Love It There
Sudah
berulang kali Ify memandangi layar ponselnya. Berharap message yang ia kirim sepuluh menit yang lalu ke Sivia itu cepat
dibalasnya. Tapi kenyataannya sampai sekarang belum juga Ify mendapatkan
balasan. Aneh. Sudah hampir jam tujuh, tapi Sivia belum juga datang ke kelas.
Sedikit
jenuh karena dari tadi duduk sendiri tanpa ada teman bicara, Ify pun memutuskan
untuk keluar kelas mencari udara pagi. Mumpung bel masuk belum berbunyi dan mumpung
pelajaran pertama yang cukup dibilang pelajaran paling ditakuti oleh banyak
siswa itu belum menjajah tenaga dan otaknya. Lalu Ify menarik napas saat kedua
kakinya baru menginjak ambang pintu.
“Tuh
anak ke mana sih?” gumamnya kemudian dengan sesekali melirik kanan-kiri.
“Ify?!”
panggil seseorang dari arah samping. Lantas Ify menengok langsung ke sumber
suara.
“Agni?”
respon Ify ragu-ragu. Telunjuknya ia arahkan ke cewek yang seakan tak asing
lagi di matanya. Cewek itu pun tersenyum sumringah, lalu mengangguk.
“Aih…
Agniiiiii!!! Kok gue gak tau ya loe sekolah di sini juga?” heboh Ify sambil
memeluk erat cewek bernama Agni tersebut. Agni hanya tersenyum, belum niat
menjawab pertanyaan dari Ify.
“Tambah
cantik aja loe, Ag. Pangling gue, pangling! Udah berapa lama ya kita gak
ketemu? Hmm…” Ify berpikir dengan terus memandang tubuh Agni dari atas ke bawah
dan sebaliknya. Karena cewek ini memang sempat menghilang di kehidupan Ify
beberapa tahun yang lalu.
Agnia
Velixa. Cewek berpostur tubuh tinggi dan berkulit sedikit gelap yang akrab
dipanggil dengan sebutan Agni ini memang pernah dianggap oleh Ify sebagai kakak
kandungnya sendiri. Karena Agni yang notabenenya
adalah sahabat terdekat dan terbaik Cakka waktu SD dan SMP dulu, otomatis ia
dekat juga dengan Ify yang memang sering diajak oleh Cakka ketika hendak
bermain bersamanya. Keduanya jadi semakin akrab saat mereka mengetahui kalu
mereka mempunyai hobi yang sama yaitu bermain musik. Bahkan dulu Ify pernah
menginap di rumah Agni karena keasyikan bermain keyboard di studio musik pribadi milik sahabatnya itu. Begitupun
Cakka yang juga bisa bermain gitar karena bantuan Agni.
Namun
sayangnya, kurang lebih tiga tahun yang lalu saat Agni dan Cakka menginjak kelas
VIII SMP serta Ify kelas VII, Agni memutuskan untuk pindah ke Singapura
dikarenakan ikut kedua orangtuanya demi tuntutan pekerjaan. Di sana Agni
benar-benar menangis saat ia bercerita kepada Cakka dan Ify akan kepergiannya
nanti. Di mana Cakka dan Ify pun yang memang belum pernah sekalipun melihat
Agni sesedih itu, mereka lantas ikut menangis sambil berpelukan satu sama lain.
Dan dengan sangat terpaksa, Agni berusaha sebisa mungkin untuk rela melupakan
semua kenangan indahnya bersama Cakka dan Ify selama ia bersahabat dengan
mereka. Kenangan kecil yang memang tak mudah untuk dilupakan.
“Jadi
loe di sana cuma setahun?” tanya Ify refleks saat Agni baru saja selesai bercerita
tentang kehidupannya selama di Negeri Singa tersebut. Lalu ia mengangguk.
“Gak
betah gue di sana, Fy. Makanya pas gue lulus SMP, gue minta balik ke Indonesia
lagi.” jelas Agni santai.
“Kok
gak pernah kabarin gue sih? Jahat ih!” Agni tertawa kemudian.
“Bukannya
gitu, Fy. Handphone gue hilang pas
gue lagi liburan sama bonyok. Jadi gue gak tau lagi mau contact kalian lewat apa. Masa iya lewat surat?” sejenak Agni
kembali terkekeh. Sedangkan Ify hanya mengangguk-anggukan kepalanya paham.
“Udah
gitu pas gue balik ke sini, gue kan ke rumah loe tuh, tapi katanya udah pindah.”
lanjut Agni antusias.
“Oh,
iya ya. Gue sama kak Cakka kan udah pindah? Eh, ngomong-ngomong loe udah ketemu
kak Cakka belum? Loe anak baru di sekolah ini apa gimana sih, Ag?” tanya Ify
benar-benar penasaran.
“Iya,
gue anak baru di sini. Gue baru seminggu kok. Cakka? Kebetulan kemaren lusa gue
ketemu dia.”
“Aih…
kenapa kak Cakka gak bilang ke gue sih?! Parah banget, parah!” timpal Ify
greget.
“Yang
penting kan sekarang udah ketemu, Fy.”
“Iya
sih. Tapi kan, Ag?”
“Oh
iya, ini kelas loe?” tanpa merespon kata-kata Ify, agni balik bertanya.
“Iya,
ini kelas gue. Loe kelas apa, Ag?”
“Oh,
X.1 ya? Hmm… gue kelas XI IPS 2, Fy. Kelas paling atas di lantai empat.” jelas
Agni seraya menunjuk ke arah kelasnya. Lantas Ify membulatkan mulutnya dan
kemudian mengangguk berulang kali.
“Eh,
Alvin gimana? Aih… kok gue baru inget dia sih? Long time no see soalnya. Hehehe.” tanya Agni lagi penasaran.
Karena memang sosok Alvin hampir saja terlupakan di memorinya. Padahal sudah
jelas-jelas ia pernah satu kelas dengannya waktu SD dan SMP. Bahkan ia juga
pernah sebangku sama Alvin waktu beda kelas dengan Cakka.
“Kak
Alvin? Ya, begitulah. You know
sendiri kan gimana sifat dia dari dulu?” jawab Ify malas-malasan. Agni
tersenyum paham. Ia juga tau persis bagaimana sifat Alvin selama ia berteman
dulu. Meski tak seakrab seperti Cakka, setidaknya Agni sedikit hafal semua
tabiat buruk dan baiknya Alvin.
“Oh,
iya-iya gue ngerti. Hmm… eh Fy, gue ke kelas dulu kali ya? Bentar lagi masuk
nih.” pamit Agni sembari menyempatkan diri melirik arloji hitamnya. Ify juga
ikut melirik arloji yang ada di tangan kirinya cepat-cepat.
“Ya
udah kalau gitu, gue juga lagi nyari Sivia nih. Tuh anak sampai sekarang belum
kelihatan juga hidungnya.”
“Sivia?”
tanya Agni sambil membereskan bajunya yang sedikit berantakan. Kemudian beralih
menatap Ify kembali.
“Iya,
Sivia, sahabat gue. Entar gue kenalin sama loe deh. Udah sono katanya mau ke
kelas?” balas Ify santai. Agni pun mengangguk. Sedetik, ia segera meninggalkan
tempat tersebut setelah sebelumnya berpamit ria ke sahabat lamanya itu.
“Oke,
sampai ketemu istirahat ya?” Ify melambaikan tangannya antusias. Agni
membalasnya dengan mengacungkan kedua jempolnya dan lantas tersenyum.
***
“Bego
loe, Yo!” Alvin menjitak Rio cukup keras setelah Sivia pamit ke kelas terlebih
dahulu. Sontak membuat Rio meringis kesakitan.
“Sakit
bego!” tukasnya tanpa dosa. Entah kenapa Alvin tiba-tiba menjitaknya keras.
Padahal yang Rio tau sejak tadi mereka damai-damai saja saat Sivia masih ada.
“Loe
tuh yang bego! Ck!” Alvin mendecak. Sedangkan Gabriel hanya santai saja melihat
kedua sahabatnya itu beradu mulut.
“Lho?
Emang gue salah apa sama loe, Vin? Perasaan dari tadi gue gak ngelakuin apa-apa
sama loe deh.” bela Rio dengan polosnya. Gabriel pun terkekeh.
“Ck!
Bener-bener mesti diinstal ulang otak loe, Yo. Loe gak inget tadi loe mau
bilang apa di hadapan Sivia, hah?” sedikit emosi, Alvin mencoba duduk kembali
sambil terus menatap jengah ke arah Rio.
“Heh?
Emang gue tadi mau bilang apaan sih, Gab?” tanya Rio ke Gabriel. Berusaha
mencari tau apa kesalahan yang ia lakukan tadi. Gabriel mengangkat bahu masa
bodoh. Entah karena tidak tau atau memang sengaja tidak memberi tau supaya Rio
bisa di skak mati oleh Alvin. Mungkin hanya Tuhan dan Gabriel lah yang paham.
Lagi-lagi Alvin terlihat menekuk wajahnya kesal.
“Asal
loe tau ya?! Loe tadi hampir aja ngerusak semua rencana gue tau gak?!”
timpalnya sinis. Si Rio masih berpikir keras apa yang sebenarnya yang sedang
Alvin bahas itu. Ia mengernyit seketika sambil sesekali menatap Gabriel untuk
meminta penjelasan. Lagi dan lagi Gabriel mengangkat bahu, terlalu sayang menurutnya
kalau harus menghentikan aksi makan gratisnya hanya untuk meladeni seorang Rio.
Hajar Vin, hajar! umpat Gabriel
dengan terkekeh.
“Heh,
tadi loe hampir aja bilang kalau gue lagi taruhan buat dapetin dia tau gak?!
Ish! Tuh mulut emang mesti dijahit kali ya? Biar gak cablak kaya artis-artis
alay di tv-tv itu.” tukas Alvin asal.
Gabriel dengan sangat cepat mengangkat jempolnya ke wajah Alvin seakan
menyetujui kata-katanya tadi.
“Aih…
kejem amat loe berdua sama gue? Heh, asal loe tau ya? Gue itu langka di dunia
ini, jadi harusnya kalian bersyukur bisa sahabatan sama gue.” bela Rio mulai
aneh. Sedangkan Alvin dan Gabriel tak menggubris sama sekali.
“Hei,
kok diem? Dengerin gue gak sih tadi? Ish!”
“Whatever you say, Mario! Males gue
pagi-pagi gini udah debat sama loe. Oh iya, sekali lagi loe sampai keceplosan
masalah taruhan ini di depan Sivia, loe siap-siap aja beli nyawa cadangan buat nyambung
hidup loe. Cabut, Gab!” ancam Alvin ke Rio kemudian mengajak Gabriel balik ke
kelas setelah itu. Sedetik, Rio tergelak mendengarnya. Ia sendiri masih
memamtung meski kedua sahabatnya telah berlalu begitu saja dari tempatnya. Rio
mendecak.
***
Cakka
tertawa terbahak saat melihat Ray terpeleset karena terlalu fokus memandangi
Shilla dari kejauhan sampai tidak menyadari kakinya menabrak ember berisi air
milik cleaning service sekolah yang
sedang mengepel lantai. Sesaat, Ray meringis sambil memegangi pantatnya yang terasa sangat perih.
Tapi untungnya tidak ada yang tau kejadian itu selain mereka berdua dan sang cleaning service. Jadi Ray tidak perlu
takut untuk jadi bahan tertawaan anak-anak satu sekolah. Sedangkan Cakka masih
terkekeh dibuatnya.
“Bukannya
bantuin, malah ketawa. Seneng ya lihat orang menderita.” seraya mengibaskan
celananya yang sedikit basah, Ray mengoceh sinis ke Cakka.
“Hahaha.
Sori Ray, sori. Hahaha. Abisnya tuh ekspresi muka loe lucu parah! Suer,gue gak
bohong.” Cakka tetap tak berhenti tertawa meski tangannya terus-terusan
memegangi perutnya karena kesakitan.
“Ketawa
aja terus, keselek lidah baru tau rasa loe.” tukas Ray sengit. Sontak membuat
Cakka terdiam seketika.
“Keselek
lidah? Siapa yang keselek lidah? Wuih… kok gue baru denger ya ada orang keselek
lidah?” ucapnya sangat polos. Entah polos atau memang bodoh.
“Hahaha.”
“Heh?
Kok loe malah ketawa sih? Ada yang lucu gitu?” Cakka mengernyit. Ray tetap
tertawa tanpa menghiraukan pertanyaan Cakka tadi.
“Stres
loe, Ray!”
“Hahaha.
Loe yang stres, Cak! Gue ngomong asal tau, loe malah percaya gitu aja. Hahaha.”
ucap Ray tak henti tertawa.
“Sialan
loe!” desis Cakka sinis. Mereka pun perlahan berjalan kembali menyusuri
koridor. Meneliti setiap sudut yang mereka lewati dengan sesantai mungkin.
Meski tak jarang di antara siswi-siswi yang melihat mereka saling berbisik
bahkan ada juga yang sampai histeris karena aura Cakka selalu membuat degupan
jantung mereka semakin tak terarah. Namun Cakka hanya membalasnya dengan
senyuman.
Sedetik,
langkah Cakka tiba-tiba terhenti. Diam sesaat. Lantas kedua mata mungilnya ia
kernyitkan ke arah depan, ke arah cewek yang saat itu sedang berjalan dengan
bahagianya sambil memegangi tali tasnya yang menjuntai ke bawah. Cakka
tersenyum. Tak tau kenapa tiba-tiba darahnya seakan mengalir tak karuan. Rasa
deg-degan yang sangat kuat itupun muncul begitu saja di jantungnya. Sedangkan Ray
yang memang belum menyadari kalau Cakka sudah tidak lagi di sampingnya itu
masih saja tebar pesona ke setiap cewek-cewek yang dilewatinya.
“Cantik…”
Cakka bergumam. Senyumannya semakin mengembang saat si cewek yang
diperhatikannya tadi berjalan semakin dekat ke arahnya. Cewek tersebut ikut
tersenyum. Manis sekali.
“Selamat
pagi, kak Cakka!” sapanya lembut. Pancaran indah di kedua matanya pun ikut
berbinar. Cakka menelan ludah seketika.
“Pagi,
Sivia!” balas Cakka sesantai mungkin. Ya, cewek itu Sivia. Cewek yang kini
berdiri seraya menyunggingkan senyuman di hadpan Cakka.
“Hmm…
kak Cakka mau ke mana?” tanya Sivia sambil mengerutkan dahinya. Cakka masih
diam. Diam lebih dari seribu bahasa. Atau mungkin karena terlalu sayang
untuknya beralih sedetikpun dari wajah Sivia yang pagi ini terlihat sangat
mempesona. Bahkan parahnya Cakka tak berkedip sekalipun di hadapan cewek cantik
tersebut.
“Kak?”
gumam Sivia dengan mempertajam tatapannya ke mata Cakka. Memastikan apakah
Cakka baik-baik saja atau tidak.
“Eh,
iya, apa? Sori aku ngelamun.” bantahnya gelagapan. Namun Cakka tetap bertingkah
sebiasa mungkin di hadapan Sivia.
“Oh…
gak apa-apa kok, kak.”
“Eh,
kamu baru dateng? Kok masih bawa tas sih?” tanya Cakka kemudian. Terkesan mengalihkan
fokus pembicaraan. Sivia menghela napas.
“Enggak
kok, kak. Aku dateng pagi-pagi malah.” setelah berucap, Sivia kembali
mengembangkan ekspresi cerianya itu.
“Terus
itu tas kenapa dibawa-bawa mulu? Ada bomnya ya? Aih…” Cakka terkekeh.
“Eh,
enak aja! Aku bukan teroris tau!”
“Oh
ya? Gak percaya deh.”
“Ya,
harus percaya lah! Emang ada buktinya kalau aku teroris?” bela Sivia sambil
menjulurkan lidahnya. Dan tanpa sadar mereka berjalan kembali. Tetapi tidak
dengan tujuan awal Cakka yang hendak berpatroli keliling sekolah, melainkan Cakka
berbalik arah mengikuti Sivia yang akan menuju kelasnya.
“Bukti?
Hmm… gak ada sih kalo bukti mah. Tapi kalau diperhatiin emang bener sih muka
kamu kaya teroris.” lagi-lagi Cakka terkekeh. Sedangkan sedari tadi Sivia hanya
bisa menampakan wajah kesalnya.
“Jahat
ih, jahat!”
“Wuih…
ngambek nih. Jelek ah!” ledek Cakka sembari menggoda.
“Tau
ah!”
“Dih!
Iya deh iya aku minta maaf. Bercanda doang kali, Vi.” kata Cakka sambil
berjalan mundur menghadap Sivia. Sivia tetap tak menggubris sama sekali.
“Senyum
kali, Vi. Aku hitung nih? Satu… dua… tig…” tak sengaja, Sivia menginjak kaki
kanan Cakka sampai Cakka kehilangan keseimbangan dan jatuh begitu saja di
lantai. Bersamaan dengan Sivia yang tadi tangannya sempat diraih Cakka sebelum
ia jatuh terlentang seperti sekarang ini. Lantas Cakka pun meringis kesakitan.
Bahkan lebih dari kesakitan karena tubuh Sivia yang mungkin lebih berat itu
mendarat pas di pelukannya.
“Aaaarrrrrrgggggghhhhhh!!!”
geram Cakka keras. Namun kemudian rintihannya itu tertahan saat ia menyadari
kalau wajah Sivia begitu dekat dengan wajahnya. Dan tanpa dipungkiri lagi,
Cakka dan Sivia saling pandang satu sama lain. Cukup lama. Rasa sakit di
punggungnya pun seakan tak berarti apa-apa dengan apa yang ia rasakan saat ini.
Saat di mana ia memandang wajah cantik Sivia yang hanya berjarak 3 sentimeter
dengan wajah groginya tersebut.
Sivia
langsung tergelak. Matanya ia alihkan cepat-cepat saat menyadari sudah terlalu
lama ia berada di atas tubuh atletis Cakka.
“Hmm…
maaf, kak.” bisik Sivia sambil berusaha bangun. Wajah cerianya berubah menjadi
pucat seketika. Kembali, Cakka meringis. Dan sebisa mungkin untuk ia bangkit
dari jatuhnya dengan keadaan pinggang dan punggung yang rasa sakitnya cukup
dibilang luar biasa itu.
“Maaf,
aku gak maksud buat peluk-peluk kamu. Maaf banget, maaf.” setelah tubuhnya
berhasil berdiri, Cakka berucap sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di
dada. Sivia tersenyum dibuatnya.
“Gak
apa-apa kok, kak. Kak Cakka gak usah minta maaf. Harusnya aku yang minta maaf
sama kakak.” ucap Sivia manis.
“Sakita
ya, kak?” lanjutnya prihatin sambil ikut mengusap punggung Cakka perlahan.
“Aw!
Pelan-pelan, Vi.” rintih Cakka kemudian. Dengan sedikit ragu, Sivia merangkul
pundak Cakka dan berusaha menuntunnya berjalan.
“Emang
sakit banget ya, kak?” tanya Sivia lagi super polos. Pakai ditanya lagi. Aduh Vi, please
deh! batin Cakka.
“Aku
bawa kak Cakka ke UKS aja ya? Aku takut kakak kenapa-kenapa.”
“Gak
usah Vi, gak usah. Aku gak apa-apa kok. Bentar lagi juga sembuh.” tolaknya
ramah.
“Hmm…
ya udah deh kalau gak mau. Terus ini mau ke mana? Ke kelas kakak aja tah?”
tawar Sivia lagi. Berharap kali ini Cakka menerima tawarannya.
“Ke
kelas kamu aja, Vi. Tadi kan niat aku mau nganter kamu ke kelas.” Sivia
mengernyit bingung. Susah juga ternyata bilangin orang yang satu ini. Akhirnya
mau tak mau Sivia pun menuruti kata-kata cowok yang sejak tadi meringis
kesakitan itu.
“Beneran
gak usah? Entar kakak ke kelasnya sendirian dong?” tanya Sivia lagi memastikan.
Dan itu membuat Cakka menatap tajam ke arah Sivia.
“Vi,
udah deh! Sejak kapan sih kamu jadi bawel gini? Kalau aku bilang gak mau ya gak
mau. Kamu denger gak sih?!” tukas Cakka pelan karena masih menahan rasa sakit
di punggungnya. Sontak Sivia menghentikan langkahnya serentak. Kemudian menatap
heran cowok yang dirangkulnya tersebut. Refleks, Sivia menampakan ekspresi
kesalnya di hadapan Cakka. Ia mendecak.
“Aku
cuma ngasih saran doang, kak. Kalau kakak emang gak mau terima saran dari aku
ya udah jangan bentak-bentak segala. Nyebelin banget sih?!” sementara Cakka
yang juga ikut menampakan ekspresi herannya saat melihat respon Sivia yang tak
diduga itu membuatnya tergelak. Cepat-cepat, Sivia melepaskan rangkulannya di
pundak Cakka tadi dan langsung melipatkan kedua tangannya di dada.
“Vi?”
panggil Cakka pelan. Cewek yang kini berdiri membelakanginya itu tetap tak
bergeming. Cakka pun menghela napasnya gusar. Ternyata seorang Sivia yang
menurut Cakka beda dari cewek-cewek yang lain itu rentan juga terhadap
bentakan. Kakinya ia langkahkan mendekati Sivia.
“Ya
udah aku minta maaf deh. Abis tadi kamu bawel sih, jadinya aku kesel. Maafin
ya?” Sivia masih tak bergeming walaupun Cakka sudah menatap lekat-lekat
wajahnya yang kini terlihat lebih lucu tersebut.
“Apaan
sih, kak?!” timpal Sivia jengah begitu dengan usilnya Cakka mendekatkan
wajahnya ke wajah Sivia dengan tabiat menggoda.
“Enggak.
Lucu aja lihat kamu ngambek kaya gitu.” Sivia memutar mata mendengarnya.
“Kak
Cakka!!! Please deh jangan
deket-deket! Serem tau tuh muka.”
“Hahaha.
Maafin dong makanya!” Cakka tersenyum. Senyuman termanis yang pernah ia
keluarkan selama hidupnya. Mungkin. Sivia pun mendadak meleleh dibuatnya karena
memang selama ini ia belum pernah melihat senyuman seorang cowok yang begitu
membuat hati terasa sejuk. Sivia mengangguk perlahan.
“Asik!
Thank you ya, Sivia!” Cakka mencubit
kedua pipi Sivia gemas. Setelah itu, dengan tanpa ragu si Cakka merangkul cewek
yang sekarang wajah cantiknya bersemu merah itu sambil kembali berjalan.
“Lho?
Kok kak Cakka gak kenapa-kenapa sih? Bukannya tadi pinggang kak Cakka sakit
ya?” tanya Sivia mulai heran melihat Cakka.
“Wuih…
udah gak sakit lagi dong! Kan deket kamu, Vi.” Sivia langsung terkekeh
mendengarnya. Ditambah dengan ekspresi Cakka yang lucu, itu membuat Sivia
menjadi gemas sendiri.
“Gombal
ye?” kata Sivia datar. Bahunya ia senggolkan perlahan ke Cakka yang memang
masih merangkulnya erat.
“Aku
gak gombal, Sivia. Itu fakta. You know
fakta?”
“Iya
deh terserah kak Cakka aja. Udah ah jangan peluk-peluk aku terus! Entar banyak
yang envy sama aku. Aku takut, kak.”
ujar Sivia sambil menurunkan tangan Cakka di bahunya itu.
“Lho?
Emang siapa yang mau envy, Vi? Terus
kenapa kamu mesti takut?” tanya Cakka bingung sambil memberhentikan langkahnya.
Perlahan, Sivia menarik napas sambil mencoba tersenyum ke arah Cakka.
“Kak
Cakka, dengerin aku ya! Cewek-cewek di sekolah ini yang jadi fans kakak itu kan
banyak, hampir semua deh pokoknya. Nah, entar kalau mereka pada lihat kalau
idolanya lagi rangkul-rangkul cewek sambil jalan gimana coba? Kak Cakka mau ya
lihat aku dikeroyok ramai-ramai sama mereka?” jelasnya panjang lebar. Lalu
Sivia menolak pinggang.
“Hmm…
bodo amat! Toh kamu ini kan yang dikeroyok?” kembali Cakka merangkul paksa
Sivia dan kemudian berjalan sesantai mungkin seperti semula. Tak perduli dengan
wajah Sivia yang kini terlihat super jengkel karena dirangkul paksa olehnya. Sivia
pun mencibir.
“Kak
Cakkaaaaaaaaaaaa!!!”
***
“Heh,
loe kenapa sih? Gelisah mulu dari tadi. Mau dapet loe, Yo?” tanya Gabriel
bisik-bisik. Bagaimana tidak, sejak sejam yang lalu Rio terlihat sangat resah
seperti orang yang sedang menunggu vonis hukuman di depan para hakim dan jaksa.
Dan sesekali juga Gabriel memperhatikan Rio yang tiba-tiba menutup wajahnya
dengan buku paket Sosiologi yang super tebal itu.
“Kenapa
sih, Yo?” bisik Gabriel lagi penasaran. Ia menyenggol pundak Rio yang belum
juga menjawab pertanyaannya.
“Gue
takut, Gab!” balas Rio kemudian sambil melirik cepat-cepat ke arah guru yang
sedang berdiri di depan kelas dengan tatapan tajam yang dipancarkannya. Gabriel
mengernyit.
“Why, brader?”
“Gue
takut Bu Grace naksir gue, Gab. Loe gak tau dari tadi Bu Grace lihatin gue
mulu? Gue gak doyan yang tua-tua gitu soalnya.” ucap Rio polos sambil terus
menutupi wajahnya dengan buku. Entah itu polos atau bodoh, yang jelas kini
Gabriel hanya bisa menepuk dahi mendengar jawaban sahabatnya yang tidak tau
harus diapakan lagi otaknya supaya kembali normal seperti sedia kala.
“Loe
udah bener-bener idiot, Yo. Ck! Prihatin gue sama loe.” balas Gabriel datar
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
“Gue
tau kok Bu Grace itu jomblo, cantik, sexy,
mempesona, cetar, aduhai, imut, baik, pintar dan lain-lain deh pokoknya. Tapi
belum tentu Bu Grace doyan sama berondong juga kali. Apa lagi berondong gosong
kaya loe ini. Aih… mana mau dia sama loe?” tukas Gabriel senang.
“Sialan
tingkat Neptunus loe, Gab! Gue? Berondong gosong? Gak ngaca dulu sih loe kalau
mau ngomong! Gue sama loe itu masih mendingan gue tau?! Gue agak putihan, loe
buluk!” balas Rio sengit. Dan belum sedetik pun untuk Rio berhenti bacara,
jitakan keras mendarat di ubun-ubunnya.
“Bisa
gak sih gak main tangan?!” bentak Rio masih dalam kapasitas suara yang pelan.
“Gak
bisa! Kenapa? Mau ngajak ribut? Ayo, gue gak takut! Kalau bisa Bu Grace jadi
wasitnya.” tantang Gabriel asal. Rio hanya mendecak meresponnya.
“Males
gue ribut sama loe, Gab! Buang-buang tenaga aja. Mendingan gue ngecengin cewek
daripada ribut gak jelas gitu.” tolak Rio mentah-mentah. Tangannya menepis
tangan Gabriel yang menyentuh pundaknya sedikit keras.
“Ganesha!
Mario! Kalian bisa diam sebentar?! Kelas ini tempat belajar, bukan tempat
ngobrol! Silahkan kalian keluar kalau memang mau mengobrol!” bentak Bu Grace
yang mulai mendengar bisik-bisik dari Gabriel dan Rio yang semakin gaduh. Mereka
pun tergelak. Tidak seperti yang lain yang seakan menahan tawa karena melihat
ekspresi Rio dan Gabriel yang lucu.
“Ma…
maaf, Bu. Tadi saya kebelet kencing, mau minta Gabriel buat nganter ke toilet.
Eh, dia malah gak mau. Jahat kan, Bu? Masa nganter temennya ke toilet aja gak
mau? Aih… temen macam apaan itu coba? Kita kan hidup harus tolong menolong kan,
Bu? Tau nih si Gabriel mah gak asik.” jelas Rio asal. Membuat Bu Grace dan
Gabriel melongo mendengarnya. Terlebih teman-teman kelasnya yang lain yang
masih menahan tawa karena ulah Rio tersebut.
“Udah
suruh keluar aja mereka, Bu! Berisik aja dari tadi.” celetuk salah seorang
siswa di kursi paling depan. Siswa yang lain lantas menyetujui dengan
menganggukkan kepalanya.
“Aih…
gak friend banget loe semua. Gak usah
lah, Bu. Saya janji deh bakal diem. Serius!” timpal Gabriel ikut bicara.
“Hmm…
gini aja deh, daripada bingung-bingung gak jelas kaya gitu, mendingan nih anak
dua suruh berdiri aja di depan. Gampang kan? Toh katanya mereka gak mau
keluar.” usul Alvin seraya menyunggingkan senyuman sinisnya. Ia tertawa dalam hati.
“Setujuuuuuu!!!”
koor anak-anak kelas XI IPS 2 kompak.
Bu Grace pun langsung mengangguk menyetujui saran dari Alvin barusan.
“Ish!
Alvin? Wuih… kejem amat loe ngasih saran!” bisik Rio dengan penekanan yang
jelas. Begitu juga Gabriel yang menatap heran ke arah Alvin. Lantas mereka
kembali memalingkan wajah ke sosok Bu Grace jengah.
“Silahkan
maju!” suruhnya lembut. Gabriel dan Rio memutar matanya.
“Ada
gitu orang kece dihukum kaya gini? Ck!” ucap Rio menyayangkan. Serentak, sebuah
sorakan bergemuruh tiba-tiba di telinganya. Sorakan untuk sifat percaya diri
dari seorang Rio tersebut tentunya.
“Kece
muka loe soek!” rutuk Gabriel seraya menyenggol Rio yang kini sudah berdiri di
depan whiteboard sambil mengangkat
salah satu kakinya itu.
“Oke,
silahkan kalian lanjutkan merangkum! Dan buat kalian berdua, tetap berdiri
dengan satu kaki kalian sampai pelajaran Ibu selesai. Mengerti?!” ungkap Bu
Grace tegas. Mata Gabriel dan Rio terbelalak hebat. Bagaimana tidak, pelajaran
Sosiologi baru berjalan duapuluh menit dari satu jam setengah durasi
maksimalnya.
“What?! Yang bener aja, Bu?” tukas
Gabriel.
“Aih…
Bu Grace yang unyu-unyunya melebihi dari Doraemon, masa iya sih sampai jam
pelajaran kita berdiri di sini terus? Apa gak sadis tuh namanya?” sambung Rio
cepat.
“Ya
sudah kalau gitu sampai jam istirahat.” lanjut Bu Grace santai.
“Oh my God, ibu?” protes Rio dan Gabriel
kompak.
“Sampai
pulang mau?”
“Gak
mau!!!”
“Ya
sudah jangan protes makanya!” mereka akhirnya mengangguk pasrah. Di arah depan,
Alvin terkekeh sambil sesekali menjulurkan lidahnya ke arah kedua sahabatnya
itu. Rio dan Gabriel menggeram saja melihatnya.
***
Prissy
tersenyum. Rasanya baru kali ini ia merasakan ada sesuatu luar biasa yang
bergejolak di dadanya disaat tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seorang cowok
yang memang belum dikenalnya itu tadi pagi. Dengan sambil mengaduk jus apel
yang dipesannya barusan, Prissy kembali membayangkan kejadian yang mungkin tak
terlupakan untuknya baru-baru ini. Kejadian di mana ia menatap kedua bola mata
berwarna cokelat yang begitu indah. Tatapannya yang tajam, yang menusuk lembut dan
mengendap di relung hati Prissy. Sungguh pandangan pertama yang sangat
menakjubkan menurutnya. Lagi-lagi Prissy tersenyum. Sepertinya Dewa Amor sudah benar-benar membidikkan
panah cintanya di hati seorang Prissy.
“Tuhan
memang adil. Tuhan selalu menghadirkan sesuatu yang indah tepat pada waktunya.
Ya, Tuhan selalu pengertian akan ciptaannya.” tiba-tiba kata-kata tersebut
terlontar begitu saja di bibir mungil cewek yang bernama lengkap Princess
Pricilla ini.
Flashback On.
“Aw!”
rintih Prissy begitu pundaknya tanpa sengaja tersenggol keras oleh seseorang
yang sedang berlari terburu-buru. Orang yang menyenggol Prissy itupun terhenti
dan langsung berbalik arah cepat-cepat.
“Sori
banget ya? Tadi gue gak sengaja, gue buru-buru. Loe gak apa-apa kan? Ada yang
sakit?” tanya orang itu khawatir. Tangannya tanpa ragu menyentuh pundak Prissy
yang memang terus-terusan diusap karena kesakitan. Prissy mendongak perlahan.
“Oh my God!” gumamnya pelan. Bahkan
mungkin lebih dari sangat pelan. Orang itu tersenyum kemudian begitu Prissy
hanya diam sambil menatapnya aneh tersebut.
“Loe
gak apa-apa?” Prissy masih tetap diam. Matanya terlalu sibuk memandangi kedua
mata milik orang yang tadi menyenggolnya itu.
“Hallo? Are you okay?” sapa orang
tersebut dengan melambaikan tangan di depan wajah Prissy.
“Eh,
iya, gue… gue gak apa-apa kok. Iya, gue gak apa-apa.” jelas Prissy gelagapan.
Lamunan panjang yang sempat menjamah otaknya itu seketika buyar begitu saja.
“Beneran
gak apa-apa?” Prissy langsung mengangguk pasrah. Warna merah merona tiba-tiba
menghiasi pipi chubbynya. Orang
itupun tersenyum. Manis. Walaupun tak sepenuhnya tersenyum, tetapi mampu
membuat perasaan aneh di hati seorang Prissy memberontak. Gilaaaaaa!!! Manis banget! rutuknya.
“Ya
udah sekali lagi gue minta maaf ya? Serius, tadi gue beneran buru-buru.” jelas
orang itu lagi-lagi.
“Iya,
gak apa-apa kok.”
“Hmm…
kalau gitu gue duluan ya? Gue buru-buru soalnya. Sekali lagi maaf ya?” orang
tersebut menepuk pelan pundah Prissy yang masih berdiri mematung sambil
senyum-senyum tidak jelas itu.
“Hei,
tunggu dulu!!!” panggil Prissy kemudian. Namun percuma, orang itu sudah
terlanjur jauh berlari.
“Gue
kan belum kenalan sama loe.” gumamnya kemudian dengan membuang napasnya segera.
Flashback Off.
“Please deh gak usah senyum-senyum
sendiri kaya orang gila gitu. Gue tau gue emang ngangenin, tapi gak segitunya
juga kali.” Prissy tersentak. Super kaget saat di depannya muncul begitu saja
sosok cowok terpercaya diri yang pernah ia temui di bumi ini. Siapa lagi kalau
bukan…
“Riiiiiioooooo!!!
Loe ganggu gue aja!” amuk Prissy tak disangka. Matanya melotot seram ke arah
Rio yang sudah duduk manis di depannya tersebut.
“Ish!
Gue ganggu loe? Masa sih? Perasaan dari tadi gue diem di sini, lihatin loe yang
kaya orang gila.” Rio mengernyitkan dahinya heran.
“Loe
gak lagi sakit kan, Pris?” lantas Rio menempelkan punggung tangan kanannya ke
kening Prissy tanpa ragu.
“Kurang
ajar loe!” tepis Prissy cepat-cepat.
“Hahaha.
Kali aja loe lagi sakit terus senyum-senyum gak jelas gitu. Gak ada yang tau
kan?”
“Serah
loe deh, Yo! Lagian ngapain sih loe ke sini? Emang gak ada tempat lain apa?”
tanya Prissy kesal. Mendengar itu, Rio mengangkatkan alisnya satu.
“Aih…
tumben galak? Kemaren aja loe muji-muji gue, sekarang malah ngusir. Aneh loe
ah!”
“Ish!
Siapa sih yang muji loe, Mario? Seinget gue, gue gak pernah muji loe sekalipun.
Kenal aja baru tiga hari ini, yang ada elo yeng terus-terusan muji diri loe
sendiri di depan gue.” tukas Prissy sekenanya.
“Hmm…
iya juga sih ya? Hehehe.” Prissy berdecak. Ternyata cowok yang ada di
hadapannya itu mempunyai banyak sifat. Kadang menyebalkan, aneh, lucu, cakep,
super percaya diri, labil dan mungkin masih banyak lagi yang belum Prissy
ketahui dari seorang Mario Sebastian tersebut
“Eh,
emangnya loe gak punya temen ya? Kok tiap kali gue ketemu loe, loe sendirian
mulu sih?” tanya Rio penasaran. Raut wajahnya berubah serius.
“Punya
lah! Gila aja gue gak punya temen.”
“Masa
sih? Terus kenapa loe ke mana-mana cuma sendirian aja?”
“Terserah
gue kali, Yo. Kalau gue pengennya sendiri gimana dong? Ada masalah?” Rio
menggeleng.
“Loe
punya cowok gak sih?” Prissy mengerutkan kening. Merasa aneh dengan
pertanyaan-pertanaan Rio itu.
“Mario,
dengerin ya! Kalau emang kedatangan loe ke sini cuma buat nanya-nanya hal yang
gak jelas kaya barusam, mending loe pergi aja deh sana! Gue lagi pengen sendiri
nih. Hus! Hus! Hus!” usir Prissy sangar.
“Please deh, Pris! Gue bukan ayam ataupun
bebek ataupun semacamnya ya! Gue itu orang tau?! Orang paling kece dari
orang-orang terkece seantero jagad raya ini. So, loe gak perlu memperlakukan gue seperti hewan gitu.” kata Rio
panjang lebar. Untuk sementara Prissy tak menggubris sama sekali, mencoba
membiarkan Rio berkicau sepuasnya terlebih dahulu.
“Udah?”
kata Prissy begitu Rio berhenti berbicara.
“Heh?
Apanya yang udah, Pris?”
“Ck!
Tau ah! Udah sana pergi dari sini!”
“Iya
deh iya gue pergi dari sini. Tuh sahabat-sahabat gue juga udah nongol. Good bye ya, Prissy! Jangan lupa sms
kalau loe kangen sama gue.” pamit Rio yang langsung lari begitu saja saat
melihat Alvin dan Gabriel memasuki wilayah tongkrongan mereka di kantin paling
ujung. Karena sebelumnya Gabriel dan Alvin pergi dahulu ke toilet saat Rio hendak
mengajaknya ke kantin pas selesai pelajaran Ekonomi tadi.
Sedetik,
Prissy menyipitkan kedua matanya. Bermaksud memperjelas pandangannya ke arah
kedua cowok yang tadi Rio sebut sebagai sahabatnya. Lalu ia mengernyit.
“Hah?
Cowok itu? Sahabat Rio? Oh my God!”
***
“Cerita
sama gue bisa kali, Vi. Senyum-senyum mulu dari tadi. Lagi kenapa sih? Lagi
naksir cowok ya?” tebak Ify sambil ikut duduk di salah satu anak tangga yang
diduduki oleh sahabatnya itu. Sivia. Perlahan, Sivia bergeser mendekatai
pembatas tangga supaya tidak menghalangi jalan siswa-siswa lain yang hendak
lewat.
“Mau
tau aja apa mau tau banget?” tanya Sivia dengan menyebalkan. Sedangkan Ify
hanya mengikuti gaya bahasa Sivia tadi dengan malas.
“Please gak usah alay deh, Vi!”
“Hehehe.
Serius, gue gak lagi alay.” ungkap Sivia santai. Ia tersenyum renyah ke Ify.
“Aih…
gitu ya sekarang? Oke, no problem!
Gue tau kok apa yang ada di pikiran loe sekarang.”
“Hmm…
masa? Apa coba?” pinta Sivia antusias.
“Apa
ya? Hmm… sebentar, gue mikir dulu.” Ify pun langsung pura-pura berpikir. Cukup
lama. Sampai Sivia sudah tak bergairah lagi untuk ingin tau.
“Gak
jadi deh, kelamaan!” cekalnya. Namun Ify tetap berpikir sebisa mungkin.
“Ada
hubungannya sama kak Cakka?” tebak Ify tiba-tiba sambil memberi kode menggoda.
“Aih…
Ify?”
“Bener
kaaaaaan???”
“Hehehe…
asal tebak kan loe?”
“Enak
aja! Emangnya loe gak tau gue punya indera ketujuh, Vi?” Sivia tergelak
mendengarnya. Indera ketujuh? Ada gitu?
tanya Sivia dalam hati.
“Indera
keenam mungkin. Emang ada indera ketujuh? Lucu loe ah!” Ify terkekeh. Rasanya
geli sekali melihat ekspresi Sivia yang syok saat mendengar kalau Ify mempunyai
indera ketujuh.
“Hahaha.
Gue bercanda kali, Vi. Eh, emang beneran ada hubungannya sama kak Cakka ya?”
tanya Ify kembali ke topik semula. Sivia tak langsung menjawab, hanya deretan
gigi putihnya saja yang ia persembahkan ke arah Ify.
“Ehem!
Yang lagi jatuh cinta. Ehem! Yang jatuh cintanya sama sepupu gue. Ehem! Yang…”
“Ifyyyyyy!!!”
cegah Sivia sambil membekap paksa mulut Ify sebelum semua orang mendengar
ucapannya tersebut.
“Gak
usah keras-keras bisa kan? Jangan nyebarin gosip yang enggak-enggak deh!” bisik
Sivia tepat di telinga sahabatnya itu.
“Hei,
gue gak nyebarin gosip ya! Itu fakta kan? Udah deh gak usah diumpetin lagi. Gue
udah tau kok, Vi.”
“Tapi
beneran gue gak lagi suka sama kak Cak…”
“Mata
loe gak bisa bohong, Siviaaaaaa!” potong Ify cepat-cepat. Sivia pun hanya bisa
pasrah. Ify memang paling tau apapun yang sedang ia rasakan. Dan tak bisa
dipungkiri lagi kalau semua perkataan Ify tadi itu benar adanya. Sivia memang
sedang jatuh cinta, jatuh cinta sama satu sosok yang begitu diidolakan oleh
banyak siswi di sekolah Sarfagos ini. Sosok yang selalu membuatnya merasa
terlindungi. Sosok yang selalu membuatnya tersenyum. Dan sosok yang selalu ada
di sisinya saat Sivia membutuhkannya. Siapa lagi kalau bukan… Cakka Pratama.
“Ify?”
“Iya?”
“Jangan
bilang sama kak Cakka ya? Please!”
pinta Sivia tiba-tiba.
“Lho?
Emang kenapa gitu?” Ify menatap Sivia dengan ekspresi bingung.
“Gue
malu,” jawabnya setengah berbisik dengan sesekali kedua mata indahnya mengitari
suasana sekelilingnya. Memastikan sosok yang sedang ia bicarakan itu tidak
muncul begitu saja tanpa ia ketahui.
“Sivia…
Sivia… kenapa mesti malu? Slow aja
kali, Vi!” ucap Ify antusias. Entah kenapa rasa lega muncul di hatinya begitu
mengetahui kalau Sivia memendam perasaan pada salah satu sepupunya tersebut.
“Pokoknya
gue gak mau kak Cakka sampai tau sama masalah ini. Loe bisa jaga rahasia kan,
Vi?” Sivia memohon.
“Aduh,
sayangnya gue bukan tipe orang yang pandai menyimpan rahasia nih. Gimana dong,
Vi?” Sivia menelan ludah seketika.
“Clarissa
Rifya Pratama, gue mohon banget sama loe. Please…”
lagi-lagi Sivia memohon. Kali ini ia mengatupkan kedua tengannya di depan dada.
“Aduh,
gue takut banget nih. Takut kalau nanti gue sampai keceplosan bilang ke kak
Cakka, Vi.” ledek Ify semakin memojokkan Sivia.
“Ifyyyyyy!!!”
“Hahaha.
Iya-iya deh gue bakal jaga rapat-rapat rahasia loe ini. Tapi loe gak larang gue
kan buat nyomblangin loe sama kak Cakka?” Sivia tergelak mendengarnya. Matanya
pun terbelalak lebar.
“Ify,
please deh!”
“Aduh,
gue keceplosan! Aih… lupakan!” bantahnya aneh. Dan sebelum Sivia berpikir jauh
tentang ucapan Ify tadi, si Ify langsung lari ke atas meninggalkan Sivia yang
masih terheran-terheran dibuatnya.
“Ify,
tungguin gue!” dan ia ikut berlari menyusul Ify.
***
Mentari
semakin gencar mentransfer energi panasnya ke bumi. Bahkan lebih parahnya lagi,
angin belum berniat sedikitpun berhembus demi mengurangi rasa gerah yang
menjamah setiap manusia di siang ini. Tapi untungnya jalanan tidak terlalu
ramai, jadi polusi udara yang biasanya berkeliaran itupun sedikit berkurang.
Alvin
berdiri malas di pinggir jalan untuk sekedar membuang lelah setelah cukup jauh
ia berjalan kaki sepulang sekolah. Napasnya memburu, begitu juga keringat yang
selalu bercucuran di dahinya. Karena baru kali ini seorang Alvin pulang sekolah
dengan berjalan kaki. Padahal biasanya mengendarai motor ataupun mobil yang
difasilitasi oleh sang Papi.
“Aih…
capek juga pulang sekolah jalan kaki, mana masih jauh lagi.” rutuknya sambil
terus menyeka keringat. Lagi, Alvin berdiri dengan menolak pinggang santai.
Matanya ia edarkan ke sekitar, berharap ada kendaraan atau apapun yang mungkin
bisa ia tumpangi.
“Ck!
Si Cakka, Rio, Gabriel, Ify pada kejem banget ya sama gue?! Masa gue ditinggal
gitu aja di sekolah? Aih… saudara sama sahabat macam apaan itu? Parah!” sewot
Alvin dengan mencibir nama-nama orang yang faktanya merekalah orang terdekat
yang ia punya. Alvin pun kembali melangkah meski rasa pegal di kakinya semakin
bertambah.
“Pi,
apa Papi tega lihat anaknya menderita seperti ini?” lirihnya kini. Tak tau
kenapa tiba-tiba nama sang Papi muncul di otaknya.
Di
arah belakang, sebuah sepeda melaju kencang tanpa terkendali karena memang
kondisi jalan yang sedikit menurun. Si pengemudi pun yang takut-takut akan
menabrak seseorang yang sedang berjalan tak jauh di depannya itu lantas
berteriak kencang agar si orang tadi menghindar dengan segera. Namun semuanya
percuma saja karena ban depan sepeda itu sudah terlanjur menyentuh dengan keras
kaki seseorang tadi. Alvin. Alvin jatuh dan tersungkur serta meringis kesakitan
saat lututnya menyentuh tanah dengan keras.
“Aaarrrggghhh!!!”
rintih Alvin seketika. Tak lupa juga anak yang menabrak Alvin tersebut ikut
terpental dan jatuh di rerumputan tak jauh dari tempat Alvin meringis tadi.
“Aaarrrggghhh!!!
Mamaaaaaaa!!!” ia meringis pelan sambil mengusap siku tangannya yang tadi
sempat terbanting oleh setir sepedanya.
“Heh,
loe bisa naik sepeda gak sih?! Apa loe gak lihat ada orang di sini, hah?! Mata
loe normal kan?!” tukas Alvin sembari melirik sinis ke arah anak yang
menabraknya itu.
“Maaf
kak, maaf. Aku gak sengaja,” balasnya takut-takut sambil terus memegangi siku
tangannya. Alvin mendecak.
“Hah?!
Loe bilang loe gak sengaja?! Cih!” sinis Alvin kesal. Anak yang memang masih
mengenakan seragam putih biru tersebut semakin merasa takut saat mata Alvin
begitu tajam menatapnya. Alvin pun berusaha bangkit.
“Aku
beneran gak sengaja, kak. Gak tau kenapa tiba-tiba remnya blong gitu aja. Lagian
tadi aku udah teriak-teriak tapi kakaknya gak mau minggir.” jelasnya yang juga
mengikuti Alvin bangkit dari duduknya.
“Jadi
loe mau nyalahin gue gitu?! Aih… songong banget loe jadi bocah!”
“Bukan
gitu, kak.”
“Diem
loe! Gue gak butuh ocehan loe. Yang gue butuh sekarang, loe harus tanggung
jawab sama semua yang loe lakuin ini ke gue!” pinta Alvin sangar. Ia mendekati
anak itu dengan gaya menantang.
“Heh?
Tanggung jawab?”
“Terus?!”
“Tapi
kakak kan gak kenapa-kenapa, gak ada yang luka juga. Toh ini semua murni
kecelakaan kan, kak? Aku juga sebenernya gak mau nabrak kakak, tapi mau gimana
lagi?” Alvin membuang wajah mendengarnya. Baru sekali ini Alvin bertemu sama
anak SMP yang membangkang seperti anak yang ada di hadapannya itu.
“Yayaya…
gue emang gak kenapa-kenapa, tapi apa loe gak lihat celana gue robek?! Ini
celana mahal tau gak?! Sepeda butut loe aja belum tentu bisa menebus harga
celana gue. Ngerti?!” anak itu mengangguk cepat tanpa berani lagi menatap wajah
Alvin yang sudah super emosi.
“Hmm…
ya udah Difa minta maaf, kak. Difa mengaku salah, Difa gak hati-hati.” anak itu
adalah Difa. Azkanio Difandreas Rain, adik kandung Sivia.
Alvin
memutar matanya jengah. Lalu mereka terdiam sesaat karena terik matahari yang
semakin menyengat kulit.
“Oke,
gue bakal maafin loe.” gumam Alvin pelan. Sontak membuat Difa berseri
mendengarnya.
“Serius,
kak? Aih… makasih kakaaaaaak!!!” Difa menarik paksa tangan Alvin untuk
disalaminya.
“Ish!
Apaan sih?! Lepasin!!!” cegah Alvin kasar. Difa tersentak.
“Maaf,”
“Gue
sita sepeda loe selama seminggu.” tukas Alvin tanpa canggung. Tak perduli
dengan ekspresi yang ditampakan Difa itu seperti apa.
“Hah?!
Kok disita sih, kak? Entar aku ke sekolah naik apaan dong? Aku gak ada
kendaraan lain selain sepeda ini, kak.” kaget Difa serentak.
“Daripada
gue mintain loe uang buat gantiin celana gue? Pilih mana, hah?” Alvin tersenyum
sinis.
“Tapi,
kak?”
“Gak
usah protes deh! Toh cuma seminggu kan?” Difa lagi-lagi menunduk.
“Aku
takut kalau nanti kakak aku nanyain sepeda itu, kak.” lirihnya pasrah. Membuat
Alvin terkekeh sinis mendengar pangakuan Difa tersebut.
“Kenapa
loe mesti takut? Bilang aja kalau sepedanya loe pinjamin sama temen loe.
Gampang kan?”
“Aku
gak bisa bohong, kak. Dan sepeda ini adalah hasil tabungan uang jajan kakakku
selama enam bulan. Difa mohon sama kakak, jangan sita sepeda Difa ya? Please, kak!” mohon Difa sambil
mengatupkan telapak tangannya.
“Gue
gak perduli! Minggir sana!” dengan sedikit keras, Alvin menyenggol pundak Difa
yang berusaha melindungi sepeda gunungnya.
“Jangan,
kak!”
“Diem
loe!”
“Please…” Difa terus memegangi sepedanya
meski Alvin sudah bersiap untuk mengendarai sepeda Difa tersebut.
“Lepasin!!!”
Difa pun tersentak saat tangan kuat Alvin mendorongnya ke belakang.
“Kaaaaaakkkkkk!!!”
walaupun Difa terus-terusan berteriak sambil berusaha mengejar sepedanya yang
ditunggangi Alvin tersebut, Alvin tetap tak menggubris sama sekali. Malah ia
semakin cepat mengayuh pedal sepeda hasil sitaannya itu sebelum Difa berhasil
mengejarnya.
***
“Shilla?!”
panggil Ray setelah cukup lama mulutnya terbungkam saat melihat sosok yang
hampir tiga hari ini membuatnya galau itu melintas tak jauh dari matanya.
Shilla sontak menengok ke sumber suara. Memicingkan mata seketika sebelum
pandangannya menangkap sosok Ray yang sedang tersenyum manis sambil melangkah
mendekat ke arahnya.
“Eh,
kak Ray. Ada apa deh, kak?” tanya Shilla manis. Ray malah menggaruk kepalanya
asal. Mendadak bingung harus menjawab apa.
“Hmm…
ini, gue mau ngajak loe pulang bareng. Mau kan? Ng… gak mau juga gak apa-apa
sih. Gue gak maksa. Hehehe.” Ray memamerkan gigi-gigi putihnya. Sedangkan
Shilla hanya tersenyum.
“Emangnya
gak ngerepotin?” Ray langsung menggeleng.
“Kalau
gue nawarin berarti gak ngerepotin.”
“Oh
gitu ya? Hmm… Shilla sih mau-mau aja, kak. Lumayan kan tumpangan gratis?
Hehehe.” Shilla terkekeh manja.
“Jadi
mau gak nih?”
“Ya
udah deh Shilla mau. Tapi gak ada yang marah kan, kak?” tanya Shilla yang
berhasil membuat Ray mengernyit.
“Marah?
Siapa yang mau marah, Shil?” balik tanya Ray heran. Atau karena memang Ray tak
mengerti apa maksud dari pertanyaan Shilla tersebut.
“Hmm…
siapa tau aja pacarnya kakak marah kalau Shilla dianter pulang sama kak Ray.”
jelas Shilla rinci. Ray kemudian tersenyum maklum.
“Gue
masih setia dalam kesendirian, Shil. So,
loe gak perlu takut ada yang marah. Hehehe.” Shilla mengangguk sambil
membulatkan mulut.
“Ciye
jomblo, ciye… hahaha.”
“Sialan!
Kaya loe gak jomblo aja, Shil.” tukas Ray asal. Shilla tiba-tiba berhenti
meledek.
“Aih…
iya juga ya? Hahaha.”
“Aneh.
Hmm… ya udah yuk pulang? Entar keburu sore lagi, tau sendiri kan kalau sore
suka hujan?” ajak Ray dengan menarik pergelangan tangan Shilla cepat-cepat.
“Iya
kak, iya. Gak usah tarik-tarik juga kali! Kak Raaaaaayyyyyy!!!” teriak Shilla
saat Ray tak merespon kata-katanya. Entah mendapatkan kekuatan dari mana si Ray
sampai berani menarik tangan seorang cewek. Sebelumnya berdiri di dekat cewek
saja gemetaran, tapi sekarang? Entahlah. Cinta itu memang aneh.
***
Rambut
Sivia bergerak-gerak mengikuti hembusan angin yang sedari tadi tak
henti-hentinya bertiup. Sejuk. Ditambah dengan jernihnya air danau dan
pemandangan sekitar yang mampu menghipnotis mata itu membuat Sivia semakin betah
lama-lama berada di sini. Tempat terindah pertama yang ia kunjungi bersama
orang yang begitu diistimewakannya akhir-akhir ini. Cakka Pratama.
Lalu
ia duduk dengan manisnya di ujung jembatan yang hanya sepotong menjorok ke
tengah danau tersebut. Di sampingnya, Cakka masih betah berdiri dengan
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil memandangi puluhan angsa
yang berenang di pinggiran danau. Ia tersenyum kecil kemudian. Lucu melihat
angsa-angsa yang tingkahnya seperti para manusia. Romantis.
“Kak,
duduk sini!” perlahan, Sivia menyentuh kaki Cakka. Cakka hanya tersenyum
membalasnya. Senang melihat ekspresi wajah Sivia yang begitu berseri seperti
anak kecil yang mau diberi mainan baru.
“Liha
deh, Vi! Romantis bukan?” tunjuk Cakka ke arah dua ekor angsa yang rela
memisahkan diri dari gerombolannya demi menikmati keindahan danau hanya berdua
saja. Lantas Sivia tersenyum seakan menyetujui pernyataan Cakka tadi.
“So sweet banget deh. Lucu! Gemes! Pengen
dipeluk rasanya.” gereget Sivia manja sambil tak henti mengayunkan kedua
kakinya semeter di atas air. Cakka pun akhirnya ikut duduk di samping cewek
yang sedang senyum-senyum sendiri itu. Menarik napas perlahan dan membuangnya
kembali.
“Kak
Cakka tau tempat seindah ini dari siapa? Kok aku baru tau ada danau di sekitar
kota ini ya?” tanya Sivia penasaran. Wajahnya tak lepas memandangi Cakka yang
terlihat lebih maskulin saat ini. Cakka balik memandang tanpa ragu.
“Dari
Mami, Vi.” ucap Cakka pelan. Lantas ia memalingkan pandangannya ke depan.
“Dulu
aku sama Alvin sering main ke sini sama Mami. Waktu kita masih kecil sih.”
lanjutnya dibarengi tawa kecil. Sivia tiba-tiba diam. Lebih memilih
mendengarkan cerita Cakka tentunya.
“Kata
Mami, tempat ini adalah saksi bisu akan perjalanan cintaannya bersama Papi. Karena
memang Mami sama Papi itu pertama kali bertemu sampai pacaran dan nikah pun di
tempat ini. Lucu kan, Vi? Gak kebayang gimana kalau mereka pacaran di tempat
seperti ini.” Sivia tersenyum mendengarnya.
“Romantis
kali, kak. Jarang-jarang lho yang kaya gitu.” sambung Sivia antusias.
“Iya
juga sih. Hmm… tapi semenjak Mami gak ada, kita gak pernah lagi ke sini. Jangan
pun ke sini bareng-bareng, ketemu sama Papi aja jarang banget.” kata Cakka
datar. Seketika ia rebahkan tubuhnya perlahan. Berganti memandangi langit yang
tak terlalu berawan itu.
“Sabar
ya, kak. Mungkin itu memang tuntutan pekerjaan untuk Papinya kak Cakka. Jadi
kak Cakka jangan sampai menyalahkan Papi kakak. Toh itu semua buat kak Cakka
sama kak Alvin juga kan? Tetap bersyukur karena kak Cakka masih mempunyai figur
seorang Ayah.” ucap Sivia ramah. Lantas Cakka terdiam. Setuju dan tanpa berkata
apa-apa lagi ke Sivia. Matanya mulai terpejam.
“Hmm…
kak Cakka? Kakak pernah jatuh cinta gak sih? Bukan cinta monyet ya, tapi cinta
yang bener-bener cinta. Ya, bisa dibilang jatuh cinta yang layaknya anak remaja
gitulah. Kak Cakka pernah nggak?” tanya Sivia ragu-ragu. Pandangannya ia
edarkan ke sekitar, berharap Cakka tidak melihat ekspresi wajahnya yang
berubah. Sedikit malu. Mungkin. Cakka masih terdiam dari tadi.
“Belum
pernah ya, kak? Hmm… menurut kakak, kalau aku suka sama cowok yang udah aku
anggap kakak sendiri itu wajar gak sih, kak? Ng… ini cuma nanya aja sih, gak
ada maksud apa-apa.” Sivia kembali berucap walau Cakka belum juga mengeluarkan
jawabannya tentang pertanyaan sebelumnya itu.
“Kak?
Kak Cakka dengerin aku gak sih? Kak? Kakak?!” tanpa Sivia duga sebelumnya,
Cakka sedari tadi tertidur tanpa komando. Meski sudah berkali-kali Sivia
menggoyangkan tubuhnya, cowok berkulit putih yang masih mengenakan baju sekolah
itu belum juga bangun dari tidurnya.
“Ck!
Nyebelin banget sih jadi orang?! Tidur gak bilang-bilang dulu. Pantesan tadi
dikacangin mulu. Dasar pelor!” cibir Sivia sedikit kesal.
Dan
sempat bosan karena menunggu Cakka bangun dari tidurnya karena Sivia tidak tega
kalau sampai membangunkannya secara paksa, Sivia berniat bangkit untuk
berkeliling sejenak ke pinggiran danau. Namun baru saja Sivia hendak berdiri,
tiba-tiba Cakka menggenggam tangannya erat. Seakan tak ingin ditinggalkan
begitu saja.
“Aku
sayang sama kamu, Vi. Jangan tinggalin aku! Please…”
gumam Cakka. Dan itu membuat Sivia kebingungan.
“Izinkan
aku untuk selalu ada di samping kamu, Vi.” gumam Cakka lagi. Kali ini
genggamannya terlepas.
“Kak
Cakka ngelindur? Kak, bangun!” panggil Sivia sambil menggoyangkan kembali tubuh
Cakka yang kini berubah posisi. Namun Cakka tetap tak bangun. Entah karena
kelelahan atapun apa, yang jelas Cakka terlihat begitu pulas terlelap. Sedetik,
senyuman manis terulas nyata di bibir mungil milik Sivia. Tidak tau apa yang
sedang ia pikirkan saat itu. Matanya terfokus pada wajah Cakka yang begitu
tampan meskipun sedang tidur. Sampai tangan Sivia pun tergoda untuk menyentuh
kedua pipi cowok yang menjadi sosok pelindungnya akhir-akhir ini.
“Aku
sayang kakak. Entah ini terlalu berlebihan atau tidak, yang jelas perasaan aneh
ini selalu muncul setiap aku ada di samping kakak. Setiap aku lihat senyuman
ka…” Sivia langsung tergelak hebat begitu tanpa aba-aba terlebih dahulu Cakka
dengan cepat membuka matanya saat tangan Sivia belum sempat pindah dari
pipinya.
“Maaf
aku ketiduran, Vi.” lirih Cakka tanpa dosa.
“Iya,
gak apa-apa kok. Kakak capek ya? Ya udah kalau gitu kita pulang aja yuk, kak?
Kakak istirahat di rumah.” usul Sivia cepat-cepat sebelum Cakka bertanya yang
tidak-tidak akan ulahnya tadi saat Cakka tertidur.
“Hmm…
ya udah.” mereka berdua bangkit setelah sebelumnya mengaitkan tas yang mereka
bawa di bahu masing-masing. Cakka pun merangkul Sivia perlahan sambil berjalan
tanpa ada rasa canggung seperti biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar