@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Selasa, 03 Desember 2013

He-art 5th


Love It There


Sudah berulang kali Ify memandangi layar ponselnya. Berharap message yang ia kirim sepuluh menit yang lalu ke Sivia itu cepat dibalasnya. Tapi kenyataannya sampai sekarang belum juga Ify mendapatkan balasan. Aneh. Sudah hampir jam tujuh, tapi Sivia belum juga datang ke kelas.

Sedikit jenuh karena dari tadi duduk sendiri tanpa ada teman bicara, Ify pun memutuskan untuk keluar kelas mencari udara pagi. Mumpung bel masuk belum berbunyi dan mumpung pelajaran pertama yang cukup dibilang pelajaran paling ditakuti oleh banyak siswa itu belum menjajah tenaga dan otaknya. Lalu Ify menarik napas saat kedua kakinya baru menginjak ambang pintu.
“Tuh anak ke mana sih?” gumamnya kemudian dengan sesekali melirik kanan-kiri.
“Ify?!” panggil seseorang dari arah samping. Lantas Ify menengok langsung ke sumber suara.
“Agni?” respon Ify ragu-ragu. Telunjuknya ia arahkan ke cewek yang seakan tak asing lagi di matanya. Cewek itu pun tersenyum sumringah, lalu mengangguk.
“Aih… Agniiiiii!!! Kok gue gak tau ya loe sekolah di sini juga?” heboh Ify sambil memeluk erat cewek bernama Agni tersebut. Agni hanya tersenyum, belum niat menjawab pertanyaan dari Ify.
“Tambah cantik aja loe, Ag. Pangling gue, pangling! Udah berapa lama ya kita gak ketemu? Hmm…” Ify berpikir dengan terus memandang tubuh Agni dari atas ke bawah dan sebaliknya. Karena cewek ini memang sempat menghilang di kehidupan Ify beberapa tahun yang lalu.

Agnia Velixa. Cewek berpostur tubuh tinggi dan berkulit sedikit gelap yang akrab dipanggil dengan sebutan Agni ini memang pernah dianggap oleh Ify sebagai kakak kandungnya sendiri. Karena Agni yang notabenenya adalah sahabat terdekat dan terbaik Cakka waktu SD dan SMP dulu, otomatis ia dekat juga dengan Ify yang memang sering diajak oleh Cakka ketika hendak bermain bersamanya. Keduanya jadi semakin akrab saat mereka mengetahui kalu mereka mempunyai hobi yang sama yaitu bermain musik. Bahkan dulu Ify pernah menginap di rumah Agni karena keasyikan bermain keyboard di studio musik pribadi milik sahabatnya itu. Begitupun Cakka yang juga bisa bermain gitar karena bantuan Agni.

Namun sayangnya, kurang lebih tiga tahun yang lalu saat Agni dan Cakka menginjak kelas VIII SMP serta Ify kelas VII, Agni memutuskan untuk pindah ke Singapura dikarenakan ikut kedua orangtuanya demi tuntutan pekerjaan. Di sana Agni benar-benar menangis saat ia bercerita kepada Cakka dan Ify akan kepergiannya nanti. Di mana Cakka dan Ify pun yang memang belum pernah sekalipun melihat Agni sesedih itu, mereka lantas ikut menangis sambil berpelukan satu sama lain. Dan dengan sangat terpaksa, Agni berusaha sebisa mungkin untuk rela melupakan semua kenangan indahnya bersama Cakka dan Ify selama ia bersahabat dengan mereka. Kenangan kecil yang memang tak mudah untuk dilupakan.
“Jadi loe di sana cuma setahun?” tanya Ify refleks saat Agni baru saja selesai bercerita tentang kehidupannya selama di Negeri Singa tersebut. Lalu ia mengangguk.
“Gak betah gue di sana, Fy. Makanya pas gue lulus SMP, gue minta balik ke Indonesia lagi.” jelas Agni santai.
“Kok gak pernah kabarin gue sih? Jahat ih!” Agni tertawa kemudian.
“Bukannya gitu, Fy. Handphone gue hilang pas gue lagi liburan sama bonyok. Jadi gue gak tau lagi mau contact kalian lewat apa. Masa iya lewat surat?” sejenak Agni kembali terkekeh. Sedangkan Ify hanya mengangguk-anggukan kepalanya paham.
“Udah gitu pas gue balik ke sini, gue kan ke rumah loe tuh, tapi katanya udah pindah.” lanjut Agni antusias.
“Oh, iya ya. Gue sama kak Cakka kan udah pindah? Eh, ngomong-ngomong loe udah ketemu kak Cakka belum? Loe anak baru di sekolah ini apa gimana sih, Ag?” tanya Ify benar-benar penasaran.
“Iya, gue anak baru di sini. Gue baru seminggu kok. Cakka? Kebetulan kemaren lusa gue ketemu dia.”
“Aih… kenapa kak Cakka gak bilang ke gue sih?! Parah banget, parah!” timpal Ify greget.
“Yang penting kan sekarang udah ketemu, Fy.”
“Iya sih. Tapi kan, Ag?”
“Oh iya, ini kelas loe?” tanpa merespon kata-kata Ify, agni balik bertanya.
“Iya, ini kelas gue. Loe kelas apa, Ag?”
“Oh, X.1 ya? Hmm… gue kelas XI IPS 2, Fy. Kelas paling atas di lantai empat.” jelas Agni seraya menunjuk ke arah kelasnya. Lantas Ify membulatkan mulutnya dan kemudian mengangguk berulang kali.
“Eh, Alvin gimana? Aih… kok gue baru inget dia sih? Long time no see soalnya. Hehehe.” tanya Agni lagi penasaran. Karena memang sosok Alvin hampir saja terlupakan di memorinya. Padahal sudah jelas-jelas ia pernah satu kelas dengannya waktu SD dan SMP. Bahkan ia juga pernah sebangku sama Alvin waktu beda kelas dengan Cakka.
“Kak Alvin? Ya, begitulah. You know sendiri kan gimana sifat dia dari dulu?” jawab Ify malas-malasan. Agni tersenyum paham. Ia juga tau persis bagaimana sifat Alvin selama ia berteman dulu. Meski tak seakrab seperti Cakka, setidaknya Agni sedikit hafal semua tabiat buruk dan baiknya Alvin.
“Oh, iya-iya gue ngerti. Hmm… eh Fy, gue ke kelas dulu kali ya? Bentar lagi masuk nih.” pamit Agni sembari menyempatkan diri melirik arloji hitamnya. Ify juga ikut melirik arloji yang ada di tangan kirinya cepat-cepat.
“Ya udah kalau gitu, gue juga lagi nyari Sivia nih. Tuh anak sampai sekarang belum kelihatan juga hidungnya.”
“Sivia?” tanya Agni sambil membereskan bajunya yang sedikit berantakan. Kemudian beralih menatap Ify kembali.
“Iya, Sivia, sahabat gue. Entar gue kenalin sama loe deh. Udah sono katanya mau ke kelas?” balas Ify santai. Agni pun mengangguk. Sedetik, ia segera meninggalkan tempat tersebut setelah sebelumnya berpamit ria ke sahabat lamanya itu.
“Oke, sampai ketemu istirahat ya?” Ify melambaikan tangannya antusias. Agni membalasnya dengan mengacungkan kedua jempolnya dan lantas tersenyum.

