@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Rabu, 09 Juli 2014

Yang Terlupakan

Denting piano kala jemari menari
Nada merambat pelan, di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Bersama sebuah bayang yang pernah terlupakan


Malam melarut. Hawanya mulai menggenapkan hening yang baru saja mengembara beberapa menit yang lalu. Sunyi. Hanya saja gemericik air hujan yang mampu terdengar dengan efek menggelegar serta kilauan garis putih yang terpancar sepersekian detik setelahnya. Bahkan sesekali hembusan angin pun terasa cukup lembut hingga membuat gorden bergoyang pelan.

Pukul 23.23 WIB. Waktu di mana semua insan bumi terlelap melepas lelah. Setidaknya beristirahat dari segala hiruk pikuk aktivitas dunia yang sangat padat. Namun tidak dengan seorang pria yang satu ini. Pria yang dari setengah jam yang lalu duduk di depan piano. Dengan tak sungkan memainkan jejeran hitam putih bernada itu dengan kesepuluh jarinya. Merdu. Denting piano yang dimainkannya mengalun cukup indah. Bahkan sangat damai jika didengar dengan cermat.

Tetapi entah kenapa nada piano itu seakan tidak sinkron dengan suasana hati si pianis. Wajahnya datar. Begitupula dengan tatapan matanya yang cenderung kosong. Seperti sedang membayangkan sesuatu kelam yang pernah terjadi di masa lalunya.

“Gue menyesal,”

Satu kalimat terucap di bibir pria tersebut. Tentu saja bersamaan dengan terhentinya sebuah irama yang tadi sempat menggema di kamarnya itu. Ia memejamkan mata sesaat dan kemudian berdecak. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Ia benar-benar terlihat stres.
“Sivia, loe di mana? Gue kangen sama loe. Gue. . .” gumamnya seraya menunduk. Satu nama yang ternyata menjadi jawaban kenapa ia seperti sekarang. Ya, ia merindukan si pemilik nama tersebut. Nama yang mungkin pernah ia lupakan, ralat! Atau bahkan sengaja dilupakan sehingga ia teringat nama itu kembali dengan begitu sakitnya. Ia pun terus menunduk.

***


“Gue lihat-lihat dari tadi loe bengong mulu deh. Ada masalah?” sedikit tersentak, pria berbadan jangkung itu mengatur napasnya saat menyadari kehadiran dari salah seorang sahabatnya. Lantas ia tersenyum dan dengan segera menggeleng ke arah sahabatnya tersebut.
“Beneran? Gak apa-apa kok, cerita aja!” sekali lagi, orang itu memaksa secara halus untuk si pria bercerita apa yang sedang dirasakannya sekarang.
“Ah, sok care banget sih loe sama gue? Lagian kepo banget sih jadi orang? Serba pengen tau mulu urusan gue. Heran,” bukannya menjawab, pria tadi malah menyenggol pundak sahabatnya sembari mencibir.
“Ih, Alviiin! Gue serius.”

Pria itu bernama Alvin, mahasiswa semester empat di universitas ternama di Indonesia Tengah. Dan orang yang ikut duduk di sampingnya itu adalah Zea, gadis berambut panjang dan berlesung pipi satu yang cukup manis. Sahabat karib Alvin selama ia berkuliah di universitas tersebut.
“Tetep gak ngaruh,” ujarnya kemudian. Disuguhkannya senyuman meledek ke arah Zea. Membuat Zea memutar mata dengan sedikit memainkan bibir.
“Oh, oke! Gak masalah sih buat gue. Awas aja kalau entar loe minta curhat sama gue. Gak bakal mau gue,” ancam Zea dengan ucap guraunya. Alvin pun terkekeh.
“Bodo. Hahaha.”
“Aih! Nyebelin parah loe, Vin. Bener-bener gak asik,” sungut Zea sinis.
“Serah loe deh. Kantin yuk!” ajak Alvin tiba-tiba tanpa mempedulikan kata-kata Zea tadi. Lantas ia bangkit meninggalkan Zea yang sudah membuang napas malas.
Please deh, Vin!”
“Udah ikut aja kalau pengen kenyang sih. Mumpung gue lagi baik nih. Tapi kalau gak mau ya udah,” ujar Alvin meski tak melihat Zea sedikitpun. Membuat gadis tersebut dengan paksa mengikuti pria itu dari belakang.

***


Di sebuah rumah sederhana. Seorang gadis dengan tas selempangnya keluar dari pintu. Mengibaskan roknya yang sedikit kotor terlebih dahulu sebelum akhirnya ia berjalan kembali ke arah garasi rumahnya.
“Ah, aku bisa telat kalau kaya gini.” ucapnya resah begitu melirik arloji hitam di lengan kirinya. Ia pun semakin menggancangkan langkah kakinya cepat.. Sampai-sampai tak mendengar sebuah teriakan seseorang yang berlari kecil dari dalam rumahnya.
“Sayang, polanya ketinggalan!” teriak orang tersebut dengan memegang beberapa lembar kertas putih. Sejurus kemudian ia membuang napas pasrah. Orang yang dipanggilnya tersebut sudah menghilang dari area pandangannya.
“Percuma juga berangkat kalau pola ininya gak dibawa. Ck! Sayang, sayang. Ceroboh banget sih kamu itu?” ujarnya seraya menatap resah lembaran kertas yang dipegangnya.
“Apa aku susul dia aja kali ya? Hmm. . . Tapi yang jagain Bima siapa dong?” gusarnya kali ini. Sejurus kemudian ia membuang napas seraya menghentakan kakinya kembali ke dalam rumah.

***


Raja siang sedikit condong ke arah barat. Radiasinya masih begitu kuat mengarah ke bumi. Benar-benar panas. Bahkan sama sekali tidak ada angin di siang bolong seperti ini. Membuat cucuran peluh mengalir di setiap tubuh orang yang merasakan efeknya.

Zea dengan cepat menyeruput jus lemon yang ada di genggamannya. Seperti orang kesurupan, ia menghabiskannya hanya dalam satu tegukan. Membuat Alvin menggeleng prihatin melihat ulah sahabatnya itu.
“Gila loe Ze, kaya orang baru lihat air bertahun-tahun. Dehidrasi?” sindir dan tanya Alvin cepat.
“Iya nih, panasnya parah banget. Bikin haus tenggorokan gue.” jawab Zea setelah gelas yang dipegangnya sudah kosong. Alvin lagi-lagi menggeleng.
“Loe emang gak haus, Vin?”
“Gak sih, biasa. Gue laper doang,”
“Oh, gue pesen lagi ya? Gak apa-apa kan? Katanya loe lagi baik?” pinta Zea dengan nada menggodanya.
“Iya-iya tinggal pesen aja sana! Ribet amat sih,” ujar Alvin ketus. Lantas Zea menyengir terlebih dahulu ke arah Alvin sebelum akhirnya ia berteriak kecil ke arah pemilik kantin. Untuk memesan makanan lagi tentunya.
“Si Rio ke mana sih kok belum dateng juga sampai sekarang?” resah Alvin kemudian. Matanya mulai mengitari suasana di sekitarnya.
“Sms atau telpon ajalah, Vin. Nyasar kali, kan kantin di kampus ini banyak.” kata Zea.
“Udah kok. Udah gue kasih tau juga tempatnya.” balas Alvin yakin. Dan sedetik setelahnya. . .
“Nah, tuh orangnya nongol.” tunjuk Zea ke arah orang yang kini berlari kecil ke arah mereka. Rio. Sepupu Alvin.
“Sori gue telat,” ujarnya.
“Abis ke mana sih, Yo? Emang masih ada kelas?”
“Gak ada sih, Vin. Cuma tadi nyokap gue nelpon. Biasalah,”“Oh, suruh ke butik lagi?” ucap Alvin yang seakan sudah paham dengan keseharian Rio. Tentunya membantu sang Mama mengantar barang pesanan ke sana ke mari atau sekedar menjaga butik tersebut saat sang Mama pergi untuk bertemu clientnya.
“Ngobrolnya sambil duduk kenapa, Yo?” sambung Zea sambil menunjuk tempat duduk di sampingnya.
“Gue bentaran doang kok di sini. Mau cabut nih, kalian mau ikut?”
“Yah, kok gitu sih? Baru juga bentar,”
“Ya mau gimana lagi, Ze? Gue suruh ke butik sekarang,”
“Ya udah gue ikut deh, Yo. Udah lama juga gue gak ke butik nyokap loe.” ungkap Alvin menengahi.
“Gue cabut duluan ya, Ze? Gak apa-apa kan?” kata Rio. Sedangkan Zea hanya menampakan wajah jengahnya.
“Tenang, udah gue bayar ini semuanya.” bisik Alvin.
“Bukan gitu maksudnya. Masa gue ditinggal sendiri sih? Ah, gak asik loe berdua.”
“Katanya udah biasa ditinggal-tinggal? Apalagi sama mantan. Hahaha.” ujar Rio menggoda. Alvin hanya ikut tertawa dibuatnya.
“Sialan! Udah sana pergi ah!”
“Hahaha. Sampai ketemu besok ya!”

***


Gadis itu merogoh tasnya dengan gelisah. Mencari sesuatu penting yang entah kenapa tiba-tiba hilang begitu saja di dalam tas kecilnya itu. Wajahnya pun semakin terlihat cemas apalagi di depannya sudah ada dua bola mata yang sedang menatapnya skeptis.
“Tadi perasaan saya masukin ke sini deh, tapi kok gak ada ya?” ucap gadis tersebut sambil terus mencari apa yang sedang dicarinya.
“Sepertinya pola baju yang sudah saya buat ketinggalan di rumah nih. Gimana dong Bu, apa saya balik lagi aja buat ambil?” lagi, gadis itu berucap. Kali ini dengan memberi tatapan penyesalan.
“Sivia, Sivia. Kamu itu kenapa sih sebenarnya? Kok akhir-akhir ini suka ceroboh. Tadi telat, dan sekarang kamu gak bawa pola baju yang saya perintahkan ke kamu kemarin lusa.” ungkap wanita yang sejak tadi duduk di depan gadis yang ternyata bernama Sivia tersebut. Beliau menggeleng pasrah. Entah akhir-akhir ini rasanya ia telah sedikit dikecewakan oleh orang yang sudah menjadi kepercayaannya selama setahun ini. Sedangkan Sivia hanya menunduk.“Saya minta maaf,” ucapnya sesal.
“Hmm. . . Ya sudahlah gak apa-apa, lain kali jangan diulangi lagi ya?” ucap wanita itu sedikit memaklumi. Sontak Sivia langsung mendongak dan tersenyum tenang.
“Beneran, Bu? Ya Tuhan terimakasih banyak ya, Bu. Saya janji, lain kali saya gak akan ceroboh lagi.” ujarnya mantap.
“Baiklah. Kalau begitu saya mau siap-siap dulu buat ketemu client saya di tempat lain. Sekarang kamu boleh pulang.” Sivia pun mengangguk dan tersenyum setelah mendengar ucapan wanita tersebut. Lantas ia dengan segera bangkit dari duduk dan melangkah mendekati pintu.

Beberapa detik, sebelum Sivia sampai di dekat pintu, tiba-tiba terdengar ketukan dari arah luar. Dan kemudian pintu itu terbuka lebar, menampakan dua orang pria jangkung yang berdiri di sana. Sivia sempat tersenyum ramah dibuatnya, meski hanya sekilas saja karena ia langsung melangkah kembali melewati mereka tanpa menatap wajah.
“Sini masuk!” suruh wanita di dalam ruangan. Lantas salah satu dari kedua pria tadi pun tersenyum meresponnya. Tidak dengan yang satunya lagi, ia malah terlihat seperti orang bingung. Bahkan sejak tadi ia masih berdiri di tempat dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
“Sivia?” gumamnya tiba-tiba. Kontan ia langsung berlari keluar dengan cepat.
“Sivia, tunggu!” teriaknya kali ini. Membuat wanita dan pria yang tadi datang bersamanya itu terheran-heran dibuatnya. Pria itu Alvin.
“Alvin kenapa, Yo?” tanya wanita tersebut yang tiada lain adalah orangtuanya Rio. Rani.
“Rio juga gak tau tuh, Ma.” jawab Rio sambil mengikuti mamanya memandang ke arah pintu.

Di sisi lain, Alvin terus-terusan berlari. Matanya sibuk mencari sosok yang tadi sempat berjalan melewatinya itu.
“Aih! Cepet banget jalannya,” rutuknya kesal. Karena memang orang yang sedang dicarinya itu sudah tak terlihat lagi di area pandangnya. Hanya saja ada sebuah taksi yang baru saja melaju dengan di dalamnya terlihat siluet orang yang cukup tak asing lagi bagi mata Alvin. Sivia.
“Sivia, tunggu! Siviaaaaaa. . .” teriak Alvin mencoba mengejar taksi tersebut.
“Ah, sial!” meski sedikit menunduk karena kehabisan napas, mata Alvin tetap tak henti memandang taksi yang ia yakini bahwa ada Sivia di dalamnya. Gadis yang dulu pernah mewarnai kehidupannya. Gadis yang dulu selalu ia puja-puji tak pernah henti. Dan bahkan, Sivia, adalah gadis yang dulu pernah ia campakkan tanpa merasa berdosa sedikitpun.
“Tante Rani,” lirihnya sambil berlari kembali ke dalam butik.

***


Hati kecil berbisik, untuk kembali padanya
Seribu kata menggoda, seribu sesal di depan mata
Seperti menjelma
Waktu aku tertawa, kala memberimu dosa


Masih di tempat yang sama, di depan sebuah piano besar yang terletak dekat jendela, Alvin duduk dan termenung di sana. Memandang lurus ke arah luar dengan tatapan kosong. Hanya saja kali ini tak ada rintik hujan yang menemaninya. Cukup hawa dingin, suara binatang malam, bulan sabit dan bintang-bintang kecil nan jauh di sana sajalah yang menjadi kawan Alvin saat ini. Tak ada yang lain. Sunyi.
“Jadi selama ini loe kerja di butik milik Tante Rani, Vi? Tapi kenapa gue gak pernah tau?” lirih Alvin sesal.
“Gue harus ketemu loe secepatnya. Gue pengen ngobrol serius sama loe. Gue gak mau terus-terusan merasa bersalah. Gue. . .” Alvin berhenti berucap tiba-tiba. Bayang-bayang Sivia dan dirinya di masa lalu muncul begitu saja di benaknya. Apalagi di saat Sivia menangis sambil bersimpuh di kakinya. Benar-benar membuat Alvin selalu dan selalu di hantui rasa sesal dan rasa bersalah teramat dalam.
Please, jangan lihatin gue seperti itu!” geram Alvin saat halusinasinya menangkap wajah Sivia yang tak jauh berdiri di depan matanya. Alvin pun dengan segera menutup wajahnya dengan siku.
“Gue tau gue salah. Gue tau!” teriaknya lagi.

Flashback On.

“Apa?! Kamu gak lagi bercanda kan? Gak mungkin!” sentak Alvin begitu mendengar pengakuan yang mengejutkan dari mulut kekasihnya, Sivia.
“Aku gak lagi bercanda, kak. Aku serius. Aku hamil kak, hamil!” sembari terisak, Sivia menunjukkan testpack ke depan mata Alvin. Yang tentu saja berhasil merubah ekspresi wajah pria tersebut menjadi lebih syok. Sampai ia tak mampu lagi untuk berbicara.
“Aku takut kalau sampai orangtuaku tau masalah ini, kak. Aku takut,” lirih Sivia mulai parau.“Kamu tenang dulu dong Vi, jangan nangis terus! Pasti ada jalan keluarnya kok.” ketus Alvin seraya melirik Sivia yang duduk di sampingnya.
“Tapi aku hamil kak, aku hamil! Kak Alvin harus tanggung jawab!” ujar Sivia ikut ketus.
“Kak Alvin harus nikahin aku,” lanjutnya. Deg! Mendengar itu, Alvin terlihat sangat syok dan langsung menatap Sivia dengan sorot mata menolak.
“Nikahin kamu?” ucapnya sembari bangkit.
“Gak, gak akan! Aku belum siap menikah. Aku belum siap jadi seorang ayah. Aku belum siap, Vi.”
Please, kak. Aku mohon banget sama kak Alvin. Aku gak mau menanggung resikonya sendirian. Aku butuh kamu, kak.” kata Sivia dengan menggenggam lengan Alvin penuh harap.
“Tapi aku belum siap menikah. Aku masih SMA, aku masih mau menikmati masa mudaku. Aku gak mau menjadi ayah, Vi. Kamu ngertiin dong!” respon Alvin dengan membalas genggaman tangan Sivia. Sivia refleks menggeleng. Air matanya semakin deras mengalir. Sangat kecewa dengan sikap Alvin yang seperti itu.
Please, kak. Aku mohon. . .” dengan cepat ia memeluk tubuh Alvin erat.
“Gimana kalau kita gugurin aja kandungan kamu itu. Dengan begitu masalah ini cepat selesai. Kamu mau kan, Vi?” tawar Alvin sekenanya.
“Maksud kak Alvin aborsi?”
“Iya, kamu mau kan? Demi kebaikan kita, Vi.”
“Enggak! Aku gak mau lakuin itu. Itu sama aja ngebunuh, kak.”
“Tapi itu jalan terbaik buat kita. Kamu mau keluarga kita malu karena salah satu anggotanya menikah muda karena hamil duluan? Enggak kan?” timpal Alvin langsung.
“Lebih baik kita menanggung malu daripada kita harus membunuh kan, kak? Lagian anak ini titipan dari Tuhan, gak punya dosa.”
“Ck! Kalau emang kamu gak mau ya udah tanggung aja sendiri resikonya. Aku gak mau menikah sama kamu.” tutur Alvin sadis. Tanpa peduli lagi sama Sivia, ia melangkah pergi dari kekasihnya itu. Dan. . . Bruk! Sivia bersimpuh di kedua kaki Alvin saat Alvin belum jauh melangkah.
“Kak Alvin jangan tinggalin aku! Aku mohon, aku gak mau menanggung resiko ini sendirian.”
“Lepasin Sivia, lepasin!”
“Aku mohon kak, aku mohon. . .” pintanya semakin lirih.“Sekali lagi aku bilang, aku gak mau nikah! Meskipun kamu mohon-mohon seperti itu, aku tetep gak mau. Lepasin Via, lepasin!” bentak Alvin kalap. Dan dengan sekali hentakan, tubuh Sivia pun terjungkal ke belakang. Lantas ia pergi begitu saja tanpa mempedulikan kekasihnya sama sekali. Entah setan apa yang sudah merasuki raga Alvin saat itu. Benar-benar kejam.
“KAK ALVIN TUNGGU!!!” teriak Sivia yang sudah tak kuasa lagi untuk berdiri. Alvin tetap tak bergeming. Ia terus melangkah dengan cepat. Ditambah suasana taman sekitar yang cukup sepi itu membuat Alvin lebih leluasa bersikap tak acuh dengan Sivia yang sudah menangis darah.

Flashback Off.

“Gue bener-bener jahat!” geram Alvin seketika. Kesepuluh jemarinya meremas keras rambut hitam di kepalanya. Entah kenapa baru sekarang Alvin menyadari hal itu setelah kurang lebih dua tahun belakangan ia berlaku masa bodoh bahkan menyesal pun enggan dengan sikapnya tersebut kepada Sivia. Alvin pun tertunduk kembali, tak terasa ada beberapa bulir air yang menetes di atas jejeran tuts piano.
“ARRRGGGHHH!!!”

***


“Hallo? Ada apa, Vin?”

“......”

“Oh, bisa dong. Minta tolong apa?”

“......”

“Oh gitu. Ya udah entar gue bilangin. Kebetulan gue lagi sama Zea nih. Mau ngomong langsung gak?”

“......”

“Hahaha. Kaya orang penting aja loe, Vin.”

“......”

“Oke sip, sama-sama.”

Dan. . . Klik! Rio mengakhiri sambungan teleponnya dengan Alvin.
“Ada apaan, Yo? Kok nyebut-nyebut nama gue?” tanya Zea setelah ia terdiam sejenak saat Rio bertelekomunikasi dengan Alvin tadi.
“Tadi Alvin bilang katanya dia mau pinjem ponsel loe sehari lagi, soalnya hari ini dia gak masuk kuliah.” jawab Rio seraya kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celana.
“Oh, emang kenapa dia gak masuk? Tumben banget,” tanya Zea lagi penasaran. Aksinya yang tadi bermain game di laptop Rio pun ia hentikan sejenak.
“Gak tau juga tuh, katanya sih ada urusan gitu.”
“Oh, udah kaya orang penting aja tuh anak.”
“Yah, begitulah. Namanya juga Alvin. Oh iya, gimana loe menang gak? Jangan bilang loe kalah?” ujar Rio yang kini langsung berubah topik pembicaraan, ke topik awal sebelum Alvin telepon tentunya.
“Wuih, menang dong ya! Gue kan pinter,” seru Zea menyombongkan diri. Mendengar itu, Rio pun memajukan bibir bawahnya.
“Iya deh iya loe emang pinter. Sini-sini gantian, gue pengen nyoba.” lantas dengan sangat sigap Rio mengambil laptop miliknya dari kuasa Zea.
“Emang loe bisa gitu, Yo? Game ini kan cuma buat orang yang IQ-nya tinggi doang.”
“MAKSUD LOE?”
“Hahaha.”
“Tawa pula loe ah!”
“Canda Yo, canda. Elah,”
“Diem loe Ze, gak usah bacot! Gue mau serius nih,”
“Iye-iye gue diem. Ish!”
“Cakep!” kata Rio seraya menempelkan jempolnya ke hidung Zea. Membuang wajah gadis itu ditekuk seketika.

***


Oh maafkanlah, oh maafkanlah. . .


Jam masih menunjuk ke angka sembilan saat Alvin melirik arlojinya. Cukup gelisah. Karena sedari tadi langkahnya mondar-mandir tak jelas di depan pintu sebuah rumah. Kadang ia menarik napas panjangnya kuat-kuat saat tangannya hendak mengetuk pintu tersebut. Tapi entah kenapa untuk kesekian kalinya Alvin membatalkan hal itu. Sampai ia kembali mondar-mandir tak jelas seperti setengah jam yang lalu.

“Bentaran doang, mau nyiram bunga dulu!”

Sedetik, setelah satu kalimat itu terdengar di telinganya, Alvin mendadak gelagapan.
“Suara itu?” gumamnya seketika.
Please, jangan keluar dulu! Gue belum siap,” rutuk Alvin pelan. Tangannya pun cukup bergetar begitu melihat hendel pintu yang mulai bergerak dan daun pintu yang sedikit demi sedikit terbuka.
“Ss. . . Si. . . Sivia?” seperti orang yang kehabisan napas, Alvin berucap dengan susah payah saat seorang gadis cantik berambut ikal itu muncul dari balik pintu. Sivia.
“Ka. . . Kamu?!” sama seperti Alvin, Sivia yang baru saja keluar rumah dengan membawa seember air pun langsung dibuat syok begitu sosok Alvin tertangkap oleh wilayah pandangnya. Sosok pria yang ia ingat sebagai pria paling pengecut satu-satunya di dunia ini. Lantas dengan refleks ember berisi air itu jatuh di dekat kakinya.
“Sivia,” sekali lagi Alvin bergumam. Sedangkan Sivia masih saja terdiam. Mulutnya seakan terkunci begitu saja ketika ia menatap mata Alvin. Tiba-tiba merasa sesak. Emosi. Geram. Muak. Bercampur aduk menjadi satu. Bahkan mungkin saking bencinya Sivia kepada Alvin, sampai tak ada lagi ruang kebaikan untuk Alvin di dalam hatinya.

Seketika, saat semua rasa-rasa itu memuncak, Sivia mengusap cepat air matanya yang hendak jatuh dan langsung membalikan badan seraya mencoba menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat.
“Sivia, tunggu!” cegah Alvin sigap. Pintu yang hendak tertutup itu ia tahan meski ia harus merelakan setengah badannya terjepit.
“Pergi! Mau ngapain kamu ke sini?!” usir Sivia ketus. Ia tetap menekan daun pintu tanpa mempedulikan Alvin sedikitpun.
“Vi, tolong beri aku kesempatan buat ngomong sesuatu sama kamu. Please,”
“Gak ada yang perlu diomongin lagi. Semuanya udah selesai.” ujar Sivia cukup sinis.
“Aku mohon,”
“Pergi! Jangan pernah ganggu kehidupan aku lagi! Aku mohon kamu pergi dari sini! Pergiiiiiii!!!” usir Sivia lagi-lagi. Kali ini ia berusaha mendorong tubuh Alvin yang mengganjal usahanya untuk menutup pintu.
“Aku gak akan pergi sebelum aku diberi kesempatan buat ngomong. Setidaknya buat minta maaf,” ungkap Alvin tetap berusaha. Namun Sivia tak langsung merespon. Ia tiba-tiba terdiam begitu saja. Dadanya semakin terasa sesak. Terlebih saat telinganya mendengar kata maaf dari mulut Alvin.
“Gue mau minta maaf,” lirih Alvin kali ini.
“Apa kamu bilang? Maaf? Kamu bilang maaf?! Apa aku gak salah denger?” satu kalimat yang diucapkan Alvin tersebut membuat Sivia kembali membuka pintu dibarengi dengan dilontarkannya pertanyaan-pertanyaan membunuh dari gadis tersebut.
“Aku bener-bener minta maaf sama kamu, Vi. Aku bener-bener berdosa.” ujar Alvin seraya bersimpuh di kaki Sivia. Meski Sivia hendak menghindar, tetapi rangkulan tangan Alvin di kakinya terlalu kuat. Membuatnya sulit bergerak.
Please, maafin aku!”
“Lepasin! Jangan pernah sentuh tubuhku sedikitpun! Lepasin!”
Please Sivia, please! Aku mohon banget sama kamu.” lirih Alvin kali ini. Sivia menggeleng sambil sinis mendengarnya.
“Aku gak mau jatuh ke lubang yang sama. Aku sudah merasakan sakit yang bener-bener sakit. Dan aku gak mau lagi rasain itu. Kamu ngerti gak sih?!"
"Tapi apa salahnya kalau aku minta maaf sama kamu, Vi? Please, maafin gue."
"Loe itu denger apa yang gue bilang gak sih?! Gue gak mau ada urusan lagi sama loe. Ngerti?!" sedikit berganti gaya bahasa, Sivia juga memasang wajah amarahnya lagi sebagai bukti kalau ia sangat murka dengan pria yang bersimpuh di kakinya itu.
"Vi. . ."
"LEPASIN KAKI GUE!!! PERGI SEKARANG JUGA DARI RUMAH INI KALAU LOE GAK MAU BIKIN GUE JADI TAMBAH BENCI SAMA LOE. Pergi Vin, pergi!" usir Sivia spontan dengan tendangan kakinya yang sedikit membuat Alvin terjungkal. Lantas Alvin langsung bangkit.
"Loe gak tau apa yang gue rasain waktu itu. Loe gak tau, Vin!" ungkap Sivia kembali lemah. Air matanya yang menggenang pun belum berani jatuh mengaliri pipi.
"Sakit banget tau Vin, sakit!" lanjutnya seraya memegangi dada. Lantas Sivia menunduk, membuat memberanikan diri untuk mendekat dan memeluk erat gadis cantik tersebut. Alasannya cuma satu, berusaha untuk menghentikan keluh kesah dan emosi Sivia yang begitu menyakitkan baginya.
“Vi, denger gue, gue bener-bener menyesali apa yang pernah gue lakuin dulu ke elo. Makanya gue ke sini buat minta maaf sama loe. Gue. . ." ucap Alvin dengan memegang kepala belakang Sivia yang sedari tadi menggeleng sebagai tolakan akan ucapan Alvin.
"Gue mohon loe jangan ganggu kehidupan gue lagi, Vin. Please,” meski tangannya sudah mencoba untuk menepis pelukan Alvin, Sivia akhirnya menjatuhkan juga kepalanya di pundak Alvin. Sudah terlalu lelah mengungkit-ungkit rasa sakit yang pernah dirasakannya dulu.
“Aku emang jahat sama kamu, Vi. Aku pecundang! Tapi aku mohon dengan sangat sama kamu, beri aku kesempatan kedua untuk aku menebus semua dosa-dosaku sama kamu. Demi anak kita,” ujar Alvin yang semakin melirih di kalimat-kalimat akhir. Namun tiba-tiba. . .

Plak!

Sivia menampar keras pipi Alvin setelah sebelumnya ia melepaskan pelukan pria tersebut.
“Anak kita? Loe bilang anak kita?! Setelah dua tahun loe menghilang dan membiarkan gue mengurus kandungan gue sendirian, loe bisa-bisanya bilang itu anak kita? Enggak! Loe gak berhak mengaku sebagai ayah dari anak gue. Ngerti?!” tukas Sivia kembali amarah.
“Tapi, Vi?”
“Lebih baik sekarang loe pergi dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi ke sini! Gue udah muak lihat muka loe. Pergi Vin, pergi!” dengan mata merahnya Sivia mengusir kasar Alvin untuk enyah dari rumah sederhananya. Dan bahkan saking kerasnya gadis itu berteriak, sampai-sampai seorang pria berwajah tampan mulai memperlihatkan sosoknya dengan menuruni tangga seraya menggendong seorang anak kecil di lengan kanannya.

Sejenak, pria tersebut menghentikan langkahnya saat menginjak anak tangga terakhir. Bingung sendiri melihat Sivia dengan seorang pria yang kini berdiri dua langkah dari Sivia.
“Sayang, ini ada apa? Tadi aku denger ada yang teriak-teriak sambil nangis-nangis gitu sih? Pria itu siapa?” tanyanya super heran. Sontak hal itu membuat keduanya tercengang, terlebih Alvin. Matanya pun entah kenapa langsung terfokus pada seorang anak yang digendong oleh pria yang memiliki panggilan khusus kepada Sivia itu.
“Dia bukan siapa-siapa! Lebih baik kamu usir dia sekarang sebelum dia berbuat yang macem-macem.” ujar Sivia dengan cepat menggendong bayi tadi dan langsung lari menaiki tangga. Membuat pria itu menatap Sivia penuh heran.
“Sivia, tunggu!!!” teriak Alvin sambil bangkit mengejar Sivia. Namun percuma saja karena aksinya tersebut langsung dihalang oleh pria tadi. Membuat Alvin sedikit berontak.
“Tunggu, anda siapa?” tanyanya skeptis.
“Lepasin! Saya ingin bicara dengan Sivia.” ungkap Alvin tetap memaksa.
“Iya, tapi anda siapa? Dan ada hubungan apa anda dengan istri saya?” tanya pria itu lagi. Glek! Alvin seketika menelan ludahnya secara paksa.
“Istri?” ucapnya cukup syok.
“Iya, Sivia itu istri saya. Sebenarnya anda ini siapa?”
“Terus anak itu?” bukannya menjawab, Alvin malah balik bertanya seraya melihat ke arah Sivia berlari tadi dengan sedikit demi sedikit melangkah mundur.
“Dia anak saya dan Sivia. Tapi sebentar, tolong jelaskan anda ini siapa? Apa maksud kedatangan anda ke rumah ini?” Alvin tetap tak menjawab. Ia terlalu tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tersebut.
“Gak mungkin! Loe bukan suami Sivia! Dan anak itu bukan anak loe, itu anak gue! Loe bohong! Sivia, keluar!” seperti kerasukan iblis, emosi Alvin kembali memuncak. Mencoba menerobos tubuh pria tadi untuk menemui Sivia dan anaknya di lantai atas.
“Dasar orang gila!” geram pria itu sembari tetap menahan Alvin yang sangat berontak. Bahkan dengan cepat ia melakukan reaksi yang sama seperti Alvin.
“Cepat keluar dari rumah saya! Anda jangan coba-coba bikin keributan di rumah ini. Pergi!” dan brak! Pintu ditutup dengan keras dan dikuncinya setelah beberapa detik pria itu berhasil membawa Alvin keluar.
“Sivia, buka pintunya!” teriak Alvin sambil memukul pintu berkali-kali. Suaranya pun sudah mulai habis.
“Sivia, buka pintunya!” sekali lagi Alvin berucap. Kali ini terkesan melemah. Lantas kepalanya ia tundukan pasrah.
“Sivia. . .”

***


Suasana kamar terlihat seperti tak terurus. Berantakan. Banyak barang-barang berserakan di mana-mana. Dan bahkan ada juga beberapa pecahan kaca di dekat pintu kamar tersebut.
“Bajingan!!! Aaarrrggghhh!!!” suara benda pecah kembali terdengar bersamaan dengan keluarnya suara tersebut dari mulut seseorang. Seseorang yang wajahnya terlihat sangat lecek dan rambutnya berantakan tak jelas. Siapa lagi kalau bukan. . . Alvin.

Ya, Alvin kini terduduk lesu di pojokan tempat tidurnya. Menyatukan kepala dengan kedua lututnya dengan sedikit napas yang memburu. Benar-benar terlihat sangat depresi saat itu. Ditambah dengan suasana kamarnya yang seakan menggambarkan suasana hatinya detik itu juga.
“Loe bego Vin, loe bego! Kenapa dulu loe tega banget ninggalin cewek yang sebenernya loe sayang hah?! Loe itu manusia paling pengecut di dunia ini! Bahkan loe dengan seenaknya kabur dari masalah yang loe buat sendiri. Loe kejam, Vin. Loe gak bertanggung jawab!” geramnya pelan. Rasa sesal yang menderanya cukup membuat Alvin gila setengah mati. Apalagi kalau teringat wajah Sivia yang penuh amarah saat di rumahnya pagi tadi.

Sampai akhirnya Alvin mendongakan wajahnya pelan. Memandang tempat sekitar dengan tatapan kosong. Kemudian ia bangkit dari duduk pasrahnya, terdiam sejenak sambil menarik napas sebelum akhirnya ia melangkah mendekati jendela. Tepatnya mendekat ke arah piano besar berwarna hitam pekat yang ada di samping jendela kamarnya.
“Sivia, mungkin di hati loe gak ada ruang maaf sedikitpun buat gue. Tapi percayalah, gue bener-bener menyesal dengan semua hal buruk yang pernah gue berikan ke loe. Gue menyesal,” lirih Alvin sembari menyentuh tuts-tuts piano dengan lembutnya tanpa berbunyi.
“Dan ini, sebuah nada yang bisa mewakili perasaan gue saat ini. Semoga angin bisa menyampaikan ini buat loe yang pernah gue sakiti. Sivia.” Alvin menarik napas panjang setelahnya. Dan memandang jejeran hitam putih itu dengan lekat sebelum ia menekannya dengan sedikit tenaga. Alvin pun mulai bernyanyi.


Rasa sesal di dasar hati
Diam, tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini?
Pernah ku mencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar