Sunday...
Hari
ini hari minggu. Di mana hari teristimewa dan sangat ditunggu-tunggu bagi semua
orang. Karena mungkin di hari minggu seperti inilah mayoritas orang-orang di
Indonesia maupun seluruh dunia bersantai ria dari segala aktivitas kesibukannya
dalam sepekan belakangan. Apalagi bagi para pelajar yang faktanya selalu dan
selalu menunggu hari tersebut datang. Rasanya seperti menunggu hari yang langka
menurut mereka. Ditambah zaman-zaman sekarang itu anak sekolah bisa dibilang
jauh lebih padat kesibukannya ketimbang orang-orang yang sudah bekerja.
Sudah
terlalu lama Alvin duduk di pinggiran jalan sambil memandanga puluhan orang
berlalu-lalang di depan matanya. Dengan sedikit bantuan earphone yang menempel di kedua telinganya, mulut Alvin ikut
mengalunkan sebuah syair lagu demi mengusir rasa jenuh karena orang yang sejak
tadi ditunggunya itu belum juga datang.
“Kak?”
sapa seseorang datar tanpa sedikitpun memberi kode ke Alvin yang faktanya masih
sibuk memainkan handphone sambil
mendengarkan musik. Lantas Alvin tetap diam.
“Kak
Alvin?” sambung orang kedua dengan kaget. Ia mengernyit begitu Alvin lah yang
ia temui bersama sang adik. Mereka, Sivia dan Difa. Sedangkan sedari tadi Alvin
belum juga menyadari akan kedatangan dua orang yang kini berdiri di hadapannya
itu. Alvin terlalu sibuk bermain game
sambil duduk bersila. Dan perlahan Difa melirik ke arah kakaknya, bermaksud
meminta penjelasan apakah Sivia mengenal cowok yang pernah menyita sepedanya
tersebut atau tidak.
“Dia
temen sekolah kaka, Dif.” bisik Sivia pelan.
“Heh?
Temen kakak? Ish!” respon Difa kaget namun tetap dengan suara pelan.
“Kak
Alvin? Kak Alvin lagi ngapain di sini?” tanpa menunggu lama, Sivia menyentuh
pundak Alvin sampai Alvin tersentak dibuatnya.
“Eh,
siapa loe?!” refleksnya sambil berkuda-kuda seperti orang hendak bertarung.
“Sivia?”
lanjut Alvin setelah mengetahui kalau Sivia lah yang menyentuh pundaknya tadi.
Sivia hanya mengernyit melihatnya.
“Kak
Alvin lagi ngapain di sini?” tanya Sivia kemudian. Alvin tersenyum sesaat
sebelum menjawab.
“Gue?
Gue lagi nunggu orang nih, Vi. Tapi tau deh sampai sekarang tuh orang belum
dateng juga.” jawab Alvin yang memang belum menyadari akan kehadiran Difa di
sana.
“Ini
aku udah dateng, kak!” sambung Difa tiba-tiba dengan mengarahkan jari
telunjuknya ke arah hidungnya sendiri.
“Nah,
ini nih orangnya. Loe ke mana aja sih? Dari tadi gue nungguin loe di sini
sampai karatan juga. Apa loe udah lupa sama sepeda loe? Atau jangan-jangan loe
emang udah gak butuh sepeda butut itu lagi? Iya?! Aih…” tukas alvin panjang
lebar. Lagi-lagi Sivia mengernyit. Sedangkan Difa makin erat memegangi lengan
kanan kakaknya itu karena takut akan kesangaran Alvin yang pernah ia alami
sebelumnya.
“Heh,
ngapain loe megang-megang Sivia?! Lepasin!” Alvin melepas paksa genggaman Difa
di tangan Sivia dan langsung menarik Sivia ke sampingnya.
“Kak
Alvin apa-apaan sih?!” bantah Sivia yang mulai heran dengan tingkah dua cowok
di sekitarnya itu. Terlebih sama Alvin yang entah tiba-tiba marah-marah begitu saja
ke adiknya.
“Anak
ini anak yang gak bener, Vi. Masih kecil tapi udah berani bikin masalah.” jelas
Alvin antusias. Mendengar itu, Difa mendecak seketika.
“Bohong,
kak! Aku gak pernah bikin masalah. Aku…”
“Diem
loe! Gue gak lagi bicara sama loe. Ngerti?!” bentak Alvin langsung.
“Jangan
pernah bentak-bentak Difa di depan aku, kak! Lagian ini ada apa sih sebenernya?
Aku gak ngerti.” pinta Sivia yang sudah semakin bingung melihat Alvin dan Difa.
Alvin memutar mata jengah.
“Vi,
kok loe belain dia sih?! Emang loe tau dia itu siapa?” kini giliran Sivia yang
memutar mata. Seakan muncul kembali bayang-bayang Alvin yang begitu sangar di
benaknya.
“Asal
loe tau ya, Vi. Dia itu udah nabrak gue sampai celana sekolah gue sobek. Untung
gue gak kenapa-kenapa, coba kalau gue luka? Apa mau tanggung jawab tuh anak?!”
kata Alvin seraya menunjuk-nunjuk Difa yang masih berdiri mematung. Wajahnya
begitu jelas menampakan ekspresi ketakutan.
“Tapi
kan aku gak sengaja, kak. Rem sepeda aku blong. Toh aku juga udah minta maaf
kan sama kakak?” bela Difa sebisa mungkin.
“Heh,
gue gak butuh maaf dari loe! Ngerti?!” Difa tergelak mendengarnya. Begitupun
Sivia yang tak percaya dengan sifat Alvin yang belum berubah juga.
“Stop, kak! Jangan bentak-bentak Difa
lagi.” tukas Sivia sambil menepis tangan Alvin yang menunjuk wajah Difa. Alvin
berdecak hebat.
“Apaan
sih, Vi? Udah deh, loe jangan ikut campur urusan gue sama anak tikus satu ini.”
tiba-tiba tamparan keras mendarat di pipi Alvin setelah beberapa detik Alvin
menyudahi kalimatnya. Tamparan dari Sivia.
“Aku
kira kak Alvin akan berubah. Tapi kenyataannya? Ck! Aku nyesel pernah maafin
kak Alvin. Aku kecewa sama kakak.” ucap Sivia tajam. Alvin yang terus memegangi
pipinya yang terasa perih itupun hanya bisa diam karena tak mengerti dengan
ulah Sivia tersebut.
“Dia
adik aku, kak. Adik kandung aku! Aku masih terima waktu kakak mempermalukan aku
di kelas kakak dulu. Tapi tidak dengan ini, kak. Difa bukan tipe orang yang
kakak pikirkan. Difa itu anak yang baik, kak.” lanjut Sivia sambil merangkul
Difa erat. Sedangkan Alvin tercengang mendengar pemaparan Sivia. Anak ini adiknya Sivia? Oh my God! batin Alvin tak percaya.
Wajahnya berubah syok seketika.
“Ja…
jadi dia adik loe, Vi?” tanya Alvin sedikit gugup. Sivia tak menjawab langsung.
“Ayo
kita pulang, Dif.” ajak Sivia cepat-cepat. Sudah menjengah melihat wajah Alvin
yang kini tercoreng merah lagi di pikirannya itu.
“Tunggu,
Vi!” cegah Alvin dengan menggenggam tangan Sivia. Sivia membuang napas lalu
memutar balik badannya malas.
“Apalagi
sih, kak?”
“Gue
mau minta maaf. Sumpah gue gak tau kalau ini adik loe. Toh niat gue ketemuan
sama dia di sini baik kok, buat ngembaliin sepedanya. Gue minta maaf ya?” pinta
Alvin perlahan.
“Jangan
minta maaf sama aku, minta maaf sama Difa.” balas Sivia datar dan ogah-ogahan.
Dengan sedikit rasa tidak enak dan malu, Alvin mengalihkan pandangannya ke arah
cowok mungil yang masih betah berdiam sejak tadi. Ia kemudian menarik napas.
“Gak
usah, kak! Difa udah maafin kok.” tiba-tiba Difa memotong aksi Alvin yang mungkin
akan mengucapkan kata maaf padanya. Alvin lantas tersenyum. Diletakkanlah
tangannya di kepala Difa dengan lembut.
“Makasih
ya, Dif?”
“Ayo
pulang! Bawa sepeda kamu!” ajak Sivia lagi.
“Vi,
gue minta maaf. Please, loe jangan
marah lagi sama gue kaya kemarin. Gue tau gue salah,” cegah Alvin
terus-terusan.
“Difa
udah maafin kak Alvin kan? Ya udah, kenapa mesti minta maaf lagi sama aku? Aku
sama Difa mau pulang kak, mau jagain mama.” ucap Sivia tegas.
“Tapi?
Hmm… loe gak marah sama gue kan?”
“Perlu
dipikirkan lagi, kak. Permisi!” tanpa banyak bicara lagi, Sivia dan Difa
berlalu begitu saja di hadapan Alvin. Mereka seakan tak perduli dengan si cowok
yang kini menunjukkan rasa menyesalnya itu. Alvin mendecak hebat. Rambutnya ia
acak-acak tak menentu.
“Bego
banget loe, Vin! Ish!”sesalnya kemudian sambil tak henti memandangi punggung
Sivia dan sang adik yang semakin menjauh. Dan entah kenapa juga Alvin merasa
kakinya sangat susah untuk digerakkan. Setidaknya mengejar Sivia atau apalah
itu untuk sekedar meyakinkan kalau ia benar-benar menyesal.
***
“Hmm…
haus banget ya?” tanya Gabriel sedikit menggoda saat ia dengan lekatnya
meperhatikan wajah seorang cewek yang kini sedang duduk dan meneguk air mineral
di sampingnya tersebut. Cewek yang baru dikenal Gabriel seminggu yang lalu
itupun tersenyum kecil.
“Capek
banget nih. Maklumlah, baru lari pagi lagi.” ujarnya dengan senyum dan tak
henti mengipaskan telapak tangannya ke wajah. Gabriel terkekeh seketika. Cewek
sipit berponi itu terlihat lebih menawan kalau berkeringat.
“Faktor
U juga kali ya? Hehehe.”
“Heh?
Apaan itu?”
“Faktor
Usia.” lagi-lagi Gabriel terkekeh saat mendapati respon si cewek yang menekuk
wajahnya cepat-cepat.
“Sialan!
Kesannya tua banget gue. Ish!”
“Gue
gak bilang gitu lho.” kata Gabriel datar. Lantas ia langsung merebut botol
minuman milik si cewek dan segera meneguknya.
“Gabrieeeeeeellllll!!!
Itu minum gue!” Gabriel tak menggubris meskipun cewek di sampingnya itu berusaha
meraih tangan kuatnya itu.
“Udah
abis!” Gabriel pun berucap dengan tampang tak berdosanya sembari mengangkat
botol air mineral ke atas. Si cewek memanyunkan bibir seketika. Selalu seperti
ini. Menyebalkan. Bahkan Gabriel sangat-sangat menyebalkan dari yang ia
bayangkan sebelumnya. Saat ia belum mengenal dekat sosok cowok hitam manis
tersebut seminggu yang lalu.
“Jelek
serius! Udah deh jangan manyun! Gak nyadar tuh matanya ngilang kalau manyun
kaya gitu? Hahaha.” lagi-lagi Gabriel menggoda.
“Sialan!
Sipit itu imut tau! Minimalis, gak maruk.”
“Heh?
Dikira rumah kali ya minimalis? Hahaha. Kak Prissy… Kak Prissy… ada-ada aja
loe, kak.” cewek itu Prissy. Kakak kelas Gabriel di SMA Sarfagos.
Pagi
ini, setelah berlari pagi bersama setengah jam yang lalu, Gabriel dan Prissy
memilih duduk-duduk santai di bawah pohon beringin di pinggiran jalan yang
memang di sana juga sudah tersedia bangku panjang kecil yang cukup untuk tiga
orang. Selain untuk membuang lelah, mereka menyempatkan waktu sejenak untuk berbincang-bincang
mengenai hal apa saja yang bisa mereka bicarakan. Entah itu masalah pelajaran,
masalah keluarga, masalah pribadi, dan bahkan masalah hubungan mereka yang
semakin hari semakin dekat meski mereka belum lama kenal. Tetapi semua itu sudah
tidak bisa lagi dikategorikan hanya sekedar teman saja kalau dilihat dari
tingkah Gabriel ke Prissy ataupun sebaliknya. Kompak, mesra, dan tentunya sangat
serasi sekali ketika mereka berdua jalan bersama. Sepertinya ada satu hal yang
memang hanya mereka sajalah yang tau. Hal aneh yang begitu menyenangkan.
“Kak?”
panggil Gabriel pelan. Prissy menoleh sambil menghela napas jengah. Lagi dan
lagi, Gabriel memanggilnya dengan sebutan kakak. Dan itu paling tidak
disukai oleh cewek keturunan Indonesia –
Netherlands ini. Seakan mengerti dengan maksud ekspresi Prissy ke dirinya itu,
Gabriel dengan cepat tersenyum. Memamerkan lebar-lebar gigi-gigi putihnya.
“Mulai
deh. Harus berapa kali sih gue bilang sama loe, Gab? Jangan panggil gue kakak.
Panggil nama aja bisa kan?” tukas Prissy mulai bad mood. Entah kenapa ia paling tidak suka dipanggil kakak oleh
Gabriel. Terkesan tidak romantis. Sepertinya.
“Iya,
gue lupa. Maaf.”
“Tiap
hari juga loe bilangnya gitu. Ish!” Gabriel terkekeh mendengarnya. Lucu kalau
sudah melihat Prissy yang kesal seperti sekarang ini. Wajahnya memerah, pipinya
mengembung dan matanya seperti biasa, menghilang. It’s so nice, right?
“Hahaha.”
“Ketawa
pula! Gak ada yang lucu tau!”
“Ada
kok. Tuh lihat deh!” Gabriel menunjuk pipi Prissy tanpa ragu. Lalu ia tertawa
kembali.
“Tau
ah! Fix, loe nyebelin parah!”
“Hahaha.”
“Gabbbyyyyyyy!!!”
dengan sangat cepat Prissy membekap mulut Gabriel yang tak henti-hentinya
tertawa. Tak perduli dengan Gabriel yang kini gelagapan karena kekurangan
napas. Ia tak berniat melepaskannya sebelum cowok tersebut berhenti tertawa dan
meminta maaf kepadanya.
“Gabriel?”
panggil Prissy mulai heran saat tangan Gabriel tak lagi memberontak. Selain
itu, tangan Prissy juga tak merasakan ada hembusan napas di hidung Gabriel yang
masih dibekapnya tersebut. Ia mulai panik.
“Gab?
Gabriel?! Bangun Gab, bangun! Jangan bercanda deh!” semakin panik karena belum
juga ada respon dari Gabriel, Prissy menepuk pelan pipi cowok tersebut.
“Gabriel?
Aih… loe gak mati kan?” Prissy mendengus seketika. Mulai bingung apa yang harus
ia lakukan saat itu. Tapi akhirnya ia tersenyum sinis ke arah cowok yang masih
memejamkan mata di pangkuannya itu.
“Gue
hitung sampai lima ya? Kalau loe belum bangun juga, gue tinggal nih. Satu!” ancam
Prissy mantap.
“Dua!”
Gabriel tetap tak merespon.
“Tiga!”
“Empat!”
Prissy pun mengernyit karena Gabriel belum juga bergeming meskipun sudah ia
ancam seperti itu. Apa Gabriel benar-benar pingsan?
“Serius
nih gue tinggal beneran? Lim…” ucap Prissy lagi ragu-ragu. Dan…
“GABRIEEEEEELLLLLL!!!”
teriak Prissy kuat-kuat begitu bibir Gabriel dengan lancangnya mendarat mulut
di salah satu pipi chubby milik cewek
tersebut. Sedangkan si pelaku langsung berlari sejauh mungkin sebelum ia diamuk
ganas oleh Prissy.
“Itu
balasan dari gue karena loe udah bekap mulut gue seenak jidat loe. Hahaha.”
ujar Gabriel di tengah larinya. Prissy mendecak. Rasanya ingin sekali ia
menerkam hidup-hidup cowok menyebalkan itu. Walaupun ada rasa bahagia yang
terbesit di hatinya saat Gabriel mengecupnya tadi. Lantas ia ikut berlari
mengejar Gabriel yang sudah lumayan jauh.
***
Sedikit
kesulitan Ify membawa nampan yang berisi berbagai makanan dan minuman ke arah
teras depan rumah milik keluarga Alexa. Dengan sangat hati-hati pula ia
berjongkok untuk menaruh bawaannya tersebut pada dua sosok orang yang memang
sedang asyik bernostalgia memainkan gitar yang sering mereka mainkan sejak SMP
dulu. Lantas begitu jelas terlihat raut wajah bahagia di antara mereka yang
masih belum menyadari akan kedatangan Ify. Lebih tepatnya masa bodoh.
Begitulah.
“Iya
tau yang baru main gitar berdua lagi, dunia ini seakan milik berdua. Mendingan
gue ngontrak kali ya?” ledek Ify langsung membuyarkan keseriusan kakak sepupu
dan sahabat lamanya itu. Cakka dan Agnia. Mendengar hal tersebut, Cakka dan Agnia
saling pandang dan tertawa heran.
“Ngomong
apaan sih, Fy?” tanya Agnia tak mengerti. Ify hanya merespon dengan mengangkat
bahu. Entah ia sendiri bingung tadi bilang apa.
“Maklumlah,
semalem kan malem minggu tuh. Ya begitulah jadinya, suka aneh nih anak.” balas
Cakka asal.
“MAKSUD
LOE???!!!” sambung Ify sambil menajamkan tatapannya ke Cakka. Sedangkan Agnia yang
tak tau apa-apa itu lebih memilih diam dengan dahi yang berkerut memandang kedua
orang di hadapannya tersebut secara bergantian.
“Jangan
pura-pura bego deh. Semalem loe abis galau-galauan kan? Hahaha. Jona akut loe,
Fy. Sehina itukah loe jadi jomblo?” Cakka terkekeh. Apalagi saat melihat
ekspresi wajah sepupunya itu berubah drastis.
“Sialan
loe, kak! Mirror please! Kaya
sendirinya gak jona aja.” tukas Ify kesal. Cakka tersedak mendengarnya.
Sampai-sampai air yang baru saja masuk di tengah-tengah tenggorokannya itu
seakan ingin mendobrak keluar.
“Enak
aja loe bilang! Gue gak jomblo ya! Gue punya Agnia.” secepat kilat Cakka meraih
pundak Agnia dan menariknya ke dalam pelukan. Sontak membuat Agnia yang sejak
tadi hanya diam pun kini memandang Cakka bingung. Cakka meluk gue? batin Agnia. Jantungnya tiba-tiba berdetak jauh
lebih kencang dari sebelumnya. Pelukan hangat yang pernah hilang di hidupnya
tiga tahun yang lalu. Pelukan hangat yang selalu membuatnya merasakan hal yang
sama yang seperti ia rasakan sekarang. Pelukan hangat itu, pelukan ketenangan
bagi Agnia.
“Aih…
ngaku-ngaku loe, kak! Udah deh kalau jomblo gak perlu gengsi gitu.” balas Ify
tajam seraya melepas paksa pelukan Cakka di tubuh Agnia.
“Jangan
mau dipeluk-peluk sama kak Cakka, Ag! Entar loe gatal-gatal lagi.” sambungnya
kemudian. Agnia tersenyum simpul. Menurutnya, kelakuan Cakka dan Ify selalu
seperti itu. Tidak pernah berubah dari dulu. ia menggeleng.
“Busyet!
Dikira gue ulat keket kali ya?” Ify menunjuk wajah Cakka cepat-cepat. Seakan
membenarkan apa yang kakak sepupunya bilang barusan.
“Udah-udah!
Sesama jona jangan saling mendahului. Gampang kan?” lerai Agnia tiba-tiba.
Lantas ia langsung ditatap membunuh oleh kedua sahabat kecilnya itu. Tanpa
ragu, Agnia mengangkat jari tengah dan jari telunjuknya bersamaan.
“Loe
juga!!!” kompak Cakka dan Ify. Mereka bertiga kemudian tertawa. Kebersamaan
pertama mereka kali ini tidak jauh beda saat mereka SMP dulu. Hanya saja
sekarang mereka lebih terlihat dewasa ketimbang dulu yang masih polos-polos.
Di
tengah-tengah tawa riang mereka, Agnia mencuri pandang wajah tampan Cakka
dengan seksama. Dan lagi-lagi sama, tawa manis Cakka selalu membuat detak
jantungnya lebih berirama. Serta senyum manis Cakka juga mampu membuat Agnia
terhanyut ke dalam bayang-bayang masa lalunya waktu berumur delapan tahun. Di
saat mereka berdua berada di atas pohon ketika sedang menghadiri sebuah pesta
pernikahan salah satu teman dari orang tua mereka.
Flashback On.
“Kalau
kita udah besar nanti, kamu mau kan menikah sama aku kaya om sama tante di
sana?” tanya Cakka dengan polosnya. Matanya ia tujukan ke arah dua insan
manusia yang memakai pakaian serba putih di bawah sana dengan raut wajah super
bahagia. Agnia tak langsung menjawab, dirinya sibuk berpegangan di salah satu
ranting pohon supaya tubuhnya tak jatuh. Rasa takut akan ketinggian tampak
jelas di wajahnya.
“Aku
bakal jagain kamu kok.” lanjut Cakka dengan mengalihkan pandangan ke Agnia.
Agnia pun tersenyum sebisa mungkin.
“Gak
mau ah. Aku takut.” balas Agnia pelan. Cakka memanyunkan bibirnya.
“Takut
kenapa? Menikah itu menyenangkan. Kata mama, kalau orang menikah itu pasti
akkan selalu bersama. Gak ada yang bisa memisahkan. Jadi kalu kita menikah
nanti, kita kan bisa bersama-sama terus.” jelas Cakka sangat polos. Jas hitam
kecilnya ia lepaskan dan ia gantungkan di salah satu ranting.
“Bukannya
aku gak menikah sama kamu, Cak. Aku takut jatuh. Aku takut ketinggian.” ungkap
Agnia jujur. Tangan kirinya yang begitu erat memegang ranting serta tangan
kanannya yang memegang sepasang sepatu kaca dengan gemetar itu menandakan kalau
ia benar-benar ketakutan. Lantas Cakka merangkulkan tangannya ke pundak Agnia.
Berusaha menenangkan gadis kecil nan manis ini dari rasa takutnya.
“Kamu
jangan takut lagi, Ag. Aku kan ada di sini, di sisi kamu. Jadi kalaupun nanti
kamu jatuh, aku bakal ikut jatuh juga. Biar kita jatuh bareng-bareng.” ucap
Cakka sambil tersenyum. Tangannya pun semakin erat merangkul di pundak Agnia.
“Kamu
jangan takut lagi ya? Selama ada aku, kamu gak bakal jatuh.” Lagi-lagi Cakka
tersenyum. Wajahnya yang memang begitu dekat dengan Agnia itu semakin jelas
terlihat kalau di mata Cakka ada sesuatu yang ajaib yang bisa membuat Agnia merasakan
kenyamanan berlebih saat itu. Dan satu lagi, ucapan dari seorang anak kecil itu
jujur adanya.
Flashback Off.
“Eh,
kak Alvin ke mana sih?” tanya Ify setelah ia berhenti tertawa.
“Alvin?
Dia udah pergi dari pagi.” jawab Cakka sekenanya.
“Pergi?
Ke mana? Kok tumben hari minggu gini dia gak males-malesan di rumah?” Cakka
mengangkat bahu.
“Entahlah.
Mau goes keliling komplek kali. Soalnya tadi pagi dia bawa sepeda.”
“Oh
ya? Sejak kapan kak Alvin mau bawa sepeda?” tanya Ify heran. Sedangkan Cakka
langsung menggeleng. Semua yang Alvin lakukan akhir-akhir ini terlihat begitu
aneh dan tak seperti biasanya di mata Cakka dan Ify.
“Lagi
cari udara pagi kali. Ya udahalah, gak usah pada kebingungan gitu mukanya. Kali
aja si Alvin emang pengen berubah. Toh harusnya kalian seneng dong kalau alvin
berubah?” sambung Agnia yang sudah terbebas dari lamunan singkatnya.
“Seneng
sih, Ag. Tapi…”
“Bener
tuh kata Agnia. Udah, jangan diambil pusing. Kasihan nih dianggurin mulu dari
tadi.” Cakka menjamah makanan ringan yang ada di hadapannya setelah meletakkan
terlebih dahulu gitar berwarna coklat krem kesayangannya itu.
“Nah,
iya nih sayang kalau didiemin.” sambung Agnia ikut menyambar cemilan tersebut.
Sedangkan Ify yang masih berpikir keras tentang tingkah Alvin akhir-akhir ini
hanya bisa mengangkat bahu. Ia menarik napas gusar.
***
“Sivia
itu memang sayang banget sama Difa. Jadi wajar saja kalau dia marah waktu lihat
nak Alvin bentak-bentak Difa. Walaupun Difa anaknya nakal, tapi dia penurut dan
baik kok.” Alvin terenyuh mendengarnya. Apalagi saat melihat wajah pucat wanita
paruh baya di hadapannya itu entah kenapa dadanya mendadak terasa sesak.
Teringat akan sosok ibu tercinta yang sudah tidak ada lagi dalam hidupnya kini.
Alvin
berjongkok di depan kursi roda yang wanita paruh baya itu duduki. Setelah
sebelumnya ia ceritakan semua perlakuan jahat yang pernah ia lakukan terhadap
kedua anaknya tersebut. Sivia dan Difa. Ya, wanita paruh baya itu adalah ibu
dari Sivia. Setelah tadi pagi Alvin berdebat dengan dua orang kakak beradik
tersebut, entah kenapa Alvin tiba-tiba ingin menyambangi rumah Sivia yang
memang sudah diketahuinya beberapa waktu belakangan. Dan Alvin juga mengusahakan
datang lebih cepat dengan memilih menaiki taxi sebelum Sivia dan Difa terlebih
dahulu berada di sana. Karena Alvin tau Sivia akan menolak kalau ia meminta
izin terlebih dahulu untuk datang ke rumah demi meminta maaf atas perbuatannya
tadi ke Difa. Dan faktanya memang Sivia dan Difa belum juga hadir walaupun
Alvin sudah setengah jam berada di rumah mereka dan berbincang-bincang dengan ibunya.
“Apa
Alvin sudah keterlaluan menurut Tante?” ucap Alvin sungguh pelan. Matanya
memandang sendu ibu Sivia. Lalu menunduk setelah cukup sesak melihat tatapan
mata yang begitu dalam. Tatapan seorang ibu yang begitu sangat dirindukannya.
Meskipun itu bukan seorang ibu yang melahirkannya.
“Udah,
gak apa-apa kok. Tante tau, sebenarnya nak Alvin juga gak mau kan ngelakuin
itu? Tante juga ngerti, nak Alvin masih muda, emosinya masih labil. Belum
terlalu bisa mencerna mana yang harus dilakukan dengan tangan dan mana yang
harus dilakukan dengan otak. Nak Alvin masih dikendalikan oleh emosi.” balas
ibu Sivia lembut. Lantas tak ragu juga beliau membelai rambut Alvin yang masih
memegangi kedua tangannya sambil menunduk. Baru sekali ini beliau menemukan
sosok pemuda seperti Alvin. Mau mengakui kesalahan dan mau meminta maaf atas
perbuatan tak baik yang pernah dilakukannya. Beliau lalu tersenyum.
“Alvin
menyesal udah jahat sama orang lain.” lirihnya.
“Penyesalan
itu memang selalu datang terlambat. Tetapi lebih baik datang terlambat
ketimbang tidak datang sama sekali. Dan yang jelas, dengan nak Alvin mau
meminta maaf dan mau mengakui semua kesalahan yang pernah nak Alvin perbuat,
Tante sangat salut. Sekarang nak Alvin tenang ya? Sivia sama Difa pasti mau
maafin nak Alvin. Tante tau semua sifat anak-anak Tante.” perlahan ibu Sivia
mendongakkan kepala Alvin. Berusaha mengurangi ekspresi penyesalan yang ada di
raut wajah orientalnya.
“Dan
Tante akan bantu nak Alvin supaya Sivia mau memaafkan.” lanjut beliau. Alvin
tersenyum lebar. Dirasakannya genggaman tangan wanita paruh baya itu yang
semakin erat.
“Aku
boleh peluk Tante?” dengan tatapan memohon, Alvin meminta. Ibu Sivia langsung
mengangguk setelah beberapa detik ia tersenyum. Dan tanpa menunggu lama lagi,
Alvin memeluk erat tubuh wanita yang duduk di kursi roda tersebut. Hangat.
Nyaman. Pelukan yang sangat ia rindukan.
“Mama?”
“Kak
Alvin?” panggil Sivia dan Difa kompak saat kaki mereka baru menginjakkan kaki
di ambang pintu. Sedikit kaget, Alvin melepaskan pelukannya cepat-cepat.
“Kak
Alvin ngapain ke sini?” tanya Sivia menyelidik sambil tetap memperhatikan
kondisi ibunya. Siapa tau saja Alvin
berbuat yang tidak-tidak sama orang tuanya yang sedang sakit itu.
“Mama
gak apa-apa kan?” lanjutnya dengan merangkul. Beliau mengangguk.
“Jangan
bilang kak Alvin mau jahatin mamaku juga? Please
kak, Sivia tuh salah apalagi sih sama kakak? Sampai kak Alvin tega jahatin aku,
Difa, dan bahkan sekarang kakak mau coba jahatin mama aku juga?” timpal Sivia
dengan membelakangi orang tuanya. Alvin masih diam seribu bahasa. Meski
mulutnya sudah berusaha untuk mengeluarkan kata-kata, tapi suara itu seakan tak
ingin keluar. Begitu juga Difa yang ikut berdiam sambil memeluk ibunya dari
belakang.
“Via,
dengerin mama! Nak Alvin ke sini bukan untuk jahatin mama atau apapun yang kamu
pikirkan jelek tentang dia. Maksud nak Alvin datang ke sini baik, mau minta
maaf sama kamu, sama Difa juga. Dan nak Alvin juga udah bilang sama mama kalau
nak Alvin sangat menyesal udah jahatin kamu sama Difa. Kamu jangan marah-marah
lagi ya, sayang?” jelas ibu Sivia lembut saat ia melihat Alvin yang tak bisa
berkata apa-apa. Sivia memutar mata. Sudah tak percaya dengan permintaan maaf
dari mulut seorang Alvin.
“Mama,
kak Alvin juga udah pernah bilang gitu sama Via. Tapi mana buktinya? Dia masih
jahat juga sama orang. Bahkan dia sampai tega ambil sepeda Difa dan
meninggalkan Difa begitu aja di jalan. Dia itu pembohong, ma. Aku udah gak
percaya lagi sama perkataan dia.” ungkap Sivia mencoba meyakinkan.
“Sayang,
kamu gak boleh suudzon sama orang.
Nak Alvin itu benar-benar menyesal dan mau minta maaf sama kamu. Tadi dia
sampai sungkem sama mama.”
“Ya,
kali aja dia lagi cari muka. Kita gak tau kan?” deg! Jantung Alvin serasa
berhenti berdetak saat mendengarkan pernyataan Sivia tersebut. Rasa perih
tiba-tiba menggores tajam di dadanya itu. Karena selama hidupnya, Alvin tidak
pernah sekalipun mencari muka di hadapan orang. Apalagi demi mendapatkan
sesuatu hal yang ia inginkan. Sedangkan ia lebih suka bertindak secara kasar
dan apa adanya ketimbang harus sok baik atau yang lebih tepatnya cari muka
seperti yang Sivia bilang tadi.
“Aku
gak pernah sedikitpun punya niat untuk cari muka sama orang. Kamu harus ingat
itu! Aku ke sini bener-bener mau minta maaf sama kamu, sama Difa juga. Aku tau
aku salah, dan aku juga tau kalau aku udah melanggar janji sama kamu. Makanya
aku datang ke sini buat minta maaf, bukan untuk mencari muka.” sambung Alvin
tiba-tiba. Matanya mulai memerah.
“Hmm…
kalau kamu emang gak bisa maafin aku lagi, aku terima kok. Yang jelas aku udah
minta maaf sama kamu, sama Difa, sama Tante juga. Maaf kalau aku udah ganggu
waktu kalian. Tante, aku pulang. Permisi!” pamit Alvin kemudian. Kakinya ia
langkahkan lebar-lebar. Namun…
“Kak?!”
belum sempat untuk Alvin melewati pintu rumah Sivia, Difa dengan eratnya
mencengkeram tangan kanan milik Alvin.
“Kak,
Difa udah maafin kakak kok. Kakak jangan pulang ya? Main dulu di sini, Difa ada
PS lho di atas. Mau lawan aku main bola gak, kak?” ajak Difa dibarengi senyumannya.
“Makasih
ya, Dif? Mungkin lain kali aja, kalau kak Sivia udah maafin kakak. Kakak pergi
ya?” gumam Alvin sambil menepuk pelan pundak anak SMP bermata sipit serta
berambut sedikit ikal tersebut.
Di
sisi lain, Sivia masih berdiri membelakangi ibunya. Menatap Alvin yang kini
berjalan meninggalkan Difa yang tadi sempat mengejarnya. Ia menarik napas
pelan.
“Kamu
gak mau kejar Alvin, sayang?” tanya ibu Sivia lirih. Sivia tak merespon. Bahkan
menengok pun tidak sama sekali. Entah karena marah atau karena memang tak
mendengar.
“Semua
orang itu pernah melakukan kesalahan, sebaik dan seburuk apapun sifatnya.
Karena manusia tidak ada yang sempurna. Tapi, asal kamu tau, sebaik-baiknya
manusia adalah manusia yang mau memaafkan kesalahan orang lain dan memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk menebus semua kesalahannya.” lanjutnya.
Sivia tetap terdiam. Mulutnya begitu saja terkunci.
“Kak,
kejar kak Alvin dong! Masa kakak tega sih sama kak Alvin? Dia kan udah
bela-belain ke sini buat minta maaf. Dia juga udah mengakui semua kesalahannya
di hadapan kita. Gak ada salahnya kan kalau kakak maafin dia? Toh aku juga
yakin kok kalau kak Alvin itu aslinya baik.” kini giliran Difa yang
mengeluarkan pembelaannya terhadap Alvin. Sivia memandang adiknya seketika.
“Kalau
kakak kaya gitu, terus apa bedanya kak Via sama kak Alvin? Emangnya kak Via gak
pernah ngelakuin kesalahan selama hidup?” Sivia lantas tergelak mendengarnya.
Yang dikatakan adiknya tersebut benar adanya. Bukan manusia namanya kalau tidak
berbuat salah, tetapi malaikat. Dan tentu Sivia selamanya tidak akan bisa
menjadi malaikat. Dan baru saja Difa mau mengeluarkan suara lagi, Sivia sudah
berlari keluar pintu. Mengejar Alvin tentunya. Difa pun tersenyum melihatnya.
Begitu pula wanita paruh baya yang duduk tak jauh di tempat Difa berdiri.
***
Alvin
berjalan malas di pinggiran jalan. Dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku
celana serta sesekali kakinya menendang apa saja yang ia temui di sana. Karena
baru kali ini Alvin merasakan suasana hati yang begitu aneh. Marah, kesal,
emosi, gemas, sebal, jengah, dan apapun itu istilahnya kini ada semua di dalam
dada seorang Alvin.
Samar-samar,
telinganya menangkap sebuah suara yang tak begitu asing lagi baginya. Suara
itu, suara yang beberapa menit lalu keluar dari mulut seorang cewek cantik
bermata tipis. Suara Sivia. Lantas Alvin berhenti melangkah. Mencoba memastikan
kalau itu bukan suara halusinasi yang menyeruak di gendang telinganya.
Perlahan, Alvin menengok dan melihat Sivia sedang berlari ke arahnya. Ia
mengernyit.
“Kak
Alvin jalannya cepet banget sih? Capek tau?!” cerca Sivia di tengah-tengah
napasnya yang memburu serta kedua tangannya yang memegangi perut karena
kesakitan akibat berlari kencang untuk mengejar Alvin.
“Sivia?”
gumam Alvin lirih. Terkesan bingung melihat sosok cewek yang tadi sempat
memarahinya dan kini ia bersikap sedikit konyol di hadapannya itu.
“Kenapa
jalan terus sih, kak? Aku kan udah panggil-panggil kakak.” kata Sivia kesal.
“Heh?
Loe manggil gue?” respon Alvin yang masih menampakan wajah bingungnya.
“Iya,
siapa lagi?”
“Oh,
hmm… maaf, tadi gue gak denger. Kenapa emang?” tanya Alvin datar. Sivia menarik
napas. Wajah Alvin saat ini seperti bayi yang tak ada dosanya sama sekali di
mata Sivia. Kemudian Sivia tersenyum.
“Hmm…
aku udah maafin kakak.” jelas Sivia singkat. Namun kalimat itu bagaikan angin
kencang yang mampu menerbangkan hati Alvin ke atas sana. Senang. Entah senang
karena apa. Apa karena Alvin sudah dimaafkan oleh Sivia atau karena ada hal
yang lain? Entahlah. Yang pasti saat ini Alvin merasa sangat senang.
“Maafin
aku ya, kak? Tadi aku udah marah-marah sama kakak. Aku udah nuduh kakak yang
enggak-enggak. Aku minta maaf.” ungkap Sivia setengah menunduk. Namun
cepat-cepat Alvin mengangkat dagunya. Memberikan senyuman termanis yang ia
punya ke arah cewek yang juga manis jika dipandang sedekat ini.
“Makasih
banyak ya, Vi? Aku gak nyangka kalau kamu bakal maafin aku untuk kedua kalinya.
Dan kamu gak perlu minta maaf sama aku, kamu gak salah. Yang kamu lakuin ke aku
tadi, itu gak sebanding sama yang pernah aku lakuin ke kamu. Jadi kamu gak
perlu buang-buang tenaga buat minta maaf sama aku.” Alvin berkata begitu
lembutnya. Tak heran membuat Sivia terenyuh mendengarnya. Apalagi kini wajahnya
dan wajah Alvin berjarak sangat dekat. Sekitar lima sentimeter.
“Makasih
ya, kak?” balas Sivia ikut lembut. Matanya tiba-tiba berbinar saat Alvin balas
tersenyum. Matanya yang segaris serta sedikit cekungan kecil di kedua pipinya
itu menyadarkan Sivia kalau Alvin benar-benar cowok yang sangat mempesona.
Bahkan lebih mempesona dari cowok yang akhir-akhir ini bersinggah di otaknya.
Cakka.
Tak
sadar, Alvin melengkungkan tangannya erat di punggung Sivia. Sebagai tanda
terima kasihnya kepada cewek cantik tersebut. Sivia pun ikut membalas
pelukannya. Detak jantung mereka tiba-tiba menjadi seirama.
“Eh,
maaf. Gue gak maksud buat…” kata Alvin saat menyadari ulahnya.
“Gak
apa-apa kok, kak. Hmm… kakak mau ke mana? Beneran mau pulang?”
“Tadi
sih niatnya gitu. Sekarang, gak tau deh mau ke mana.” jawab Alvin bingung.
“Ya
udah kalau gitu kakak mau gak balik lagi ke rumah? Main PS sama Difa? Dia jago
lho, kak. pasti kak Alvin kalah kalau lawan dia.” ujar Sivia sembari
membanggakan keahlian sang adik depan cowok yang saat ini menatapnya dengan
sumringah.
“Oh
ya? Aih… boleh juga tuh dicoba! Jarang-jarang duel PS sama anak kecil.” balas
Alvin sedikit terkekeh.
“Ya
udah ayo!” tanpa menunggu lama-lama lagi, Sivia menarik paksa pergelangan
tangan Alvin. Seraya mengernyit, Alvin menatap tangan Sivia yang menggengam
tangannya itu erat. Lalu ia tersenyum. Merasakan ada sesuatu yang aneh di
dadanya.
***
“Makasih
ya, Gab!” Gabriel hanya tersenyum membalasnya. Prissy yang saat ini berdiri di
depan gerbang rumah minimalisnya itu ikut tersenyum. Benar-benar hari minggu
yang sangat menyenangkan bagi Gabriel dan Prissy. Bagaimana tidak, mereka bisa
menghabiskan waktu pagi ini hanya berdua saja. Tanpa ada pengganggu seorang
pun. Apalagi dengan adanya perasaan lebih di antara mereka itu menjadikan
kebahagiaan tersendiri.
“Mau
mampir dulu? Nyokap gue udah siapin makanan lho?” Gabriel berpikir sejenak,
bibirnya ia mainkan sedemekian mungkin.
“Hmm…
lain kali aja deh, Pris. Gue ada janji sama bokap, mau hangout bareng siang ini.”
“Oh
gitu. Mubadzir dong nyokap gue udah siapin makanan sama cemilan.” ujar Prissu
menyayangkan. Namun itu tidak bisa merubah keputusan Gabriel yang memang ada
janji sama orang tuanya.
“Maaf
banget ya, Pris? Hmm… gini aja deh, mending loe undang temen-temen loe main ke
rumah loe aja. Biar gak mubadzir tuh makanan.” Gabriel menyarankan. Lalu
tersenyum simpul saat Prissy memberi tanda setuju akan sarannya tersebut.
“Ya
udah deh gue coba nanti.”
“Gue
pamit ya? See you tomorrow!” perlahan
Gabriel melangkah mendekati mobil yang baru saja berhenti tak jauh di tempanya
berdiri.
“Hati-hati,
Gab!” Gabriel mengangguk pasti. Kemudian membalas lambaian tangan Prissy ketika
sang supir mulai menancap gas. Dengan wajah sumringah, Prissy cepat-cepat masuk
dan berlari ke dalam rumahnya.
***
Ayunan
besi itu bergerak seirama dengan dihentakkannya kaki Agnia ke tanah. Cukup
senang. Kegiatan favoritnya dulu waktu kecil ketika dirinya bermain di rumah
keluarga Alexa. Ditambah dengan Cakka yang sesekali mendorong punggungnya saat
ayunan tersebut berhenti berayun. Cakka tersenyum. Menurutnya, Agni masih sama
seperti dulu, tak pernah berubah sedikitpun. Masih suka bermain ayunan layaknya
gadis kecil berumur lima tahun.
Agnia
menengok ke belakang, menengok ke arah Cakka yang tak lagi mendorong punggungnya.
Ia pun menarik napas.
“Kok
berhenti sih?” tanyanya heran. Dan lagi-lagi itu adalah pertanyaan yang sama
yang selalu keluar dari mulut Agnia saat Cakka berhenti mengayunkan ayunan yang
didudukinya.
“Loe
udah gede kan? Kaki loe juga udah bisa nyentuh tanah. Kenapa gak ayunin sendiri
aja sih?” timpal Cakka asal. Agnia mendesis.
“Tapi
gue maunya sama loe. Udah deh!” Cakka mengangkat alis tiba-tiba. Ingin rasanya
ia meremas cewek yang ada di hadapannya itu. Geregetan.
“Loe
kira badan loe masih kecil kaya dulu apa? Berat tau!” dari belakang, Cakka
mencubit gemas kedua pipi Agnia. Sedangkan Agnia berusaha berontak.
“Cakka,
ngapain sih?! Sakit tau gak?! Inget, pipi gue udah gak chubby lagi! Jadi loe gak perlu cubit-cubit gue. Ish!” sedikit
kesal, Agnia langsung turun dari ayunan. Menolak pinggang dan menatap Cakka
sinis. Bukannya merasa takut, Cakka malah tertawa melihatnya.
“Please deh gak usah sok-sok marah gitu!
Bukannya loe paling suka kalau gue cubit pipi loe? Hahaha.” kata Cakka sambil
berjalan mendekati Agnia.
“Aih…
kata siapa?!”
“Barusan
kata gue.”
“Ish!
Sok tau banget sih jadi orang?! Enggak!” Agnia menjulurkan lidahnya.
“Gue
tau loe dari kecil. Jangan coba-coba bohong sama gue. Hahaha.” sergap Cakka
sembari tertawa geli melihat ekspresi Agnia.
“Aih…
aneh loe ah!” tukasnya sengit. Cakka pun duduk lesehan di tanah yang memang
ditumbuhi rerumputan hijau yang cukup tebal di halaman rumahnya itu.
“Hmm…
kangen waktu kita kecil lagi gue, Ag.” gumam Cakka kemudian. Kedua tangannya ia
sanggahkan ke belakang. Dan karena Cakka sudah mengganti topik pembicaraan,
Agnia ikut duduk di sampingnya sambil memandangi wajah cowok berkulit putih itu
secara seksama.
“Loe
tau enggak, waktu loe pergi ke Singapura, ayunan ini hampir gak disentuh sama
siapa pun. Termasuk gue, Ify, maupun Alvin.” tegas Cakka dengan terus-terusan
menatap ayunan besi yang masih berayun perlahan-lahan. Agnia membulatkan mulut.
Pantas saja ayunan itu seperti tak pernah diurus sama sekali. Ternyata memang
benar.
“Kenapa
bisa begitu?” Agnia bertanya seadanya. Matanya kini beralih ke arah ayunan besi
yang lumayan tua tersebut.
“Ya,
mau gimana lagi? Kan loe tau sendiri kalau penghuni rumah ini gak ada yang suka
main ayunan. Cuma loe sama almarhumah Mami yang suka.” kata Cakka seraya
melirik Agnia sekilas. Lalu menyeringai tak jelas.
“Loe
sih pakai acara pindah-pindah segala!” lanjutnya dengan menyenggol pelan pundak
cewek di sampingya.
“Sebenernya
gue juga gak mau. Di sini itu lebih enak dari pada di sana. Tapi mau gimana
lagi? Orang tua gue pindah ke sana, masa gue sendirian di sini?” respon Agnia
langsung.
“Ya
kan ada gue? Loe bisa nginep di rumah gue atau di rumah Ify.”
“Tuh
mulut kalau ngomong gak mikir dulu ya? Hmm… emangnya orang tua gue cuma sehari
di sana? Tiga tahun brader! Masa iya gue nginep tiga tahun di rumah loe? Aih…”
balas Agnia spontan. Cakka hanya terkekeh mendengarnya. Ada benarnya juga apa
yang dikatakan Agnia tersebut.
“Iya
juga ya?”
“Ah,
payah loe! Tapi seenggaknya gue udah balik lagi kan ke sini?”
“Yayaya.
Mungkin karena loe kangen sama gue, jadi loe balik lagi ke sini. Iya kan?
Hahaha.” ceplos Cakka yang berhasil membuat wajah Agnia berubah syok.
“Ish!”
“Udahlah
ngaku aja. Gue seneng kok dikangenin sama loe.” lanjut Cakka menggoda.
“Aih…
itu sih elonya aja yang pengen dikangenin sama gue. Iya kan? Ngaku loe! Hahaha.”
kini giliran Agnia yang menggoda. Cakka berdecak.
“Enak
aja! Sotoy loe, Ag!’
“Cieeeeee…
yang mau dikangenin sama gue. Hahaha.” ledek Agnia. Cakka kini mengernyit.
Cewek satu ini benar-benar menyebalkan.
“Dasar
jeleeeeeekkkkkk!!!” secepat kilat Cakka mencubit kedua pipi Agnia dan kemudian
langsung berlari begitu saja meninggalkannya. Agnia kontan mendesis.
“CAKKAAAAAA!!!
Ish!” teriaknya kencang. Kali ini pipinya terasa benar-benar sakit karena Cakka
begitu keras mencubitnya. Ia pun bangkit dari duduknya. Berusha mengejar cowok
menyebalkan itu untuk membalas dendam.
Di
tempat lain, Ify memandang keduanya dengan perasaan hati yang tak karuan. Entah
ia tiba-tiba teringat akan sosok Sivia saat ia dengan seriusnya melihat
kebersamaan yang sangat mesra antara Cakka dan Agnia. Bahkan rasa takut pun
kini menyeruak di benaknya begitu mengingat akan pengakuan Sivia yang katanya
memiliki rasa yang lebih kepada kakak sepupunya tersebut.
“Gue
harap hubungan kak Cakka sama Agnia gak lebih dari sekedar sahabat. Gue harus
pastiin itu.” gumam Ify jelas. Matanya tak sedikitpun beralih ke arah dua orang
yang sedang kejar-kejaran tersebut.
“Oh my God! Gimana nasib Sivia kalau
mereka sampai ada hubungan lebih?” Ify pun menggeleng cepat-cepat. Perasaan
waswasnya makin bertambah saat melihat raut wajah kedua orang tersebut yang
terlihat begitu bahagia. Seakan menggambarkan kalau mereka mereka memang
mempunyai rasa yang lebih antara satu sama lain. Lalu Ify membuang napas.
Berusaha sebisa mungkin untuk menepis semua prasangkanya.
***
“Yes, goaaaaaallllll!!!” teriak Alvin
histeris. Bahkan saking histerisnya, ia sampai tak sadar kalau ia sedang berada
di rumah orang lain.
“Ck!”
Difa berdecak hebat untuk kesekian kalinya. Bagaimana tidak, sudah hampir tiga
pertandingan ia dikalahkan oleh Alvin. Sampai nyaris tak sekalipun Difa diberi
kesempatan untuk Difa mencetak goal
ke gawang kesebelasan yang dimainkan Alvin tersebut.
“Lagi-lagi
4 - 0! Hahaha. Mau coba lagi?” ledek Alvin kemudian sambil mengangkat kedua
alisnya berkali-kali.
“Oke,
siapa takut?!” tantang Difa percaya diri. Tangannya menggenggam erat stick PS yang sudah menjadi senjata
ampuh miliknya tatkala ia bermain dengan teman-teman sebayanya.
“Kalau
kalah lagi jangan nangis ya?” gumam Alvin mengucilkan.
“Gak
bakal! Aku yakin, kali ini kak Alvin yang kalah. Lihat aja!”
“Bagus!
Nyalimu masih gede juga ya, nak?” timpal Alvin sambil tertawa kecil. Adik Sivia
yang satu ini ternyata menyenangkan juga menurutnya.
“Ehem!
Ngerti deh yang dikacangin. Main aja terus!” baru saja Alvin dan Difa hendak
memulai lagi pertandingannya, seseorang berdehem di belakang mereka. Sontak
mereka langsung menengok cepat-cepat dan langsung memamerkan deretan gigi
putihnya kompak.
“Sori,
Vi. Ini lagi seru-serunya.” kata Alvin.
“Udah
deh jangan protes mulu! Mendingan kak Via duduk manis aja di situ sambil
lihatin kita berdua main PS. Oke?” ujar Difa menyambung kata-kata Alvin. Lantas
mereka kembali menghadap LCD sebelum
Sivia mengeluarkan suaranya lagi. Terpaksa, Sivia harus rela menjadi patung
hidup di belakang Alvin dan Difa.
“Aku
keluar aja kali ya?” pintanya pelan sambil berusaha berdiri dari duduknya.
Serentak, Alvin dan Difa mencegah.
“JANGAN!!!”
“Aih…
kenapa? Dari pada aku di sini jadi patung hidup?” bela Sivia asal.
“Ssttt!
Diem di situ. Jangan ke mana-mana! Jangan banyak omong! Oke? Aku sama Difa lagi
serius soalnya.” suruh Alvin dengan berani menempelkan telunjuknya ke bibir
Sivia perlahan. Kontan membuat Sivia tegelak hebat. Matanya langsung
terbelalak. Dan…
“Goaaaaaallllll!!! Hahaha.” Difa
berteriak hebat sambil loncat-loncat tak jelas saat tim kesebelasan miliknya
mampu menerobos pertahan kesebelasan Alvin. Sontak Alvin langsung mengernyit
heran.
“Aih…
curang kamu, Dif! Gak, gak mau! Itu gak fair!
Ulangi pokoknya.” bantah Alvin sengit.
“Ish!
Enak aja! Difa gak curang, kak.”
“Enggak!
Kamu curang. Harusnya kamu pause dulu
pas kakak ngobrol sama kak Via tadi. Aih… curang dasar!”
“Hahaha.
Suruh siapa kak Alvin ngobrol sama kak Via? Kita kan lagi main PS, bukan lagi
ngobrol. So, Difa gak curang kan?
Bukan begitu kak Via?” ungkap Difa seadanya. Sedangkan Sivia yang masih diam
akibat ulah Alvin tadi itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa
mengangkat bahu saat sang adik meminta tanggapan padanya.
“Ck!”
“Yes, kak Alvin K.O! Hahaha. Uda ah! Difa
laper, mau makan dulu. Dadah kakak-kakak!” pamit Difa tanpa dosa.
“Nyebelin
ya adik loe, Vi?” tukas Alvin asal. Kedua bola matanya masih memandang
kepergian Difa. Sedangkan Sivia masih tak bergeming. Walaupun sudah
berkali-kali Alvin menyapanya pelan. Entahlah apa yang sedang Sivia pikirkan
sekarang.
“Loe
mikirin apa sih, Vi?”
“Hallo?”
“Sivia?”
“Loe
masih hidup kan?”
“SIVIAAAAAA!!!”
“Eh,
iya kenapa? Ada apa, kak?”
“Loe
ngelamunin siapa sih? Gue panggil-panggil malah diem mulu.” tanya Alvin
skeptis. Cewek yang duduk tak jauh di depannya itu langsung tersenyum.
Tersenyum aneh tentunya.
“Loe
gak lagi kesurupan kan, Vi?”
“Heh?
Kesurupan? Ya enggak lah! Ngaco nih kak Alvin.”
“Ya
abisnya loe aneh gitu. Kali aja loe kesurupan.” balas Alvin heran.
“Aku
gak kesurupan kok, kak. Hehehe. Oh iya, kak Alvin gak mau pulang? Ini udah
siang lho.” tanya Sivia sekenanya. Wajah tanpa dosanya ia tampakkan sejelas
mungkin di depan Alvin.
“Ngusir
nih ceritanya? Hmm… ya udah kalau gitu gue pulang deh. Makasih ya sebelumnya?”
“Eh,
bukan gitu maksud aku. Aku cuma nanya doang kak, gak ngusir.” sergah Sivia
dengan menarik tangan Alvin yang memang hendak pergi itu.
“Ngusir
juga gak apa-apa kok.”
“Beneran
aku gak ngusir, kak. Serius deh!”
“Ck!
Iya, gue tau. Tapi emang gue mau pulang.” respon Alvin mulai malas.
“Oh.”
“Udah?”
lantas Sivia hanya mengangguk menjawabnya.
“Lepasin
kali tangan gue.” refleks, Sivia menghempaskan tangan Alvin dari genggamannya
cepat.
“Maaf.”
“Oke.
Gue pulang, Vi.” pamitnya pelan. Dan dengan sedikit senyum, Alvin pun melangkahkan
kakinya meninggalkan Sivia sendirian di kamar Difa.
“Gue
kenapa sih? Please deh gak usah
ngawur pikirannya!” rutuk Sivia pelan saat Alvin sudah menghilang di balik
pintu. Kemudian menatap heran ke arah telapak tangannya yang tadi ia pakai
untuk menggenggam pergelangan tangan cowok berbadan tinggi serta berambut
harajuku yang sedikit menutup mata sipitnya tersebut. Sivia lantas menghela
napas gusar.
***
Di
sebuah pusat perbelanjaan, Rio terduduk malas di antara rak tempat bahan-bahan
dapur. Punggungnya ia sandarkan di salah satu rak itu untuk membuang lelah. Tak
perduli sama sekali meski banyak orang yang memandang aneh kepadanya. Yang
jelas, Rio sudah benar-benar tidak kuat lagi berjalan setelah hampir satu jam
setengah mengelilingi pusat perbelanjaan tersebut.
“Aduh,
Rio! Kamu ngapain sih duduk-duduk di sini? Malu tuh dilihatin orang-orang.
Bukannya ngikutin Mama, malah duduk di sini kaya anak hilang.” baru saja
sedetik Rio merasa nyaman, tiba-tiba ocehan sang Mama menyumpal kedua lubang
telinganya. Rio pun mencibir.
“Mama,
Rio tuh capek! Apa salahnya sih istirahat sebentar?” ujarnya penuh penekanan.
“Emang
kamu kira Mama gak capek apa? Mama juga capek tau?!”
“Nah,
ya udah makanya istirahat dulu.”
“Tanggung,
sayang. Bentar lagi juga udah kok. terus pulang deh, istirahat di rumah.” ujar
mama Rio santai. Seakan tidak ada pengertian sama sekali terhadap anaknya yang
sudah kelelahan itu.
“Dari
tadi mama juga bilangnya itu-itu mulu. Tapi mana? Gak pulang-pulang kan? Ish!”
“Mama
janji, ini terakhir.”
“Tau
ah! Mama tega ya sama anak sendiri. Aih…”
“Udah,
jangan bawel! Ayo ikut mama!” secara paksa, sang mama menarik tangan Rio untuk
segera mengikutinya.
“Mamaaaaaa!!!”
“Diem!
Belanjaan mama udah banyak di sana, entar bawa sama kamu.”
“Rio
bukan pembantu!” tukas Rio sengit walaupun sedang diseret-seret sama mamanya.
“Jangan
berani ngebantah mama, entar kualat.” bisik sang mama tak kalah sengit. Membuat
Rio menggeram dalam hati. Ini mama
kandung apa mama tiri sih?! rutuk Rio dalam hati.
“Jangan
salahin Rio kalau nanti papa marah sama mama, soalnya mama udah memperlakukan
Rio kaya pembantu.” mama Rio terkekeh mendengarnya.
“Lupa
ya kalau papamu lagi di luar kota? Dasar anak papa!” Rio pun menepuk dahinya.
Baru menyadari akan sesuatu yang ia lupa.
“Ish!
Mama emang bener-bener tidak berperikeanakan. Rio sebel sama mama. Titik!”
“Sebelnya
disimpan dulu buat di rumah. Sekarang kamu bantu mama bawa semua belanjaan
mama. Oke?” dan dengan sangat-sangat terpaksa, Rio hanya pasrah dengan
perlakuan mamanya tersebut. Daripada mesti terus-terusan mencibir yang belum
tentu didengar.
“Nah,
gitu dong! Ini baru namanya anak mama, nurut. Let’s go!” lanjutnya sambul mengusap pelan ubun-ubun anak cowok
satu-satunya itu. Rio memutar mata seketika.
***
“Siang,
Pi!” sapa Alvin ketika ia baru saja menginjakkan kaki di teras rumahnya dan
menjumpai sang papi yang lagi duduk-duduk santai di sana bersama Cakka. Pak
Alex dan Cakka pun kontan saling pandang sejenak, heran dengan sikap Alvin yang
tak biasa itu. Spontan, Alvin segera mencium tangan papinya sopan.
“Sengaja
nungguin Alvin apa gimana ini? Kok tumben ngumpul?” tanyanya heran. Pak Alex
dan Cakka masih diam. Bingung kalau itu Alvin atau bukan yang sekarang mereka
lihat.
“Kok
pada diem sih? Ada yang aneh?” tanya Alvin lagi saat pertanyaan sebelumnya tak
juga dijawab oleh Pak Alex maupun Cakka. Kompak, ayah dan anak itu menggeleng.
“Gak
ada yang aneh kok. Hmm… kamu habis ke mana? Kok baru pulang?”
“Abis
main ke rumah temen, Pi. Emang kenapa? Lupa waktu lagi mainnya?” balik tanya
Alvin yang seakan sudah paham dengan pertanyaan yang pasti ditanyakan papinya
acapkali ia pulang bermain.
“Gak
main yang aneh-aneh kan?” sambung Pak Alex. Alvin langsung menggeleng.
Sedangkan Cakka masih terbungkam, belum ada niat buat ikut bicara.
“Gak
aneh-aneh kok, Pi. Cuma main PS doang. Emang kenapa sih? Kok kalian pada aneh
gini?” tanya Alvin mulai heran.
“Oh,
gak ada apa-apa kok. Papi cuma nanya. Ya udah sana masuk dulu gih! Bi Minah
udah siapin makan siang.”
“Aneh.
Hmm… kenapa gak bareng? Makan siang bareng-bareng kan lebih seru, Pi?”
lagi-lagi Pak Alex dan Cakka saling pandang.
“Kita
nyusul nanti. Aku ada perlu bentar sama Papi.” sambung Cakka akhirnya. Alvin
membuang napas.
“Oh,
ya udah. Alvin duluan.” pamitnya meski dengan perasaan yang super heran.
“Papi
gak salah lihat kan? Itu beneran Alvin?” bisik Pak Alex ke telinga Cakka. Cakka
mengangkat bahu.
“Sepertinya
begitu, Pi.”
“Hmm…
apa kamu tau Alvin abis main sama siapa tadi?”
“Gak
tau, Pi. Palingan kalau enggak sama Rio, pasti sama Gabriel.” jawab Cakka seadanya.
Pak Alex berpikir sejenak.
“Ya
udahlah gak usah dipikirin. Harusnya kita seneng dong kalau dia bersikap
seperti itu. Itu kan yang kita harapkan selama ini?” ucap Cakka mewajarkan
sikap kakaknya barusan.
“Iya
juga sih. Akhirnya…”
“Tapi
Papi harus inget, Papi jangan bahas-bahas masalah ini lagi di depan Alvin.
Biarkan Alvin berubah dengan sendirinya tanpa ada tekanan dari kita.” Pak Alex
pun mengangguk paham. Menyetujui saran dari anaknya yang satu ini.
“Papi
jadi penasaran sama orang yang udah bikin Alvin berubah kaya gitu. Belum tentu
juga kan kalau Alvin berubah mendadak kaya tadi kalau gak ada seseorang yang
bisa membuatnya berubah?” Cakka menganggukkan kepalanya perlahan. Ada benarnya
juga apa yang dibilang papinya itu.
“Entar
Cakka cari tau deh soal itu. Masuk yuk, Pi? Kasian Alvin nungguin.”
“Hmm…
oke.”
***
Setelah
sekitar beberapa menit Alvin selesai makan siang bersama Papi dan adiknya,
Alvin langsung beranjak menuju kamarnya. Mencoba membuang lelah karena sudah
hampir setengah hari dirinya bermain di rumah Sivia.
Dengan
sangat malas, Alvin menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Memandang
langit-langit yang bercorak papan catur dengan salah satu tangannya yang ia
ganjalkan di bawah kepala. Pikirannya pun mulai melanglang buana.
Kejadian-kejadian yang menimpanya tadi pagi kembali tampak di depan matanya.
Terutama saat ia memeluk sosok ibu yang selama ini belum pernah ia rasakan
lagi. Dan itu rasanya benar-benar nyaman. Sampai Alvin entah kenapa merasa
kalau sang Mami hadir kembali dalam kehidupannya.
“Alvin
kangen sama Mami. Mami yang tenang ya di sana? Di sisi Tuhan. Alvin janji,
suatu saat nanti Alvin bakal susul Mami ke sana.” gumamnya asal sembari
menghela napas.
‘Aih…
temen-temen jona gue apa kabar ya? Tumben tuh curut dua gak main ke sini.” sedetik,
saat pandangan matanya tertuju pada sebuah figura bergambarkan dirinya bersama
Gabriel dan Rio, Alvin langsung berpikiran heran. Karena tumben saja kedua anak
buahnya itu tidak ada kabar. Biasanya kalau hari minggu tiba, mereka berdua tak
pernah alfa main ke kamar Alvin tersebut. Dan tanpa banyak berpikir lagi, Alvin
menjamah ponselnya cepat-cepat.
“Ayo
dong angkat!” decaknya tak sabar. Ia pun bangun dan duduk bersila.
“Hallo? Kenapa, Vin?” ucap orang di
seberang sana. Gabriel.
“Lama
banget loe angkatnya!”
“Sori,
gue gak denger. Ada apa sih?” Alvin memutar mata.
“Dateng
ke rumah gue sekarang juga! Boring
gue di sini.” suruh Alvin langsung.
“Duh,
sori banget nih gue gak bisa. Gue on the
way sama bokap, Vin. Gue alfa dulu ya minggu ini?”
“Ck!
Gaya mulu loe pakai on the way sama
bokap segala. Payah!”
“Hahaha.
Apakah anda segitu kangennya sama saya?” Alvin langsung tergelak mendengarnya.
“Aih…
minta dihajar loe?!”
“Hahaha.
Slowly aja kali, Vin. Udah ah, gue
lagi lagi di jalan nih.”
“Serah
loe!” dan klik! Alvin mengakhiri sambungan teleponnya bersama Gabriel. Kemudian
ia beralih menghubungi sahabat yang satunya lagi. Mario Sebastian.
“Loe
ke rumah gue sekarang! Jangan banyak alesan! Gue tunggu!” baru saja sedetik orang
di seberang sana mengangkat telepon, Alvin langsung menikam.
“Ini
siapa?” tanya orang di seberang sana. Kontan membuat Alvin mengernyit hebat. Kok suara ibu-ibu sih? umpatnya dalam hati.
“Ini
Alvin. Maaf, ini siapa ya? Rio ke mana?”
“Oh,
nak Alvin? Ini Tante, mamanya Rio. Hmm… Rio lagi nemenin Tante belanja nih. Ada
perlu sama Rio?” mendengar hal tersebut, Alvin mendadak tersedak. Seorang Rio ikut belanja bersama mamanya? Apa
itu tidak salah? timpalnya pelan.
“Oh,
Tante Diana? Hmm… nggak kok, Tante. Kirain Rio lagi santai, jadi Alvin mau ajak
Rio main ke rumah. Eh, ternyata Rionya lagi sibuk.”
“Oh
gitu ya? Iya nih Rio lagi bawain belanjaan Tante. Sekali-kali lah dia bantuin Tante,
jangan main mulu kerjaannya.”
“Bener
banget tuh, Tante! Kalau bisa diborgol biar gak ke mana-mana. Hehehe.” kata Alvin
sembari menyeringai.
“Kamu
ini ada-ada aja deh.”
“Hehehe.
Ya udah deh kalau gitu Alvin tutup dulu ya, Tante? Maaf sebelumnya udah ganggu.”
“Oh,
iya gak apa-apa kok.” dan lagi-lagi Alvin memutuskan sambungan teleponnya.
Perlahan,
tubuh jenjangnya ia hempaskan kembali ke tempat tidur dan membuang asal ponselnya.
Kedua sahabatnya itu ternyata sedang tidak bisa diganggu sama sekali. Terlebih Rio
yang menjadi pembantu rumah tangga untuk sementara. Ia terkekeh mengingatnya.
“Rio?
Si playboy in the world bawa-bawa belanjaan?
Hahaha. Gak bisa bayangin gue. Ancur deh tuh reputasi loe, Mario! ” ujarnya geli
sambil berusaha membayangkan sosok Rio yang super sibuk membawa barang belanjaan
mamanya yang pastinya sangat banyak.
“Hahaha.
Gokil!!!” dengan menepuk-nepuk bantal, Alvin terkekeh puas.
“Makan
tuh belanjaan!” lanjutnya.
***
“Kak
Alvin seru juga ya orangnya? Gokil! Terus juga asyik diajak ngobrol.” cetus Difa
di tengah-tengah keseriusannya menonton DVD Spongebob bersama Sivia.
“Heh?”
respon Sivia kaget.
“Iya,
kak Alvin itu gokil. Terus asyik diajak ngobrol. Ternyata aku bener kan kalau kak
Alvin itu aslinya gak jahat?” lanjut Difa serius. Sontak Sivia memandang adiknya
skeptis. Baru kali ini Sivia mendengar adiknya memuji orang lain yang faktanya baru
ia kenal kurang lebih 24 jam itu. Sedangkan kakaknya sendiri saja jarang sekali
ia puji.
“Bener
begitu kak Via?” Sivia mengernyit mendengarnya.
“Heh?
Apaan?”
“Aih…
kak Via dengerin aku gak sih?” spontan, Sivia menggeleng cepat. Gigi-giginya pun
ia pamerkan di hadapan Difa.
“Ish!
Payah nih kak Via.”
“Ya,
abisnya kamu gak jelas ngomong apaan? Kakak lagi serius lihatin Patrick
soalnya.” kilahnya asal. Difa berdecak.
“Jangan
bohong deh! Bilang aja lagi mikirin kak Alvin.”
“HEH???
Apa kamu bilang? Mikirin kak Alvin? Ngapain?” tukas Sivia kaget saat mendengar tebakan
Difa yang hampir saja benar. Atau mungkin memang benar. Entahlah.
“Ah,
munafik deh. Aku tau kok tadi kak Via sama kak Alvin pegang-pegangan tangan di kamar
Difa. Hahaha. Cieeeeee…”
“Aih…
apaan sih? Enggak! Kakak gak pegangan tangan sama kak Alvin. Itu cuma gak sengaja
doang.”
“Gak
sengaja apa gak sengaja? Ehem!” ledek Difa puas. Mata sipitnya ia gunakan untuk
menggoda sang kakak. Sivia pun mulai dongkol dengan tingkah adiknya yang super menyebalkan
itu.
“Diem
deh! Jangan bikin gosip yang enggak-enggak! Kakak sama kak Alvin itu gak ada apa-apa.
Ngerti?”
“Oh
ya? Terus kalau sama kak Cakka sih gimana? Pasti ada apa-apanya.” glek! Sivia menelan
ludahnya susah.
“Oh my God, Difa! Loe tuh nyebelin banget
sih jadi bocah?! Please deh jangan ngawur
kalau ngomong! Kamu itu masih kecil, masih kelas VII. Jangan sok tau masalah gituan!”
“Iya
deh tau yang hatinya susah untuk memilih antara kak Alvin dan kak Cakka. Tapi kalau
Difa boleh saran, mendingan kak Via sama kak Alvin aja deh. Cocok! Kalau kak Cakka
terlalu jaim orangnya, gak kaya kak Alvin yang original. Hahaha.” lagi-lagi Sivia
tergelak mendengar ucapan adiknya tersebut. Nih anak sotoy apa gimana sih?! batinnya.
“Ish!
Jangan sok tau deh kalau jadi orang! Sipit loe dasar!” balas Sivia sembari menjewer
kedua telinga Difa.
“AWWW!!!
Ampun, kak!” ringis Difa kemudian. Mulutnya terbuka lebar saking sakitnya. Sivia
malah terkekeh puas. Sekali-kali anak seperti Difa harus diberi pelajaran biar tidak
pernah ikut campur dengan urusan orang dewasa. Ya, harus. Sivia tersenyum manis.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar