@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Selasa, 24 Desember 2013

He-art 7th


Would You Come to The Party with Me?


Pagi ini masih benar-benar pagi. Karena jam dinding masih menunjuk tepat ke angka enam. Tetapi seperti biasa, Sivia sudah duduk-duduk manis di salah satu tempat bersantai para siswa di SMA Sarfagos. Sebuah tempat duduk melingkar dengan tudung yang lumayan besar di depan kelas XI IPA 1 yang tak jauh dari gerbang sekolah berada.

Dengan bibir tersenyum, Sivia kembali melihat-lihat hasil jepretannya yang baru saja diambil maupun hasil jepretan yang dulu-dulu. Matanya berbinar.
“Sarfagos emang selalu indah.” gumamnya kagum. Selain memiliki pepohonan yang rindang, Sarfagos juga memiliki taman bunga yang kecil namun tersebar di setiap titik sudut yang ada di sekolah tersebut. Penuh warna. Dan itu membuat suasana pagi di SMA Sarfagos menjadi lebih indah karena adanya puluhan kupu-kupu yang terbang ke sana ke mari. Menakjubkan. Itulah sebabnya kenapa Sivia lebih suka berangkat lebih pagi dari siswa-siswi lain.
“Sekolah ini indah karena dihuni oleh orang-orang yang juga indah.” sedetik, Sivia melonjak kaget saat satu kalimat tersebut mengusik gendang telinganya. Ia menengok ke belakang dengan cepat.
“Kak Alvin?” gumam Sivia sangat pelan. Karena tak jauh dari tempatnya duduk, ia melihat sosok Alvin sedang berdiri di pinggiran koridor dengan gaya coolnya. Ditambah kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana serta rambut harajuku yang selalu acak-acakan itu membuat Alvin terlihat lebih mempesona di pagi seperti ini. Lantas Alvin tersenyum ke arah Sivia yang masih saja duduk sambil memandanginya heran.
“Pagi, Vi!” sapa Alvin semangat. Kakinya pun mulai melangkah mendekati Sivia.
“Hmm… pagi juga, kak!” balas Sivia canggung. Matanya memandang skeptis sosok cowok yang kini duduk santai di sampingnya. Merasa dipandang aneh, Alvin ikut mengernyit melihat Sivia.
“Kenapa? Kok kaya gitu lihatinnya? Baru lihat orang cakep lagi?” tanya Alvin asal. Terkesan ingin memecahkan rasa penasarannya kenapa Sivia memandangnya seperti itu.
“Heh? Hmm… enggak apa-apa kok, kak.”
“Oh ya?”
“Iya. Cuma tumben aja kak Alvin berangkatnya pagi-pagi gini. Handphonenya gak ketinggalan di kelas lagi kan?” tanya Sivia pelan. Alvin mengangguk paham. Memorinya seakan berputar kembali saat ia bertemu dengan Sivia pagi-pagi di sekolah seminggu yang lalu. Tepat saat ia hendak mengambil ponselnya yang tertinggal di kelas. Ia terkekeh.
“Oh, enggak kok. Lagi pengen berangkat pagi-pagi aja. Ya, siapa tau aja ketemu jodoh gue gitu pagi ini.” timpal Alvin asal sembari tersenyum manis. Sontak membuat Sivia mengernyit hebat. Tidak mengerti sama sekali maksud ucapan Alvin tersebut. Apa hubungannya sih jodoh sama berangkat sekolah pagi-pagi? batinnya.
“Gak usah sok bingung gitu deh mukanya. Tadi gue asal ngomong.” lanjut Alvin yang seakan paham dengan jalan pikiran Sivia. Lantas kemudian Alvin mengambil cepat-cepat kamera yang digenggam Sivia tersebut. Sedangkan yang punya kamera masih terdiam seribu bahasa. Entahlah.
“Ini foto gue kan?” tanya Alvin antusias saat ia sedang melihat-lihat hasil jepretan tangan Sivia dan tanpa sengaja menemukan sosok yang sudah tak asing lagi di matanya. Tentu saja kalau bukan sosok dirinya sendiri. Sivia lantas mendekat. Mengikuti pandangan mata Alvin yang menunduk ke arah kamera. Cukup berdekatan. Sampai Alvin mampu mencium rambut harum Sivia yang terurai di dekat pipinya. Begitupun Sivia yang juga menghirup aroma parfum Alvin yang begitu maskulin menurutnya.
“Iya, itu kak Alvin.” jawab Sivia membenarkan.
“Lho? Waktu kapan ini? Hmm… paparazzi.”
“Ish! Aku bukan paparazzi, kak. Aku fotografer. Lagian itu juga aku gak sengaja motret kak Alvin.” timpal Sivia tegas. Alvin mengangguk seraya membulatkan mulut.
“Hmm… hapus aja ya?” pintanya kemudian.
“Jangan!!!” halau Sivia keras. Dan dengan secepat kilat ia merebut kembali kameranya di tangan Alvin.
“Aih… kenapa? Itu kan foto gue, Vi?”
“Tapi ini kamera aku!”
“Kalau gue gak suka gimana?”
“Ya, bodo amat!”
“Ish!” desis Alvin sengit. Matanya melirik Sivia yang begitu erat memeluk kamera hitam kesayangannya itu.
“Asal kak Alvin tau ya! Setiap moment yang ada di dunia ini tidak akan pernah bisa diulang dua kali, kak. Seindah dan seburuk apapun moment itu, kita harus mengenangnya. Gak boleh menghapusnya begitu aja.” jelas Sivia mantap. Mendengar itu, Alvin hanya memajukan bibir bawahnya. Menganggap remeh cewek yang kini berlagak seperti para motivator bijaksana tersebut.
“Yayaya. Whatever you say, Sivia.” Sivia tergelak mendengarnya. Lalu dengan sengaja ia memotret wajah malas Alvin yang begitu lucu menurutnya.
“Lucu ih! Hahaha.” ucap Sivia dengan tertawa.
“SIVIA!!!” cukup sebal, Alvin langsung berusaha merebut kembali kamera milik Sivia setelah dengan usilnya cewek tersebut mengambil gambar tanpa sepengetahuan Alvin. Namun Sivia dengan segera menghindar dan tetap memotret meski Alvin sudah melindungi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Udah dong, Vi! Gue paling gak suka difoto.” mohon Alvin memelas. Namun tetap dengan melindungi area wajahnya.
“Gak mau!!!” tolak Sivia mentah-mentah. Alvin lantas menggeram. Mulai kesal dengan cewek yang menyebalkan ini.
“Ya udah gini aja deh, gimana kalau gue yang foto loe? Udah lama juga gue gak jadi fotografer, semenjak Mami gak ada.” ucap Alvin kemudian. Ia membuka wajahnya perlahan.
“Ini, kak.” spontan, Sivia menyerahkan kameranya dengan ramah ke Alvin. Hatinya entah kenapa selalu terenyuh setiap kali mendengar hal-hal yang menyangkut orang tua. Ia tersenyum manis.
“Ayo fotoin aku!” lanjut Sivia saat Alvin tak juga melakukan apa-apa ketika tangannya sudah menggenggam kamera. Refleks, Alvin langsung tersenyum menyadari aksi terpakunya.
“Oh, baiklah. Siap ya? Satu… dua…” klik! Satu jepretan menarik di dapatkan Alvin saat Sivia dengan gaya ala modelnya berpose di samping bunga-bunga anggrek yang bermekaran.

Dan setelah cukup banyak Alvin mengambil gambar, Sivia melangkah mendekatinya. Penasaran dengan hasil potretan dari tangan seorang Alvin Pratama.
“Cantik.” gumam Alvin pelan. Tapi cukup jelas terdengar oleh Sivia.
“Bagus-bagus, kak. Kayanya aku bakal punya saingan berat di sekolah ini.” sedikit bercanda, Sivia menatap menggoda ke arah Alvin.
“Jangan lebay deh!”
“Serius. Aku itu orangnya gak pernah bohong, kak.”
“Yayaya. Whatever you…” belum sampai Alvin menyelesaikan ucapannya, Sivia membekap mulut Alvin lembut.
Stop! Jangan dilanjutin! Hmm… sekarang gini aja deh, kak Alvin berdiri di situ!” pinta dan suruh Sivia kepada Alvin. Alvin mengernyitkan dahi heran.
“Ck! Jangan kebanyakan mikir deh! Udah sana!” meski Alvin sudah menampakan ekspresi bingungnya, Sivia tetap tak menggubris. Ia malah mendorong paksa Alvin agar berdiri di tempat yang tadi ditunjuknya. Sedangkan Alvin hanya pasrah.   
“Diem di situ ya? Bentar!” suruh Sivia sadis. Dengan sibuk sendiri, ia mengatur posisi kamera dengan sesekali melirik Alvin supaya tubuh jenjangnya tepat berada di frame kamera. Lantas ia mengatur timer dan langsung berlari ke arah Alvin setelahnya.
“Satu… dua… tiga… smileeeeee!!!” semangat Sivia sambil berdiri manis di samping Alvin. Untuk sementara Alvin mengernyit. Memandang aneh cewek di sampingnya tersebut.
“Bilang kek kalau loe mau foto sama gue. Jangan bikin orang bingung kaya gini.” cibir Alvin dengan memutar mata. Sivia menyengir. Perlahan, Alvin melangkah untuk mengambil kamera di atas meja yang tak jauh dari tempat dirinya dan Sivia berpose tadi.
“Kalau gitu kan kita bisa foto sendiri. Gak perlu pakai timer.” cetusnya setelah kembali berada di samping cewek yang masih mematung di tempat semula. Dan dengan cepat, tangan kanan Alvin merangkul pundak Sivia cepat-cepat, lantas tangan kirinya ia arahkan ke depan.
“Satu… dua… tiga… cheeeeeerrrrsss!!!” kini giliran Alvin yang berekspresi di depan kamera. Ralat! Bukan hanya Alvin. Melainkan Sivia juga yang dengan terpaksa merengkuh di dada bidang Alvin pun ikut tersenyum kecil ke arah kamera.
“Bagus kan?” tanya Alvin kemudian sambil menunjukkan hasil jepretan tadi. Sivia mengangguk cepat.
“Bagus!” kemudian tersenyum.
“Lagi ya?” pinta Alvin ramah. Dan lagi-lagi tangannya merangkul ke pundak Sivia. Membuat cewek cantik itu mematung dengan detakan jantung sudah tak karuan. Wajah Alvin benar-benar sangat dekat dengannya. Sangat dekat.

***


Rio berjalan gontai menyusuri koridor kelas. Malas. Tampak jelas dari wajahnya yang terlihat tak bergairah. Entah kenapa si pemilik titleplayboy in the world” ini tidak berseri seperti biasanya. Bahkan sampai-sampai ia tak menggubris sama sekali saat seseorang menyapa dari belakang. Entah karena tak mendengar  atau memang sengaja tak mendengar. Mungkin hanya dia dan Tuhan yang tau.
“Kak Rio?!” Rio masih tak merespon. Namun itu tidak berlangsung lama karena orang yang memanggil Rio tadi menepuk pundaknya pelan. Rio berdecak sebentar.
“Kak Rio itu tuli apa gimana sih?! Dipanggil-panggil dari tadi malah diem mulu.” baru saja Rio berhenti melangkah, orang yang memanggilnya itu sudah merutuk kesal. Rio pun menengok.
“Terserah gu… Ify?!” kata Rio sedikit syok. Syok karena baru mengetahui kalau yang memanggilnya tadi adalah Ify. Cewek berbehel dengan bulu mata sedikit lentik itu pun berdiri tepat di hadapannya sekarang. What the hell! She is so beautiful! umpat Rio dalam hati. Ekspresinya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.
“Hei?! Malah bengong lagi!” tukas Ify seraya melambaikan tangan di wajah Rio. Lalu Rio mengerjap cepat. Tersadar dari lamunan pendeknya.
“Eh, sori-sori. Ada perlu apa ya, Fy? Tumben manggil gue.” tanya Rio kemudian. Mencoba sesantai mungkin tentunya di hadapan Ify yang sungguh luar biasa cantiknya itu.
“Ini, gue mau titip handphone kak Alvin sama kakak. Kata kak Cakka, tadi kak Alvin ninggalin HP gitu aja di meja makan. Gak ngerepotin kan?” jelas Ify sembari mengeluarkan ponsel di saku seragamnya. Lantas Rio menerimanya dengan senang hati.
“Oh, nggak kok. Udah pikun kayanya tuh anak.” perlahan, mereka berdua mulai berjalan kembali. Berjalan sangat-sangat pelan seperti dua orang pengantin yang sedang menuju pelaminan.
“Loe sendirian aja, Fy?” tanya Rio memecah keheningan antara mereka.
“Gue gak sendirian kali, kak. Gue kan sama loe. Gimana sih?!” glek! Rio tergelak mendengarnya. Lagi-lagi baru kali ini ia mendapatkan jawaban seperti itu dari Ify. Padahal kalau dirinya bertanya hal yang sama ke cewek-cewek lain, jawabannya pasti enak didengar. Entah itu siapa yang bodoh. Yang bertanya atau yang menjawab?
“Hmm… oh iya ya? Aduh, serasa bego gue.” decaknya seraya menggaruk paksa kepala bagian belakangnya.
“Tapi bener kan kalau gue gak sendiri? Hehehe.” balas Ify terkekeh. Lucu sendiri melihat ekspresi bingung cowok di sampingnya tersebut.
“Bener sih. Tapi kesannya gimana gitu? Hmm…” Ify tak menggubris. Ia malah berhenti di hadapan Rio. Membuat Rio mengerem cepat-cepat langkah kakinya sebelum ia benar-benar menabrak tubuh Ify yang tiba-tiba berhenti begitu saja.
“Eh, kak?”
“Ya?”
“Hmm… bentar lagi kan Sarfagos mau adain Prom Night tuh? Hmm…” ucap Ify ragu-ragu. Jari-jarinya pun ia mainkan asal.
“Heh? Prom Night? Are you serious? Kok gue gak tau ya?” kaget Rio tiba-tiba. Wajahnya ia dekatkan ke wajah Ify yang masih berdiri di depannya. Kontan Ify langsung mengangguk.
“Lima rius bahkan. Bukannya hal ini udah diumumkan di mading kemarin-kemarin? Ke mana aja sih, kak? Tumben gak up to date.” Rio mengernyit.
“Oh ya? Wuih… kok gue bisa ketinggalan zaman gini sih? Ck!” Ify tersenyum melihatnya. Lucu sendiri melihat ekspresi Rio yang seperti orang menyesal.
“Hmm… makanya gue kasih tau sama loe, kak. Biar loe gak kudet-kudet amat lah. Hehehe.” ledek Ify.
“Oh, thanks.” balas Rio datar. Mulutnya ia bulatkan kemudian.
“Hmm… kak Rio mau dateng bareng gue gak? Cuma nawarin aja sih. Gak mau juga gak apa-apa.” ucap Ify cepat saat mereka kembali berjalan beriringan.
“Heh? Loe ngajak gue, Fy?”
“Ya gitu deh.” kata Ify mencoba sebiasa mungkin. Sedangkan Rio masih berpikir. Meskipun entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Mesti gue gitu ya? Kenapa enggak sama Alvin aja? Kalau enggak sama Cakka? Atau sama siapa kek?” Ify mulai jengah mendengarnya.
“Enggak juga sih. Ya udah kalau gak mau juga gak apa-apa. Toh gue juga gak maksa kok, kak.” timpal Ify datar.
“Eh, bukan gitu. Maksud gue, kan loe sama Alvin dan Cakka sepupuan tuh, ya mungkin bisa barengan berangkatnya gitu?”
“Ya, tapi kan kali aja kak Cakka sama kak Alvin mau sama orang lain. Gak tau juga kan?”
“Hmm… iya juga sih. Prom Night dalam rangka apaan emang?” Rio kembali berhenti melangkahkan kakinya. Tepat di perbatasan antara ruang kelas X dan kelas XI. Punggungnya ia sandarkan di pinggiran tangga.
“Kalau gak salah sih dalam rangka hari jadinya Sarfagos yang kesebelas, kak. Om Alex sama Pak Kepsek sengaja adain acara ini karena permintaan dari anak-anak OSIS.” jelas Ify panjang lebar.
“Oh, jadi gitu? Hmm… ya udah kalau gitu gue mau deh. Kapan emang?” tanya Rio. Ify  menarik napas lega.
“Besok malem, kak.” jawabnya.
“Oke sip. Entar gue ke rumah loe. Gue ke atas ya, Fy?” Rio menepuk pundak Ify perlahan setelah beberapa detik ia berkata.
“Oke, kak! Makasih ya sebelumnya?” respon Ify. Ia pun bergegas pergi dari tempatnya saat Rio mulai berjalan menaiki tangga menuju kelasnya. Namun mereka berdua menyempatkan diri berbalas senyum terlebih dahulu sebelum benar-benar berpisah. Sungguh mengesankan. Mungkin.

***


“Kak Cakka?!” Shilla sedikit menggancangkan langkahnya begitu dengan tepat matanya menangkap sosok Cakka yang tak jauh berjalan di depannya. Dan cukup berhasil mengusik telinga, Cakka pun berhenti sejenak. Lalu menengok ke arah sumber suara.
“Shilla?” gumam Cakka saat ia melihat Shilla sedang berlari kecil ke arahnya dengan senyuman khasnya.
“Pagi kak Cakka!” sapa Shilla sesampainya di depan Cakka. Napasnya masih memburu.
“Pagi juga, Shil. Hmm… kenapa sih lari-lari? Dikejar sama siapa?” tanya Cakka heran melihat Shilla yang lari-lari tak jelas. Shilla menyengir membalasnya. Dengan kedua tangan yang masih memegang dada, ia pun menghela napas perlahan.
“Gak dikejar sama siapa-siapa kok, kak. Lagi iseng-iseng aja sih lari-lari, sekalian olah raga gitu.” kilah Shilla asal. Sedangkan Cakka hanya membulatkan mulut mendengarnya. Lantas mereka berdua berjalan kembali.
“Kak Cakka sendirian aja? Kak Ray mana?” tanya Shilla santai. Wajahnya terus-terusan menghadap ke arah Cakka.
“Ehem! Nanyain kak Ray ya, Shil?” balas Cakka dengan nada menggoda.
“Eh, nggak kok. Shilla gak nanyain kak Ray. Shilla kan nanya sama kakak.”
“Oh gitu ya? Perasaan tadi ada yang sebut nama kak Ray deh? Apa kakak cuma salah denger kali ya? Hehehe.” ucap Cakka tetap dengan ekspresi menggoda.   
“Ih, apaan sih? Orang Shilla gak nanyain kak Ray juga. Maksud Shilla, kak Cakka kok tumben sendirian aja, biasanya kan sama kak Ray. Gituuu…” Cakka terkekeh mendengarnya. Wajah Shilla tiba-tiba terlihat begitu lucu kalau sedang salah tingkah seperti sekarang.
“Aduh, ada yang salah tingkah nih kayanya.”
“Ish! Apaan sih, kak?!” Shilla berdecak.
“Gak apa-apa.”
“Ih, nyebelin deh!”
“Tapi emang bener kan? Aih… udah deh gak usah bohong gitu, Shil.” lagi-lagi Cakka menggoda. Membuat cewek yang berada di sampingnya itu memajukan bibir beberapa senti. Namun Cakka tetap jahil meledek Shilla. Tak perduli meski banyak pasang mata yang menatap mereka dengan tatapan iri. Terutama para cewek-cewek yang mereka berdua lewati sepanjang koridor.
“Terserah kak Cakka aja deh. Hmm… kak Cakka sama siapa besok malem?” tanya Shilla tiba-tiba. Untuk sementara Cakka mengernyit. Tidak mengerti apa yang ditanyakan cewek tersebut.
Prom Night nanti.” lanjut Shilla refleks saat melihat ekspresi bingung Cakka.
“Oh, Prom Night? Hmm… belum ada sih. Kenapa gitu?” tanya balik Cakka santai.
“Oh ya? Hmm… gimana kalau nanti kak Cakka pergi sama ak…”
“HAI SEMUANYA!!!” sapaan Ray menyeruak keras di telinga Cakka dan Shilla. Sontak membuat keduanya terlonjak kaget. Ray yang merangkul Cakka dan Shilla dari belakang itupun hanya tersenyum tak jelas.
“Pada ngomongin gue ya? Aih…” tukas Ray asal. Giginya ia pamerkan serempak.
“Rajin amat ngomongin loe. Hahaha. Si Shilla tuh nanyain loe dari tadi.” balas Cakka jahil. Shilla tergelak. Cakka benar-benar menyebalkan pagi ini. Sangat menyebalkan bahkan. Sampai Shilla menekuk wajahnya.
“Kak Cakka, please deh!!!” Cakka lagi-lagi terkekeh. Sedangkan Ray malah berseri-seri wajahnya setelah mendengar ucapan Cakka tadi.
“Aih… serius? Ehem! Akhirnya ada juga yang nanyain gue. Hahaha.” rutuk Ray sambil cengengesan. Membuat Cakka dan Shilla mengernyit dan saling pandang.
“Eh, Ray?” Cakka balas merangkul sambil bertanya. Sementara Ray hanya merspon dengan tatapan bertanya balik.
“Besok malem loe belum dapet pasangan kan?” lanjut Cakka basa-basi.
“Maksudnya?”
“Itu lho? Prom Night.
“Oh… belum, kenapa gitu?” Cakka langsung melirik Shilla sebelum menjawab pertanyaan Ray. Shilla masih diam saja.
“Pas banget kalau gitu! Oke, besok malem loe pergi bareng Shilla. Kebetulan Shilla juga belum dapet pasangan. Iya kan, Shil?” ujar Cakka semangat. Mendengar hal itu, Shilla tergelak hebat. Ternyata niat awalnya untuk mengajak Cakka jadi gagal total. Ia hanya bisa pasrah. Toh Ray juga cukup menyenangkan menurutnya. Bahkan mungkin lebih dari menyenangkan.
“Wuih… seriusan ini, Cak?” bisik Ray ke telinga Cakka. Dengan cepat Cakka mengangguk yakin.
“Udah, loe besok malem jemput dia aja ke rumahnya. Loe udah tau rumah Shilla kan?”
“Tau sih. Tapi gue?”
“Gak usah banyak alesan! Loe kan suka tuh sama dia. Ini kesempatan emas loe buat dapetin dia. Oke?” mereka berdua masih tetap berbisik-bisik. Membuat cewek di samping kiri Ray mengangkat salah satu alisnya bingung.
“Lagi ngomongin apaan sih?” tanya Shilla penasaran. Sontak Cakka dan Ray langsung tersenyum dan menggeleng ke arahnya.
“Oh… gak lagi ngomongin apa-apa kok, Shil.” balas Cakka lembut.
“Hmm… kalau emang bener loe belum dapet pasangan, besok malem gue jemput loe ya?” sambung Ray sedikit ragu. Sebisa mungkin ia tersenyum. Berharap Shilla menerima tawarannya itu.
“Heh? Kak Ray mau jemput Shilla? Pas Prom Night nanti?” Ray pun mengangguk.
“Pokoknya besok malem kamu harus dandan yang cantik ya, Shil? Biar Ray terpesona sama kamu. Oke? Kita berdua duluan ya? Bye, Shil!” kata Cakka yang berhasil membuat kedua pipi Shilla berubah merah. Sekejap, Cakka dan Ray menjauh dari Shilla. Sedangkan Shilla entah kenapa senyumnya mengembang begitu Ray menatapnya terus-terusan walaupun Cakka sedang merangkulnya sambil berjalan. Apa itu yang namanya cinta? Sepertinya. Apa segitu cepatnya Shilla berpaling hati dari Cakka? Entahlah. Urusan hati memang paling susah untuk ditebak.

***


Keadaan kelas mulai ramai. Mungkin sebentar lagi bel masuk segera berbunyi. Dan sebelum Alvin ditatap heran oleh semua siswa-siswi Sarfagos karena duduk berduaan dengan Sivia yang faktanya dulu pernah ada konflik, Alvin pun segera pamit ke Sivia yang masih duduk memegangi kamera di sampingnya.
“Ini buat loe.” bisik Alvin sambil berdiri dari duduknya. Sivia yang menerima sesuatu berbentuk kartu berwarna merah jambu dari Alvin itupun hanya bisa mengernyit. Belum mengerti apa maksudnya tersebut.
“Kartu ini adalah tanda kalau loe udah punya gue. Jadi, kalau nanti ada seseorang yang mau ngajak loe berangkat bareng ke acara Prom Night besok malem, loe gak boleh terima.” Sivia kembali mengernyit mendengarnya. Terkesan ia ingin bertanya kenapa bisa seperti itu?
“Soalnya loe udah ada yang punya, yaitu gue. Loe ngerti kan maksudnya, Vi?” tanya Alvin memecah keheranan yang tersirat di raut wajah cewek cantik tersebut.
“Kok kesannya kaya maksa sih, kak?” ujar Sivia seketika. Namun Alvin tak menghiraukannya. Enggan memperpanjang komunikasi setelah ia menyadari keadaan sekitar yang semakin ramai.
“Intinya besok malem loe berangkat bareng gue. Oke? See you next time ya, Vi?” perlahan, Alvin mengacak lembut kepala belakang Sivia sebelum ia benar-benar melangkah pergi dari tempat Sivia duduk. Sedangkan Sivia masih berpikir sebisa mungkin. Tadi itu ngancem atau maksa sih? Gak ada lembut-lembutnya banget! ujarnya dalam hati. Matanya tak elak memandangi punggung Alvin yang semakin jauh. Lalu ia menggeleng.

Beberapa detik kemudian bel masuk pun berbunyi nyaring memecah suasana pagi di SMA Sarfagos. Sontak semua siswa langsung berlarian menuju kelasnya. Begitu juga Sivia yang kini sedang membenahi bajunya yang sedikit acak-acakan. Sejenak, ia menarik napas panjangnya. Kemudian berjalan dengan santai menuju kelas X.1 yang hanya beberapa langkah saja dari tempatnya duduk bersama Alvin tadi.

***


Terbilang sudah ada dua orang guru yang keluar masuk di kelas XI IPA 1 hari ini. Cukup menyenangkan. Karena memang entah kenapa guru-guru tersebut hari ini seperti para pelawak yang lebih banyak bercerita tentang hal-hal yang cukup membikin tertawa ketimbang mencatat rumus-rumus yang selalu mereka suguhkan sebelum-sebelumnya. Atau mungkin guru-guru juga memang manusia biasa yang mempunyai rasa jenuh. Jenuh untuk mengajar dengan serius. Jenuh jika terus-terusan dipandang killer oleh para siswa. Atau bahkan jangan-jangan mereka benar-benar sudah jenuh menjadi seorang guru? Entahlah. Anggap saja itu adalah salah cara ampuh untuk merefresh otak dari berbagai beban yang ditanggung seorang siswa ataupun seorang guru. Ya, begitulah.

Di meja ketiga barisan pertama, Cakka menenggelamkan wajahnya di atas meja setelah pelajaran kedua di kelasnya itu baru saja selesai. Tangannya terus-terusan memegangi perut sejak tadi.
“Ray, perut gue sakit nih ketawa mulu dari tadi.” lirihnya dengan menepuk paha Ray. Ray pun terkekeh.
“Emang gokil ya tuh guru! Tumben-tumbenan hari ini gak galak seperti biasanya. Lucu parah pokoknya! Hahaha.” ujar Ray sumringah.
“Hahaha. Bener juga. Kok gue baru nyadar ya? Aih…”
“Ah, payah loe!” Ray menyenggol pelan tubuh Cakka yang masih tertunduk di meja.
“Hmm… Cak? By the way loe sama siapa besok?” sambung Ray mulai berganti topik.
“Heh? Besok? Hmm… belum tau.” jawab Cakka sekenanya.
“Hah? Serius? Aih… masa iya seorang Cakka Pratama belum ada pasangan?” tukas Ray seraya memutar mata jengah.
“Entar deh gue nyari pas istirahat nanti. Gak mesti repot-repot lah, toh cuma Prom Night kan? Gak harus berpasangan.” Cakka berucap dengan santainya. Meski Ray sudah memandangnya skeptis.
“Loe gak mau kan kalau loe nanti jadi cowok satu-satunya yang gak punya pasangan di acara itu? Come on lah, Cakka! Kehabisan stok tau rasa loe.” Cakka terkekeh mendengarnya.
“Iya duh tau yang udah punya Shilla. Ngerti gue ngerti! Hahaha.”
“Ish! Gak nyambung loe ah!”
“Hahaha.”
“Gila loe dasar!” kata Ray seraya pergi dari kursinya.
“Ke mana?”
“Keluar. Gerah.” lantas Cakka menggeleng sebentar dan kemudian ikut melangkah menyusul Ray.

***


“Kok cuma gue aja sih yang ngenes nasibnya?” rutuk Rio mengiba. Kontan membuat kedua sahabatnya terkekeh puas melihat ekspresi tanpa dosa milik Rio tersebut.
“Seorang palyboy seperti Mario Sebastian bawa barang belanjaan mamanya? Oh my God! Mau taruh di mana tuh title playboy? Hahaha.” tukas Gabriel bahagia. Tak lupa juga Alvin yang ikut bahagia mendengar kata-kata Gabriel barusan. Bukan Alvin dan Gabriel namanya kalau mereka merasa iba melihat atau mendengar Rio tersiksa. Yang ada mereka sangat senang dan bahagia tentunya.
“Terus aja terus! Bahagia banget lihat gue tersiksa. Ish! Sahabat macam apaan kalian ini?” Alvin dan Gabriel lagi-lagi tertawa. Bahkan kali ini nadanya lebih meledek dari sebelumnya. Rio pun mendengus.
“Harusnya loe bangga dong sama kita. Kita itu kaya gini karena kita respect sama loe.” kata Alvin sambil merangkul pundak Rio. Sedangkan Gabriel masih terkekeh sambil asyik menjamah makanan ringan yang dipesannya tadi.
Respect apaan?! Tuh mulut kalau ngomong emang asal jeplak aja ya?! Yang ada kalian berdua tuh tertawa di atas penderitaan orang lain tau gak?!” tolak Rio dengan melepas paksa rangkulan Alvin.
“Aih… tertawanya kita itu sama dengan respectnya kita ke elo, Mario. Loe jangan negative thinking dulu dong!” sambung Gabriel mencoba menyangkal prasangka Rio. Alvin langsung mengangkat jempolnya.
Respect mata loe soek! Mana ada respect macam itu?!”
“Ya udahlah terserah loe. Setidaknya gue sama Gab udah berusaha respect sama loe. Iya enggak, Gab?” Alvin dan Gabriel kontan bertos ria. Tak perduli meski Rio mulai memasang wajah bad moodnya di hadapan mereka. Mereka berdua malah asyik sendiri.
“Oke, tak apalah! Yang penting besok malem gue bakal dansa bareng my bidadari Ify yang paling beautiful di planet bumi ini.” ceplos Rio kemudian. Bermaksud pamer kepada kedua sahabatnya yang kini tersedak hebat mendengar kabar tersebut.
WHAT???!!!” kompak Alvin dan Gabriel. Dengan santai, Rio mengangguk sambil tersenyum.
“Gak bohong kan loe?!” lanjut Gabriel memastikan. Lagi-lagi dengan mantap Rio menggeleng.
“Gak! Gak mungkin! Pasti loe bohong. Iya kan? Lagian mana mau si Ify sama loe.” sangkal Alvin yakin. Kali ini giliran Rio yang tertawa puas. Berbalas dendam dengan perlaukan mereka tadi kepada dirinya.
Whatever you say, Alvin and Gabriel! Yang jelas gue orangnya gak pernah bohong. Kalian tau sendiri kan?” ucapnya yakin. Alvin menatap Rio tajam. Begitupun Gabriel.
“Terserah! Pokoknya gue gak setuju kalau loe jalan sama Ify.”
“Loe gak berhak buat larang-larang, Vin! Asal loe tau ya! Itu semua bukan kemauan gue, tapi si Ify yang minta sendiri sama gue. Kalau loe emang gak setuju, ya silahkan aja bilang sendiri ke Ify.”
“HAH?! Oh my God! Udah eror tuh anak otaknya. Ck!” respon Alvin super kaget mendengar ucapan Rio.
“Loe pakai pelet apaan sih, Mario? Ampuh bener!” timpal Gabriel asal.
“Aih… sori-sori aja brader, gue gak minat tuh pakai pelet-peletan. Mungkin emang karena jodoh kali ya? Atau mungkin emang karena gue terlalu tamp…”
“Diem! Ocehan loe gak penting tau gak?!” seru Alvin kesal. Serentak, Rio dan Gabriel menelan ludah. Mulai was-was kalau sudah melihat Alvin membentak seperti itu.
“Apapun alesan loe tadi, gue gak perduli! Yang harus loe camkan sekarang, loe jangan sampai sedikitpun berbuat yang macam-macam sama ponakan gue! Ngerti?!” ancamnya sangar.
“Wuih… santai aja bos! Gue gak bakal macam-macam kok sama ponakan loe. Gue beneran suka sama ponakan loe itu, Vin. Seriusan deh!”
“Persetan dengan ucapan loe!”
“Kalau si Ify sampai suka beneran sama Rio gimana, Vin?” bisik Gabriel yang membuat suasana semakin panas.
“Dengan lapang dada harus terima lah! Iya gak, Vin?” bukannya Alvin yang menjawab, malah Rio yang menyambar pertanyaan Gabriel tadi.
“Terserah! Yang jelas, loe bakal berhadapan sama gue kalau si Ify kenapa-kenapa. Camkan itu!” lagi-lagi Alvin mengancam.
“Aih… nih anak! Loe itu anggap gue sahabat gak sih, Vin? Harusnya loe percaya dong sama gue. Bukan malah mojokin gue kaya gini. Gak solid loe ah!”
“Muka loe gak pantes buat dipercaya!” ucap Gabriel menimpali.
“NAH!!!”
“Ish! Songong ya loe berdua?!” Gabriel berdecak sinis. Menyadari betapa lucunya tingkah mereka ketika berdebat seperti sekarang ini. Parah! Bener-bener sahabat teraneh yang pernah gue temui selama ini. rutuk Gabriel dalam hati. Kemudian tersenyum simpul ke arah Alvin dan Rio yang memang duduk berdampingan di hadapannya.
“Hmm… oh iya, nasib kalian gimana besok malem? Masih setia jona kah? Atau emang udah move on dari title jona?” tanya Rio tiba-tiba. Menyeruakkan nada sinis di sela-sela pertanyaannya. Untuk sementara Alvin mendengus, terlalu malas mendengar pertanyaan yang tak penting yang keluar dari mulut salah satu sahabat dekatnya itu.
“Loe lihat aja nanti!” jawab Alvin kemudian. Sedangkan Gabriel hanya mengarahkan telunjuknya ke arah Alvin. Seakan menyutujui perkataannya tadi.
“Hahaha. Oke, gue pegang ucapan loe barusan. Hmm… siapa ya kira-kira cewek yang mau sama Alvin? Sivia? Oh, gak mungkin! Mana mau dia sama Alvin?” Alvin menyeringai sinis ke arah Rio yang seakan meremehkan dirinya. Sekarang loe boleh ngeremehin gue. Tapi besok? Jangan harap loe bisa ketawa seperti itu!
“Lah, ini lagi si Gabriel? Jalan sama cewek aja gue gak pernah tau. Udah sok-sokan mau gandeng cewek di Prom Night nanti. Ckckck… sungguh miris nasibmu, nak.” kini Rio beralih meremehkan Gabriel. Seakan Gabriel adalah orang satu-satunya di dunia ini yang mustahil mendapatkan cewek menurutnya.

Geregetan. Ingin rasanya kepalan tangan milik Gabriel dan Alvin itu mendarat di kedua pipi Rio. Dan itupun pasti sudah terjadi kalau saja Alvin dan Gabriel tidak lagi menganggap Rio sebagai sahabatnya. Ya, sahabat. Sahabat yang benar-benar jauh dari kata sahabat. Tapi faktanya mereka bertiga memang bersahabat. Entahlah.
Whatever!!!” serempak, Alvin dan Gabriel menggertak tepat di depan wajah Rio sebelum mereka meninggalkannya begitu saja. Menjadikan cowok tinggi kurus yang kini masih duduk itu mengernyit tak karuan. Dan lagi-lagi selalu begini. Selalu ditinggal. Seakan terdiskriminasi oleh kedua sahabatnya itu.
“Lagi-lagi gue yang kena. Ck!” mencoba pasrah, Rio pun menggaruk kepalanya dan langsung pergi menyusul Alvin dan Gabriel.

***


Ketukan bernada yang dimainkan kelima jemari tangan Ify di atas meja–kegiatan isengnya semenjak tak ada guru seperti sekarang ini–tiba-tiba terhenti. Kepalanya ia balikan ke arah Sivia yang sedang berkutat dengan laptopnya. Terlalu serius. Sampai tak menyadari kalau Ify sedang memandanginya sambil senyum-senyum tak jelas.
“Kadang hidup memang tak seindah mimpi. Tidak bisa diatur semau yang kita mau. Seperti mimpi indah yang selama ini kita harapkan. Tetapi kita juga tak bisa selamanya berada di alam mimpi. Ada kalanya kita bangun untuk menjalani kewajiban kita. Kewajiban menghadapi kehidupan nyata yang cukup pahit tentunya.” Sivia berucap mantap. Tak tau sedang bicara kepada siapa dirinya sekarang. Ify? Tidak. Sedari tadi bukannya Ify hanya diam? Ya, Sivia memang tidak sedang berbicara dengan sahabatnya itu. Melainkan ia sedang mengucap ulang tweet salah satu motivator yang muncul di Timeline twitternya.
“Ngomong apaan sih, Vi?” merasa tak mengerti, Ify sedikit mengangkat kepalanya dari atas meja dan bergerak mendekat mengikuti arah pandangan Sivia yang tertuju ke layar laptop.
“Biasalah, motivator dari twitter.” jawab Sivia pelan dengan sedikit menggeserkan badannya agar Ify bisa dengan jelas membaca kalimat bijak yang tadi dibacanya itu. Lalu Ify mengangguk. Seakan pikirannya sependapat dengan kalimat bijak tersebut.
“Eh Fy, ini anak-anak pada ke mana sih? Kok gue baru nyadar ya?” tanya Sivia mulai bingung saat matanya tak menangkap seorang pun penghuni di kelas X.1 selain dirinya dan Ify. Ify mengangkat bahu sebagai jawabannya. Jelas saja Ify tidak tau, orang sedari tadi kerjaannya cuma melamun dan senyum-senyum tak jelas seperti orang gila dadakan.
“Ya udah keluar aja yuk, Fy? Laper juga gue,” sedetik setelah menutup laptopnya, Sivia bergegas berdiri dari duduknya. Mengajak Ify yang masih menampakan ekspresi malasnya untuk mencari aktivitas lain di waktu yang cukup senggang ini. Ify membuang napas gusarnya. Pertanda kalau ia menolak ajakan dari Sivia tersebut. Membuat Sivia yang sudah berdiri itu kembali duduk dan merangkul pundak sahabatnya.
“Loe gak apa-apa kan, Fy?” tanyanya khawatir. Namun Ify langsung menggeleng dan cepat-cepat tersenyum lebar ke arahnya.
“Gak apa-apa kok, Vi. Lagi males ngapa-ngapain aja. Hmm… oh iya, udah siapin gaun buat besok malem belum?” tanya Ify beralih topik.
“Heh? Gaun? Emang mesti pakai gaun, Fy?” jawab Sivia refleks. Matanya menatap lekat ke Ify.
“Ya, enggak juga sih. Kali aja gitu loe mau pakai gaun.” Ify menyeringai. Entah kenapa ekspersinya terlalu cepat berubah menjadi berseri.
“Gue gak betah pakai gaun. Terlalu kaku.” Sivia menaikan bahunya sedikit. Memperjelas pengalamannya saat coba-coba memakai gaun waktu dulu. Ify terkekeh mendengarnya.
“Ya udah terserah loe aja nyamannya pakai apa. Toh gak ada peraturannya kan?” ucap Ify seraya menyunggingkan senyum berbehelnya.
“Kayanya sih gak ada, Fy.”
“Nah, bagus dong kalau gitu!” respon Ify antusias.
“Hmm… eh, loe sama siapa berangkatnya?” lanjut Ify refleks.

Sivia berpikir seketika. Bingung harus menjawab apa ke Ify. Meskipun ia tau kalau Alvin lah yang akan menemaninya nanti. Tapi tak tau kenapa Sivia masih ragu dengan tawaran Alvin tadi pagi. Terkesan tak serius. Lantas Sivia menghela napas kuat-kuat. Berusaha menepis bayang-bayang Alvin yang tiba-tiba muncul di benaknya. Dan kini pandangannya kembali ke arah cewek yang setia menunggu jawaban akan pertanyaan yang tadi disuguhkannya.
“Gue? Hmm… belum tau, Fy.” ucap Sivia ragu-ragu. Berniat untuk menegaskan ulang terlebih dahulu ke Alvin kalau ia benar-benar mengajaknya atau tidak sebelum Sivia berkoar ke Ify.
“Aih… masa sih? Emang belum ada yang ngajak loe gitu, Vi? Kak Cakka sih? Atau siapa kek? Belum ada?” oceh Ify mulai bawel. Membuat Sivia menggeram kesal. Tidak bisakah berbicara tidak seheboh itu untuk sekali ini saja? Sivia melipat tangannya di dada.
“Loe sih sama siapa?” tak berniat memperpanjang ocehan Ify, Sivia langsung berbalik tanya. Dan hal itu berhasil membuat Ify berhenti dari kebiasaan bawelnya. Ify tersenyum tiba-tiba. Air mukanya pun mendadak berubah menjadi cerah dan berseri. Tidak seperti sedetik yang lalu, terkesan masam.
“Gue sama kak Rio. Hehehe.” jawabnya singkat. Namun dengan nada bangga Ify mengucapkannya. Entahlah kenapa.
“Heh? Kak Rio? Kak Rio temennya kak Alvin?” kaget Sivia spontan.
“Yang namanya Rio emang ada lagi di sekolah ini selain kak Rio Sebastian?”
“Setau gue sih gak ada.”
“Ya udah. Kenapa nanya?” Ify mendengus kemudian.
“Maksud gue, kok bisa sih? Loe tau kan dia itu kaya gimana?” tanya Sivia mengingat cerita-cerita seisi sekolah yang mengecap kalau Rio adalah playboy ternama yang ada di Sarfagos. Ify tak menjawab. Meskipun ia tau apa maksud pertanyaan sahabatnya tersebut.
“Loe gak takut dikibulin dia, Fy?” lanjut Sivia takut-takut.
“Loe tenang aja, Vi. Toh yang minta itu gue kok. Jadi gak mungkin kalau kak Rio bakal ngibulin gue. Gue tau kak Rio udah lama. Dan gue udah tau sifatnya dari kak Alvin.” jelas Ify mantap. Dan itu berhasil membuat Sivia tergelak hebat mendengarnya.
“Loe suka sama kak Rio, Fy?” tanpa dipilah terlebih dahulu, Sivia mengeluarkan pertanyaan yang cukup mengganjal di otaknya.
“Loe udah tau jawabannya di mata gue kan, Vi? Kali aja dengan ini gue bisa merubah sifat dia. Kenapa enggak?” kemudian Ify tersenyum dan merangkul pundak Sivia lembut. Tak ragu kalau ia memang benar-benar menyimpan rasa kepada cowok yang sudah hampir tiga tahun ini bermain di rumah Alvin kala minggu tiba. Mario Sebastian. Si pemegang playboy in the world.
“Ehem! Tau deh yang lagi falling in love. Hahaha. Ternyata rasa ketertarikan itu memang selalu datang kalau kita sudah mengenal lebih dekat lagi seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya ataupun seseorang yang biasanya kita pikir negatif. Yayaya… gue ngerti sekarang.” kata Sivia mantap. Meski Ify tidak mengerti apa maksudnya, ia tetap tersenyum saat Sivia membalas rangkulannya.

Wajah Alvin tiba-tiba muncul lagi di benak Sivia. Tersenyum. Senyuman yang belum pernah Sivia temui di diri siapapun. Tapi kenapa mesti Alvin? Kenapa mesti wajah Alvin yang muncul begitu jelas di pikirannya? Kenapa bukan Cakka yang faktanya pernah menaruhkan rasa aneh di hatinya? Dan… entahlah kenapa. Terlalu sulit jika harus diperjelas apa penyebabnya. Yang pasti kini Sivia sudah berusaha menepis bayangan itu walaupun kenyataannya tidak pernah bisa untuk ditepis sedikitpun. Ya, sedikitpun.

***


Menatap indahnya senyuman di wajahmu…
Membuatku terdiam dan terpaku…

Dua kalimat dalam satu bait lagu dari grup band Ungu itu mungkin merupakan salah satu gejolak yang sedang dirasakan oleh Agni. Di mana sekarang ia sedang duduk di depan kelas sambil memandangi sosok manusia terindah yang pernah Tuhan ciptakan di hidupnya. Sosok manusia yang kini sedang bercanda ria dengan seorang sahabatnya yang tak lumayan jauh dari tempat Agni duduk. Namun meskipun begitu, senyuman orang yang dipandanginya itu benar-benar begitu jelas terbesit di bibir merah jambunya. Agni pun ikut tersenyum. Terlalu munafik kalau kini dirinya tidak merasakan apa-apa dalam hatinya. Orang itu… Cakka Pratama.

Lagi-lagi Cakka tersenyum. Membuat cekungan kecil di kedua pipinya tampak begitu manis dengan sendirinya. Dan itu adalah satu dari seribu hal yang paling Agni sukai yang ada di diri Cakka. Menurutnya, cowok berlesung pipi itu mempunyai daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki oleh cowok-cowok lain di alam raya ini. Lantas Agni kembali tersenyum. Semakin memusatkan pandangannya ke arah cowok yang waktu kecil pernah berjanji ingin menikahinya itu. Dan entah karena apa bayang-bayang masa kecilnya kembali menyeruak di depan mata. Tak elak saat sedang menatap Cakka tentunya.

Flashback On.

Cakka merengkuh Agni yang belum juga berhenti merengek karena rok merahnya robek akibat ulah usil teman-teman cowok sekelasnya.
“Udah, kamu jangan nangis lagi ya? Toh cuma robek sedikit aja kan? Entar aku bilang sama Mami deh biar beliin rok yang baru buat kamu. Dan aku janji, aku gak akan bilang masalah ini sama Mama kamu.” ucap Cakka mencoba menenangkan gadis kecil berseragam putih merah dengan rambut dikuncir kuda itu.
“Tapi aku takut dimarahin sama Mama.” lirih Agni ketakutan. Namun Cakka malah tersenyum. Mengusap sedikit air mata yang mengalir tak cukup deras di pipi Agni.
“Hei, jangan nangis lagi! Aku kan masih ada di dekat kamu. Kamu jangan takut ya? Aku bakal belain kamu kok kalau kamu dimarahin sama Mama kamu. Kamu percaya sama aku.” lagi-lagi Cakka meyakinkan gadis kecil itu.
“Kamu janji?”
“Kapan aku pernah bohong sama kamu? Kalau orang mau menikah kan harus saling jujur dan saling melindungi. Iya kan?” sontak Agni mengernyit mendengarnya. Entah sudah berapa kali Cakka berbicara soal pernikahan di depannya meski ia masih kelas empat SD.
“Lagi-lagi kamu bilang itu. Aku bosen dengernya.” sedikit malas, Agni melepaskan rangkulan Cakka di pundaknya. Ia bangkit, mengibaskan debu yang menempel di pantatnya karena sejak tadi mereka duduk di depan gerbang sekolah.
“Ih, kok kamu gitu sih?” ujar Cakka yang juga ikut bangun di samping Agni dengan raut wajah yang entahlah.
“Abis kamu aneh-aneh aja bilangnya. Kita itu masih kecil, harus sekolah! Jangan bicara soal nikah. Ngawur deh.” sudah jengah melihat ucapan aneh seorang Cakka, Agni pergi begitu saja tanpa mengajak cowok yang tadi menenangkannya itu. Cakka terdiam sementara. Mengangkat satu alisnya sambil terus memandang kepergian Agni. Dan…
“Agniiiiii!!! Tungguin aku!”

Flashback Off.

Agni mengerjapkan mata seketika. Berusaha menghilangkan bayang-bayang nostalgia yang pernah ia alami dulu. Menggemaskan. Seakan baru sadar sepolos itukah mereka dulu? Sampai dengan tanpa dosanya membicarakan soal pernikahan yang harusnya menjadi bahan pembicaraan orang dewasa. Entahlah. Namanya juga anak kecil. Ada yang bilang kalau perkataan anak kecil itu jujur. Tapi yang satu ini terkesan asal. Ya, hanya kata-kata yang tak pernah mereka pikirkan sejauh seperti sekarang ini.

Agni pun menghela napas. Dan setelahnya ia bangkit dari lamunan panjangnya untuk kembali ke dalam kelas. Toh sekarang Cakka juga sudah lenyap dari area pandangannya. Tak tau ke mana.

***


Gadis kecil itu tersenyum. Manis. Tak elak membuat kedua mata sipitnya tenggelam oleh kelopak mata. Rambutnya yang tergerai panjang pun ikut bergerak-gerak begitu angin menyapu dengan lembutnya. Dan sesekali tangan mungil gadis kecil itu menyentuh rambut hitam pekatnya dan menyelipkannya cepat-cepat di sela-sela telinga tatkala keadaan rambutnya mulai berantakan akibat tiupan angin yang mulai kencang.

Dan disaat rasa lelah itu menyeruak dalam tubuhnya, ia pun memilih untuk duduk sejenak di pinggir lapangan. Beralih menyaksikan aksi teman-teman sekelasnya yang sedang asyik bermain basket dengan dipandu sang guru.
“Minum?” cukup kaget–karena memang baru saja duduk–saat ada seseorang dengan tiba-tiba duduk di samping gadis itu sambil menyodorkan sebotol air mineral. Gadis itupun lantas tersenyum begitu menyadari kalau yang sekarang duduk bersamanya itu adalah teman satu kelasnya. Difandreas Rain. Atau yang lebih akrab dipanggil Difa.
“Ayo ambil! Kamu haus kan?” tawar Difa sekali lagi.
“Beneran ini buat aku?”
“Ya terus?”
“Oh… tapi gak ada racunnya kan?” Difa tergelak hebat. Kemudian memutar mata sambil mencibir pelan.
“Terus aja dicurigai! Aku tau kok kalau aku jahil anaknya. Tapi aku bukan penjahat, Angel. Mana mungkin aku racunin kamu?”

Gadis kecil itu bernama Angel. Teman sekelas Difa yang wajahnya mirip sekali dengan sosok boneka Barbie. Selain mempunyai rambut panjang yang indah, Angel juga memiliki senyuman yang manis serta deretan gigi yang putih dan bersih. Membuat gadis itu semakin enak dipandang lama-lama kalau sedang tersenyum seperti sekarang ini.
“Aku cuma bercanda, Difa unyu! Hehehe. Makasih ya?” balas Angel setelah beberapa detik tangannya menggenggam botol minuman pemberian Difa. Difa pun tersenyum membalasnya. Dan ini entah karena kebetulan atau apa, senyuman mereka berdua itu benar-benar mirip. Bahkan banyak juga guru-guru mereka yang bilang kalau mereka itu seperti anak kembar yang identik jika dilihat dari fisik.
“Sama-sama, Angel imut. Hahaha.” kemudian mereka saling tawa. Merasa lucu sendiri kalau mereka sudah memanggil nama panggilan kesayangan mereka.
“Eh, Mama kamu gimana keadaannya? Udah sehat kan?” tanya Angel penasaran. Faktanya memang ia pernah bermain ke rumah Difa dan mengetahui kalau Mamanya sedang sakit. Sekitar seminggu yang lalu.
“Hmm… udah mendingan kok. Walaupun belum terlalu sehat juga sih. Masih pakai kursi roda kalau mau ke mana-mana.” ujar Difa seadanya. Angel termangu. Seakan terbawa arus saat menyadari perubahan air muka Difa yang meredup saat mengungkit sang Mama.
“Syukurlah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Tapi maaf ya aku belum nengok lagi? Aku sibuk les biola.” Difa melirik perlahan. Lantas ia tersenyum.
“Gak apa-apa kok, Ngel. Dengan kamu nanyain keadaan Mama aku aja aku udah seneng. Itu tandanya kamu perhatian sama Mama aku.” ucapnya yakin.
“Hehehe. Soalnya Mama kamu baik banget sama aku. Gak kaya anaknya yang suka usil.” Angel terkekeh kemudian begitu melihat ekspresi wajah Difa yang memajukan bibir bawahnya.
“Cuma kadang-kadang doang kali, gak sering.” bela Difa dengan sedikit menyenggolkan pundaknya ke pundak Angel.
“Ya tetep aja usil namanya. Wleeeee…” Angel menjulurkan lidahnya tiba-tiba.
“Ih, gemesin banget sih jadi anak?!” tak mau kalah, Difa dengan segera mencubit kedua pipi Angel keras. Lalu ia lari begitu saja meninggalkan gadis kecil yang kini menekuk wajahnya kesal.
“DIFFAAAAAA!!! Awas kamu ya?! Ish!” Angel menggeram. Tak perduli meski perhatian teman-temannya yang lain kini beralih padanya.

***


“Gue pinjam motor loe ya? Please…” beberapa menit setelah Alvin bertemu dengan Cakka di dekat ruang guru, Alvin merengek pelan ke arah adiknya tersebut–lebih tepatnya memalak secara halus.
“Terus gue pulangnya gimana?” ujar Cakka yang masih ragu-ragu antara memberikannya atau tidak kunci motor yang ada di genggamannya itu.
“Nebeng sama Ify kek, atau siapa gitu temen loe? Si siapa namanya?”
“Ray?”
“Iya, si Ray!”
“Si Ray baru aja pulang. Mau ke mana sih? Udah, loe pulang bareng gue aja. Gak perlu pinjam motor. Gampang kan?” kata Cakka menyarankan. Alvin malah memutar mata mersponnya.
“Gue gak mau balik, Cak. Gue mau…”
“Ayo pulang, kak?” Sivia tiba-tiba muncul dari ruang guru dan berucap tanpa melihat siapa-siapa saja yang ada di depannya itu karena terlalu sibuk membereskan isi tasnya. Cakka terdiam seketika. Memandangi Sivia dengan penuh heran.
“Sivia?”
“Eh, ada kak Cakka? Kok belum pulang sih?” tanya Sivia begitu menyadari kehadiran Cakka yang berdiri berhadapan dengan Alvin.
“Ini juga mau pulang, Vi. Kamu sendiri belum pulang?” balik tanya Cakka.
“Oh, gitu. Hmm… aku juga baru mau pulang kok, kak. Cuma tadi aku ada perlu bentar sama Bu Jessie.” jelas Sivia jujur. Cakka langsung mengangguk pertanda kalau ia paham dengan penjelasan Sivia tersebut.
“Pulang sendiri?”
“Oh, enggak! Aku sama kak Alvin, tadi ngajak pulang bareng. Kenapa gitu?” sedetik, setelah mendengar pernyataan Sivia barusan, Cakka melirik ke arah Alvin. Mulai mengerti akan maksud Alvin yang merengek untuk meminjam motor pribadinya tadi. Sedangkan Alvin hanya diam tanpa bicara sedikitpun walau Cakka sedang menatapnya tajam. Ia menggaruk kepalanya asal.
“Hmm… gak apa-apa kok. Cuma nanya aja.”
“Oh… ya udah deh kalau gitu aku sama kak Alvin pulang duluan ya, kak? Ayo, kak?!” pamit Sivia seraya menggenggam pergalangan tangan Alvin. Dan itu kontan membuat mata Cakka dan Alvin kompak terbelalak.
“Eh, hmm… Vi, loe duluan aja gih ke sana! Gue ada perlu bentar sama Cakka, ya?” dengan perlahan, Alvin melepaskan genggaman Sivia di tangan kanannya. Sivia pun membulatkan mulut.
“Oh, ya udah deh kalau gitu. Aku tunggu di parkiran aja ya, kak? Aku duluan, kak Cakka.” sebelum benar-benar melangkah, Sivia menyempatkan diri tersenyum ke arah Cakka terlebih dahulu. Kemudian ia berlalu melewati tubuhnya dibarengi dengan terciumnya aroma parfum khas milik Sivia oleh hidung Cakka.
“Gue pinjam motor loe buat…”
“Buat nganterin Sivia pulang?” belum juga Alvin menyelesaikan kalimatnya, Cakka yang memang sudah mengerti itu langsung menyela.
“Ya.”
“Serius mau nganter pulang?” tanya Cakka lagi dengan nada menyelidik. Membuat Alvin berdecak hebat akibat pertanyaan-pertanyaan adiknya itu yang semakin membuatnya jengah.
“Kapan sih gue pernah bohong sama loe? Belum pernah kan? Udah deh jangan banyak omong! Mana kuncinya?” tegas Alvin sambil menjulurkan tangannya.
“Tapi bener kan nganterin pulang? Loe gak mau apa-apain dia kan, Vin?” Alvin memutar mata kemudian.
“Ck! Masa loe gak percaya sama abang loe sendiri?”
“Ya, bukan gitu maksud gue. Gue cuma khawatir aja kalau loe berbuat yang enggak-enggak sama Siv…”
“AH, LAMA!!!” sudah benar-benar jengah dengan Cakka, Alvin pun langsung merebut paksa kunci motor yang ada di genggaman adiknya tersebut.
“Alvin?!”

Percuma. Sekencang apapun Cakka berteriak, kakaknya tak sedikitpun bergeming. Malahan ia semakin kencang berlari menjauhi Cakka.
“Hmm… yayaya. Gue ngerti sekarang. Gue mesti kasih tau ini ke Papi. Iya, harus!” ujar Cakka mantap sambil mengeratkan pegangannya pada tali tas yang menggantung di salah satu pundaknya. Lalu menghentakkan kakinya pergi dari tempat itu.

***


Cukup panas siang ini. Dan bahkan tak ada sedikitpun tanda-tanda angin akan berhembus ataupun ribuan tetes gerimis yang akan turun. Yang ada hanyalah pantulan terik matahari yang panasnya cukup menusuk hingga ke daging dengan kepulan-kepulan asap hitam pekat yang berlalu-lalang di udara.

Sekejap, Difa menurunkan kakinya dari pedal sepeda yang sedang dikayuhnya tersebut. Berusaha menyeka keringat yang bercucuran di keningnya. Napasnya sedikit memburu. Apalagi sekarang ini dirinya sedang membonceng Angel yang pas masih di sekolah merengek untuk menebeng pulang di sepedanya.
“Kamu capek ya, Dif? Ya udah kalau gitu gantian deh!” tanya dan pinta Angel pengertian.
“Enggak kok, Ngel. Tenang aja. Aku kan kuat. Hehehe.” jawab Difa sambil tersenyum kecil ke arah Angel yang masih duduk di belakang.
“Beneran?”
“Iya.”
“Aku aja yang bonceng sini? Aku bisa kok, Dif. Aku kasihan lihat kamu kecapekan kaya gini.”
“Kamu gak percayaan banget sih sama aku? Aku bilang aku gak apa-apa, Angel. Udah deh jangan bawel!” tukas Difa tegas. Untuk menepis kecemasan yang ada di benak seorang Angel.
“Tapi wajah kamu gak bisa bohong kan, Dif? Udah sini sepedanya!” pinta paksa Angel yang kini sudah berdiri di samping Difa yang masih duduk di atas sepedanya. Kontan Difa berdecak. Sifat anak yang satu ini entah kenapa sama persis dengan kakaknya. Sivia.
“Ya udah kalau kamu maksa. Nih!”
“Nah, gitu dong! Ayo cepetan naik!” setelah dirasa cukup stabil, Angel menyuruh Difa untuk segera naik sebelum ia menancap gas kuat-kuat.
“ANGEEEEEELLLLLL!!!” teriak Difa kemudian saat baru saja sedetik ia duduk, Angel dengan kuatnya mengeluarkan tenaga hingga sepeda itu melaju dengan cepat. Sangat cepat bahkan. Sampai Difa hendak terjatuh karena belum sempat memegang pinggang Angel.
“Satu sama! Hahaha.” teriak Angel sambil tertawa. Sungguh aneh mereka ini.

***


Thanks ya, kak?” Sivia buru-buru turun ketika motor yang dikendarai Alvin itu berhenti dua meter di depan pagar rumahnya. Ia pun berdiri sambil menunggu si pengemudi membuka helm dengan santainya.
“Mau mampir dulu atau mau langsung pulang?” tanya Sivia lembut. Kakinya sedikit bergerak-gerak tak jelas. Entah apa maksudnya.
“Lain kali aja deh, Vi. Toh besok malem juga gue ke sini lagi kan?” tolak Alvin tak kalah lembut.
“Heh? Mau ngapain, kak?”
“Ck! Masa loe lupa sih?” cibir Alvin geregetan. Sivia mengangkat bahunya bingung karena tak mengerti atau mungkin pura-pura tak mengerti dengan kata-kata Alvin tadi.
“Loe beneran lupa sama yang gue bilang tadi pagi?” lagi-lagi Sivia menggeleng. Membuat Alvin membuang napasnya kesal. Selain menyebalkan, cewek yang kini berdiri dekat motornya itu ternyata pelupa juga.
“Hmm…” Alvin mendesah seketika. Mulai malas dengan sikap Sivia tersebut.
“Oh iya, pasti ini kan?” gertak Sivia kemudian dengan menunjukkan sebuah kartu kecil berwarna merah jambu yang di salah satu permukaannya bertuliskan Would you come to the party with me?” tersebut. Alvin pun tersenyum. Tersenyum kecil yang penuh arti jika saja Sivia dapat menyimpulkan apa arti yang terkandung di dalamnya itu.
“Tapi ngomong-ngomong kak Alvin beneran mau ajak aku ke Prom Night besok? Kak Alvin gak lagi main-main atau bercandain aku kan? Kenapa enggak sama temen-temen cewek kak Alvin yang lain aja?” tanya Sivia asal. Kali ini pertanyaan yang cukup polos yang keluar dari mulut cewek cantik itu mampu membekap detakan jantung Alvin secara sadis. Sampai-sampai Alvin terlalu sulit untuk menjawab atau hanya sekedar bersuara saja. Seakan-akan mulutnya sudah di skak mati dan tak bisa berfungsi seperti seharusnya.
“Kok diem? Aku salah ngomong ya?”
“Eh, hmm… enggak kok, Vi. Loe gak salah ngomong. Gue… gue gak tau juga kenapa mau ajak loe. Cuma mau menuruti kata hati aja.” jawabnya gelagapan. Ish! Gue ngomong apaan tadi? Menuruti kata hati? Oh my God! Jangan sampai Sivia salah mengartikan. Aih! rajuk Alvin dalam hati.

Sivia mematung. Mencoba mencerna kata-kata yang begitu saja keluar dari mulut Alvin. Rasanya seperti ada yang mengganjal. Tetapi entahlah itu apa.
“Maksud kakak?”
“Ck! Kenapa sih tanya-tanya mulu?! Emangnya loe gak suka? Ya udah kalau emang loe gak suka, gue batalin semuanya. Gue bakal cari temen yang lain.” kini giliran Sivia yang tergelak mendengarnya. Ternyata cowok tinggi berwajah oriental ini mudah sekali berubah sifat. Kadang protagonis, dan sedetik kemudian antagonis. Tak tau seni apa yang ada di dalam hatinya. Abstrak. Tak mudah untuk ditebak begitu saja. Otomatis butuh keahlian khusus untuk Sivia dapat menangani sikap Alvin yang seperti itu.
“Biasa aja kali, kak. Orang nanya gak ada salahnya kan?”
“Abis loe nanya mulu kaya wartawan. Udah deh, kalau hal kecil seperti ini jangan ditanya-tanya lebih jauh. Kalau gue maunya pergi ke Prom Night sama loe, ya udah sama loe! Gak perlu tanya-tanya lagi alasannya kenapa. Apalagi sampai bawel kaya tadi.” Sivia langsung terdiam. Tak berani merespon kalau sudah melihat Alvin mengoceh seperti sekarang ini. Terkesan pasrah mendengarnya.
“Hmm… sori, Vi. Gue gak maksud buat…”
“Gak apa-apa kok, kak. Mungkin kak Alvin bener, aku emang bawel orangnya. Maaf ya, kak?”
“Jangan diambil hati, please?! Serius deh, tadi gue refleks aja gitu.”
“Gak apa-apa, kak. Hmm… ya udah, mendingan kak Alvin pulang aja kalau emang gak mau mampir dulu sih. Mukanya udah kucel.”
“Ngusir nih?”
“Ih, gak gitu maksudnya!”
“Terus?”
“Hmm… tau ah! Daripada salah mulu.”
“Hehehe.”
“Dih, malah ketawa lagi. Udah sana pulang! Kalau ini seriusan ngusir.”
“Aih… iya-iya gue pulang. Dasar!”
“Cepetan!”
“Bawel loe!”
“Udah sana!!!”
“Iya, sabar dikit kenapa sih?! Mau nyalain mesin dulu!”
“Bodo!”
“Dasar cewek aneh!” secepat kilat, Alvin menjitak pelan kepala Sivia sebelum ia menancap gas.  Cukup sakit sepertinya. Sampai Sivia mengerang kesakitan.
“KAK ALVIIIIIIIIINNNNNNNNNNN!!! DASAR PSIKOPAT!!! ARRRGGGHHH!!!” teriaknya asal sambil memegangi kepala bagian depannya yang tadi menjadi sasaran empuk tangan Alvin.
“Sori, gak sengaja. Hahaha. Gue balik ya? See you!” ucap Alvin menyempatkan diri untuk tertawa di tengah-tengah kegiatannya menyetir motor. Sivia mencibir. 
Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR