Denting piano kala jemari menari
Nada merambat pelan, di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Bersama sebuah bayang yang pernah terlupakan
Malam
melarut. Hawanya mulai menggenapkan hening yang baru saja mengembara
beberapa menit yang lalu. Sunyi. Hanya saja gemericik air hujan yang
mampu terdengar dengan efek menggelegar serta kilauan garis putih yang
terpancar sepersekian detik setelahnya. Bahkan sesekali hembusan angin
pun terasa cukup lembut hingga membuat gorden bergoyang pelan.
Pukul
23.23 WIB. Waktu di mana semua insan bumi terlelap melepas lelah.
Setidaknya beristirahat dari segala hiruk pikuk aktivitas dunia yang
sangat padat. Namun tidak dengan seorang pria yang satu ini. Pria yang
dari setengah jam yang lalu duduk di depan piano. Dengan tak sungkan
memainkan jejeran hitam putih bernada itu dengan kesepuluh jarinya.
Merdu. Denting piano yang dimainkannya mengalun cukup indah. Bahkan
sangat damai jika didengar dengan cermat.
Tetapi entah kenapa
nada piano itu seakan tidak sinkron dengan suasana hati si pianis.
Wajahnya datar. Begitupula dengan tatapan matanya yang cenderung kosong.
Seperti sedang membayangkan sesuatu kelam yang pernah terjadi di masa
lalunya.
“Gue menyesal,”
Satu kalimat terucap di bibir
pria tersebut. Tentu saja bersamaan dengan terhentinya sebuah irama yang
tadi sempat menggema di kamarnya itu. Ia memejamkan mata sesaat dan
kemudian berdecak. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Ia
benar-benar terlihat stres.
“Sivia, loe di mana? Gue kangen sama loe.
Gue. . .” gumamnya seraya menunduk. Satu nama yang ternyata menjadi
jawaban kenapa ia seperti sekarang. Ya, ia merindukan si pemilik nama
tersebut. Nama yang mungkin pernah ia lupakan, ralat! Atau bahkan
sengaja dilupakan sehingga ia teringat nama itu kembali dengan begitu
sakitnya. Ia pun terus menunduk.
***
“Gue lihat-lihat
dari tadi loe bengong mulu deh. Ada masalah?” sedikit tersentak, pria
berbadan jangkung itu mengatur napasnya saat menyadari kehadiran dari
salah seorang sahabatnya. Lantas ia tersenyum dan dengan segera
menggeleng ke arah sahabatnya tersebut.
“Beneran? Gak apa-apa
kok, cerita aja!” sekali lagi, orang itu memaksa secara halus untuk si
pria bercerita apa yang sedang dirasakannya sekarang.
“Ah, sok care
banget sih loe sama gue? Lagian kepo banget sih jadi orang? Serba
pengen tau mulu urusan gue. Heran,” bukannya menjawab, pria tadi malah
menyenggol pundak sahabatnya sembari mencibir.
“Ih, Alviiin! Gue serius.”
Pria
itu bernama Alvin, mahasiswa semester empat di universitas ternama di
Indonesia Tengah. Dan orang yang ikut duduk di sampingnya itu adalah
Zea, gadis berambut panjang dan berlesung pipi satu yang cukup manis.
Sahabat karib Alvin selama ia berkuliah di universitas tersebut.
“Tetep
gak ngaruh,” ujarnya kemudian. Disuguhkannya senyuman meledek ke arah
Zea. Membuat Zea memutar mata dengan sedikit memainkan bibir.
“Oh,
oke! Gak masalah sih buat gue. Awas aja kalau entar loe minta curhat
sama gue. Gak bakal mau gue,” ancam Zea dengan ucap guraunya. Alvin pun
terkekeh.
“Bodo. Hahaha.”
“Aih! Nyebelin parah loe, Vin. Bener-bener gak asik,” sungut Zea sinis.
“Serah
loe deh. Kantin yuk!” ajak Alvin tiba-tiba tanpa mempedulikan kata-kata
Zea tadi. Lantas ia bangkit meninggalkan Zea yang sudah membuang napas
malas.
“Please deh, Vin!”
“Udah ikut aja kalau pengen
kenyang sih. Mumpung gue lagi baik nih. Tapi kalau gak mau ya udah,”
ujar Alvin meski tak melihat Zea sedikitpun. Membuat gadis tersebut
dengan paksa mengikuti pria itu dari belakang.
***
Di
sebuah rumah sederhana. Seorang gadis dengan tas selempangnya keluar
dari pintu. Mengibaskan roknya yang sedikit kotor terlebih dahulu
sebelum akhirnya ia berjalan kembali ke arah garasi rumahnya.
“Ah,
aku bisa telat kalau kaya gini.” ucapnya resah begitu melirik arloji
hitam di lengan kirinya. Ia pun semakin menggancangkan langkah kakinya
cepat.. Sampai-sampai tak mendengar sebuah teriakan seseorang yang
berlari kecil dari dalam rumahnya.
“Sayang, polanya ketinggalan!”
teriak orang tersebut dengan memegang beberapa lembar kertas
putih. Sejurus kemudian ia membuang napas pasrah. Orang yang
dipanggilnya tersebut sudah menghilang dari area pandangannya.
“Percuma
juga berangkat kalau pola ininya gak dibawa. Ck! Sayang, sayang.
Ceroboh banget sih kamu itu?” ujarnya seraya menatap resah lembaran
kertas yang dipegangnya.
“Apa aku susul dia aja kali ya? Hmm. . .
Tapi yang jagain Bima siapa dong?” gusarnya kali ini. Sejurus kemudian
ia membuang napas seraya menghentakan kakinya kembali ke dalam rumah.
***
Raja
siang sedikit condong ke arah barat. Radiasinya masih begitu kuat
mengarah ke bumi. Benar-benar panas. Bahkan sama sekali tidak ada angin
di siang bolong seperti ini. Membuat cucuran peluh mengalir di setiap
tubuh orang yang merasakan efeknya.
Zea dengan cepat menyeruput
jus lemon yang ada di genggamannya. Seperti orang kesurupan, ia
menghabiskannya hanya dalam satu tegukan. Membuat Alvin menggeleng
prihatin melihat ulah sahabatnya itu.
“Gila loe Ze, kaya orang baru lihat air bertahun-tahun. Dehidrasi?” sindir dan tanya Alvin cepat.
“Iya
nih, panasnya parah banget. Bikin haus tenggorokan gue.” jawab Zea
setelah gelas yang dipegangnya sudah kosong. Alvin lagi-lagi menggeleng.
“Loe emang gak haus, Vin?”
“Gak sih, biasa. Gue laper doang,”
“Oh, gue pesen lagi ya? Gak apa-apa kan? Katanya loe lagi baik?” pinta Zea dengan nada menggodanya.
“Iya-iya
tinggal pesen aja sana! Ribet amat sih,” ujar Alvin ketus. Lantas Zea
menyengir terlebih dahulu ke arah Alvin sebelum akhirnya ia berteriak
kecil ke arah pemilik kantin. Untuk memesan makanan lagi tentunya.
“Si Rio ke mana sih kok belum dateng juga sampai sekarang?” resah Alvin kemudian. Matanya mulai mengitari suasana di sekitarnya.
“Sms atau telpon ajalah, Vin. Nyasar kali, kan kantin di kampus ini banyak.” kata Zea.
“Udah kok. Udah gue kasih tau juga tempatnya.” balas Alvin yakin. Dan sedetik setelahnya. . .
“Nah, tuh orangnya nongol.” tunjuk Zea ke arah orang yang kini berlari kecil ke arah mereka. Rio. Sepupu Alvin.
“Sori gue telat,” ujarnya.
“Abis ke mana sih, Yo? Emang masih ada kelas?”
“Gak ada sih, Vin. Cuma tadi nyokap gue nelpon. Biasalah,”“Oh,
suruh ke butik lagi?” ucap Alvin yang seakan sudah paham dengan
keseharian Rio. Tentunya membantu sang Mama mengantar barang pesanan ke
sana ke mari atau sekedar menjaga butik tersebut saat sang Mama pergi
untuk bertemu clientnya.
“Ngobrolnya sambil duduk kenapa, Yo?” sambung Zea sambil menunjuk tempat duduk di sampingnya.
“Gue bentaran doang kok di sini. Mau cabut nih, kalian mau ikut?”
“Yah, kok gitu sih? Baru juga bentar,”
“Ya mau gimana lagi, Ze? Gue suruh ke butik sekarang,”
“Ya udah gue ikut deh, Yo. Udah lama juga gue gak ke butik nyokap loe.” ungkap Alvin menengahi.
“Gue cabut duluan ya, Ze? Gak apa-apa kan?” kata Rio. Sedangkan Zea hanya menampakan wajah jengahnya.
“Tenang, udah gue bayar ini semuanya.” bisik Alvin.
“Bukan gitu maksudnya. Masa gue ditinggal sendiri sih? Ah, gak asik loe berdua.”
“Katanya udah biasa ditinggal-tinggal? Apalagi sama mantan. Hahaha.” ujar Rio menggoda. Alvin hanya ikut tertawa dibuatnya.
“Sialan! Udah sana pergi ah!”
“Hahaha. Sampai ketemu besok ya!”
***
Gadis
itu merogoh tasnya dengan gelisah. Mencari sesuatu penting yang entah
kenapa tiba-tiba hilang begitu saja di dalam tas kecilnya itu. Wajahnya
pun semakin terlihat cemas apalagi di depannya sudah ada dua bola mata
yang sedang menatapnya skeptis.
“Tadi perasaan saya masukin ke sini
deh, tapi kok gak ada ya?” ucap gadis tersebut sambil terus mencari apa
yang sedang dicarinya.
“Sepertinya pola baju yang sudah saya buat
ketinggalan di rumah nih. Gimana dong Bu, apa saya balik lagi aja buat
ambil?” lagi, gadis itu berucap. Kali ini dengan memberi tatapan
penyesalan.
“Sivia, Sivia. Kamu itu kenapa sih sebenarnya? Kok
akhir-akhir ini suka ceroboh. Tadi telat, dan sekarang kamu gak bawa
pola baju yang saya perintahkan ke kamu kemarin lusa.” ungkap wanita
yang sejak tadi duduk di depan gadis yang ternyata bernama Sivia
tersebut. Beliau menggeleng pasrah. Entah akhir-akhir ini rasanya ia
telah sedikit dikecewakan oleh orang yang sudah menjadi kepercayaannya
selama setahun ini. Sedangkan Sivia hanya menunduk.“Saya minta maaf,” ucapnya sesal.
“Hmm.
. . Ya sudahlah gak apa-apa, lain kali jangan diulangi lagi ya?” ucap
wanita itu sedikit memaklumi. Sontak Sivia langsung mendongak dan
tersenyum tenang.
“Beneran, Bu? Ya Tuhan terimakasih banyak ya, Bu. Saya janji, lain kali saya gak akan ceroboh lagi.” ujarnya mantap.
“Baiklah. Kalau begitu saya mau siap-siap dulu buat ketemu client
saya di tempat lain. Sekarang kamu boleh pulang.” Sivia pun mengangguk
dan tersenyum setelah mendengar ucapan wanita tersebut. Lantas ia dengan
segera bangkit dari duduk dan melangkah mendekati pintu.
Beberapa
detik, sebelum Sivia sampai di dekat pintu, tiba-tiba terdengar ketukan
dari arah luar. Dan kemudian pintu itu terbuka lebar, menampakan dua
orang pria jangkung yang berdiri di sana. Sivia sempat tersenyum ramah
dibuatnya, meski hanya sekilas saja karena ia langsung melangkah kembali
melewati mereka tanpa menatap wajah.
“Sini masuk!” suruh wanita di
dalam ruangan. Lantas salah satu dari kedua pria tadi pun tersenyum
meresponnya. Tidak dengan yang satunya lagi, ia malah terlihat seperti
orang bingung. Bahkan sejak tadi ia masih berdiri di tempat dengan
ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
“Sivia?” gumamnya tiba-tiba. Kontan ia langsung berlari keluar dengan cepat.
“Sivia,
tunggu!” teriaknya kali ini. Membuat wanita dan pria yang tadi datang
bersamanya itu terheran-heran dibuatnya. Pria itu Alvin.
“Alvin kenapa, Yo?” tanya wanita tersebut yang tiada lain adalah orangtuanya Rio. Rani.
“Rio juga gak tau tuh, Ma.” jawab Rio sambil mengikuti mamanya memandang ke arah pintu.
Di sisi lain, Alvin terus-terusan berlari. Matanya sibuk mencari sosok yang tadi sempat berjalan melewatinya itu.
“Aih!
Cepet banget jalannya,” rutuknya kesal. Karena memang orang yang sedang
dicarinya itu sudah tak terlihat lagi di area pandangnya. Hanya saja
ada sebuah taksi yang baru saja melaju dengan di dalamnya terlihat
siluet orang yang cukup tak asing lagi bagi mata Alvin. Sivia.
“Sivia, tunggu! Siviaaaaaa. . .” teriak Alvin mencoba mengejar taksi tersebut.
“Ah,
sial!” meski sedikit menunduk karena kehabisan napas, mata Alvin tetap
tak henti memandang taksi yang ia yakini bahwa ada Sivia di
dalamnya. Gadis yang dulu pernah mewarnai kehidupannya. Gadis yang dulu
selalu ia puja-puji tak pernah henti. Dan bahkan, Sivia, adalah gadis
yang dulu pernah ia campakkan tanpa merasa berdosa sedikitpun.
“Tante Rani,” lirihnya sambil berlari kembali ke dalam butik.
***
Hati kecil berbisik, untuk kembali padanya
Seribu kata menggoda, seribu sesal di depan mata
Seperti menjelma
Waktu aku tertawa, kala memberimu dosa
Masih
di tempat yang sama, di depan sebuah piano besar yang terletak dekat
jendela, Alvin duduk dan termenung di sana. Memandang lurus ke arah luar
dengan tatapan kosong. Hanya saja kali ini tak ada rintik hujan yang
menemaninya. Cukup hawa dingin, suara binatang malam, bulan sabit dan
bintang-bintang kecil nan jauh di sana sajalah yang menjadi kawan Alvin
saat ini. Tak ada yang lain. Sunyi.
“Jadi selama ini loe kerja di butik milik Tante Rani, Vi? Tapi kenapa gue gak pernah tau?” lirih Alvin sesal.
“Gue
harus ketemu loe secepatnya. Gue pengen ngobrol serius sama loe. Gue
gak mau terus-terusan merasa bersalah. Gue. . .” Alvin berhenti berucap
tiba-tiba. Bayang-bayang Sivia dan dirinya di masa lalu muncul begitu
saja di benaknya. Apalagi di saat Sivia menangis sambil bersimpuh di
kakinya. Benar-benar membuat Alvin selalu dan selalu di hantui rasa
sesal dan rasa bersalah teramat dalam.
“Please, jangan lihatin
gue seperti itu!” geram Alvin saat halusinasinya menangkap wajah Sivia
yang tak jauh berdiri di depan matanya. Alvin pun dengan segera menutup
wajahnya dengan siku.
“Gue tau gue salah. Gue tau!” teriaknya lagi.
Flashback On.
“Apa?!
Kamu gak lagi bercanda kan? Gak mungkin!” sentak Alvin begitu mendengar
pengakuan yang mengejutkan dari mulut kekasihnya, Sivia.
“Aku gak
lagi bercanda, kak. Aku serius. Aku hamil kak, hamil!” sembari terisak,
Sivia menunjukkan testpack ke depan mata Alvin. Yang tentu saja berhasil
merubah ekspresi wajah pria tersebut menjadi lebih syok. Sampai ia tak
mampu lagi untuk berbicara.
“Aku takut kalau sampai orangtuaku tau masalah ini, kak. Aku takut,” lirih Sivia mulai parau.“Kamu
tenang dulu dong Vi, jangan nangis terus! Pasti ada jalan keluarnya
kok.” ketus Alvin seraya melirik Sivia yang duduk di sampingnya.
“Tapi aku hamil kak, aku hamil! Kak Alvin harus tanggung jawab!” ujar Sivia ikut ketus.
“Kak
Alvin harus nikahin aku,” lanjutnya. Deg! Mendengar itu, Alvin terlihat
sangat syok dan langsung menatap Sivia dengan sorot mata menolak.
“Nikahin kamu?” ucapnya sembari bangkit.
“Gak, gak akan! Aku belum siap menikah. Aku belum siap jadi seorang ayah. Aku belum siap, Vi.”
“Please,
kak. Aku mohon banget sama kak Alvin. Aku gak mau menanggung resikonya
sendirian. Aku butuh kamu, kak.” kata Sivia dengan menggenggam lengan
Alvin penuh harap.
“Tapi aku belum siap menikah. Aku masih SMA, aku
masih mau menikmati masa mudaku. Aku gak mau menjadi ayah, Vi. Kamu
ngertiin dong!” respon Alvin dengan membalas genggaman tangan Sivia.
Sivia refleks menggeleng. Air matanya semakin deras mengalir. Sangat
kecewa dengan sikap Alvin yang seperti itu.
“Please, kak. Aku mohon. . .” dengan cepat ia memeluk tubuh Alvin erat.
“Gimana
kalau kita gugurin aja kandungan kamu itu. Dengan begitu masalah ini
cepat selesai. Kamu mau kan, Vi?” tawar Alvin sekenanya.
“Maksud kak Alvin aborsi?”
“Iya, kamu mau kan? Demi kebaikan kita, Vi.”
“Enggak! Aku gak mau lakuin itu. Itu sama aja ngebunuh, kak.”
“Tapi
itu jalan terbaik buat kita. Kamu mau keluarga kita malu karena salah
satu anggotanya menikah muda karena hamil duluan? Enggak kan?” timpal
Alvin langsung.
“Lebih baik kita menanggung malu daripada kita harus membunuh kan, kak? Lagian anak ini titipan dari Tuhan, gak punya dosa.”
“Ck!
Kalau emang kamu gak mau ya udah tanggung aja sendiri resikonya. Aku
gak mau menikah sama kamu.” tutur Alvin sadis. Tanpa peduli lagi sama
Sivia, ia melangkah pergi dari kekasihnya itu. Dan. . . Bruk! Sivia
bersimpuh di kedua kaki Alvin saat Alvin belum jauh melangkah.
“Kak Alvin jangan tinggalin aku! Aku mohon, aku gak mau menanggung resiko ini sendirian.”
“Lepasin Sivia, lepasin!”
“Aku mohon kak, aku mohon. . .” pintanya semakin lirih.“Sekali
lagi aku bilang, aku gak mau nikah! Meskipun kamu mohon-mohon seperti
itu, aku tetep gak mau. Lepasin Via, lepasin!” bentak Alvin kalap. Dan
dengan sekali hentakan, tubuh Sivia pun terjungkal ke belakang. Lantas
ia pergi begitu saja tanpa mempedulikan kekasihnya sama sekali. Entah
setan apa yang sudah merasuki raga Alvin saat itu. Benar-benar kejam.
“KAK
ALVIN TUNGGU!!!” teriak Sivia yang sudah tak kuasa lagi untuk berdiri.
Alvin tetap tak bergeming. Ia terus melangkah dengan cepat. Ditambah
suasana taman sekitar yang cukup sepi itu membuat Alvin lebih leluasa
bersikap tak acuh dengan Sivia yang sudah menangis darah.
Flashback Off.
“Gue
bener-bener jahat!” geram Alvin seketika. Kesepuluh jemarinya meremas
keras rambut hitam di kepalanya. Entah kenapa baru sekarang Alvin
menyadari hal itu setelah kurang lebih dua tahun belakangan ia berlaku
masa bodoh bahkan menyesal pun enggan dengan sikapnya tersebut kepada
Sivia. Alvin pun tertunduk kembali, tak terasa ada beberapa bulir air
yang menetes di atas jejeran tuts piano.
“ARRRGGGHHH!!!”
***
“Hallo? Ada apa, Vin?”
“......”
“Oh, bisa dong. Minta tolong apa?”
“......”
“Oh gitu. Ya udah entar gue bilangin. Kebetulan gue lagi sama Zea nih. Mau ngomong langsung gak?”
“......”
“Hahaha. Kaya orang penting aja loe, Vin.”
“......”
“Oke sip, sama-sama.”
Dan. . . Klik! Rio mengakhiri sambungan teleponnya dengan Alvin.
“Ada apaan, Yo? Kok nyebut-nyebut nama gue?” tanya Zea setelah ia terdiam sejenak saat Rio bertelekomunikasi dengan Alvin tadi.
“Tadi
Alvin bilang katanya dia mau pinjem ponsel loe sehari lagi, soalnya
hari ini dia gak masuk kuliah.” jawab Rio seraya kembali memasukan
ponselnya ke dalam saku celana.
“Oh, emang kenapa dia gak masuk? Tumben banget,” tanya Zea lagi penasaran. Aksinya yang tadi bermain game di laptop Rio pun ia hentikan sejenak.
“Gak tau juga tuh, katanya sih ada urusan gitu.”
“Oh, udah kaya orang penting aja tuh anak.”
“Yah,
begitulah. Namanya juga Alvin. Oh iya, gimana loe menang gak? Jangan
bilang loe kalah?” ujar Rio yang kini langsung berubah topik
pembicaraan, ke topik awal sebelum Alvin telepon tentunya.
“Wuih, menang dong ya! Gue kan pinter,” seru Zea menyombongkan diri. Mendengar itu, Rio pun memajukan bibir bawahnya.
“Iya
deh iya loe emang pinter. Sini-sini gantian, gue pengen nyoba.” lantas
dengan sangat sigap Rio mengambil laptop miliknya dari kuasa Zea.
“Emang loe bisa gitu, Yo? Game ini kan cuma buat orang yang IQ-nya tinggi doang.”
“MAKSUD LOE?”
“Hahaha.”
“Tawa pula loe ah!”
“Canda Yo, canda. Elah,”
“Diem loe Ze, gak usah bacot! Gue mau serius nih,”
“Iye-iye gue diem. Ish!”
“Cakep!” kata Rio seraya menempelkan jempolnya ke hidung Zea. Membuang wajah gadis itu ditekuk seketika.
***
Oh maafkanlah, oh maafkanlah. . .
Jam
masih menunjuk ke angka sembilan saat Alvin melirik arlojinya. Cukup
gelisah. Karena sedari tadi langkahnya mondar-mandir tak jelas di depan
pintu sebuah rumah. Kadang ia menarik napas panjangnya kuat-kuat saat
tangannya hendak mengetuk pintu tersebut. Tapi entah kenapa untuk
kesekian kalinya Alvin membatalkan hal itu. Sampai ia kembali
mondar-mandir tak jelas seperti setengah jam yang lalu.
“Bentaran doang, mau nyiram bunga dulu!”
Sedetik, setelah satu kalimat itu terdengar di telinganya, Alvin mendadak gelagapan.
“Suara itu?” gumamnya seketika.
“Please,
jangan keluar dulu! Gue belum siap,” rutuk Alvin pelan. Tangannya pun
cukup bergetar begitu melihat hendel pintu yang mulai bergerak dan daun
pintu yang sedikit demi sedikit terbuka.
“Ss. . . Si. . . Sivia?”
seperti orang yang kehabisan napas, Alvin berucap dengan susah payah
saat seorang gadis cantik berambut ikal itu muncul dari balik pintu.
Sivia.
“Ka. . . Kamu?!” sama seperti Alvin, Sivia yang baru saja
keluar rumah dengan membawa seember air pun langsung dibuat syok begitu
sosok Alvin tertangkap oleh wilayah pandangnya. Sosok pria yang ia ingat
sebagai pria paling pengecut satu-satunya di dunia ini. Lantas dengan
refleks ember berisi air itu jatuh di dekat kakinya.
“Sivia,” sekali
lagi Alvin bergumam. Sedangkan Sivia masih saja terdiam. Mulutnya seakan
terkunci begitu saja ketika ia menatap mata Alvin. Tiba-tiba merasa
sesak. Emosi. Geram. Muak. Bercampur aduk menjadi satu. Bahkan mungkin
saking bencinya Sivia kepada Alvin, sampai tak ada lagi ruang kebaikan
untuk Alvin di dalam hatinya.
Seketika, saat semua rasa-rasa itu
memuncak, Sivia mengusap cepat air matanya yang hendak jatuh dan
langsung membalikan badan seraya mencoba menutup kembali pintu rumahnya
rapat-rapat.
“Sivia, tunggu!” cegah Alvin sigap. Pintu yang hendak tertutup itu ia tahan meski ia harus merelakan setengah badannya terjepit.
“Pergi! Mau ngapain kamu ke sini?!” usir Sivia ketus. Ia tetap menekan daun pintu tanpa mempedulikan Alvin sedikitpun.
“Vi, tolong beri aku kesempatan buat ngomong sesuatu sama kamu. Please,”
“Gak ada yang perlu diomongin lagi. Semuanya udah selesai.” ujar Sivia cukup sinis.
“Aku mohon,”
“Pergi!
Jangan pernah ganggu kehidupan aku lagi! Aku mohon kamu pergi dari
sini! Pergiiiiiii!!!” usir Sivia lagi-lagi. Kali ini ia berusaha
mendorong tubuh Alvin yang mengganjal usahanya untuk menutup pintu.
“Aku
gak akan pergi sebelum aku diberi kesempatan buat ngomong. Setidaknya
buat minta maaf,” ungkap Alvin tetap berusaha. Namun Sivia tak langsung
merespon. Ia tiba-tiba terdiam begitu saja. Dadanya semakin terasa
sesak. Terlebih saat telinganya mendengar kata maaf dari mulut Alvin.
“Gue mau minta maaf,” lirih Alvin kali ini.
“Apa
kamu bilang? Maaf? Kamu bilang maaf?! Apa aku gak salah denger?” satu
kalimat yang diucapkan Alvin tersebut membuat Sivia kembali membuka
pintu dibarengi dengan dilontarkannya pertanyaan-pertanyaan membunuh
dari gadis tersebut.
“Aku bener-bener minta maaf sama kamu, Vi. Aku
bener-bener berdosa.” ujar Alvin seraya bersimpuh di kaki Sivia. Meski
Sivia hendak menghindar, tetapi rangkulan tangan Alvin di kakinya
terlalu kuat. Membuatnya sulit bergerak.
“Please, maafin aku!”
“Lepasin! Jangan pernah sentuh tubuhku sedikitpun! Lepasin!”
“Please Sivia, please! Aku mohon banget sama kamu.” lirih Alvin kali ini. Sivia menggeleng sambil sinis mendengarnya.
“Aku
gak mau jatuh ke lubang yang sama. Aku sudah merasakan sakit yang
bener-bener sakit. Dan aku gak mau lagi rasain itu. Kamu ngerti gak
sih?!"
"Tapi apa salahnya kalau aku minta maaf sama kamu, Vi? Please, maafin gue."
"Loe itu denger apa yang gue bilang gak sih?! Gue gak mau ada urusan
lagi sama loe. Ngerti?!" sedikit berganti gaya bahasa, Sivia juga
memasang wajah amarahnya lagi sebagai bukti kalau ia sangat murka dengan
pria yang bersimpuh di kakinya itu.
"Vi. . ."
"LEPASIN KAKI GUE!!! PERGI SEKARANG JUGA DARI RUMAH INI KALAU LOE GAK
MAU BIKIN GUE JADI TAMBAH BENCI SAMA LOE. Pergi Vin, pergi!" usir Sivia
spontan dengan tendangan kakinya yang sedikit membuat Alvin terjungkal.
Lantas Alvin langsung bangkit.
"Loe gak tau apa yang gue rasain waktu itu. Loe gak tau, Vin!" ungkap
Sivia kembali lemah. Air matanya yang menggenang pun belum berani jatuh
mengaliri pipi.
"Sakit banget tau Vin, sakit!" lanjutnya seraya memegangi dada. Lantas
Sivia menunduk, membuat memberanikan diri untuk mendekat dan memeluk
erat gadis cantik tersebut. Alasannya cuma satu, berusaha untuk
menghentikan keluh kesah dan emosi Sivia yang begitu menyakitkan
baginya.
“Vi, denger gue, gue bener-bener menyesali apa yang pernah
gue lakuin dulu ke elo. Makanya gue ke sini buat minta maaf sama loe.
Gue. . ." ucap Alvin dengan memegang kepala belakang Sivia yang sedari
tadi menggeleng sebagai tolakan akan ucapan Alvin.
"Gue mohon loe jangan ganggu kehidupan gue lagi, Vin. Please,” meski tangannya sudah mencoba untuk menepis pelukan Alvin, Sivia akhirnya menjatuhkan juga kepalanya di pundak Alvin. Sudah terlalu lelah mengungkit-ungkit rasa sakit yang pernah dirasakannya dulu.
“Aku
emang jahat sama kamu, Vi. Aku pecundang! Tapi aku mohon dengan sangat
sama kamu, beri aku kesempatan kedua untuk aku menebus semua dosa-dosaku
sama kamu. Demi anak kita,” ujar Alvin yang semakin melirih di
kalimat-kalimat akhir. Namun tiba-tiba. . .
Plak!
Sivia menampar keras pipi Alvin setelah sebelumnya ia melepaskan pelukan pria tersebut.
“Anak
kita? Loe bilang anak kita?! Setelah dua tahun loe menghilang dan
membiarkan gue mengurus kandungan gue sendirian, loe bisa-bisanya bilang
itu anak kita? Enggak! Loe gak berhak mengaku sebagai ayah dari anak
gue. Ngerti?!” tukas Sivia kembali amarah.
“Tapi, Vi?”
“Lebih baik
sekarang loe pergi dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi ke
sini! Gue udah muak lihat muka loe. Pergi Vin, pergi!” dengan mata
merahnya Sivia mengusir kasar Alvin untuk enyah dari rumah sederhananya.
Dan bahkan saking kerasnya gadis itu berteriak, sampai-sampai seorang
pria berwajah tampan mulai memperlihatkan sosoknya dengan menuruni
tangga seraya menggendong seorang anak kecil di lengan kanannya.
Sejenak,
pria tersebut menghentikan langkahnya saat menginjak anak tangga
terakhir. Bingung sendiri melihat Sivia dengan seorang pria yang kini
berdiri dua langkah dari Sivia.
“Sayang, ini ada apa? Tadi aku denger
ada yang teriak-teriak sambil nangis-nangis gitu sih? Pria itu siapa?”
tanyanya super heran. Sontak hal itu membuat keduanya tercengang,
terlebih Alvin. Matanya pun entah kenapa langsung terfokus pada seorang
anak yang digendong oleh pria yang memiliki panggilan khusus kepada
Sivia itu.
“Dia bukan siapa-siapa! Lebih baik kamu usir dia sekarang
sebelum dia berbuat yang macem-macem.” ujar Sivia dengan cepat
menggendong bayi tadi dan langsung lari menaiki tangga. Membuat pria itu
menatap Sivia penuh heran.
“Sivia, tunggu!!!” teriak Alvin sambil
bangkit mengejar Sivia. Namun percuma saja karena aksinya tersebut
langsung dihalang oleh pria tadi. Membuat Alvin sedikit berontak.
“Tunggu, anda siapa?” tanyanya skeptis.
“Lepasin! Saya ingin bicara dengan Sivia.” ungkap Alvin tetap memaksa.
“Iya,
tapi anda siapa? Dan ada hubungan apa anda dengan istri saya?” tanya
pria itu lagi. Glek! Alvin seketika menelan ludahnya secara paksa.
“Istri?” ucapnya cukup syok.
“Iya, Sivia itu istri saya. Sebenarnya anda ini siapa?”
“Terus
anak itu?” bukannya menjawab, Alvin malah balik bertanya seraya melihat
ke arah Sivia berlari tadi dengan sedikit demi sedikit melangkah
mundur.
“Dia anak saya dan Sivia. Tapi sebentar, tolong jelaskan anda
ini siapa? Apa maksud kedatangan anda ke rumah ini?” Alvin tetap tak
menjawab. Ia terlalu tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya
tersebut.
“Gak mungkin! Loe bukan suami Sivia! Dan anak itu bukan
anak loe, itu anak gue! Loe bohong! Sivia, keluar!” seperti kerasukan
iblis, emosi Alvin kembali memuncak. Mencoba menerobos tubuh pria tadi
untuk menemui Sivia dan anaknya di lantai atas.
“Dasar orang gila!”
geram pria itu sembari tetap menahan Alvin yang sangat berontak. Bahkan
dengan cepat ia melakukan reaksi yang sama seperti Alvin.
“Cepat
keluar dari rumah saya! Anda jangan coba-coba bikin keributan di rumah
ini. Pergi!” dan brak! Pintu ditutup dengan keras dan dikuncinya setelah
beberapa detik pria itu berhasil membawa Alvin keluar.
“Sivia, buka pintunya!” teriak Alvin sambil memukul pintu berkali-kali. Suaranya pun sudah mulai habis.
“Sivia, buka pintunya!” sekali lagi Alvin berucap. Kali ini terkesan melemah. Lantas kepalanya ia tundukan pasrah.
“Sivia. . .”
***
Suasana
kamar terlihat seperti tak terurus. Berantakan. Banyak barang-barang
berserakan di mana-mana. Dan bahkan ada juga beberapa pecahan kaca di
dekat pintu kamar tersebut.
“Bajingan!!! Aaarrrggghhh!!!” suara benda
pecah kembali terdengar bersamaan dengan keluarnya suara tersebut dari
mulut seseorang. Seseorang yang wajahnya terlihat sangat lecek dan
rambutnya berantakan tak jelas. Siapa lagi kalau bukan. . . Alvin.
Ya,
Alvin kini terduduk lesu di pojokan tempat tidurnya. Menyatukan kepala
dengan kedua lututnya dengan sedikit napas yang memburu. Benar-benar
terlihat sangat depresi saat itu. Ditambah dengan suasana kamarnya yang
seakan menggambarkan suasana hatinya detik itu juga.
“Loe bego Vin,
loe bego! Kenapa dulu loe tega banget ninggalin cewek yang sebenernya
loe sayang hah?! Loe itu manusia paling pengecut di dunia ini! Bahkan
loe dengan seenaknya kabur dari masalah yang loe buat sendiri. Loe
kejam, Vin. Loe gak bertanggung jawab!” geramnya pelan. Rasa sesal yang
menderanya cukup membuat Alvin gila setengah mati. Apalagi kalau
teringat wajah Sivia yang penuh amarah saat di rumahnya pagi tadi.
Sampai
akhirnya Alvin mendongakan wajahnya pelan. Memandang tempat sekitar
dengan tatapan kosong. Kemudian ia bangkit dari duduk pasrahnya, terdiam
sejenak sambil menarik napas sebelum akhirnya ia melangkah mendekati
jendela. Tepatnya mendekat ke arah piano besar berwarna hitam pekat yang
ada di samping jendela kamarnya.
“Sivia, mungkin di hati loe gak ada
ruang maaf sedikitpun buat gue. Tapi percayalah, gue bener-bener
menyesal dengan semua hal buruk yang pernah gue berikan ke loe. Gue
menyesal,” lirih Alvin sembari menyentuh tuts-tuts piano dengan
lembutnya tanpa berbunyi.
“Dan ini, sebuah nada yang bisa mewakili
perasaan gue saat ini. Semoga angin bisa menyampaikan ini buat loe yang
pernah gue sakiti. Sivia.” Alvin menarik napas panjang setelahnya. Dan
memandang jejeran hitam putih itu dengan lekat sebelum ia menekannya
dengan sedikit tenaga. Alvin pun mulai bernyanyi.
Rasa sesal di dasar hati
Diam, tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini?
Pernah ku mencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar