Strange Taste
Siang
sudah menggelap beberapa menit yang lalu. Mentari yang tadi sempat berpamitan
ke alam raya pun ikut digantikan oleh sang bulan serta teburan bintang-bintang indah
yang senantiasa menemani dikala malam datang. Terang. Dan juga tidak terlalu
dingin karena pepohonan kini mulai pasif bergerak. Hanya saja terdengar suara
binatang malam yang faktanya selalu tidak pernah diketahui di mana mereka
berada.
Di
suatu rumah yang cukup sederhana, seseorang wanita paruh baya dengan rintihan
yang begitu lirih memegangi terus perutnya yang saat itu terasa ditusuk-tusuk
oleh ribuan jarum. Sangat sakit rasanya dan bahkan wajahnya pun kini terlihat
makin pucat dari sebelumnya. Dan sudah berusaha sebisa mungkin untuk wanita
paruh baya ini mengambil minum serta beberapa obat yang memang letaknya tak
jauh dari tempat ia berbaring. Dengan sedikit gemetaran, tangan wanita itu
mencoba meraih gelas sambil menggeserkan sedikit demi sedikit tubuhnya yang
terasa kaku. Dan… prang!!! Gelas itu jatuh dan pecah bersamaan dengan tubuh
renta wanita itu yang juga ikut jatuh dari atas tempat tidur.
“MAMA!!!”
teriak seorang cewek yang kebetulan datang dengan tangan menggenggam nampan
berisi bubur dan makanan lembut lainnya. Kemudian cewek itu menaruh barang
bawaannya ke atas meja dan segera membantu orang tuanya yang sudah tergeletak
lemas di lantai untuk bangun.
“Mama
kok bisa jatuh kaya gini sih? Mama gak apa-apa kan? Mama mau ngapain sih?”
tanya cewek itu resah sambil berusaha mengangkat tubuh mamanya dan menidurkan
kembali ke tempat semula.
“Mama
gak apa-apa kok, sayang. Tadi mama cuma mau ambil minum.” lirih wanita tersebut
di depan anak gadisnya. Sivia. Lantas Sivia menutupi tubuh mamanya tersebut
dengan selimut yang lumayan tebal. Rasa khawatir dan cemas yang berlebihan pun tak
elak terpancarkan di wajah cantik Sivia.
“Ya
Tuhan, mama. Mama kan bisa panggil Sivia kalau ada apa-apa.” Sivia berucap
sembari memegang lembut tangan sang mama tersayangnya yang sudah hampir
seminggu ini terbaring sakit. Ia menatap mamanya sendu.
“Mama
kira kamu lagi belajar, jadi mama gak mau ganggu kamu.” balasnya pelan.
Dibelainya kepala Sivia dengan penuh kasih sayang.
“Terus
kalau mama sampai kenapa-kenapa gimana coba? Via juga kan yang khawatir? Udah
deh pokoknya kalau mama butuh apa-apa itu panggil Via atau Difa, oke? Dan mama
juga jangan terlalu banyak bergerak, mama masih lemas. Sekarang mama makan dulu
ya? Via udah buatin bubur nih buat mama.” Sivia mengambil nampan yang tadi
dibawanya setelah sang mama mengangguk menyetujui tawaran anaknya tersebut.
Dengan sedikit senyum, Sivia menyuapkan bubur ke mulut mamanya secara perlahan.
“Aaaaaa…
pinter!” canda Sivia diiringi dengan tawa khas miliknya. Sang mama pun
tersenyum. Anak sulungnya yang satu ini memang selalu membuat dirinya
tersenyum.
“Mama
harus makan yang banyak biar cepet sembuh, terus bisa masak-masak bareng lagi
di dapur sama Via deh. Lagi ya, Ma!” sedikit demi sedikit bubur yang dipegang
Sivia pun mulai habis. Ia senang karena sang mama sudah mulai bisa menunjukkan
tanda-tanda kesehatannya dalam beberapa hari ini. Tidak seperti sebelumnya yang
hanya terbaring lemah dan tidak mau sama sekali makan makanan yang disediakan
Sivia tersebut.
“Difa
mana?” tanya sang mama saat Sivia hendak memberi segelas air minum kepadanya. Kontan
Sivia tak langsung menjawab karena ia juga sampai saat ini belum bertemu dengan
adiknya yang maniak sama Spongebob
itu. Sivia mengangkat bahu ragu-ragu.
“Di
kamarnya kali, Ma. Via juga belum lihat dia dari tadi.” jawab Sivia enggan. Dan
baru saja Sivia selesai berucap, ketukan pintu langsung terdengar begitu jelas
di telinga dua orang yang sedang berdialog tersebut. Kompak, mereka menengok ke
arah pintu.
“Hai!”
tiba-tiba muncul sosok anak kecil berambut sedikit keriting sambil memamerkan
gigi putihnya di balik pintu. Sivia dan sang mama lantas menggelengkan
kepalanya pelan. Panjang umur juga nih
anak! batin Sivia setelah mengetahui kalau yang mengetuk pintu tadi adalah
orang yang baru saja ditanyakan oleh sang mama. Sang adik, Azkanio Difandreas
Rain. Atau yang lebih akrab dipanggil Difa.
“Sini
masuk, Dif!” panggil Sivia lembut. Difa pun yang masih betah berlindung di
balik pintu akhirnya melangkah masuk begitu Sivia memanggilnya.
“Kamu
habis ke mana aja sih, Dif? Tumben kak Via gak lihat kamu dari sore.” Difa
duduk di samping mamanya. Ia berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan kakak
satu-satunya itu.
“Difa
abis ngerjain PR matematika di kamar, kak.” jawab Difa polos. Anak kelas VII
SMP ini memang paling betah mengurung diri di kamar. Apapun itu alasannya.
“Oh,
gitu. Terus sekarang udah selesai?” Difa menggeleng cepat-cepat. Ekspresi
wajahnya langsung berubah tak berdosa. Membuat Sivia memutar mata dan membuang
napasnya perlahan karena sudah hafal dengan tabiat buruk adiknya itu.
“Jangan
bilang kamu mau minta bantuan kak Via buat ngerjain PR kamu?” tebaknya dengan
nada menginterogasi. Difa pun menengok ke arah mamanya dengan ekspresi wajah
yang memohon bermaksud untuk meminta tolong agar Sivia mau membantu Difa
mengerjakan Pekerjaan Rumahnya. Mama Difa yang memang sudah hafal juga dengan
sifat anak bungsunya tersebut akhirnya langsung memberi kode ke Sivia.
“Iya-iya
Via bantuin. Makanya lain kali kalau guru lagi ngejelasin tuh didengerin jangan
dipelototin mulu. Dasar!” tukas Sivia sambil bangun dari duduknya.
“Iya
kak, iya. Lain kali Difa bakal dengerin. Toh lagian kak Via juga pinter kan?
Apa susahnya sih bantuin adiknya sendiri ngerjain PR? Iya kan, Ma?” bela Difa
ikut bangun juga dari duduknya. Sang mama tersenyum mengiyakan.
“Udahlah
jangan banyak omong! Ayo sini ikut kakak!” ajak Sivia dengan menarik paksa
tangan Difa untuk keluar kamar.
“Via
sama Difa keluar dulu ya, Ma?” pamitnya kemudian. Dan mama mereka pun hanya
bisa menggeleng maklum melihat tingkah kedua anak kebanggaannya tersebut.
***
Cakka
sedikit tersentak saat Alvin dengan tiba-tiba ikut duduk di teras depan rumah
dengan membawa segelas susu hangat yang dipegang kedua tangannya. Untuk sejenak
Cakka menarik napas, menengok sebentar ke arah kakaknya untuk sekedar
memastikan apa maksud kedatangan Alvin tersebut. Setelah mengetahui Alvin yang
hanya diam, Cakka mengalihkan kembali pandangannya ke tempat yang ia pandangi
disaat sebelum Alvin duduk di sampingnya. Tempat yang mungkin selalu disinggahi
jutaan bintang setiap malamnya. Langit. Ya, Cakka memandangi langit yang kala
itu terlihat begitu terang. Di mana itu adalah kegiatan rutin yang sering
dilakukan Cakka bersama sang mami saat ia kecil dulu.
Sekilas,
Alvin mengikuti arah pandang Cakka yang tertuju ke atas. Lantas ia pun mengeryit
setelah cukup lama mengikuti Cakka memandangi langit yang menurutnya tidak sama
sekali mempesona itu. Bagaimana tidak, Alvin merasa kalau setiap malam itu
hanya ada bulan dan bintang di langit sana. Tidak ada yang lain yang lebih
menarik untuk Alvin pandangi.
“Loe
lihatin apa sih, Cak?” tanya Alvin setelah dengan nikmatnya ia menyeruput susu
hangat buatannya itu. Cakka masih tak bergeming. Belum ada niat sedikitpun dalam
benaknya untuk menjawab pertanyaan Alvin tersebut..
“Dijawab
kali kalau gue nanya! Bukannya diem mulu kaya orang bego.” ketus Alvin tanpa
ragu. Cakka pun melirik sinis ke arah kakaknya.
“Gak
ada pertanyaan lain apa?” timpalnya datar. Lagian sudah jelas-jelas Cakka
sedang memandang langit, pakai ditanya. Kata hati Cakka saat itu. Mungkin.
“Gak
ada. Yang ada di otak gue cuma pertanyaan itu doang. Toh apa susahnya sih
jawab?” jawab dan tanya Alvin enteng dengan sesekali meminum kembali susu
hangat yang digenggamnya.
“Serah
loe deh, Vin! Gue lagi males debat sama loe.” kata Cakka ogah-ogahan. Alvin pun
ikut mendecak sinis ke arah adiknya.
“Yang
ngajak debat sama loe siapa sih, Cak? Aneh!” sedikit heran, Alvin memandang
wajah adiknya itu skeptis. Namun Cakka tak balik merespon. Ia memilih diam karena
ia sendiri tau kalau Alvin itu tipe orang yang tidak mau mengalah meski sama
adiknya sendiri.
“Cak?”
panggil Alvin pelan. Cakka langsung memutar matanya kesal. Tujuan awal Cakka
duduk di teras depan rumah tersebut adalah untuk menenangkan diri dari rasa
stresnya hari ini, melainkan bukan untuk diganggu seperti yang dilakukan Alvin
sekarang. Lagi-lagi Cakka memutar matanya kesal. Sangat kesal bahkan.
“Apa
lagi sih?”
“Biasa
aja kali gak usah sensi gitu responnya.” timpal Alvin yang ikut terbawa emosi
dengan sikap Cakka kepadanya saat ini.
“Yayaya…
so? Ada apa manggil-manggil gue?”
tanya Cakka malas. Alvin mendesis, entah kenapa baru sekali ini Alvin merasa
kalau Cakka tak respect kepadanya.
Padahal biasanya, sejahat dan setega serta secuek apapun Alvin sama Cakka,
Cakka selalu merespon dengan baik kalau Alvin mendekatinya secara tiba-tiba.
Karena faktanya Cakka pun tau persis kalau Alvin seperti itu pasti ada hal
serius yang hendak ia bicarakan. Tetapi tidak untuk sekarang, Cakka terlalu
malas melihat Alvin akhir-akhir ini.
Untuk
sementara, Alvin tak langsung menjawab begitu Cakka bertanya balik kepadanya.
Ia menunggu kadar emosi adiknya itu turun terlebih dahulu ketimbang nantinya
akan sia-sia saja kalau ia berbicara panjang lebar tapi tak direspon baik oleh
Cakka.
“Hmm…
menurut loe gue keterlaluan gak sih sama Sivia waktu itu, Cak?” tanya Alvin kemudian.
Dengan sangat ragu-ragu, ia memutar-mutar gelas yang dipegangnya.
“Gue
cuma nanya doang kok, jadi loe gak usah pasang wajah ngajak ribut gitu lah.
Seriusan gue cuma nanya. Dan loe cukup jawab iya atau tidak.” lanjutnya begitu
Cakka dengan cepat menatap Alvin tajam.
“Vin,
loe tuh waras gak sih?! Masa iya loe sampai sekarang gak sadar-sadar juga kalau
perbuatan loe ke Sivia kemarin itu sudah keterlaluan atau nggak?! Ck! Cowok
macam apaan loe, hah?!” tukas Cakka mulai garang. Entah apa yang membuat Cakka
sebegitu sensitifnya kalau sudah menyangkut masalah Sivia. Melihat respon Cakka
yang tak enak tersebut, Alvin sedikit menggeser duduknya menjauh dari Cakka.
“Slow aja kali, Cak! Gue cuma nanya
doang. Ya elah gak asik banget sih loe
jadi ade!” balas Alvin dengan candaannya yang sama sekali tak lucu menurut
Cakka.
“Butuh
berapa hari sih buat loe sadar kalau perbuatan loe ke Sivia itu keterlaluan
atau nggak?! Heran gue sama loe, Vin.”
“Ya,
bukannya gitu. Gue kan nanya doang, Cak.” Alvin mendengus seketika.
“Lagian
gue heran sama loe, loe sebegitu carenya
ya sama Sivia? Padahal loe aja baru kenal dia kemarin-kemarin.” lanjut Alvin
dibarengi salah satu alisnya yang terangkat.
“Penting?”
“Oh,
yayaya. Sekarang gue ngerti kenapa loe kaya gini. Loe suka sama dia kan, Cak?”
tuduh Alvin menginterogasi. Cakka menelan ludah mendengarnya. Kakaknya yang
satu ini sudah seperti seorang peramal saja yang serba tau apa yang orang lain
rasakan.
“Bukan
urusan loe! Mendingan loe pergi aja deh sana! Gue lagi pengen sendiri.” usir
Cakka kemudian.
“Oh,
suka sama Sivia nih ceritanya. Yayaya…” lagi-lagi Cakka memutar mata sebelum ia
melotot ke arah Alvin. Alvin tersenyum meledek. Namun kemudian Alvin mengulur
kembali senyumannya setelah Cakka semakin menunjukkan tatapan membunuh ke
arahnya.
“Iya-iya
deh gue diem.”
“Gue
nyuruh loe pergi, bukan nyuruh loe diem. Ish!” Alvin terkekeh lagi. Entah
kenapa ia lucu sendiri melihat Cakka yang sok sangar itu. Dan karena baru kali
ini juga Alvin melihat Cakka seemosi itu kepadanya.
“Gue
gak lagi bercanda, Alexa Alvinandra Pratama!” bentak Cakka.
“Lho,
yang bilang loe lagi bercanda siapa? Aneh!”
“Shut up!” bentak Cakka lagi benar-benar
kesal.
“Oh,
loe udah berani bentak abang loe sendiri ya sekarang?” dengan
mengangguk-anggukan kepalanya pelan, Alvin berdiri.
“Vin,
please deh! Gue lagi gak mood buat debat sama loe, gue pengen
sendiri. Udah sana jangan ganggu gue!” usir Cakka yang kini tangannya mendorong
kaki Alvin supaya menjauh darinya.
“Oke-oke
gue bakal pergi kok. Gak usah dorong-dorong juga kali, Cak!” bela Alvin seraya
melangkah menjauh dari tempat Cakka duduk. Dan belum juga Alvin melangkahkan
kakinya masuk ke dalam rumah, Cakka memanggil namanya pelan.
“Vin?”
“Ya?”
respon Alvin singkat sambil menyeruput susu hangat yang kini tinggal seperempat
itu. Matanya ia kernyitkan. Nih anak
aneh banget sih?! rutuk Alvin dalam hati.
“Gue
boleh nanya sesuatu nggak sama loe?” tanya Cakka tanpa sedikitpun menengok ke
arah Alvin. Efek suaranya terdengar sangat datar di telinga kakaknya tersebut.
Terkesan tidak ingin bertanya tetapi dipaksa untuk bertanya.
“Nanya
apaan?” balik tanya Alvin penasaran.
“Hmm…
loe nyesel gak sih pernah bikin malu Sivia di depan temen-temen loe? Please, jujur!” mendadak, Alvin tersedak
mendengar apa yang baru saja ditanyakan Cakka tersebut. Sampai-sampai Alvin pun
kebingungan harus menjawab apa. Padahal faktanya Cakka hanya membutuhkan satu
jawaban, yaitu iya atau tidak.
“Apa
gak ada pertanyaan lain yang lebih susah untuk gue jawab, Cak?” ceplos Alvin
sekenanya.
“Gak
ada.” balas Cakka dingin.
“Ish!
Loe kok jadi emosian gini sih sekarang? Slow
aja kali sama gue mah.” Cakka menghela napas kuat-kuat.
“Niat
mau jawab pertanyaan gue gak sih, Vin?! Ck!”
“Kalau
boleh jujur, sebenernya sih gak ada. Cuma berhubung loe maksa, terpaksa gue
bakal jawab.” kata Alvin santai. Ia kembali duduk di samping Cakka yang
ekspresi wajahnya terlihat begitu kesal dengan sikap Alvin yang menyebalkan itu.
Alvin pun menarik napas dalam-dalam sebelum ia menjawab pertanyaan adiknya tadi.
“Jujur,
awalnya sih gue gak pernah nyesel sama perbuatan gue yang itu. Cuman…” Alvin
menggantungkan ucapannya, menyuruh sang otak untuk bekerja keras merangkai
kata-kata yang tepat supaya tidak salah ucap di hadapan adiknya yang kini super
sensitif itu.
“Cuman
akhir-akhir ini, semenjak Sivia minta maaf sama gue kemarin, gue mikir kalau
gue emang bener-bener keterlaluan. Entah kenapa gue bisa kaya gitu sama cewek,
Cak. Gue juga bingung,” lanjutnya lirih.
“Hmm…
tapi ya sudahlah! Toh udah terjadi juga. Sekarang gue mah terserah Sivia mau
benci gue atau nggak. Yang jelas gue nyesel sekarang.” Alvin lagi-lagi
menyambung sebelum Cakka ikut merespon.
“Vin?”
“Heh?”
“Gue
tanya sekali lagi sama loe. Sebenernya loe punya rasa malu gak sih, Vin?” Cakka
duduk menghadap Alvin yang ekspresi wajahnya kini berubah menjadi lebih datar
dari sebelumnya.
“Loe
kok nanya gitu sih sama gue?” tanya balik Alvin sedikit heran.
“Mikir
Vin, mikir! Dengerin ya, di sini udah jelas-jelas Sivia yang dipermalukan sama
loe. Dan dengan lantang pula Sivia minta maaf sama loe di depan temen-temen loe
kemaren, tapi apa coba yang loe lakuin ke dia? Loe gak ngelakuin apa-apa kan?
Loe cuma diem aja kan, Vin? Yang seakan-akan loe itu gak punya salah sama
sekali. Ck! Gak ngerti gue sama pemikiran loe sekarang.” Alvin terdiam membisu.
Tekanan dari Cakka lagi-lagi membuat Alvin tak bisa berkutik sama sekali
seperti yang terjadi kemarin saat Ify memarahinya di depan kelasnya sendiri.
“Virus
macam apa sih yang menjamah otak loe, hah?!”
“Iya,
oke, gue emang salah. Tapi loe gak perlu terus-terusan mojokin gue kenapa?! Toh
ini semua bukan sepenuhnya salah gue kan? Dan loe juga harusnya mikir, Cak! Emangnya
selama hidup loe, loe gak pernah ngelakuin kesalahan? Iya?! Selalu dan selalu
nyalahin orang. Ngerasa sempurna loe, hah?!” ketus Alvin yang kini sudah mulai
jengah dengan hujatan yang diberikan Cakka kepadanya. Dan dengan sedikit
menahan emosi, Alvin meninggalkan Cakka begitu saja setelah sebelumnya ia
menyenggol cukup keras pundak adiknya tersebut. Cakka pun mendadak diam saat
mendengar kata-kata Alvin tadi. Di situ ia berpikir kalau yang dikatakan
kakaknya itu ada benarnya. Tak seharusnya Cakka terus-terusan menyalahkan
Alvin. Alvin memang tak sepenuhnya salah. Lagi pula Sivia sendiri yang
mengalami hal tersebut sudah mau memaafkan Alvin. Kenapa Cakka tidak bisa? Dan
bukankah Cakka tak ada kewajiban buat ikut campur urusan antara Alvin dan
Sivia? Entahlah. Cakka sudah terlanjur terjebak di tengah-tengah masalah yang
menyandung kakak kandungnya tersebut.
***
“Wuih…
bisa stres dadakan gue kalau kaya gini terus. Arrrggghhh!!!” Ray mengacak
rambut gondrongnya frustasi. Tidak tau kenapa malam ini ia merasa sulit sekali
memejamkan mata. Padahal sudah jelas-jelas jam dinding telah menunjuk ke angka
11.22 WIB. Waktu di mana seharusnya Ray berkeliaran di alam mimpi. Tapi yang
ada kini Ray hanya bisa berguling-guling resah di atas kasur sembari sesekali
mulutnya mendecak kesal. Pikirannya terus dan terus dihantui oleh sosok cewek
yang ditemaninya di kantin Sarfagos siang tadi.
“Shilla…
Shilla… Shilla… dan Shilla! Tuh anak punya pelet apa sih?! Gue mikirin dia mulu
masa? Aih!” Ray pun duduk bersila dengan meremas keras bantal guling yang
dipangkunya.
“Enggak!
Enggak! Enggak! Enggak mungkin! Gue gak mungkin suka sama dia!” tolak Ray
cepat-cepat saat otaknya menyimpulkan akan sesuatu yang sedang terjadi padanya.
Ia segera berbaring menutup wajahnya dengan bantal.
“What the hell?! Gue gak lagi kasmaran
kan? Aih… ini terlalu lebay! Wake up,
Raynald! Jangan bilang loe suka sama Shilla. Inget, loe baru kenal sama dia!
Jangan macem-macem!” rutuknya sambil kembali duduk bersila. Wajahnya yang
terlihat kusut itu pun semakin tambah kusut dengan keadaan rambutnya yang
acak-acakan.
“Ray?”
sedetik setelah Ray menarik napas, sebuah panggilan di balik pintu kamarnya
terdengar sangat jelas. Panggilan yang tak asing lagi di telinga seorang Ray.
Panggilan sang mama.
“Iya,
Ma? Kenapa?” tanyanya langsung.
“Kamu
kenapa teriak-teriak? Kamu gak apa-apa kan? Ini udah malem lho, kenapa belum
tidur?” Ray langsung menepuk dahinya pelan.
“Aduh,
Raaaaaayyyyyy!!! Bego banget sih loe!” gumamnya.
“Gak
apa-apa kok, Ma. Tadi ada tikus gede banget, jadi Ray teriak-teriak deh. Iya, Ray
udah tau kok. Bentar lagi Ray juga tidur.” balas Ray sedikit berteriak.
“Oh,
ya udah kalau gitu mama tidur duluan ya?”
“Iya,
Ma.” lantas ia tersenyum saat sang mama pergi dan menutup pintu kamarnya
perlahan.
“Aih…
oke, Ray! Sekarang loe tidur, mimpi indah, dan lupain semua bayang-bayang tadi.
Go!” suruh Ray pada diri sendiri. Ia
langsung bersembunyi di balik selimut tanpa terlihat sedikitpun anggota
badannya. Mencoba sebisa mungkin untuk tidur.
***
He
was like art
Likeable, but not easy to understand
And much praised, but only one person who could give him a beauty
Meaningful beauty for anyone who saw
Likeable, but not easy to understand
And much praised, but only one person who could give him a beauty
Meaningful beauty for anyone who saw
And although many
are interested to have his beauty
But…
But…
Keep calm down, he will
always look beautiful
As long as there are people who haven’t been touched
Touching his love
As long as there are people who haven’t been touched
Touching his love
Sivia
langsung merubah ekspresi wajahnya heran saat ia meneliti kembali hasil potretannya
pagi ini. Kegiatan rutin yang memang selalu Sivia lakukan saat kakinya baru
saja menginjak gerbang sekolah. Ya, memotret semua suasana sekolah Sarfagos yang
menurutnya begitu indah saat pagi menjelang. Apalagi semalam habis terguyur
hujan. Pastinya tambah sejuk, damai, dan tentunya mempesona. Bahkan Sivia pun rela berangkat lebih pagi dari teman-temannya
yang lain hanya untuk mengekspresikan hobi barunya itu. Hobi yang akhir-akhir
ini menjamah kehidupannya. Dunia fotografi.
“Kak
Alvin?” gumam Sivia pelan sambil mengernyitkan salah satu alisnya. Entah karena
kebetulan atau tidak, sosok Alvin tanpa sengaja tertangkap oleh kameranya. Lantas
Sivia duduk cepat-cepat tanpa sedikitpun beralih memandangi wajah Alvin yang kini
ada di kameranya itu.
“Emangnya
kak Alvin udah berangkat ya? Perasaan tadi gak ada dia deh.” Sivia melirik ke
arah sekitar yang masih begitu sepi. Tatapannya ia tajamkan ke setiap sudut
sekolah yang masuk ke wilayah pandanganya.
“Hmm…
aneh!” ucap Sivia kemudian. Lalu ia kembali bangkit dan berjalan menyusuri
koridor sekolah sambil mengarahkan kameranya ke beberapa objek yang ditemuinya.
Namun tiba-tiba… bruk!!! Bunyi benda tiba-tiba terdengar jatuh dari sebuah
kelas yang baru saja Sivia lewati. Lantas membuat Sivia tersentak kaget dan
refleks menengok ke arah sumber suara dengan penuh penasaran.
“Hai,
siapa di dalem?” panggil Sivia mencoba memastikan ada orang atau tidak di dalam
kelas tersebut. Meski sedikit takut, akhirnya Sivia pun memberanikan diri untuk
membuka pintu kelas itu perlahan-lahan. Klek! Sedetik, masih belum terlihat
tanda-tanda kehidupan di sana. Hanya ada deretan-deretan bangku saja yang
terlihat oleh mata Sivia.
“Arrrggghhh!!!”
“Kak
Alvin?!” Sivia dibuat heran dengan ulah Alvin yang entah sedang apa dirinya
duduk dengan ekspresi wajah yang kesakitan di balik kursi. Sivia berjalan
mendekat.
“Kak
Alvin lagi ngapain?” tanya Sivia penasaran. Alvin tersenyum dengan terpaksa.
Rasa perih di pantatnya membuat Alvin tak kuasa untuk bangun.
“Kak
Alvin lagi ngapain sih?” tanya Sivia lagi karena sejak tadi pertanyaannya belum
dijawab juga sama Alvin.
“Bantu
gue dulu, jangan banyak tanya!” ketus Alvin. Tangannya ia ulurkan ke arah
Sivia, berusaha meminta bantuan untuk membangunkannya. Tanpa ragu, Sivia
mengangkat tubuh Alvin dan mendudukannya di salah satu kursi.
“Thanks.” Sivia mengangguk cepat.
“Kak
Alvin gak apa-apa kan? Emangnya kenapa sih bisa jatuh gitu?” Alvin menarik
napas perlahan.
“Gue
kesandung kursi pas ambil ponsel.” jawabnya datar sambil menunjukkan ponsel
yang digenggamnya.
“Ponsel
gue ketinggalan di sini kemaren.” lanjut Alvin. Kemudian Sivia mengangguk.
“Oh,
gitu. Hmm… ya udah deh aku kelas dulu ya, kak? Permisi.” tanpa basa-basi
terlebih dulu, Sivia langsung melangkahkan kaki meninggalkan Alvin yang masih
menampakan ekspresi kesakitannya itu.
“Sivia?”
panggil Alvin pelan.
“Ya?”
“Hmm…
loe suka fotografi juga?” tanya Alvin ragu. Tatapan matanya tertuju pada sebuah
kamera yang menggantung di leher cewek manis yang saat ini berdiri tepat di
ambang pintu. Sejenak, Sivia ikut menatap ke arah kameranya.
“Lumayan.
Kenapa deh? Kak Alvin suka fotografi juga?” Alvin tersenyum sebisanya.
“Hmm…
begitulah.” balasnya kemudian. Sivia kembali membulatkan mulut. Terlalu bingung
harus berkata apa lagi dengan cowok yang satu itu. Begitupun sebaliknya. Yang
ada mereka saling berdiam diri tanpa sedikitpun bertukar kata.
“Vi,
gue minta maaf sama loe.” ungkap Alvin kemudian setelah cukup lama mematung.
“Heh?
Minta maaf? Buat?” Sivia yang tadi sempat beralih ke kameranya itupun langsung
kaget mendengar ucapan Alvin. Ia pun menatap bingung sosok cowok yang kini
sedang berjalan mendekatinya.
“Buat…
ya, buat masalah kemaren itu.” jawab Alvin singkat. Ia memandang Sivia dengan
tersenyum.
“Hmm…
udah aku maafin kalau masalah itu, kak. Jadi kak Alvin gak perlu minta maaf lagi.”
Sivia balas tersenyum.
“Maafin
gue ya, Vi? Gue kemaren bener-bener nyesel. Please,
maafin gue.” pinta Alvin lagi. Sekarang ia katupkan kedua telapak tangannya di
depan dada.
“Apa
perlu gue cium kaki loe biar loe mau maafin gue.” lanjut Alvin lagi dengan
tiba-tiba bersimpuh di lutut Sivia.
“Gak
usah kak, gak usah! Aku bilang aku udah maafin kakak. Kakak denger gak sih?”
Sivia mengangkat paksa tubuh Alvin yang seakan bersimpuh di kakinya.
“Please…”
“Kak
Alvin, dengerin ya! Aku udah maafin kakak. Aku udah maafin!”
“Loe
bohong, Vi! Loe bohong! Loe belum maafin gue. Loe gak tulus maafin gue. Loe…”
Sivia menarik napas panjangnya di tengah-tengah perkataan Alvin yang terpotong.
“Kak!!!”
bentaknya kemudian.
“Gue
mohon…” lirih Alvin sembari menundukkan kepala.
“Gue
mohon banget sama loe, Vi.”
“Mohon
apa lagi sih, kak? Aku bilang aku udah maafin kakak. Kakak jangan pura-pura
bodoh seperti itu.” Alvin menghela napas.
“Gue
gak mau loe maafin gue karena terpaksa. Gue mau loe maafin gue dengan tulus
tanpa ada syarat apapun. Loe jangan jauhin gue. Loe mau kan?” Sivia mendadak
diam.
“Please…” lagi-lagi Alvin menampakkan
raut wajah memohonnya di hadapan Sivia.
“Itu
hak aku buat ngejauh atau tidak sama kakak. Kakak gak berhak larang-larang
aku.”
“Vi,
please…” Alvin menggenggam lengan
Sivia perlahan. Tatapannya yang sendu membuat Sivia iba melihatnya.
“Gue
janji, gue gak bakal bikin masalah lagi sama loe. Gue akan bersikap sebaik
mungkin sama loe. Seperti Cakka, seperti Ify, atau seperti siapapun yang loe
anggap baik. So, gue mohon loe jangan
jauhin gue. Gue gak mau terus-terusan merasa bersalah sama loe. Dan gue gak mau
melihat Cakka dan Ify selalu dan selalu nyalahin gue. Walaupun gue tau ge itu
salah, tapi…”
“Udah
kak, udah! Please, jangan bahas masalah
itu lagi di depan aku. Oke kalau itu mau kakak, aku bakal kabulin. Aku gak
bakal jauhin kakak.” ungkap Sivia yang mulai jenuh melihat tingkah Alvin yang
berlebihan menurutnya.
“Se…
serius???” kata Alvin meminta penjelasan. Sivia lantas mengangguk datar.
Rasanya begitu sulit untuk Sivia menolak permintaan Alvin saat ia melihat
tatapan matanya tersebut.
“Sebisa
mungkin akan aku coba untuk melupakan semua itu, kak. Dan anggap aja kita baru
kenal satu sama lain, belum pernah ada masalah sebelumnya. Itu kan yang kakak
mau?”
“Makasih
banyak Vi, makasih!”
“Iya
kak, sama-sama.” Sivia tersenyum. Semua perlakuan buruk Alvin padanya itu
seakan menghilang begitu saja di benak Sivia.
“Sekali
lagi makasih” ucap Alvin tulus.
“Hmm…
ya udah kalau gitu aku ke kelas dulu ya, kak? Mau taruh tas.”
“Eh,
Vi?” baru saja Sivia hendak pergi, Alvin langsung memegang tangannya erat-erat.
“Hmm…
loe pasti belum sarapan kan? Ikut gue ke kantin yuk? Toh masih pagi ini. Mau
ya, Vi?” tawar Alvin langsung. Lagi dan lagi Sivia dibuat pasrah olehnya.
“Tapi,
kak?”
“Gue
traktir deh. Mau ya? Anggap ini sebagai tanda minta maaf gue.” Alvin tersenyum.
“Please deh, kak! Gak usah
diungkit-ungkit lagi masalah itu.” ketus Sivia sedikit memutar matanya jengah.
“Ya
udah makanya mau!”
“Iya-iya
aku mau!”
“Nah
gitu dong! Ayo!” tanpa banyak omong, Alvin menarik tangan Sivia cepat-cepat.
***
“Lho,
bukannya kak Alvin udah berangkat ya?” sahut Ify heran saat Rio menyambangi
kediaman Alvin bermaksud untuk mengajak berangkat ke sekolah bareng. Rio
mengernyit.
“Hah?
Udah berangkat? Ck! Rese banget si Alvin!” decak Rio kesal. Padahal semalam Alvin
sendiri yang meminta Rio untuk menjemputnya di rumah. Ternyata sekarang ia
sudah pergi duluan tanpa sepengetahuan Rio sebelumnya.
“Emangnya
kak Rio ada janji ya sama kak Alvin?” tanya Ify penasaran. Tanpa mempersilahkan
Rio masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Rio pun terhenyak.
“Heh?
Loe kenal gue sih?” terkesan aneh, Ify menatap Rio skeptis.
“Ya
iya lah kenal. Semua sahabatnya kak Alvin sama kak Cakka itu gue tau kok. Ya,
walaupun belum sempet kenalan juga sih. Tapi seenggaknya gue tau.” jawab Ify
santai. Melihat ekspresi cewek yang ada di hadapannya itu, entah kenapa Rio mendadak
salah tingkah. Namun ia sebisa mungkin untuk tetap kelihatan cool di hadapan Ify.
“Oh,
gitu ya? Hmm… ya udah deh, berhubung gue belum kenal sama loe, kenalin nama gue
Rio. Mario Sebastian.” kata Rio tanpa dosa sama sekali. Ify terkekeh. Aneh
sekaligus lucu melihat tingkah sahabat Alvin yang satu ini.
“Oh,
gue Ify. Salam kenal ya, kak?” balas Ify singkat. Mereka saling tukar senyum
kemudian.
“Mau
masuk dulu?”
“Hmm…
gak usah deh, makasih. Toh si Alvin juga udah berangkat.”
“Ya,
gue cuma nawarin aja sih. Gak mau juga gak apa-apa.” sambung Ify datar. Dan
entah ada angin apa hari ini Rio tidak pecicilan seperti biasanya. Sekarang ia
terlihat lebih jual mahal di hadapan cewek.
“Eh,
emang loe tinggal di sini juga? Kok gue baru tau sih?”
“Enggak
kok, rumah gue di sana.” Ify menunjuk salah satu rumah yang memang tak jauh
dari rumah Alvin. “Gue ke sini mau nebeng naik motor sama kak Cakka. Hehehe.” sambungnya.
Rio mengangguk paham. Sementara itu mereka diam kembali. Bingung dengan
pemikiran masing-masing. Ditambah dengan tidak adanya topik lain untuk mereka
bicarakan pagi itu. Sampai Cakka datang membuyarkan aksi diam-diaman Ify dan
Rio.
“Ayo
berangkat, Fy!” ajak Cakka seraya tangannya membereskan bajunya yang masih
terlihat berantakan.
“Eh,
ada Rio sih?” sambungnya saat menyadari kehadiran Rio. Rio memamerkan gigi
putihnya.
“Iya,
ini katanya kak Rio mau jemput kak Alvin.” sambung Ify.
“Lho,
bukannya Alvin udah berangkat tadi pagi?” ucap Cakka heran. Karena memang Cakka
melihat sendiri Alvin yang tadi pagi buru-buru pergi waktu ia baru saja mau
masuk ke kamar mandi.
“Iya,
payah tuh si Alvin gak bilang-bilang gue dulu kalau mau berangkat. Semalem
bilangnya gue harus jemput dia, sekarang malah dia yang pergi duluan. Ck!”
decak Rio kesal. Sahabatnya yang menyebalkan satu itu memang sering bikin orang
susah.
“Hmm…
ya udah kalau gitu kita berangkat bareng aja daripada bingung mikirin Alvin.
Ayo berangkat! Udah siang nih.” ajak Cakka dengan menarik tangan Ify ke garasi
rumahnya. Di mana di sana telah tersedia sebuah sepeda motor milik Cakka yang
siap untuk ditumpangi. Tanpa berpikir panjang lagi, Rio menuruti ajakan Cakka
dan ia pun langsung menghampiri sepeda motornya yang terparkir di depan gerbang
rumah Cakka dan Alvin tersebut.
***
“Wuih…
gila parah tuh cewek cantiknya gak nahan. Alami banget, brader! Kaya gak pakai
formalin gitu deh. Sumpah gue suka sama dia! Gak bohong gue. Seriusan!” oceh
Gabriel tak henti-hentinya begitu beberapa detik ia duduk di samping Rio yang
lima menit lebih awal berada di kelas.
“Wait! Wait! Wait! Loe kenapa, Gab?
Kesurupan? Ish! Dateng-dateng langsung ngoceh gak jelas gitu. Kaya ibu-ibu
menang arisan aja loe.” tukas Rio risih melihat ulah Gabriel. Tanpa merespon
sedikitpun kata-kata Rio tadi, Gabriel malah langsung merangkulnya erat.
“Gab,
apaan sih?! Lepasin gak?! Gabrieeeeeeellllll!!! Gue bukan mahoan loe ya! Jadi
jangan mentang-mentang Alvin gak ada, loe mau ngajak gue mahoan sesuka loe?
Ish! Najis sangat gue! Lepasin gue!” tolak Rio mentah-mentah. Namun Gabriel tak
langsung melepaskannya begitu saja, ia malah lebih erat memeluk cowok yang playboynya tak bisa diragukan lagi itu.
“Lepas
gak?! Gue hajar nih kalau gak lepas!” ancam Rio kemudian. Gabriel tetap tak
menggubris. Ia tersenyum menggoda ke arah Rio.
“Gue
mau lepasin loe dengan satu syarat.” bisik Gabriel antusias. Rio yang sudah
tidak betah dipeluk sama Gabriel pun langsung menyetujui tanpa memikirkan
terlebih dahulu apa maksud di balik tawaran Gabriel tersebut.
“Apapun
alasannya, yang penting lepasin gue sekarang. Gak ada sejarahnya gue
dipeluk-peluk sama cowok selama ini. Ish!” tukas Rio.
“Oke.”
Gabriel melepaskan lingkaran tangannya di pundak Rio perlahan. Sedikit
bergidik, Rio langsung menjauh dari Gabriel.
“Apa
syaratnya, hah?” tanya Rio sembari berjaga jarak.
“Gak
usah geser-geser!!!” lanjutnya parno. Entah kenapa pagi ini Rio seakan
mendapatkan kesialan ganda dari kedua sahabatnya itu.
“Wuih…
loe songong banget ya jadi orang! Sekali lagi gue bilang, gue bukan maho! Tadi gue
bercanda doang, Mario.” bela Gabriel kesal.
“Ya
udah cepetan apa syarat yang loe minta tadi?”
“Oke-oke.
Hmm… gini Yo, gue kan ada taruhan tuh sama loe dan sama Alvin juga?”
“So?” potong Rio cepat.
“Dengerin
gue dulu kenapa?! Ck!” decak Gabriel mulai jengah.
“Oh,
iya-iya maaf. Slow aja kali.”
“Muka
loe tuh slow.” balasnya.
“Jadi
sebenernya syarat loe apa sih, Gab? Ngambekan loe jadi orang.”
“Abis
loe rese sih. Hmm… jadi gini, berhubung loe belum dapet juga cewek yang mesti
gue taklukin, gimana kalau gue sendiri aja yang cari?” tawar Gabriel pelan.
Berusaha untuk tidak ada yang tau dengan acara taruhan mereka.
“Wuih…
enak aja loe! Pokoknya gak mau, gue yang cari. Kalau kaya gitu sih gak ada
tantangannya.” tolak Rio langsung sambil melambai-lambaikan tangan ke depan
wajah Gabriel. Gabriel mendesis.
“Ayolah,
Mario! Toh tujuan awal kita ngelakuin taruhan ini buat buktiin kalau gue sama
Alvin itu bukan maho kan? So, gak
salah dong kalau gue cari sendiri?” Rio berpikir sejenak sebelum kembali
membuka mulut.
“Hmm…
tapi gimana dengan Alvin? Kalau gue izinin loe cari cewek sendiri, berarti gue
gak adil dong sama Alvin?” ucapnya kemudian sambil tetap berpikir. Gabriel pun
ikut berpikir meniru gaya sahabatnya itu.
“Iya
juga sih. Hmm… tapi ya udahlah gak apa-apa. Toh Alvin juga gak keberatan ini
kan buat deketin cewek bernama Sivia itu?”
“Ya
udah deh terserah loe, Gab. Eh, tapi ngomong-ngomong tadi loe kenapa sih ngoceh
gak jelas gitu pas baru dateng? Heran gue sama loe.” tanya Rio saat teringat
dengan tingkah Gabriel yang menurutnya aneh itu. Yang tiba-tiba datang,
tiba-tiba memeluknya, dan tiba-tiba meminta untuk mencari cewek sendiri dalam
ekspedisi taruhan yang akan mereka lakukan.
“Ya
gitu deh. Itu alasan pertama kenapa gue minta syarat baru sama loe.” Gabriel
tersenyum renyah. Dan baru sekali ini Rio melihat Gabriel seperti orang yang
baru mendapat durian runtuh. Bawaannya tersenyum terus.
“Loe
udah nemu ceweknya, Gab?” Gabriel lantas mengangguk.
“Wuih…
sedap! Akhirnya sahabat gue yang satu ini sembuh juga dari sakitnya. Congratulations, brader!” kata Rio
seraya menepuk pelan pundak Gabriel. Lantas Gabriel mendecak.
“Ck!
Sialan loe!”
“Hahaha.
Kalau boleh tau siapa namanya, Gab? Anak mana? Cantik gak? Bodynya sexy? Terus
rambutnya panjang apa pendek? Putih? Feminim apa tomboy? Terus…”
“Shut up, Mario! Loe nanya apa ngajak
ribut sih? Heran gue sama loe.”
“Hahaha.
Sori brader, sori. Kaya gak tau gue aja. Oke ini serius, siapa namanya?” tanya
Rio lagi dengan candaan khasnya.
“Gue
belum tau namanya sih. Tadi pagi pas gue baru masuk gerbang sekolah, gue gak
sengaja nyenggol dia.” jawab Gabriel jelas.
“Wuih…
gue kira loe udah kenal sama tuh cewek. Ternyata baru pandangan pertama toh.
Hmm… tapi bagus lah, ada peningkatan buat loe. Setidaknya loe bukan seratus
persen ma…” Gabriel segera membekap mulut Rio begitu ia tau apa yang hendak
sahabat karibnya itu ucapkan.
“Please deh, Yo! Loe masih pengen hidup
kan?” ancam Gabriel sengit. Si Rio malah gelagapan karena mulutnya yang dibekap
tanpa sedikitpun oksigen yang masuk ke hidungnya. Lantas Gabriel langsung
melepaskannya sebelum sahabatnya itu benar-benar meninggal karena kehabisan
udara.
“Sialan
tingkat kiamat loe jadi orang! Dikira gue orang autis apa pakai dibekap segala.
Ish!”
“Ya
abisnya loe rese sih jadi orang.” Rio memutar matanya jengah.
“Eh,
Alvin mana? Kok gue belum lihat dia ya?” tanya Gabriel kemudian. Rio mengangkat
kedua bahunya cepat.
“Gak
tau gue juga. Tadi pagi gue jemput dia ke rumahnya, katanya dia udah berangkat.
Tapi di sekolah malah gak kelihatan sama sekali batang hidungnya. Hmm… biasalah,
jin alay. Sukanya ngilang-ngilang mulu.” tukas Rio asal. Gabriel terkekeh
mendengarnya. Alvin? Jin alay? gumam
Gabriel sambil tak henti tersenyum.
“Kalau
gitu cari dia yuk? Gak asyik nih kalau gak ada dia.” ajak Gabriel kemudian
sambil meminta persetujuan Rio.
“Okelah…”
ujar Rio. Lantas mengikuti langkah Gabriel dari belakang.
***
Ray
memutar matanya kesal saat mengetahui kalau perkataannya yang sudah panjang
lebar itu ternyata tidak didengar baik-baik oleh Cakka yang kini duduk di
sebelahnya tersebut. Karena sejak tadi entah kenapa Cakka terlihat seperti orang
kebingungan. Matanya berkeliaran ke mana-mana.
“Cak,
loe dengerin gue gak sih?” tanya Ray kecewa. Pundaknya ia senggolkan ke pundak
Cakka pelan.
“Eh,
iya, kenapa?” tanya balik Cakka dengan gelagapan. Seakan tersadar dari kesibukan
panjangnya mencari seseorang sejak tadi.
“Aih…
dari tadi gue dikacangin ternyata. Parah loe, Cak! Kenapa sih loe?” Cakka
menggeleng cepat.
“Aneh!”
“Gue
gak kenapa-kenapa kok, Ray. Hmm… loe cerita apaan sih barusan?” Ray mendengus
seketika. Nih anak gak punya dosa banget
ya?! rutuknya.
“Sori
deh, sori. Gak usah kesel gitulah mukanya. Santai aja, oke?” kata Cakka seraya
merangkul Ray yang sudah dianggap seperti saudara sendiri itu. Lagi-lagi Ray
memutar bola matanya jengah. Ia paling gak bisa marah kalau sama sahabatnya
yang satu ini.
“Yayaya.
Nih muka gue udah santai. Udah kece pula kaya Prince William.” tunjuk Ray ke wajahnya sembari senyum tak jelas.
Cakka pun terkekeh.
“Heh?
Gak salah denger gue, Ray? Aih…”
“Enggak!
Enggak! Loe gak salah denger kok, Cak. Itu fakta dan itu kenyataan dan itu juga
bukan khayalan.” timpal Ray asal. Lagi-lagi Cakka terkekeh.
“Sejak
kapan loe jadi alay gini, Ray? Ish!”
“What? Alay? No! Kece gini malah dibilang alay. Parah banget parah!” tukas Ray
asal.
“Aih…
whatever deh kalau gitu.” balas Cakka
masa bodoh. Sepertinya ia sedang tidak ada hasrat untuk berbasa-basi ria pagi
ini. Entahlah.
“Cak?”
“Ya?”
“Hmm…
menurut loe Shilla itu gimana sih orangnya?” tanya Ray tiba-tiba. Merasa ada
yang aneh, Cakka menatap sahabatnya itu dengan seringaian jahil di bibirnya.
“Ciyeeeeee…
ehem!” goda Cakka kemudian dan sontak itu membuat Ray terheran-heran dengan
tabiat sahabat karibnya tersebut. Lantas Ray mengangkat salah satu alisnya geli.
“Ish!
Kenapa loe, Cak?”
“Gak
apa-apa. Hahaha. Loe suka ya sama Shilla? Ehem!” goda Cakka lagi-lagi. Kali ini
ia menyenggol pelan pundak Ray yang saat itu tampak kebingungan dengan tuduhan
Cakka yang menurutnya tak masuk akal.
“Gue
suka Shilla? Please deh, Cak! Kenal
aja baru kemaren, gimana mau suka?”
“Wake up, Ray! Emang loe gak pernah
denger apa dengan cinta pada pandangan pertama? Aih… payah loe!”
“Heh?
Ada gitu cinta pada pandangan pertama? Kok gue baru tau ya?” kata Ray heran.
Cakka mendecak pelan.
“Makanya
jangan drum aja digedein!”
“Ish!
Kok malah nyambungnya ke drum sih?
Aneh.” ketus Ray sekenanya.
“Hahaha.
Abisnya loe tiap hari main drum mulu sih. Istilah cinta pada pandangan pertama
aja masa gak tau.”
“Ck!
Loe kaya gak tau gue aja sih?” Cakka mengangguk berkali-kali. Bermaksud untuk
memahami apa yang dibilang Ray itu.
“Toh
apa susahnya sih jawab? Ish!” lanjut Ray.
“Yayaya
gue jawab deh. Shilla kan? Hmm… menurut gue Shilla itu baik, cantik,
komunikatif, manja, terus apalagi ya?” Cakka mencoba berpikir lagi tentang
Shilla. Sedangkan Ray hanya mengangguk-angguk mendengar kata-kata Cakka tentang
Shilla tersebut.
“Setau
gue sih cuma itu. Emangnya kenapa, Ray?” sambung Cakka setelah aksi berpikirnya
tadi tak membuahkan hasil apa-apa lagi.
“Ya,
cuma nanya doang sih. Gak ada salahnya kan nanya?” Cakka kemudian mengangguk
dengan membulatkan mulutnya wajar.
“Tumben-tumbenan
loe nanyain cewek, Ray. Udah normal loe ya sekarang. Hahaha.”
“Sialan!”
“Hahaha.
Harusnya loe bersyukur dong kalau loe udah sembuh?”
“Gue
gak sakit, Cakka!!!” timpal Ray tak mau kalah.
“Yang
bilang loe sakit siapa? Orang gue bilang loe sembuh juga.” ucap Cakka
semenyebalkan mungkin bagi Ray.
“Serah
loe deh, Cak. Sumpah, baru kali ini gue kesel sama loe.” ujar Ray kesal. Si
Cakka malah tertawa membalasnya.
“Udah
deh, kalau loe emang suka sama Shilla ya jujur aja lagi. Entar gue bantuin loe
buat jadian sama dia.”
“Cak!”
cekal Ray penuh penekanan.
“Gue
kenal loe udah lama, Ray. Dan loe gak bisa bohong sama gue. Udahlah jujur aja
sama gue, apa susahnya sih? Gue masih sahabat loe kan?” Ray pun terdiam
mendengarnya. Entah apa yang harus ia bilang ke sahabatnya itu.
“Hmm…
gue, gue juga gak tau gue suka sama Shilla atau nggak. Yang jelas semalem gue
gak bisa tidur karena kebayang muka dia terus, Cak.” jelas Ray jujur. Awalnya
Cakka antusias mendengar, tapi kemudian ia tersenyum menggoda dengan sesekali
memainkan kedua alisnya asal.
“Please deh ekspresinya gak usah ngeledek
gitu!” tukas Ray jengkel.
“Gue
gak ngeledek kali, Ray! Justru gue seneng dengernya, loe udah mulai suka sama
cewek. Tumben-tumben lho seorang Raynald Orlandio naksir cewek.” kata Cakka
sedikit menyeringai.
“Maksud
loe kemaren-kemaren gue suka sama cowok?! Ish!” kemudian Cakka mengernyitkan
dahinya cepat.
“Bukan
gitu juga maksud gue. Aih… loe kaya cewe deh, sensitif mulu.”
“Ya,
abisnya loe rese banget pagi ini. Tadi gue dikacangin, sekarang dipojokin terus
diledek pula. Parah loe sekarang, Cak.”
“Sori
deh, sori. Hmm… Ray?” panggil Cakka. Ray pun meresponnya dengan ekspresi wajah
bertanya ke arah sahabatnya itu.
“Patroli
yuk? Mumpung masih pagi nih. Ya, siapa tau aja entar ketemu Shilla di jalan.
Mau gak?” tawar Cakka seraya menggoda Ray. Sementara Ray hanya bisa memutar
kedua bola matanya jengah.
“Please deh gak usah pancing-pancing gue!
Nyesel gue cerita sama loe, diledek mulu.”
“Hahaha.
Come on, brader!” tanpa membalas
ucapan Ray tadi, Cakka langsung melangkah meninggalkannya. Berpatroli keliling
sekolah seperti yang selalu ia lakukan bersama Ray sesaat sebelum masuk jam
pelajaran pertama. Bisa dibilang untuk cuci mata. Mungkin.
***
“Wuih…
pantesan aja dicari ke mana-mana gak ada, ternyata orangnya lagi makan di sini
toh? Sama cewek pula.” heboh Rio yang baru saja menemukan keberadaan Alvin di
kantin setelah cukup lama dirinya dan Gabriel mencari.
“Udah
gitu gak ngajak-ngajak kita pula. Payah loe, Vin!” sambung Gabriel. Alvin dan
Sivia saling pandang seketika, heran dengan ulah Rio dan Gabriel yang tiba-tiba
datang dan tiba-tiba mengoceh tak jelas ke arah mereka. Apalagi si Rio dan
Gabriel dengan seenaknya duduk begitu saja di depan Alvin dan Sivia seraya
menjamah makanan yang tentunya milik dua insan yang sekarang sedang keheranan
tersebut. Lagi-lagi Sivia menatap Alvin bingung.
“Hmm…
eh, bentar deh! Loe Sivia bukan sih?” tanya Gabriel yang kini asyik memakan burger milik Alvin dengan tanpa dosanya.
Rio pun ikut beralih menatap ke Sivia.
“Eh,
kok iya sih? Wuih… loe hebat, Vin! Bener-bener salut gue sama loe. Padahal
taruhan kita baru aja dimulai kema…” ujar Rio yang langsung dibekap mulutnya
oleh Gabriel saat Alvin menampakan ekspresi takutnya. Takut kalau si Rio sampai
kebablasan bilang masalah taruhan di depan Sivia. Sedangkan Sivia hanya
mengernyit melihatnya.
“Hah?
Taruhan?” kata Sivia heran. Ia segera menatap Alvin dan kedua temannya
bergantian. Aduh, mampus gue! batin
Alvin greget.
“Taruhan
apa ini maksudnya?” Alvin mendecak pelan ketika Sivia kembali bertanya. Alvin bingung
harus menjawab apa. Begitupun Gabriel yang ikut menyayangkan kata-kata Rio
tadi. Tangannya masih setia di mulut cowok pemegang title Plyboy in The World itu meski mulai kehabisan napas.
“Oh,
itu, anu, kita, kita lagi taruhan cepet-cepetan ke sekolah gitu. Iya, begitu.”
serobot Gabriel asal. Sivia masih mengernyit.
“Maksudnya
gini, kita tuh lagi iseng-iseng aja taruhan siapa yang paling cepet dateng ke
sekolah itu yang bakal menang.” sambung Alvin yang tak kalah asal dengan
Gabriel. Gabriel ikut mengangguki.
“Heh?
Kok ada-ada aja sih? Aneh deh kalian.” balas Sivia yang mulai mengerti maksud
ucapan Rio tadi.
“Bagitulah
kami adanya, Vi. Suka gila-gilaan, biar tetep fun.” lanjut Alvin. Gabriel pun melepaskan tangannya dari mulut Rio
sebelum berakibat fatal.
“Ish!
Apaan sih, Gab! Bau tau tangan loe!” tukasnya langsung.
“Ya,
abisnya loe nyerocos mulu kaya bebek. Makanya gue sumpel tuh mulut. Untung gak
sampai gue jahit.” Alvin dan Sivia terkekeh. Mereka berdua kalau sedang
berdebat itu memang terlihat lucu.
“Wuih…
orang kece kaya gini masa dibilang kaya bebek sih? Parah loe, parah! Mesti gue
beliin kacamata minus empat ini mah.”
“Udah-udah
gak usah debat di sini! Malu kali sama bu kantin,” lerai Sivia lembut. Alvin
pun ikut menyahuti.
“Dengerin
tuh!”
“Iya,
dengerin tuh!” sambung Rio ikut-ikutan.
“Heh,
bego! Itu buat elo!” Gabriel langsung menjitak keras kepala Rio. Membuat Sivia
dan Alvin menggeleng prihatin melihatnya. Ada
ya ternyata sahabat yang kaya gitu? kata hati Sivia.
“Hmm…
oh iya, aku Sivia.” tiba-tiba Sivia menjulurkan tangan ke arah Rio dan Gabriel
yang masih sibuk adu mulut itu. Lantas mereka terdiam.
“Heh?
Kita udah kenal loe kali, Vi.” kompak mereka kemudian.
“Tapi
kan Sivia belum kenal sama kalian berdua, gimana sih?!” bela Alvin. Sivia
mengangguk cepat-cepat.
“Yayaya.
Gue Mario Sebastian. Cowok paling kece di antara kedua sahabat gue ini dan
tentunya cowok paling hand to the some
sedunia. Dan satu lagi, gue cowok satu-satunya yang paling normal di sini.”
mendadak, bahkan belum sempat sedetik pun Rio mengambil napas, Alvin dan
Gabriel sudah menatapnya ganas. Cowok yang satu ini memang paling sering
membuat kedua sahabatnya emosi karena ulahnya tersebut.
“Jangan
percaya dia, Vi!” kata Alvin. Gabriel menyetujui.
“Oke,
tenang aja. Aku tau kalau kak Rio cuma bercanda.”
“Bagus
deh kalau gitu. Gue Gabriel, panggil aja Gab!” sambung Gabriel. Ia menjabat
pasti tangan Sivia.
“Baiklah,
kak. Kak Rio, kak Gab? Oke. Panggil aku Sivia atau Via aja.” Sivia tersenyum.
Mereka berempat kembali duduk berhadap-hadapan. Menyantap semua makanan yang
memang belum habis. Entah karena Alvin terlalu banyak membeli makanannya atau
karena memang mereka belum sempat memakannya karena terlalu asyik mengobrol?
Entahlah. Yang jelas kedatangan Gabriel dan Rio membantu mereka untuk menghabiskan
makanan yang Alvin dan Sivia pesan.
Di
satu sisi, Alvin membuang napasnya lega. Entah bagaimana jadinya kalau tadi si
Rio sampai keceplosan bilang ke Sivia kalau dirinya sedang taruhan. Ia pun
menggeleng. Tiba-tiba hatinya merasakan sesuatu yang aneh. Ya, sesuatu yang
benar-benar aneh. Sampai Alvin pun bingung sendiri apa yang sedang dirasakan
dan dilakukannya itu terhadap cewek yang sekarang sedang tertawa di sampingnya tersebut.
Sivia. Alvin mendecak seketika, berusaha menolak semua yang ada di pikirannya
kini.
“Gue
mikir apaan sih?! Ck!” gumamnya.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar