri. Raydha menghela napas sesaat. Lalu menatap sendu lilin yang sudah padam tersebut.
“Ma, hari ini
Edha ulang tahun lho. Mama gak mau kasih selamat buat Edha?” lirih
Raydha kemudian. Tangannya meraih foto Mamanya yang memang terpajang di
meja belajarnya.
“Padahal kan dulu setiap Edha ulang tahun, Mama sering kasih kejutan buat Edha.” Raydha mengusap perlahan wajah sang Mama.
“Mama
selalu memberi pelukan yang hangat serta ciuman bangga di kening Edha.
Dan Mama juga selalu bawa kado istimewa buat Edha. Hmm sayangnya itu
waktu dulu, beda dengan sekarang.” ucap Raydha sambil membayangkan
masa-masa indahnya bersama sang Mama.
“Tapi Edha yakin kok, kalau
Mama akan selalu doain yang terbaik buat Edha di sana. Dan sekarang Edha
gak mau egois, Edha harus bikin Mama bangga. Edha harus bisa jalanin
hidup Edha sendiri meski tanpa Mama. Edha udah 15 tahun, Edha udah
dewasa. Iya kan, Ma?” ia tersenyum seketika.
“Edha sayang Mama.”
tanpa ragu sedikitpun, Raydha mencium hangat foto Mamanya tersebut.
Refleks, ia tak sadar akan air matanya yang telah jatuh sejak tadi.
“Papa
juga cepet pulang ya? Biar Edha gak kesepian lagi. Dan kita bisa rayain
ulang tahun Edha bareng-bareng.” kini giliran foto Papanya yang Raydha
ajak bicara.
“Makasih ya Pa atas doa dan ucapan selamat ulang
tahunnya buat Edha. Edha seneeeeng banget! Ya walaupun cuma lewat sms
sih.” ujar Raydha penuh bangga.
“Ma, Pa, kalian tau enggak Kak Via
ada di mana? Tadi malem Edha lihat Kak Via super sibuk di kamarnya.
Bahkan Kak Via gak sempet bilang ke Edha pas mau pergi. Dan sampai
sekarang Kak Via belum pulang meski Edha udah coba telpon dan sms dia
beberapa kali.” tanyanya heran. Lantas menghirup napas kuat-kuat.
“Tapi
ya gitu deh. Gak ada respon sama sekali. Apa Kak Via lagi sibuk bikin
kejutan buat Kak Alvin kali ya? Kak Alvin kan ulang tahun juga sekarang,
sama kaya Edha.” lirih Raydha semakin melemah.
“Ma, Pa, sebenernya
Edha sedih banget lihat Kak Via yang secara perlahan udah gak perduli
lagi sama Edha. Kak Via lebih banyak menghabiskan waktunya sama orang
lain ketimbang sama adiknya sendiri.” Raydha menggelengkan kepalanya pasrah.
“Namun sekali lagi Edha
bilang, Edha gak mau egois. Kak Via juga punya dunia sendiri, gak
selamanya selalu di samping Edha. Edha harus ngerti dan Edha harus bisa
hidup mandiri. Tapi Ma, Pa? Bukankah ini terlalu sulit buat Edha jalanin
sendiri? Edha takut Ma, Pa.” lirihnya lagi. Lalu Raydha berbaring
sambil memeluk erat foto kedua orangtuanya di dada. Sejenak, hening
kembali menguasai suasana kamar Raydha. Ia terlelap.
***
“Oh,
jadi kamu yang ambil selimut aku? Ish! Sengaja ya biar aku mati
kedinginan?” ungkap Alvin setelah Sivia selesai bercerita tentang semua
misinya untuk memberi kejutan kepada Alvin. Sivia menjulurkan lidah
seketika.
“Itu kan biar kamu cepet bangun.”
“Masa? Emangnya gak ada cara lain ya?” Alvin mengernyit. Lantas Sivia menggeleng.
“Dasar!” cibir Alvin seraya meraih hidung mancung pacarnya tersebut.
“Aku bawa kado spesial lho buat kamu.”
“Oh ya? Mana?”
“Taraaaaa!!! Ini kado istimewa dari aku buat kamu. Mohon diterima,” tegas Sivia sambil tersenyum.
“Apa ini? Jangan bilang mau ngerjain?” terka Alvin bingung.
“Enggak kok, buka aja!” pelahan, Alvin membuka kado dari Sivia penuh penasaran.
“Aku siapin ini udah lama lho. Seminggu yang lalu,” kata Sivia begitu Alvin sedang susah payah membuka kado darinya.
“Waaaahhh keren! Makasih ya, Sayang?”
“Kamu suka?”
“Aku
suka banget! Kamu kok tau kalau aku suka klub Real Madrid? Sering
kepoin aku ya? Cieeee.” Sivia terkekeh melihat tingkah Alvin.
“Kalau iya emang kenapa?” Alvin menggeleng.
“Gak apa-apa,”
“Seneng
ya dikepoin sama aku? Cieeee.” dan mereka pun tertawa seketika. Sampai
Sivia dibuat mematung saat Alvin berhasil memberikan kecupannya di pipi
kanan Sivia.
“Makasih ya untuk semuanya? Aku sayaaaang banget sama
kamu!” ucap Alvin tulus. Sivia masih terdiam. Tidak menyangka kalau ia
akan mendapatkan kecupan dari Alvin.
“Oh iya, kamu mau aku anterin
pulang apa mau nginep di sini? Aku ada kamar khusus buat tamu kok.”
tanya Alvin ramah. Sivia tak bergeming sama sekali.
“Via, kok diem mulu sih?” tanya Alvin lagi. Sivia langsung mengerjapkan matanya saat Alvin menatapnya heran.
“Eh kenapa, Vin?”
“Kamu mau pulang apa mau nginep?”
“Hmm aku nginep aja deh. Lagian udah jam segini juga. Aku gak mau ganggu Edha tidur.” Alvin mengangguk.
“Ya udah yuk masuk! Di sini udaranya dingin banget.” ajak Alvin sambil menarik pelan lengan Sivia.
“Tunggu!”
“Kenapa?”
“Aku
boleh gak peluk kamu?” pinta Sivia ragu. Untuk sejenak Alvin termangu.
Lalu ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mempersilahkan Sivia
untuk memeluknya.
“Aku sayang kamu, Vin.” bisik Sivia begitu ia mendarat di dada bidang Alvin.
“Aku
juga sayang kamu.” Alvin membelai lembut rambut Sivia yang malam itu
tergerai indah bagai benang sutera. Cukup lama mereka saling merengkuh.
Sampai-sampai mereka hampir lupa kalau mereka hendak masuk ke dalam
rumah. Begitulah.
***
Sivia membuka perlahan pintu
kamar Raydha setelah sebelumnya ia menyimpan pakaian kotor di kamarnya
sendiri. Perlahan一dengan sangat hati-hati一Sivia melangkah masuk
mendekati tempat tidur yang sepertinya masih dihuni oleh adiknya
tersebut. Lalu ia menghirup napas panjang sebelum tangannya meraih
selimut yang dipakai Raydha, berniat untuk membangunkannya.
“Kak Via baru pulang?” Sivia pun tersentak begitu sosok Raydha muncul di sampingnya.
“Edha? Ish! Bikin kaget Kakak aja kamu ini.” ujar Sivia sedikit kaget.
“Kak
Via baru pulang? Abis ke mana? Kenapa mesti pulang? Mending gak usah
pulang aja sekalian, Kak.” Raydha tak menghiraukan perkataan dari Sivia.
Ia terus menanyakan hal yang sama kepada Kakaknya tersebut .
“Kok kamu ngomongnya gitu sih? Emang Kakak salah apa sama kamu?”
“Kakak
itu perempuan kan? Wajar gitu kalau ada perempuan malem-malem keluar
rumah sampai pulang pagi?” sinis Raydha kemudian. Ia tak menatap mata
Sivia sekejap pun. Sedangkan Sivia belum bisa menjawab. Ia hanya diam.
“Kenapa semalem handphone Kakak gak aktif? Takut kalau aku bakal ganggu Kakak?”
“Bukan gitu, Dha. Kakak lupa ngecharge handphone, makanya handphone Kakak mati.” bela Sivia kemudian. Raydha tersenyum sinis.
“Kakak pergi ke rumah Kak Alvin kan? Emangnya di rumah Kak Alvin gak ada
charger? Iya?! Aku tuh khawatir sama Kak Via tau gak?! Bisa gak sih Kak
Via bilang dulu sama aku kalau Kakak mau keluar rumah?” Sivia menunduk.
“Maafin Kakak, Kakak bener-bener gak sempet buat bilang dulu ke kamu. Kakak buru-buru soalnya,”
“Kakak
masih anggap aku sebagai adik gak sih, Kak?! Atau udah lupa kalau aku
itu adik Kakak? Iya?!” Raydha kembali tertawa sinis di depan Sivia.
“Oke,
aku tau, mungkin saking sibuknya Kakak ke sana ke mari membuat kejutan
buat pacar Kakak yang lagi ulang tahun itu, sampai-sampai Kakak lupa
sama ulang tahun adiknya sendiri. Bahkan inget pun mungkin tidak sama
sekali. Ish! Tega banget kamu Kak sama aku.” timpal Raydha seraya
meninggalkan Sivia yang terbengong-bengong setelah mendengar ucapan
adiknya itu. Sivia terduduk lemas di tempat tidur Raydha.
“Ya Tuhan,” lirihnya menyesal. Ia baru sadar kalau Adiknya juga ulang tahun hari ini.
“Kenapa
aku bodoh sekali! Kenapa aku sampai lupa sama ulang tahun adikku
sendiri?! Bahkan bener kata Edha, aku bener-bener gak inget sama sekali.
Sedangkan semalem aku bela-belain nyibukin diri buat ngasih kejutan
sama Alvin yang belum tentu menjadi keluargaku suatu saat nanti.” jerit
Sivia sambil mengacak-acak rambut panjangnya.
“Edha, maafin Kakak.
Kakak tau Kakak salah. Kakak bener-bener minta maaf sama kamu.” gumam
Sivia kemudian. Lantas ia langsung beranjak keluar menemui Adiknya.
Di
ruang tengah, Raydha berdiri di dekat jendela sembari menatap sendu ke
arah taman rumahnya. Matanya sedikit berkaca. Dan tiba-tiba ia merasakan
ada seseorang yang memeluk tubuhnya dari belakang. Sivia.
“Maafin
Kakak, Kakak tau Kakak salah. Kakak menyesal, Dha! Kakak bener-bener
bodoh!” isak Sivia di pundak Adiknya. Raydha mematung. Matanya ia
pejamkan seketika. Entah kenapa Raydha paling tidak bisa marah lama-lama
sama Sivia. Ia terlalu sayang sama Kakak kandungnya tersebut.
“Kamu mau kan maafin Kakak? Kakak mohon,” isak Sivia terus menerus. Raydha tetap tak bergeming.
“Kakak harus berbuat apa supaya kamu mau maafin Kakak? Apa perlu Kakak
putusin Kak Alvin?” Sivia melepaskan pelukannya perlahan. Memberikan
kewenangan kepada Edha untuk menjawabnya. Sekilas, Raydha menggeleng.
“Kakak
gak perlu minta maaf. Dan Kakak juga gak perlu putusin Kak Alvin. Kak
Alvin udah sayang banget sama Kakak. Bahkan mungkin rasa sayang Kak
Alvin ke Kakak itu jauh melebihi rasa saya aku ke Kakak.” kata Raydha
yakin.
“Lalu apa yang harus Kakak lakukan buat nebus kesalahan Kakak sama kamu?”
“Kakak
gak pernah salah, mungkin aku yang salah. Aku terlalu egois, aku
terlalu berharap lebih sama Kakak.” Sivia menggeleng. Membantah
pernyataan sang Adik.
“Aku yang maksa Kakak untuk terus ada di sampingku
saat aku butuhkan, padahal aku sendiri tau kalau Kakak juga punya dunia
sendiri yang seharusnya aku gak boleh ikut andil di dalamnya.” Raydha
menunduk.
“Bahkan saking egoisnya aku, aku terlalu takut kalau rasa
sayang Kakak ke aku sampai berkurang gara-gara Kakak punya pacar. Aku
minta maaf, Kak.” tanpa ragu, Sivia kembali menarik Raydha ke dalam
pelukannya. Erat.
“Kamu gak salah, Dha. Kakak yang sebenernya egois.
Kakak gak pernah lagi memikirkan keluarga kalau tidak kamu yang menegur
Kakak. Kakak selalu mementingkan diri Kakak sendiri.” kini giliran Sivia
yang mengakui kesalahan-kesalahannya.
“Bahkan di hari ulang tahun
kamu pun, Kakak lebih memilih merayakan ulang tahun orang lain ketimbang
merayakan ulang tahun adiknya sendiri di rumah yang faktanya jauh lebih
penting dan berharga dari segalanya. Kakak mengaku salah, Kakak minta
maaf.” Sivia semakin erat memeluk Raydha.
“Selamat ulang tahun ya, Sayang! Sekali lagi Kakak minta maaf,” Raydha tersenyum.
“Aku
udah gak perduli lagi kalau hari ini tuh hari ulang tahunku atau bukan. Yang lebih
penting, aku udah bisa merasakan betapa bahagianya mempunyai keluarga, mempunyai seorang Kakak.
Keluarga yang sangat aku sayangi. Aku sayang Kakak.” Sivia ikut
tersenyum. Lantas ia mendaratkan kecupan hangat di kening Raydha. Raydha
mengusap air matanya perlahan.
“Kakak juga sayang kamu, Raydha!”
The End!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar