Sudah
hampir dua jam sang hujan turun dengan kompaknya mengguyur bumi. Cukup
deras. Namun tetap saja warna langit di atas sana belum juga berniat
untuk merubah warnanya menjadi lebih terang. Malahan sekarang warnanya
semakin menghitam. Pekat. Memberi tanda kalau hujan akan lebih lama lagi
turun ke bumi. Lantas cuaca yang cukup ekstrim tersebut membuat segala
aktivitas yang seharusnya terjadi di sore itu terhenti seketika. Tak
perduli sepenting apapun aktivitasnya, yang jelas hujan deras di sore
hari pada akhir pekan ini sudah berhasil mengurung niat para manusia
untuk melakukan kegiatan.
Di dalam sebuah ruangan, seorang gadis
remaja duduk di samping sebuah ranjang yang berada di dekat jendela.
Kepalanya menunduk dengan kondisi kedua tangan memegang erat kelima
jemari milik seorang anak laki-laki yang sedang tidur terlentang tak
jauh di depannya dengan hidung yang tertutup oleh alat bantu napas serta
selang infus yang juga menempel di tangan kanan laki-laki tersebut.
Entah apa yang sedang dilakukan gadis remaja itu, yang pasti semenjak
hujan belum turun pun ia sudah melakukan aktivitas yang sama sebelumnya.
Dan perlahan, ia mengangkat pelan kepalanya. Lalu menatap iba wajah pucat seseorang yang tubuhnya terbujur lemah itu.
"Sayang, harus berapa lama lagi aku menunggu kamu membuka mata?" ucapnya lirih dengan suara yang sedikit serak.
"Aku
lelah, aku udah gak kuat lagi seperti ini. Karena tanpa kamu, aku
bukanlah orang yang kuat. Sayang, aku mohon, buka mata kamu untuk aku."
gadis itu kembali menunduk setelah dirasa laki-laki itu belum juga
menuruti kemauannya untuk membuka mata. Atau lebih tepatnya bangun dan
sadar dari koma yang menjerat tubuhnya selama seminggu ini.
"Aku gak
bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai ada sesuatu buruk terjadi sama
kamu. Aku bener-bener gak bisa maafin!" lalu ia menangis. Bayang-bayang
terakhir saat ia bersama laki-laki yang begitu disayanginya tersebut
muncul tiba-tiba di benaknya.
"Kamu bodoh, Sivia! Kamu bodoh!!!" rutuknya kemudian sambil mengacak rambut hitamnya berkali-kali.
"Kalau
aja waktu itu aku gak maksa kamu buat duel main basket, mungkin
kejadiannya gak akan seperti ini. Maafin aku ya, sayang? Maafin aku.
Kamu bangun dong, sayang! Apa kamu gak kangen aku? Atau kamu sengaja gak
bangun-bangun karena kamu gak suka sama sikap aku yang egois dan childish selama
ini? Sayang, jawab dong!" gadis yang mengaku bernama Sivia itu semakin
menggenggam erat jemari laki-laki yang sudah lima hari ini tidak bisa
mewarnai kehidupannya lagi. Di mana lima hari yang lalu, saat dirinya
masih bisa menghabiskan waktu bersama dengan sang kekasih di lapangan
basket sekolah, peristiwa yang tak pernah di duga Sivia sebelumnya itu
terjadi begitu saja. Dan bahkan sampai sekarang pun, Sivia masih bisa
dengan jelasnya mengingat peristiwa tersebut secara rinci.
Saat itu, sepulang latihan cheers, Sivia
menghampiri kekasihnya yang sedang duduk sendiri sambil memandangi
beberapa temannya berlatih basket di tengah lapangan. Dan dengan pom-pom
warna-warni yang dibawanya itu ia gunakan untuk menutup mata laki-laki
tersebut dari belakang.
"Aku udah gak mempan lagi dikerjain seperti
ini." Sivia menghela napas kemudian. Niat awalnya untuk mengerjai sang
kekasih pun gagal total. Lantas ia langsung duduk di samping kekasihnya
itu sambil memasang wajah manjanya. Laki-laki itu bernama Alvin.
Arkenzie Alvino tepatnya.
"Hmm... kamu siapa ya?" tanya Alvin cukup
sinkron dengan ekspresi mukanya yang seakan belum pernah sama sekali
melihat Sivia sebelumnya. Sontak membuat gadis yang duduk di dekatnya
itu mengernyitkan dahi.
"Ih, apaan sih?! Aku Sivia, pacar kamu!" kemudian Alvin menyipitkan mata sambil meneliti setiap titik pori-pori wajah Sivia.
"Sivia?
Pacar aku yang nyebelin itu? Tapi kok beda ya? Perasaan pacar aku itu
cantik, kok ini jelek sih?" ledeknya kemudian dengan disertai sebuah
tawa kecil. Sivia lantas menggeram mendengarnya, kedua pom-pom yang
sejak tadi ia pegang pun dilempar ke arah dada Alvin perlahan. Sebagai
balasan atas ledekan Alvin tersebut.
"Nyebelin banget sih jadi orang?!"
"Hehehe.
Bodo! Toh lagian suruh siapa tuh muka pakai acara ditekuk segala? Makin
jelek aja." dan lagi-lagi Alvin meledek. Namun kali ini hidung Sivia
yang menjadi sasaran empuknya.
"Sakit, jeleeeeeekkkkkk!!!" rengek Sivia sambil mencoba melepaskan paksa tangan Alvin dari hidungnya.
"Kamu ini yang sakit, bukan aku."
"Tau ah!"
"Ih,
ngambek nih? Aku pergi ah! Mau cari pacar baru." kata Alvin asal.
Ternyata meledek Sivia itu sudah menjadi hobi barunya kali ini.
"Ya udah sana cari pacar baru!" timpal Sivia cukup sinis.
"Serius?
Gak bakal nyesel?" sedetik, setelah dua pertanyaan dari mulut Alvin
tersebut terucap, Sivia langsung sigap mengaitkan tangannya ke tangan
Alvin. Berusaha untuk mencegah Alvin bangkit dari duduknya.
"Enak
aja mau cari pacar baru! Dapetin pacar kaya kamu itu susah tau?! Masa
iya mau dilepasin gitu aja?" ucapnya kemudian. Kontan Alvin langsung
tersenyum mendengarnya. Dan entah kenapa rasa bahagia muncul tiba-tiba
saat perkataan dari Sivia tadi berhasil mengusik gendang telinganya.
Lalu Alvin mengacak pelan poni kekasihnya tanpa berkomentar lagi.
Mereka
pun menghening seketika. Gerombolan anak-anak basket yang sedang
berebut bola pun menjadi pusat pandangan mereka saat ini.
"Oh iya,
kok kamu gak ikut latihan sih?" tanya Sivia yang baru sadar akan sosok
Alvin yang seharusnya berada di antara mereka. Sedangkan sekarang Alvin
malah asyik duduk-duduk santai di sampingnya.
"Sayang?"
"Iya?"
"Kamu kok gak ikut latihan sama mereka? Kenapa?" sekali lagi Sivia bertanya. Kali ini ia alihkan tatapan matanya ke arah Alvin.
"Oh, gak apa-apa kok, sayang. Aku lagi gak enak badan aja." jawab Alvin kemudian.
"Oh
ya? Kamu sakit? Kok tumben sih sakit? Belum makan? Atau semalem abis
begadang?" Alvin terkekeh dibuatnya. Pertanyaan bertubi-tubi yang
dilayangkan Sivia tersebut cukup membuktikan kalau dirinya benar-benar
diperhatikan oleh gadis cantik berambut panjang tersebut.
"Mungkin
cuma kecapekan doang. Kamu tenang aja ya, gak usah khawatir. Karena
seburuk apapun kesehatan sang pangeran, ia akan tetap kuat selama ada
permaisuri di sampingnya." ungkap Alvin tulus. Dan itu berhasil membuat
Sivia tersenyum dengan tatapan kagum kepadanya.
"Kamu itu bisa aja
sih, sayang? Hmm... ya udah kalau gitu, kita main basket berdua yuk?
Mumpung mereka pada istirahat." ajak Sivia ketika melihat lapangan yang
mulai kosong. Namun tanpa berpikir panjang lagi, Alvin cepat-cepat
menggeleng. Mencoba menolak permintaan kekasihnya tersebut.
"Enggak ah, sayang. Aku lagi gak enak badan nih, males gerak."
"Kan
cuma main basket sama aku doang? Ya, itung-itung olahraga biar sehat
lah. Ayo dong, sayang! Mau ya? Aku pengen banget lho main basket sama
kamu, apalagi sampai diajarin. Kan romantis?" Sivia tetap kekeh merayu
Alvin walaupun sudah jelas-jelas tadi Alvin menolak.
"Enggak bisa,
sayang. Aku..." dan belum juga Alvin selesai bicara, Sivia langsung
melepaskan genggaman tangannya dan kembali duduk sambil membelakangi
kekasihnya.
"Kamu gitu deh sama aku." seketika Alvin membuang napas
gusar. Kalau Sivia sudah bersikap seperti itu, rasanya Alvin tak bisa
lagi berbuat banyak. Lantas mau tak mau ia harus menuruti permintaan
gadis tercintanya itu.
"Ya udah deh ya udah, aku mau kok. Kamu jangan ngambek ya? Ayo!" ucap Alvin seraya meraih lengan Sivia lembut.
"Nah, gitu dong! Kamu kan pacar aku yang paling baik, paling ganteng, paling sempurna, paling..."
"Paling
suka bohong kalau ada maunya." sambung Alvin asal. Lalu mereka tertawa
sambil berjalan menuju sebuah bola yang tergeletak begitu saja di bawah
tiang ring basket.
Dan tak lama setelah mendapatkan bola tersebut, Sivia langsung berlari menjauh dari Alvin seraya mendribble bola. Meskipun belum terlalu pandai bermain basket, ia tetap menantang Alvin untuk melawannya.
"Ayo
maju, sayang! Buktikan kalau kamu adalah kapten tim basket." suruh
Sivia sedikit sombong. Sedangkan Alvin hanya bisa tertawa kecil saja
melihat tingkah kekasihnya yang cukup dibilang menggemaskan.
"Oke, siapa takut!" lalu ia melangkah mendekat. Mencoba ingin tau sepintar apa kekasihnya menguasai bola basket.
"Ah,
segitu doang? Payah!" lagi-lagi Sivia meledek saat Alvin tak berhasil
merebut bola dari tangan Sivia. Padahal itu adalah sebuah taktik dari
Alvin, mencoba mengalah terlebih dahulu.
"Kamu bisa juga ya main
basket? Aku kira bisanya cuma nari-nari aja di pinggir lapangan." kata
Alvin walaupun sedang dalam posisi kuda-kuda untuk melawan rivalnya yang
berdiri dua langkah di depan.
"Iya dong! Masa iya pacar aku aja yang
bisa main basket? Aku juga harus bisa lah." nada percaya diri dari
mulut Sivia keluar bersamaan dengan cepatnya ia menerobos tubuh Alvin
tanpa Alvin duga. Sontak Alvin langsung menggeleng salut.
"Itu
namanya gaya cinta. Hahaha." lanjut Sivia meledek lagi. Dan dirasa sudah
cukup untuk Alvin mengalah, kini saatnya Alvin mengeluarkan jurusnya
dalam bermain basket.
Sejenak, Alvin melirik sambil tersenyum
terlebih dahulu ke arah Sivia sebelum akhirnya ia berlari mengejar bola
yang masih memantul di tangan kekasihnya itu. Dan... hup! Tak kurang
dari lima detik, bola itu sudah berpindah dari tangan Sivia ke tangan
Alvin.
"Ah, ini terlalu mudah." kali ini giliran Alvin yang meledek
Sivia. Dan kemudian bola itu ia putarkan di salah satu jarinya. Lalu
tersenyum.
"Ih, kok bolanya bisa cepet di tangan kamu sih?"
"Bisa
dong! Ini namanya gaya aku cinta kamu. Hahaha." seperti boomerang, semua
ledekan yang Sivia ucapkan tadi kepada Alvin, kini balik menyerang
dirinya.
"Oke, baru pemanasan." ujar Sivia yakin. Meskipun ia memakai rok cheers yang benar-benar mini, namun Sivia tetap lihai berlari.
"Aih!
Gak kena!" kata Alvin sambil memutar tubuhnya saat Sivia hendak merebut
bola yang masih berputar di jarinya. Sivia kemudian memutar mata,
ternyata gelar kapten basket itu memang pantas diraih seorang Alvin.
"Kayanya
tadi ada yang sombong deh, tapi kok sekarang diem ya?" tanya Alvin
cukup menyindir. Membuat Sivia geram dan kemudian langsung memeluk Alvin
dari belakang dan menggelitiki tubuhnya.
"Hahaha. Geli sayang, geli.
Hahaha. Lepasin! Hahaha. Udah dong, udah! Hahaha. Siviiiiaaaaaa!!!" dan
bola di jari Alvin pun jatuh seketika. Lantas dengan sigapnya Sivia
mengambil bola itu dan berlari menjauhi laki-laki yang kini menggeleng
heran.
"Aih! Kamu curang!" teriak Alvin. Sedangkan Sivia hanya menjulurkan lidah sebagai balasan.
"Ish!
Udah mulai ngeselin ya sekarang?" lanjutnya pelan. Karena entah kenapa
kepalanya mulai terasa pusing serta pandangannya pun sedikit demi
sedikit memburam.
"Ayo sini maju! Masa mau nyerah sih? Ah, payah!"
tantang Sivia lagi-lagi. Alvin tak langsung merespon. Kini giliran
lututnya yang terasa lemas. Dan walaupun ia sudah berusaha untuk
menahan, rasa sakit di kepala serta rasa lemas di lututnya semakin
memberontak. Lantas Alvin menekuk tubuhnya, mencoba menopang tubuhnya
sebisa mungkin dengan posisi kedua tangan menyentuh kedua pahanya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Sivia mulai curiga dengan tingkah Alvin itu.
"Aku gak apa-apa kok, say..." bruk! Tubuh Alvin pun tumbang seketika.
"Sayang?!"
teriak Sivia yang langsung saja membuang bola tak tentu arah dan
kemudian berlari mendekati Alvin yang sudah tergeletak di tengah lapang.
"Sayang,
kamu kenapa? Bangun dong, sayang! Kamu jangan becanda! Sayang, bangun!
Gak lucu tau?! Tolooooonnnggg!!!" Sivia sontak berteriak keras. Alvin
ternyata tidak sedang bercanda jika dilihat dari wajahnya yang sangat
pucat.
"Toloooooonnnggg!!!" sekali lagi Sivia berteriak meminta
tolong. Sampai teman-teman basket Alvin yang mendengar teriakan Sivia
pun langsung berlarian ke sumber suara.
"Alvin?! Alvin kenapa, Vi?" tanya salah seorang di antara mereka yang datang.
"Aku
gak tau, Alvin pingsan gitu aja pas lagi main basket sama aku." lirih
Sivia cukup sendu. Genangan air di sudut matanya pun mulai tampak.
"Ayo
bantu angkat Alvin! Kita bawa dia ke UKS." setelah mendapat komando
kecil, tubuh Alvin kini diangkat oleh keempat teman basketnya menuju
UKS. Tak lupa juga Sivia yang ikut serta memegangi kepala Alvin yang
cukup membikin dada sesak jika melihat wajah pucatnya terus-terusan.
Lantas ia menarik napas sejenak sebelum mengusap kening Alvin yang
berkeringat dingin.
"Kamu yang kuat ya, sayang?" gumamnya pelan.
Klik!
Bayangan yang sangat menyedihkan itu bagaikan film yang terhenti begitu
saja di pikiran Sivia saat sebuah sentuhan lembut di pundaknya dapat ia
rasakan. Sentuhan dari seorang wanita paruh baya yang kini tersenyum ke
arah Sivia yang baru saja membuka mata.
"Via, pasti kamu belum makan
kan dari tadi siang? Makan dulu gih, sayang? Tante udah beliin makanan
tuh di meja. Biar Tante aja yang gantiin Via buat jagain Alvin." ujar
wanita itu sangat manis. Karena beliau mulai merasa tidak tega saat
melihat gadis yang telah dianggap sebagai bagian dari keluarganya itu
sudah tidak lagi memikirkan kesehatannya semenjak Alvin terkena musibah
tersebut.
"Via mau di sini aja, Tante. Mau jagain Alvin terus. Toh
Via juga masih kenyang kok, Tante. Soalnya sebelum Via ke sini, Via
makan dulu di kantin sekolah." tolak Sivia dengan memberi alasan yang
cukup logis.
"Tapi itu kan di sekolah sayang, bukan di sini. Ya udah
kalau gitu Tante ambilin aja ya makanannya? Biar kamu bisa makan di sini
kalau emang gak mau jauh-jauh dari Alvin." ucap wanita itu lagi yang
tak lain adalah orang tua Alvin. Yang Sivia panggil dengan sebutan Tante
Sonia.
"Gak usah, Tante." sambung Sivia dengan memegang tangan Tante
Sonia yang hendak melangkah pergi. Beliau menghela napas kemudian.
Mulai sedikit memahami dengan sikap Sivia yang seperti itu.
"Hmm...
Via, Tante tau kok gimana perasaan kamu akhir-akhir ini. Kamu sedih kan
melihat keadaan Alvin seperti itu? Kamu menyesal, dan bahkan mungkin
kamu marah karena merasa kamulah penyebab dari musibah ini. Tapi menurut
Tante ini semua udah jalan Tuhan, gak perlu disesali. Apalagi sampai
kamu menyiksa diri seperti ini. Nanti kalau kamu sampai sakit, gimana?
Siapa yang mau jagain Alvin?" Sivia terdiam mendengarnya. Semua
kata-kata Tante Sonia memang benar. Lantas ia tersenyum kecil.
"Tante
bener. Kalau Via sampai sakit, nanti Via gak bisa jagain Alvin lagi
kan, Tante?" ucap Sivia lirih. Sedangkan saat mendengar itu, Tante Sonia
hanya bisa tersenyum sambil mengelus pelan rambut Sivia dengan penuh
kasih. Beliau merasa sangat bangga karena ada salah seorang gadis cantik
yang begitu menyayangi Alvin melebihi dirinya sendiri selaku orang
tuanya.
Lantas Sivia bangkit dari duduknya dan menatap sejenak wajah wanita paruh baya yang selalu tersenyum tulus itu.
"Makasih
ya, Tante?" ucapnya tiba-tiba. Tante Sonia tak lantas merespon, beliau
hanya mengedipkan matanya lembut sambil kemudian mengangguk.
"Jagain Alvin terus ya, Tante? Via mau makan dulu." lagi-lagi Tante Sonia mengangguk saat gadis cantik itu kembali berkata.
"Maafin
Tante ya, Via? Tante terpaksa lakuin ini." dan saat Sivia mulai
berjalan keluar, Tante Sonia bergumam sambil terus menatap punggung
Sivia yang semakin jauh.
***
Sivia berhenti dari
langkahnya, "Ih, lucu! Aku mau dibeliin boneka itu dong, sayang?"
pintanya kemudian saat ia melihat sebuah boneka panda super besar
berwarna merah muda yang terpajang di salah satu toko boneka yang
dilewatinya bersama Alvin.
"Lho? Gimana sih? Tadi katanya minta dibeliin ice cream, kok
sekarang jadi boneka? Yang bener yang mana?" tanya Alvin heran. Karena
memang baru saja satu menit yang lalu Sivia memaksa Alvin untuk membeli ice cream kesukaannya, tapi sekarang malah sudah berubah permintaannya.
"Ngg...
kalau dua-duanya boleh enggak, sayang?" jawab Sivia setelah berpikir
cukup lama. Sorot mata mengiba pun tak lupa Sivia tunjukkan di hadapan
Alvin. Mungkin hanya hal itulah yang mampu ia lakukan untuk meluluhkan
hati seorang Alvin.
"Kamu ini paling bisa ya bikin aku pantang
menolak?" tak lama Sivia pun tersenyum saat sebuah cubitan manja
mendarat di pipi kanannya. Karena kalau Alvin sudah bilang seperti itu,
berarti Alvin mau mengabulkan apa yang tadi Sivia pinta.
"Makasih ya, sayang? Kamu baik deh!"
"Kalau
ada maunya aja bilang aku baik, dasar jelek!" tukas Alvin dengan nada
bercanda. Sedangkan Sivia langsung mengaitkan tangannya kembali ke
tangan Alvin tanpa berniat menimpali tukasan kekasihnya tersebut.
Dan
kemudian bayangan itu melenyap kembali di benak Sivia saat sebuah suara
mengusik gendang telinganya. Panggilan dari sahabat kecilnya, Ify
Clarissa. Gadis yang limabelas menit yang lalu mengajaknya ke kantin.
Gadis yang sepuluh menit yang lalu membelikannya sebuah ice cream. Dan ice cream
dari gadis tersebutlah yang tadi berhasil membuat Sivia termenung,
mengingat kembali masa-masa indah seminggu yang lalu saat ia diberikan ice cream yang sama oleh Alvin. Dan bahkan bukan cuma ice cream yang ia dapat, boneka panda super besar juga dapat ia peluk saat itu.
"Kamu ngelamunin Alvin lagi ya, Vi?" setelah dirasa Sivia sudah cukup sadar dari lamunannya, Ify pun bertanya.
"Ice cream ini ngingetin aku sama Alvin, Fy. Aku kangen sama dia, aku kangen dibeliin ice cream lagi sama dia. Aku kangen," cukup lirih Sivia berkata. Membuat Ify merasa sedikit tak enak hati kepadanya.
"Kamu yang sabar ya, Vi. Karena aku yakin kalau Alvin gak akan tidur lama-lama lagi, dia bakal bangun buat kamu, buat ngasih ice cream itu
lagi yang jauh lebih spesial." balas Ify memberi semangat kepada
sahabat kecilnya itu. Orang yang tau baik-buruknya Sivia dan juga orang
yang paling mengerti Sivia di kehidupan luar selain Alvin.
Lantas
Sivia tersenyum begitu Ify mengusap pundaknya. Karena sebelumnya ia
juga sudah yakin kalau yang tadi dikatakan Ify tersebut akan terjadi.
Walaupun entah itu kapan, tetapi yang jelas Sivia selalu yakin kalau itu
akan terjadi. Ya, terjadi.
"Makasih banyak ya, Fy? Kamu memang sahabat aku yang paling baik." ujarnya seraya menyandarkan kepala di bahu Ify.
"Makasih
juga ya, Vi? Toh kalaupun saat ini aku yang berada di posisi kamu,
mungkin kamu akan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan ke
kamu sekarang. Karena menurut aku, seperti itulah sahabat." kata Ify
seraya tangannya memutar-mutar ice cream yang sudah sedikit meleleh.
"Hai semuanya! Lagi pada ngapain nih? Makan ice cream ya?
Wuih... bagi aku dong!" sedetik setelah Ify berhenti berbicara, seorang
siswa tiba-tiba datang dengan sedikit menyapa dan serta-merta langsung
mengambil ice cream yang ada di genggaman Sivia tanpa izin
terlebih dahulu. Terkesan tidak sopan sih, namun perilaku seperti itulah
yang biasa Sivia dan Ify dapatkan acapkali siswa tersebut menemui
mereka. Dan walaupun kadang suka kesal dibuatnya, namun Sivia dan Ify
tetap tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena memang seperti itulah ia,
mau diapakan lagi?
Siswa itu bernama Cakka, Cakka Raditya, sepupu
dari Alvin. Salah satu member tim basket di sekolahnya. Bahkan ia
pernah menjabat sebagai kapten tim juga sebelum akhirnya berpindah
tangan kepada Alvin.
"Oh iya, menurut kalian berdua aku itu pantes
gak sih punya pacar? Kok perasaan di sekolah ini gak ada yang mau ya
sama aku? Apalagi sih yang kurang dari aku? Ganteng, iya! Tajir, iya
juga! Kurang apalagi coba?" cibir Cakka di tengah-tengah kegiatannya
memakan ice cream. Dan itu cukup membuat perasaan Sivia yang tadi sempat sedih pun berubah drastis begitu mendengar Cakka mencibir.
"Satu lagi tuh yang kurang," timpal Sivia sambil memberi kode ke Ify.
"Apa tuh, Vi?"
"KURANG SOPAN!!!" glek! Cakka terpaksa menelan mentah-mentah ice cream
yang ada di pangkal tenggorokannya. Dua kata yang keluar dari mulut
mereka berhasil membuat Cakka tak bernafsu lagi dengan ice cream yang
kini tinggal setengah itu.
"Ya, kalau itu kan cuma berlaku buat kalian berdua doang." respon Cakka setelahnya.
"Tapi
kita berdua itu wakil dari semua cewek yang ada di sekolah ini, Cakka!
Iya kan, Vi?" lantas Sivia mengangguk. Sangat menyetujui apa yang
dibilang Ify barusan.
"Lagian kalau kamu pecicilan kaya gitu, mana ada sih cewek yang mau sama kamu?" kata Sivia. Cakka membuang napas mendengarnya.
"Nyesel
deh aku curhat sama kalian berdua. Aih!" lirihnya pasrah. Sedangkan
Sivia dan Ify malah terkekeh hebat begitu melihat raut wajah Cakka yang
berubah total dari sebelumnya.
"Udah, gak usah dipikirin! Kita berdua cuma bercanda doang kok, Kka."
"Hahaha.
Iya, kita cuma bercanda doang kok. Toh bukannya kamu gak laku sih Kka,
mungkin karena kamu terlalu pilih-pilih aja kali ya? Padahal sebenernya
lumayan banyak juga cewek yang suka sama kamu lho. Iya kan, Vi?" sambung
Ify kemudian. Sivia langsung mengangguk.
"Masa sih? Kalian gak lagi bercanda kan?" tanya Cakka memastikan.
"Kali
ini kita serius. Buktinya aja tiap kali kamu dan kawan-kawan sparing
basket, banyak tuh cewek-cewek yang teriakin nama kamu."
"Terus waktu
itu juga ada cewek yang minta tanda tangan kamu ke aku. Inget kan waktu
aku minta tanda tangan ke kamu? Nah, itu dari penggemar kamu tau?!"
sambung Sivia antusias. Dan kali ini wajah Cakka pun kembali berseri.
Seakan ada semangat baru untuk segera mengakhiri masa jomblonya.
"Wuih... ternyata aku banyak penggemarnya juga ya? Aku kira cuma kalian berdua aja yang jadi penggemar setia aku. Hahaha."
"Kaya gak ada idola lain yang lebih baik aja." tukas Sivia dengan nada meledek.
"Bener
banget, Vi. Lagian nih ya, kalaupun di dunia ini cuma ada kamu sama
kambing doang, aku bakal milih Justin Bieber. Hahaha." sambung Ify mulai
ngawur.
"Wuuuuuuhhh!!! Gak nyambung!" timpal Cakka semangat.
Sedangkan Sivia hanya menggeleng heran ke arah Ify yang kadang suka
disconnection.
"Hahaha." kemudian mereka bertiga tertawa kompak.
Namun
semua itu tidak berlaku lama untuk Sivia. Entah kenapa semua peristiwa
yang ia alami bersama Alvin sejak empat hari pertama bulan Februari di
saat sebelum Alvin koma itu selalu berputar ulang bagaikan sebuah
piringan hitam di otak Sivia. Seperti sekarang, ketika telinganya
mendengar kata Justin Bieber dari mulut Ify, tiba-tiba otak Sivia
kembali memutarkan momen-momen lucu saat ia menonton konser sang idola
tersebut.
Dan malam itu, Alvin terduduk lemas di sebuah bangku
panjang yang letaknya tak jauh dari gedung yang di mana Justin Bieber
mengadakan konser di dalamnya. Cukup melelahkan. Sampai Alvin berusaha
memijit-mijit betisnya yang lumayan pegal.
"Kalau bukan karena kamu,
mending aku milih diem di rumah daripada mesti duduk di kerumunan
orang-orang yang udah kaya kesurupan setan gitu." umpatnya pelan. Dua
jam berada di dalam sana cukup membuat Alvin stres karena ulah
fanatiknya dari para penggemar Justin Bieber tersebut. Dan itu membuat
Alvin sangat tidak nyaman.
"Oh my God, Justiiiiiinnn!!! Gila
deh keren banget! Aaaaaahhh!!!" histeris Sivia masih tak percaya kalau
tadi dirinya melihat sosok sang idola secara langsung. Bahkan saking
histerisnya, ia tidak sedikitpun merespon ocehan Alvin sama sekali.
"Oh iya sayang, tadi si Justin lihatin aku mulu tau?! Tatapannya itu lho? Bikin meleleh! Aaahhh!!! Justin, i love you so much deh!" teriak Sivia semakin histeris. Sungguh tak perduli walaupun banyak orang yang berlalu-lalang di depannya.
"Via,
udah deh gak usah berlebihan gitu! Belum tentu si Justin itu mikirin
kamu kan? Nah, daripada kamu teriak-teriak gak jelas gitu, mending
pijitin aku gih! Kan aku cowok kamu, jauh lebih keren daripada Justin."
ujar Alvin asal. Intinya ia sudah mulai jengah dengan Sivia yang
terus-terusan memuji idolanya.
"Ih, ngarep! Kerenan Justin ke mana-mana lah!" balas Sivia sedikit membanding-bandingkan.
"Oh,
jadi lebih milih Justin nih? Ya udah, pacaran aja sana sama Justin! Aku
mau cari cewek lain yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih seksi
dari kamu." kata Alvin tak mau kalah. Lalu Sivia terdiam, matanya
menatap tajam ke arah Alvin.
"Ish! Enak aja mau cari cewek lain. Kamu
itu cuma milik aku. Titik!" cegah Sivia ketus. Membuat Alvin tersenyum
meledek seketika.
"Masa sih? Tadi katanya masih kerenan Justin ke
mana-mana daripada aku. Tapi kenapa giliran aku mau lirik cewek lain
malah gak boleh?" Sivia mendesis. Bibir bawahnya pun ia gigit pelan.
"Ya, wajar kan kalau aku histeris? Namanya juga ketemu sama idola yang belum tentu bakal ketemu lagi." tegas Sivia kemudian.
"Oh ya? Terus kalau misalkan kamu suruh milih antara Justin sama aku, kamu bakal pilih siapa?"
"JUSTIN LAH!!!" Alvin lantas memutar mata saat mendengar jawaban cepat dari kekasihnya itu.
"Oh, ya udah kalau gitu." timpalnya malas. Dan tiba-tiba Sivia terkekeh. Benar-benar lucu melihat Alvin cemburu seperti itu.
"Cieee... cemburu. Hahaha."
"Apaan sih?! Enggak!"
"Oh, enggak cemburu? Beneran? Kalau gitu berarti kamu gak cinta sama aku dong? Katanya cemburu itu tanda cinta. Aih!"
"Abisnya kamu nyebelin banget sih!" umpat Alvin datar.
"Ya,
maaf. Tadi aku cuma bercanda doang kok. Dan kalaupun Justin itu nomor
satu di mata aku, tapi yang nomor satu dan selamanya nomor satu di hati
aku ya cuma kamu." ucap jujur Sivia sambil mencubit manja hidung mancung
milik Alvin.
"Nah, gitu dong! Kalau kaya gini kan aku jadi makin
sayang sama kamu." kini giliran Alvin mencubit pipi Sivia. Lalu mereka
balas tersenyum.
"Beneran nih makin sayang?"
"Beneran."
"Serius?"
"Sejuta rius!"
"Gendong
aku sampai parkiran bisa dong kalau emang kamu makin sayang sama aku?"
pinta Sivia dengan menyuguhkan senyuman termanisnya. Seketika Alvin
menelan ludah.
"Ya ampun, sayang. Kamu mau bunuh aku secara perlahan?"
"Lho? Kan aku cuma minta gendong? Masa iya sih bisa ngebunuh?"
"Gimana
gak ngebunuh? Dari sini sampai parkiran itu jauh banget, Via cantik.
Lagian kalau mau minta sesuatu itu jangan yang aneh-aneh kek." timpal
Alvin disertai hembusan napas yang gusar.
"Ya udah deh gak jadi." balas Sivia pasrah.
"Tapi
kamu gak ngambek kan?" Sivia pun cepat-cepat menggeleng. Rasanya ia
terlalu egois kalau harus memerintah Alvin untuk berbuat ini dan itu.
Sedangkan Alvin sendiri tidak pernah meminta apa-apa padanya.
"Aku
gak ngambek kok, sayang. Oh iya, aku pijitin ya kakinya?" lanjut Sivia
tiba-tiba. Dan itu membuat kening Alvin mengerut hebat. Tidak seperti
Sivia yang biasanya.
"Gak usah sayang, gak usah! Aku udah gak pegel
kok." tolak Alvin seketika. Namun percuma, Sivia sudah terlanjur
mengangkat kedua kaki Alvin dan menaruhnya di atas pangkuan.
Dan
baru saja Sivia hendak memijit kaki Alvin, putaran film kehidupan di
benak Sivia pun terpotong begitu suara bel berbunyi dengan nyaringnya.
Ia mengerjapkan mata kemudian.
"Hmm... aku masuk duluan ya? Matematika nih. Thanks ya buat ice creamnya?
Hehehe." pamit Cakka yang langsung berlari meninggalkan Ify dan Sivia.
Ify mengangguk membalasnya, sedangkan Sivia masih belum terlalu sadar
sedang melakukan apa ia dengan Ify serta Cakka sebelumnya. Jadi ia hanya
bisa tersenyum seadanya.
"Ya udah kita juga masuk yuk, Vi?" ajak Ify
setelahnya. Dan tanpa bisa menolak, Sivia mengikut saja saat Ify
menarik tangannya perlahan.
***
Senja kembali memudar.
Bias-bias oranye di ufuk barat pun perlahan menjadi hitam. Merubah
siang menjadi malam hanya dalam hitungan detik saja. Segerombolan
kelelawar yang kompak keluar dari sarang mereka juga selalu memberi
kesan tersendiri tatkala malam tiba. Pepohonan lantas menghening, tak
bergerak seperti biasanya. Damai.
Namun faktanya suasana di luar
sana tidak terlalu berpengaruh untuk Sivia yang masih dilanda resah.
Sudah hampir seminggu ia tak melihat Alvin tersenyum. Yang ada ia hanya
melihat Alvin yang terbujur lemas dengan mata tertutup serta sekujur
tubuhnya yang didominasi oleh banyak selang-selang kecil. Sangat miris.
Wajah pucatnya membuat dada Sivia merasakan sakit yang teramat sakit.
Tapi mau bagaimana lagi, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pasrah
untuk menunggu kapan kekasihnya itu terbangun dari tidur panjangnya.
"Om?" panggil Sivia ke arah dokter yang menangani Alvin. Dan dokter itu adalah Papanya Alvin sendiri. Dokter Joe panggilannya.
"Ya, sayang?" respon Dokter Joe setelah beberapa detik memeriksa keadaan Alvin.
"Gimana
kondisi Alvin, Om? Apa Alvin udah lebih baik?" tanya Sivia penasaran.
Dokter Joe lantas mendekati Sivia dan merangkul pundak gadis tersebut.
"Sayang,
kamu gak usah khawatir lagi ya? Dalam waktu dekat mungkin Alvin udah
bisa siuman. Kita berdoa aja sama Tuhan." ujar Dokter Joe yakin. Ketika
mendengar kabar baik tersebut, Sivia langsung menatap tak percaya ke
arah Dokter Joe.
"Om gak lagi bohongin Via kan?" Dokter Joe lalu
membuang napas. Tatapan Sivia berhasil membuat hatinya terasa perih.
Rasa tak tega dan sedih ikut muncul di dalam jiwanya. Namun beliau sudah
terlanjur masuk ke dalam skenario yang dibuat keluarganya sendiri.
"Om
gak bohong, sayang. Alvin pasti akan segera bangun untuk kita, untuk
orang-orang yang disayanginya." jawab Dokter Joe sambil berusaha menahan
genangan air di sudut matanya supaya tidak terjatuh.
"Kalau gitu Via
mau di sini terus biar pas Alvin bangun nanti, Via lah orang pertama
yang Alvin lihat. Gak apa-apa kan, Om?" pinta Sivia lembut. Sorotan
matanya kembali memohon. Lantas Dokter Joe pun hanya bisa mengangguk
saja tanpa sanggup berbuat banyak lagi.
"Makasih banyak ya, Om? Via seneng banget!"
"Sama-sama, sayang. Kalau gitu Om keluar dulu ya? Mau ke ruang rawat yang lain." Sivia mengangguk pasti setelahnya.
"Jagain
Alvin baik-baik ya?" kata Dokter Joe sambil menepuk pelan pundak Sivia
sebelum beliau benar-benar keluar dari ruang rawat Alvin.
"Sayang,
kamu tau enggak kalau sekarang aku lagi kenapa? Aku itu lagi seneeeeeeng
banget! Seneng karena barusan Papa kamu bilang kalau kondisi kamu udah
sedikit membaik, dan Papa kamu juga bilang kalau bentar lagi kamu bakal
siuman. Aku bener-bener gak nyangka, sayang." Sivia kembali duduk di
samping tubuh lemas Alvin dengan sedikit meremas lembut jemari tangan
milik laki-laki yang begitu dicintainya itu.
"Aku udah gak sabar lagi
lihat kamu tersenyum, lihat kamu tertawa, lihat kamu ngambek, lihat
kamu marah, lihat kamu manja, lihat kamu main basket sama temen-temen
kamu, dan pokoknya aku kangen banget lihat semua tingkah kamu. Kamu
cepet bangun ya, sayang? Masa kamu tega sih biarin aku terus-terusan
sendiri?" kata Sivia lagi-lagi. Walaupun itu baru saja prediksi dari
Dokter Joe, namun rasa senang di hati Sivia sudah tidak bisa lagi
diganggu gugat.
"Hmm... oh iya sayang, kamu inget gak kalau lusa itu
tanggal berapa? Kamu inget kan?" layaknya sedang berbicara dengan Alvin
yang sadar, Sivia pun mencoba bertanya. Namun kemudian terdiam lagi.
"Iya,
tanggal 14. Itu hari ulang tahun aku. Kamu masih inget kan sama ulang
tahun aku?" lanjutnya masih dengan berbicara sendiri.
Entah
karena sudah menjadi hobi barunya atau bukan, akhir-akhir ini Sivia
sering sekali membayangkan kembali masa-masa indahnya bersama Alvin.
Terlebih di hari-hari terakhir sebelum keadaan Alvin seperti sekarang
ini.
Flashback On.
"Oh iya sayang, nanti pas
aku ulang tahun, kamu mau beliin kado apa buat aku?" tanya Sivia
spontan saat matanya tak sengaja melihat sebuah pesta ulang tahun
seorang anak kecil di salah satu taman bermain yang sedang ia kunjungi
bersama Alvin.
"Rahasia dong! Masa iya sih dikasih tau sekarang? Kan
gak asyik." jawab Alvin yakin walaupun pandangannya masih terfokus pada
kumpulan anak-anak kecil yang berkumpul di sana.
"Ih, masa gak boleh
dikasih tau sih? Emang kamu udah tau apa kesukaan aku?" Alvin lantas
terkekeh. Pertanyaan yang cukup dibilang skeptis jika dilihat akan
perjalanan cinta mereka yang hampir menginjak tahun keempat.
"Mungkin
aku terlalu bodoh kalau sampai gak tau kesukaan kamu. Sayang, kita itu
berhubungan udah lumayan lama, masa iya cuma hal kaya gitu aja aku gak
tau?" jelas Alvin kemudian.
"Oh gitu ya?" respon Sivia lagi. Sedangkan Alvin hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.
"Tapi masa gak ada bocoran sedikitpun gitu?"
"Gak ada,"
"Ih, gitu aja pelit!"
"Kalau kadonya dikasih tau ya gak seru dong, sayang. Udah deh kamu jangan banyak tanya, entar juga kamu tau sendiri kok."
"Iya deh, iya. Terserah kamu aja!"
"Wuih... ngambek?"
"Jangan sok tau deh!"
"Ish! Jutek amat, mbak?"
"Bodo!"
"Aih...
ya udah deh aku mau ke sana aja, mau ucapin selamat ulang tahun buat
dede unyu itu." Alvin pun bangkit kemudian. Berniat kabur dari aksi
jutek Sivia tersebut.
"Mau ngapain ke sana?! Kamu kan gak diundang?" teriak Sivia.
"Bodo! Walaupun gak diundang, setidaknya aku gak bakal dijutekin kalau di sana." ketus Alvin ikut teriak.
"Ih, nyebelin banget sih?!"
Dan
meskipun Sivia terus-terusan mencibir, Alvin tetap tak mengurungkan
niatnya tersebut. Ia berjalan perlahan mendekati gadis kecil yang
berdiri tepat di depan kue tart yang di atasnya tertera sebuah lilin
berangka lima. Lalu Alvin berjongkok setelah cukup dekat, mencoba
menyetarakan tinggi tubuhnya dengan tubuh gadis kecil itu.
"Selamat
ulang tahun ya, dede unyu?" ucap Alvin tulus sambil mengeluarkan dua
buah lolipop di balik jaketnya. Entah sejak kapan Alvin membawa lolipop,
yang jelas sekarang kehadirannya sudah disambut senang oleh gadis kecil
itu.
"Makasih ya, kakak baik? Tapi kalau boleh tau unyu itu artinya
apa ya, kak?" respon dan tanya gadis kecil tersebut sangat polos. Alvin
tersenyum, tangannya tiba-tiba tergoda untuk mencubit pipi anak kecil
yang sekarang berdiri tak jauh di hadapannya. Lantas hal itu juga
berhasil membuat kedua orang tua gadis kecil itu tertawa sambil
menggeleng.
"Unyu itu cantik, dede." jawab Alvin gemas.
"Oh, unyu itu cantik ya? Hehehe. Makasih lagi ya, kakak ganteng." Alvin lagi-lagi tersenyum.
"Oke, sama-sama. Oh iya, nama dede unyu siapa?"
"Nama
aku Rara, kak. Kalau nama kakak sih siapa?" gadis kecil yang mengaku
bernama Rara itu balik bertanya kepada Alvin dengan nada yang anak-anak
banget.
"Oh, Rara? Ih, namanya unyu juga ya kaya yang punya. Hehehe.
Kenalin, kalau kakak namanya Alvin. Salam kenal ya, dede unyu?" kini
giliran Rara yang tersenyum ketika Alvin terus-terusan memujinya.
"Hehehe. Salam kenal juga ya, kak Alvin yang ganteng?" balasnya antusias.
"Hmm... kak Alvin boleh minta tolong enggak sama Rara?" setelah beberapa detik berkenalan, tiba-tiba Alvin teringat akan Sivia.
"Boleh
kok, kak. Minta tolong apa? Tapi jangan lama-lama ya? Soalnya sebentar
lagi kan Rara mau tiup lilin." syarat dari Rara seraya melirik kedua
orang tuanya.
"Oh, enggak lama kok. Kak Alvin cuma mau minta tolong
sama Rara buat bilang sesuatu ke kakak cantik yang duduk di sana." kata
Alvin yang akhirnya berbisik ke telinga Rara. Lantas Rara mengangguk
paham setelahnya.
Sedangkan di sisi lain, Sivia cukup dibilang
heran saat melihat gadis kecil yang tadi berbincang-bincang dengan Alvin
itu kini berjalan mendekat ke arahnya. Entah apa yang Alvin perintahkan
kepada gadis kecil bernama Rara tersebut.
"Hai, kak Via yang
cantik?" sapa Rara begitu ia sampai di tempat Sivia duduk. Sedangkan
untuk sementara Sivia mengernyit, matanya ia tujukan ke arah Alvin yang
malah tersenyum saja membalasnya.
"Hai juga, ade?" sapa balik Sivia kemudian.
"Kata
kak Alvin, kak Via lagi ngambek ya? Nih Rara kasih lolipop buat kak
Via, biar kak Via gak ngambek lagi sama kak Alvin." ucap Rara
benar-benar polos. Mendengar itu, Sivia langsung menghela napas seraya
tersenyum kecil serta dengan terpaksa ia menerima lolipop pemberian dari
Rara.
"Aduh! Makasih banyak ya, sayang? Tapi ini buat Rara aja, kak
Via gak ngambek kok sama kak Alvin." balas Sivia dengan meletakkan
kembali lolipop di jemari Rara. Lantas Rara menolak cepat-cepat.
"Gak
apa-apa kak, ini buat kak Via. Kalau kak Via gak mau terima, berarti
kak Via gak sayang dong sama kak Alvin?" sedetik, Sivia mengernyit.
Entah bisikan apa yang telah Alvin lakukan kepada gadis kecil ini.
"Kok bisa gitu sih, sayang?" tanyanya sambil melirik ke arah Alvin yang jauh di sana.
"Soalnya
tadi kak Alvin bilang kalau lolipop ini sengaja kak Alvin beli khusus
untuk orang yang paling cantik dan paling kak Alvin sayangi di dunia
ini." jelas Rara tanpa dosa. Sivia akhirnya tersenyum, ternyata Alvin
itu memang paling bisa membuatnya merasa istimewa.
"Oh, jadi kak
Alvin bilang gitu sama Rara? Baiklah, kak Via terima lolipop ini. Tapi
nanti Rara bilang ya sama kak Alvin kalau lain kali kak Via gak mau
disogok sama lolipop." ujar Sivia dengan nada bercanda.
"Ngg...
gimana kalau kak Via bilang langsung aja sama kak Alvinnya? Ayo, kak!
Soalnya bentar lagi Rara mau tiup lilin nih." ajak Rara dengan menarik
paksa lengan Sivia.
"Tapi kan kak Via gak diundang, sayang? Kak Via takut ganggu pesta ulang tahun Rara."
"Dengan
ini kak Via sama kak Alvin udah resmi jadi tamu istimewa Rara. Kak Via
tenang aja, pesta ulang tahun Rara pasti bakal tambah seru dengan adanya
kak Via sama kak Alvin." ungkap Rara seraya terus menarik tangan Sivia.
Sivia pun cukup pasrah dibuatnya.
Flashback Off.
"Sayang,
aku harap di hari ulang tahunku nanti, terbukanya mata kamu lah yang
jadi kado terindah buat aku. Karena aku udah gak perduli lagi semua kado
yang pernah kamu janjikan waktu itu, aku cuma butuh kamu sekarang. Itu
aja kok." lirih Sivia setelah lama terdiam. Entah harus sampai kapan ia
meneteskan air mata di tempat yang sama. Di samping orang yang teramat
ia sayang. Dan di samping orang yang keputusan antara hidup dan matinya
belum juga ditentukan oleh sang pencipta hingga saat ini.
Lantas
lagi-lagi Sivia berucap, "Tuhan, apakah tidak ada kesempatan lagi untuk
aku melihat sorot mata indah milik Alvin? Melihat Alvin tersenyum
seperti dulu? Melihat Alvin bercanda dan tertawa bersama aku dan
teman-temannya? Melihat Alvin yang selalu berusaha membuat bangga kedua
orang tuanya? Tuhan, tidak adakah kesempatan itu lagi untuk aku?"
kepalan tangannya pun semakin erat menggenggam jemari Alvin. Dan
perlahan, rasa sesak di dada Sivia mulai menyeruak ketika ia mencoba
menyentuh pipi kanan Alvin yang semakin pucat pasi.
"Sayang, kenapa
selama ini kamu gak pernah mau jujur sama aku? Bukankah kamu pernah
bilang kalau di antara kita itu harus saling terbuka satu sama lain?
Tapi kenapa aku gak pernah tau kalau selama dua tahun ini kamu mengidap
penyakit jantung? Apa karena kamu takut melihat aku sedih, khawatir,
ataupun kecewa sama kamu? Iya?" tukas Sivia bertubi-tubi. Pengakuan dari
kedua orang tua Alvin kalau Alvin mengidap penyakit jantung itu cukup
membuat Sivia syok berat dan merasa sangat bersalah. Apalagi saat
dirinya mengingat kembali ketika Alvin pingsan dan tak pernah sadarkan
diri hingga sekarang setelah berduel basket dengannya. Benar-benar
menyakitkan bagi Sivia.
"Tapi menurut aku ini jauh lebih sakit
dibanding aku harus tau lebih awal, Vin. Dan entah kenapa aku masih
belum bisa menerima keadaan ini. Kenapa gak aku aja? Kenapa harus kamu?"
Sivia mulai berontak dengan semua pertanyaan-pertanyaannya yang entah
ia tujukan untuk siapa. Sampai akhirnya ia kembali terdiam seribu
bahasa, mencoba mengunci semua gejolak yang ada di dadanya, serta
mencoba menenangkan diri tanpa harus menyalahkan siapapun. Lalu Sivia
memejamkan matanya kuat-kuat. Sampai tak sadarkan diri kemudian.
***
"Aku
beli kado apaan ya buat Via? Bingung." ujar Ify saat ia berjalan tanpa
tujuan di sebuah pusat perbelanjaan. Sedangkan Cakka yang hari ini sudah
seperti asisten pribadi Ify hanya bisa mengikuti ke manapun kaki Ify
melangkah tanpa berkomentar.
"Menurut kamu kalau aku ngasih boneka
aja gimana, Kka? Via bakal suka gak ya?" Ify kemudian bertanya saat ia
melihat sebuah toko boneka tak jauh di tempatnya berdiri bersama Cakka.
"Boneka?
Kalau boneka mah udah bejibun kali di kamar Via juga. Tau sendiri kan
Alvin sering banget beli boneka buat dia?" jawab Cakka santai. Matanya
mulai mengitari suasana di sekelilingnya.
"Iya juga sih. Terus kalau
kamu mau kasih apa buat Via?" tanya Ify lagi dengan matanya yang ikut
sibuk melirik sana-sini mengikuti Cakka.
"Kalau aku sih udah nyiapin
di rumah, Fy. Tinggal langsung dikasih ke Via aja entar. Cuma sekarang
aku lagi nyari tempat yang bisa bikin sesuatu secara instan tapi unik
gitu. Biasalah, pesanan seseorang." ujar Cakka. Sedetik, Ify mengangguk
paham apa yang dikatakan sahabatnya tersebut.
"Ya udah yuk kalau gitu
jalan lagi? Aku masih belum nemu sesuatu yang tepat nih buat Via." ajak
Ify dengan menarik tangan Cakka cepat.
"Jangan terlalu susah-susah
lah, Fy. Yang simpel aja. Toh cuma kado, Via pasti seneng kok apapun itu
kadonya." kata Cakka di tengah perjalanan.
"Tapi tetep aja harus
yang bener-bener istimewa kali, Kka. Soalnya aku mau ngasih sesuatu yang
selalu bisa Via pakai. Kaya dia ngasih aku jam tangan unik ini waktu
ultah aku kemaren." balas Ify seraya menunjukkan jam tangan berwarna
cokelat yang melingkar di lengan kirinya.
"Ya udah kamu beli jam
tangan aja buat Via. Yang merknya sama tapi warnanya beda, biar kesannya
kompakan. Lagian seinget aku itu Via gak pernah pakai jam tangan kan?"
sejenak, Ify berpikir setelah mendengar saran dari Cakka tersebut.
"Iya
juga ya? Kenapa kamu gak bilang dari tadi sih, Kka?" seketika Ify
berhenti melangkah, lalu berbalik arah ke tempat sebelumnya di mana Ify
melihat toko pernak-pernik jam tangan dan sebagainya. Lantas lagi-lagi
Cakka dibuat pasrah oleh Ify. Tangannya yang masih ditarik oleh Ify pun
hanya bisa ia pandangi seraya menggeleng.
"Ribet ya kalau jadi cewek?" gumamnya kemudian.
***
Sivia
menyandarkan kepalanya di pundak Tante Sonia sambil terus menangis.
Berita buruk di pagi buta yang ia terima cukup membuatnya jantungan
mendadak ketika mendengar kalau kondisi Alvin menurun drastis dan harus
dipindahkan ke ruang ICU.
Dan hampir tak bisa lagi untuk
Sivia berpikir jernih sekarang ini. Tak perduli meski perutnya belum
diisi makanan ataupun minuman sedikitpun. Bahkan ia juga sampai nekad
tidak masuk sekolah demi menunggu kabar dari Dokter Joe akan kondisi
terakhir Alvin. Karena yang ada di otak Sivia saat ini hanyalah Alvin
dan selalu Alvin. Orang yang sangat ia sayang.
"Udah, jangan nangis
lagi ya? Alvin akan baik-baik aja kok, sayang. Kamu yang tenang." ucap
Tante Sonia lembut disertai sebuah belaian kecil di rambut panjang
Sivia.
"Tapi Tante, Alvin? Alvin masuk ruang ICU lagi. Sivia
takut," lirih Sivia sesenggukan. Entah tiba-tiba rasa takut di hatinya
muncul begitu saja. Takut akan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi itu
akan terjadi.
"Kita berdoa aja, sayang. Kamu jangan berpikir yang
tidak-tidak. Tante yakin kalau Alvin kuat. Apalagi Alvin punya kekasih
seperti kamu, pasti dia sedang berusaha untuk bangkit dari sakitnya
untuk kamu." lagi-lagi Tante Sonia berucap. Mencoba menenangkan gadis
cantik yang sudah beliau anggap seperti anak kandungnya sendiri. Apalagi
kedua orang tua Sivia yang sibuk bekerja di luar kota juga membuat
beliau semakin dekat dengan gadis yang sering Alvin ajak main ke
rumahnya itu.
Sivia lantas tak membalas ucapan Tante Sonia. Ia malah beralih memeluk wanita tersebut sangat erat.
"Kamu
jangan takut. Tante juga tau kok gimana perasaan kamu sekarang. Tapi
yang jelas kita serahkan semuanya pada Tuhan. Dia tau mana yang terbaik
buat kita." Sivia mengangguk. Air matanya sudah cukup kering dan tak
bisa lagi mengalir di pipinya. Hanya saja sebuah isakan yang masih
terdengar dari mulutnya. Benar-benar menyedihkan.
"Tante, kenapa sih
Alvin gak pernah cerita sama Via kalau dia punya penyakit jantung?"
tanya Sivia tiba-tiba. Rasa ingin tau akan alasan Alvin yang tidak
pernah mau jujur itu menyeruak lagi di benak gadis ini. Tante Sonia pun
terdiam mendengarnya. Seketika beliau dibuat bingung oleh pertanyaan
tersebut. Entah apa yang harus beliau jawab saat ini. Saat Sivia dengan
wajah penasarannya terus-terusan menatap penuh harap.
"Hmm...
sebenarnya Tante juga belum tau betul kenapa Alvin melarang Tante sama
Om untuk tidak memberi tau penyakit dia kepada siapapun terlebih kamu.
Tapi sepertinya Alvin ngelakuin itu karena dia gak mau bikin orang-orang
yang disayanginya sedih ataupun khawatir. Apalagi sampai kasihan sama
dia, Alvin paling gak suka itu semua."
"Tapi menurut Via ini lebih
menyedihkan, Tante. Via juga menyesal karena Via gak selalu ada buat
Alvin, padahal faktanya Alvin selalu ada buat Via. Via memang bukan
kekasih yang baik, Via gak bisa jagain Alvin, Via gak bisa perhatiin
Alvin, Via gak bisa ngelakuin apa yang Alvin lakuin ke Via selama ini.
Via..." semua gejolak yang Sivia tumpahkan tiba-tiba saja berhenti
ketika jari Tante Sonia menyentuh bibir mungilnya.
"Tidak ada gunanya
buat Via menyesali semua itu. Toh hal ini akan tetap terjadi juga kan?
Lagipula tanpa Via melakukan hal itupun, Alvin selalu merasa bahagia kok
tiap kali dia bersama kamu. Alvin yang bilang sendiri sama Tante. Dan
asal Via tau juga, Alvin bisa terus bertahan dari penyakitnya itu karena
ada Via. Harusnya Via bersyukur, karena tanpa berbuat apapun, Via sudah
bisa membuat Alvin kuat. Bahkan Tante sama Om aja belum tentu bisa
melakukan itu." jelas Tante Sonia sebisa mungkin memberi pengertian.
"Tapi,
Tante?" bermaksud untuk menyanggah, mulutnya kembali terkunci begitu
Tante Sonia tersenyum sambil menggeleng pelan. Isyarat kalau beliau
tidak mau mendengar semua penyesalan dari mulut Sivia lagi.
Cklek!
Pintu ruang ICU terbuka perlahan. Dan tak lama kemudian Dokter Joe pun
keluar seraya menarik napas saat matanya menangkap kedua sosok manusia
yang sedang berpelukan tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Om?!" ujar Sivia refleks. Pelukan Tante Sonia pun segera ia lepaskan demi bergegas mendekati Dokter Joe.
"Om,
gimana keadaan Alvin? Alvin baik-baik aja kan, Om? Alvin gak
kenapa-kenapa kan, Om? Alvin..." tanya Sivia langsung saja. Bahkan
tangan Sivia pun terus-terusan menyentuh keras tangan Dokter Joe.
Meminta jawaban tanpa memberi kesempatan terlebih dulu untuk Dokter Joe
menarik napas.
"Jawab, Om!" lalu Dokter Joe memejamkan mata yang berhasil membuat Sivia menarik kesimpulan yang buruk.
"Sayang,
Om sama tim medis yang lain sudah berusaha sekuat tenaga, tapi Tuhan
berkehendak lain." ujarnya seraya meneteskan air mata walaupun sudah
berusaha untuk beliau tahan.
"Gak mungkin! Om lagi bercanda kan?! Om
lagi bohongin aku kan?! Alvin gak meninggal kan, Om?! Jawab, Om! Jawab
kalau Om lagi bercanda! Om..." sudah terasa lemas, Sivia langsung
terduduk di kaki Dokter Joe. Suasana hatinya benar-benar kalut saat itu.
Meski sudah berusaha untuk ia menolak fakta yang telah terjadi, tapi
tetap saja itu tidak akan mengembalikan semuanya seperti semua. Alvin
sudah meninggal.
"Tante, Alvin masih hidup kan?" lirihnya lagi-lagi.
Sedangkan Tante Sonia yang juga ikut menangis dan sempat tak percaya
kalau Alvin sudah meninggal pun hanya bisa menutup mulut sambil
menyandarkan tubuhnya ke tembok.
"ALVIIIIIINNNNNN!!!" Sivia mulai berteriak.
"GAK MUNGKIN!!! ALVIN BELUM MENINGGAL!!! KALIAN BOHONG!!!"
"ALVIN MASIH HIDUP!!!"
"ALVIN GAK AKAN TINGGALIN AKU!!!"
"ALVIIIIIINNNNNN!!!"
"Via,
bangun! Kamu kenapa? Kamu mimpi?" Sivia pun tersentak seketika. Tidur
panjangnya tiba-tiba terbangun saat seseorang menggoyangkan pundaknya.
"Ify? Cakka?" gumam Sivia sedikit serak. Kedua sosok sahabatnya langsung terukir jelas saat ia membuka mata.
"Kamu mimpi ya, Vi?" tanya Ify pelan.
"Alvin?
Alvin mana, Fy? Alvin masih hidup kan? Alvin gak meninggal kan? Alvin
mana, Kka? Alvin mana?" bukannya menjawab pertanyaan Ify, Sivia malah
seperti orang kesurupan. Menarik tangan Ify dan Cakka bergantian.
"Vi, kamu tenang dulu ya? Alvin masih baik-baik aja kok." ucap Cakka prihatin.
"Iya
Vi, kamu yang tenang dulu. Alvin masih ada kok, lihat aja." sambung Ify
sambil mengarahkan pandangan Sivia ke tempat Alvin berbaring.
"Alvin?" ia bergegas cepat mendekati Alvin. Lalu dipeluknya erat-erat.
"Aku takut, Vin. Aku takut,"
"Udah Vi, kamu tenang aja. Tadi kamu cuma mimpi."
"Tapi aku beneran takut, Kka. Aku takut semua itu akan terjadi. Aku belum siap."
"Percaya
sama aku, Alvin akan baik-baik aja. Mungkin karena kamu terlalu capek
dan kurang istirahat, jadi kamu sampai mimpi buruk gitu." ujar Ify
menengahi. Sivia terdiam kemudian. Ucapan Ify memang benar. Ia terlalu
banyak memikirkan Alvin sampai ia tidak bisa memikirkan kesehatannya
sendiri.
"Kamu cuci muka dulu gih! Biar lebih fresh." lanjut Ify. Sivia mengangguk dan mulai melangkah tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.
"Aku
gak tega lihat dia kaya gitu, Kka. Aku takut Sivia sampai tekanan batin
karena semua ini." bisik Ify sambil terus menatap Sivia yang berjalan
gontai menuju kamar mandi.
"Aku juga sama, Fy. Tapi mau gimana lagi?" kini giliran Cakka yang berbisik. Ikut juga menatap Sivia dan Alvin bergantian.
"Semoga ini semua berakhir bahagia ya, Kka?" Cakka mengangguk menyetujui.
"Kalian udah lama di sini?" tanya Sivia setelah beberapa detik keluar dari kamar mandi.
"Lumayan."
"Kok gak bangunin aku sih?"
"Emang sengaja gak kita bangunin, kita gak tega. Soalnya tadi lelap banget kamu tidurnya, Vi." jawab Ify.
"Iya, makanya aku pindahin kamu ke kursi. Jadi biar kita juga bisa gantiin kamu buat jagain Alvin." Cakka ikut menyahuti.
"Oh, gitu? Makasih ya sebelumnya?"
"Oke,
sama-sama. Hmm... oh iya, aku izin pulang gak apa-apa kan? Udah jam 11
malem nih, besok takut kesiangan. Sebenernya gak enak juga sih, tapi mau
gimana lagi?" pinta Ify sedikit canggung.
"Oh, gak apa-apa kok.
Harusnya aku yang gak enak sama kamu. Kamu udah repot-repot jagain Alvin
sampai malem gini. Sekali lagi makasih ya, Fy? Maaf juga kalau besok
aku belum bisa sekolah, aku udah terlanjur izin 2 hari."
"Oh iya gak apa-apa kok, Vi. Kalau gitu aku pamit ya?"
"Iya, Fy. Hati-hati ya?"
"Aku juga pamit ya, Vi? Mau antar Ify dulu." Sivia mengangguk. Lantas mengantar mereka berdua sampai ke pintu.
"Baik-baik ya, Vi? Jangan lupa tidur, udah malem!"
"Iya, bawel!"
"Hehehe. Bye, Vi!"
Sivia
melambaikan tangan perlahan. Menyertai kepergian Ify dan Cakka dengan
sebuah tarikan napas yang cukup panjang. Dan untuk sejenak matanya
melihat suasanan sekitar yang begitu sepi. Mungkin hanya dirinya sajalah
yang ada di koridor rumah sakit setelah Ify dan Cakka pergi. Lantas ia
kembali masuk ke ruangan Alvin tanpa ada orang lain karena kedua orang
tua Alvin izin sebentar untuk menengok rumah yang hampir ditinggalkannya
selama kurang lebih seminggu.
***
23.50 WIB
Malam
semakin larut. Detak jarum jam pun semakin terdengar jelas mengetuk
gendang telinga. Namun Sivia belum juga tertidur kembali. Matanya masih
terbuka lebar di samping Alvin.
"Jika keajaiban Tuhan masih berlaku
buat aku, aku ingin mata kamu terbuka disaat lima menit terakhir ini aku
menghabiskan umurku yang keenambelas. Apa itu bisa terkabul, Tuhan?"
gumamnya seperti biasa. Mengadu, meminta, dan memohon kepada Tuhan akan
permohon yang sama yang sering ia pinta sebelumnya di samping Alvin.
Dan entah itu jawaban dari Tuhan atau bukan, Sivia merasakan jari Alvin yang digenggamnya bergerak perlahan.
"Alvin???"
kagetnya. Bahkan rasa kagetnya pun semakin bertambah parah begitu mata
Alvin dengan ajaibnya terbuka sedikit demi sedikit.
"Ya Tuhan, Alvin
sadar? Alvin, kamu?" tidak tau harus berkata apalagi, Sivia hanya bisa
mematung begitu mata Alvin terbuka lebar dan menatapnya tanpa berkata.
Cukup
lama Alvin terdiam dengan tatapan yang sulit dijelaskan oleh kata-kata.
Seakan-akan Alvin ingin mengucapkan sesuatu kepada Sivia tetapi tidak
kuasa untuk berbicara. Sampai akhirnya tubuh tenang Alvin mulai berontak
tak terkontrol. Kejang-kejang. Membuat wajah Sivia yang tadinya syok
karena senang, kini berubah total menjadi syok karena dirundung rasa
khawatir dan takut.
"Sayang, kamu kenapa? Sayang? Toloooooonnnggg!!!"
heboh Sivia kebingungan. Di satu sisi ia ingin berlari mencari
pertolongan, namun di sisi lain ia juga ingin menjaga Alvin.
"Toloooooonnnggg!!!
Dokter?! Suster?!" karena merasa belum juga ada yang datang, Sivia
memutuskan untuk keluar. Mencoba mencari dokter siapa saja yang sedang
bertugas malam ini. Namun, brak! Pintu ruangan Alvin entah kenapa
terkunci dari luar. Sivia kontan semakin panik dan berusaha
menggedor-gedor pintu tersebut sambil tak henti berteriak.
"Buka
pintunya! Susteeeeeerrr?! Tolongin Alvin!" terus-terusan Sivia berteriak
seraya menggerakan hendel pintu secara paksa. Matanya pun tak pernah
beralih dari Alvin yang semakin memberontak hebat. Meski ada pikiran
untuk ia mendobrak pintu, namun apa daya tenaganya sudah lemas karena
berteriak.
"Dokter, Suster, tolong Alvin!" teriaknya mulai lemah.
Sampai tak tersadar pandangan Sivia mulai gelap. Bukan karena Sivia
ingin pingsan, melainkan karena lampu ruangan itu tiba-tiba padam begitu
saja.
Sivia tambah panik dibuatnya. Ruangan tersebut sangat
gelap karena tak ada setitik pun cahaya yang masuk. Bahkan untuk
berjalan menghampiri Alvin pun Sivia mengandalkan tangannya untuk meraba
udara.
"Tuhan, aku tak pernah meminta padaMu untuk memberiku
seseorang yang seperti malaikat. Tapi aku cukup bersyukur karena Kau
telah menghadirkan seseorang yang luar biasa, seseorang yang sangat
berharga di hidupku. Dan seseorang itu... kamu, Sivia." remang-remang
Sivia melihat dua buah lilin menyala bersamaan dengan terdengarnya suara
yang sudah tak asing lagi di telinganya. Kedua lilin itupun semakin
mendekat ke arahnya sampai Sivia dapat melihat siapa yang menyalakan
kedua lilin yang berangka satu dan tujuh tersebut.
"ALVIN???" gumamnya tak percaya.
"Semua
permohonan yang kamu minta kepada Tuhan sudah terkabul. Permohonan yang
mana aku sendirilah yang menjadi saksi kalau kamu adalah perempuan yang
sangat mencintaiku, sangat menyangiku, dan yang sangat membutuhkan
kehadiranku. Dan kali ini kamu tidak sedang bermimpi, ini kenyataan.
Alvin yang sesungguhnya yang ada di depan mata kamu sekarang." di balik
cahaya lilin Alvin pun tersenyum. Meski rasa sesak menusuk hatinya saat
ia melihat Sivia yang tak henti menangis karena syok dengan kejadian
tadi.
"Sebenernya ini ada apa? Aku gak ngerti." ucap Sivia tetap
melirih. Mulutnya ia tutupi karena masih tak percaya dengan semua yang
sedang ia alami.
"Maafkan aku, sayang. Sungguh gak ada maksud
sedikitpun untuk aku membuatmu menangis, membuatmu khawatir, dan membuat
suasana hatimu jadi tak tenang karena aku. Ini semua skenario, skenario
buatan aku sendiri untuk menyambut hari ulang tahun kamu. Mungkin ini
terlalu nekad dan berlebihan, tapi aku cuma ingin memberi kesan yang
berbeda dari yang sudah-sudah. Dan aku..." Alvin terdiam sejenak. Ingin
rasanya ia memeluk erat Sivia karena telah mengerjainya sampai seperti
itu.
"Dan aku sebenernya tidak pernah mengidap penyakit jantung.
Maafin aku ya, sayang? Aku udah bohong sama kamu." lanjutnya kemudian.
"Terus waktu kamu pingsan, apa itu skenario juga?" tanya Sivia yang suaranya mulai serak.
"Kalau
itu bukan skenario, itu kenyataan. Aku pingsan karena waktu itu emang
aku lagi sakit. Dan pas aku main basket sama kamu, entah kenapa kepalaku
terasa berat dan saat itu juga aku gak inget apa-apa. Lalu dari situlah
aku kepikiran untuk membuat skenario aneh ini." jawab Alvin. Lantas ia
menarik napas setelah dirasa sudah cukup untuk ia menjelaskan.
"I'm so sorry, and happy birthday for you! Happy birthday, my beloved girlfriend. You get sweet seventeen now, darl. " ucap Alvin setelah beberapa detik meletakkan kue yang sejak tadi ia bawa.
Plak!
Tanpa diduga, Alvin merasakan perih di pipi kanannya. Tamparan keras
yang dilayangkan Sivia seakan mewakilkan ketegaan yang telah Alvin
lakukan kepada gadis tersebut.
"Kamu jahat sama aku! Kamu jahat
banget tau gak?! Kenapa kamu gak bunuh aku aja sekalian?!" tukas Sivia
seraya memeluk Alvin erat.
"Aku takut, aku bener-bener takut
kehilangan kamu. Aku... aku gak tau mesti gimana kalau semua itu beneran
terjadi. Kenapa kamu jahat banget sih sama aku?" semakin erat Sivia
memeluk, malah semakin lemah suaranya untuk keluar. Sedangkan Alvin
hanya memilih diam, membiarkan Sivia untuk mengeluarkan semua
kekesalannya di dalam pelukan dirinya. Karena Alvin sendiri tau
bagaimana perasaan Sivia saat ini. Dan perlahan, Alvin mendekap kepala
Sivia ke pundaknya, berusaha memberi ketenangan kepada gadis itu. Sampai
seketika pintu pun terbuka dan lampu ruangan menyala kembali.
"HAPPY BIRTHDAY, VIAAA!!!" serempak, segerombolan orang berucap cukup heboh. Membuat Sivia tersentak dan segera menengok ke arah sumber suara.
"Mama,
Papa, Tante Sonia, Om Joe, Cakka, Ify? Kalian semua?" kaget Sivia
seraya mengabsen semua orang yang ada di depannya dengan membawa kue
super besar yang di atasnya bergambarkan wajah dirinya.
"Selamat ulang tahun ya, sayang?" ucap Mama dan Papa Sivia bergantian.
"Maaf
kalau Mama sama Papa baru bisa pulang sekarang." lanjut sang Mama
karena beliau merasa tidak sempat ada untuk menemani anak tercintanya
saat Alvin sedang sakit. Ralat! Pura-pura sakit tepatnya. Sivia pun
merengek manja sambil memeluk mereka berdua.
"Makasih banyak ya Ma, Pa? Udah ada di hari ulang tahun Via aja Via udah seneng kok." responnya.
"Selamat
ulang tahun ya, Via cantik? Tante minta maaf kalau selama ini Tante
udah bohong sama kamu. Sebenernya Tante juga gak tega, tapi Tante
terpaksa lakuin ini." ucap Tante Sonia sambil mendekati Sivia.
"Selamat
ulang tahun, sayang? Maafin Om juga ya? Padahal Om udah nolak
mentah-mentah, tapi Alvin terus-terusan maksa Om untuk terlibat dalam
skenario ini." sambung Dokter Joe lembut. Lalu mereka berdua membelai
rambut Sivia bergantian.
"Jadi Om sama Tante juga terlibat? Hmm...
jangan bilang kalian berdua terlibat juga?" tuduh Sivia ke arah kedua
sahabatnya yang masih berdiri di dekat pintu. Cakka dan Ify pun sontak
memamerkan deretan gigi-giginya, seakan bilang kalau mereka juga ikut ke
dalam skenario yang Alvin buat.
"Iiihhh, kalian kok tega banget sih sama aku?" geram Sivia sedikit kesal.
"Hehehe. Sori ya, Vi? Kita berdua cuma mau bantu Alvin aja kok, bukan mau ngerjain kamu." kata Cakka asal.
"Sama aja, Cakka!"
"Oh, masa sih? Hehehe. Happy birthday ya, Vi? All the best and all the goods for you!" lanjut Cakka di balik candanya. Sivia tersenyum.
"Thanks, Cakka!"
"Aih! Viiiaaa, happy birthday ya?
Duh, maaf banget nih aku udah tega sama kamu. Tapi serius deh, aku
sampai nangis lihat kamu kaya gitu. Uh, Alvin itu emang kejam ya? Tega
banget ngerjain pacarnya sampai nangis darah." seketika semua orang di
sana tertawa mendengar kata-kata Ify. Terlebih Alvin.
"Oh iya, ini ada kado dari aku sama Cakka. Mohon diterima ya, Vi?" lanjutnya.
"Aih... makasih banget ya Fy, Kka? Seneng banget deh dapet kado." Ify dan Cakka langsung mengangguk kompak.
Lalu acara ritual ulang tahun pun berjalan cukup lancar. Sesi make a wish serta tiup lilin, sesi potong kue, dan sampai sesi first cake pun Sivia lakukan tahap demi tahap. Sudah jelas kepada siapa Sivia memberika first cake di usianya yang sudah tujuhbelas tahun ini. Untuk Alvin tentunya.
"Kalau
gitu kita keluar dulu ya, sayang?" pinta sang Mama kepada Sivia dan
Alvin. Sengaja memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk mengobrol
lebih intim lagi.
"Mau pada ke mana?"
"Kita nunggu di luar, gak
enak sama pasien yang lain kalau mesti ramai-ramai kaya gini." jawab
Dokter Joe mewakili mereka yang beranjak pergi. Sivia pun mengangguk
paham.
"Vi, sekarang giliran aku." ucap Alvin setelah dirasa cukup
sepi. Kue yang tadi diletakkannya juga tak lupa Alvin ambil kembali
meski setengah dari lilin itu sudah meleleh.
"Sudikah kamu meminta
permohonan untuk hubungan kita ke depannya?" pinta Alvin ramah. Dan
tanpa menunggu lama lagi, Sivia mengangguk dan langsung menundukan
kepalanya. Cukup lama.
"Makasih ya sayang atas doanya untuk hubungan kita? Sekali lagi aku ucapin, happy birthday Sivia!
Semoga di hari ulang tahun kamu yang sekarang, kamu selalu ada dalam
perlindungan Tuhan, selalu bahagia, selalu membanggakan, selalu menjadi
yang terbaik, selalu menjadi yang terhebat, dan selalu menjadi Sivia
yang aku kenal sebelumnya. And then..." ucap Alvin yang sempat terpotong oleh tarikan napasnya.
"Always be my lovely! Love you,
sayang." Sivia lantas tersenyum bangga mendengarnya. Entah harus
bersyukur seberapa banyak ia kepada Tuhan karena telah menciptakan Alvin
di hidupnya.
Sedetik, Alvin mengeluarkan kotak kecil berwarna merah di saku celananya.
"Ini
adalah tanda sayang aku untuk kamu." ucapnya bersamaan saat membuka
kotak itu dan memakaikan isinya ke leher jenjang Sivia. Sebuah kalung
berlian dengan bandul berbentuk lingkaran yang di tengahnya terukir oleh
huruf A dan S.
"Selama kalung ini melingkar di leher kamu, izinkanlah aku untuk selalu ada di samping kamu." Alvin kembali berucap manis.
"Dan
yang ini aku berikan sebagai hadiah atas kesetiaanmu untuk aku."
lagi-lagi Alvin mengeluarkan benda yang ia sembunyikan di balik meja.
Sebuah kotak kaca yang di dalamnya terdapat ukiran kedua sepasang
kekasih yang terbuat dari kaca juga yang sedang memegang simbol hati
dengan tulisan "Still together and always together!". Sivia pun kini termangu. Sudah tak bisa lagi mengungkapkan kata-kata kepada kekasih tercintanya itu.
"Terakhir,
aku harap kamu suka ini." ujar Alvin tak henti-hentinya memberi sesuatu
spesial kepada Sivia. Kali ini seikat bunga mawar merah lah yang
menjadi penutup dari semua kado yang Alvin berikan kepada kekasihnya.
"Meski
suatu saat bunga ini akan layu, tapi nanti kamu akan mengerti kalau ini
hanyalah sebuah simbol. Karena di sini, di hati aku, rasa sayang dan
rasa cinta itu tidak akan pernah layu untuk kamu. Dan asal kamu tau
kalau ini bukanlah gombal semata, tapi ini benar-benar apa yang aku
rasakan selama ini. Aku sayang kamu, Vi. Makasih udah selalu hadir di
hidup aku." ucap Alvin tulus. Tangan Sivia ia pegang erat.
Sontak Sivia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain memeluk kekasih hatinya yang sangat luar biasa itu.
"Thanks for everything! Kamu memang malaikat sejati aku. I love you so much, Alvin!"
ungkap Sivia tak kuasa lagi menahan air matanya. Membiarkan air mata
bahagia tersebut mengalir di pundak Alvin, Malaikat Sejatinya.
Alvin lantas tersenyum bahagia. Cukup bersyukur karena skenario dadakan buatannya berakhir dengan lancar dan bahagia.
"Terima kasih, Tuhan." gumamnya.
The End!
@taherians
Tidak ada komentar:
Posting Komentar