***


“Bego loe, Yo!” Alvin menjitak Rio cukup keras setelah Sivia pamit ke kelas terlebih dahulu. Sontak membuat Rio meringis kesakitan.
“Sakit bego!” tukasnya tanpa dosa. Entah kenapa Alvin tiba-tiba menjitaknya keras. Padahal yang Rio tau sejak tadi mereka damai-damai saja saat Sivia masih ada.
“Loe tuh yang bego! Ck!” Alvin mendecak. Sedangkan Gabriel hanya santai saja melihat kedua sahabatnya itu beradu mulut.
“Lho? Emang gue salah apa sama loe, Vin? Perasaan dari tadi gue gak ngelakuin apa-apa sama loe deh.” bela Rio dengan polosnya. Gabriel pun terkekeh.
“Ck! Bener-bener mesti diinstal ulang otak loe, Yo. Loe gak inget tadi loe mau bilang apa di hadapan Sivia, hah?” sedikit emosi, Alvin mencoba duduk kembali sambil terus menatap jengah ke arah Rio.
“Heh? Emang gue tadi mau bilang apaan sih, Gab?” tanya Rio ke Gabriel. Berusaha mencari tau apa kesalahan yang ia lakukan tadi. Gabriel mengangkat bahu masa bodoh. Entah karena tidak tau atau memang sengaja tidak memberi tau supaya Rio bisa di skak mati oleh Alvin. Mungkin hanya Tuhan dan Gabriel lah yang paham. Lagi-lagi Alvin terlihat menekuk wajahnya kesal.
“Asal loe tau ya?! Loe tadi hampir aja ngerusak semua rencana gue tau gak?!” timpalnya sinis. Si Rio masih berpikir keras apa yang sebenarnya yang sedang Alvin bahas itu. Ia mengernyit seketika sambil sesekali menatap Gabriel untuk meminta penjelasan. Lagi dan lagi Gabriel mengangkat bahu, terlalu sayang menurutnya kalau harus menghentikan aksi makan gratisnya hanya untuk meladeni seorang Rio. Hajar Vin, hajar! umpat Gabriel dengan terkekeh.
“Heh, tadi loe hampir aja bilang kalau gue lagi taruhan buat dapetin dia tau gak?! Ish! Tuh mulut emang mesti dijahit kali ya? Biar gak cablak kaya artis-artis alay di tv-tv itu.” tukas Alvin asal. Gabriel dengan sangat cepat mengangkat jempolnya ke wajah Alvin seakan menyetujui kata-katanya tadi.
“Aih… kejem amat loe berdua sama gue? Heh, asal loe tau ya? Gue itu langka di dunia ini, jadi harusnya kalian bersyukur bisa sahabatan sama gue.” bela Rio mulai aneh. Sedangkan Alvin dan Gabriel tak menggubris sama sekali.
“Hei, kok diem? Dengerin gue gak sih tadi? Ish!”
Whatever you say, Mario! Males gue pagi-pagi gini udah debat sama loe. Oh iya, sekali lagi loe sampai keceplosan masalah taruhan ini di depan Sivia, loe siap-siap aja beli nyawa cadangan buat nyambung hidup loe. Cabut, Gab!” ancam Alvin ke Rio kemudian mengajak Gabriel balik ke kelas setelah itu. Sedetik, Rio tergelak mendengarnya. Ia sendiri masih memamtung meski kedua sahabatnya telah berlalu begitu saja dari tempatnya. Rio mendecak.

***


Cakka tertawa terbahak saat melihat Ray terpeleset karena terlalu fokus memandangi Shilla dari kejauhan sampai tidak menyadari kakinya menabrak ember berisi air milik cleaning service sekolah yang sedang mengepel lantai. Sesaat, Ray meringis sambil  memegangi pantatnya yang terasa sangat perih. Tapi untungnya tidak ada yang tau kejadian itu selain mereka berdua dan sang cleaning service. Jadi Ray tidak perlu takut untuk jadi bahan tertawaan anak-anak satu sekolah. Sedangkan Cakka masih terkekeh dibuatnya.
“Bukannya bantuin, malah ketawa. Seneng ya lihat orang menderita.” seraya mengibaskan celananya yang sedikit basah, Ray mengoceh sinis ke Cakka.
“Hahaha. Sori Ray, sori. Hahaha. Abisnya tuh ekspresi muka loe lucu parah! Suer,gue gak bohong.” Cakka tetap tak berhenti tertawa meski tangannya terus-terusan memegangi perutnya karena kesakitan.
“Ketawa aja terus, keselek lidah baru tau rasa loe.” tukas Ray sengit. Sontak membuat Cakka terdiam seketika.
“Keselek lidah? Siapa yang keselek lidah? Wuih… kok gue baru denger ya ada orang keselek lidah?” ucapnya sangat polos. Entah polos atau memang bodoh.
“Hahaha.”
“Heh? Kok loe malah ketawa sih? Ada yang lucu gitu?” Cakka mengernyit. Ray tetap tertawa tanpa menghiraukan pertanyaan Cakka tadi.
“Stres loe, Ray!”
“Hahaha. Loe yang stres, Cak! Gue ngomong asal tau, loe malah percaya gitu aja. Hahaha.” ucap Ray tak henti tertawa.
“Sialan loe!” desis Cakka sinis. Mereka pun perlahan berjalan kembali menyusuri koridor. Meneliti setiap sudut yang mereka lewati dengan sesantai mungkin. Meski tak jarang di antara siswi-siswi yang melihat mereka saling berbisik bahkan ada juga yang sampai histeris karena aura Cakka selalu membuat degupan jantung mereka semakin tak terarah. Namun Cakka hanya membalasnya dengan senyuman.

Sedetik, langkah Cakka tiba-tiba terhenti. Diam sesaat. Lantas kedua mata mungilnya ia kernyitkan ke arah depan, ke arah cewek yang saat itu sedang berjalan dengan bahagianya sambil memegangi tali tasnya yang menjuntai ke bawah. Cakka tersenyum. Tak tau kenapa tiba-tiba darahnya seakan mengalir tak karuan. Rasa deg-degan yang sangat kuat itupun muncul begitu saja di jantungnya. Sedangkan Ray yang memang belum menyadari kalau Cakka sudah tidak lagi di sampingnya itu masih saja tebar pesona ke setiap cewek-cewek yang dilewatinya.
“Cantik…” Cakka bergumam. Senyumannya semakin mengembang saat si cewek yang diperhatikannya tadi berjalan semakin dekat ke arahnya. Cewek tersebut ikut tersenyum. Manis sekali.
“Selamat pagi, kak Cakka!” sapanya lembut. Pancaran indah di kedua matanya pun ikut berbinar. Cakka menelan ludah seketika.
“Pagi, Sivia!” balas Cakka sesantai mungkin. Ya, cewek itu Sivia. Cewek yang kini berdiri seraya menyunggingkan senyuman di hadpan Cakka.
“Hmm… kak Cakka mau ke mana?” tanya Sivia sambil mengerutkan dahinya. Cakka masih diam. Diam lebih dari seribu bahasa. Atau mungkin karena terlalu sayang untuknya beralih sedetikpun dari wajah Sivia yang pagi ini terlihat sangat mempesona. Bahkan parahnya Cakka tak berkedip sekalipun di hadapan cewek cantik tersebut.
“Kak?” gumam Sivia dengan mempertajam tatapannya ke mata Cakka. Memastikan apakah Cakka baik-baik saja atau tidak.
“Eh, iya, apa? Sori aku ngelamun.” bantahnya gelagapan. Namun Cakka tetap bertingkah sebiasa mungkin di hadapan Sivia.
“Oh… gak apa-apa kok, kak.”
“Eh, kamu baru dateng? Kok masih bawa tas sih?” tanya Cakka kemudian. Terkesan mengalihkan fokus pembicaraan. Sivia menghela napas.
“Enggak kok, kak. Aku dateng pagi-pagi malah.” setelah berucap, Sivia kembali mengembangkan ekspresi cerianya itu.
“Terus itu tas kenapa dibawa-bawa mulu? Ada bomnya ya? Aih…” Cakka terkekeh.
“Eh, enak aja! Aku bukan teroris tau!”
“Oh ya? Gak percaya deh.”
“Ya, harus percaya lah! Emang ada buktinya kalau aku teroris?” bela Sivia sambil menjulurkan lidahnya. Dan tanpa sadar mereka berjalan kembali. Tetapi tidak dengan tujuan awal Cakka yang hendak berpatroli keliling sekolah, melainkan Cakka berbalik arah mengikuti Sivia yang akan menuju kelasnya.
“Bukti? Hmm… gak ada sih kalo bukti mah. Tapi kalau diperhatiin emang bener sih muka kamu kaya teroris.” lagi-lagi Cakka terkekeh. Sedangkan sedari tadi Sivia hanya bisa menampakan wajah kesalnya.
“Jahat ih, jahat!”
“Wuih… ngambek nih. Jelek ah!” ledek Cakka sembari menggoda.
“Tau ah!”
“Dih! Iya deh iya aku minta maaf. Bercanda doang kali, Vi.” kata Cakka sambil berjalan mundur menghadap Sivia. Sivia tetap tak menggubris sama sekali.
“Senyum kali, Vi. Aku hitung nih? Satu… dua… tig…” tak sengaja, Sivia menginjak kaki kanan Cakka sampai Cakka kehilangan keseimbangan dan jatuh begitu saja di lantai. Bersamaan dengan Sivia yang tadi tangannya sempat diraih Cakka sebelum ia jatuh terlentang seperti sekarang ini. Lantas Cakka pun meringis kesakitan. Bahkan lebih dari kesakitan karena tubuh Sivia yang mungkin lebih berat itu mendarat pas di pelukannya.
“Aaaarrrrrrgggggghhhhhh!!!” geram Cakka keras. Namun kemudian rintihannya itu tertahan saat ia menyadari kalau wajah Sivia begitu dekat dengan wajahnya. Dan tanpa dipungkiri lagi, Cakka dan Sivia saling pandang satu sama lain. Cukup lama. Rasa sakit di punggungnya pun seakan tak berarti apa-apa dengan apa yang ia rasakan saat ini. Saat di mana ia memandang wajah cantik Sivia yang hanya berjarak 3 sentimeter dengan wajah groginya tersebut.

Sivia langsung tergelak. Matanya ia alihkan cepat-cepat saat menyadari sudah terlalu lama ia berada di atas tubuh atletis Cakka. 
“Hmm… maaf, kak.” bisik Sivia sambil berusaha bangun. Wajah cerianya berubah menjadi pucat seketika. Kembali, Cakka meringis. Dan sebisa mungkin untuk ia bangkit dari jatuhnya dengan keadaan pinggang dan punggung yang rasa sakitnya cukup dibilang luar biasa itu.
“Maaf, aku gak maksud buat peluk-peluk kamu. Maaf banget, maaf.” setelah tubuhnya berhasil berdiri, Cakka berucap sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. Sivia tersenyum dibuatnya.
“Gak apa-apa kok, kak. Kak Cakka gak usah minta maaf. Harusnya aku yang minta maaf sama kakak.” ucap Sivia manis.
“Sakita ya, kak?” lanjutnya prihatin sambil ikut mengusap punggung Cakka perlahan.
“Aw! Pelan-pelan, Vi.” rintih Cakka kemudian. Dengan sedikit ragu, Sivia merangkul pundak Cakka dan berusaha menuntunnya berjalan.
“Emang sakit banget ya, kak?” tanya Sivia lagi super polos. Pakai ditanya lagi. Aduh Vi, please deh!  batin Cakka.
“Aku bawa kak Cakka ke UKS aja ya? Aku takut kakak kenapa-kenapa.”
“Gak usah Vi, gak usah. Aku gak apa-apa kok. Bentar lagi juga sembuh.” tolaknya ramah.
“Hmm… ya udah deh kalau gak mau. Terus ini mau ke mana? Ke kelas kakak aja tah?” tawar Sivia lagi. Berharap kali ini Cakka menerima tawarannya.
“Ke kelas kamu aja, Vi. Tadi kan niat aku mau nganter kamu ke kelas.” Sivia mengernyit bingung. Susah juga ternyata bilangin orang yang satu ini. Akhirnya mau tak mau Sivia pun menuruti kata-kata cowok yang sejak tadi meringis kesakitan itu.  
“Beneran gak usah? Entar kakak ke kelasnya sendirian dong?” tanya Sivia lagi memastikan. Dan itu membuat Cakka menatap tajam ke arah Sivia.
“Vi, udah deh! Sejak kapan sih kamu jadi bawel gini? Kalau aku bilang gak mau ya gak mau. Kamu denger gak sih?!” tukas Cakka pelan karena masih menahan rasa sakit di punggungnya. Sontak Sivia menghentikan langkahnya serentak. Kemudian menatap heran cowok yang dirangkulnya tersebut. Refleks, Sivia menampakan ekspresi kesalnya di hadapan Cakka. Ia mendecak.
“Aku cuma ngasih saran doang, kak. Kalau kakak emang gak mau terima saran dari aku ya udah jangan bentak-bentak segala. Nyebelin banget sih?!” sementara Cakka yang juga ikut menampakan ekspresi herannya saat melihat respon Sivia yang tak diduga itu membuatnya tergelak. Cepat-cepat, Sivia melepaskan rangkulannya di pundak Cakka tadi dan langsung melipatkan kedua tangannya di dada.
“Vi?” panggil Cakka pelan. Cewek yang kini berdiri membelakanginya itu tetap tak bergeming. Cakka pun menghela napasnya gusar. Ternyata seorang Sivia yang menurut Cakka beda dari cewek-cewek yang lain itu rentan juga terhadap bentakan. Kakinya ia langkahkan mendekati Sivia.
“Ya udah aku minta maaf deh. Abis tadi kamu bawel sih, jadinya aku kesel. Maafin ya?” Sivia masih tak bergeming walaupun Cakka sudah menatap lekat-lekat wajahnya yang kini terlihat lebih lucu tersebut.  
“Apaan sih, kak?!” timpal Sivia jengah begitu dengan usilnya Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah Sivia dengan tabiat menggoda.
“Enggak. Lucu aja lihat kamu ngambek kaya gitu.” Sivia memutar mata mendengarnya.
“Kak Cakka!!! Please deh jangan deket-deket! Serem tau tuh muka.”
“Hahaha. Maafin dong makanya!” Cakka tersenyum. Senyuman termanis yang pernah ia keluarkan selama hidupnya. Mungkin. Sivia pun mendadak meleleh dibuatnya karena memang selama ini ia belum pernah melihat senyuman seorang cowok yang begitu membuat hati terasa sejuk. Sivia mengangguk perlahan.
“Asik! Thank you ya, Sivia!” Cakka mencubit kedua pipi Sivia gemas. Setelah itu, dengan tanpa ragu si Cakka merangkul cewek yang sekarang wajah cantiknya bersemu merah itu sambil kembali berjalan.
“Lho? Kok kak Cakka gak kenapa-kenapa sih? Bukannya tadi pinggang kak Cakka sakit ya?” tanya Sivia mulai heran melihat Cakka.
“Wuih… udah gak sakit lagi dong! Kan deket kamu, Vi.” Sivia langsung terkekeh mendengarnya. Ditambah dengan ekspresi Cakka yang lucu, itu membuat Sivia menjadi gemas sendiri.
“Gombal ye?” kata Sivia datar. Bahunya ia senggolkan perlahan ke Cakka yang memang masih merangkulnya erat.
“Aku gak gombal, Sivia. Itu fakta. You know fakta?”
“Iya deh terserah kak Cakka aja. Udah ah jangan peluk-peluk aku terus! Entar banyak yang envy sama aku. Aku takut, kak.” ujar Sivia sambil menurunkan tangan Cakka di bahunya itu.
“Lho? Emang siapa yang mau envy, Vi? Terus kenapa kamu mesti takut?” tanya Cakka bingung sambil memberhentikan langkahnya. Perlahan, Sivia menarik napas sambil mencoba tersenyum ke arah Cakka.
“Kak Cakka, dengerin aku ya! Cewek-cewek di sekolah ini yang jadi fans kakak itu kan banyak, hampir semua deh pokoknya. Nah, entar kalau mereka pada lihat kalau idolanya lagi rangkul-rangkul cewek sambil jalan gimana coba? Kak Cakka mau ya lihat aku dikeroyok ramai-ramai sama mereka?” jelasnya panjang lebar. Lalu Sivia menolak pinggang.
“Hmm… bodo amat! Toh kamu ini kan yang dikeroyok?” kembali Cakka merangkul paksa Sivia dan kemudian berjalan sesantai mungkin seperti semula. Tak perduli dengan wajah Sivia yang kini terlihat super jengkel karena dirangkul paksa olehnya. Sivia pun mencibir.
“Kak Cakkaaaaaaaaaaaa!!!”

***


“Heh, loe kenapa sih? Gelisah mulu dari tadi. Mau dapet loe, Yo?” tanya Gabriel bisik-bisik. Bagaimana tidak, sejak sejam yang lalu Rio terlihat sangat resah seperti orang yang sedang menunggu vonis hukuman di depan para hakim dan jaksa. Dan sesekali juga Gabriel memperhatikan Rio yang tiba-tiba menutup wajahnya dengan buku paket Sosiologi yang super tebal itu.
“Kenapa sih, Yo?” bisik Gabriel lagi penasaran. Ia menyenggol pundak Rio yang belum juga menjawab pertanyaannya.
“Gue takut, Gab!” balas Rio kemudian sambil melirik cepat-cepat ke arah guru yang sedang berdiri di depan kelas dengan tatapan tajam yang dipancarkannya. Gabriel mengernyit.
Why, brader?”
“Gue takut Bu Grace naksir gue, Gab. Loe gak tau dari tadi Bu Grace lihatin gue mulu? Gue gak doyan yang tua-tua gitu soalnya.” ucap Rio polos sambil terus menutupi wajahnya dengan buku. Entah itu polos atau bodoh, yang jelas kini Gabriel hanya bisa menepuk dahi mendengar jawaban sahabatnya yang tidak tau harus diapakan lagi otaknya supaya kembali normal seperti sedia kala.
“Loe udah bener-bener idiot, Yo. Ck! Prihatin gue sama loe.” balas Gabriel datar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
“Gue tau kok Bu Grace itu jomblo, cantik, sexy, mempesona, cetar, aduhai, imut, baik, pintar dan lain-lain deh pokoknya. Tapi belum tentu Bu Grace doyan sama berondong juga kali. Apa lagi berondong gosong kaya loe ini. Aih… mana mau dia sama loe?” tukas Gabriel senang.   
“Sialan tingkat Neptunus loe, Gab! Gue? Berondong gosong? Gak ngaca dulu sih loe kalau mau ngomong! Gue sama loe itu masih mendingan gue tau?! Gue agak putihan, loe buluk!” balas Rio sengit. Dan belum sedetik pun untuk Rio berhenti bacara, jitakan keras mendarat di ubun-ubunnya.
“Bisa gak sih gak main tangan?!” bentak Rio masih dalam kapasitas suara yang pelan.
“Gak bisa! Kenapa? Mau ngajak ribut? Ayo, gue gak takut! Kalau bisa Bu Grace jadi wasitnya.” tantang Gabriel asal. Rio hanya mendecak meresponnya.
“Males gue ribut sama loe, Gab! Buang-buang tenaga aja. Mendingan gue ngecengin cewek daripada ribut gak jelas gitu.” tolak Rio mentah-mentah. Tangannya menepis tangan Gabriel yang menyentuh pundaknya sedikit keras.
“Ganesha! Mario! Kalian bisa diam sebentar?! Kelas ini tempat belajar, bukan tempat ngobrol! Silahkan kalian keluar kalau memang mau mengobrol!” bentak Bu Grace yang mulai mendengar bisik-bisik dari Gabriel dan Rio yang semakin gaduh. Mereka pun tergelak. Tidak seperti yang lain yang seakan menahan tawa karena melihat ekspresi Rio dan Gabriel yang lucu.
“Ma… maaf, Bu. Tadi saya kebelet kencing, mau minta Gabriel buat nganter ke toilet. Eh, dia malah gak mau. Jahat kan, Bu? Masa nganter temennya ke toilet aja gak mau? Aih… temen macam apaan itu coba? Kita kan hidup harus tolong menolong kan, Bu? Tau nih si Gabriel mah gak asik.” jelas Rio asal. Membuat Bu Grace dan Gabriel melongo mendengarnya. Terlebih teman-teman kelasnya yang lain yang masih menahan tawa karena ulah Rio tersebut.
“Udah suruh keluar aja mereka, Bu! Berisik aja dari tadi.” celetuk salah seorang siswa di kursi paling depan. Siswa yang lain lantas menyetujui dengan menganggukkan kepalanya.
“Aih… gak friend banget loe semua. Gak usah lah, Bu. Saya janji deh bakal diem. Serius!” timpal Gabriel ikut bicara.
“Hmm… gini aja deh, daripada bingung-bingung gak jelas kaya gitu, mendingan nih anak dua suruh berdiri aja di depan. Gampang kan? Toh katanya mereka gak mau keluar.” usul Alvin seraya menyunggingkan senyuman sinisnya. Ia tertawa dalam hati.
“Setujuuuuuu!!!” koor anak-anak kelas XI IPS 2 kompak. Bu Grace pun langsung mengangguk menyetujui saran dari Alvin barusan.
“Ish! Alvin? Wuih… kejem amat loe ngasih saran!” bisik Rio dengan penekanan yang jelas. Begitu juga Gabriel yang menatap heran ke arah Alvin. Lantas mereka kembali memalingkan wajah ke sosok Bu Grace jengah.
“Silahkan maju!” suruhnya lembut. Gabriel dan Rio memutar matanya.
“Ada gitu orang kece dihukum kaya gini? Ck!” ucap Rio menyayangkan. Serentak, sebuah sorakan bergemuruh tiba-tiba di telinganya. Sorakan untuk sifat percaya diri dari seorang Rio tersebut tentunya.
“Kece muka loe soek!” rutuk Gabriel seraya menyenggol Rio yang kini sudah berdiri di depan whiteboard sambil mengangkat salah satu kakinya itu.
“Oke, silahkan kalian lanjutkan merangkum! Dan buat kalian berdua, tetap berdiri dengan satu kaki kalian sampai pelajaran Ibu selesai. Mengerti?!” ungkap Bu Grace tegas. Mata Gabriel dan Rio terbelalak hebat. Bagaimana tidak, pelajaran Sosiologi baru berjalan duapuluh menit dari satu jam setengah durasi maksimalnya.
What?! Yang bener aja, Bu?” tukas Gabriel.
“Aih… Bu Grace yang unyu-unyunya melebihi dari Doraemon, masa iya sih sampai jam pelajaran kita berdiri di sini terus? Apa gak sadis tuh namanya?” sambung Rio cepat.
“Ya sudah kalau gitu sampai jam istirahat.” lanjut Bu Grace santai.
Oh my God, ibu?” protes Rio dan Gabriel kompak.
“Sampai pulang mau?”
“Gak mau!!!”
“Ya sudah jangan protes makanya!” mereka akhirnya mengangguk pasrah. Di arah depan, Alvin terkekeh sambil sesekali menjulurkan lidahnya ke arah kedua sahabatnya itu. Rio dan Gabriel menggeram saja melihatnya.

***


Prissy tersenyum. Rasanya baru kali ini ia merasakan ada sesuatu luar biasa yang bergejolak di dadanya disaat tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seorang cowok yang memang belum dikenalnya itu tadi pagi. Dengan sambil mengaduk jus apel yang dipesannya barusan, Prissy kembali membayangkan kejadian yang mungkin tak terlupakan untuknya baru-baru ini. Kejadian di mana ia menatap kedua bola mata berwarna cokelat yang begitu indah. Tatapannya yang tajam, yang menusuk lembut dan mengendap di relung hati Prissy. Sungguh pandangan pertama yang sangat menakjubkan menurutnya. Lagi-lagi Prissy tersenyum. Sepertinya Dewa Amor sudah benar-benar membidikkan panah cintanya di hati seorang Prissy.
“Tuhan memang adil. Tuhan selalu menghadirkan sesuatu yang indah tepat pada waktunya. Ya, Tuhan selalu pengertian akan ciptaannya.” tiba-tiba kata-kata tersebut terlontar begitu saja di bibir mungil cewek yang bernama lengkap Princess Pricilla ini.

Flashback On.

“Aw!” rintih Prissy begitu pundaknya tanpa sengaja tersenggol keras oleh seseorang yang sedang berlari terburu-buru. Orang yang menyenggol Prissy itupun terhenti dan langsung berbalik arah cepat-cepat.
“Sori banget ya? Tadi gue gak sengaja, gue buru-buru. Loe gak apa-apa kan? Ada yang sakit?” tanya orang itu khawatir. Tangannya tanpa ragu menyentuh pundak Prissy yang memang terus-terusan diusap karena kesakitan. Prissy mendongak perlahan.
Oh my God!” gumamnya pelan. Bahkan mungkin lebih dari sangat pelan. Orang itu tersenyum kemudian begitu Prissy hanya diam sambil menatapnya aneh tersebut.
“Loe gak apa-apa?” Prissy masih tetap diam. Matanya terlalu sibuk memandangi kedua mata milik orang yang tadi menyenggolnya itu.
Hallo? Are you okay?” sapa orang tersebut dengan melambaikan tangan di depan wajah Prissy.
“Eh, iya, gue… gue gak apa-apa kok. Iya, gue gak apa-apa.” jelas Prissy gelagapan. Lamunan panjang yang sempat menjamah otaknya itu seketika buyar begitu saja.
“Beneran gak apa-apa?” Prissy langsung mengangguk pasrah. Warna merah merona tiba-tiba menghiasi pipi chubbynya. Orang itupun tersenyum. Manis. Walaupun tak sepenuhnya tersenyum, tetapi mampu membuat perasaan aneh di hati seorang Prissy memberontak. Gilaaaaaa!!! Manis banget! rutuknya.
“Ya udah sekali lagi gue minta maaf ya? Serius, tadi gue beneran buru-buru.” jelas orang itu lagi-lagi.
“Iya, gak apa-apa kok.”
“Hmm… kalau gitu gue duluan ya? Gue buru-buru soalnya. Sekali lagi maaf ya?” orang tersebut menepuk pelan pundah Prissy yang masih berdiri mematung sambil senyum-senyum tidak jelas itu.
“Hei, tunggu dulu!!!” panggil Prissy kemudian. Namun percuma, orang itu sudah terlanjur jauh berlari.
“Gue kan belum kenalan sama loe.” gumamnya kemudian dengan membuang napasnya segera.

Flashback Off.

Please deh gak usah senyum-senyum sendiri kaya orang gila gitu. Gue tau gue emang ngangenin, tapi gak segitunya juga kali.” Prissy tersentak. Super kaget saat di depannya muncul begitu saja sosok cowok terpercaya diri yang pernah ia temui di bumi ini. Siapa lagi kalau bukan…
“Riiiiiioooooo!!! Loe ganggu gue aja!” amuk Prissy tak disangka. Matanya melotot seram ke arah Rio yang sudah duduk manis di depannya tersebut.
“Ish! Gue ganggu loe? Masa sih? Perasaan dari tadi gue diem di sini, lihatin loe yang kaya orang gila.” Rio mengernyitkan dahinya heran.
“Loe gak lagi sakit kan, Pris?” lantas Rio menempelkan punggung tangan kanannya ke kening Prissy tanpa ragu.
“Kurang ajar loe!” tepis Prissy cepat-cepat.
“Hahaha. Kali aja loe lagi sakit terus senyum-senyum gak jelas gitu. Gak ada yang tau kan?”
“Serah loe deh, Yo! Lagian ngapain sih loe ke sini? Emang gak ada tempat lain apa?” tanya Prissy kesal. Mendengar itu, Rio mengangkatkan alisnya satu.
“Aih… tumben galak? Kemaren aja loe muji-muji gue, sekarang malah ngusir. Aneh loe ah!”
“Ish! Siapa sih yang muji loe, Mario? Seinget gue, gue gak pernah muji loe sekalipun. Kenal aja baru tiga hari ini, yang ada elo yeng terus-terusan muji diri loe sendiri di depan gue.” tukas Prissy sekenanya.
“Hmm… iya juga sih ya? Hehehe.” Prissy berdecak. Ternyata cowok yang ada di hadapannya itu mempunyai banyak sifat. Kadang menyebalkan, aneh, lucu, cakep, super percaya diri, labil dan mungkin masih banyak lagi yang belum Prissy ketahui dari seorang Mario Sebastian tersebut
“Eh, emangnya loe gak punya temen ya? Kok tiap kali gue ketemu loe, loe sendirian mulu sih?” tanya Rio penasaran. Raut wajahnya berubah serius.
“Punya lah! Gila aja gue gak punya temen.”
“Masa sih? Terus kenapa loe ke mana-mana cuma sendirian aja?”
“Terserah gue kali, Yo. Kalau gue pengennya sendiri gimana dong? Ada masalah?” Rio menggeleng.
“Loe punya cowok gak sih?” Prissy mengerutkan kening. Merasa aneh dengan pertanyaan-pertanaan Rio itu.
“Mario, dengerin ya! Kalau emang kedatangan loe ke sini cuma buat nanya-nanya hal yang gak jelas kaya barusam, mending loe pergi aja deh sana! Gue lagi pengen sendiri nih. Hus! Hus! Hus!” usir Prissy sangar.
Please deh, Pris! Gue bukan ayam ataupun bebek ataupun semacamnya ya! Gue itu orang tau?! Orang paling kece dari orang-orang terkece seantero jagad raya ini. So, loe gak perlu memperlakukan gue seperti hewan gitu.” kata Rio panjang lebar. Untuk sementara Prissy tak menggubris sama sekali, mencoba membiarkan Rio berkicau sepuasnya terlebih dahulu.
“Udah?” kata Prissy begitu Rio berhenti berbicara.
“Heh? Apanya yang udah, Pris?”
“Ck! Tau ah! Udah sana pergi dari sini!”
“Iya deh iya gue pergi dari sini. Tuh sahabat-sahabat gue juga udah nongol. Good bye ya, Prissy! Jangan lupa sms kalau loe kangen sama gue.” pamit Rio yang langsung lari begitu saja saat melihat Alvin dan Gabriel memasuki wilayah tongkrongan mereka di kantin paling ujung. Karena sebelumnya Gabriel dan Alvin pergi dahulu ke toilet saat Rio hendak mengajaknya ke kantin pas selesai pelajaran Ekonomi tadi.

Sedetik, Prissy menyipitkan kedua matanya. Bermaksud memperjelas pandangannya ke arah kedua cowok yang tadi Rio sebut sebagai sahabatnya. Lalu ia mengernyit.
“Hah? Cowok itu? Sahabat Rio? Oh my God!

***


“Cerita sama gue bisa kali, Vi. Senyum-senyum mulu dari tadi. Lagi kenapa sih? Lagi naksir cowok ya?” tebak Ify sambil ikut duduk di salah satu anak tangga yang diduduki oleh sahabatnya itu. Sivia. Perlahan, Sivia bergeser mendekatai pembatas tangga supaya tidak menghalangi jalan siswa-siswa lain yang hendak lewat.
“Mau tau aja apa mau tau banget?” tanya Sivia dengan menyebalkan. Sedangkan Ify hanya mengikuti gaya bahasa Sivia tadi dengan malas.
Please gak usah alay deh, Vi!”
“Hehehe. Serius, gue gak lagi alay.” ungkap Sivia santai. Ia tersenyum renyah ke Ify.
“Aih… gitu ya sekarang? Oke, no problem! Gue tau kok apa yang ada di pikiran loe sekarang.”                 
“Hmm… masa? Apa coba?” pinta Sivia antusias.
“Apa ya? Hmm… sebentar, gue mikir dulu.” Ify pun langsung pura-pura berpikir. Cukup lama. Sampai Sivia sudah tak bergairah lagi untuk ingin tau.
“Gak jadi deh, kelamaan!” cekalnya. Namun Ify tetap berpikir sebisa mungkin.
“Ada hubungannya sama kak Cakka?” tebak Ify tiba-tiba sambil memberi kode menggoda.
“Aih… Ify?”
“Bener kaaaaaan???”
“Hehehe… asal tebak kan loe?”
“Enak aja! Emangnya loe gak tau gue punya indera ketujuh, Vi?” Sivia tergelak mendengarnya. Indera ketujuh? Ada gitu? tanya Sivia dalam hati.
“Indera keenam mungkin. Emang ada indera ketujuh? Lucu loe ah!” Ify terkekeh. Rasanya geli sekali melihat ekspresi Sivia yang syok saat mendengar kalau Ify mempunyai indera ketujuh.
“Hahaha. Gue bercanda kali, Vi. Eh, emang beneran ada hubungannya sama kak Cakka ya?” tanya Ify kembali ke topik semula. Sivia tak langsung menjawab, hanya deretan gigi putihnya saja yang ia persembahkan ke arah Ify.
“Ehem! Yang lagi jatuh cinta. Ehem! Yang jatuh cintanya sama sepupu gue. Ehem! Yang…”
“Ifyyyyyy!!!” cegah Sivia sambil membekap paksa mulut Ify sebelum semua orang mendengar ucapannya tersebut.
“Gak usah keras-keras bisa kan? Jangan nyebarin gosip yang enggak-enggak deh!” bisik Sivia tepat di telinga sahabatnya itu.
“Hei, gue gak nyebarin gosip ya! Itu fakta kan? Udah deh gak usah diumpetin lagi. Gue udah tau kok, Vi.”
“Tapi beneran gue gak lagi suka sama kak Cak…”
“Mata loe gak bisa bohong, Siviaaaaaa!” potong Ify cepat-cepat. Sivia pun hanya bisa pasrah. Ify memang paling tau apapun yang sedang ia rasakan. Dan tak bisa dipungkiri lagi kalau semua perkataan Ify tadi itu benar adanya. Sivia memang sedang jatuh cinta, jatuh cinta sama satu sosok yang begitu diidolakan oleh banyak siswi di sekolah Sarfagos ini. Sosok yang selalu membuatnya merasa terlindungi. Sosok yang selalu membuatnya tersenyum. Dan sosok yang selalu ada di sisinya saat Sivia membutuhkannya. Siapa lagi kalau bukan… Cakka Pratama.    
“Ify?”
“Iya?”
“Jangan bilang sama kak Cakka ya? Please!” pinta Sivia tiba-tiba.
“Lho? Emang kenapa gitu?” Ify menatap Sivia dengan ekspresi bingung.
“Gue malu,” jawabnya setengah berbisik dengan sesekali kedua mata indahnya mengitari suasana sekelilingnya. Memastikan sosok yang sedang ia bicarakan itu tidak muncul begitu saja tanpa ia ketahui.  
“Sivia… Sivia… kenapa mesti malu? Slow aja kali, Vi!” ucap Ify antusias. Entah kenapa rasa lega muncul di hatinya begitu mengetahui kalau Sivia memendam perasaan pada salah satu sepupunya tersebut.
“Pokoknya gue gak mau kak Cakka sampai tau sama masalah ini. Loe bisa jaga rahasia kan, Vi?” Sivia memohon.
“Aduh, sayangnya gue bukan tipe orang yang pandai menyimpan rahasia nih. Gimana dong, Vi?” Sivia menelan ludah seketika.
“Clarissa Rifya Pratama, gue mohon banget sama loe. Please…” lagi-lagi Sivia memohon. Kali ini ia mengatupkan kedua tengannya di depan dada.
“Aduh, gue takut banget nih. Takut kalau nanti gue sampai keceplosan bilang ke kak Cakka, Vi.” ledek Ify semakin memojokkan Sivia.
“Ifyyyyyy!!!”
“Hahaha. Iya-iya deh gue bakal jaga rapat-rapat rahasia loe ini. Tapi loe gak larang gue kan buat nyomblangin loe sama kak Cakka?” Sivia tergelak mendengarnya. Matanya pun terbelalak lebar.
“Ify, please deh!”
“Aduh, gue keceplosan! Aih… lupakan!” bantahnya aneh. Dan sebelum Sivia berpikir jauh tentang ucapan Ify tadi, si Ify langsung lari ke atas meninggalkan Sivia yang masih terheran-terheran dibuatnya.
“Ify, tungguin gue!” dan ia ikut berlari menyusul Ify.

***


Mentari semakin gencar mentransfer energi panasnya ke bumi. Bahkan lebih parahnya lagi, angin belum berniat sedikitpun berhembus demi mengurangi rasa gerah yang menjamah setiap manusia di siang ini. Tapi untungnya jalanan tidak terlalu ramai, jadi polusi udara yang biasanya berkeliaran itupun sedikit berkurang.

Alvin berdiri malas di pinggir jalan untuk sekedar membuang lelah setelah cukup jauh ia berjalan kaki sepulang sekolah. Napasnya memburu, begitu juga keringat yang selalu bercucuran di dahinya. Karena baru kali ini seorang Alvin pulang sekolah dengan berjalan kaki. Padahal biasanya mengendarai motor ataupun mobil yang difasilitasi oleh sang Papi.
“Aih… capek juga pulang sekolah jalan kaki, mana masih jauh lagi.” rutuknya sambil terus menyeka keringat. Lagi, Alvin berdiri dengan menolak pinggang santai. Matanya ia edarkan ke sekitar, berharap ada kendaraan atau apapun yang mungkin bisa ia tumpangi.
“Ck! Si Cakka, Rio, Gabriel, Ify pada kejem banget ya sama gue?! Masa gue ditinggal gitu aja di sekolah? Aih… saudara sama sahabat macam apaan itu? Parah!” sewot Alvin dengan mencibir nama-nama orang yang faktanya merekalah orang terdekat yang ia punya. Alvin pun kembali melangkah meski rasa pegal di kakinya semakin bertambah.
“Pi, apa Papi tega lihat anaknya menderita seperti ini?” lirihnya kini. Tak tau kenapa tiba-tiba nama sang Papi muncul di otaknya.

Di arah belakang, sebuah sepeda melaju kencang tanpa terkendali karena memang kondisi jalan yang sedikit menurun. Si pengemudi pun yang takut-takut akan menabrak seseorang yang sedang berjalan tak jauh di depannya itu lantas berteriak kencang agar si orang tadi menghindar dengan segera. Namun semuanya percuma saja karena ban depan sepeda itu sudah terlanjur menyentuh dengan keras kaki seseorang tadi. Alvin. Alvin jatuh dan tersungkur serta meringis kesakitan saat lututnya menyentuh tanah dengan keras.
“Aaarrrggghhh!!!” rintih Alvin seketika. Tak lupa juga anak yang menabrak Alvin tersebut ikut terpental dan jatuh di rerumputan tak jauh dari tempat Alvin meringis tadi.
“Aaarrrggghhh!!! Mamaaaaaaa!!!” ia meringis pelan sambil mengusap siku tangannya yang tadi sempat terbanting oleh setir sepedanya.    
“Heh, loe bisa naik sepeda gak sih?! Apa loe gak lihat ada orang di sini, hah?! Mata loe normal kan?!” tukas Alvin sembari melirik sinis ke arah anak yang menabraknya itu.
“Maaf kak, maaf. Aku gak sengaja,” balasnya takut-takut sambil terus memegangi siku tangannya. Alvin mendecak.
“Hah?! Loe bilang loe gak sengaja?! Cih!” sinis Alvin kesal. Anak yang memang masih mengenakan seragam putih biru tersebut semakin merasa takut saat mata Alvin begitu tajam menatapnya. Alvin pun berusaha bangkit.
“Aku beneran gak sengaja, kak. Gak tau kenapa tiba-tiba remnya blong gitu aja. Lagian tadi aku udah teriak-teriak tapi kakaknya gak mau minggir.” jelasnya yang juga mengikuti Alvin bangkit dari duduknya.
“Jadi loe mau nyalahin gue gitu?! Aih… songong banget loe jadi bocah!”
“Bukan gitu, kak.”
“Diem loe! Gue gak butuh ocehan loe. Yang gue butuh sekarang, loe harus tanggung jawab sama semua yang loe lakuin ini ke gue!” pinta Alvin sangar. Ia mendekati anak itu dengan gaya menantang.
“Heh? Tanggung jawab?”
“Terus?!”
“Tapi kakak kan gak kenapa-kenapa, gak ada yang luka juga. Toh ini semua murni kecelakaan kan, kak? Aku juga sebenernya gak mau nabrak kakak, tapi mau gimana lagi?” Alvin membuang wajah mendengarnya. Baru sekali ini Alvin bertemu sama anak SMP yang membangkang seperti anak yang ada di hadapannya itu.
“Yayaya… gue emang gak kenapa-kenapa, tapi apa loe gak lihat celana gue robek?! Ini celana mahal tau gak?! Sepeda butut loe aja belum tentu bisa menebus harga celana gue. Ngerti?!” anak itu mengangguk cepat tanpa berani lagi menatap wajah Alvin yang sudah super emosi.
“Hmm… ya udah Difa minta maaf, kak. Difa mengaku salah, Difa gak hati-hati.” anak itu adalah Difa. Azkanio Difandreas Rain, adik kandung Sivia.

Alvin memutar matanya jengah. Lalu mereka terdiam sesaat karena terik matahari yang semakin menyengat kulit.
“Oke, gue bakal maafin loe.” gumam Alvin pelan. Sontak membuat Difa berseri mendengarnya.
“Serius, kak? Aih… makasih kakaaaaaak!!!” Difa menarik paksa tangan Alvin untuk disalaminya.
“Ish! Apaan sih?! Lepasin!!!” cegah Alvin kasar. Difa tersentak.
“Maaf,”
“Gue sita sepeda loe selama seminggu.” tukas Alvin tanpa canggung. Tak perduli dengan ekspresi yang ditampakan Difa itu seperti apa.
“Hah?! Kok disita sih, kak? Entar aku ke sekolah naik apaan dong? Aku gak ada kendaraan lain selain sepeda ini, kak.” kaget Difa serentak.
“Daripada gue mintain loe uang buat gantiin celana gue? Pilih mana, hah?” Alvin tersenyum sinis.
“Tapi, kak?”
“Gak usah protes deh! Toh cuma seminggu kan?” Difa lagi-lagi menunduk.
“Aku takut kalau nanti kakak aku nanyain sepeda itu, kak.” lirihnya pasrah. Membuat Alvin terkekeh sinis mendengar pangakuan Difa tersebut.
“Kenapa loe mesti takut? Bilang aja kalau sepedanya loe pinjamin sama temen loe. Gampang kan?”
“Aku gak bisa bohong, kak. Dan sepeda ini adalah hasil tabungan uang jajan kakakku selama enam bulan. Difa mohon sama kakak, jangan sita sepeda Difa ya? Please, kak!” mohon Difa sambil mengatupkan telapak tangannya.
“Gue gak perduli! Minggir sana!” dengan sedikit keras, Alvin menyenggol pundak Difa yang berusaha melindungi sepeda gunungnya.
“Jangan, kak!”
“Diem loe!”
Please…” Difa terus memegangi sepedanya meski Alvin sudah bersiap untuk mengendarai sepeda Difa tersebut.
“Lepasin!!!” Difa pun tersentak saat tangan kuat Alvin mendorongnya ke belakang.
“Kaaaaaakkkkkk!!!” walaupun Difa terus-terusan berteriak sambil berusaha mengejar sepedanya yang ditunggangi Alvin tersebut, Alvin tetap tak menggubris sama sekali. Malah ia semakin cepat mengayuh pedal sepeda hasil sitaannya itu sebelum Difa berhasil mengejarnya.

***


“Shilla?!” panggil Ray setelah cukup lama mulutnya terbungkam saat melihat sosok yang hampir tiga hari ini membuatnya galau itu melintas tak jauh dari matanya. Shilla sontak menengok ke sumber suara. Memicingkan mata seketika sebelum pandangannya menangkap sosok Ray yang sedang tersenyum manis sambil melangkah mendekat ke arahnya.
“Eh, kak Ray. Ada apa deh, kak?” tanya Shilla manis. Ray malah menggaruk kepalanya asal. Mendadak bingung harus menjawab apa.
“Hmm… ini, gue mau ngajak loe pulang bareng. Mau kan? Ng… gak mau juga gak apa-apa sih. Gue gak maksa. Hehehe.” Ray memamerkan gigi-gigi putihnya. Sedangkan Shilla hanya tersenyum.
“Emangnya gak ngerepotin?” Ray langsung menggeleng.
“Kalau gue nawarin berarti gak ngerepotin.”
“Oh gitu ya? Hmm… Shilla sih mau-mau aja, kak. Lumayan kan tumpangan gratis? Hehehe.” Shilla terkekeh manja.
“Jadi mau gak nih?”
“Ya udah deh Shilla mau. Tapi gak ada yang marah kan, kak?” tanya Shilla yang berhasil membuat Ray mengernyit.
“Marah? Siapa yang mau marah, Shil?” balik tanya Ray heran. Atau karena memang Ray tak mengerti apa maksud dari pertanyaan Shilla tersebut.
“Hmm… siapa tau aja pacarnya kakak marah kalau Shilla dianter pulang sama kak Ray.” jelas Shilla rinci. Ray kemudian tersenyum maklum.
“Gue masih setia dalam kesendirian, Shil. So, loe gak perlu takut ada yang marah. Hehehe.” Shilla mengangguk sambil membulatkan mulut.
“Ciye jomblo, ciye… hahaha.”
“Sialan! Kaya loe gak jomblo aja, Shil.” tukas Ray asal. Shilla tiba-tiba berhenti meledek.
“Aih… iya juga ya? Hahaha.”
“Aneh. Hmm… ya udah yuk pulang? Entar keburu sore lagi, tau sendiri kan kalau sore suka hujan?” ajak Ray dengan menarik pergelangan tangan Shilla cepat-cepat.
“Iya kak, iya. Gak usah tarik-tarik juga kali! Kak Raaaaaayyyyyy!!!” teriak Shilla saat Ray tak merespon kata-katanya. Entah mendapatkan kekuatan dari mana si Ray sampai berani menarik tangan seorang cewek. Sebelumnya berdiri di dekat cewek saja gemetaran, tapi sekarang? Entahlah. Cinta itu memang aneh.

***


Rambut Sivia bergerak-gerak mengikuti hembusan angin yang sedari tadi tak henti-hentinya bertiup. Sejuk. Ditambah dengan jernihnya air danau dan pemandangan sekitar yang mampu menghipnotis mata itu membuat Sivia semakin betah lama-lama berada di sini. Tempat terindah pertama yang ia kunjungi bersama orang yang begitu diistimewakannya akhir-akhir ini. Cakka Pratama.

Lalu ia duduk dengan manisnya di ujung jembatan yang hanya sepotong menjorok ke tengah danau tersebut. Di sampingnya, Cakka masih betah berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil memandangi puluhan angsa yang berenang di pinggiran danau. Ia tersenyum kecil kemudian. Lucu melihat angsa-angsa yang tingkahnya seperti para manusia. Romantis.
“Kak, duduk sini!” perlahan, Sivia menyentuh kaki Cakka. Cakka hanya tersenyum membalasnya. Senang melihat ekspresi wajah Sivia yang begitu berseri seperti anak kecil yang mau diberi mainan baru.
“Liha deh, Vi! Romantis bukan?” tunjuk Cakka ke arah dua ekor angsa yang rela memisahkan diri dari gerombolannya demi menikmati keindahan danau hanya berdua saja. Lantas Sivia tersenyum seakan menyetujui pernyataan Cakka tadi.
So sweet banget deh. Lucu! Gemes! Pengen dipeluk rasanya.” gereget Sivia manja sambil tak henti mengayunkan kedua kakinya semeter di atas air. Cakka pun akhirnya ikut duduk di samping cewek yang sedang senyum-senyum sendiri itu. Menarik napas perlahan dan membuangnya kembali.
“Kak Cakka tau tempat seindah ini dari siapa? Kok aku baru tau ada danau di sekitar kota ini ya?” tanya Sivia penasaran. Wajahnya tak lepas memandangi Cakka yang terlihat lebih maskulin saat ini. Cakka balik memandang tanpa ragu.
“Dari Mami, Vi.” ucap Cakka pelan. Lantas ia memalingkan pandangannya ke depan.
“Dulu aku sama Alvin sering main ke sini sama Mami. Waktu kita masih kecil sih.” lanjutnya dibarengi tawa kecil. Sivia tiba-tiba diam. Lebih memilih mendengarkan cerita Cakka tentunya.
“Kata Mami, tempat ini adalah saksi bisu akan perjalanan cintaannya bersama Papi. Karena memang Mami sama Papi itu pertama kali bertemu sampai pacaran dan nikah pun di tempat ini. Lucu kan, Vi? Gak kebayang gimana kalau mereka pacaran di tempat seperti ini.” Sivia tersenyum mendengarnya.
“Romantis kali, kak. Jarang-jarang lho yang kaya gitu.” sambung Sivia antusias.
“Iya juga sih. Hmm… tapi semenjak Mami gak ada, kita gak pernah lagi ke sini. Jangan pun ke sini bareng-bareng, ketemu sama Papi aja jarang banget.” kata Cakka datar. Seketika ia rebahkan tubuhnya perlahan. Berganti memandangi langit yang tak terlalu berawan itu.
“Sabar ya, kak. Mungkin itu memang tuntutan pekerjaan untuk Papinya kak Cakka. Jadi kak Cakka jangan sampai menyalahkan Papi kakak. Toh itu semua buat kak Cakka sama kak Alvin juga kan? Tetap bersyukur karena kak Cakka masih mempunyai figur seorang Ayah.” ucap Sivia ramah. Lantas Cakka terdiam. Setuju dan tanpa berkata apa-apa lagi ke Sivia. Matanya mulai terpejam.
“Hmm… kak Cakka? Kakak pernah jatuh cinta gak sih? Bukan cinta monyet ya, tapi cinta yang bener-bener cinta. Ya, bisa dibilang jatuh cinta yang layaknya anak remaja gitulah. Kak Cakka pernah nggak?” tanya Sivia ragu-ragu. Pandangannya ia edarkan ke sekitar, berharap Cakka tidak melihat ekspresi wajahnya yang berubah. Sedikit malu. Mungkin. Cakka masih terdiam dari tadi.
“Belum pernah ya, kak? Hmm… menurut kakak, kalau aku suka sama cowok yang udah aku anggap kakak sendiri itu wajar gak sih, kak? Ng… ini cuma nanya aja sih, gak ada maksud apa-apa.” Sivia kembali berucap walau Cakka belum juga mengeluarkan jawabannya tentang pertanyaan sebelumnya itu.
“Kak? Kak Cakka dengerin aku gak sih? Kak? Kakak?!” tanpa Sivia duga sebelumnya, Cakka sedari tadi tertidur tanpa komando. Meski sudah berkali-kali Sivia menggoyangkan tubuhnya, cowok berkulit putih yang masih mengenakan baju sekolah itu belum juga bangun dari tidurnya.
“Ck! Nyebelin banget sih jadi orang?! Tidur gak bilang-bilang dulu. Pantesan tadi dikacangin mulu. Dasar pelor!” cibir Sivia sedikit kesal.

Dan sempat bosan karena menunggu Cakka bangun dari tidurnya karena Sivia tidak tega kalau sampai membangunkannya secara paksa, Sivia berniat bangkit untuk berkeliling sejenak ke pinggiran danau. Namun baru saja Sivia hendak berdiri, tiba-tiba Cakka menggenggam tangannya erat. Seakan tak ingin ditinggalkan begitu saja.
“Aku sayang sama kamu, Vi. Jangan tinggalin aku! Please…” gumam Cakka. Dan itu membuat Sivia kebingungan.
“Izinkan aku untuk selalu ada di samping kamu, Vi.” gumam Cakka lagi. Kali ini genggamannya terlepas.
“Kak Cakka ngelindur? Kak, bangun!” panggil Sivia sambil menggoyangkan kembali tubuh Cakka yang kini berubah posisi. Namun Cakka tetap tak bangun. Entah karena kelelahan atapun apa, yang jelas Cakka terlihat begitu pulas terlelap. Sedetik, senyuman manis terulas nyata di bibir mungil milik Sivia. Tidak tau apa yang sedang ia pikirkan saat itu. Matanya terfokus pada wajah Cakka yang begitu tampan meskipun sedang tidur. Sampai tangan Sivia pun tergoda untuk menyentuh kedua pipi cowok yang menjadi sosok pelindungnya akhir-akhir ini.
“Aku sayang kakak. Entah ini terlalu berlebihan atau tidak, yang jelas perasaan aneh ini selalu muncul setiap aku ada di samping kakak. Setiap aku lihat senyuman ka…” Sivia langsung tergelak hebat begitu tanpa aba-aba terlebih dahulu Cakka dengan cepat membuka matanya saat tangan Sivia belum sempat pindah dari pipinya.
“Maaf aku ketiduran, Vi.” lirih Cakka tanpa dosa.
“Iya, gak apa-apa kok. Kakak capek ya? Ya udah kalau gitu kita pulang aja yuk, kak? Kakak istirahat di rumah.” usul Sivia cepat-cepat sebelum Cakka bertanya yang tidak-tidak akan ulahnya tadi saat Cakka tertidur.
“Hmm… ya udah.” mereka berdua bangkit setelah sebelumnya mengaitkan tas yang mereka bawa di bahu masing-masing. Cakka pun merangkul Sivia perlahan sambil berjalan tanpa ada rasa canggung seperti biasanya.           
   

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar