@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Sabtu, 25 Mei 2013

Love And Friends Only [DifAngel Version]

Bandung, Juli 2004.


Mentari tersenyum, sinar terangnya menenggelamkan garis oranye yang melintang di ufuk timur. Cerah. Langit biru belum setitik pun ternodai oleh gumpalan-gumpalan hitam yang entah dari mana rimbanya. Udara begitu sejuk. Mungkin memang belum terkontaminasi oleh asap kendaraan bermotor. Dan angin begitu lembut membelai kulit serta bunga-bunga yang baru bermekaran tersebut ikut bergoyang apik di tepian jalan. Belum lagi jalanan yang basah akibat guyuran hujan semalam juga memberikan sensasi tersendiri di pagi yang sangat indah ini.

Pukul 07.15 WIB. Seorang cewek remaja berseragam putih abu-abu begitu santai menikmati perjalanannya menuju sekolah di hari pertama ini. Wajahnya ceria. Sesekali ia bernyanyi pelan mengikuti alunan lagu yang didengarnya melalu earphone.
“Biarkan cinta hidup sekali ini saja…” lantunan suaranya yang indah menggema bersamaan dengan selesainya lagu tersebut. Cewek itu berhenti sejenak, tersenyum simpul, dan kembali melanjutkan langkahnya. Di sisi lain sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan yang lumayanlebih terkesan cepat.
“Eh, woy!!! Biasa aja dong kalau naik motor!” genangan air hujan yang berkubang di pinggir jalan seketika mengenai rok si cewek saat motor tesebut dengan cepatnya melintas. Ia mencibir kesal.
“Jadi kotor kan rok gue? Pagi-pagi udah kena sial,” ia berjongkok berusaha membersihkan roknya.
“Eh, sori ya gue gak sengaja. Soalnya tadi gue buru-buru banget. Sori, ya?” ucap seseorang yang baru saja turun dari motor Ninja berwarna merah tua itu.
“Sori aja gak cukup, kali. Lihat nih rok gue kotor! Loe mau tanggung jawab?!” ketus si cewek.
“Bentar deh, gue kayak pernah lihat loe, ya? Loe Angel, kan?” tebak si cowok setelah cukup lama meneliti wajah si cewek yang baru saja terkena percikan air olehnya. Cewek itu juga ikutan meneliti wajah si cowok, berusaha mengingat-ingat apakah ia juga kenal seperti si cowok mengenali dirinya.
“Difa?! Astaga, loe tambah jangkung aja, Dif?”
“Loe ke mana aja, Ngel? Gimana kabarnya?” tanya Difa dengan mengulurkan tangannya.

Ya, merekaAngel dan Difa. Teman SMP dulu yang sudah sangat lama tidak pernah jumpa setelah mereka lulus sekolah. Apalagi sebelumnya mereka tidak sama sekali saling kontak satu sama lain. Jadi tidak tau kabar dan di mana mereka melanjutkan sekolah saat ini. Sekarang, Angel, menjadi siswi SMA Padma sekaligus menjabat sebagai ketua OSIS di sana. Sedangkan Difa bersekolah di SMA Nusantara yang cukup dibilang jauh jaraknya antara kedua sekolah tesebut. Dan akhirnya mereka dipertemukan kembali di hari pertama di tahun ajaran yang baru.
“Oh, jadi selama ini loe sekolah di sini, Ngel?” Difa memberhentikan motornya tepat di depan gerbang sekolah Angel. Angel mengangguk.
“Iya, ini sekolah gue sekarang. Anyway, makasih ya udah mau kasih tebengan.”
“Gak masalah, anggap aja ini sebagai tanda minta maaf gue soal tadi.” ucap Difa ramah. Angel melihat roknya sekejap, lalu mengangkat bahunya pelan.
“Tidak terlalu kotor, kok. Oh iya, gue masuk duluan ya, Dif?” kata Angel semangat.
“Angel, tunggu!”
“Iya?”
“Nomor handphone loe?” pinta Difa canggung. Mungkin Difa merasa akan lebih mudah lagi berkomunikasi dengan Angel melalu telepon ataupun sms.
“Hmm… catat, ya?” balas Angel yang kemudian mengeja digit demi digit nomor handphonenya.
“Makasih ya, Ngel!”
“Kembali kasih,”
“Gue berangkat, ya?” pamit Difa.
“Iya, hati-hati di jalan, Dif!” Difa menyalakan mesin motor dan mengacungkan jempol ke arah Angel. Angel tersenyum membalasnya.

***


“Hmm… Sha?” Angel membuka suara di tengah-tengah kesibukannya menyantap siomay yang sejak dulu menjadi salah satu makanan favoritnya bersama Marshasahabat karibnya.
“Iya. Kenapa, Ngel?” respon Marsha kemudian. Tangannya menyambar jus jeruk yang tak jauh dari piring siomaynya.
“Loe masih inget gak sama temen SMP kita yang namanya Difa?” Marsha menerawang.
“Difa? Hmm… bentar, gue inget-inget dulu.”
“Masa loe lupa sih, Sha?” timpal Angel dan kembali menyantap siomay miliknya yang hampir habis.
“Oh iya, gue inget sekarang! Yang waktu itu pernah nembak loe, kan?” tebak Marsha menggoda. “Emangnya kenapa sama Difa?”
“Nggak apa-apa, sih. Cuman gue tadi nebeng ke sekolah sama dia.” jelas Angel datar. Marsha membulatkan mulutnya.
“Kok bisa, sih? Ketemu di mana?”
“Tadi pagi gue ketemu dia di jalan, itu juga gara-gara rok gue kecipratan air sama motornya dia.” jelas Angel seraya mengambil selembar uang limapuluh ribu di sakunya. Ia membayar makanan yang ia santap bareng Marsha.
“Tambah cakep nggak tuh anak, Ngel? Hayo, kasih tau dong!” paksa Marsha antusias. Angel memutar bola matanya.
“Ayo, ah! Nanti gue ceritain di kelas aja.” balas Angel setelah beberapa detik menerima uang kembalian.
“Ah, gak asyik loe, Ngel!” timpal Marsha dengan mengejar Angel yang sudah pergi duluan.

SMA Padma. Sebuah sekolah elite yang sekarang menjadi tempat Angel dan Marsha serta teman-teman mereka lainnya mengemban pendidikan. Di mana dulu SMA Padma ini merupakan salah satu sekolah yang mereka berdua idam-idamkan jika lulus SMP nanti. Sama, selalu saja mereka memiliki selera yang sama. Bagaimana tidak, sejak Play Group sampai sekarang Angel dan Marsha bersekolah di tempat yang sama. Bahkan ajaibnya, mereka selalu satu kelas. Apa gak bosan? Entahlah. Yang jelas mereka selalu kompak di manapun dan kapanpun mereka berada. Mereka juga saling menutupi kekurangan satu sama lain. Tidak pernah terlihat bermusuhan, dan kalaupun ada masalah pasti mereka akan bicara baik-baik.

Hari ini, di SMA Padma sedang mengadakan MOS untuk siswa-siswi kelas IX yang sudah lulus SMP. Suatu kegiatan pengenalan diri terhadap lingkungan sekolah yang baru itu merupakan tradisi tahunan yang diselenggarakan di berbagai sekolah di Indonesia. Bahkan banyak juga yang memanfaatkan MOS itu menjadi ajang pembalas dendaman para anggota OSIS untuk memperbudak anak asuhannya sebagaimana ia diperlakukan sama seperti yang dilakukan anggota OSIS sebelumnya. Parah memang. Tapi tidak dengan Angel dkk. Selaku ketua dan panitia OSIS, Angel dan Marsha cukup dibilang ramah sama semua siswa baru. Mereka berhasil menghilangkan anggapan semua anak bahwa anak OSIS bukanlah orang-orang yang supergalak dan ditakuti. Melainkan OSIS itu adalah teladan bagi semua siswa-siswi di sekolah. Selain itu, di hari pertama ini mereka memimpin MOS, mereka sudah disibuLangn dengan berbagai kegiatan. Mulai dari mengenalkan berbagai sarana yang ada di SMA Padma, memperkenalkan beberapa kegiatan ekstrakurikuler, mengadakan permainan serta mengabulkan permintaan peserta MOS untuk tanda tangan dan sebagainya.
“Kak Angel, maaf ganggu sebentar.” ucap salah satu peserta MOS saat Angel baru saja keluar dari Aula.
“Iya, kenapa De?” Angel tersenyum ramah.
“Kenalin Kak, aku Ivan dari gugus A. Aku boleh minta tanda tangan nggak, Kak?” pintanya sangat sopan.
“Oh, boleh!” Angel langsung mengambil bolpoin yang disuguhkan Ivan. “Terus apalagi?” lanjutnya.
“Boleh minta foto?” Angel mengernyitkan dahinya heran.
“Suruh siapa kamu bawa handphone? Peserta MOS kan dilarang bawa handphone!” tegas Angel.
“Tapi kan ini bukan punya aku, Kak.” protes Ivan santai.
“Terus punya siapa? Punya orang tua kamu? Tetep aja gak boleh bawa handphone ke sekolah!” tukasnya sangat tegas.
“Tapi beneran ini bukan punya aku, Kak. Handphone ini punya kakak yang di sana. Aku dihukum suruh minta foto Kakak.” jelas Ivan seraya menunjuk salah seorang dari gerombolan anak OSIS yang sedang ketawa-ketiwi. Dasar Gilang! Masih sempet-sempetnya ngehukum anak buat minta foto! umpat Angel sambil menggeleng.
“Ivan, bilang sama kakak yang di sana ya, kalau di SMA Padma ini nggak ada yang namanya hukuman buat minta foto. Cepet, gih!” suruh Angel sedikit berbisik.
“Tapi kalau nanti aku dihukum lagi gimana dong, Kak?” Ivan merengut.
“Gak bakalan! Percaya deh sama Kakak. Kalaupun nanti kamu dihukum sama dia, Kak Angel yang akan hukum dia, ngerti?”
“Janji, ya?” Ivan mengacungkan kelingkingnya.
“Janji! Udah sana cepetan.”
“Baik, Kak! Makasih ya Kakak cantik.” ucap Ivan menggoda. Angel hanya menggeleng-geleng melihat tingkah anak yang satu itu.

***


Terik mentari kian menyengat. Menusuk hingga ke daging. Bumi benar-benar panas siang ini. Ditambah dengan pasifnya angin berhembus itu membuat Angel malas pulang jalan kaki. Apalagi gak ada teman gitu, si Marsha kan sudah pulang duluan bareng pacarnyaRafli. Jadi terpaksa ia harus nunggu di Pos Satpam yang sudah menjadi tempat tongkrongannya untuk menghilangkan peluh.
“Enak ya yang ngadem di Pos Satpam,” sindir seseorang yang tiba-tiba muncul dengan memamerkan deretan gigi putihnya.
“Loe belum pulang, Lang?” Gilangteman sekelas Angel sekaligus wakil ketua OSIS itu ikut duduk di samping Angel.
“Minum?” tawarnya. Angel memutar bola matanya.
“Gue nanya, bukan minta minum.” cibir Angel jengkel.
“Jadi gak mau, nih? Ya udah,” Gilang memasuLangn kembali botol minumnya ke dalam tas.
“Eh, elo gimana sih, Lang? Tadi nawarin, sekarang malah dimasukin.” Angel langsung menyerobot minuman yang hendak Gilang masuLangn ke dalam tas. Gilang mengernyit.
“Mau pulang bareng gue? Mumpung lagi baik, nih.” tawarnya lagi. Angel masih sibuk meneguk minumnya.
“Ayo pulang, Kak!” ajak seorang cowok yang tubuhnya mungil tiba-tiba.
“Loe pulang naik taxi aja ya, Van. Kakak mau ada perlu sama temen Kakak.” kata Gilang santai. Ivan mendengus. Sedangkan Angel hanya berheran ria dibuatnya. Ada hubungan apa mereka berdua? batinnya.
“Bentar, bentar! Kamu adiknya Gilang?” tanya Angel antusias. Ivan mengangguk manja.
“Emangnya kenapa, Kak?”
“Gak apa-apa kok, Van. Eh, Gilang! Udah sana pulang, kasihan tuh adik loe. Gak usah repot-repot ngajak gue, deh.” suruh Angel.
“Tapi beneran loe gak mau pulang bareng?”
“Udah sana!” Angel mendorong tubuh Gilang perlahan. Gilang cuma bisa pasrah.
“Ya udah, gue pulang duluan ya, Ngel?”
“Duluan ya Kak Angel?”
“Iya, hati-hati!” balas Angel dan kemudian kembali duduk di Pos Satpam. Kakinya masih enggan melangkah karena mentari masih betah mentransfer panasnya ke bumi. Angel menyeka keringat yang mengalir di dahinya. Sampai sebuah sepeda motor berhenti di hadapan Angel.
“Sendirian aja, Ngel? Nunggu siapa?” tanya si pemilik motor setelah sepersekian detik membuka helmnya. Angel mendongak, baru sadar kalau sudah ada orang di hadapannya.
“Eh, elo Dif. Iya nih, gue lagi ngadem bentar di sini. Elo sendiri gak pulang?” Angel menggeser badannya saat Difasi pemilik motor itu hendak duduk di sampingnya. Difa tersenyum.
“Baru aja mau pulang. Loe mau pulang bareng gue gak, Ngel? Sekalian gue pengen tau rumah loe juga.” ia menyenggol bahu Angel.
“Gak usah deh, takut ngerepotin. Lagian gue bisa naik angkot, kok.” balas Angel seraya tengok kanan-kiri mencari angkot.
“Oh nggak, kok! Nyantai aja lagi,”
“Ya udah deh kalau gitu. Makasih ya sebelumnya,” Difa mengacungkan jempol. Dan sedetik setelah Angel memegang pinggang Difa erat, motor itu langsung melesat cepat.

***


Bandung, Oktober 2004.



Istirahat sudah berlangsung 20 menit yang lalu. Tetapi kantin SMA Padma masih padat dipenuhi para siswa dan siswi. Apalagi di sini merupakan tempat penjualan makanan satu-satunya yang menjajakan jajanan pasar. Soalnya di SMA Padma ada lagi tempat makan selain kantin, namanya Koperasi Siswa. Hanya saja di sana cuma menjual makanan-makanan instant. So, jarang mengundang selera makan kalau di Koperasi Siswa. Seperti saat ini, Gilang dan Marsha sedang menikmati seporsi siomay dan berbagai makanan ringan seperti gorengan ketimbang harus mampir ke Koperasi Siswa yang tempatnya tidak begitu jauh dari kelas merekabisa dibilang bersebelahan.
“Lang, loe suka sama Angel, ya?” tebak Marsha tajam di tengah-tengah makannya. Gilang tersedak, tangannya mencari-cari minuman.
“Nih, minum! Kalau makan pelan-pelan aja, kali.” lanjut Marsha menyodorkan minum ke Gilang.
“Ngasal loe kalau ngomong!” timpal Gilang tetap tidak berhenti batuk.
“Gue kan cuma nanya, Gilang Aditya! Kali aja loe emang bener suka sama Angel. Emang gak boleh?” balas Marsha polos.
“Gak apa-apa, sih. Ya gue cuma kaget aja denger loe yang tiba-tiba nanya gitu.”
“Angel itu cantik, lho. Emang loe gak tertarik?” kini Marsha malah menggoda Gilang. Rasanya Marsha tau apa yang ada di pikiran Gilang akhir-akhir ini.
“Kata siapa Angel jelek? Semua orang juga tau kalau dia cantik.” Gilang kembali menyantap gorengannya yang tersisa.
“Aduh, Gilang! Apa susahnya sih bilang kalau loe itu tertarik sama Angel, terus bakal nembak dia secepatnya. Udahlah, jangan dipendam mulu tuh perasaan, gue tau kok kalau loe suka sama Angel udah lama. Iya, kan?” Gilang mengernyitkan dahi. Nih anak kesurupan setan apa, ya? tanyanya dalam hati.
“Kesannya loe kayak maksa gue buat jadi pacarnya Angel sih, Sha?” Marsha menghela napas berat.
“Gue emang maksa! Hehehe…”
“Emang kalau gue jadi pacarnya Angel itu ngaruh ya sama loe?” selidik Gilang serius.
“Ngaruh, lah! Gue seneng aja kalau lihat kalian berdua lagi ngobrol atau jalan bareng. Cocok banget!”
“Masa, sih?” tanya Gilang sambil melahap gorengan terakhirnya.
“Seriusan! Nih ya gue bilangin, dari dulu Angel itu jarang banget lho deket sama cowok. Soalnya dia cuek banget sama cowok,” ucapnya terpotong. Gilang ikut antusias mendengar penjelasan Marsha tentang Angel.
“Kalau gue inget-inget nih ya, cuma dua orang yang bisa deket sama dia. Yaitu elo sama cowok yang waktu SMP nembak Angel, namanya Difa.” sambung Marsha. Gilang membulatkan mulut.
“Difa? Terus, terus?” tanya Gilang penasaran.
“Angel menolak, sih. Dia bilang kalau dia mau fokus sekolah dulu gitu.” jelas Marsha yang semakin mengecilkan volume suaranya ketika sosok cewek yang sejak tadi menjadi topik pembicaraannya itu datang menghampiri mereka.
“Lagi pada ngomongin gue, ya?” tebak Angel yang langsung duduk manis di samping Marsha.
“Sok tau, deh! Orang lagi ngomongin masalah MOS kemaren, kok. Iya kan, Lang?” kilah Marsha sambil meminta tanggapan Gilang. Gilang mengangguk.
“Betul!”
“Masa, sih? Ah, gak percaya gue.” Angel menyerobot siomay milik Marsha yang kebetulan tinggal seperempat.
“Beneran kok, Ngel. Lagian loe kepo banget, ih!”
“Iya nih, kepo!” sambung Gilang. Angel tak menghiraukan.
“Loe kok gak bareng Rafli, Sha? Jangan-jangan loe selingkuh ya sama Gilang?” tuduh Angel arogan. Lantas membuat satu jitakan keras mendarat di kepalanya. Jitakan Marsha.
“Hus! Gak disaring dulu tuh mulut kalau ngomong! Asal jeplak aja.” oceh Marsha kemudian.
“Lagian loe pacaran sama Rafli tapi malah makan sama Gilang. Ya gue curiga aja.” Angel berucap begitu polosnya. Capek, deh! batin Gilang dan Marsha.
“Emangnya gak boleh, ya?” tanya Gilang. Angel menggeleng cepat.
“Bilang aja kalau cemburu! Iya, kan? Ciiyyee…” timpal Marsha menggoda. Gilang tersenyum. Angel merengut.
“Ih apaan, sih? Nggak!” bantahnya tegas.
“Ngaku aja, lagi.”
“Nggak! Ih bete, deh!”
“Ciiyyee… Angel cemburu sama Gilang.” ledek Marsha terus-menerus sampai bunyi handphone menghentikan aksi mereka.
“Bentar ya, ada telepon.” Angel beranjak dari duduknya, menjauh dari merekaMarsha dan Gilang.
“Tumben banget Angel dapet telepon.” gumam Marsha.
“Kali aja itu penting. Elo sih curigaan anaknya.” Gilang melempar sedotan ke wajah Marsha.
“Ya gue heran aja. Ini kan masih jam sekolah.”
“Mungkin beneran sangat penting. Lagian loe ngurusin banget sih, Sha?” tanya Gilang heran. Angel kembali bergabung.
“Siapa, Ngel?” tanya Marsha penasaran.
“Ini, si Difa. Dia ngajak pulang bareng sekaligus makan siang.” jelasnya singkat. Melihat Gilang yang keheranan, Angel langsung menjelaskan lebih rinci. “Temen gue sama Marsha waktu SMP dulu.” Gilang membulatkan mulutberpura-pura mengerti, padahal sebelumnya sudah tau dari Marsha.
“Terus loe terima?” Marsha kembali menginterogasi.
“Iya, gue terima. Gak enak kalau sampe nolak, dia udah baik banget sama gue.” balas Angel. Gilang dan Marsha saling berpandangan.
“Oh iya, Lang. Tadi waktu gue mau ke sini gue sempat ketemu Ivan di jalan, katanya dia nyariin loe.” kata Angel berganti topik.
“Oh, ya? Ada apa sih tuh anak nyariin gue?”
“Minta uang jajan, kali. Jahat banget loe sama adik sendiri, masa uang jajannya diambil juga.” ledek Marsha. Tertawa pun pecah seketika.
“Enak aja!” bantah Gilang kemudian. Mereka kembali tertawa. Saking asyiknya mereka tertawa, tidak sadar kalau bel masuk sudah sejak tadi berbunyi.

***


“Difa!”
“Gilang!” ucap Difa dan Gilang bergantian saat mereka tak sengaja bertemu di salah satu rumah mewah. Rumah Angel.
“Senang bisa ketemu loe, Lang.” ucap Difa kemudian. Gilang tersenyum.
“Gue juga senang bisa ketemu loe, Dif.” balas Gilang. Lalu mata mereka terfokus pada sosok cewek berkaos biru serta bercelana jeans yang turun dari lantai atas bersama Mamanya. Cantik.
“Maaf udah nunggu lama, gue keasyikan baca novel soalnya.” jelas Angel ke arah Difa.
“Lho, ada Gilang juga?” tanya Angel kaget.
“Aduh, anak Mama ini gimana, sih? Tadi kan Mama udah bilang pas di kamar kamu kalau di ruang tamu ada dua cowok ganteng nungguin kamu.” ucap Mama Angel seraya mengusap lembut rambut anaknya itu. “Ya udah kalau gitu Tante mau lanjutin masak dulu, ya?” sambungnya ramah.
“Iya, Tante!” balas Gilang dan Difa kompak.
“Oh iya, kalau gitu gue balik duluan, ya?” pamit Gilang tiba-tiba.
“Lho, kok balik? Kan baru dateng?” tanya Difa.
“Iya nih si Gilang ada-ada aja. Terus loe ke sini mau ngapain?” tanya Angel sembari mengikuti langkah Gilang keluar rumah. Difa juga.
“Hmm… tadinya sih gue ke sini mau ngajak loe jalan-jalan, tapi berhubung loe udah ada janji sama Difa, ya gue batalkan.” jelasnya pasrah.
“Gimana kalau kita jalan-jalan bareng aja?” saran Difa semangat. “Biar Gilang juga gak sia-sia dateng ke sini.” lanjutnya.
“Boleh juga, tuh! So, menurut loe gimana, Lang? Mau ikut?” tanya Angel ke arah cowok yang sedang bimbang antara ikut atau tidak. Otaknya terus menimbang-nimbang. Kalau Gilang ikut, pasti Gilang bakalan jadi patung hidup yang terus dikacangin oleh Difa dan Angel. Sedangkan kalau Gilang gak ikut, kedatangannya ke rumah Angel tidak membuahkan hasil alias sia-sia belaka. Jadi, keputusannya adalah…
“Oke, gue ikut!” jawabnya mantap.
“Ya udah yuk berangkat! Nanti keburu sore.”
“Emangnya loe gak mau ganti baju dulu, Ngel?” tanya Difa.
“Gak usah deh, bikin ribet. Ayo cepetan!” jawabnya sambil ngeloyor menuju garasi rumahnya. Difa dan Gilang saling pandang dibuatnya dan mengangkat bahu mereka masing-masing.
“Mang Ujang, titip motornya Gilang, ya?” teriak Angel saat mau masuk ke mobil Difa. Kebetulan siang ini Difa sengaja bawa mobil, sedangkan Gilang bawa motor seperti biasanya ia ke sekolah.
“Jaga baik-baik ya, Mang.” ucap Gilang.
“Baik, Den! Serahkan semuanya sama Mang Ujang.” teriak Mang Ujang mantap. Ia menepuk dadanya pelan.

Mereka bertiga masuk ke mobil Difa. Gilang di kursi belakang, sedangkan Angel di depan bersama sang pengemudisiapa lagi kalau bukan Difa. Lalu mobil tersebut langsung melesat cepat ke suatu tempat yang sebelumnya sudah mereka niatkan. Selama perjalanan, tak ada obrolan yang terjalin di sana, hanya alunan musik melow yang menguasai saat itu. Hening. Mereka terlalu menikmati dengan kesibukannya masing-masing. Difa begitu fokus dengan lika-liku jalanan yang siang itu cukup padat. Meski sesekali matanya melirik Angel yang mulut mungilnya terus melafalkan lagu-lagu yang didengarnya dalam mobil. Difa tersenyum sesaat, kemudian kembali fokus mengemudi. Serasa diperhatikan, Angel langsung mengarahkan wajahnya keluar jendela. Kemudian ia langsung terkagum-kagum melihat pepohonan yang tertanam di pinggir jalan itu saling berkejaran. Sampai-sampai matanya seakan tergoda untuk terlelap sejenak. Sedangkan Gilang? Ia gak kalah asyik berkutat dengan Smartphonenya. Entah apa yang ia lakukan bersama gadget yang satu itu. Yang jelas Gilang terlihat menikmati kesibukannya tersebut.
“Oh iya, Marsha gimana kabarnya?” tanya Difa memecah aksi diam-diaman di dalam mobil.
“Oh, Marsha? Baik-baik aja, kok. Kemaren juga dia nanyain loe tuh, katanya udah lama gak ketemu.” jawab Angel santai. Hampir saja ia tertidur kalau Difa tidak bertanya padanya.
“Oh, ya? By the way, dia masih maniac Matematika nggak, sekarang?” tanya Difa lagi masih tetap fokus menatap jalanan.
“Kayak gak tau si Marsha aja loe, Dif. Mana mungkin dia benci sama Matematika? Yang ada dunia bakal kiamat kalau si Marsha sampe benci sama Matematika.” sedetik Angel mengucapkan hal tersebut, mereka pun tertawa lepas. Ralat! Angel dan Difa saja tepatnya. Gilang masih terlalu sibuk dengan gadget kesayangannya itu. Tapi tunggu! Dia itu sibuk apa pura-pura sibuk? Entahlah, sepertinya Gilang memang benar-benar tidak mau ikut campur dengan pembicaraan di kursi depanpembicaran Difa dan Angel.
“Padahal dia udah punya cowok lho, sekarang.” sambung Angel di tengah tawanya.
“Masa, sih? Siapa tuh cowoknya?” Difa penasaran.
“Iya. Temen kita waktu SMP juga, si Rafli.”
“Serius? Kok bisa gitu, ya?” kata Difa sedikit gak percaya.
“Seriusan! Udah hampir 3 tahun ini.” Difa mengangguk pelan sambil tetap fokus dengan kemudi yang ia pegang.
“Loe sih udah punya cowok belum, Ngel?” tanya Difa tiba-tiba. Sedetik, entah kenapa jantung Angel mendadak bergetar hebat mendengar pertanyaan Difa tersebut. Mulutnya terkunci rapat. Aduh, ini gue kenapa deg-degan kayak gini? batin Angel saat itu. Difa terlihat kebingungan melihat ekspresi wajah Angel yang berubah aneh.
“Nih, cowoknya ada di belakang!” timpal Gilang asalterkesan ingin mencegah sesuatu yang tidak ia inginkan. Angel mengernyitkan dahi ke arah Gilang yang tiba-tiba angkat bicara.
“Oh, jadi kalian berdua pacaran?” Difa mengangguk maklum.
“Kagak!!! Ngarang aja loe kalau ngomong, Lang! Gue sama Gilang gak pacaran kok, Dif.” bantah Angel. Gilang nyengir kuda. Sedangkan Difa memasang tampang innocent.
“Lagian gue dikacangin mulu dari tadi sama loe berdua. Ajak gue ngobrol kek sekali-kali.” Gilang memelas.
I'm so sorry, Lang. Gue tadi keasyikan flashback soalnya, jadi sampai lupa kalau ada loe di belakang. Sori, ya?” ucap Difa menyesal.
“Suruh siapa loe sibuk sendiri?” sambung Angel.
“Ya, gue cuma gak mau ganggu obrolan loe berdua aja. Makanya gue diem.”
“Alesan aja loe, Lang! Biasanya juga loe suka nimbrung gak jelas. Dasar!” cibir Angel seraya melempar tisu yang sudah dibulatkan sebelumnya. Dengan sigap si Gilang langsung menangkapnya.
“Eits! Gak kena. Hahaha…” ledeknya puas.
“Awas loe, ya!” Angel mengancam Gilang sembari tangannya mengepal.
“Ya udahlah, gak usah berantem! Lagian udah nyampe tempatnya, nih. Ayo turun!” ajak Difa semangat setelah memarkirkan mobil di depan sebuah restoran yang cukup sederhana itu.

***


Gilang membanting tubuhnya ke kasur. Cukup keras. Sehingga membuat cowok yang sudah terlebih dulu menghuni kasur tesebut langsung melonjak kaget. Untungnya si cowok tersebut tidak mengidap penyakit jantung, kalau iya bisa mati di tempat tuh anak. Gilang menggeliat, lalu membuang napas berat. Sedangkan si cowok tadi masih mencoba menstabilkan detak jantungnya akibat ulah Gilang. Cowok itu Ivanadiknya.
“Mau bikin aku jantungan, ya?! Bikin kaget orang aja!” tukas Ivan langsung. Gilang malah tertidur.
“Pake dikacangin, lagi. Kenapa sih, Kak? Ditolak Kak Angel, ya?” tanya Ivan bertubi-tubiterkesan sok tau.
“Sotoy loe, Van! Lagian siapa yang habis nembak, sih?” Gilang ikut nimbrung di samping adiknya yang sedang asyik mainan Laptop.
“Terus tuh muka kenapa? Kok lecek gitu? Habis lihat Kak Angel sama cowoknya, ya? Duh, kasihan abang aku ini. Cup-cup-cup…” ledek Ivan sambil menepuk pelan pundak kakaknya tersebut. Gilang menoyor kepala Ivan pelan.
“Aduh! Gak usah main tangan juga, kali.”
“Lagian loe jadi orang sotoynya kebangetan, sih! Sana loe pergi dari kamar gue! Gue pengen istirahat. Cepetan, gih!” Gilang langsung memukul adiknya pakai bantal guling. Ivan meringis.
“Bentar, tadi bilang apa? Ini kamar Kak Gilang? Ini kamar aku, tau! Harusnya Kak Gilang tuh yang pergi. Enak aja main ngaku-ngaku kamar orang.” protes Ivan kesal.
“Sejak kapan ini jadi kamar loe, hah? Mimpi!” bela Gilang gak mau kalah.
“Sejak tadi siang! Emangnya Kak Gilang gak bisa baca, ya? Udah jelas-jelas di pintu ada tulisan, ‘Kamar Cowok GantengIvan. Orang Jelek Dilarang Masuk!’ tuh lihat, kan?” Ivan menunjuk ke arah pintu. Gilang mendengus.
“Loe ngeselin juga ya lama-lama! Cepetan pergi, gue mau tidur!”
“Gak mau!”
“Pergi gak loe?!” Gilang mengancam akan membanting Laptop milik Ivan yang kini berada di genggamannya.
“Silahkan aja kalau berani.” timpal Ivan sembari menolak pinggang.
“Gilang, Ivan! Ada apa sih ribut-ribut? Berantem aja kayak anak kecil. Malu dong sama tetangga.” omel sang Mama yang tiba-tiba muncul di balik pintu. Dan itu cukup berhasil melerai pertikaian sengit antara Gilang dan Ivan.
“Tuh lihat, Ma! Masa Laptop Ivan mau dibanting sama Kak Gilang,” Ivan mengadu manja ke Mamanya.
“Gilang, turunin Laptopnya!” perintah sang Mama. Gilang memutar bola matanya kesal.
“Terus aja dibelain!” timpalnya.
“Lagian kamu kenapa sih, Lang? Kok gak mau ngalah sama adik sendiri. Malah berantem kayak anak kecil aja.” dirangkulnya Gilang dengan penuh kasih sayang.
“Gilang kan mau istirahat, Ma. Tapi si Ivan gak mau pergi dari sini. Bikin kesel!” adu Gilang ikut manjasama seperti yang dilakukan Ivan sebelumnya. Dasar anak manja! umpat Ivan dalam hati.
“Tapi kan ini kamar Ivan, Ma!” protes Ivan tetap memeluk tangan kiri Mamanya.
“Oh, iya! Mama lupa belum kasih tau Gilang kalau mulai sekarang kamar ini menjadi kamar Ivan.”
“Kok gitu sih, Ma? Terus kamar Gilang di mana? Di gudang?! Ah, gak adil!” Gilang melepaskan pelukan Mamanya.
“Lebih cocok tuh di gudang!” ledek Ivan. Gilang langsung menjitak kepala adiknya keras.
“Diem, loe!”
“Kamar Gilang di situ. Yang dulunya kamar Ivan.” tunjuk Mama ke arah luar.
“Itu kan kamarnya sempit, Ma. Udah gitu pengap, gak ada AC.” protesnya lagi. Mama membelai lembut rambut Gilang.
“Udah Mama pasang AC, kok. Cepet gih, sana.”
“Tuh kan, Ivan bilang juga apa? Gak percayaan sih jadi orang.” timpal Ivan sinis.
“Ah! Rese, loe!”
“Sudah, sudah! Jangan berantem lagi, ayo baikan!” perintah Mama ke Gilang dan Ivan.
“Males!” ucap Gilang langsung pergi meninggalkan Mama dan adiknya. Mama menggeleng pasrah. Ivan juga ikutan, di bibirnya terbesit senyum kemenangan.
“Lain kali jangan suka bikin kesal Kakak kamu lagi ya, Sayang?”
“Baik, Ma.”
“Awas ya kalau Mama sampai lihat kalian berdua berantem lagi, Mama bakal potong uang jajan kalian.” ucapnya sambil ngeloyor pergi. Ivan memelas.
“Tapi, Ma?!”
“Gak ada tapi-tapian!”
“Ayolah, Ma! Gak asyik, ih!” Ivan masih memampang wajah melasnya meski Mamanya sudah jauh pergi.

***


Difa merangkul Angel dengan ragu, “Kita istirahat dulu aja ya, Ngel?” ucapnya ketika melihat wajah Angel yang sudah kelelahan setelah berlari pagi cukup jauh. Hari ini, hari minggu. Difa dan Angel memang berjanjian untuk lari pagi bareng.
“Udah lama gue gak lari pagi, jadi cepet capek!” Angel mencoba menstabilkan napasnya. Difa tersenyum. Lucu juga melihat Angel kecapekan gitu.
“Faktor usia juga, sih.”
“Oh, jadi menurut loe gue udah tua, gitu?!” Angel mencibir.
“Ya begitulah. Hehehe…”
“Sialan loe, Dif! Eh, bagi minum dong!” pinta Angel dengan merebut paksa botol minuman yang digenggam Difa.
“Tapi itu bekas gue, Ngel! Gue bawa satu lagi di tas. Bentar, gue ambilin.”
“Ah, lama! Gue udah dehidrasi, nih. Toh loe juga gak punya penyakit rabies, kan?” tanya Angel geli dan dengan cepat meneguk minuman hasil rebutannya dari Difa. Difa menggeleng maklum.
“Loe itu emang gak pernah berubah ya, Ngel.”
“Gak pernah berubah? Maksudnya?” Angel tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud Difa tersebut. Lalu tak sengaja matanya bertemu langsung dengan mata Difa yang jaraknya begitu dekat. Indah. Jernih. Sempurna. Sampai Angel tidak tahan untuk memandangnya lebih lama. Ia berpaling dengan segera.
“Maksudnya? Hmm… ya begitu! Kalau diomongin itu susahnya minta ampun! Sama seperti dulu,” jelas Difa sekenanya. Angel mengangguk seraya membulatkan mulut mungilnya.
“Tapi menurut gue, elo malah berubah, Dif.”
“Masa, sih? Berubah gimana?” tanyanya penasaran.
“Iya, tambah cakep dikit.” Angel terkekeh geli.
“Bisa aja loe bikin orang GR.” kata Difa salting. Disenggolnya bahu Angel genit.
“Seriusan, lho! Dulu, sewaktu masih SMP loe itu sama sekali gak ada matanya, kalau sekarang sih agak mendingan. Hahaha…” sindir Angel puas.
“Kalau gitu masih mending gue, dong? Daripada elo badannya tambah gendut aja.” balas Difa sambil mencubit pipi chubby Angel. Mendengar itu, Angel langsung mengembungkan pipinya. Kesal.
“Aduh, jeleknya! Gitu aja kok ngambek.” goda Difa seraya mencolek badan Angel yang terbilang subur makmur.
“Siapa yang jelek? Gue kan imut! Hahaha…”
“Huh, dasar!” Difa mencoba merangkul cewek yang duduk di sampingnya tersebut. Namun…
“Pulang yuk, Dif? Udah agak siang, nih.” Angel bangkit dari duduknya. Sedetik, Difa langsung menahan pergelangan tangan Angel.
“Angel?” panggilnya pelan. Bahkan mungkin sangat pelan.
“Kenapa, Dif?” balasnya dengan mengernyitkan dahi. Ia kembali duduk di samping Difa.
“Kalau aku nembak kamu sekarang, apa kamu akan memberi jawaban yang sama seperti dulu?” tanya Difa yang sukses membuat Angel terpaku di tempat. Maksudnya apaan, sih? batinnya.
“Jujur, aku sempat sakit hati pas kamu tolak. Tapi aku coba tutupi demi kamu, dan aku juga menghargai keputusan kamu yang lebih memilih sekolah ketimbang pacaran. Namun itu bukanlah alasan untuk aku berhenti mencintai kamu, Ngel.” Angel terdiam, matanya begitu dalam menatap mata Difa yang saat ini berlutut di hadapannya.
“Dan satu lagi, aku sangat bersyukur sama Tuhan karena Dia telah mempertemukan aku kembali dengan orang yang begitu aku cintai setelah kurang lebih 3 tahun tidak bertemu. Aku merasa sangat beruntung bisa ketemu sama kamu lagi, bisa berangkat dan pulang sekolah bareng lagi, dan yang paling penting aku bisa melihat wajah kamu lagi kapanpun aku mau.” Difa tersenyum.
“Difa,” ucap Angel sedikit lirih.
“Aku tau ini terlalu cepat buat kamu, Ngel. Tapi aku sudah tak sanggup lagi menyimpan perasaan ini lebih lama. Maaf, bukannya aku egois.” ucap Difa setengah menunduk. Lantas, Angel mengangkat dagu cowok yang ada di pangkuannya itu perlahan. Matanya berlinang. Sendu.
“Bukan kamu aja yang merasakan hal tersebut, Dif. Aku juga sama,” ucap Angel tegas seraya melangkah menjauhi Difa yang masih terduduk.
“Perpisahan itu ternyata membuat aku menyadari dan merasakan betapa sakit dan perihnya kehilangan seseorang yang dicintai. Bahkan itu jauh lebih sakit rasanya dari penyakit apapun.” Angel menatap lurus jalanan beraspal pekat itu.
“Sungguh?” tanya Difa sembari menapaLangn langkahnya mendekati Angel. Angel mengangguk pasti.
“Boleh aku meluk kamu, Ngel?”
“Hmm… why not?” jawabnya mantap dengan merentangkan kedua tangannya lebar. Mereka pun hanyut dalam pelukan, tak menghiraukan ada berapa banyak pasang mata yang menyaksikannya sambil tersenyum serta menggelengkan kepalanya.
“Aku sayang kamu, Ngel! Sampai kapanpun.” ucap Difa pas di telinga Angel. Lalu melepaskan pelukannya perlahan.
“Ini untuk yang kedua kalinya aku bilang, bolehkah aku jadi pacar kamu?” Angel masih terpaku. Cukup lama. Hening. Mungkin hanya detak jantung mereka yang terdengar.
“Apa ada alasan lain untuk kamu menolak aku?” sambung Difa penasaran.
“Entah kenapa kali ini aku kesusahan untuk mencari alasan buat nolak kamu, Dif.” jawab Angel diiringi senyum manisnya.
So, jawabannya?” Difa menatap Angel penuh harap.
“Aku terima.” kata Angel semangat. Mereka kembali berpelukan. Lebih mesra dari sebelumnya.

***


Koridor sekolah masih terlihat sepi. Dengan wajah penuh ceria, Angel melangkahkan kakinya menyusuri beberapa ruang kelas yang masih belum berpenghuni. Namun tiba-tiba matanya memicing ketika melihat di arah depan ada seseorang yang bergaya rambut harajuku berjalan dengan santai ke arahnya. Gilang? Ngapain tuh anak? ucap Angel dalam hati. Gilang merangkul dan menuntun Angel ke suatu tempat tanpa suara sedikitpun. Sebentar, ini ada apa? umpat Angel lagi. Ia cuma bisa memandang heran wajah Gilang yang kala itu terlihat lebih berseri dari sebelum-sebelumnya.

Sejenak, Gilang menghentikan langkahnya, ditatapnya bola mata Angel dalam. Damai. Rasanya Gilang tak ingin kehilangan kesempatan ini sekejap pun. Begitu lama mereka terdiam dalam hanyut. Lalu Gilang menuntun sudut pandangan Angel ke suatu tempat yang dipenuhi dengan lilin-lilin kecil berwarna putih yang tersusun rapi tanpa jeda di tengah lapang basket. Sedetik, Angel menutup mulutnya rapat-rapat saat arah pandangnya tertuju pada tulisan ‘Aku Cinta Kamu, Angel!’ di antara lilin-lilin putih tersebut.
“Maaf kalau kamu gak suka, Ngel. Aku cuma ingin mengungkapkan perasaan aku aja sama kamu.” kata Gilang tulus. Sedangkan Angel masih belum ingin menatap wajah Gilang untuk kedua kalinya. Ia terlalu takut kalau ini memang benar kenyataannya.
“Jujur, aku jatuh cinta sama kamu pada pandangan pertama. Di mana waktu MOS dulu, aku selalu memandangimu dari jauh, menatap setiap canda tawa yang kamu pancarkan saat bermain dengan teman-teman baru kamu.” ucapnya tulus. Angel masih diam.
“Kamu itu terlihat beda dari yang lain, Ngel. Dan sampai sekarang pun aku belum tau apa yang membedakan kamu dengan cewek-cewek lain. Aku cinta kamu, Angel!” Gilang meraih kedua tangan cewek yang lama mematung di hadapannya.
“Aku mau jadi pacar kamu.”
“Tapi kenapa baru sekarang kamu bilang kalau kamu cinta sama aku, Lang?” tanya Angel tegas. Matanya berubah sendu. Kini giliran Gilang yang terdiam. “Apa karena kamu takut kalau nanti aku tolak? Iya?!” tanya Angel lagi dengan melepas paksa genggaman Gilang.
“Aku cari waktu yang tepat untuk semua ini, Ngel. Dan aku rasa ini merupakan waktu yang sangat tepat.” jawabnya mantap.
“Maaf Lang, kamu salah, ini bukan waktu yang tepat. Aku sudah punya pacar. Dan aku gak bisa terima kamu jadi pacar aku.”
“Angel, aku mohon…” lirihnya.
“Aku gak bisa, Lang!”
“Tolong beri aku kesempatan sekali lagi, Ngel. Aku janji bisa jauh lebih baik dari pacar kamu yang sekarang.” Gilang berlutut di kaki Angel.
“Tapi aku gak bisa, Lang. Kamu ngertiin aku, dong!” bentak Angel keras. Lalu ia berlari meninggalkan Gilang perlahan.
“Angeeeell…” teriak Gilang seraya menitikan air mata. Tubuhnya penuh keringat.
“Gilang, bangun!” suara bising terdengar keras di telinga Gilang. Ia mendongakan kepalanya pelan, dilihatnya sosok tua berkaca mata sedang menolak pinggang tepat di hadapannya. Sedetik, Gilang segera bangkit dan mengusap wajahnya dengan sapu tangan.
“Bapak paling gak suka kalau ada siswa yang tidur saat pelajaran Bapak berlangsung!” kata Pak Agungguru Matematika yang siang itu mengajar di kelas Gilang.
“Maaf Pak, saya ketiduran.” balas Gilang polos. Lantas membuat seisi kelas tertawa.
“Diam semuanya! Sekarang kamu keluar!” suruh Pak Agung tegas. Lantas Gilang langsung bangkit dari kursinya dengan sedikit sempoyongan. Dan sekilas ia menangkap wajah Angel sebelum ia benar-benar keluar. Kelas kembali hening.
“Dan Bapak tidak akan segan-segan untuk memberi hukuman yang lebih kalau masih ada yang tidur saat pelajaran Bapak berlangsung. Mengerti?!” kata Pak Agung tegaslebih tepatnya mengancam.
“Mengerti, Pak!” koor anak-anak kompak.
“Si Gilang kayaknya habis bergadang, deh.” bisik Marsha ke teman sebangkunyaAngel.
“Mana gue tau?” balas Angel ikut berbisik.
“Buktinya sampe tidur di kelas gitu. Apa jangan-jangan dia lagi sakit, lagi.”
“Bisa jadi,” respon Angel ogah-ogahan. Ia terlalu sibuk menyalin semua rumus Matematika yang tertera di Whiteboard.
“Sakit apa ya kira-kira?”
“Dipikirin amat sih, Sha?” sewot Angel pelan.
“Dia kan sahabat kita, Ngel!”
“Loe pengen dilempar penghapus sama Pak Agung?!” kata Angel mengancam Marsha yang sedari tadi heboh sendiri.
“Gak mau gue!”
“Marsha, Angel!!! Kalian mau keluar juga seperti Gilang?!” bentak Pak Agung saat mendengar suara Marsha yang keras.
“Nggak Pak, maaf.” ucap mereka bersalah.
“Gara-gara elo, sih!” tuduh Angel dengan menyenggol pundak Marsha. Marsha menekuk wajahnya.

***


“Ngel, gue suka sama loe!” Angel dan Marsha yang lagi seru-serunya ngobrol di Pos Satpam pas pulang sekolah itu pun mendadak mengangkat alis heran begitu Gilang dengan tiba-tiba mengucap kalimat tersebut.
“Loe nembak Angel, Lang?” Marsha memandang cowok bergaya rambut harajuku itu dengan pandangan tak biasa. Gilang mengangguk cepat. “Gila loe, ya!” tukas Marsha kemudian.
“Emang salah gue nembak Angel? Bukannya loe pernah saranin gue buat nembak Angel ya, Sha?” Marsha terkesiap mendengarnya.
“Tapi cara nembak loe ini nggak banget, Lang!” cibir Marsha penuh penekanan di kata-kata terakhir. Angel hanya menatap dua sahabatnya itu aneh.
“Ngel, loe mau kan jadi pacar gue? Gue gak bohong nih, gue beneran nembak loe.” Angel menghela napas.
“Loe nembak gue gak ada romantis-romantisnya amat sih, Lang?!”
“Semua orang kan punya cara masing-masing buat nembak gebetannya. Ya, inilah cara gue.” Gilang melebarkan tangannya.
“Ya, gue tau! Dan cewek yang ditembak juga mempunyai cara masing-masing buat nerima cowok yang nembaknya itu.” jelas Angel dengan melipat tangannya di dada serta memberi senyum meremehkan.
“Maksud loe?”
“Maksudnya, Angel itu nolak loe secara halus, Gilang Aditya!” timpal Marsha cengengesan. Gilang mendengus.
“Bukan nanya sama loe, Badut Ancol!” Marsha melotot mendengar ledekan Gilang barusan.
“Mau kan jadi pacar gue? Ayolah,”
“Gimana, ya? Bukannya gue gak mau sih, tapi…”
“Tapi apa? Gue gak romantis? Apa gue kurang ganteng?” Gilang mengecek tubuhnya teliti.
“Jangan terima Ngel, sok ganteng tuh anak.” lagi-lagi Marsha menyahut. Padahal dia sudah dibelakangi sama tubuhnya Gilang yang lumayan bidang.
“Berisik loe, Sha! Loe bukannya dukung gue, malah ngomporin orang. Dasar badut!” tukasnya.
Don't call me badut, Gilang Aditya! Gue terlalu cantik buat jadi badut.” Marsha menjitak keras kepala Gilang. Membuat cowok tersebut meringis kesakitan.
“Ini acara nembak atau acara apaan, sih?! Heran gue,” tukas Angel sedikit naik darah melihat ulah Gilang dan Marsha yang mendadak kayak anjing dan kucing.
“Sori Ngel, sori. Jadi gimana, nih? Loe mau jadi pacar gue atau nggak?” tanya Gilang lembut.
“Maaf ya Lang, gue gak bisa.” Angel mencoba tersenyum di tengah keraguannya untuk menolak seorang Gilang. Seseorang yang selalu ada untuknya disaat semua orang menghilang. Seseorang yang sering membuatnya tersenyum meski terkadang tingkahnya itu menyebalkan. Dan seseorang yang paling bisa diandalkan dari sahabat-sahabatnya yang laintermasuk Marsha. Gilang, maafin gue! batinnya.
“Oh, ya udah gak apa-apa, kok. Dengan lapang dada gue terima. Yang penting gue udah coba ungkapin perasaan gue sama loe, itu udah cukup.” mata Gilang memancarkan sinar kekecewaan yang begitu nyata meskipun ia mencoba menutupi dengan seulas senyumnya yang manis. Tapi mata tetap tidak bisa berbohong. Tiba- tiba Angel memeluknya erat.
“Maafin gue ya, Lang? Loe gak tepat waktu.” bisiknya di telinga Gilang. Apakah ini arti dari semua mimpi gue? Lalu apa arti dari kalimat gak tepat waktu? umpat Gilang dalam hati.
“Turut berduka cita ya, Lang?” ledek Marsha yang cukup lama terdiam. Ia menepuk pelan pundak cowok yang masih dipeluk Angel itu.
“Sini loe peluk gue juga!” ujarnya jahil. Dalam sekejap Angel dan Marsha sudah mendarat di dada bidangnya Gilang Aditya.
“Apaan, sih?!” mereka membuka paksa rangkulan Gilang. Si pelaku hanya mengangkat tangannya dibarengi dengan seringaian jahil dari mulutnya.
“Kita itu memang ditakdirkan untuk bersahabat. Dan bagi gue, sahabat itu segalanya ketimbang pacar. Iya, kan?” ucap Angel bijak.
“Tapi baru kali ini lho gue ditolak cewek,” Gilang menggaruk kepalanya.
“Suer, loe? Ah, gak percaya gue.” tentang Marsha mantap.
“Mungkin cara nembak loe harus diperbaiki kembali, Lang. Harus lebih romantis! Dan satu lagi, jangan sok kegantengan kalau mau nembak cewek. Inget itu!” sindir Angel sekenanya. Gilang merengut. Derajatnya turun mendadak di hadapan dua orang cewek tersebut. Lalu, mereka pun tertawa. Gak jelas. Membuat Pak Satpam yang sebelumnya tertidur pulas di ruang jaga itu terbangun dengan kagetnya. Dasar anak ABG, ganggu orang tidur aja! rutuknya dalam hatimungkin.

***


Bandung, Desember 2004.


Semesteran baru saja selesai 2 hari yang lalu. Hari ini, Sabtu, Gilang CS ditambah Difa serta Ivan menyambangi sebuah tempat yang mungkin sangat cocok untuk menghilangkan penat di otak setelah seminggu penuh mengerjakan soal-soal semesteran. Ke Pantai. MerekaDifa, Gilang dan Ivan sejak tadi sibuk memperebutkan kulit bundar yang sengaja dibawa Gilang di tepian pantai. Marsha dan Rafli menghabiskan sesi berduaannya dengan ngobrol sambil makan-makan kecil di bebatuan yang memang sudah didesain sedemikian rupa sehingga seperti tempat duduk mungil. Dan satu lagi, Angel… sedari tadi menekuk wajahnya karena tulisan-tulisan cantik yang sudah susah payah ia buat itu lagi-lagi terhapus oleh sapuan ombak. Ia membuang napas kesalnya seketika.
“Sayang, lempar bolanya dong!” bola kulit berwarna cokelat tua itu menyentuh pinggang Angel yang sedang duduk. Ia memegang bola itu, memandangnya, lalu melemparkan ke arah cowok yang tadi meminta bola tersebut.

Kembali, Angel memandangi garis horizontal yang membatasi warna alam biru langit dan biru air laut. Lambat laun, di ujung sana terlihat satu titik putih yang semakin lama semakin membesar. Perahu nelayan. Indah sekali. Tiba-tiba Angel merasa bahwa ada seseorang yang ikut duduk di sampingnya. Ivan Aditya.
“Kak Angel lagi ngapain?” tanya Ivan sambil menerawang pandangan Angel.
“Keren ya, Van?” Ivan mengangguk setelah sebelumnya sudah mengerti apa yang dimaksud Angel tersebut.
“Minum, Kak?” tawarnya. Angel menggeleng, di tangannya ia tunjukan ke Ivan kalau ia juga bawa minuman. Ivan membulatkan mulutnya.
“Oh iya, bukannya loe lagi main bola ya, Van? Kok ke sini?” tanya Angel heran.
“Capek, ah! Lagian gak seru mainnya cuma bertiga, doang. Apalagi Kak Gilangnya curang,” Ivan mencibir.
“Abang loe emang gitu, Van. Ngeselin anaknya!” mereka berdua beralih memandangi dua orang cowok yang kini sedang asyik bermain voli. Tunggu, main voli pakai bola sepak? Aneh.
“Ternyata Kak Difa itu orangnya asyik ya, Kak? Walaupun aku baru kenal dia hari ini, tapi berasa udah akrab aja.” pendapat Ivan tentang Difa. Angel begitu serius mendengarnya.
“Terus?”
“Terus Kak Difa itu orangnya care, humoris, dan gak pernah membeda-bedakan seseorang dengan orang lain. Pokoknya beda deh dari kakak-kakak kelas yang pernah aku kenal sebelumnya.” dilihatnya oleh Angel cowok yang lagi dibahas oleh Ivan barusan. Manis! umpatnya begitu melihat Difa tertawa lepas bersama Gilang.
“Oh gitu, ya?” Angel mengangguk perlahan tanpa berpaling memandang Difa.
“Udah gitu Kak Difa juga cakep, pantes aja Kak Angel lebih memilih Kak Difa ketimbang Kak Gilang sebagai pacar.” Ivan menyenggol badan Angel yang masih sibuk dalam aksi pandang memandang seorang Difa.
“Apaan sih loe, Van? Lagian loe bukannya baik-baikin abang loe sendiri di depan gue, malah ngejelek-jelekin dia. Dasar bocah!” Ivan nyengir.
“Udah deh Kak, gak usah merah gitu mukanya. Tuh lihat Kak Difa ke sini.” Ivan menunjuk cowok berbadan tinggi yang sedang berjalan ke arah mereka.
“Sekarang giliran gue ya, Van.” kata Difa ramah.
“Siap, Kak! Maaf ya, aku pacarin bentar tadi Kak Angelnya. Kalau gitu sekarang cowok ganteng ini mau berenang dulu di laut. Bye!” pamit Ivan sambil ngeloyor pergi.
“Sok ganteng loe, Van! Awas tuh kebawa arus!” teriak Angel keras. Difa terkekeh melihat tingkah anak satu itu. Dasar bocah! batinnya.

Mendadak, suasana kembali seperti semula, jauh sebelum ada Ivan datang menemani Angel. Lembayung yang semakin keruh warnanya itu menjadi objek pandang Angel kali ini. Cukup lama hening berkuasa di antara mereka. Hanya terdengar debur ombak yang kian melebar ke tepi pantai. Sejenak, Angel menyandarkan kepalanya ke pundak Difa. Damai. Sedangkan di sisi lain ada sepasang mata yang memandang mereka sendu. Antara cemburu, terharu, senang serta sedih. Entah apa yang sebenar-benarnya ia rasakan saat itu. Gilang.
“Gue harus buang jauh-jauh perasaan ini!” rutuknya pelan. Ia memasuLangn kedua tanggannya ke dalam saku celana, kemudian berjalan mundur dan menjauh sejauh-jauhnya dari merekaDifa dan Angel yang sedang menikmati sunset yang begitu indah berduaan.
“Aku sayang sama kamu, Ngel.” Difa membelai lembut rambut cewek di sampingnya. Lalu tersenyum.
Me too! I want forever and ever with you, Difa.” ucap Angel dengan menatap lekat bola mata Difa yang kala itu benar-benar bening.
Always together, you and me. Ku harap hanya kematianlah yang mampu memisahkan kita. Tapi aku yakin, meski kematian itu memisahkan kita, cinta kita akan selalu ada. Selamanya.” Difa menyentuh kedua pipi Angel perlahan. Rasanya nyaman sekali Difa memandang wajah Angel yang terlihat lebih mempesona dari sebelumnya. Seketika, Angel merasakan sensasi hangat, lembut dan lembab mendarat di bibirnya. Bibir Difa.

Lembayung kian menghitam. Ombak pun ikut memperlambat alirannya. Mereka ikut merasakan apa yang sedang dirasakan Difa dan Angel. Lalu, mentari tenggelam seketika di mana sebelumnya sempat memberi senyuman terakhirnya ke arah dua insan yang sedang dilanda asmara.


The End.           

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar