Would You Come to The Party with Me?
Pagi
ini masih benar-benar pagi. Karena jam dinding masih menunjuk tepat ke angka
enam. Tetapi seperti biasa, Sivia sudah duduk-duduk manis di salah satu tempat
bersantai para siswa di SMA Sarfagos. Sebuah tempat duduk melingkar dengan
tudung yang lumayan besar di depan kelas XI IPA 1 yang tak jauh dari gerbang
sekolah berada.
Dengan
bibir tersenyum, Sivia kembali melihat-lihat hasil jepretannya yang baru saja
diambil maupun hasil jepretan yang dulu-dulu. Matanya berbinar.
“Sarfagos
emang selalu indah.” gumamnya kagum. Selain memiliki pepohonan yang rindang,
Sarfagos juga memiliki taman bunga yang kecil namun tersebar di setiap titik
sudut yang ada di sekolah tersebut. Penuh warna. Dan itu membuat suasana pagi
di SMA Sarfagos menjadi lebih indah karena adanya puluhan kupu-kupu yang
terbang ke sana ke mari. Menakjubkan. Itulah sebabnya kenapa Sivia lebih suka
berangkat lebih pagi dari siswa-siswi lain.
“Sekolah
ini indah karena dihuni oleh orang-orang yang juga indah.” sedetik, Sivia
melonjak kaget saat satu kalimat tersebut mengusik gendang telinganya. Ia
menengok ke belakang dengan cepat.
“Kak
Alvin?” gumam Sivia sangat pelan. Karena tak jauh dari tempatnya duduk, ia
melihat sosok Alvin sedang berdiri di pinggiran koridor dengan gaya coolnya. Ditambah kedua tangan yang
dimasukkan ke dalam saku celana serta rambut harajuku yang selalu acak-acakan itu
membuat Alvin terlihat lebih mempesona di pagi seperti ini. Lantas Alvin
tersenyum ke arah Sivia yang masih saja duduk sambil memandanginya heran.
“Pagi,
Vi!” sapa Alvin semangat. Kakinya pun mulai melangkah mendekati Sivia.
“Hmm…
pagi juga, kak!” balas Sivia canggung. Matanya memandang skeptis sosok cowok
yang kini duduk santai di sampingnya. Merasa dipandang aneh, Alvin ikut
mengernyit melihat Sivia.
“Kenapa?
Kok kaya gitu lihatinnya? Baru lihat orang cakep lagi?” tanya Alvin asal. Terkesan
ingin memecahkan rasa penasarannya kenapa Sivia memandangnya seperti itu.
“Heh?
Hmm… enggak apa-apa kok, kak.”
“Oh
ya?”
“Iya.
Cuma tumben aja kak Alvin berangkatnya pagi-pagi gini. Handphonenya gak ketinggalan di kelas lagi kan?” tanya Sivia pelan.
Alvin mengangguk paham. Memorinya seakan berputar kembali saat ia bertemu
dengan Sivia pagi-pagi di sekolah seminggu yang lalu. Tepat saat ia hendak
mengambil ponselnya yang tertinggal di kelas. Ia terkekeh.
“Oh,
enggak kok. Lagi pengen berangkat pagi-pagi aja. Ya, siapa tau aja ketemu jodoh
gue gitu pagi ini.” timpal Alvin asal sembari tersenyum manis. Sontak membuat
Sivia mengernyit hebat. Tidak mengerti sama sekali maksud ucapan Alvin
tersebut. Apa hubungannya sih jodoh sama
berangkat sekolah pagi-pagi? batinnya.
“Gak
usah sok bingung gitu deh mukanya. Tadi gue asal ngomong.” lanjut Alvin yang
seakan paham dengan jalan pikiran Sivia. Lantas kemudian Alvin mengambil cepat-cepat
kamera yang digenggam Sivia tersebut. Sedangkan yang punya kamera masih terdiam
seribu bahasa. Entahlah.
“Ini
foto gue kan?” tanya Alvin antusias saat ia sedang melihat-lihat hasil jepretan
tangan Sivia dan tanpa sengaja menemukan sosok yang sudah tak asing lagi di
matanya. Tentu saja kalau bukan sosok dirinya sendiri. Sivia lantas mendekat.
Mengikuti pandangan mata Alvin yang menunduk ke arah kamera. Cukup berdekatan.
Sampai Alvin mampu mencium rambut harum Sivia yang terurai di dekat pipinya.
Begitupun Sivia yang juga menghirup aroma parfum Alvin yang begitu maskulin
menurutnya.
“Iya,
itu kak Alvin.” jawab Sivia membenarkan.
“Lho?
Waktu kapan ini? Hmm… paparazzi.”
“Ish!
Aku bukan paparazzi, kak. Aku
fotografer. Lagian itu juga aku gak sengaja motret kak Alvin.” timpal Sivia
tegas. Alvin mengangguk seraya membulatkan mulut.
“Hmm…
hapus aja ya?” pintanya kemudian.
“Jangan!!!”
halau Sivia keras. Dan dengan secepat kilat ia merebut kembali kameranya di
tangan Alvin.
“Aih…
kenapa? Itu kan foto gue, Vi?”
“Tapi
ini kamera aku!”
“Kalau
gue gak suka gimana?”
“Ya,
bodo amat!”
“Ish!”
desis Alvin sengit. Matanya melirik Sivia yang begitu erat memeluk kamera hitam
kesayangannya itu.
“Asal
kak Alvin tau ya! Setiap moment yang
ada di dunia ini tidak akan pernah bisa diulang dua kali, kak. Seindah dan
seburuk apapun moment itu, kita harus
mengenangnya. Gak boleh menghapusnya begitu aja.” jelas Sivia mantap. Mendengar
itu, Alvin hanya memajukan bibir bawahnya. Menganggap remeh cewek yang kini
berlagak seperti para motivator bijaksana tersebut.
“Yayaya.
Whatever you say, Sivia.” Sivia
tergelak mendengarnya. Lalu dengan sengaja ia memotret wajah malas Alvin yang
begitu lucu menurutnya.
“Lucu
ih! Hahaha.” ucap Sivia dengan tertawa.
“SIVIA!!!”
cukup sebal, Alvin langsung berusaha merebut kembali kamera milik Sivia setelah
dengan usilnya cewek tersebut mengambil gambar tanpa sepengetahuan Alvin. Namun
Sivia dengan segera menghindar dan tetap memotret meski Alvin sudah melindungi
wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Udah
dong, Vi! Gue paling gak suka difoto.” mohon Alvin memelas. Namun tetap dengan
melindungi area wajahnya.
“Gak
mau!!!” tolak Sivia mentah-mentah. Alvin lantas menggeram. Mulai kesal dengan
cewek yang menyebalkan ini.
“Ya
udah gini aja deh, gimana kalau gue yang foto loe? Udah lama juga gue gak jadi
fotografer, semenjak Mami gak ada.” ucap Alvin kemudian. Ia membuka wajahnya
perlahan.
“Ini,
kak.” spontan, Sivia menyerahkan kameranya dengan ramah ke Alvin. Hatinya entah
kenapa selalu terenyuh setiap kali mendengar hal-hal yang menyangkut orang tua.
Ia tersenyum manis.
“Ayo
fotoin aku!” lanjut Sivia saat Alvin tak juga melakukan apa-apa ketika
tangannya sudah menggenggam kamera. Refleks, Alvin langsung tersenyum menyadari
aksi terpakunya.
“Oh,
baiklah. Siap ya? Satu… dua…” klik! Satu jepretan menarik di dapatkan Alvin
saat Sivia dengan gaya ala modelnya berpose di samping bunga-bunga anggrek yang
bermekaran.
Dan
setelah cukup banyak Alvin mengambil gambar, Sivia melangkah mendekatinya.
Penasaran dengan hasil potretan dari tangan seorang Alvin Pratama.
“Cantik.”
gumam Alvin pelan. Tapi cukup jelas terdengar oleh Sivia.
“Bagus-bagus,
kak. Kayanya aku bakal punya saingan berat di sekolah ini.” sedikit bercanda,
Sivia menatap menggoda ke arah Alvin.
“Jangan
lebay deh!”
“Serius.
Aku itu orangnya gak pernah bohong, kak.”
“Yayaya. Whatever you…” belum sampai Alvin
menyelesaikan ucapannya, Sivia membekap mulut Alvin lembut.
“Stop! Jangan dilanjutin! Hmm… sekarang
gini aja deh, kak Alvin berdiri di situ!” pinta dan suruh Sivia kepada Alvin.
Alvin mengernyitkan dahi heran.
“Ck!
Jangan kebanyakan mikir deh! Udah sana!” meski Alvin sudah menampakan ekspresi
bingungnya, Sivia tetap tak menggubris. Ia malah mendorong paksa Alvin agar
berdiri di tempat yang tadi ditunjuknya. Sedangkan Alvin hanya pasrah.
“Diem
di situ ya? Bentar!” suruh Sivia sadis. Dengan sibuk sendiri, ia mengatur
posisi kamera dengan sesekali melirik Alvin supaya tubuh jenjangnya tepat
berada di frame kamera. Lantas ia
mengatur timer dan langsung berlari
ke arah Alvin setelahnya.
“Satu…
dua… tiga… smileeeeee!!!” semangat
Sivia sambil berdiri manis di samping Alvin. Untuk sementara Alvin mengernyit.
Memandang aneh cewek di sampingnya tersebut.
“Bilang
kek kalau loe mau foto sama gue. Jangan bikin orang bingung kaya gini.” cibir
Alvin dengan memutar mata. Sivia menyengir. Perlahan, Alvin melangkah untuk
mengambil kamera di atas meja yang tak jauh dari tempat dirinya dan Sivia
berpose tadi.
“Kalau
gitu kan kita bisa foto sendiri. Gak perlu pakai timer.” cetusnya setelah kembali berada di samping cewek yang masih
mematung di tempat semula. Dan dengan cepat, tangan kanan Alvin merangkul
pundak Sivia cepat-cepat, lantas tangan kirinya ia arahkan ke depan.
“Satu…
dua… tiga… cheeeeeerrrrsss!!!” kini
giliran Alvin yang berekspresi di depan kamera. Ralat! Bukan hanya Alvin.
Melainkan Sivia juga yang dengan terpaksa merengkuh di dada bidang Alvin pun
ikut tersenyum kecil ke arah kamera.
“Bagus
kan?” tanya Alvin kemudian sambil menunjukkan hasil jepretan tadi. Sivia
mengangguk cepat.
“Bagus!”
kemudian tersenyum.
“Lagi
ya?” pinta Alvin ramah. Dan lagi-lagi tangannya merangkul ke pundak Sivia.
Membuat cewek cantik itu mematung dengan detakan jantung sudah tak karuan.
Wajah Alvin benar-benar sangat dekat dengannya. Sangat dekat.
***
Rio
berjalan gontai menyusuri koridor kelas. Malas. Tampak jelas dari wajahnya yang
terlihat tak bergairah. Entah kenapa si pemilik title “playboy in the world”
ini tidak berseri seperti biasanya. Bahkan sampai-sampai ia tak menggubris sama
sekali saat seseorang menyapa dari belakang. Entah karena tak mendengar atau memang sengaja tak mendengar. Mungkin hanya
dia dan Tuhan yang tau.
“Kak
Rio?!” Rio masih tak merespon. Namun itu tidak berlangsung lama karena orang
yang memanggil Rio tadi menepuk pundaknya pelan. Rio berdecak sebentar.
“Kak
Rio itu tuli apa gimana sih?! Dipanggil-panggil dari tadi malah diem mulu.”
baru saja Rio berhenti melangkah, orang yang memanggilnya itu sudah merutuk
kesal. Rio pun menengok.
“Terserah
gu… Ify?!” kata Rio sedikit syok. Syok karena baru mengetahui kalau yang
memanggilnya tadi adalah Ify. Cewek berbehel dengan bulu mata sedikit lentik
itu pun berdiri tepat di hadapannya sekarang. What the hell! She is so beautiful!
umpat Rio dalam hati. Ekspresinya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh
derajat.
“Hei?!
Malah bengong lagi!” tukas Ify seraya melambaikan tangan di wajah Rio. Lalu Rio
mengerjap cepat. Tersadar dari lamunan pendeknya.
“Eh,
sori-sori. Ada perlu apa ya, Fy? Tumben manggil gue.” tanya Rio kemudian.
Mencoba sesantai mungkin tentunya di hadapan Ify yang sungguh luar biasa cantiknya
itu.
“Ini,
gue mau titip handphone kak Alvin
sama kakak. Kata kak Cakka, tadi kak Alvin ninggalin HP gitu aja di meja makan.
Gak ngerepotin kan?” jelas Ify sembari mengeluarkan ponsel di saku seragamnya.
Lantas Rio menerimanya dengan senang hati.
“Oh,
nggak kok. Udah pikun kayanya tuh anak.” perlahan, mereka berdua mulai berjalan
kembali. Berjalan sangat-sangat pelan seperti dua orang pengantin yang sedang
menuju pelaminan.
“Loe
sendirian aja, Fy?” tanya Rio memecah keheningan antara mereka.
“Gue
gak sendirian kali, kak. Gue kan sama loe. Gimana sih?!” glek! Rio tergelak
mendengarnya. Lagi-lagi baru kali ini ia mendapatkan jawaban seperti itu dari
Ify. Padahal kalau dirinya bertanya hal yang sama ke cewek-cewek lain,
jawabannya pasti enak didengar. Entah itu siapa yang bodoh. Yang bertanya atau
yang menjawab?
“Hmm…
oh iya ya? Aduh, serasa bego gue.” decaknya seraya menggaruk paksa kepala
bagian belakangnya.
“Tapi
bener kan kalau gue gak sendiri? Hehehe.” balas Ify terkekeh. Lucu sendiri
melihat ekspresi bingung cowok di sampingnya tersebut.
“Bener
sih. Tapi kesannya gimana gitu? Hmm…” Ify tak menggubris. Ia malah berhenti di
hadapan Rio. Membuat Rio mengerem cepat-cepat langkah kakinya sebelum ia benar-benar
menabrak tubuh Ify yang tiba-tiba berhenti begitu saja.
“Eh,
kak?”
“Ya?”
“Hmm…
bentar lagi kan Sarfagos mau adain Prom
Night tuh? Hmm…” ucap Ify ragu-ragu. Jari-jarinya pun ia mainkan asal.
“Heh?
Prom Night? Are you serious? Kok gue gak tau ya?” kaget Rio tiba-tiba. Wajahnya
ia dekatkan ke wajah Ify yang masih berdiri di depannya. Kontan Ify langsung
mengangguk.
“Lima
rius bahkan. Bukannya hal ini udah diumumkan di mading kemarin-kemarin? Ke mana
aja sih, kak? Tumben gak up to date.”
Rio mengernyit.
“Oh
ya? Wuih… kok gue bisa ketinggalan zaman gini sih? Ck!” Ify tersenyum
melihatnya. Lucu sendiri melihat ekspresi Rio yang seperti orang menyesal.
“Hmm…
makanya gue kasih tau sama loe, kak. Biar loe gak kudet-kudet amat lah.
Hehehe.” ledek Ify.
“Oh,
thanks.” balas Rio datar. Mulutnya ia
bulatkan kemudian.
“Hmm…
kak Rio mau dateng bareng gue gak? Cuma nawarin aja sih. Gak mau juga gak
apa-apa.” ucap Ify cepat saat mereka kembali berjalan beriringan.
“Heh?
Loe ngajak gue, Fy?”
“Ya
gitu deh.” kata Ify mencoba sebiasa mungkin. Sedangkan Rio masih berpikir.
Meskipun entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Mesti
gue gitu ya? Kenapa enggak sama Alvin aja? Kalau enggak sama Cakka? Atau sama
siapa kek?” Ify mulai jengah mendengarnya.
“Enggak
juga sih. Ya udah kalau gak mau juga gak apa-apa. Toh gue juga gak maksa kok,
kak.” timpal Ify datar.
“Eh,
bukan gitu. Maksud gue, kan loe sama Alvin dan Cakka sepupuan tuh, ya mungkin
bisa barengan berangkatnya gitu?”
“Ya,
tapi kan kali aja kak Cakka sama kak Alvin mau sama orang lain. Gak tau juga
kan?”
“Hmm…
iya juga sih. Prom Night dalam rangka
apaan emang?” Rio kembali berhenti melangkahkan kakinya. Tepat di perbatasan
antara ruang kelas X dan kelas XI. Punggungnya ia sandarkan di pinggiran
tangga.
“Kalau
gak salah sih dalam rangka hari jadinya Sarfagos yang kesebelas, kak. Om Alex
sama Pak Kepsek sengaja adain acara ini karena permintaan dari anak-anak OSIS.”
jelas Ify panjang lebar.
“Oh,
jadi gitu? Hmm… ya udah kalau gitu gue mau deh. Kapan emang?” tanya Rio.
Ify menarik napas lega.
“Besok
malem, kak.” jawabnya.
“Oke
sip. Entar gue ke rumah loe. Gue ke atas ya, Fy?” Rio menepuk pundak Ify
perlahan setelah beberapa detik ia berkata.
“Oke,
kak! Makasih ya sebelumnya?” respon Ify. Ia pun bergegas pergi dari tempatnya
saat Rio mulai berjalan menaiki tangga menuju kelasnya. Namun mereka berdua menyempatkan
diri berbalas senyum terlebih dahulu sebelum benar-benar berpisah. Sungguh
mengesankan. Mungkin.
***
“Kak
Cakka?!” Shilla sedikit menggancangkan langkahnya begitu dengan tepat matanya
menangkap sosok Cakka yang tak jauh berjalan di depannya. Dan cukup berhasil
mengusik telinga, Cakka pun berhenti sejenak. Lalu menengok ke arah sumber
suara.
“Shilla?”
gumam Cakka saat ia melihat Shilla sedang berlari kecil ke arahnya dengan
senyuman khasnya.
“Pagi
kak Cakka!” sapa Shilla sesampainya di depan Cakka. Napasnya masih memburu.
“Pagi
juga, Shil. Hmm… kenapa sih lari-lari? Dikejar sama siapa?” tanya Cakka heran
melihat Shilla yang lari-lari tak jelas. Shilla menyengir membalasnya. Dengan
kedua tangan yang masih memegang dada, ia pun menghela napas perlahan.
“Gak
dikejar sama siapa-siapa kok, kak. Lagi iseng-iseng aja sih lari-lari, sekalian
olah raga gitu.” kilah Shilla asal. Sedangkan Cakka hanya membulatkan mulut
mendengarnya. Lantas mereka berdua berjalan kembali.
“Kak
Cakka sendirian aja? Kak Ray mana?” tanya Shilla santai. Wajahnya terus-terusan
menghadap ke arah Cakka.
“Ehem!
Nanyain kak Ray ya, Shil?” balas Cakka dengan nada menggoda.
“Eh,
nggak kok. Shilla gak nanyain kak Ray. Shilla kan nanya sama kakak.”
“Oh
gitu ya? Perasaan tadi ada yang sebut nama kak Ray deh? Apa kakak cuma salah
denger kali ya? Hehehe.” ucap Cakka tetap dengan ekspresi menggoda.
“Ih,
apaan sih? Orang Shilla gak nanyain kak Ray juga. Maksud Shilla, kak Cakka kok
tumben sendirian aja, biasanya kan sama kak Ray. Gituuu…” Cakka terkekeh
mendengarnya. Wajah Shilla tiba-tiba terlihat begitu lucu kalau sedang salah
tingkah seperti sekarang.
“Aduh,
ada yang salah tingkah nih kayanya.”
“Ish!
Apaan sih, kak?!” Shilla berdecak.
“Gak
apa-apa.”
“Ih,
nyebelin deh!”
“Tapi
emang bener kan? Aih… udah deh gak usah bohong gitu, Shil.” lagi-lagi Cakka
menggoda. Membuat cewek yang berada di sampingnya itu memajukan bibir beberapa
senti. Namun Cakka tetap jahil meledek Shilla. Tak perduli meski banyak pasang
mata yang menatap mereka dengan tatapan iri. Terutama para cewek-cewek yang
mereka berdua lewati sepanjang koridor.
“Terserah
kak Cakka aja deh. Hmm… kak Cakka sama siapa besok malem?” tanya Shilla
tiba-tiba. Untuk sementara Cakka mengernyit. Tidak mengerti apa yang ditanyakan
cewek tersebut.
“Prom Night nanti.” lanjut Shilla refleks
saat melihat ekspresi bingung Cakka.
“Oh,
Prom Night? Hmm… belum ada sih.
Kenapa gitu?” tanya balik Cakka santai.
“Oh
ya? Hmm… gimana kalau nanti kak Cakka pergi sama ak…”
“HAI
SEMUANYA!!!” sapaan Ray menyeruak keras di telinga Cakka dan Shilla. Sontak
membuat keduanya terlonjak kaget. Ray yang merangkul Cakka dan Shilla dari
belakang itupun hanya tersenyum tak jelas.
“Pada
ngomongin gue ya? Aih…” tukas Ray asal. Giginya ia pamerkan serempak.
“Rajin
amat ngomongin loe. Hahaha. Si Shilla tuh nanyain loe dari tadi.” balas Cakka
jahil. Shilla tergelak. Cakka benar-benar menyebalkan pagi ini. Sangat
menyebalkan bahkan. Sampai Shilla menekuk wajahnya.
“Kak
Cakka, please deh!!!” Cakka lagi-lagi
terkekeh. Sedangkan Ray malah berseri-seri wajahnya setelah mendengar ucapan
Cakka tadi.
“Aih…
serius? Ehem! Akhirnya ada juga yang nanyain gue. Hahaha.” rutuk Ray sambil
cengengesan. Membuat Cakka dan Shilla mengernyit dan saling pandang.
“Eh,
Ray?” Cakka balas merangkul sambil bertanya. Sementara Ray hanya merspon dengan
tatapan bertanya balik.
“Besok
malem loe belum dapet pasangan kan?” lanjut Cakka basa-basi.
“Maksudnya?”
“Itu
lho? Prom Night.”
“Oh…
belum, kenapa gitu?” Cakka langsung melirik Shilla sebelum menjawab pertanyaan
Ray. Shilla masih diam saja.
“Pas
banget kalau gitu! Oke, besok malem loe pergi bareng Shilla. Kebetulan Shilla
juga belum dapet pasangan. Iya kan, Shil?” ujar Cakka semangat. Mendengar hal
itu, Shilla tergelak hebat. Ternyata niat awalnya untuk mengajak Cakka jadi
gagal total. Ia hanya bisa pasrah. Toh Ray juga cukup menyenangkan menurutnya.
Bahkan mungkin lebih dari menyenangkan.
“Wuih…
seriusan ini, Cak?” bisik Ray ke telinga Cakka. Dengan cepat Cakka mengangguk yakin.
“Udah,
loe besok malem jemput dia aja ke rumahnya. Loe udah tau rumah Shilla kan?”
“Tau
sih. Tapi gue?”
“Gak
usah banyak alesan! Loe kan suka tuh sama dia. Ini kesempatan emas loe buat
dapetin dia. Oke?” mereka berdua masih tetap berbisik-bisik. Membuat cewek di
samping kiri Ray mengangkat salah satu alisnya bingung.
“Lagi
ngomongin apaan sih?” tanya Shilla penasaran. Sontak Cakka dan Ray langsung
tersenyum dan menggeleng ke arahnya.
“Oh…
gak lagi ngomongin apa-apa kok, Shil.” balas Cakka lembut.
“Hmm…
kalau emang bener loe belum dapet pasangan, besok malem gue jemput loe ya?”
sambung Ray sedikit ragu. Sebisa mungkin ia tersenyum. Berharap Shilla menerima
tawarannya itu.
“Heh?
Kak Ray mau jemput Shilla? Pas Prom Night
nanti?” Ray pun mengangguk.
“Pokoknya
besok malem kamu harus dandan yang cantik ya, Shil? Biar Ray terpesona sama
kamu. Oke? Kita berdua duluan ya? Bye,
Shil!” kata Cakka yang berhasil membuat kedua pipi Shilla berubah merah.
Sekejap, Cakka dan Ray menjauh dari Shilla. Sedangkan Shilla entah kenapa
senyumnya mengembang begitu Ray menatapnya terus-terusan walaupun Cakka sedang
merangkulnya sambil berjalan. Apa itu yang namanya cinta? Sepertinya. Apa
segitu cepatnya Shilla berpaling hati dari Cakka? Entahlah. Urusan hati memang
paling susah untuk ditebak.
***
Keadaan
kelas mulai ramai. Mungkin sebentar lagi bel masuk segera berbunyi. Dan sebelum
Alvin ditatap heran oleh semua siswa-siswi Sarfagos karena duduk berduaan
dengan Sivia yang faktanya dulu pernah ada konflik, Alvin pun segera pamit ke
Sivia yang masih duduk memegangi kamera di sampingnya.
“Ini
buat loe.” bisik Alvin sambil berdiri dari duduknya. Sivia yang menerima
sesuatu berbentuk kartu berwarna merah jambu dari Alvin itupun hanya bisa
mengernyit. Belum mengerti apa maksudnya tersebut.
“Kartu
ini adalah tanda kalau loe udah punya gue. Jadi, kalau nanti ada seseorang yang
mau ngajak loe berangkat bareng ke acara Prom
Night besok malem, loe gak boleh terima.” Sivia kembali mengernyit
mendengarnya. Terkesan ia ingin bertanya kenapa bisa seperti itu?
“Soalnya
loe udah ada yang punya, yaitu gue. Loe ngerti kan maksudnya, Vi?” tanya Alvin
memecah keheranan yang tersirat di raut wajah cewek cantik tersebut.
“Kok
kesannya kaya maksa sih, kak?” ujar Sivia seketika. Namun Alvin tak
menghiraukannya. Enggan memperpanjang komunikasi setelah ia menyadari keadaan
sekitar yang semakin ramai.
“Intinya
besok malem loe berangkat bareng gue. Oke? See
you next time ya, Vi?” perlahan, Alvin mengacak lembut kepala belakang
Sivia sebelum ia benar-benar melangkah pergi dari tempat Sivia duduk. Sedangkan
Sivia masih berpikir sebisa mungkin. Tadi
itu ngancem atau maksa sih? Gak ada
lembut-lembutnya banget! ujarnya dalam hati. Matanya tak elak memandangi
punggung Alvin yang semakin jauh. Lalu ia menggeleng.
Beberapa
detik kemudian bel masuk pun berbunyi nyaring memecah suasana pagi di SMA
Sarfagos. Sontak semua siswa langsung berlarian menuju kelasnya. Begitu juga
Sivia yang kini sedang membenahi bajunya yang sedikit acak-acakan. Sejenak, ia
menarik napas panjangnya. Kemudian berjalan dengan santai menuju kelas X.1 yang
hanya beberapa langkah saja dari tempatnya duduk bersama Alvin tadi.
***
Terbilang
sudah ada dua orang guru yang keluar masuk di kelas XI IPA 1 hari ini. Cukup
menyenangkan. Karena memang entah kenapa guru-guru tersebut hari ini seperti
para pelawak yang lebih banyak bercerita tentang hal-hal yang cukup membikin
tertawa ketimbang mencatat rumus-rumus yang selalu mereka suguhkan
sebelum-sebelumnya. Atau mungkin guru-guru juga memang manusia biasa yang
mempunyai rasa jenuh. Jenuh untuk mengajar dengan serius. Jenuh jika
terus-terusan dipandang killer oleh
para siswa. Atau bahkan jangan-jangan mereka benar-benar sudah jenuh menjadi
seorang guru? Entahlah. Anggap saja itu adalah salah cara ampuh untuk merefresh otak dari berbagai beban yang
ditanggung seorang siswa ataupun seorang guru. Ya, begitulah.
Di
meja ketiga barisan pertama, Cakka menenggelamkan wajahnya di atas meja setelah
pelajaran kedua di kelasnya itu baru saja selesai. Tangannya terus-terusan
memegangi perut sejak tadi.
“Ray,
perut gue sakit nih ketawa mulu dari tadi.” lirihnya dengan menepuk paha Ray. Ray
pun terkekeh.
“Emang
gokil ya tuh guru! Tumben-tumbenan hari ini gak galak seperti biasanya. Lucu
parah pokoknya! Hahaha.” ujar Ray sumringah.
“Hahaha.
Bener juga. Kok gue baru nyadar ya? Aih…”
“Ah,
payah loe!” Ray menyenggol pelan tubuh Cakka yang masih tertunduk di meja.
“Hmm…
Cak? By the way loe sama siapa
besok?” sambung Ray mulai berganti topik.
“Heh?
Besok? Hmm… belum tau.” jawab Cakka sekenanya.
“Hah?
Serius? Aih… masa iya seorang Cakka Pratama belum ada pasangan?” tukas Ray
seraya memutar mata jengah.
“Entar
deh gue nyari pas istirahat nanti. Gak mesti repot-repot lah, toh cuma Prom Night kan? Gak harus berpasangan.”
Cakka berucap dengan santainya. Meski Ray sudah memandangnya skeptis.
“Loe
gak mau kan kalau loe nanti jadi cowok satu-satunya yang gak punya pasangan di
acara itu? Come on lah, Cakka!
Kehabisan stok tau rasa loe.” Cakka terkekeh mendengarnya.
“Iya
duh tau yang udah punya Shilla. Ngerti gue ngerti! Hahaha.”
“Ish!
Gak nyambung loe ah!”
“Hahaha.”
“Gila
loe dasar!” kata Ray seraya pergi dari kursinya.
“Ke
mana?”
“Keluar.
Gerah.” lantas Cakka menggeleng sebentar dan kemudian ikut melangkah menyusul
Ray.
***
“Kok
cuma gue aja sih yang ngenes nasibnya?” rutuk Rio mengiba. Kontan membuat kedua
sahabatnya terkekeh puas melihat ekspresi tanpa dosa milik Rio tersebut.
“Seorang
palyboy seperti Mario Sebastian bawa
barang belanjaan mamanya? Oh my God!
Mau taruh di mana tuh title playboy?
Hahaha.” tukas Gabriel bahagia. Tak lupa juga Alvin yang ikut bahagia mendengar
kata-kata Gabriel barusan. Bukan Alvin dan Gabriel namanya kalau mereka merasa
iba melihat atau mendengar Rio tersiksa. Yang ada mereka sangat senang dan
bahagia tentunya.
“Terus
aja terus! Bahagia banget lihat gue tersiksa. Ish! Sahabat macam apaan kalian
ini?” Alvin dan Gabriel lagi-lagi tertawa. Bahkan kali ini nadanya lebih
meledek dari sebelumnya. Rio pun mendengus.
“Harusnya
loe bangga dong sama kita. Kita itu kaya gini karena kita respect sama loe.” kata Alvin sambil merangkul pundak Rio.
Sedangkan Gabriel masih terkekeh sambil asyik menjamah makanan ringan yang
dipesannya tadi.
“Respect apaan?! Tuh mulut kalau ngomong
emang asal jeplak aja ya?! Yang ada kalian berdua tuh tertawa di atas
penderitaan orang lain tau gak?!” tolak Rio dengan melepas paksa rangkulan
Alvin.
“Aih…
tertawanya kita itu sama dengan respectnya
kita ke elo, Mario. Loe jangan negative
thinking dulu dong!” sambung Gabriel mencoba menyangkal prasangka Rio.
Alvin langsung mengangkat jempolnya.
“Respect mata loe soek! Mana ada respect macam itu?!”
“Ya
udahlah terserah loe. Setidaknya gue sama Gab udah berusaha respect sama loe. Iya enggak, Gab?”
Alvin dan Gabriel kontan bertos ria. Tak perduli meski Rio mulai memasang wajah
bad moodnya di hadapan mereka. Mereka
berdua malah asyik sendiri.
“Oke,
tak apalah! Yang penting besok malem gue bakal dansa bareng my bidadari Ify yang paling beautiful di planet bumi ini.” ceplos
Rio kemudian. Bermaksud pamer kepada kedua sahabatnya yang kini tersedak hebat mendengar
kabar tersebut.
“WHAT???!!!” kompak Alvin dan Gabriel.
Dengan santai, Rio mengangguk sambil tersenyum.
“Gak
bohong kan loe?!” lanjut Gabriel memastikan. Lagi-lagi dengan mantap Rio
menggeleng.
“Gak!
Gak mungkin! Pasti loe bohong. Iya kan? Lagian mana mau si Ify sama loe.”
sangkal Alvin yakin. Kali ini giliran Rio yang tertawa puas. Berbalas dendam
dengan perlaukan mereka tadi kepada dirinya.
“Whatever you say, Alvin and Gabriel! Yang jelas gue orangnya gak
pernah bohong. Kalian tau sendiri kan?” ucapnya yakin. Alvin menatap Rio tajam.
Begitupun Gabriel.
“Terserah!
Pokoknya gue gak setuju kalau loe jalan sama Ify.”
“Loe
gak berhak buat larang-larang, Vin! Asal loe tau ya! Itu semua bukan kemauan
gue, tapi si Ify yang minta sendiri sama gue. Kalau loe emang gak setuju, ya
silahkan aja bilang sendiri ke Ify.”
“HAH?!
Oh my God! Udah eror tuh anak
otaknya. Ck!” respon Alvin super kaget mendengar ucapan Rio.
“Loe
pakai pelet apaan sih, Mario? Ampuh bener!” timpal Gabriel asal.
“Aih…
sori-sori aja brader, gue gak minat tuh pakai pelet-peletan. Mungkin emang
karena jodoh kali ya? Atau mungkin emang karena gue terlalu tamp…”
“Diem!
Ocehan loe gak penting tau gak?!” seru Alvin kesal. Serentak, Rio dan Gabriel
menelan ludah. Mulai was-was kalau sudah melihat Alvin membentak seperti itu.
“Apapun
alesan loe tadi, gue gak perduli! Yang harus loe camkan sekarang, loe jangan
sampai sedikitpun berbuat yang macam-macam sama ponakan gue! Ngerti?!” ancamnya
sangar.
“Wuih…
santai aja bos! Gue gak bakal macam-macam kok sama ponakan loe. Gue beneran
suka sama ponakan loe itu, Vin. Seriusan deh!”
“Persetan
dengan ucapan loe!”
“Kalau
si Ify sampai suka beneran sama Rio gimana, Vin?” bisik Gabriel yang membuat
suasana semakin panas.
“Dengan
lapang dada harus terima lah! Iya gak, Vin?” bukannya Alvin yang menjawab,
malah Rio yang menyambar pertanyaan Gabriel tadi.
“Terserah!
Yang jelas, loe bakal berhadapan sama gue kalau si Ify kenapa-kenapa. Camkan
itu!” lagi-lagi Alvin mengancam.
“Aih…
nih anak! Loe itu anggap gue sahabat gak sih, Vin? Harusnya loe percaya dong
sama gue. Bukan malah mojokin gue kaya gini. Gak solid loe ah!”
“Muka
loe gak pantes buat dipercaya!” ucap Gabriel menimpali.
“NAH!!!”
“Ish!
Songong ya loe berdua?!” Gabriel berdecak sinis. Menyadari betapa lucunya
tingkah mereka ketika berdebat seperti sekarang ini. Parah! Bener-bener sahabat teraneh yang pernah gue temui selama ini.
rutuk Gabriel dalam hati. Kemudian tersenyum simpul ke arah Alvin dan Rio yang
memang duduk berdampingan di hadapannya.
“Hmm…
oh iya, nasib kalian gimana besok malem? Masih setia jona kah? Atau emang udah move on dari title jona?” tanya Rio tiba-tiba. Menyeruakkan nada sinis di sela-sela
pertanyaannya. Untuk sementara Alvin mendengus, terlalu malas mendengar
pertanyaan yang tak penting yang keluar dari mulut salah satu sahabat dekatnya
itu.
“Loe
lihat aja nanti!” jawab Alvin kemudian. Sedangkan Gabriel hanya mengarahkan
telunjuknya ke arah Alvin. Seakan menyutujui perkataannya tadi.
“Hahaha.
Oke, gue pegang ucapan loe barusan. Hmm… siapa ya kira-kira cewek yang mau sama
Alvin? Sivia? Oh, gak mungkin! Mana mau dia sama Alvin?” Alvin menyeringai
sinis ke arah Rio yang seakan meremehkan dirinya. Sekarang loe boleh ngeremehin gue. Tapi besok? Jangan harap loe bisa
ketawa seperti itu!
“Lah,
ini lagi si Gabriel? Jalan sama cewek aja gue gak pernah tau. Udah sok-sokan
mau gandeng cewek di Prom Night
nanti. Ckckck… sungguh miris nasibmu, nak.” kini Rio beralih meremehkan
Gabriel. Seakan Gabriel adalah orang satu-satunya di dunia ini yang mustahil
mendapatkan cewek menurutnya.
Geregetan.
Ingin rasanya kepalan tangan milik Gabriel dan Alvin itu mendarat di kedua pipi
Rio. Dan itupun pasti sudah terjadi kalau saja Alvin dan Gabriel tidak lagi
menganggap Rio sebagai sahabatnya. Ya, sahabat. Sahabat yang benar-benar jauh
dari kata sahabat. Tapi faktanya mereka bertiga memang bersahabat. Entahlah.
“Whatever!!!” serempak, Alvin dan Gabriel
menggertak tepat di depan wajah Rio sebelum mereka meninggalkannya begitu saja.
Menjadikan cowok tinggi kurus yang kini masih duduk itu mengernyit tak karuan.
Dan lagi-lagi selalu begini. Selalu ditinggal. Seakan terdiskriminasi oleh
kedua sahabatnya itu.
“Lagi-lagi
gue yang kena. Ck!” mencoba pasrah, Rio pun menggaruk kepalanya dan langsung
pergi menyusul Alvin dan Gabriel.
***
Ketukan
bernada yang dimainkan kelima jemari tangan Ify di atas meja–kegiatan isengnya
semenjak tak ada guru seperti sekarang ini–tiba-tiba terhenti. Kepalanya ia
balikan ke arah Sivia yang sedang berkutat dengan laptopnya. Terlalu serius.
Sampai tak menyadari kalau Ify sedang memandanginya sambil senyum-senyum tak
jelas.
“Kadang
hidup memang tak seindah mimpi. Tidak bisa diatur semau yang kita mau. Seperti
mimpi indah yang selama ini kita harapkan. Tetapi kita juga tak bisa selamanya
berada di alam mimpi. Ada kalanya kita bangun untuk menjalani kewajiban kita. Kewajiban
menghadapi kehidupan nyata yang cukup pahit tentunya.” Sivia berucap mantap.
Tak tau sedang bicara kepada siapa dirinya sekarang. Ify? Tidak. Sedari tadi
bukannya Ify hanya diam? Ya, Sivia memang tidak sedang berbicara dengan
sahabatnya itu. Melainkan ia sedang mengucap ulang tweet salah satu motivator yang muncul di Timeline twitternya.
“Ngomong
apaan sih, Vi?” merasa tak mengerti, Ify sedikit mengangkat kepalanya dari atas
meja dan bergerak mendekat mengikuti arah pandangan Sivia yang tertuju ke layar
laptop.
“Biasalah,
motivator dari twitter.” jawab Sivia
pelan dengan sedikit menggeserkan badannya agar Ify bisa dengan jelas membaca
kalimat bijak yang tadi dibacanya itu. Lalu Ify mengangguk. Seakan pikirannya
sependapat dengan kalimat bijak tersebut.
“Eh
Fy, ini anak-anak pada ke mana sih? Kok gue baru nyadar ya?” tanya Sivia mulai
bingung saat matanya tak menangkap seorang pun penghuni di kelas X.1 selain
dirinya dan Ify. Ify mengangkat bahu sebagai jawabannya. Jelas saja Ify tidak
tau, orang sedari tadi kerjaannya cuma melamun dan senyum-senyum tak jelas
seperti orang gila dadakan.
“Ya
udah keluar aja yuk, Fy? Laper juga gue,” sedetik setelah menutup laptopnya,
Sivia bergegas berdiri dari duduknya. Mengajak Ify yang masih menampakan
ekspresi malasnya untuk mencari aktivitas lain di waktu yang cukup senggang
ini. Ify membuang napas gusarnya. Pertanda kalau ia menolak ajakan dari Sivia
tersebut. Membuat Sivia yang sudah berdiri itu kembali duduk dan merangkul
pundak sahabatnya.
“Loe
gak apa-apa kan, Fy?” tanyanya khawatir. Namun Ify langsung menggeleng dan
cepat-cepat tersenyum lebar ke arahnya.
“Gak
apa-apa kok, Vi. Lagi males ngapa-ngapain aja. Hmm… oh iya, udah siapin gaun
buat besok malem belum?” tanya Ify beralih topik.
“Heh?
Gaun? Emang mesti pakai gaun, Fy?” jawab Sivia refleks. Matanya menatap lekat
ke Ify.
“Ya,
enggak juga sih. Kali aja gitu loe mau pakai gaun.” Ify menyeringai. Entah
kenapa ekspersinya terlalu cepat berubah menjadi berseri.
“Gue
gak betah pakai gaun. Terlalu kaku.” Sivia menaikan bahunya sedikit.
Memperjelas pengalamannya saat coba-coba memakai gaun waktu dulu. Ify terkekeh
mendengarnya.
“Ya
udah terserah loe aja nyamannya pakai apa. Toh gak ada peraturannya kan?” ucap
Ify seraya menyunggingkan senyum berbehelnya.
“Kayanya
sih gak ada, Fy.”
“Nah,
bagus dong kalau gitu!” respon Ify antusias.
“Hmm…
eh, loe sama siapa berangkatnya?” lanjut Ify refleks.
Sivia
berpikir seketika. Bingung harus menjawab apa ke Ify. Meskipun ia tau kalau Alvin
lah yang akan menemaninya nanti. Tapi tak tau kenapa Sivia masih ragu dengan
tawaran Alvin tadi pagi. Terkesan tak serius. Lantas Sivia menghela napas
kuat-kuat. Berusaha menepis bayang-bayang Alvin yang tiba-tiba muncul di
benaknya. Dan kini pandangannya kembali ke arah cewek yang setia menunggu
jawaban akan pertanyaan yang tadi disuguhkannya.
“Gue?
Hmm… belum tau, Fy.” ucap Sivia ragu-ragu. Berniat untuk menegaskan ulang terlebih
dahulu ke Alvin kalau ia benar-benar mengajaknya atau tidak sebelum Sivia
berkoar ke Ify.
“Aih…
masa sih? Emang belum ada yang ngajak loe gitu, Vi? Kak Cakka sih? Atau siapa
kek? Belum ada?” oceh Ify mulai bawel. Membuat Sivia menggeram kesal. Tidak
bisakah berbicara tidak seheboh itu untuk sekali ini saja? Sivia melipat
tangannya di dada.
“Loe
sih sama siapa?” tak berniat memperpanjang ocehan Ify, Sivia langsung berbalik
tanya. Dan hal itu berhasil membuat Ify berhenti dari kebiasaan bawelnya. Ify
tersenyum tiba-tiba. Air mukanya pun mendadak berubah menjadi cerah dan
berseri. Tidak seperti sedetik yang lalu, terkesan masam.
“Gue
sama kak Rio. Hehehe.” jawabnya singkat. Namun dengan nada bangga Ify
mengucapkannya. Entahlah kenapa.
“Heh?
Kak Rio? Kak Rio temennya kak Alvin?” kaget Sivia spontan.
“Yang
namanya Rio emang ada lagi di sekolah ini selain kak Rio Sebastian?”
“Setau
gue sih gak ada.”
“Ya
udah. Kenapa nanya?” Ify mendengus kemudian.
“Maksud
gue, kok bisa sih? Loe tau kan dia itu kaya gimana?” tanya Sivia mengingat
cerita-cerita seisi sekolah yang mengecap kalau Rio adalah playboy ternama yang ada di Sarfagos. Ify tak menjawab. Meskipun ia
tau apa maksud pertanyaan sahabatnya tersebut.
“Loe
gak takut dikibulin dia, Fy?” lanjut Sivia takut-takut.
“Loe
tenang aja, Vi. Toh yang minta itu gue kok. Jadi gak mungkin kalau kak Rio
bakal ngibulin gue. Gue tau kak Rio udah lama. Dan gue udah tau sifatnya dari
kak Alvin.” jelas Ify mantap. Dan itu berhasil membuat Sivia tergelak hebat
mendengarnya.
“Loe
suka sama kak Rio, Fy?” tanpa dipilah terlebih dahulu, Sivia mengeluarkan
pertanyaan yang cukup mengganjal di otaknya.
“Loe
udah tau jawabannya di mata gue kan, Vi? Kali aja dengan ini gue bisa merubah
sifat dia. Kenapa enggak?” kemudian Ify tersenyum dan merangkul pundak Sivia
lembut. Tak ragu kalau ia memang benar-benar menyimpan rasa kepada cowok yang
sudah hampir tiga tahun ini bermain di rumah Alvin kala minggu tiba. Mario
Sebastian. Si pemegang playboy in the
world.
“Ehem!
Tau deh yang lagi falling in love. Hahaha.
Ternyata rasa ketertarikan itu memang selalu datang kalau kita sudah mengenal
lebih dekat lagi seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya ataupun seseorang
yang biasanya kita pikir negatif. Yayaya… gue ngerti sekarang.” kata Sivia mantap.
Meski Ify tidak mengerti apa maksudnya, ia tetap tersenyum saat Sivia membalas
rangkulannya.
Wajah
Alvin tiba-tiba muncul lagi di benak Sivia. Tersenyum. Senyuman yang belum
pernah Sivia temui di diri siapapun. Tapi kenapa mesti Alvin? Kenapa mesti
wajah Alvin yang muncul begitu jelas di pikirannya? Kenapa bukan Cakka yang
faktanya pernah menaruhkan rasa aneh di hatinya? Dan… entahlah kenapa. Terlalu
sulit jika harus diperjelas apa penyebabnya. Yang pasti kini Sivia sudah
berusaha menepis bayangan itu walaupun kenyataannya tidak pernah bisa untuk
ditepis sedikitpun. Ya, sedikitpun.
***
Menatap
indahnya senyuman di wajahmu…
Membuatku
terdiam dan terpaku…
Dua
kalimat dalam satu bait lagu dari grup band
Ungu itu mungkin merupakan salah
satu gejolak yang sedang dirasakan oleh Agni. Di mana sekarang ia sedang duduk
di depan kelas sambil memandangi sosok manusia terindah yang pernah Tuhan
ciptakan di hidupnya. Sosok manusia yang kini sedang bercanda ria dengan seorang
sahabatnya yang tak lumayan jauh dari tempat Agni duduk. Namun meskipun begitu,
senyuman orang yang dipandanginya itu benar-benar begitu jelas terbesit di
bibir merah jambunya. Agni pun ikut tersenyum. Terlalu munafik kalau kini
dirinya tidak merasakan apa-apa dalam hatinya. Orang itu… Cakka Pratama.
Lagi-lagi
Cakka tersenyum. Membuat cekungan kecil di kedua pipinya tampak begitu manis
dengan sendirinya. Dan itu adalah satu dari seribu hal yang paling Agni sukai
yang ada di diri Cakka. Menurutnya, cowok berlesung pipi itu mempunyai daya
tarik tersendiri yang tidak dimiliki oleh cowok-cowok lain di alam raya ini.
Lantas Agni kembali tersenyum. Semakin memusatkan pandangannya ke arah cowok
yang waktu kecil pernah berjanji ingin menikahinya itu. Dan entah karena apa
bayang-bayang masa kecilnya kembali menyeruak di depan mata. Tak elak saat
sedang menatap Cakka tentunya.
Flashback
On.
Cakka
merengkuh Agni yang belum juga berhenti merengek karena rok merahnya robek
akibat ulah usil teman-teman cowok sekelasnya.
“Udah,
kamu jangan nangis lagi ya? Toh cuma robek sedikit aja kan? Entar aku bilang
sama Mami deh biar beliin rok yang baru buat kamu. Dan aku janji, aku gak akan
bilang masalah ini sama Mama kamu.” ucap Cakka mencoba menenangkan gadis kecil
berseragam putih merah dengan rambut dikuncir kuda itu.
“Tapi
aku takut dimarahin sama Mama.” lirih Agni ketakutan. Namun Cakka malah
tersenyum. Mengusap sedikit air mata yang mengalir tak cukup deras di pipi Agni.
“Hei,
jangan nangis lagi! Aku kan masih ada di dekat kamu. Kamu jangan takut ya? Aku
bakal belain kamu kok kalau kamu dimarahin sama Mama kamu. Kamu percaya sama
aku.” lagi-lagi Cakka meyakinkan gadis kecil itu.
“Kamu
janji?”
“Kapan
aku pernah bohong sama kamu? Kalau orang mau menikah kan harus saling jujur dan
saling melindungi. Iya kan?” sontak Agni mengernyit mendengarnya. Entah sudah
berapa kali Cakka berbicara soal pernikahan di depannya meski ia masih kelas empat
SD.
“Lagi-lagi
kamu bilang itu. Aku bosen dengernya.” sedikit malas, Agni melepaskan rangkulan
Cakka di pundaknya. Ia bangkit, mengibaskan debu yang menempel di pantatnya
karena sejak tadi mereka duduk di depan gerbang sekolah.
“Ih,
kok kamu gitu sih?” ujar Cakka yang juga ikut bangun di samping Agni dengan
raut wajah yang entahlah.
“Abis
kamu aneh-aneh aja bilangnya. Kita itu masih kecil, harus sekolah! Jangan
bicara soal nikah. Ngawur deh.” sudah jengah melihat ucapan aneh seorang Cakka,
Agni pergi begitu saja tanpa mengajak cowok yang tadi menenangkannya itu. Cakka
terdiam sementara. Mengangkat satu alisnya sambil terus memandang kepergian
Agni. Dan…
“Agniiiiii!!!
Tungguin aku!”
Flashback
Off.
Agni
mengerjapkan mata seketika. Berusaha menghilangkan bayang-bayang nostalgia yang
pernah ia alami dulu. Menggemaskan. Seakan baru sadar sepolos itukah mereka
dulu? Sampai dengan tanpa dosanya membicarakan soal pernikahan yang harusnya
menjadi bahan pembicaraan orang dewasa. Entahlah. Namanya juga anak kecil. Ada
yang bilang kalau perkataan anak kecil itu jujur. Tapi yang satu ini terkesan
asal. Ya, hanya kata-kata yang tak pernah mereka pikirkan sejauh seperti
sekarang ini.
Agni
pun menghela napas. Dan setelahnya ia bangkit dari lamunan panjangnya untuk
kembali ke dalam kelas. Toh sekarang Cakka juga sudah lenyap dari area
pandangannya. Tak tau ke mana.
***
Gadis
kecil itu tersenyum. Manis. Tak elak membuat kedua mata sipitnya tenggelam oleh
kelopak mata. Rambutnya yang tergerai panjang pun ikut bergerak-gerak begitu
angin menyapu dengan lembutnya. Dan sesekali tangan mungil gadis kecil itu menyentuh
rambut hitam pekatnya dan menyelipkannya cepat-cepat di sela-sela telinga
tatkala keadaan rambutnya mulai berantakan akibat tiupan angin yang mulai
kencang.
Dan
disaat rasa lelah itu menyeruak dalam tubuhnya, ia pun memilih untuk duduk
sejenak di pinggir lapangan. Beralih menyaksikan aksi teman-teman sekelasnya
yang sedang asyik bermain basket dengan dipandu sang guru.
“Minum?”
cukup kaget–karena memang baru saja duduk–saat ada seseorang dengan tiba-tiba
duduk di samping gadis itu sambil menyodorkan sebotol air mineral. Gadis itupun
lantas tersenyum begitu menyadari kalau yang sekarang duduk bersamanya itu adalah
teman satu kelasnya. Difandreas Rain. Atau yang lebih akrab dipanggil Difa.
“Ayo
ambil! Kamu haus kan?” tawar Difa sekali lagi.
“Beneran
ini buat aku?”
“Ya
terus?”
“Oh…
tapi gak ada racunnya kan?” Difa tergelak hebat. Kemudian memutar mata sambil
mencibir pelan.
“Terus
aja dicurigai! Aku tau kok kalau aku jahil anaknya. Tapi aku bukan penjahat,
Angel. Mana mungkin aku racunin kamu?”
Gadis
kecil itu bernama Angel. Teman sekelas Difa yang wajahnya mirip sekali dengan
sosok boneka Barbie. Selain mempunyai
rambut panjang yang indah, Angel juga memiliki senyuman yang manis serta
deretan gigi yang putih dan bersih. Membuat gadis itu semakin enak dipandang
lama-lama kalau sedang tersenyum seperti sekarang ini.
“Aku
cuma bercanda, Difa unyu! Hehehe. Makasih ya?” balas Angel setelah beberapa
detik tangannya menggenggam botol minuman pemberian Difa. Difa pun tersenyum membalasnya.
Dan ini entah karena kebetulan atau apa, senyuman mereka berdua itu benar-benar
mirip. Bahkan banyak juga guru-guru mereka yang bilang kalau mereka itu seperti
anak kembar yang identik jika dilihat dari fisik.
“Sama-sama,
Angel imut. Hahaha.” kemudian mereka saling tawa. Merasa lucu sendiri kalau
mereka sudah memanggil nama panggilan kesayangan mereka.
“Eh,
Mama kamu gimana keadaannya? Udah sehat kan?” tanya Angel penasaran. Faktanya
memang ia pernah bermain ke rumah Difa dan mengetahui kalau Mamanya sedang
sakit. Sekitar seminggu yang lalu.
“Hmm…
udah mendingan kok. Walaupun belum terlalu sehat juga sih. Masih pakai kursi
roda kalau mau ke mana-mana.” ujar Difa seadanya. Angel termangu. Seakan
terbawa arus saat menyadari perubahan air muka Difa yang meredup saat
mengungkit sang Mama.
“Syukurlah
kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Tapi maaf ya aku belum nengok lagi? Aku
sibuk les biola.” Difa melirik perlahan. Lantas ia tersenyum.
“Gak
apa-apa kok, Ngel. Dengan kamu nanyain keadaan Mama aku aja aku udah seneng.
Itu tandanya kamu perhatian sama Mama aku.” ucapnya yakin.
“Hehehe.
Soalnya Mama kamu baik banget sama aku. Gak kaya anaknya yang suka usil.” Angel
terkekeh kemudian begitu melihat ekspresi wajah Difa yang memajukan bibir
bawahnya.
“Cuma
kadang-kadang doang kali, gak sering.” bela Difa dengan sedikit menyenggolkan
pundaknya ke pundak Angel.
“Ya
tetep aja usil namanya. Wleeeee…” Angel menjulurkan lidahnya tiba-tiba.
“Ih,
gemesin banget sih jadi anak?!” tak mau kalah, Difa dengan segera mencubit
kedua pipi Angel keras. Lalu ia lari begitu saja meninggalkan gadis kecil yang
kini menekuk wajahnya kesal.
“DIFFAAAAAA!!!
Awas kamu ya?! Ish!” Angel menggeram. Tak perduli meski perhatian
teman-temannya yang lain kini beralih padanya.
***
“Gue
pinjam motor loe ya? Please…”
beberapa menit setelah Alvin bertemu dengan Cakka di dekat ruang guru, Alvin
merengek pelan ke arah adiknya tersebut–lebih tepatnya memalak secara halus.
“Terus
gue pulangnya gimana?” ujar Cakka yang masih ragu-ragu antara memberikannya
atau tidak kunci motor yang ada di genggamannya itu.
“Nebeng
sama Ify kek, atau siapa gitu temen loe? Si siapa namanya?”
“Ray?”
“Iya,
si Ray!”
“Si
Ray baru aja pulang. Mau ke mana sih? Udah, loe pulang bareng gue aja. Gak
perlu pinjam motor. Gampang kan?” kata Cakka menyarankan. Alvin malah memutar
mata mersponnya.
“Gue
gak mau balik, Cak. Gue mau…”
“Ayo
pulang, kak?” Sivia tiba-tiba muncul dari ruang guru dan berucap tanpa melihat
siapa-siapa saja yang ada di depannya itu karena terlalu sibuk membereskan isi
tasnya. Cakka terdiam seketika. Memandangi Sivia dengan penuh heran.
“Sivia?”
“Eh,
ada kak Cakka? Kok belum pulang sih?” tanya Sivia begitu menyadari kehadiran
Cakka yang berdiri berhadapan dengan Alvin.
“Ini
juga mau pulang, Vi. Kamu sendiri belum pulang?” balik tanya Cakka.
“Oh,
gitu. Hmm… aku juga baru mau pulang kok, kak. Cuma tadi aku ada perlu bentar
sama Bu Jessie.” jelas Sivia jujur. Cakka langsung mengangguk pertanda kalau ia
paham dengan penjelasan Sivia tersebut.
“Pulang
sendiri?”
“Oh,
enggak! Aku sama kak Alvin, tadi ngajak pulang bareng. Kenapa gitu?” sedetik,
setelah mendengar pernyataan Sivia barusan, Cakka melirik ke arah Alvin. Mulai
mengerti akan maksud Alvin yang merengek untuk meminjam motor pribadinya tadi.
Sedangkan Alvin hanya diam tanpa bicara sedikitpun walau Cakka sedang
menatapnya tajam. Ia menggaruk kepalanya asal.
“Hmm…
gak apa-apa kok. Cuma nanya aja.”
“Oh…
ya udah deh kalau gitu aku sama kak Alvin pulang duluan ya, kak? Ayo, kak?!”
pamit Sivia seraya menggenggam pergalangan tangan Alvin. Dan itu kontan membuat
mata Cakka dan Alvin kompak terbelalak.
“Eh,
hmm… Vi, loe duluan aja gih ke sana! Gue ada perlu bentar sama Cakka, ya?”
dengan perlahan, Alvin melepaskan genggaman Sivia di tangan kanannya. Sivia pun
membulatkan mulut.
“Oh,
ya udah deh kalau gitu. Aku tunggu di parkiran aja ya, kak? Aku duluan, kak
Cakka.” sebelum benar-benar melangkah, Sivia menyempatkan diri tersenyum ke
arah Cakka terlebih dahulu. Kemudian ia berlalu melewati tubuhnya dibarengi dengan
terciumnya aroma parfum khas milik Sivia oleh hidung Cakka.
“Gue
pinjam motor loe buat…”
“Buat
nganterin Sivia pulang?” belum juga Alvin menyelesaikan kalimatnya, Cakka yang
memang sudah mengerti itu langsung menyela.
“Ya.”
“Serius
mau nganter pulang?” tanya Cakka lagi dengan nada menyelidik. Membuat Alvin
berdecak hebat akibat pertanyaan-pertanyaan adiknya itu yang semakin membuatnya
jengah.
“Kapan
sih gue pernah bohong sama loe? Belum pernah kan? Udah deh jangan banyak omong!
Mana kuncinya?” tegas Alvin sambil menjulurkan tangannya.
“Tapi
bener kan nganterin pulang? Loe gak mau apa-apain dia kan, Vin?” Alvin memutar
mata kemudian.
“Ck!
Masa loe gak percaya sama abang loe sendiri?”
“Ya,
bukan gitu maksud gue. Gue cuma khawatir aja kalau loe berbuat yang
enggak-enggak sama Siv…”
“AH,
LAMA!!!” sudah benar-benar jengah dengan Cakka, Alvin pun langsung merebut
paksa kunci motor yang ada di genggaman adiknya tersebut.
“Alvin?!”
Percuma.
Sekencang apapun Cakka berteriak, kakaknya tak sedikitpun bergeming. Malahan ia
semakin kencang berlari menjauhi Cakka.
“Hmm…
yayaya. Gue ngerti sekarang. Gue mesti kasih tau ini ke Papi. Iya, harus!” ujar
Cakka mantap sambil mengeratkan pegangannya pada tali tas yang menggantung di
salah satu pundaknya. Lalu menghentakkan kakinya pergi dari tempat itu.
***
Cukup
panas siang ini. Dan bahkan tak ada sedikitpun tanda-tanda angin akan berhembus
ataupun ribuan tetes gerimis yang akan turun. Yang ada hanyalah pantulan terik
matahari yang panasnya cukup menusuk hingga ke daging dengan kepulan-kepulan
asap hitam pekat yang berlalu-lalang di udara.
Sekejap,
Difa menurunkan kakinya dari pedal sepeda yang sedang dikayuhnya tersebut.
Berusaha menyeka keringat yang bercucuran di keningnya. Napasnya sedikit
memburu. Apalagi sekarang ini dirinya sedang membonceng Angel yang pas masih di
sekolah merengek untuk menebeng pulang di sepedanya.
“Kamu
capek ya, Dif? Ya udah kalau gitu gantian deh!” tanya dan pinta Angel
pengertian.
“Enggak
kok, Ngel. Tenang aja. Aku kan kuat. Hehehe.” jawab Difa sambil tersenyum kecil
ke arah Angel yang masih duduk di belakang.
“Beneran?”
“Iya.”
“Aku
aja yang bonceng sini? Aku bisa kok, Dif. Aku kasihan lihat kamu kecapekan kaya
gini.”
“Kamu
gak percayaan banget sih sama aku? Aku bilang aku gak apa-apa, Angel. Udah deh
jangan bawel!” tukas Difa tegas. Untuk menepis kecemasan yang ada di benak
seorang Angel.
“Tapi
wajah kamu gak bisa bohong kan, Dif? Udah sini sepedanya!” pinta paksa Angel
yang kini sudah berdiri di samping Difa yang masih duduk di atas sepedanya.
Kontan Difa berdecak. Sifat anak yang satu ini entah kenapa sama persis dengan
kakaknya. Sivia.
“Ya
udah kalau kamu maksa. Nih!”
“Nah,
gitu dong! Ayo cepetan naik!” setelah dirasa cukup stabil, Angel menyuruh Difa
untuk segera naik sebelum ia menancap gas kuat-kuat.
“ANGEEEEEELLLLLL!!!”
teriak Difa kemudian saat baru saja sedetik ia duduk, Angel dengan kuatnya
mengeluarkan tenaga hingga sepeda itu melaju dengan cepat. Sangat cepat bahkan.
Sampai Difa hendak terjatuh karena belum sempat memegang pinggang Angel.
“Satu
sama! Hahaha.” teriak Angel sambil tertawa. Sungguh aneh mereka ini.
***
“Thanks ya, kak?” Sivia buru-buru turun
ketika motor yang dikendarai Alvin itu berhenti dua meter di depan pagar
rumahnya. Ia pun berdiri sambil menunggu si pengemudi membuka helm dengan
santainya.
“Mau
mampir dulu atau mau langsung pulang?” tanya Sivia lembut. Kakinya sedikit
bergerak-gerak tak jelas. Entah apa maksudnya.
“Lain
kali aja deh, Vi. Toh besok malem juga gue ke sini lagi kan?” tolak Alvin tak
kalah lembut.
“Heh?
Mau ngapain, kak?”
“Ck!
Masa loe lupa sih?” cibir Alvin geregetan. Sivia mengangkat bahunya bingung
karena tak mengerti atau mungkin pura-pura tak mengerti dengan kata-kata Alvin
tadi.
“Loe
beneran lupa sama yang gue bilang tadi pagi?” lagi-lagi Sivia menggeleng.
Membuat Alvin membuang napasnya kesal. Selain menyebalkan, cewek yang kini
berdiri dekat motornya itu ternyata pelupa juga.
“Hmm…”
Alvin mendesah seketika. Mulai malas dengan sikap Sivia tersebut.
“Oh
iya, pasti ini kan?” gertak Sivia kemudian dengan menunjukkan sebuah kartu
kecil berwarna merah jambu yang di salah satu permukaannya bertuliskan “Would you come to the party with
me?” tersebut.
Alvin pun tersenyum. Tersenyum kecil yang penuh arti jika saja Sivia dapat
menyimpulkan apa arti yang terkandung di dalamnya itu.
“Tapi ngomong-ngomong kak Alvin
beneran mau ajak aku ke Prom Night
besok? Kak Alvin gak lagi main-main atau bercandain aku kan? Kenapa enggak sama
temen-temen cewek kak Alvin yang lain aja?” tanya Sivia asal. Kali ini
pertanyaan yang cukup polos yang keluar dari mulut cewek cantik itu mampu
membekap detakan jantung Alvin secara sadis. Sampai-sampai Alvin terlalu sulit
untuk menjawab atau hanya sekedar bersuara saja. Seakan-akan mulutnya sudah di
skak mati dan tak bisa berfungsi seperti seharusnya.
“Kok diem? Aku salah ngomong ya?”
“Eh, hmm… enggak kok, Vi. Loe gak
salah ngomong. Gue… gue gak tau juga kenapa mau ajak loe. Cuma mau menuruti
kata hati aja.” jawabnya gelagapan. Ish!
Gue ngomong apaan tadi? Menuruti kata hati? Oh
my God! Jangan sampai Sivia salah mengartikan. Aih! rajuk Alvin dalam
hati.
Sivia mematung. Mencoba mencerna
kata-kata yang begitu saja keluar dari mulut Alvin. Rasanya seperti ada yang
mengganjal. Tetapi entahlah itu apa.
“Maksud kakak?”
“Ck! Kenapa sih tanya-tanya mulu?!
Emangnya loe gak suka? Ya udah kalau emang loe gak suka, gue batalin semuanya.
Gue bakal cari temen yang lain.” kini giliran Sivia yang tergelak mendengarnya.
Ternyata cowok tinggi berwajah oriental ini mudah sekali berubah sifat. Kadang
protagonis, dan sedetik kemudian antagonis. Tak tau seni apa yang ada di dalam
hatinya. Abstrak. Tak mudah untuk ditebak begitu saja. Otomatis butuh keahlian
khusus untuk Sivia dapat menangani sikap Alvin yang seperti itu.
“Biasa aja kali, kak. Orang nanya
gak ada salahnya kan?”
“Abis loe nanya mulu kaya wartawan.
Udah deh, kalau hal kecil seperti ini jangan ditanya-tanya lebih jauh. Kalau
gue maunya pergi ke Prom Night sama
loe, ya udah sama loe! Gak perlu tanya-tanya lagi alasannya kenapa. Apalagi
sampai bawel kaya tadi.” Sivia langsung terdiam. Tak berani merespon kalau
sudah melihat Alvin mengoceh seperti sekarang ini. Terkesan pasrah
mendengarnya.
“Hmm… sori, Vi. Gue gak maksud
buat…”
“Gak apa-apa kok, kak. Mungkin kak
Alvin bener, aku emang bawel orangnya. Maaf ya, kak?”
“Jangan diambil hati, please?! Serius deh, tadi gue refleks
aja gitu.”
“Gak apa-apa, kak. Hmm… ya udah,
mendingan kak Alvin pulang aja kalau emang gak mau mampir dulu sih. Mukanya
udah kucel.”
“Ngusir nih?”
“Ih, gak gitu maksudnya!”
“Terus?”
“Hmm… tau ah! Daripada salah mulu.”
“Hehehe.”
“Dih, malah ketawa lagi. Udah sana
pulang! Kalau ini seriusan ngusir.”
“Aih… iya-iya gue pulang. Dasar!”
“Cepetan!”
“Bawel loe!”
“Udah sana!!!”
“Iya, sabar dikit kenapa sih?! Mau
nyalain mesin dulu!”
“Bodo!”
“Dasar cewek aneh!” secepat kilat,
Alvin menjitak pelan kepala Sivia sebelum ia menancap gas. Cukup sakit sepertinya. Sampai Sivia mengerang
kesakitan.
“KAK ALVIIIIIIIIINNNNNNNNNNN!!!
DASAR PSIKOPAT!!! ARRRGGGHHH!!!” teriaknya asal sambil memegangi kepala bagian
depannya yang tadi menjadi sasaran empuk tangan Alvin.
“Sori, gak sengaja. Hahaha. Gue
balik ya? See you!” ucap Alvin
menyempatkan diri untuk tertawa di tengah-tengah kegiatannya menyetir motor.
Sivia mencibir.
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR