@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Selasa, 03 Desember 2013

He-art 4th


Strange Taste


Siang sudah menggelap beberapa menit yang lalu. Mentari yang tadi sempat berpamitan ke alam raya pun ikut digantikan oleh sang bulan serta teburan bintang-bintang indah yang senantiasa menemani dikala malam datang. Terang. Dan juga tidak terlalu dingin karena pepohonan kini mulai pasif bergerak. Hanya saja terdengar suara binatang malam yang faktanya selalu tidak pernah diketahui di mana mereka berada.

Di suatu rumah yang cukup sederhana, seseorang wanita paruh baya dengan rintihan yang begitu lirih memegangi terus perutnya yang saat itu terasa ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Sangat sakit rasanya dan bahkan wajahnya pun kini terlihat makin pucat dari sebelumnya. Dan sudah berusaha sebisa mungkin untuk wanita paruh baya ini mengambil minum serta beberapa obat yang memang letaknya tak jauh dari tempat ia berbaring. Dengan sedikit gemetaran, tangan wanita itu mencoba meraih gelas sambil menggeserkan sedikit demi sedikit tubuhnya yang terasa kaku. Dan… prang!!! Gelas itu jatuh dan pecah bersamaan dengan tubuh renta wanita itu yang juga ikut jatuh dari atas tempat tidur.
“MAMA!!!” teriak seorang cewek yang kebetulan datang dengan tangan menggenggam nampan berisi bubur dan makanan lembut lainnya. Kemudian cewek itu menaruh barang bawaannya ke atas meja dan segera membantu orang tuanya yang sudah tergeletak lemas di lantai untuk bangun.
“Mama kok bisa jatuh kaya gini sih? Mama gak apa-apa kan? Mama mau ngapain sih?” tanya cewek itu resah sambil berusaha mengangkat tubuh mamanya dan menidurkan kembali ke tempat semula.
“Mama gak apa-apa kok, sayang. Tadi mama cuma mau ambil minum.” lirih wanita tersebut di depan anak gadisnya. Sivia. Lantas Sivia menutupi tubuh mamanya tersebut dengan selimut yang lumayan tebal. Rasa khawatir dan cemas yang berlebihan pun tak elak terpancarkan di wajah cantik Sivia. 
“Ya Tuhan, mama. Mama kan bisa panggil Sivia kalau ada apa-apa.” Sivia berucap sembari memegang lembut tangan sang mama tersayangnya yang sudah hampir seminggu ini terbaring sakit. Ia menatap mamanya sendu.
“Mama kira kamu lagi belajar, jadi mama gak mau ganggu kamu.” balasnya pelan. Dibelainya kepala Sivia dengan penuh kasih sayang.
“Terus kalau mama sampai kenapa-kenapa gimana coba? Via juga kan yang khawatir? Udah deh pokoknya kalau mama butuh apa-apa itu panggil Via atau Difa, oke? Dan mama juga jangan terlalu banyak bergerak, mama masih lemas. Sekarang mama makan dulu ya? Via udah buatin bubur nih buat mama.” Sivia mengambil nampan yang tadi dibawanya setelah sang mama mengangguk menyetujui tawaran anaknya tersebut. Dengan sedikit senyum, Sivia menyuapkan bubur ke mulut mamanya secara perlahan.
“Aaaaaa… pinter!” canda Sivia diiringi dengan tawa khas miliknya. Sang mama pun tersenyum. Anak sulungnya yang satu ini memang selalu membuat dirinya tersenyum.
“Mama harus makan yang banyak biar cepet sembuh, terus bisa masak-masak bareng lagi di dapur sama Via deh. Lagi ya, Ma!” sedikit demi sedikit bubur yang dipegang Sivia pun mulai habis. Ia senang karena sang mama sudah mulai bisa menunjukkan tanda-tanda kesehatannya dalam beberapa hari ini. Tidak seperti sebelumnya yang hanya terbaring lemah dan tidak mau sama sekali makan makanan yang disediakan Sivia tersebut.
“Difa mana?” tanya sang mama saat Sivia hendak memberi segelas air minum kepadanya. Kontan Sivia tak langsung menjawab karena ia juga sampai saat ini belum bertemu dengan adiknya yang maniak sama Spongebob itu. Sivia mengangkat bahu ragu-ragu.
“Di kamarnya kali, Ma. Via juga belum lihat dia dari tadi.” jawab Sivia enggan. Dan baru saja Sivia selesai berucap, ketukan pintu langsung terdengar begitu jelas di telinga dua orang yang sedang berdialog tersebut. Kompak, mereka menengok ke arah pintu.
“Hai!” tiba-tiba muncul sosok anak kecil berambut sedikit keriting sambil memamerkan gigi putihnya di balik pintu. Sivia dan sang mama lantas menggelengkan kepalanya pelan. Panjang umur juga nih anak! batin Sivia setelah mengetahui kalau yang mengetuk pintu tadi adalah orang yang baru saja ditanyakan oleh sang mama. Sang adik, Azkanio Difandreas Rain. Atau yang lebih akrab dipanggil Difa.
“Sini masuk, Dif!” panggil Sivia lembut. Difa pun yang masih betah berlindung di balik pintu akhirnya melangkah masuk begitu Sivia memanggilnya.
“Kamu habis ke mana aja sih, Dif? Tumben kak Via gak lihat kamu dari sore.” Difa duduk di samping mamanya. Ia berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan kakak satu-satunya itu.
“Difa abis ngerjain PR matematika di kamar, kak.” jawab Difa polos. Anak kelas VII SMP ini memang paling betah mengurung diri di kamar. Apapun itu alasannya.
“Oh, gitu. Terus sekarang udah selesai?” Difa menggeleng cepat-cepat. Ekspresi wajahnya langsung berubah tak berdosa. Membuat Sivia memutar mata dan membuang napasnya perlahan karena sudah hafal dengan tabiat buruk adiknya itu.
“Jangan bilang kamu mau minta bantuan kak Via buat ngerjain PR kamu?” tebaknya dengan nada menginterogasi. Difa pun menengok ke arah mamanya dengan ekspresi wajah yang memohon bermaksud untuk meminta tolong agar Sivia mau membantu Difa mengerjakan Pekerjaan Rumahnya. Mama Difa yang memang sudah hafal juga dengan sifat anak bungsunya tersebut akhirnya langsung memberi kode ke Sivia.
“Iya-iya Via bantuin. Makanya lain kali kalau guru lagi ngejelasin tuh didengerin jangan dipelototin mulu. Dasar!” tukas Sivia sambil bangun dari duduknya.
“Iya kak, iya. Lain kali Difa bakal dengerin. Toh lagian kak Via juga pinter kan? Apa susahnya sih bantuin adiknya sendiri ngerjain PR? Iya kan, Ma?” bela Difa ikut bangun juga dari duduknya. Sang mama tersenyum mengiyakan.
“Udahlah jangan banyak omong! Ayo sini ikut kakak!” ajak Sivia dengan menarik paksa tangan Difa untuk keluar kamar.
“Via sama Difa keluar dulu ya, Ma?” pamitnya kemudian. Dan mama mereka pun hanya bisa menggeleng maklum melihat tingkah kedua anak kebanggaannya tersebut.

***


Cakka sedikit tersentak saat Alvin dengan tiba-tiba ikut duduk di teras depan rumah dengan membawa segelas susu hangat yang dipegang kedua tangannya. Untuk sejenak Cakka menarik napas, menengok sebentar ke arah kakaknya untuk sekedar memastikan apa maksud kedatangan Alvin tersebut. Setelah mengetahui Alvin yang hanya diam, Cakka mengalihkan kembali pandangannya ke tempat yang ia pandangi disaat sebelum Alvin duduk di sampingnya. Tempat yang mungkin selalu disinggahi jutaan bintang setiap malamnya. Langit. Ya, Cakka memandangi langit yang kala itu terlihat begitu terang. Di mana itu adalah kegiatan rutin yang sering dilakukan Cakka bersama sang mami saat ia kecil dulu.

Sekilas, Alvin mengikuti arah pandang Cakka yang tertuju ke atas. Lantas ia pun mengeryit setelah cukup lama mengikuti Cakka memandangi langit yang menurutnya tidak sama sekali mempesona itu. Bagaimana tidak, Alvin merasa kalau setiap malam itu hanya ada bulan dan bintang di langit sana. Tidak ada yang lain yang lebih menarik untuk Alvin pandangi.
“Loe lihatin apa sih, Cak?” tanya Alvin setelah dengan nikmatnya ia menyeruput susu hangat buatannya itu. Cakka masih tak bergeming. Belum ada niat sedikitpun dalam benaknya untuk menjawab pertanyaan Alvin tersebut..
“Dijawab kali kalau gue nanya! Bukannya diem mulu kaya orang bego.” ketus Alvin tanpa ragu. Cakka pun melirik sinis ke arah kakaknya.
“Gak ada pertanyaan lain apa?” timpalnya datar. Lagian sudah jelas-jelas Cakka sedang memandang langit, pakai ditanya. Kata hati Cakka saat itu. Mungkin.
“Gak ada. Yang ada di otak gue cuma pertanyaan itu doang. Toh apa susahnya sih jawab?” jawab dan tanya Alvin enteng dengan sesekali meminum kembali susu hangat yang digenggamnya.
“Serah loe deh, Vin! Gue lagi males debat sama loe.” kata Cakka ogah-ogahan. Alvin pun ikut mendecak sinis ke arah adiknya.
“Yang ngajak debat sama loe siapa sih, Cak? Aneh!” sedikit heran, Alvin memandang wajah adiknya itu skeptis. Namun Cakka tak balik merespon. Ia memilih diam karena ia sendiri tau kalau Alvin itu tipe orang yang tidak mau mengalah meski sama adiknya sendiri.
“Cak?” panggil Alvin pelan. Cakka langsung memutar matanya kesal. Tujuan awal Cakka duduk di teras depan rumah tersebut adalah untuk menenangkan diri dari rasa stresnya hari ini, melainkan bukan untuk diganggu seperti yang dilakukan Alvin sekarang. Lagi-lagi Cakka memutar matanya kesal. Sangat kesal bahkan.
“Apa lagi sih?”
“Biasa aja kali gak usah sensi gitu responnya.” timpal Alvin yang ikut terbawa emosi dengan sikap Cakka kepadanya saat ini.
“Yayaya… so? Ada apa manggil-manggil gue?” tanya Cakka malas. Alvin mendesis, entah kenapa baru sekali ini Alvin merasa kalau Cakka tak respect kepadanya. Padahal biasanya, sejahat dan setega serta secuek apapun Alvin sama Cakka, Cakka selalu merespon dengan baik kalau Alvin mendekatinya secara tiba-tiba. Karena faktanya Cakka pun tau persis kalau Alvin seperti itu pasti ada hal serius yang hendak ia bicarakan. Tetapi tidak untuk sekarang, Cakka terlalu malas melihat Alvin akhir-akhir ini.

Untuk sementara, Alvin tak langsung menjawab begitu Cakka bertanya balik kepadanya. Ia menunggu kadar emosi adiknya itu turun terlebih dahulu ketimbang nantinya akan sia-sia saja kalau ia berbicara panjang lebar tapi tak direspon baik oleh Cakka.   
“Hmm… menurut loe gue keterlaluan gak sih sama Sivia waktu itu, Cak?” tanya Alvin kemudian. Dengan sangat ragu-ragu, ia memutar-mutar gelas yang dipegangnya.
“Gue cuma nanya doang kok, jadi loe gak usah pasang wajah ngajak ribut gitu lah. Seriusan gue cuma nanya. Dan loe cukup jawab iya atau tidak.” lanjutnya begitu Cakka dengan cepat menatap Alvin tajam.
“Vin, loe tuh waras gak sih?! Masa iya loe sampai sekarang gak sadar-sadar juga kalau perbuatan loe ke Sivia kemarin itu sudah keterlaluan atau nggak?! Ck! Cowok macam apaan loe, hah?!” tukas Cakka mulai garang. Entah apa yang membuat Cakka sebegitu sensitifnya kalau sudah menyangkut masalah Sivia. Melihat respon Cakka yang tak enak tersebut, Alvin sedikit menggeser duduknya menjauh dari Cakka.
Slow aja kali, Cak! Gue cuma nanya doang.  Ya elah gak asik banget sih loe jadi ade!” balas Alvin dengan candaannya yang sama sekali tak lucu menurut Cakka.
“Butuh berapa hari sih buat loe sadar kalau perbuatan loe ke Sivia itu keterlaluan atau nggak?! Heran gue sama loe, Vin.”
“Ya, bukannya gitu. Gue kan nanya doang, Cak.” Alvin mendengus seketika.
“Lagian gue heran sama loe, loe sebegitu carenya ya sama Sivia? Padahal loe aja baru kenal dia kemarin-kemarin.” lanjut Alvin dibarengi salah satu alisnya yang terangkat.
“Penting?”
“Oh, yayaya. Sekarang gue ngerti kenapa loe kaya gini. Loe suka sama dia kan, Cak?” tuduh Alvin menginterogasi. Cakka menelan ludah mendengarnya. Kakaknya yang satu ini sudah seperti seorang peramal saja yang serba tau apa yang orang lain rasakan.
“Bukan urusan loe! Mendingan loe pergi aja deh sana! Gue lagi pengen sendiri.” usir Cakka kemudian.
“Oh, suka sama Sivia nih ceritanya. Yayaya…” lagi-lagi Cakka memutar mata sebelum ia melotot ke arah Alvin. Alvin tersenyum meledek. Namun kemudian Alvin mengulur kembali senyumannya setelah Cakka semakin menunjukkan tatapan membunuh ke arahnya.
“Iya-iya deh gue diem.”
“Gue nyuruh loe pergi, bukan nyuruh loe diem. Ish!” Alvin terkekeh lagi. Entah kenapa ia lucu sendiri melihat Cakka yang sok sangar itu. Dan karena baru kali ini juga Alvin melihat Cakka seemosi itu kepadanya.
“Gue gak lagi bercanda, Alexa Alvinandra Pratama!” bentak Cakka.
“Lho, yang bilang loe lagi bercanda siapa? Aneh!”
Shut up!” bentak Cakka lagi benar-benar kesal.
“Oh, loe udah berani bentak abang loe sendiri ya sekarang?” dengan mengangguk-anggukan kepalanya pelan, Alvin berdiri.
“Vin, please deh! Gue lagi gak mood buat debat sama loe, gue pengen sendiri. Udah sana jangan ganggu gue!” usir Cakka yang kini tangannya mendorong kaki Alvin supaya menjauh darinya.
“Oke-oke gue bakal pergi kok. Gak usah dorong-dorong juga kali, Cak!” bela Alvin seraya melangkah menjauh dari tempat Cakka duduk. Dan belum juga Alvin melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, Cakka memanggil namanya pelan.
“Vin?”
“Ya?” respon Alvin singkat sambil menyeruput susu hangat yang kini tinggal seperempat itu. Matanya ia kernyitkan. Nih anak aneh banget sih?! rutuk Alvin dalam hati.
“Gue boleh nanya sesuatu nggak sama loe?” tanya Cakka tanpa sedikitpun menengok ke arah Alvin. Efek suaranya terdengar sangat datar di telinga kakaknya tersebut. Terkesan tidak ingin bertanya tetapi dipaksa untuk bertanya.
“Nanya apaan?” balik tanya Alvin penasaran.
“Hmm… loe nyesel gak sih pernah bikin malu Sivia di depan temen-temen loe? Please, jujur!” mendadak, Alvin tersedak mendengar apa yang baru saja ditanyakan Cakka tersebut. Sampai-sampai Alvin pun kebingungan harus menjawab apa. Padahal faktanya Cakka hanya membutuhkan satu jawaban, yaitu iya atau tidak.
“Apa gak ada pertanyaan lain yang lebih susah untuk gue jawab, Cak?” ceplos Alvin sekenanya.
“Gak ada.” balas Cakka dingin.
“Ish! Loe kok jadi emosian gini sih sekarang? Slow aja kali sama gue mah.” Cakka menghela napas kuat-kuat.
“Niat mau jawab pertanyaan gue gak sih, Vin?! Ck!”
“Kalau boleh jujur, sebenernya sih gak ada. Cuma berhubung loe maksa, terpaksa gue bakal jawab.” kata Alvin santai. Ia kembali duduk di samping Cakka yang ekspresi wajahnya terlihat begitu kesal dengan sikap Alvin yang menyebalkan itu. Alvin pun menarik napas dalam-dalam sebelum ia menjawab pertanyaan adiknya tadi.
“Jujur, awalnya sih gue gak pernah nyesel sama perbuatan gue yang itu. Cuman…” Alvin menggantungkan ucapannya, menyuruh sang otak untuk bekerja keras merangkai kata-kata yang tepat supaya tidak salah ucap di hadapan adiknya yang kini super sensitif itu.
“Cuman akhir-akhir ini, semenjak Sivia minta maaf sama gue kemarin, gue mikir kalau gue emang bener-bener keterlaluan. Entah kenapa gue bisa kaya gitu sama cewek, Cak. Gue juga bingung,” lanjutnya lirih.
“Hmm… tapi ya sudahlah! Toh udah terjadi juga. Sekarang gue mah terserah Sivia mau benci gue atau nggak. Yang jelas gue nyesel sekarang.” Alvin lagi-lagi menyambung sebelum Cakka ikut merespon.
“Vin?”
“Heh?”
“Gue tanya sekali lagi sama loe. Sebenernya loe punya rasa malu gak sih, Vin?” Cakka duduk menghadap Alvin yang ekspresi wajahnya kini berubah menjadi lebih datar dari sebelumnya.
“Loe kok nanya gitu sih sama gue?” tanya balik Alvin sedikit heran.
“Mikir Vin, mikir! Dengerin ya, di sini udah jelas-jelas Sivia yang dipermalukan sama loe. Dan dengan lantang pula Sivia minta maaf sama loe di depan temen-temen loe kemaren, tapi apa coba yang loe lakuin ke dia? Loe gak ngelakuin apa-apa kan? Loe cuma diem aja kan, Vin? Yang seakan-akan loe itu gak punya salah sama sekali. Ck! Gak ngerti gue sama pemikiran loe sekarang.” Alvin terdiam membisu. Tekanan dari Cakka lagi-lagi membuat Alvin tak bisa berkutik sama sekali seperti yang terjadi kemarin saat Ify memarahinya di depan kelasnya sendiri.
“Virus macam apa sih yang menjamah otak loe, hah?!”  
“Iya, oke, gue emang salah. Tapi loe gak perlu terus-terusan mojokin gue kenapa?! Toh ini semua bukan sepenuhnya salah gue kan? Dan loe juga harusnya mikir, Cak! Emangnya selama hidup loe, loe gak pernah ngelakuin kesalahan? Iya?! Selalu dan selalu nyalahin orang. Ngerasa sempurna loe, hah?!” ketus Alvin yang kini sudah mulai jengah dengan hujatan yang diberikan Cakka kepadanya. Dan dengan sedikit menahan emosi, Alvin meninggalkan Cakka begitu saja setelah sebelumnya ia menyenggol cukup keras pundak adiknya tersebut. Cakka pun mendadak diam saat mendengar kata-kata Alvin tadi. Di situ ia berpikir kalau yang dikatakan kakaknya itu ada benarnya. Tak seharusnya Cakka terus-terusan menyalahkan Alvin. Alvin memang tak sepenuhnya salah. Lagi pula Sivia sendiri yang mengalami hal tersebut sudah mau memaafkan Alvin. Kenapa Cakka tidak bisa? Dan bukankah Cakka tak ada kewajiban buat ikut campur urusan antara Alvin dan Sivia? Entahlah. Cakka sudah terlanjur terjebak di tengah-tengah masalah yang menyandung kakak kandungnya tersebut.

***


“Wuih… bisa stres dadakan gue kalau kaya gini terus. Arrrggghhh!!!” Ray mengacak rambut gondrongnya frustasi. Tidak tau kenapa malam ini ia merasa sulit sekali memejamkan mata. Padahal sudah jelas-jelas jam dinding telah menunjuk ke angka 11.22 WIB. Waktu di mana seharusnya Ray berkeliaran di alam mimpi. Tapi yang ada kini Ray hanya bisa berguling-guling resah di atas kasur sembari sesekali mulutnya mendecak kesal. Pikirannya terus dan terus dihantui oleh sosok cewek yang ditemaninya di kantin Sarfagos siang tadi.
“Shilla… Shilla… Shilla… dan Shilla! Tuh anak punya pelet apa sih?! Gue mikirin dia mulu masa? Aih!” Ray pun duduk bersila dengan meremas keras bantal guling yang dipangkunya.
“Enggak! Enggak! Enggak! Enggak mungkin! Gue gak mungkin suka sama dia!” tolak Ray cepat-cepat saat otaknya menyimpulkan akan sesuatu yang sedang terjadi padanya. Ia segera berbaring menutup wajahnya dengan bantal.
What the hell?! Gue gak lagi kasmaran kan? Aih… ini terlalu lebay! Wake up, Raynald! Jangan bilang loe suka sama Shilla. Inget, loe baru kenal sama dia! Jangan macem-macem!” rutuknya sambil kembali duduk bersila. Wajahnya yang terlihat kusut itu pun semakin tambah kusut dengan keadaan rambutnya yang acak-acakan.
“Ray?” sedetik setelah Ray menarik napas, sebuah panggilan di balik pintu kamarnya terdengar sangat jelas. Panggilan yang tak asing lagi di telinga seorang Ray. Panggilan sang mama.
“Iya, Ma? Kenapa?” tanyanya langsung.
“Kamu kenapa teriak-teriak? Kamu gak apa-apa kan? Ini udah malem lho, kenapa belum tidur?” Ray langsung menepuk dahinya pelan.
“Aduh, Raaaaaayyyyyy!!! Bego banget sih loe!” gumamnya.
“Gak apa-apa kok, Ma. Tadi ada tikus gede banget, jadi Ray teriak-teriak deh. Iya, Ray udah tau kok. Bentar lagi Ray juga tidur.” balas Ray sedikit berteriak.
“Oh, ya udah kalau gitu mama tidur duluan ya?”
“Iya, Ma.” lantas ia tersenyum saat sang mama pergi dan menutup pintu kamarnya perlahan.
“Aih… oke, Ray! Sekarang loe tidur, mimpi indah, dan lupain semua bayang-bayang tadi. Go!” suruh Ray pada diri sendiri. Ia langsung bersembunyi di balik selimut tanpa terlihat sedikitpun anggota badannya. Mencoba sebisa mungkin untuk tidur.

***


He was like art
Likeable, but not easy to understand
And much praised, but only one person who could give him a beauty
Meaningful beauty
for anyone who saw

And although many are interested to have his beauty
But…
Keep calm down, he will always look beautiful
As long as there are people who haven’t been touched
Touching his love


Sivia langsung merubah ekspresi wajahnya heran saat ia meneliti kembali hasil potretannya pagi ini. Kegiatan rutin yang memang selalu Sivia lakukan saat kakinya baru saja menginjak gerbang sekolah. Ya, memotret semua suasana sekolah Sarfagos yang menurutnya begitu indah saat pagi menjelang. Apalagi semalam habis terguyur hujan. Pastinya tambah sejuk, damai, dan tentunya mempesona. Bahkan Sivia pun rela berangkat lebih pagi dari teman-temannya yang lain hanya untuk mengekspresikan hobi barunya itu. Hobi yang akhir-akhir ini menjamah kehidupannya. Dunia fotografi.
“Kak Alvin?” gumam Sivia pelan sambil mengernyitkan salah satu alisnya. Entah karena kebetulan atau tidak, sosok Alvin tanpa sengaja tertangkap oleh kameranya. Lantas Sivia duduk cepat-cepat tanpa sedikitpun beralih memandangi wajah Alvin yang kini ada di kameranya itu.
“Emangnya kak Alvin udah berangkat ya? Perasaan tadi gak ada dia deh.” Sivia melirik ke arah sekitar yang masih begitu sepi. Tatapannya ia tajamkan ke setiap sudut sekolah yang masuk ke wilayah pandanganya.
“Hmm… aneh!” ucap Sivia kemudian. Lalu ia kembali bangkit dan berjalan menyusuri koridor sekolah sambil mengarahkan kameranya ke beberapa objek yang ditemuinya. Namun tiba-tiba… bruk!!! Bunyi benda tiba-tiba terdengar jatuh dari sebuah kelas yang baru saja Sivia lewati. Lantas membuat Sivia tersentak kaget dan refleks menengok ke arah sumber suara dengan penuh penasaran.
“Hai, siapa di dalem?” panggil Sivia mencoba memastikan ada orang atau tidak di dalam kelas tersebut. Meski sedikit takut, akhirnya Sivia pun memberanikan diri untuk membuka pintu kelas itu perlahan-lahan. Klek! Sedetik, masih belum terlihat tanda-tanda kehidupan di sana. Hanya ada deretan-deretan bangku saja yang terlihat oleh mata Sivia.
“Arrrggghhh!!!”
“Kak Alvin?!” Sivia dibuat heran dengan ulah Alvin yang entah sedang apa dirinya duduk dengan ekspresi wajah yang kesakitan di balik kursi. Sivia berjalan mendekat.
“Kak Alvin lagi ngapain?” tanya Sivia penasaran. Alvin tersenyum dengan terpaksa. Rasa perih di pantatnya membuat Alvin tak kuasa untuk bangun.
“Kak Alvin lagi ngapain sih?” tanya Sivia lagi karena sejak tadi pertanyaannya belum dijawab juga sama Alvin.
“Bantu gue dulu, jangan banyak tanya!” ketus Alvin. Tangannya ia ulurkan ke arah Sivia, berusaha meminta bantuan untuk membangunkannya. Tanpa ragu, Sivia mengangkat tubuh Alvin dan mendudukannya di salah satu kursi.
Thanks.” Sivia mengangguk cepat.
“Kak Alvin gak apa-apa kan? Emangnya kenapa sih bisa jatuh gitu?” Alvin menarik napas perlahan.
“Gue kesandung kursi pas ambil ponsel.” jawabnya datar sambil menunjukkan ponsel yang digenggamnya.
“Ponsel gue ketinggalan di sini kemaren.” lanjut Alvin. Kemudian Sivia mengangguk.
“Oh, gitu. Hmm… ya udah deh aku kelas dulu ya, kak? Permisi.” tanpa basa-basi terlebih dulu, Sivia langsung melangkahkan kaki meninggalkan Alvin yang masih menampakan ekspresi kesakitannya itu.
“Sivia?” panggil Alvin pelan.
“Ya?”
“Hmm… loe suka fotografi juga?” tanya Alvin ragu. Tatapan matanya tertuju pada sebuah kamera yang menggantung di leher cewek manis yang saat ini berdiri tepat di ambang pintu. Sejenak, Sivia ikut menatap ke arah kameranya.
“Lumayan. Kenapa deh? Kak Alvin suka fotografi juga?” Alvin tersenyum sebisanya.
“Hmm… begitulah.” balasnya kemudian. Sivia kembali membulatkan mulut. Terlalu bingung harus berkata apa lagi dengan cowok yang satu itu. Begitupun sebaliknya. Yang ada mereka saling berdiam diri tanpa sedikitpun bertukar kata.
“Vi, gue minta maaf sama loe.” ungkap Alvin kemudian setelah cukup lama mematung.
“Heh? Minta maaf? Buat?” Sivia yang tadi sempat beralih ke kameranya itupun langsung kaget mendengar ucapan Alvin. Ia pun menatap bingung sosok cowok yang kini sedang berjalan mendekatinya.
“Buat… ya, buat masalah kemaren itu.” jawab Alvin singkat. Ia memandang Sivia dengan tersenyum.
“Hmm… udah aku maafin kalau masalah itu, kak. Jadi kak Alvin gak perlu minta maaf lagi.” Sivia balas tersenyum.
“Maafin gue ya, Vi? Gue kemaren bener-bener nyesel. Please, maafin gue.” pinta Alvin lagi. Sekarang ia katupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Apa perlu gue cium kaki loe biar loe mau maafin gue.” lanjut Alvin lagi dengan tiba-tiba bersimpuh di lutut Sivia.
“Gak usah kak, gak usah! Aku bilang aku udah maafin kakak. Kakak denger gak sih?” Sivia mengangkat paksa tubuh Alvin yang seakan bersimpuh di kakinya.
Please…
“Kak Alvin, dengerin ya! Aku udah maafin kakak. Aku udah maafin!”
“Loe bohong, Vi! Loe bohong! Loe belum maafin gue. Loe gak tulus maafin gue. Loe…” Sivia menarik napas panjangnya di tengah-tengah perkataan Alvin yang terpotong.
“Kak!!!” bentaknya kemudian.
“Gue mohon…” lirih Alvin sembari menundukkan kepala.
“Gue mohon banget sama loe, Vi.”
“Mohon apa lagi sih, kak? Aku bilang aku udah maafin kakak. Kakak jangan pura-pura bodoh seperti itu.” Alvin menghela napas.
“Gue gak mau loe maafin gue karena terpaksa. Gue mau loe maafin gue dengan tulus tanpa ada syarat apapun. Loe jangan jauhin gue. Loe mau kan?” Sivia mendadak diam.
Please…” lagi-lagi Alvin menampakkan raut wajah memohonnya di hadapan Sivia.
“Itu hak aku buat ngejauh atau tidak sama kakak. Kakak gak berhak larang-larang aku.”
“Vi, please…” Alvin menggenggam lengan Sivia perlahan. Tatapannya yang sendu membuat Sivia iba melihatnya.
“Gue janji, gue gak bakal bikin masalah lagi sama loe. Gue akan bersikap sebaik mungkin sama loe. Seperti Cakka, seperti Ify, atau seperti siapapun yang loe anggap baik. So, gue mohon loe jangan jauhin gue. Gue gak mau terus-terusan merasa bersalah sama loe. Dan gue gak mau melihat Cakka dan Ify selalu dan selalu nyalahin gue. Walaupun gue tau ge itu salah, tapi…”
“Udah kak, udah! Please, jangan bahas masalah itu lagi di depan aku. Oke kalau itu mau kakak, aku bakal kabulin. Aku gak bakal jauhin kakak.” ungkap Sivia yang mulai jenuh melihat tingkah Alvin yang berlebihan menurutnya.
“Se… serius???” kata Alvin meminta penjelasan. Sivia lantas mengangguk datar. Rasanya begitu sulit untuk Sivia menolak permintaan Alvin saat ia melihat tatapan matanya tersebut.
“Sebisa mungkin akan aku coba untuk melupakan semua itu, kak. Dan anggap aja kita baru kenal satu sama lain, belum pernah ada masalah sebelumnya. Itu kan yang kakak mau?”
“Makasih banyak Vi, makasih!”
“Iya kak, sama-sama.” Sivia tersenyum. Semua perlakuan buruk Alvin padanya itu seakan menghilang begitu saja di benak Sivia.
“Sekali lagi makasih” ucap Alvin tulus.
“Hmm… ya udah kalau gitu aku ke kelas dulu ya, kak? Mau taruh tas.”
“Eh, Vi?” baru saja Sivia hendak pergi, Alvin langsung memegang tangannya erat-erat.
“Hmm… loe pasti belum sarapan kan? Ikut gue ke kantin yuk? Toh masih pagi ini. Mau ya, Vi?” tawar Alvin langsung. Lagi dan lagi Sivia dibuat pasrah olehnya.
“Tapi, kak?”
“Gue traktir deh. Mau ya? Anggap ini sebagai tanda minta maaf gue.” Alvin tersenyum.
Please deh, kak! Gak usah diungkit-ungkit lagi masalah itu.” ketus Sivia sedikit memutar matanya jengah.
“Ya udah makanya mau!”
“Iya-iya aku mau!”
“Nah gitu dong! Ayo!” tanpa banyak omong, Alvin menarik tangan Sivia cepat-cepat.

***


“Lho, bukannya kak Alvin udah berangkat ya?” sahut Ify heran saat Rio menyambangi kediaman Alvin bermaksud untuk mengajak berangkat ke sekolah bareng. Rio mengernyit.
“Hah? Udah berangkat? Ck! Rese banget si Alvin!” decak Rio kesal. Padahal semalam Alvin sendiri yang meminta Rio untuk menjemputnya di rumah. Ternyata sekarang ia sudah pergi duluan tanpa sepengetahuan Rio sebelumnya.
“Emangnya kak Rio ada janji ya sama kak Alvin?” tanya Ify penasaran. Tanpa mempersilahkan Rio masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Rio pun terhenyak.
“Heh? Loe kenal gue sih?” terkesan aneh, Ify menatap Rio skeptis.
“Ya iya lah kenal. Semua sahabatnya kak Alvin sama kak Cakka itu gue tau kok. Ya, walaupun belum sempet kenalan juga sih. Tapi seenggaknya gue tau.” jawab Ify santai. Melihat ekspresi cewek yang ada di hadapannya itu, entah kenapa Rio mendadak salah tingkah. Namun ia sebisa mungkin untuk tetap kelihatan cool di hadapan Ify.
“Oh, gitu ya? Hmm… ya udah deh, berhubung gue belum kenal sama loe, kenalin nama gue Rio. Mario Sebastian.” kata Rio tanpa dosa sama sekali. Ify terkekeh. Aneh sekaligus lucu melihat tingkah sahabat Alvin yang satu ini.
“Oh, gue Ify. Salam kenal ya, kak?” balas Ify singkat. Mereka saling tukar senyum kemudian.
“Mau masuk dulu?”
“Hmm… gak usah deh, makasih. Toh si Alvin juga udah berangkat.”
“Ya, gue cuma nawarin aja sih. Gak mau juga gak apa-apa.” sambung Ify datar. Dan entah ada angin apa hari ini Rio tidak pecicilan seperti biasanya. Sekarang ia terlihat lebih jual mahal di hadapan cewek.
“Eh, emang loe tinggal di sini juga? Kok gue baru tau sih?”
“Enggak kok, rumah gue di sana.” Ify menunjuk salah satu rumah yang memang tak jauh dari rumah Alvin. “Gue ke sini mau nebeng naik motor sama kak Cakka. Hehehe.” sambungnya. Rio mengangguk paham. Sementara itu mereka diam kembali. Bingung dengan pemikiran masing-masing. Ditambah dengan tidak adanya topik lain untuk mereka bicarakan pagi itu. Sampai Cakka datang membuyarkan aksi diam-diaman Ify dan Rio.
“Ayo berangkat, Fy!” ajak Cakka seraya tangannya membereskan bajunya yang masih terlihat berantakan.
“Eh, ada Rio sih?” sambungnya saat menyadari kehadiran Rio. Rio memamerkan gigi putihnya.
“Iya, ini katanya kak Rio mau jemput kak Alvin.” sambung Ify.
“Lho, bukannya Alvin udah berangkat tadi pagi?” ucap Cakka heran. Karena memang Cakka melihat sendiri Alvin yang tadi pagi buru-buru pergi waktu ia baru saja mau masuk ke kamar mandi.
“Iya, payah tuh si Alvin gak bilang-bilang gue dulu kalau mau berangkat. Semalem bilangnya gue harus jemput dia, sekarang malah dia yang pergi duluan. Ck!” decak Rio kesal. Sahabatnya yang menyebalkan satu itu memang sering bikin orang susah.
“Hmm… ya udah kalau gitu kita berangkat bareng aja daripada bingung mikirin Alvin. Ayo berangkat! Udah siang nih.” ajak Cakka dengan menarik tangan Ify ke garasi rumahnya. Di mana di sana telah tersedia sebuah sepeda motor milik Cakka yang siap untuk ditumpangi. Tanpa berpikir panjang lagi, Rio menuruti ajakan Cakka dan ia pun langsung menghampiri sepeda motornya yang terparkir di depan gerbang rumah Cakka dan Alvin tersebut.

***


“Wuih… gila parah tuh cewek cantiknya gak nahan. Alami banget, brader! Kaya gak pakai formalin gitu deh. Sumpah gue suka sama dia! Gak bohong gue. Seriusan!” oceh Gabriel tak henti-hentinya begitu beberapa detik ia duduk di samping Rio yang lima menit lebih awal berada di kelas.
Wait! Wait! Wait! Loe kenapa, Gab? Kesurupan? Ish! Dateng-dateng langsung ngoceh gak jelas gitu. Kaya ibu-ibu menang arisan aja loe.” tukas Rio risih melihat ulah Gabriel. Tanpa merespon sedikitpun kata-kata Rio tadi, Gabriel malah langsung merangkulnya erat.
“Gab, apaan sih?! Lepasin gak?! Gabrieeeeeeellllll!!! Gue bukan mahoan loe ya! Jadi jangan mentang-mentang Alvin gak ada, loe mau ngajak gue mahoan sesuka loe? Ish! Najis sangat gue! Lepasin gue!” tolak Rio mentah-mentah. Namun Gabriel tak langsung melepaskannya begitu saja, ia malah lebih erat memeluk cowok yang playboynya tak bisa diragukan lagi itu.
“Lepas gak?! Gue hajar nih kalau gak lepas!” ancam Rio kemudian. Gabriel tetap tak menggubris. Ia tersenyum menggoda ke arah Rio.
“Gue mau lepasin loe dengan satu syarat.” bisik Gabriel antusias. Rio yang sudah tidak betah dipeluk sama Gabriel pun langsung menyetujui tanpa memikirkan terlebih dahulu apa maksud di balik tawaran Gabriel tersebut.
“Apapun alasannya, yang penting lepasin gue sekarang. Gak ada sejarahnya gue dipeluk-peluk sama cowok selama ini. Ish!” tukas Rio.
“Oke.” Gabriel melepaskan lingkaran tangannya di pundak Rio perlahan. Sedikit bergidik, Rio langsung menjauh dari Gabriel.
“Apa syaratnya, hah?” tanya Rio sembari berjaga jarak.
“Gak usah geser-geser!!!” lanjutnya parno. Entah kenapa pagi ini Rio seakan mendapatkan kesialan ganda dari kedua sahabatnya itu.
“Wuih… loe songong banget ya jadi orang! Sekali lagi gue bilang, gue bukan maho! Tadi gue bercanda doang, Mario.” bela Gabriel kesal.
“Ya udah cepetan apa syarat yang loe minta tadi?”
“Oke-oke. Hmm… gini Yo, gue kan ada taruhan tuh sama loe dan sama Alvin juga?”
So?” potong Rio cepat.
“Dengerin gue dulu kenapa?! Ck!” decak Gabriel mulai jengah.
“Oh, iya-iya maaf. Slow aja kali.”
“Muka loe tuh slow.” balasnya.
“Jadi sebenernya syarat loe apa sih, Gab? Ngambekan loe jadi orang.”
“Abis loe rese sih. Hmm… jadi gini, berhubung loe belum dapet juga cewek yang mesti gue taklukin, gimana kalau gue sendiri aja yang cari?” tawar Gabriel pelan. Berusaha untuk tidak ada yang tau dengan acara taruhan mereka.
“Wuih… enak aja loe! Pokoknya gak mau, gue yang cari. Kalau kaya gitu sih gak ada tantangannya.” tolak Rio langsung sambil melambai-lambaikan tangan ke depan wajah Gabriel. Gabriel mendesis.
“Ayolah, Mario! Toh tujuan awal kita ngelakuin taruhan ini buat buktiin kalau gue sama Alvin itu bukan maho kan? So, gak salah dong kalau gue cari sendiri?” Rio berpikir sejenak sebelum kembali membuka mulut.
“Hmm… tapi gimana dengan Alvin? Kalau gue izinin loe cari cewek sendiri, berarti gue gak adil dong sama Alvin?” ucapnya kemudian sambil tetap berpikir. Gabriel pun ikut berpikir meniru gaya sahabatnya itu.
“Iya juga sih. Hmm… tapi ya udahlah gak apa-apa. Toh Alvin juga gak keberatan ini kan buat deketin cewek bernama Sivia itu?”
“Ya udah deh terserah loe, Gab. Eh, tapi ngomong-ngomong tadi loe kenapa sih ngoceh gak jelas gitu pas baru dateng? Heran gue sama loe.” tanya Rio saat teringat dengan tingkah Gabriel yang menurutnya aneh itu. Yang tiba-tiba datang, tiba-tiba memeluknya, dan tiba-tiba meminta untuk mencari cewek sendiri dalam ekspedisi taruhan yang akan mereka lakukan.
“Ya gitu deh. Itu alasan pertama kenapa gue minta syarat baru sama loe.” Gabriel tersenyum renyah. Dan baru sekali ini Rio melihat Gabriel seperti orang yang baru mendapat durian runtuh. Bawaannya tersenyum terus.
“Loe udah nemu ceweknya, Gab?” Gabriel lantas mengangguk.
“Wuih… sedap! Akhirnya sahabat gue yang satu ini sembuh juga dari sakitnya. Congratulations, brader!” kata Rio seraya menepuk pelan pundak Gabriel. Lantas Gabriel mendecak.
“Ck! Sialan loe!”
“Hahaha. Kalau boleh tau siapa namanya, Gab? Anak mana? Cantik gak? Bodynya sexy? Terus rambutnya panjang apa pendek? Putih? Feminim apa tomboy? Terus…”
Shut up, Mario! Loe nanya apa ngajak ribut sih? Heran gue sama loe.”
“Hahaha. Sori brader, sori. Kaya gak tau gue aja. Oke ini serius, siapa namanya?” tanya Rio lagi dengan candaan khasnya.
“Gue belum tau namanya sih. Tadi pagi pas gue baru masuk gerbang sekolah, gue gak sengaja nyenggol dia.” jawab Gabriel jelas.
“Wuih… gue kira loe udah kenal sama tuh cewek. Ternyata baru pandangan pertama toh. Hmm… tapi bagus lah, ada peningkatan buat loe. Setidaknya loe bukan seratus persen ma…” Gabriel segera membekap mulut Rio begitu ia tau apa yang hendak sahabat karibnya itu ucapkan.
Please deh, Yo! Loe masih pengen hidup kan?” ancam Gabriel sengit. Si Rio malah gelagapan karena mulutnya yang dibekap tanpa sedikitpun oksigen yang masuk ke hidungnya. Lantas Gabriel langsung melepaskannya sebelum sahabatnya itu benar-benar meninggal karena kehabisan udara.
“Sialan tingkat kiamat loe jadi orang! Dikira gue orang autis apa pakai dibekap segala. Ish!”
“Ya abisnya loe rese sih jadi orang.” Rio memutar matanya jengah.
“Eh, Alvin mana? Kok gue belum lihat dia ya?” tanya Gabriel kemudian. Rio mengangkat kedua bahunya cepat.
“Gak tau gue juga. Tadi pagi gue jemput dia ke rumahnya, katanya dia udah berangkat. Tapi di sekolah malah gak kelihatan sama sekali batang hidungnya. Hmm… biasalah, jin alay. Sukanya ngilang-ngilang mulu.” tukas Rio asal. Gabriel terkekeh mendengarnya. Alvin? Jin alay? gumam Gabriel sambil tak henti tersenyum.
“Kalau gitu cari dia yuk? Gak asyik nih kalau gak ada dia.” ajak Gabriel kemudian sambil meminta persetujuan Rio.
“Okelah…” ujar Rio. Lantas mengikuti langkah Gabriel dari belakang.

***


Ray memutar matanya kesal saat mengetahui kalau perkataannya yang sudah panjang lebar itu ternyata tidak didengar baik-baik oleh Cakka yang kini duduk di sebelahnya tersebut. Karena sejak tadi entah kenapa Cakka terlihat seperti orang kebingungan. Matanya berkeliaran ke mana-mana.
“Cak, loe dengerin gue gak sih?” tanya Ray kecewa. Pundaknya ia senggolkan ke pundak Cakka pelan.
“Eh, iya, kenapa?” tanya balik Cakka dengan gelagapan. Seakan tersadar dari kesibukan panjangnya mencari seseorang sejak tadi.
“Aih… dari tadi gue dikacangin ternyata. Parah loe, Cak! Kenapa sih loe?” Cakka menggeleng cepat.
“Aneh!”
“Gue gak kenapa-kenapa kok, Ray. Hmm… loe cerita apaan sih barusan?” Ray mendengus seketika. Nih anak gak punya dosa banget ya?! rutuknya.
“Sori deh, sori. Gak usah kesel gitulah mukanya. Santai aja, oke?” kata Cakka seraya merangkul Ray yang sudah dianggap seperti saudara sendiri itu. Lagi-lagi Ray memutar bola matanya jengah. Ia paling gak bisa marah kalau sama sahabatnya yang satu ini.
“Yayaya. Nih muka gue udah santai. Udah kece pula kaya Prince William.” tunjuk Ray ke wajahnya sembari senyum tak jelas. Cakka pun terkekeh.
“Heh? Gak salah denger gue, Ray? Aih…”
“Enggak! Enggak! Loe gak salah denger kok, Cak. Itu fakta dan itu kenyataan dan itu juga bukan khayalan.” timpal Ray asal. Lagi-lagi Cakka terkekeh.
“Sejak kapan loe jadi alay gini, Ray? Ish!”
What? Alay? No! Kece gini malah dibilang alay. Parah banget parah!” tukas Ray asal.
“Aih… whatever deh kalau gitu.” balas Cakka masa bodoh. Sepertinya ia sedang tidak ada hasrat untuk berbasa-basi ria pagi ini. Entahlah.
“Cak?”
“Ya?”
“Hmm… menurut loe Shilla itu gimana sih orangnya?” tanya Ray tiba-tiba. Merasa ada yang aneh, Cakka menatap sahabatnya itu dengan seringaian jahil di bibirnya.
“Ciyeeeeee… ehem!” goda Cakka kemudian dan sontak itu membuat Ray terheran-heran dengan tabiat sahabat karibnya tersebut. Lantas Ray mengangkat salah satu alisnya geli.
“Ish! Kenapa loe, Cak?”
“Gak apa-apa. Hahaha. Loe suka ya sama Shilla? Ehem!” goda Cakka lagi-lagi. Kali ini ia menyenggol pelan pundak Ray yang saat itu tampak kebingungan dengan tuduhan Cakka yang menurutnya tak masuk akal.
“Gue suka Shilla? Please deh, Cak! Kenal aja baru kemaren, gimana mau suka?”
Wake up, Ray! Emang loe gak pernah denger apa dengan cinta pada pandangan pertama? Aih… payah loe!”
“Heh? Ada gitu cinta pada pandangan pertama? Kok gue baru tau ya?” kata Ray heran. Cakka mendecak pelan.
“Makanya jangan drum aja digedein!”
“Ish! Kok malah nyambungnya ke drum sih? Aneh.” ketus Ray sekenanya.
“Hahaha. Abisnya loe tiap hari main drum mulu sih. Istilah cinta pada pandangan pertama aja masa gak tau.”
“Ck! Loe kaya gak tau gue aja sih?” Cakka mengangguk berkali-kali. Bermaksud untuk memahami apa yang dibilang Ray itu.
“Toh apa susahnya sih jawab? Ish!” lanjut Ray.
“Yayaya gue jawab deh. Shilla kan? Hmm… menurut gue Shilla itu baik, cantik, komunikatif, manja, terus apalagi ya?” Cakka mencoba berpikir lagi tentang Shilla. Sedangkan Ray hanya mengangguk-angguk mendengar kata-kata Cakka tentang Shilla tersebut.
“Setau gue sih cuma itu. Emangnya kenapa, Ray?” sambung Cakka setelah aksi berpikirnya tadi tak membuahkan hasil apa-apa lagi.
“Ya, cuma nanya doang sih. Gak ada salahnya kan nanya?” Cakka kemudian mengangguk dengan membulatkan mulutnya wajar.
“Tumben-tumbenan loe nanyain cewek, Ray. Udah normal loe ya sekarang. Hahaha.”
“Sialan!”
“Hahaha. Harusnya loe bersyukur dong kalau loe udah sembuh?”
“Gue gak sakit, Cakka!!!” timpal Ray tak mau kalah.
“Yang bilang loe sakit siapa? Orang gue bilang loe sembuh juga.” ucap Cakka semenyebalkan mungkin bagi Ray.
“Serah loe deh, Cak. Sumpah, baru kali ini gue kesel sama loe.” ujar Ray kesal. Si Cakka malah tertawa membalasnya.
“Udah deh, kalau loe emang suka sama Shilla ya jujur aja lagi. Entar gue bantuin loe buat jadian sama dia.”
“Cak!” cekal Ray penuh penekanan.
“Gue kenal loe udah lama, Ray. Dan loe gak bisa bohong sama gue. Udahlah jujur aja sama gue, apa susahnya sih? Gue masih sahabat loe kan?” Ray pun terdiam mendengarnya. Entah apa yang harus ia bilang ke sahabatnya itu.
“Hmm… gue, gue juga gak tau gue suka sama Shilla atau nggak. Yang jelas semalem gue gak bisa tidur karena kebayang muka dia terus, Cak.” jelas Ray jujur. Awalnya Cakka antusias mendengar, tapi kemudian ia tersenyum menggoda dengan sesekali memainkan kedua alisnya asal.
Please deh ekspresinya gak usah ngeledek gitu!” tukas Ray jengkel.
“Gue gak ngeledek kali, Ray! Justru gue seneng dengernya, loe udah mulai suka sama cewek. Tumben-tumben lho seorang Raynald Orlandio naksir cewek.” kata Cakka sedikit menyeringai.
“Maksud loe kemaren-kemaren gue suka sama cowok?! Ish!” kemudian Cakka mengernyitkan dahinya cepat.
“Bukan gitu juga maksud gue. Aih… loe kaya cewe deh, sensitif mulu.”
“Ya, abisnya loe rese banget pagi ini. Tadi gue dikacangin, sekarang dipojokin terus diledek pula. Parah loe sekarang, Cak.”
“Sori deh, sori. Hmm… Ray?” panggil Cakka. Ray pun meresponnya dengan ekspresi wajah bertanya ke arah sahabatnya itu.
“Patroli yuk? Mumpung masih pagi nih. Ya, siapa tau aja entar ketemu Shilla di jalan. Mau gak?” tawar Cakka seraya menggoda Ray. Sementara Ray hanya bisa memutar kedua bola matanya jengah.
Please deh gak usah pancing-pancing gue! Nyesel gue cerita sama loe, diledek mulu.”
“Hahaha. Come on, brader!” tanpa membalas ucapan Ray tadi, Cakka langsung melangkah meninggalkannya. Berpatroli keliling sekolah seperti yang selalu ia lakukan bersama Ray sesaat sebelum masuk jam pelajaran pertama. Bisa dibilang untuk cuci mata. Mungkin.

***


“Wuih… pantesan aja dicari ke mana-mana gak ada, ternyata orangnya lagi makan di sini toh? Sama cewek pula.” heboh Rio yang baru saja menemukan keberadaan Alvin di kantin setelah cukup lama dirinya dan Gabriel mencari.
“Udah gitu gak ngajak-ngajak kita pula. Payah loe, Vin!” sambung Gabriel. Alvin dan Sivia saling pandang seketika, heran dengan ulah Rio dan Gabriel yang tiba-tiba datang dan tiba-tiba mengoceh tak jelas ke arah mereka. Apalagi si Rio dan Gabriel dengan seenaknya duduk begitu saja di depan Alvin dan Sivia seraya menjamah makanan yang tentunya milik dua insan yang sekarang sedang keheranan tersebut. Lagi-lagi Sivia menatap Alvin bingung.
“Hmm… eh, bentar deh! Loe Sivia bukan sih?” tanya Gabriel yang kini asyik memakan burger milik Alvin dengan tanpa dosanya. Rio pun ikut beralih menatap ke Sivia.
“Eh, kok iya sih? Wuih… loe hebat, Vin! Bener-bener salut gue sama loe. Padahal taruhan kita baru aja dimulai kema…” ujar Rio yang langsung dibekap mulutnya oleh Gabriel saat Alvin menampakan ekspresi takutnya. Takut kalau si Rio sampai kebablasan bilang masalah taruhan di depan Sivia. Sedangkan Sivia hanya mengernyit melihatnya.
“Hah? Taruhan?” kata Sivia heran. Ia segera menatap Alvin dan kedua temannya bergantian. Aduh, mampus gue! batin Alvin greget.
“Taruhan apa ini maksudnya?” Alvin mendecak pelan ketika Sivia kembali bertanya. Alvin bingung harus menjawab apa. Begitupun Gabriel yang ikut menyayangkan kata-kata Rio tadi. Tangannya masih setia di mulut cowok pemegang title Plyboy in The World itu meski mulai kehabisan napas.
“Oh, itu, anu, kita, kita lagi taruhan cepet-cepetan ke sekolah gitu. Iya, begitu.” serobot Gabriel asal. Sivia masih mengernyit.
“Maksudnya gini, kita tuh lagi iseng-iseng aja taruhan siapa yang paling cepet dateng ke sekolah itu yang bakal menang.” sambung Alvin yang tak kalah asal dengan Gabriel. Gabriel ikut mengangguki.
“Heh? Kok ada-ada aja sih? Aneh deh kalian.” balas Sivia yang mulai mengerti maksud ucapan Rio tadi.
“Bagitulah kami adanya, Vi. Suka gila-gilaan, biar tetep fun.” lanjut Alvin. Gabriel pun melepaskan tangannya dari mulut Rio sebelum berakibat fatal.
“Ish! Apaan sih, Gab! Bau tau tangan loe!” tukasnya langsung.
“Ya, abisnya loe nyerocos mulu kaya bebek. Makanya gue sumpel tuh mulut. Untung gak sampai gue jahit.” Alvin dan Sivia terkekeh. Mereka berdua kalau sedang berdebat itu memang terlihat lucu.
“Wuih… orang kece kaya gini masa dibilang kaya bebek sih? Parah loe, parah! Mesti gue beliin kacamata minus empat ini mah.”
“Udah-udah gak usah debat di sini! Malu kali sama bu kantin,” lerai Sivia lembut. Alvin pun ikut menyahuti.
“Dengerin tuh!”   
“Iya, dengerin tuh!” sambung Rio ikut-ikutan.
“Heh, bego! Itu buat elo!” Gabriel langsung menjitak keras kepala Rio. Membuat Sivia dan Alvin menggeleng prihatin melihatnya. Ada ya ternyata sahabat yang kaya gitu? kata hati Sivia.
“Hmm… oh iya, aku Sivia.” tiba-tiba Sivia menjulurkan tangan ke arah Rio dan Gabriel yang masih sibuk adu mulut itu. Lantas mereka terdiam.
“Heh? Kita udah kenal loe kali, Vi.” kompak mereka kemudian.
“Tapi kan Sivia belum kenal sama kalian berdua, gimana sih?!” bela Alvin. Sivia mengangguk cepat-cepat.
“Yayaya. Gue Mario Sebastian. Cowok paling kece di antara kedua sahabat gue ini dan tentunya cowok paling hand to the some sedunia. Dan satu lagi, gue cowok satu-satunya yang paling normal di sini.” mendadak, bahkan belum sempat sedetik pun Rio mengambil napas, Alvin dan Gabriel sudah menatapnya ganas. Cowok yang satu ini memang paling sering membuat kedua sahabatnya emosi karena ulahnya tersebut.
“Jangan percaya dia, Vi!” kata Alvin. Gabriel menyetujui.
“Oke, tenang aja. Aku tau kalau kak Rio cuma bercanda.”
“Bagus deh kalau gitu. Gue Gabriel, panggil aja Gab!” sambung Gabriel. Ia menjabat pasti tangan Sivia.
“Baiklah, kak. Kak Rio, kak Gab? Oke. Panggil aku Sivia atau Via aja.” Sivia tersenyum. Mereka berempat kembali duduk berhadap-hadapan. Menyantap semua makanan yang memang belum habis. Entah karena Alvin terlalu banyak membeli makanannya atau karena memang mereka belum sempat memakannya karena terlalu asyik mengobrol? Entahlah. Yang jelas kedatangan Gabriel dan Rio membantu mereka untuk menghabiskan makanan yang Alvin dan Sivia pesan.

Di satu sisi, Alvin membuang napasnya lega. Entah bagaimana jadinya kalau tadi si Rio sampai keceplosan bilang ke Sivia kalau dirinya sedang taruhan. Ia pun menggeleng. Tiba-tiba hatinya merasakan sesuatu yang aneh. Ya, sesuatu yang benar-benar aneh. Sampai Alvin pun bingung sendiri apa yang sedang dirasakan dan dilakukannya itu terhadap cewek yang sekarang sedang tertawa di sampingnya tersebut. Sivia. Alvin mendecak seketika, berusaha menolak semua yang ada di pikirannya kini.
“Gue mikir apaan sih?! Ck!” gumamnya.

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar