@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Senin, 26 Agustus 2013

One Special

Sudah hampir berjam-jam Sivia berkutat dengan aktivitas yang sudah digelutinya sejak siang tadi. Entah apa yang Sivia kerjakan di dalam kamarnya tersebut. Yang jelas, di sana banyak berserakan benda-benda seperti gunting, lakban, kertas warna-warni dan satu kotak lumayan besar yang entah ada sesuatu apa di dalamnya.

Sesekali ia mengernyitkan dahi ketika otaknya sudah kehilangan ide untuk menyelesaikan aksi rahasianya tersebut.
“Duh, gimana ya? Bingung nih,” gumamnya seraya menggigit kuku pada jari telunjuknya. Baru saja Sivia akan menemukan ide cemerlangnya, tiba-tiba sebuah ketukan pintu mengusik dua gendang telinganya dan itu berhasil membuyarkan ide cemerlang yang didapat Sivia sebelumnya. Ia mendecak kesal.
“Siapa?” teriak Sivia malas.
“Edha, Kak. Aku boleh masuk gak?” pinta seseorang yang mengaku bernama Edha tersebut. Sivia membuang napas.
“Masuk aja, Dha. Gak dikunci kok,” jawabnya langsung. Sedetik, pintu kamar Sivia terbuka dan muncul seorang cowok bertubuh tinggi, berkulit putih, mata sipit ditambah dengan rambut hitam pekat yang menutupi kening cowok tersebut. Ia adalah adik dari Sivia, Raydha Airlangga atau lebih sering dipanggil Edha.

Usia Raydha sama Sivia itu hanya beda satu tahun. Tapi mereka berdua sangat mirip, bahkan banyak yang bilang kalau mereka berdua itu kembar. Dan bagi yang belum mengetahui kalau mereka saudaraan, banyak juga yang menganggap Sivia dan Raydha itu pacaran. Karena mereka lumayan sering banget jalan berdua di sekolah dan itu membuat semua cewek atau cowok yang mengaggumi mereka itu patah hati.

Ya, tapi itu dulu. Sebelum Sivia mempunyai pacar. Sekitar setahun yang lalu.
“Lho? Ini kamarnya kenapa, Kak? Kok berantakan gini sih?” syok Raydha begitu matanya tertuju pada benda-benda yang berserakan di sekitar tubuh Sivia. Seketika, Sivia nyengir dan mengangkat kedua jarinya.
“Kakak lagi gak stres kan?” tanya Raydha memastikan sambil menyentuh lembut kening kakaknya tersebut. Sivia mendengus dan melepaskan tangan Raydha seketika.
“Kamu ngira Kakak stres? Kurang ajar!” kini giliran Raydha yang memamerkan deretan gigi putihnya. Tiba-tiba Sivia tersenyum.
“Tuh kan stres? Tadi marah, sekarang malah senyum-senyum gak jelas.” kata Raydha heran. Ia sedikit menjauh dari Sivia.
“Enak aja! Kakak senyum karena lihat mata kamu yang tenggelem kalau lagi nyengir. Hahaha lucu tau,” Sivia terkekeh. Untuk sejenak, Raydha menghela napas kesalnya.
“Emang situ kagak?!” sinis Raydha. Sivia tergelak.
“Kakak? Kakak sih mendingan kali, ya setidaknya kelihatan dikit.” Sivia memeletkan lidahnya.
“Yayaya.” kata Raydha malas.
“Lagi bikin apa sih, Kak?” tanyanya kemudian.
“Pengen tau aja ih.”
“Emang gak boleh?”
“Enggak!”
“Sejak kapan Kak Via pelit?” Raydha mengembungkan pipinya.
“Untuk yang ini beda. Maaf-maaf aja,” Sivia mengacak pelan poni adiknya tersebut.
“Oh gitu ya sekarang? Oke!”
“Daripada kamu diem di sini, mending kamu bantu Kakak bikin ini.” pinta Sivia ramah. Tangannya kembali berkutat dengan kegiatan yang sudah digelutinya sejak tadi. Raydha menyeringai jahil.
“Ogah!” tolak Raydha seraya menutup kepala Sivia dengan plastik yang tergeletak di sampingnya tadi. Lantas ia langsung kabur dari kamar Sivia sebelum diamuk balik oleh kakaknya itu.
“Eddhhhhaaaa!!!” teriak Sivia kesal. Sangat kesal bahkan.
“Nyebelin banget sih kamu!”

***


“Hei, sendirian aja?” Sivia menepuk pundak adiknya yang sedang duduk di depan rumah.
“Biasanya juga sendiri kali,” ucapnya begitu Sivia ikut duduk di sampingnya.
“Lagi lihat apaan sih?” tanya Sivia sembari mengikuti arah pandang adiknya.
“Bintang?” lanjutnya. Raydha menggeleng.
“Bukan. Tapi lagi lihat Mama,” lirih Raydha kemudian. Sivia melirik wajah adiknya perlahan. Ia melihat tatapan sendu di mata Raydha.
“Kak, Edha kangen Mama.” ucap Raydha tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari bintang yang malam itu bersinar paling terang. Sivia tak bergeming. Ia tau apa yang dirasakan adiknya tersebut.
“Kakak juga kangen, Dha.”
“Apa Mama baik-baik aja di sana?” Raydha menatap Sivia, meminta jawaban.
“Mama pasti baik-baik aja kok. Mama pasti tenang di sana, di surga.” jawab Sivia yakin. Sejenak, Raydha menyandarkan kepalanya di pundak Sivia.
“Kakak masih ada kok di sini. Jadi kamu tenang aja,” Sivia mengelus ubun-ubun adiknya perlahan. Raydha tak bergeming.
“Besok Kakak nebeng motor kamu ya?” pinta Sivia memecah keheningan. Raydha mengangkat kepalanya.
“Tumben,” kata Raydha penuh heran. Karena sebelumnya Sivia memang sering sekali diantar jemput oleh pacarnya. Bahkan terakhir kali Sivia berangkat bareng adiknya itu tiga bulan yang lalu.
“Gak boleh? Ya udah,” Sivia memalingkan tubuhnya membelakangi Raydha.
“Bukan gitu. Emangnya gak bareng Kak Alvin?”
“Lagi pengen sama kamu aja. Gimana? Untuk beberapa hari ini aja kok.” kata Sivia penuh harap. Raydha mengangguk.
“Ya udah,” lantas Raydha merasakan pelukan erat dari kakaknya tersebut.
“Lagi marahan ceritanya nih?” tebaknya kemudian.
“Enggak juga.”
“Terus?”
“Pengen tau aja sih.”
“Kepo dikit gak apa-apa kan?” kata Raydha sambil tersenyum.
“Pengen ngasih kejutan aja.”
“Oh gitu,”
“Iya. Eh, masuk yuk? Gak baik juga kalau lama-lama kena angin malem.” ajak Sivia yang sudah berdiri duluan. Raydha terkekeh.
“Kaya lagu aja, Kak. Hahaha.” Sivia langsung mengernyit seketika.
“Udah gak usah dipikirin.” bisiknya sambil berlalu ke dalam rumah. Sivia masih mematung. Masih belum mengerti dengan kata-kata yang dilontarkan adiknya tersebut. Begitulah.
“Selamat malam!” kata Sivia sebelum menutup rapat pintu rumahnya.

***


Sivia membenamkan wajahnya di atas meja setelah beberapa detik bel istirahat berbunyi dan guru yang tadi mengisi pelajaran di kelasnya pun keluar begitu saja tanpa pamit. Mata Sivia terasa begitu berat untuk dibuka walaupun hanya beberapa detik. Entah virus apa yang menerpanya? Padahal sebelumnya ia segar bugar saat berangkat sekolah bersama Raydha. Tapi sekarang Sivia malah terlihat tak bergairah sama sekali. Apa karena pelajaran matematika tadi? Entahlah.

Sesekali Ify一teman sebangku Sivia一mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Sivia perlahan. Tapi Sivia tetap tak merespon sedikitpun.
“Kantin yuk, Vi? Aku laper nih.” ajak Ify maksa. Sivia masih tak bergeming.
“Via bangun dong!” lagi-lagi Ify menggoncangkan tubuh Sivia.
“Ntar aku nyusul deh, aku ngantuk nih. Kamu duluan aja ya?” lirih Sivia malas. Ify hanya membuang napasnya maklum.
“Ya udah deh kalau gitu. Aku tinggal ya, Vi?” Sivia mengangguk pelan dan membenamkan kembali kepalanya ke atas meja.
“Via?” tiba-tiba Sivia mendecak setelah sebuah sentuhan mendarat di kepalanya.
“Kan udah aku bilang, kamu duluan aja ke kantin. Ntar aku nyusul kok.” kesal Sivia tanpa mendongakan kepalanya sebentar pun.
“Kamu sakit? Kita ke UKS yuk?” Sivia langsung bangun setelah mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya.
“Alvin?”
“Iya. Kamu sakit, Vi?” Alvin menyentuh kening Sivia perlahan.
“Enggak kok, aku cuma ngantuk.” kata Sivia yang kembali menopang dagunya. Alvin mengangguk.
“Abis begadang mbak semalem?” seketika Alvin terkekeh dan membelai lembut poni cewek yang kini wajahnya terlihat lecek itu.
“Cuci muka dulu gih! Terus kita ke kantin. Belum sarapan kan?” Sivia menggeleng manja.
“Gendong,” pintanya kemudian.
“Gendong? Ini di sekolah mbak, gak malu sama yang lain?”
“Pelit!”
“Bukan gitu juga,”
“Tau ah!” Sivia ngeluyur begitu saja di hadapan Alvin yang masih berdiri kebingungan.
“Via, Via.” lantas ia mengikuti langkah pacarnya dari belakang.

Selama perjalanan, Alvin tak henti-hentinya dibuat ketawa oleh tingkah Sivia yang berjalan gontai, bahkan sesekali ia hendak jatuh karena saking ngantuknya.
“Cepetan cuci muka!” suruh Alvin seraya mendorong pelan tubuh Sivia.
“Iya-iya sabar.” Alvin kembali terkekeh geli dibuatnya.
“Basuh yang banyak airnya.”
“Iya bawel!” teriak Sivia di dalam toilet.
“Udah?” tanya Alvin setelah beberapa detik Sivia keluar dari toilet. Sivia tersenyum.
“Kelihatannya aja gimana?”
“Kok gak ada perubahan sih? Sama aja kayak sebelumnya, jelek. Hehehe.” ledek Alvin seraya mencubit hidung mancung cewek yang ada di hadapannya tersebut.
“Dih, sakit tau!”
“Bodo! Emang aku pikirin?” Alvin langsung merangkul Sivia dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
“Dasar nyebelin!” Sivia mencubit perut Alvin keras.
“Ish! Sakit banget tau!” Alvin meringis.
“Impas kan? Hahaha.”
“Ketawa lagi,”
“Bodo!”
“Ish! Awas ya nanti aku bales.” ancam Alvin spontan.
“Siapa takut?” tantang Sivia yakin. Tiba-tiba Alvin tersenyum jahil.
“Eh, mau apa kamu?!” bentak Sivia begitu Alvin berusaha mendekatkan wajahnya ke wajah Sivia. Alvin tak menghiraukan ucapan Sivia, ia terus mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan wajah pacarnya tersebut. Sivia langsung menutup wajahnya seketika.
“Kenapa ditutup sih?”
“Aku takut,”
“Takut kenapa?”
“Kamu, kamu mau cium aku kan?” tanya Sivia gugup. Alvin tertawa.
“Hahaha siapa juga yang mau cium kamu? Pede amat!” ledek Alvin yang berhasil membuat wajah Sivia berubah merah.
“Terus tadi mau ngapain?” tanya Sivia polos.
“Pengen banget ya aku cium?” Alvin kembali tersenyum jahil ke Sivia.
“Ogah!”
“Sini aku cium!” ledek Alvin lagi. Sedangkan Sivia langsung lari meninggalkan Alvin yang seperti orang kesurupan itu.
“Stres kamu, Vin!” teriak Sivia sembari memeletkan lidahnya. Alvin tertawa. Tertawa puas melihat Sivia yang salah tingkah tersebut.

***


Ify berjalan menelusuri koridor sendirian. Ia begitu santai melangkahkan kaki seraya mulut mungilnya terus-terusan mendendangkan sebuah lagu yang mungkin sedang mewakili perasaannya saat ini. Dan beberapa detik setelah melewati parkiran yang ada di sekolah, Ify menghentikan langkahnya saat seseorang memanggil namanya.
“Kak Ify?” lantas Ify memicingkan mata sesaat, memastikan lebih jelas siapa yang memanggilnya.
“Raydha?” gumamnya setelah mengetahui seseorang yang memanggilnya tadi. Ify berjalan mendekati Raydha.
“Ada apaan, Dha?” tanya Ify kemudian.
“Kak Via mana? Kok gak bareng sama Kak Ify?” tanya Raydha heran.
“Via? Bukannya Via udah pulang duluan? Emang dia gak bilang?” Raydha mengernyitkan keningnya. Lalu ia menggeleng.
“Kalau boleh tau, Kak Via pulang sama siapa ya? Sama Kak Alvin?”
“Kurang tau juga kalau itu. Tadi dia cuma izin pulang duluan aja.” Raydha mengangguk perlahan.
“Oh gitu ya? Hmm Kak Ify mau pulang?” tanya Raydha kemudian. Ify mengangguk.
“Mau bareng aku gak, Kak?”
“Hmm enggak usah deh, takut ngerepotin. Makasih ya sebelumnya? Kakak mau naik angkot aja.” tolak Ify ramah.
“Gak apa-apa kok, Kak. Lagian kan rumah kita searah, jadi apa salahnya? Hitung-hitung menghemat uang lah.” tawar Raydha lagi sedikit memohon.
“Tapi? Hmm ya udah deh.”
“Nah gitu dong!” lantas Ify langsung naik ke atas motor Raydha yang sejak tadi belum dinyalakan mesinnya.
“Udah, Kak?”
“Sip! Jangan ngebut-ngebut ya, Dha!”
“Siap, Kak!” motor yang mereka tumpangi pun melesat cepat seketika.

***


Alvin melirik arlojinya perlahan. Sudah 15 menit ia menunggu, tetapi orang yang ditunggu belum juga menampakan sosoknya di hadapan Alvin.
“Maaf ya lama.”
“Gak apa-apa kok. Ya udah yuk berangkat, takut kesorean.” ajak Alvin seraya meraih tangan pacarnya tersebut. Sivia.

Siang ini, sepulang dari sekolah, Alvin ingin mengajak Sivia ke Butik milik Mamanya. Selain Alvin yang ingin ajak Sivia, itu juga karena Mama Alvin ingin berbagi pengalaman dengan Sivia dalam perjalanannya membangun Butik yang saat ini cukup terkenal itu. Alvin cukup senang mendengarnya sekaligus khawatir. Alvin merasa kalau ia akan diabaikan kalau Mamanya sama Sivia udah bertemu, seakan punya dunia sendiri gitu. Ya, perempuan memang begitu. Dunianya kadang sering bertolak belakang dengan dunia laki-laki.
“Kak Alvin sama Kak Via mau ke mana?” tanya Raydha yang kebetulan berpapasan di depan gerbang rumahnya.
“Kamu baru pulang, Dha?” tanya Alvin ramah. Raydha mengangguk.
“Kakak mau ke butik Mamanya Kak Alvin. Kamu gak apa-apa kan di rumah sendirian? Kakak udah siapin makanan kok di dapur.” sambung Sivia jelas.
“Terus pulangnya kapan?”
“Kurang tau, ntar deh Kakak smsin. Kakak pergi ya? Baik-baik di rumah.” pesan Sivia kemudian. Sedangkan Raydha hanya mengangguk pasrah.
“Duluan ya?”
“Iya Kak hati-hati.” ucap Raydha sebelum Alvin dan Sivia menancap gas. Mereka melambaikan tangan, begitupun sebaliknya.
“Hmm sendirian lagi deh di rumah.” gumamnya kemudian. Lantas Raydha memasukan motornya ke dalam garasi rumahnya. Sejenak, Raydha memandang pintu rumah yang masih tertutup rapat. Kemudian mengangkat bahu dan membuang napas asal.
“Semua kebahagian di rumah ini mulai memudar,” gumamnya perlahan seraya meraih handle pintu tersebut.

***


“Makasih ya udah mau temenin aku seharian ini. Aku seneeeennngggg banget!” sumringah Sivia setelah beberapa detik melangkah dari motor Alvin. Alvin tersenyum dan mengacak pelan poni cewek yang kini sedang kelewat bahagia itu.
“Aku juga seneng bisa temenin kamu hari ini. Hmm tapi tadi aku bete,” jelasnya kemudian. Sivia mengernyit.
“Lho? Bete kenapa?”
“Ya bete aja, abis tadi pas di Butik aku dikacangin mulu. Kamu asik sendiri aja sama Mama,” Sivia tertawa mendengarnya.
“Malah ketawa sih? Gak ada yang lucu tau!”
“Maaf deh maaf, lain kali janji kok gak bakal dikacangin lagi. Udah dong ngambeknya, jelek tau!” Sivia mencubit hidung mancung Alvin keras. Alvin meringis seketika.
“Viiiiaaaa!!!”
“Apa sih?”
“Sakit!”
“Cemen ah! Masa dicubit hidungnya aja sakit.” ledek Sivia seraya melipat kedua tangannya di dada.
“Mau coba? Sini aku cubit!”
“Ogah!”
“Sini-sini aku cubit, biar tau rasa.” Alvin berusaha meraih hidung Sivia untuk membalas dendam.
“Gak mauuuuu!!!”
“Harus mau!”
“Alviiiinnnn!!! Udah deh!”
“Bodo amat!”
“Aaawwww!!!” ringis Sivia setelah Alvin berhasil menjamah hidungnya. Sivia pun merengut.
“Sakit kan? Makanya jangan seenak upil nyubit hidung orang.”
“Tau ah!”
“Ngambeeeekkk.” kini Alvin mencubit pelan kedua pipi Sivia manja.
“Ish! Jelek banget ya kalau ngambek? Kaya badut Ancol.” ucap Alvin sambil terkekeh.
“Sialan! Terus kalau aku Badut Ancol, kamu siapanya?”
“Aku? Hmm siapanya ya? Pangerannya mungkin,” Alvin mengangkat alisnya berkali-kali.
“Maunya!”
“Ada yang salah? Bukannya muka pacarmu ini sebelas-duabelas sama Pangeran William ya?” Sivia menoyor kepala Alvin perlahan.
“Huuuuhh ngarep banget kamu! Masih cakepan kamu tau!”
“Serius? Masa sih? Ah yang bener?”
“Dih, sejak kapan kamu jadi alay gini?” kata Sivia heran. Ia sedikit menjauhkan diri dari Alvin.
“Tapi tetep sayang kan?” goda Alvin kemudian.
“Enggak!”
“Ya udah, gue pulang ya? Udah malem banget nih, gak enak sama tetangga.”
“Tapi kamu gak marah kan? Tadi aku bercanda doang kok.”
“Iya tau. Aku pamit ya? Sampai ketemu lagi,” ucap Alvin sembari melakukan kegiatan rutinnya setiap hari, mengacak poni pacarnya. Sivia mengangguk dan tersenyum.
“Hati-hati ya, Sayang!” teriaknya pelan. Lalu ia segera membuka pintu dan masuk ke rumahnya dengan hati yang berbunga-bunga.

Dan begitu Sivia sampai di depan kamarnya, langkah Sivia pun terhenti seketika. Ia menghela napas perlahan dan berjalan mundur menuju ke salah satu ruangan yang tadi sempat dilewatinya. Kamar Raydha, adiknya.
“Edha?” gumamnya pelan. Sangat-sangat pelan. Mencoba memastikan kalau si penghuni ada di dalam atau tidak. Lantas Sivia segera membuka pintu kamar adiknya tersebut.
“Dha, udah tidur?” tanya Sivia sambil melongokkan kepalanya. Lalu ia mengernyit begitu sosok adiknya tak terlihat di sana.
“Kak Via?!” ucap Raydha yang tiba-tiba muncul di hadapan Sivia. Lantas Sivia tersentak kaget dan langsung mengusap-usap dadanya.
“Bisa gak sih gak bikin kaget? Untung aku gak jantungan.” sewot Sivia. Raydha mengerutkan kening. Heran.
“Lagian Kak Via ngapain sih masuk ke kamar aku kaya orang mau maling gitu?”
“Kakak cuma mau mastiin aja kalau kamu udah tidur apa belum? Itu aja kok,” Raydha membulatkan mulutnya.
“Kak Via baru pulang?” tanya Raydha kemudian. Sivia mengangguk cepat.
“Kak Via abis ngapain aja sih? Pacaran? Jalan-jalan? Makan? Terus?” Sivia menatap adiknya heran. Tak ada niat sedikitpun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan adiknya.
“Harus selama itukah pacaran, Kak? Apa gak ada waktu lain?” tanya Raydha lagi dengan menatap sinis Sivia.
“Atau memang Kakak bener-bener gak ada waktu untuk adiknya sendiri? Iya, Kak?” Sivia menunduk.
“Kakak minta maaf,”
“Aku butuh temen untuk sharing, Kak. Aku butuh Kakak. Karena cuma Kak Via satu-satunya yang aku punya sekarang. Gak ada lagi, Kak.” lirih Raydha. Suaranya semakin melemah.
“Mama udah meninggal, dan Papa terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya di luar sana. Terus sekarang Kakak juga mau seperti mereka? Gak pernah ada setiap aku butuhkan?” ucap Raydha dengan matanya yang sedikit berkaca.
“Bukan gitu, Dha. Tapi Kakak,”
“Apa gak ada waktu sedetikpun buat aku, Kak? Sedetikpun?!” Sivia kembali menunduk. Tak kuasa melihat mata Raydha yang begitu menyesakkan jika dilihat lama-lama.
“Maafin Kakak. Kakak gak ada maksud buat lakuin itu semua. Kakak minta maaf,” kini giliran Raydha yang menunduk. Mencoba menyeka butiran bening yang hendak terjatuh di sudut matanya.
“Kakak gak usah minta maaf. Aku yang salah, mungkin aku terlalu egois. Mending sekarang Kakak tidur, Kakak pasti capek. Selamat malam.” ucapnya ragu. Ia langsung menutup pintu tanpa menghiraukan keadaan Sivia sama sekali.
“Maafin Kakak, Dha. Kakak yang salah, bukan kamu.” gumam Sivia menyesal. Lantas ia kembali melangkah menuju kamarnya.
“Selamat malam,” ucapnya sebelum benar-benar masuk dan beristirahat di dalam kamarnya.

***


Mentari mengintip malu di ujung timur. Bersiap memberi setitik kehidupan di alam raya ini. Serta membiaskan sebagian sinarnya yang cerah ke planet bumi. Hangat. Karena sang angin belum begitu aktif berhembus di pagi hari. Cukup menyapa dengan belaian lembutnya ke kulit ari.

Di dapur, Sivia begitu sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk kebutuhan pokoknya di rumah. Kebetulan hari ini hari minggu, jadi Sivia ingin luangkan waktu di rumah tanpa mengikuti acara sedikitpun di luar sana. Ia ingin menghabiskan hari minggunya bersama sang adik, Raydha Airlangga. Dan sekarang Sivia sedang memasak makanan favorit Raydha, nasi goreng.
“Kurang apa lagi ya? Hmm garam!” tebaknya tiba-tiba. Sivia pun langsung mencomot sedikit garam dan menaburkannya perlahan di atas nasi goreng yang hampir matang tersebut.
“Oke, mantap!” senyum di wajah Sivia pun mengembang begitu dua porsi nasi goreng spesial buatannya sudah siap sedia untuk disantap. Lalu ia beralih ke ruang makan yang sudah tertata rapi dengan berbagai jenis minuman.
“Selesai!” kata Sivia mantap.
“Saatnya bangunin sang pangeran dulu,” Ia kembali tersenyum. Lantas pergi ke tempat tujuan. Kamar sang adik.
“Hey, bangun!” bisik Sivia lembut. Raydha pun menggeliat malas.
“Bangun, Edha! Ini udah pagi, malu dong sama matahari.” kemudian Sivia mencoba membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk. Sedetik, Raydha langsung menutup wajahnya dengan bantal. Berusaha menghalangi pancaran sinar yang menerpa wajah orientalnya. Sivia pun mendecak kesal.
“Edhhhhaaaaa!!! Ayo bangun! Jangan mentang-mentang ini hari minggu, jadi kamu bisa males-malesan kaya gitu. Cepetan bangun!” Raydha tak merespon meskipun Sivia telah mengguncang-guncangkan tubuhnya berkali-kali.
“Kakak hitung sampai lima. Kalau sampai hitungan kelima belum bangun, Kakak siram pakai air es! Satu!” ancam Sivia seraya melipat tangan di dada.

“Dua!”

“Tiga!” Raydha masih setia bersembunyi di balik selimut.

“Empat!”

“Serius nih mau di siram air es? Empat setengah!” tegas Sivia penuh penekanan. Raydha tetap santai dengan posisinya.

“Lim…”
“Ampun Kak ampun, jangan disiram! Nih aku udah bangun.” heboh Raydha sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Tiba-tiba Sivia tertawa. Tertawa begitu lepas.
“Kak Viiiiaaaa!!! Nyebelin banget sih!” sewot Raydha begitu mengetahui kalau Sivia sedang mengerjainya.
“Kamu lucu deh! Hahaha.”
“Gak ada yang lucu Kak, gak ada!”
“Itu tadi lucu banget ekspresinya. Hahaha.” Sivia memegangi perut. Sedangkan Raydha hanya memutar matanya. Kesal dengan saudarinya yang satu ini.
“Ya udah aku tidur lagi aja.”
“Jangan tidur lagi dong! Iya deh Kakak minta maaf. Ayo bangun! Kakak udah masakin makanan kesukaan kamu lho.” Raydha mengernyitkan keningnya.
“Apa, Kak? Nasi goreng ya?” Sivia mengangguk dan tersenyum manis ke adiknya tersebut. Raydha pun langsung bangkit dan pergi meninggalkan Sivia di kamarnya begitu saja. Sivia mendecak.
“Dasar anak bandel!” oceh Sivia kemudian..

Setibanya di ruang makan, Raydha langsung duduk manis di sana. Mencium satu persatu makanan yang sudah tersedia. Dan tanpa ragu sekalipun tangan Raydha meraih satu porsi nasi goreng yang begitu menggiurkan menurutnya.
“Tunggu, tunggu, tunggu! Cuci tangan dulu kali.” cegah Sivia spontan.
“Kan pakai sendok, Kak?” kata Raydha polos seraya menunjukkan sendok ke arah kakaknya.
“Kalau gitu berdoa dulu biar berkah.” respon Sivia manis. Raydha langsung mengangguk seketika.
“Oke, selamat makan!”
“Selamat makan juga!” balas Sivia ikut duduk di hadapan adik satu-satunya tersebut.
“Gimana masakan Kakak? Enak?” Raydha berpikir sejenak. Berusaha mempertajam indera pengecapnya untuk menilai masakan sang Kakak.
“Hmm lumayan,” kemudian ia tersenyum.
“Lumayan? Udah gitu aja?”
“Daripada gak enak, mending lumayan kan?” Raydha kembali tersenyum. Kali ini senyumannya mengandung arti kejahilan.
“Ini sehidup semati lho bikinnya, penuh pengorbanan.” ungkap Sivia dramatis.
“Oh ya?”
“Iya. Soalnya masakan ini dibuat sangat spesial dan khusus untuk orang yang sangat Kakak sayangi.” ucap Sivia dengan senyum-senyum genit ke arah Raydha.
“Orang itu adalah duplikatnya Pangeran William.” lanjutnya.
“Hah? Siapa?”
“Ya kamu lah, siapa lagi?”
“Aku?” tanya Raydha singkat. Tapi tetap tidak lepas dari kegiatannya, makan nasi goreng.
“Iya,”
“Tapi aku kan bukan duplikatnya Pangeran William, Kak?” Sivia mengernyit.
“Iya juga sih. Eh, malah kamu lebih kece dari Pangeran William.”
“Nah, itu maksud aku! Aku jauh lebih kece dari dia. Hehehe.”
“Huh, dasar!”
“Emang faktanya gitu kan, Kak?” Raydha mengangkat kedua alisnya.
“Ya udah deh terserah kamu aja. Cepetan diabisin makannya!”
“Iya, Kak.” lantas Sivia dan Raydha kembali menyantap makanan tanpa ada lagi sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Hening mengembara untuk sejenak. Hanya saja bunyi sendok dan piring yang terdengar di sana.

Setelah lima menit selesai makan. Sivia dan Raydha masih terdiam dalam duduknya. Bahkan mereka tidak saling tatap satu sama lain. Sampai Raydha memberanikan diri membuka pembicaraan dengan ucapan lembut.
“Makasih ya Kak untuk semuanya.” Sivia pun tersenyum.
“Kakak udah mau buatin aku sarapan.” lanjut Raydha. Sivia masih terdiam, lebih memilih tersenyum ketimbang harus berbicara.
“Kak Via mau pergi ya abis ini?” tanya Raydha. Sivia menggeleng.
“Hari ini Kakak mau abisin waktu bareng kamu, Dha.” ucap Sivia kemudian seraya melangkah mendekati adiknya.
“Kakak gak mau kehilangan waktu Kakak sama keluarga cuma karena Kakak terlalu sibuk dengan orang lain.”
“Kak?”
“Kakak janji, Kakak akan lebih banyak luangkan waktu buat keluarga. Ya walaupun Papa jarang pulang ke rumah, setidaknya Kakak mencoba selalu ada untuk kamu.” tiba-tiba Raydha merasakan tubuhnya dipeluk dengan begitu lembut. Pelukan dari sang Kakak, Sivia Airlangga.
“Makasih ya, Kak. Aku seneeeeng banget!”
“Kakak juga seneng kok. Oh iya, sekarang kita mau ngapain lagi?” tanya Sivia yang masih memeluk adiknya itu. Raydha menggeleng.
“Kita ke makam Mama aja gimana?”
“Aku belum mandi, Kak. Mandi dulu ya?” ungkap Raydha santai.
“Ish! Belum mandi ya? Dih, nyesel Kakak meluk kamu.” sesal Sivia spontan. Ia cepat-cepat melepaskan pelukannya di tubuh Raydha.
“Aku gak nyuruh Kakak meluk aku kok. Salah sendiri,” Sivia mendecak.
“Ya udah sana mandi dulu! Ntar jam 9 kita ke makam Mama.”
“Oke, Kak!”

***


Alvin duduk di depan rumahnya sambil menikmati segelas susu putih dan roti tawar dalam menyambut pagi yang begitu cerah di hari minggu ini. Sesekali ia melirik ponsel untuk memastikan adanya balasan sms atau tidak dari sang pacar, Sivia.
“Sivia kenapa sih? Sms aku gak dibales-bales dari tadi.” heran Alvin seketika.
“Telpon aja kali ya?” kemudian ia mencari nama Sivia di contact personnya dan langsung menekan tombol hijau tanpa ragu.
“Angkat dong, Vi!” kesal Alvin begitu Sivia belum juga mengangkat telepon darinya.
“Hallo? Ada apa, Vin?”
“Gak ada apa-apa kok, pengen nelpon aja. Kamu lagi sibuk ya?”
“Oh, enggak kok. Kangen ya? Hehehe.”
“Iya nih. Kenapa sih sms aku gak dibales-bales?”
“Tadi aku lagi sarapan sama Edha. Maaf ya aku gak bales? Kamu udah sarapan belum?”
“Oh gitu. Ya udah gak apa-apa. Ini lagi sarapan kok.”
“Sarapan kok sambil nelpon sih?”
“Emang gak boleh ya? Abis aku kangen kamu gimana dong?”
“Iya deh iya. Lanjutin gih sarapannya!”
“Udah selesai, Sayang. Oh iya, udah mandi belum? Pasti belum ya?”
“Enak aja! Udah tau. Kamu kali yang belum? Ayo ngaku!”
“Ish! Udah dong.”
“Bagus deh kalau gitu.”
“Eh, ntar siang aku main ya ke rumah kamu. Gak ada acara lain kan hari ini?”
“Hmm lain kali aja deh. Aku mau ke makamnya Mama sama Edha. Gimana kalau besok aja pas pulang sekolah kita jalan-jalan?”
“Mau ke makam Mama kamu? Gimana kalau aku anter?”
“Makasih ya, Vin? Tapi aku cuma pengen berdua aja sama Edha. Gak apa-apa kan?”
“Hmm ya udah deh. Padahal aku kangen banget nih, pengen ketemu kamu.”
“Semalem kan kita jalan bareng, masa udah kangen aja sih? Lebay deh!”
“Biarin! Yang penting aku cakep. Hehehe.”
“Dih, pede banget sih!”
“Buktinya kamu suka sama aku. Iya kaaaan?”
“Kata siapa coba? Kamu kali yang suka sama aku. Kan kamu yang nembak aku duluan?”
“Tapi kan kamu yang ngajak kenalan sama aku waktu pertama kita ketemu pas MOS dulu. Dan kamu juga yang suka cari perhatian sama aku. Inget kan? Hahaha.”
“Enak aja! Aku gak pernah cari perhatian sama kamu.”
“Masa sih?”
“Ah nyebelin.”
“Gitu aja ngambek. Jelek tau!”
“Terus kalau aku jelek, kamu mau ngapain?”
“Gak mau ngapa-ngapain sih. Aku cuma mau bilang kalau aku kangen banget sama kamu, Sivia.”
“Eh, Edha udah siap tuh kayanya. Udah dulu ya, Vin? Ntar malem kita lanjut lagi. See you, Sayang!”
“Tapi, Vi? Via? Yaaaahhhh malah dimatiin. Payah nih!” sesal Alvin begitu sambungan teleponnya terputus. Ia menghela napas perlahan.
“Aku nyusul aja deh ke makam Mamanya Sivia sama Edha. Ya, aku harus nyusul.” tekad Alvin yakin. Rasa kangen di hatinya sudah benar-benar berat untuk ditahan lagi. Berlebihan? Mungkin.

***


Suasana sepi dan hening dapat Sivia dan Raydha rasakan begitu langkah kakinya berpijak di atas tanah pemakaman.

Semakin cepat mereka melangkah, semakin dekat pula mereka dengan tempat peristirahatan terakhir sang Mama. Tempat yang dua tahun lalu pernah mereka tangisi bersama. Dan tempat yang sekaligus menjadi pertemuan terakhir mereka dengan sang Mama untuk selamanya.

Sivia dan Raydha pun berjongkok di pinggir makam Mamanya. Diam. Hanya bisa memandangi batu nisan yang bertengger kokoh serta sesekali mereka mengusap batu yang memang bertuliskan nama orang tua perempuan mereka itu.
“Ma, Mama tau gak? Via sama Edha itu kangeeeennnn banget sama Mama.” lirih Sivia seketika. Ia menatap batu nisan yang kini disentuhnya begitu lembut.
“Via sama Edha gak akan pernah lupa sama semua nasihat-nasihat Mama tiap kali kita mau berangkat sekolah, omelan-omelan Mama tiap kali kita ngelakuin kesalahan dan semua candaan serta tingkah lucu Mama tiap kali kita sedang sedih.” lanjutnya perlahan. Lantas Sivia terdiam untuk sejenak.
“Pokoknya Via sama Edha kangen banget sama Mama.” kata Sivia kemudian.
“Ma, Mama yang tenang ya di sana? Mama jangan khawatirin Edha sama Kak Via, Edha sama Kak Via baik-baik aja kok di sini.” kini giliran Raydha yang menyampaikan isi hatinya kepada sang Mama.
“Edha sama Kak Via masih punya Papa, Papa yang begitu sayang dan perduli sama kita. Hmm walaupun Papa udah jarang banget sih pulang ke rumah, tapi kita yakin kalau Papa juga sebenernya pengen banget bisa luangkan waktu untuk kita, cuma karena urusan pekerjaan aja yang mungkin memang gak bisa Papa tinggalin untuk sekejap pun.” Raydha tiba-tiba menunduk. Menghela napas untuk sejenak.
“Tapi Edha sama Kak Via rela kok ditinggal-tinggal sama Papa, toh Papa pun bekerja itu buat kelangsungan hidup kita kan? Dan Edha sama Kak Via akan selalu sayang sekaligus kangen sama Mama, sama Papa. Iya kan, Kak?” Sivia mengangguk saat Raydha meminta respon darinya.
“Oh iya Ma, Edha juga udah punya bidadari pengganti Mama di sini. Bidadari yang selalu jagain Edha, lindungin Edha, membuat Edha selalu merasa bahagia dan merasa tenang kalau dia ada di samping Edha.” Raydha melirik sang Kakak yang masih meraba-raba tanah gembur berwarna merah di hadapannya.
“Bidadari itu adalah duplikatnya Mama, Kak Sivia.” ucap Raydha penuh senyum. Sivia mengangkat dagu dan menatap adiknya bangga. Lantas ia ikut tersenyum.
“Jadi Mama gak usah khawatir lagi sama Edha, karena Edha masih punya Papa sama Kak Via yang sayang sama Edha. Mama yang tenang ya di sana? Doa Edha selalu menyertai Mama. Edha sayang sama Mama.”
“Via juga sayang sama Mama. Dan Via pun akan selalu doain Mama di sini. Love you, Mom!” sambung Sivia tulus. Lalu mereka menyiram air serta menaburkan berbagai jenis bunga di pusaran sang Mama setelah sebelumnya mereka mendoakan terlebih dahulu orang yang sangat disayanginya tersebut.
“Kita pulang yuk, Kak? Udah siang,” ajak Raydha seketika.
“Ma, Via sama Edha pulang dulu ya? Lain kali Via sama Edha bakal ke sini lagi kok, Via janji.” Raydha hanya mengangguk seakan menyetujui perkataan sang Kakak.

***


“Via, Edha!” Sivia dan Raydha menghentikan langkahnya begitu ada seseorang dengan tiba-tiba memanggil nama mereka. Orang itu mendekat dan tersenyum.
“Alvin?” gumam Sivia sedikit heran. Begitupun Raydha.
“Kak Alvin?”
“Udah selesai nyekarnya? Maaf ya telat,” aku Alvin tanpa ragu.
“Kak Alvin tau dari siapa kalau kita ke sini?” tanya Raydha.
“Kakak tau dari Via, Dha. Tadi sempet telponan sebelum kalian berangkat ke sini.” Raydha membulatkan mulutnya.
“Oh gitu.”
“Kamu bandel juga ya ternyata? Bukannya aku udah larang kamu dateng ke sini ya? Ish! Telinganya ke mana sih?” cibir Sivia sinis.
“Aku itu kangen banget sama kamu, jadi gak ada salahnya kan kalau aku ke sini?”
“Terserah kamu deh!”
“Gak apa-apa kali, Kak. Namanya juga pacar. Ya wajar-wajar ajalah kalau dibela-belain dateng ke sini.” sambung Raydha yang langsung mendapatkan jempol dari Alvin.
“Nah, bener banget tuh!”
“Ish! Kamu kok belain dia sih?”
“Bukannya gitu,”
“Ya udahlah. Terus sekarang mau ngapain?” tanya Sivia ke pacar dan adiknya. Mereka pun saling pandang.
“Aku main aja deh ke rumah kalian. Gak ganggu kan?”
“Oh enggak kok, Kak. Nyantai aja.”
“Kalau gitu langsung aja yuk kita pulang? Nanti keburu panas di sini.” ajak Sivia sembari menarik tangan Alvin dan adiknya. Alvin dan Raydha kembali saling pandang dan kemudian menggeleng pasrah melihat ulah Sivia.

***


Raydha memutar handphone yang sejak tadi ia pegang seraya memikirkan suatu hal yang kini berputar di otaknya. Lalu ia berdiri dan melangkahkan kakinya ke dekat jendela. Sejenak, Raydha termenung. Perasaannya selalu dirundung gelisah tatkala ia berpikir lebih dalam lagi tentang apa yang ada di otaknya tersebut.
“Telpon Papa atau enggak ya?” tanya Raydha pada diri sendiri. Kembali ia menatap layar handphone yang memang tertera nama Papanya di sana. Dan tanpa ragu tangannya menekan tombol hijau cepat-cepat.
“Hallo, Pa?”
“Hallo Sayang, ada apa? Tumben telpon Papa.”
“Edha kangen Papa. Papa kapan pulang?”
“Papa juga kangen sama Edha. Tapi Papa minta maaf, Papa belum bisa pulang dalam waktu dekat ini. Tapi Papa janji kok, Papa bakal pulang secepat mungkin.”
“Papa inget gak sekarang tanggal berapa?”
“Hmm tanggal 19 September, kenapa?”
“Gak apa-apa kok, Pa. Edha cuma nanya aja,”
“Edha mau apa dari Papa?”
“Maksud Papa?”
“Masa Edha gak inget sih? Bukannya besok Edha mau ulang tahun?”
“Papaaaa!!!”
“Kenapa, Sayang?”
“Kirain Papa udah lupa sama ulang tahun Edha.”
“Enggak dong, Sayang. Papa akan selalu inget sama ulang tahun anak Papa sendiri. Edha mau apa dari Papa?”
“Hmm Edha gak mau apa-apa dari Papa. Edha cuma mau Papa pulang dan bisa rayain ulang tahun Edha di sini.”
“Papa minta maaf, Papa belum bisa pulang sekarang atau besok. Gak apa-apa kan, Sayang?”
“Edha gak mau.”
“Maafin Papa, Sayang.”
“Hmm ya udah, Edha ngerti kok. Papa gak usah minta maaf, Papa gak salah.”
“Makasih, Sayang. Sekali lagi nih Papa tanya, Edha mau apa dari Papa? Papa janji, Papa bakal kasih semua yang Edha minta.”
“Gak usah, Pa. Edha cuma mau Papa doain Edha aja. Dan Edha juga mau Papa cepet-cepet menuntaskan pekerjaan Papa, biar Papa bisa cepet pulang ke rumah.”
“Baik, Papa usahakan. Jaga diri baik-baik ya, Sayang. Dan salam buat Kak Sivia. Papa kangen sekali sama kalian.”
“Iya Pa, Edha sama Kak Via juga kangen sekali sama Papa.”
“Ya udah kalau gitu Papa mau meeting dulu ya, Sayang. Dan Papa usahakan untuk segera pulang ke rumah. Secepatnya!”
“Janji ya, Pa?”
“Iya Papa janji. Udah dulu ya? Sampai ketemu nanti! Papa sayang kamu. Semangat!”
“Iya, semangat! Edha juga sayang Papa.” kata Raydha mantap. Klik! Raydha pun mengakhiri sambungan teleponnya dengan sang Papa.

***


Bunyi jarum jam memecah keheningan malam yang benar-benar terasa dingin saat itu. Meski tak ada angin yang berhembus. Dan meski tak ada setetes pun air hujan yang jatuh menyentuh bumi. Atau mungkin karena suhu udara di malam hari itu memang turun beberapa derajat dari malam-malam sebelumnya? Entahlah! Yang jelas rasa dingin tersebut membuat semua insan di dunia merasa betah berbaring di atas tempat tidur dengan balutan selimut yang sangat tebal. Hangat.

Di suatu tempat, Alvin terbangun dari lelap ketika tubuh tingginya yang entah kenapa tiba-tiba terasa membeku bagai es. Ia pun duduk一dengan kedua mata yang masih tertutup一sambil sesekali tangannya meraba-raba mencari selimut yang ia kenakan sebelumnya. Lantas Alvin tersadar begitu tangannya belum juga mendapatkan sesuatu yang ia cari tersebut.
“Lho? Kok selimutnya gak ada sih? Perasaan tadi sebelum tidur itu aku pakai selimut deh?” herannya seketika.
“Ish! Pantes aja aku kedinginan kaya gini.” lantas Alvin pun turun dari ranjang dan berniat ke kamar Mamanya untuk meminta selimut yang lain.

Namun baru saja ia hendak membuka pintu kamarnya, tiba-tiba…
SURPRIIIISSSSEEEE!!!” teriak Sivia, Ify dan kedua orangtua Alvin heboh. Alvin hanya mematung, bola matanya membesar seketika. Kaget.
“Selamat ulang tahun, Sayang!” kata kedua orangtua Alvin bergantian sambil mencium kening anaknya tersebut. Alvin masih terdiam, hanya sebuah senyuman kecil yang bisa ia tunjukkan kepada mereka.
Happy birthday ya, Vin!” ucap Ify kemudian.
Happy birthday, Alvin! Happy birthday, Alvin! Happy birthday! Happy birthday! Happy birthday, Alvin!” dan kini giliran Sivia yang kedua tangannya membawa kue tart dengan lilin berangka 16 yang menyala itu melangkah mendekati Alvin sambil bernyanyi.
Happy birthday ya, Sayang.” bisiknya kemudian.
“Ayo tiup lilinnya!” pinta Ify perlahan.
“Tapi sebelum meniup lilinnya, make a wish dulu biar lebih afdol.” saran sang Mama. Alvin dan yang lain langsung mengangguk. Kemudian Alvin menunduk seraya memejamkan kedua matanya. Ia berdoa.
“Selesai. Sekarang boleh tiup lilinnya kan?” tanyanya kemudian. Sivia tersenyum. Tersenyum melihat mata Alvin yang berbinar karena terkena pantulan cahaya dari lilin. Dan…
“Yeeeeaaaayyyy!!!” teriak semua orang yang ada di sana sambil bertepuk tangan ketika Alvin selesai meniupkan lilin.
“Makasih ya untuk kejutannya? Alvin gak nyangka kalian bakal kasih surprise kaya gini. Sekali lagi makasih.” Alvin mengatupkan kedua tangannya di dada sambil tersenyum bahagia.
“Terkhusus buat Via dan Ify yang udah mau bela-belain buat dateng ke sini.”
“Ini semua idenya Via kok, Sayang. Dia meminta Mama sama Papa buat ikut berpartisipasi memberi kejutan sama kamu.” balas Mama Alvin seraya mengusap perlahan kepala anaknya tersebut.
“Makasih ya, Sayang.” bisik Alvin ke Sivia yang mungkin hanya mereka saja yang mendengarnya.
“Kalau gitu Papa sama Mama ke kamar dulu ya? Tadi Papa sama Mama gak sempet istirahat dari sepulang kerja.” kini giliran Papa Alvin yang angkat bicara.
“Makasih ya atas bantuannya Om, Tante. Via sama Ify minta maaf karena udah ganggu waktu istirahat Om sama Tante.” kata Sivia ramah. Ify hanya ikut tersenyum menyetujui Sivia.
“Gak apa-apa kok, Sayang. Toh ini untuk Alvin juga kan? Jadi gak ada masalah buat kita.”
“Dan sekarang Tante serahkan semuanya sama Kalian. Tante sama Om izin buat istirahat ya? Gak apa-apa kan, Sayang?” Alvin mengangguk perlahan.
Have fun ya! Jangan lupa tidur lagi kalau udah selesai.” mereka mengangguk.

***


Happy birthday, Edha! Happy birthday, Edha! Happy birthday! Happy birthday! Happy birthday, Edha!” Raydha meniup sebatang lilin yang dipegangnya setelah sebelumnya ia menyanyikan lagu wajib ulang tahun untuk dirinya sendiri. Raydha menghela napas sesaat. Lalu menatap sendu lilin yang sudah padam tersebut.
“Ma, hari ini Edha ulang tahun lho. Mama gak mau kasih selamat buat Edha?” lirih Raydha kemudian. Tangannya meraih foto Mamanya yang memang terpajang di meja belajarnya.
“Padahal kan dulu setiap Edha ulang tahun, Mama sering kasih kejutan buat Edha.” Raydha mengusap perlahan wajah sang Mama.
“Mama selalu memberi pelukan yang hangat serta ciuman bangga di kening Edha. Dan Mama juga selalu bawa kado istimewa buat Edha. Hmm sayangnya itu waktu dulu, beda dengan sekarang.” ucap Raydha sambil membayangkan masa-masa indahnya bersama sang Mama.
“Tapi Edha yakin kok, kalau Mama akan selalu doain yang terbaik buat Edha di sana. Dan sekarang Edha gak mau egois, Edha harus bikin Mama bangga. Edha harus bisa jalanin hidup Edha sendiri meski tanpa Mama. Edha udah 15 tahun, Edha udah dewasa. Iya kan, Ma?” ia tersenyum seketika.
“Edha sayang Mama.” tanpa ragu sedikitpun, Raydha mencium hangat foto Mamanya tersebut. Refleks, ia tak sadar akan air matanya yang telah jatuh sejak tadi.
“Papa juga cepet pulang ya? Biar Edha gak kesepian lagi. Dan kita bisa rayain ulang tahun Edha bareng-bareng.” kini giliran foto Papanya yang Raydha ajak bicara.
“Makasih ya Pa atas doa dan ucapan selamat ulang tahunnya buat Edha. Edha seneeeeng banget! Ya walaupun cuma lewat sms sih.” ujar Raydha penuh bangga.
“Ma, Pa, kalian tau enggak Kak Via ada di mana? Tadi malem Edha lihat Kak Via super sibuk di kamarnya. Bahkan Kak Via gak sempet bilang ke Edha pas mau pergi. Dan sampai sekarang Kak Via belum pulang meski Edha udah coba telpon dan sms dia beberapa kali.” tanyanya heran. Lantas menghirup napas kuat-kuat.
“Tapi ya gitu deh. Gak ada respon sama sekali. Apa Kak Via lagi sibuk bikin kejutan buat Kak Alvin kali ya? Kak Alvin kan ulang tahun juga sekarang, sama kaya Edha.” lirih Raydha semakin melemah.
“Ma, Pa, sebenernya Edha sedih banget lihat Kak Via yang secara perlahan udah gak perduli lagi sama Edha. Kak Via lebih banyak menghabiskan waktunya sama orang lain ketimbang sama adiknya sendiri.” Raydha menggelengkan kepalanya pasrah.
“Namun sekali lagi Edha bilang, Edha gak mau egois. Kak Via juga punya dunia sendiri, gak selamanya selalu di samping Edha. Edha harus ngerti dan Edha harus bisa hidup mandiri. Tapi Ma, Pa? Bukankah ini terlalu sulit buat Edha jalanin sendiri? Edha takut Ma, Pa.” lirihnya lagi. Lalu Raydha berbaring sambil memeluk erat foto kedua orangtuanya di dada. Sejenak, hening kembali menguasai suasana kamar Raydha. Ia terlelap.

***


“Oh, jadi kamu yang ambil selimut aku? Ish! Sengaja ya biar aku mati kedinginan?” ungkap Alvin setelah Sivia selesai bercerita tentang semua misinya untuk memberi kejutan kepada Alvin. Sivia menjulurkan lidah seketika.
“Itu kan biar kamu cepet bangun.”
“Masa? Emangnya gak ada cara lain ya?” Alvin mengernyit. Lantas Sivia menggeleng.
“Dasar!” cibir Alvin seraya meraih hidung mancung pacarnya tersebut.
“Aku bawa kado spesial lho buat kamu.”
“Oh ya? Mana?”
“Taraaaaa!!! Ini kado istimewa dari aku buat kamu. Mohon diterima,” tegas Sivia sambil tersenyum.
“Apa ini? Jangan bilang mau ngerjain?” terka Alvin bingung.
“Enggak kok, buka aja!” pelahan, Alvin membuka kado dari Sivia penuh penasaran.
“Aku siapin ini udah lama lho. Seminggu yang lalu,” kata Sivia begitu Alvin sedang susah payah membuka kado darinya.
“Waaaahhh keren! Makasih ya, Sayang?”
“Kamu suka?”
“Aku suka banget! Kamu kok tau kalau aku suka klub Real Madrid? Sering kepoin aku ya? Cieeee.” Sivia terkekeh melihat tingkah Alvin.
“Kalau iya emang kenapa?” Alvin menggeleng.
“Gak apa-apa,”
“Seneng ya dikepoin sama aku? Cieeee.” dan mereka pun tertawa seketika. Sampai Sivia dibuat mematung saat Alvin berhasil memberikan kecupannya di pipi kanan Sivia.
“Makasih ya untuk semuanya? Aku sayaaaang banget sama kamu!” ucap Alvin tulus. Sivia masih terdiam. Tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan kecupan dari Alvin.
“Oh iya, kamu mau aku anterin pulang apa mau nginep di sini? Aku ada kamar khusus buat tamu kok.” tanya Alvin ramah. Sivia tak bergeming sama sekali.
“Via, kok diem mulu sih?” tanya Alvin lagi. Sivia langsung mengerjapkan matanya saat Alvin menatapnya heran.
“Eh kenapa, Vin?”
“Kamu mau pulang apa mau nginep?”
“Hmm aku nginep aja deh. Lagian udah jam segini juga. Aku gak mau ganggu Edha tidur.” Alvin mengangguk.
“Ya udah yuk masuk! Di sini udaranya dingin banget.” ajak Alvin sambil menarik pelan lengan Sivia.
“Tunggu!”
“Kenapa?”
“Aku boleh gak peluk kamu?” pinta Sivia ragu. Untuk sejenak Alvin termangu. Lalu ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mempersilahkan Sivia untuk memeluknya.
“Aku sayang kamu, Vin.” bisik Sivia begitu ia mendarat di dada bidang Alvin.
“Aku juga sayang kamu.” Alvin membelai lembut rambut Sivia yang malam itu tergerai indah bagai benang sutera. Cukup lama mereka saling merengkuh. Sampai-sampai mereka hampir lupa kalau mereka hendak masuk ke dalam rumah. Begitulah.

***


Sivia membuka perlahan pintu kamar Raydha setelah sebelumnya ia menyimpan pakaian kotor di kamarnya sendiri. Perlahan一dengan sangat hati-hati一Sivia melangkah masuk mendekati tempat tidur yang sepertinya masih dihuni oleh adiknya tersebut. Lalu ia menghirup napas panjang sebelum tangannya meraih selimut yang dipakai Raydha, berniat untuk membangunkannya.
“Kak Via baru pulang?” Sivia pun tersentak begitu sosok Raydha muncul di sampingnya.
“Edha? Ish! Bikin kaget Kakak aja kamu ini.” ujar Sivia sedikit kaget.
“Kak Via baru pulang? Abis ke mana? Kenapa mesti pulang? Mending gak usah pulang aja sekalian, Kak.” Raydha tak menghiraukan perkataan dari Sivia. Ia terus menanyakan hal yang sama kepada Kakaknya tersebut .
“Kok kamu ngomongnya gitu sih? Emang Kakak salah apa sama kamu?”
“Kakak itu perempuan kan? Wajar gitu kalau ada perempuan malem-malem keluar rumah sampai pulang pagi?” sinis Raydha kemudian. Ia tak menatap mata Sivia sekejap pun. Sedangkan Sivia belum bisa menjawab. Ia hanya diam.
“Kenapa semalem handphone Kakak gak aktif? Takut kalau aku bakal ganggu Kakak?”
“Bukan gitu, Dha. Kakak lupa ngecharge handphone, makanya handphone Kakak mati.” bela Sivia kemudian. Raydha tersenyum sinis.
“Kakak pergi ke rumah Kak Alvin kan? Emangnya di rumah Kak Alvin gak ada charger? Iya?! Aku tuh khawatir sama Kak Via tau gak?! Bisa gak sih Kak Via bilang dulu sama aku kalau Kakak mau keluar rumah?” Sivia menunduk.
“Maafin Kakak, Kakak bener-bener gak sempet buat bilang dulu ke kamu. Kakak buru-buru soalnya,”
“Kakak masih anggap aku sebagai adik gak sih, Kak?! Atau udah lupa kalau aku itu adik Kakak? Iya?!” Raydha kembali tertawa sinis di depan Sivia.
“Oke, aku tau, mungkin saking sibuknya Kakak ke sana ke mari membuat kejutan buat pacar Kakak yang lagi ulang tahun itu, sampai-sampai Kakak lupa sama ulang tahun adiknya sendiri. Bahkan inget pun mungkin tidak sama sekali. Ish! Tega banget kamu Kak sama aku.” timpal Raydha seraya meninggalkan Sivia yang terbengong-bengong setelah mendengar ucapan adiknya itu. Sivia terduduk lemas di tempat tidur Raydha.
“Ya Tuhan,” lirihnya menyesal. Ia baru sadar kalau Adiknya juga ulang tahun hari ini.
“Kenapa aku bodoh sekali! Kenapa aku sampai lupa sama ulang tahun adikku sendiri?! Bahkan bener kata Edha, aku bener-bener gak inget sama sekali. Sedangkan semalem aku bela-belain nyibukin diri buat ngasih kejutan sama Alvin yang belum tentu menjadi keluargaku suatu saat nanti.” jerit Sivia sambil mengacak-acak rambut panjangnya.
“Edha, maafin Kakak. Kakak tau Kakak salah. Kakak bener-bener minta maaf sama kamu.” gumam Sivia kemudian. Lantas ia langsung beranjak keluar menemui Adiknya.

Di ruang tengah, Raydha berdiri di dekat jendela sembari menatap sendu ke arah taman rumahnya. Matanya sedikit berkaca. Dan tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang memeluk tubuhnya dari belakang. Sivia.
“Maafin Kakak, Kakak tau Kakak salah. Kakak menyesal, Dha! Kakak bener-bener bodoh!” isak Sivia di pundak Adiknya. Raydha mematung. Matanya ia pejamkan seketika. Entah kenapa Raydha paling tidak bisa marah lama-lama sama Sivia. Ia terlalu sayang sama Kakak kandungnya tersebut.
“Kamu mau kan maafin Kakak? Kakak mohon,” isak Sivia terus menerus. Raydha tetap tak bergeming.
“Kakak harus berbuat apa supaya kamu mau maafin Kakak? Apa perlu Kakak putusin Kak Alvin?” Sivia melepaskan pelukannya perlahan. Memberikan kewenangan kepada Edha untuk menjawabnya. Sekilas, Raydha menggeleng.
“Kakak gak perlu minta maaf. Dan Kakak juga gak perlu putusin Kak Alvin. Kak Alvin udah sayang banget sama Kakak. Bahkan mungkin rasa sayang Kak Alvin ke Kakak itu jauh melebihi rasa saya aku ke Kakak.” kata Raydha yakin.
“Lalu apa yang harus Kakak lakukan buat nebus kesalahan Kakak sama kamu?”
“Kakak gak pernah salah, mungkin aku yang salah. Aku terlalu egois, aku terlalu berharap lebih sama Kakak.” Sivia menggeleng. Membantah pernyataan sang Adik.
“Aku yang maksa Kakak untuk terus ada di sampingku saat aku butuhkan, padahal aku sendiri tau kalau Kakak juga punya dunia sendiri yang seharusnya aku gak boleh ikut andil di dalamnya.” Raydha menunduk.
“Bahkan saking egoisnya aku, aku terlalu takut kalau rasa sayang Kakak ke aku sampai berkurang gara-gara Kakak punya pacar. Aku minta maaf, Kak.” tanpa ragu, Sivia kembali menarik Raydha ke dalam pelukannya. Erat.
“Kamu gak salah, Dha. Kakak yang sebenernya egois. Kakak gak pernah lagi memikirkan keluarga kalau tidak kamu yang menegur Kakak. Kakak selalu mementingkan diri Kakak sendiri.” kini giliran Sivia yang mengakui kesalahan-kesalahannya.
“Bahkan di hari ulang tahun kamu pun, Kakak lebih memilih merayakan ulang tahun orang lain ketimbang merayakan ulang tahun adiknya sendiri di rumah yang faktanya jauh lebih penting dan berharga dari segalanya. Kakak mengaku salah, Kakak minta maaf.” Sivia semakin erat memeluk Raydha.
“Selamat ulang tahun ya, Sayang! Sekali lagi Kakak minta maaf,” Raydha tersenyum.
“Aku udah gak perduli lagi kalau hari ini tuh hari ulang tahunku atau bukan. Yang lebih penting, aku udah bisa merasakan betapa bahagianya mempunyai keluarga, mempunyai seorang Kakak. Keluarga yang sangat aku sayangi. Aku sayang Kakak.” Sivia ikut tersenyum. Lantas ia mendaratkan kecupan hangat di kening Raydha. Raydha mengusap air matanya perlahan.
“Kakak juga sayang kamu, Raydha!”


The End!  Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Selasa, 13 Agustus 2013

DeviLova

New Cerpen :)
follow: @guetaher_ dan @taherians
blog: <a>http://metamorvia.blogspot.com</a>
page: Metamorvia Blog

happy reading!!!



Cewek itu masih terduduk kesakitan di pinggir lapangan. Pantatnya terasa benar-benar perih saat ia terjatuh akibat bola basket yang menimpa tubuhnya dengan keras. Ia mendecak.
“Sori gak sengaja.” cewek tadi memutar bola matanya kesal saat seorang cowok berdiri di depannya seraya mengulurkan tangan.
“Mau gue bantu?” tawar cowok tersebut.
“Gak usah! Gue bisa sendiri.” ia berusaha berdiri sebisanya. Lantas membersihkan roknya yang lumayan kotor dengan debu.
“Sori ya?”
“Kata sori gak bisa nyembuhin pantat gue yang sakit kan?” tanya cewek itu sinis. Si cowok hanya mengernyit.
“Mending loe pergi deh, gak usah sok baik jadi orang.” lanjut cewek tersebut antagonis.
“Nama loe siapa? Gue Alvin.” cowok bernama Alvin itu tak menghiraukan ucapan si cewek. Ia malah meminta berkenalan dengannya.
“Gue gak nanya. Permisi.”
“Hey?”

***


Alvin melangkah santai sembari terus memantulkan bola basket oranye yang ia gunakan pas tadi pelajaran olahraga. Senyum manisnya selalu ia pancarkan ke setiap orang yang menyapanya atau hanya sekedar tersenyum padanya selama ia berjalan menuju kelas.
“Vin, tungguin gue kenapa?” seketika Alvin langsung berhenti dan menengok ke arah sumber suara yang memanggilnya.
“Gak setia kawan banget loe ya sekarang.” ucap seseorang yang ternyata teman sebangku Alvin dengan napas yang masih memburu.
“Abis tadi gue cariin gak ada. Ya udah gue pergi duluan aja ke kelas.” Alvin dan temannya itu kembali melangkahkan kakinya perlahan.
“Tadi gue ke toilet bentar. Biasalah, setor harian.” Alvin terkekeh.
“Itu bukan salah gue berarti. Loe sendiri ke toilet gak bilang-bilang gue.”
“Kenapa mesti bilang-bilang dulu?”
“Ya biar gue bisa nunggu. Katanya loe gak mau ditinggalin?”
“Iya deh kapan-kapan lagi. Oh iya, tadi asik gak tuh olahraga?”
“Ya asik gak asik sih.”
“Oh gitu.”
“Eh Yo, gue tadi gak sengaja lempar bola ke kepala cewek sampai jatuh gitu. Kasihan,” kata Alvin ketika ia sampai di kelasnya dan duduk begitu saja di atas meja.
“Terus dia gimana? Gak kenapa-kenapa kan?” tanya teman Alvin yang ternyata bernama Rio. Alvin mengangkat bahu. Ia sendiri bingung.
“Kayanya sih gak apa-apa. Buktinya bisa marah-marah gitu.” Rio mengangguk.
“Loe udah minta maaf?”
“Udah, tapi gak ditanggepin.” kata Alvin sembari mengelap keringat yang sedikit bercucuran di leher jenjangnya.
“Serius? Masa sih?”
“Ya begitulah.”
“Kayanya tuh cewek gak waras deh, Vin. Masa cowok terpopuler di sekolah ini diabaikan gitu aja. Padahal hampir semua cewek-cewek di sini pada bertekuk lutut sama loe.” ungkap Rio tak percaya.

Pasalnya, Alvin dan Rio memang dua orang yang paling berpengaruh di sekolah ini. Selain fisiknya yang hampir sempurna, mereka juga cukup berprestasi dibidang olahraga basket. Bahkan Alvin dan Rio itu tergolong siswa-siswa yang orang tuanya memiliki kekayaan yang super berlimpah. Jadi sudah tidak heran lagi kalau ada beberapa cewek dan mungkin hampir semua cewek di sekolah itu yang ingin sekali menjadi pacar mereka.

Meskipun begitu, Alvin dan Rio faktanya sampai sekarang belum mempunyai seorang pacar. Bukan berarti mereka tidak tertarik sama cewek, melainkan mereka hanya ingin mengetahui cewek-cewek yang mendekati mereka itu benar-benar cinta atau tidak. Karena mereka merasa ragu dengan semua cewek di sana. Entah mereka memandang Alvin dan Rio dari segi apa sehingga sampai terobsesi banget ingin menjadi pacar Alvin dan Rio.
“Gue gak rugi kok. Toh fans gue juga masih banyak di luar sana.” kata Alvin seraya menyeringai jahil.
“Songong loe! Hahaha.”
“Emang begitu faktanya. Udahlah, kantin yuk?” ajaknya kemudian. Ia langsung pergi tanpa menunggu persetujuan dari Rio.

***


“Ify Sandria?”
“Iya, Pak?”
“Tolong kerjakan soal nomor lima!” suruh Pak Jodie selaku guru fisika di kelas XI IPA 2. Cewek yang barusan dipanggil itu langsung melotot dan menengok ke arah teman sebangkunya.
“Mampus gue! Gimana nih?” bisiknya seakan kematian hendak menjemput dirinya saat itu juga.
“Udah sana, loe pasti bisa.” kata teman sebangkunya seraya menyenggol pelan pundak Ify.
“Dan kamu, Sivia Azzahra. Silahkan kerjakan soal nomor empat.”
“Buset! Gue kena juga, Fy.” Ify terkekeh. Ternyata bukan ia saja yang akan mati kutu di depan kelas. Teman sebangkunya juga bakal mengalami hal yang sama. Mati kutu juga.

Mereka berdua langsung maju tanpa ada bayang-bayang materi sedikitpun di otak mereka. Karena sejak pelajaran fisika berlangsung, mereka berdua malah asyik menggambar di buku tulis. Sebab Ify dan teman sebangkunya一Sivia一itu tidak terlalu suka dengan pelajaran fisika. Selain rumusnya yang terlalu banyak, gurunya pun tidak pernah jelas dalam menerangkan. Hanya mengerti sendiri saja. Dan bahkan beliau tidak pernah mengadakan sesi tanya jawab seperti guru lainnya. Padahal sudah banyak banget berbagai pertanyaan yang berterbangan di otak para siswa XI IPA 2. Dan terpaksa mereka lebih memilih bertanya kepada kakak-kakak kelas yang mungkin lebih mengerti dari mereka atau belajar sendiri di perpustakaan dengan bantuan buku paket fisika yang banyak tersedia di sana. Setidaknya itu bisa membantu meskipun sedikit.
“Maaf, Pak. Aku belum ngerti cara ngerjainnya gimana. Aku udah berusaha sebisa mungkin, tapi tetep aja aku tidak menemukan jawabannya.” ucap Ify pasrah. Begitu juga Sivia yang sudah sejak tadi berkutat di depan papan tulis. Pak Jodie membuang napasnya heran.
“Gak ngerti kan kalian? Makanya kalau Bapak lagi menerangkan harus diperhatikan, jangan ngobrol masing-masing seenaknya!” bentaknya keras. Ify terdiam. Matanya ia pejamkan kuat-kuat. Sedangkan Sivia sama sekali tak menghiraukan bentakan Pak Jodie. Mungkin ia sudah kebal dengan kejadian yang sekarang terjadi lagi itu. Pak Jodie memang selalu marah-marah setiap kali ia masuk dan mengajar di kelas manapun.
“Yang gak bisa bukan kita aja kok, Pak. Aku yakin kalau semua siswa di kelas ini juga gak pada bisa, atau bahkan mungkin semua yang ada di sekolah ini.” timpal Sivia santai. Ia tak takut dengan perubahan ekspresi wajah Pak Jodie yang penuh amarah.
“Apa kamu bilang?!”
“Maaf Pak, aku gak bisa bilang dua kali.” kata Sivia sambil memainkan rambutnya. Ify hanya melotot ke arah teman sebangkunya itu.
“Loe mau cari mati?” bisik Ify kemudian. Sivia tersenyum sinis mendengarnya.
“Tenang aja, kita gak bakal mati di sini kok.” jawabnya ikut berbisik.
“Kalian denger baik-baik ya, di kelas ini cuma kalian yang bodoh dengan pelajaran saya. Karena kalian itu gak pernah mau memperhatikan saya saat pelajaran berlangsung.” ucap Pak Jodie seraya mondar-mandir di depan Sivia dan Ify. Lantas sesekali jemarinya menujuk wajah mereka, seakan-akan sedang mengancam.
“Dan belum tentu juga yang memperhatikan Bapak itu mengerti dengan apa yang Bapak ajarkan. Mereka memperhatikan Bapak karena terpaksa, Pak.” timpal Sivia enteng. Ia tidak sama sekali menatap mata Pak Jodie.
“Diem kamu! Jangan pernah menyebarkan kebodohan kamu kepada semua siswa yang ada di kelas ini.”
“Kalau gak percaya, coba aja Bapak tanya sendiri sama mereka. Dan Bapak boleh usir saya kalau salah satu di antara mereka ada yang bisa mengerjakan soal buatan Bapak ini.” tantang Sivia yakin. Wajah Pak Jodie seakan memanas mendengar kata-kata siswinya yang satu ini. Lantas ia langsung menyelidik satu persatu siswa yang ada di kelas XI IPA 2. Apakah benar dengan apa yang dikatakan Sivia tersebut?
“Gak ada yang bisa kan, Pak?” sinis Sivia jelas.
“Kalian berdua keluar sekarang juga!” bentak Pak Jodie seketika. Siswa yang lain hanya terdiam.
“Kalau begitu saya juga ikut keluar, Pak!” kata seseorang yang duduk paling belakang dan membuat semua siswa terpusat padanya.
“Saya juga.”
“Saya juga.”
“Saya juga.”
“Saya juga.”

Pak Jodie hanya bisa terdiam melihat siswa-siswanya keluar satu demi satu mengikuti Sivia dan Ify. Ia sedikit syok dengan hal itu. Seburuk itukah ia di mata para siswanya? Lantas ia terduduk pasrah sambil memegangi kepala yang rambutnya sudah terkombinasi dengan warna putih tersebut.
“Ya Tuhan, apa yang sudah hamba perbuat?” lirihnya perlahan.

***


“Loe nekad juga jadi orang, Vi.” kata Ify seraya menyambar gorengan yang sudah tersedia di hadapannya. Sedangkan Sivia masih sibuk dengan handphonenya serta mulut yang masih terisi penuh oleh makanan.
“Guru kaya gitu emang seharusnya ditegur, Fy. Jadi kita gak usah capek-capek lagi buat akting sok ngerti saat pelajaran fisika.” kata Sivia sebisa mungkin ia bicara.
“Iya juga sih.”
“Ya syukur-syukur aja Pak Jodie tobat dan bisa ngajar kita dengan benar.” kemudian Sivia terkekeh dengan ucapan yang ia lontarkan sendiri.
“Semoga aja.”
“Udahlah, gak usah bahas itu lagi. Oh iya, gimana si Molly? Udah sembuh?” tanya Sivia beralih topik pembicaran.
“Udah agak mendingan kok, Vi. Dia cuma stres doang kata dokter.” Sivia mengangguk. Karena kebetulan kemarin ia main ke rumah Ify dan menemukan si Molly一kucing kesayangan Ify一yang terlihat murung tak bergairah. Padahal biasanya si Molly langsung berlari girang apabila melihat Sivia dan sang majikan datang menghampirinya.

Lantas Sivia kembali menyeruput jus melon miliknya yang tinggal setengah itu.
“Eh itu ada apaan sih?” tanyanya tiba-tiba saat melihat kerumunan yang tak jauh dari tempat dirinya dan Ify duduk. Mereka memicingkan mata sejenak.
“Gak tau, Vi. Sana aja yuk?”
“Enggak ah! Norak gitu kelihatannya, kaya orang kampung baru ketemu artis aja.”
“Ya siapa tau aja ada pengumuman penting.” Sivia berpikir sejenak.
“Ya udah.” belum sempat Sivia dan Ify melangkah dari duduknya, mereka mendadak berhenti.
“Norak banget sih.” timpal Sivia sinis. Matanya melihat dua orang cowok yang bersusah payah keluar dari kerumunan cewek-cewek.
“Eh, kasihan juga tuh cowok.” kata Ify yang terus menerus memperhatikan mereka.
“Mereka itu kesenengan kali, Fy. Mana ada coba cowok yang gak mau digituin? Dikerumunin sama cewek-cewek.” balas Sivia sekenanya.
“Gak semuanya gitu kan, Vi?” tanya Ify penuh penekanan.
“Siapa yang bilang semuanya?” Sivia mengambil tasnya di tempat semula ia duduk.
“Udahlah lupakan! Pulang yuk?” lanjutnya. Ify menghela napas.
“Bayar dulu kali!” kata Ify yang berhasil membuat Sivia menepuk jidatnya.
“Hehe gue lupa, Fy.”
“Kebiasaan.”

***


Alvin dan Rio bersembunyi di balik mobil yang terparkir di depan gerbang sekolah. Napasnya memburu seakan habis dikejar oleh puluhan harimau yang hendak menerkamnya hidup-hidup.

Untuk sekejap, mereka mencoba menstabilkan detak jantungnya yang hampir hilang dan menetralkan asupan udara yang tidak karuan selama mereka diburu sama cewek-cewek di sekolah mereka.
“Udah aman kan, Yo?” tanya Alvin pelan. Matanya menyelidik ke sekitar tempat persembunyiannya.
“Sepertinya aman, Vin.”
“Syukurlah,” mereka menyembunyikan kepalanya di atas lutut.
“Hey, kalian ngapain di sini?” tanya seseorang yang berhasil mengagetkan Alvin dan Rio. Mereka tersentak seketika.
“Sssttt! Jangan berisik!” suruh Alvin tiba-tiba. Ia belum melihat jelas siapa yang menegurnya.
“Tapi loe ngapain di sini?” tanya orang tadi lagi. Kini ia ikut jongkok bersama Alvin dan Rio.
“Gue lagi ngumpet dari buruan cewek-cewek. Loe gak lagi ngeburu kita kan?” tanya Alvin. Rio ikut mengangguk untuk memperjelas pertanyaan Alvin.
“Oh gitu. Ngeburu loe berdua? Dih, ngapain coba? Kenal aja enggak.” kata orang tersebut seraya memutar bola mata.
“Hah? Yang bener loe gak kenal kita berdua?” tanya Rio heran.
“Loe anak sekolah sini kan?” sambung Alvin. Orang itu mengangguk.
“Emang kalian siapa?”
“Kita itu cowok terpo…”
“Gue Alvin. Anak kelas XII IPA 1. Dan ini temen gue, Rio.” potong Alvin sebelum Rio menyelesaikan kata-katanya.
“Oh, gue Ify. Kelas XI IPA 2, Kak.” orang itu一Ify一menyalami Alvin dan Rio bergantian.
“Loe lagi ngapain, Fy? Lah, terus kalian siapa?” tanya Sivia yang baru datang dari warung untuk membeli minuman bersama supirnya.
“Ini ada orang ngumpet di mobil loe. Katanya sih abis dikejar-kejar sama cewek-cewek.”
“Masa sih? Mereka itu maling kali, Fy!” tuduh Sivia langsung.
“Sori, kita bukan maling kok.” balas Rio. Alvin mengangguk.
“Elo cewek yang tadi pagi jatuh kan?” Sivia mengernyit.
“Siapa ya? Gue lupa.”
“Jangan sok-sok lupa gitu deh.”
“Apaan sih?”
“Sori deh buat tadi pagi.” kata Alvin meminta maaf.
“Ini cewek yang tadi pagi loe ceritain, Vin?” Alvin mengangguk. Sedangkan Ify hanya terbengong-bengong dibuatnya.
“Cepet ah pulang!” kata Sivia seraya menarik paksa tangan Ify. Begitupun supir Sivia yang mengikuti dari belakang. Alvin dan Rio saling pandang gak jelas ketika mobil yang ditumpangi Sivia dan Ify melesat begitu saja di hadapannya.
“Cewek aneh,” gumam Rio. Alvin hanya tertawa pelan.
“Unik kali.” sambung Alvin. Sejenak, mereka terpaku diam memandangi kepergian dua orang cewek yang baru saja dikenalnya kurang dari setengah jam tersebut. Seketika Rio tersenyum. Entah kenapa ia langsung melengkungkan bibirnya saat otaknya tanpa sengaja membayangkan perkenalannya dengan cewek tadi. Ify.
“Sepertinya jodoh kita udah deket, Vin.” Alvin mengangkat alis mendengar ucapan Rio tersebut.
“Maksud loe?”
“Cabut yuk?”
“Maksud loe tadi apaan?” tanya Alvin yang masih terheran-heran. Ia berusaha menyamakan derap langkahnya dengan Rio.
“Lupakanlah!” balas Rio seraya merangkul Alvin perlahan.
“Yayaya.” Alvin balas merangkul pundak Rio.
“Loe naksir cewek kecil tadi ya?” bisiknya kemudian. Rio langsung menyanggah.
“Ish! Apaan sih? Enggak!”
“Udah deh ngaku aja! Tumben loe normal, Yo.” Alvin terkekeh.
“Sialan! Jangan-jangan loe juga naksir sama tuh cewek aneh? Iya kan?” tuduh Rio balas dendam. Mendadak, Alvin menelan ludahnya cepat-cepat.
“Eh, ngarang aja loe!” Alvin menjitak kepala Rio perlahan.
“Ciyeeee salah tingkah.”
“Siapa? Enggak!”
“Tuh kan? Hahaha.”
“Riiiooo!!!”
“Nah lho tambah salah tingkah.” lagi-lagi Rio meledek Alvin yang menurutnya super salah tingkah.
“Iya gue naksir, puas?!”
“Hah?!”
“Gak usah sok kaget deh loe.”
“Beneran loe naksir?” Alvin mendecak kesal.
“Gitu aja percaya. Gue bercanda kali!”
“Ya elah, Vin. Kirain loe beneran naksir sama dia.”
“Ngarep banget ya gue naksir sama dia? Biar loe bisa naksir juga sama cewek yang satunya lagi, gitu?” Rio hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal tersebut.
“Ketahuan kan yang lagi naksir orang itu siapa? Hahaha.” Alvin langsung berlari meninggalkan Rio yang masih berdiri mencerna kata-kata dari Alvin.
“Woy, tungguin gue!” teriaknya kemudian. Rio berusaha mengejar Alvin yang memang sudah berlari jauh darinya.

***


Sivia melangkah pelan mengitari setiap lorong rak buku yang cukup sempit di perpustakaan milik sekolahnya. Telunjuknya ia angkat untuk memilih satu persatu judul buku yang mungkin sedang ia cari di sana. Cukup lama. Ia belum juga menemukan apa yang ia cari.
“Ini dia!” gumamnya senang begitu telunjuk mungilnya berhenti di salah satu buku paket yang ada di antara kumpulan buku-buku pengetahuan alam.
“Heh, ini punya gue!” pinta seseorang yang kebetulan ikut memegang buku itu.
“Ini gue duluan yang ngambil!” ujar Sivia gak mau kalah.
“Udah jelas gue ngambil duluan. Eh, elo main rebut aja dari gue.” ocehnya sambil mencoba merebut buku yang disembunyikan Sivia di belakang punggungnya.
“Enak aja loe kalau ngomong! Udah jelas-jelas gue yang megang buku ini sekarang. Udah deh, ngalah kek sama cewek. Loe cowok kan?”
“Masalah ini beda lagi. Gue mau ulangan sekarang. Tolong dong kembaliin, Vi.” mohonnya sambil mengatupkan kedua tangannya.
“Ngaruh buat gue?”
Please lah. Materinya ada di situ semua. Dan harus loe inget, gue di sini kakak kelas loe. Jadi jangan coba-coba ngelawan kakak kelas.” ancamnya sinis. Sivia terkekeh mendengarnya.
“Loe ngancem gue? Aduh, gue harus takut gitu?”
“Loe nyebelin ya jadi adik kelas?!”
“Loe juga lebih nyebelin ya jadi kakak kelas. Harusnya loe ngalah sama adik kelas. Egois banget sih!”
“Banyak ngomong loe!” cowok itu langsung merebut paksa buku yang dipegang oleh Sivia. Meski Sivia sudah berusaha menolak, tapi faktanya tenaga cowok itu lebih kuat dan dengan mudah mengambil buku tersebut dari genggaman Sivia. Lantas ia pergi begitu saja.
“Alviiiinnnn!!!” cowok itu Alvin.
“Gue benci sama loe!”
“Gak ngaruh loe mau benci atau tidak sama gue.” balas Alvin sebelum jauh meninggalkan Sivia. Sivia menggeram.

Sudah hampir tiga bulan Alvin dan Sivia berkenalan. Ralat! Saling kenal satu sama lain tanpa adanya jabat tangan di antara keduanya. Dan selama itu pula mereka belum pernah yang namanya saling menghormati layaknya seorang adik kelas ke kakak kelas ataupun sebaliknya. Yang ada mereka hanya saling beradu mulut saja tiap kali bertemu. Entah apa yang mereka bicarakan dalam perdebatan tersebut.
“Dasar norak! Nyebelin! Emangnya di sini cuma ada satu buku apa?!” rutuk Sivia kesal. Ia langsung melangkahkan kakinya keluar perpustakaan seraya mencibir tak jelas.
“Awas aja kalau ketemu lagi, gue remas-remas tuh muka!” belum selesai Sivia mengoceh, tubuhnya tak sengaja tertabrak orang dan jatuh terduduk.
“Aduh! Punya mata gak sih?!”
“Sori Vi, sori. Gue gak lihat ada loe. Sori ya?” kata si penabrak sambil membantu Sivia bangun.
“Ify?” gumam Sivia setelah menyadari kalau yang menabraknya ialah Ify一sahabatnya.
“Loe mau ngapain sih? Sampai nabrak gue segala.” lanjutnya sambil membersihkan rok hitamnya.
“Gue nyari loe.”
“Nyari gue? Ada apa emang?” Ify mengikuti Sivia yang mulai berjalan perlahan.
“Abisnya loe lama banget di perpustakaan, kesel gue nunggu loe di kelas.” kata Ify sedikit memanyunkan bibirnya.
“Semuanya gara-gara Alvin!”
“Kak Alvin?”
“Apaan sih loe manggil dia Kak Alvin?! Dia gak pantes dipanggil Kakak, dia gak pantes dihormati.”
“Karena dia kan kakak kelas kita, Vi?”
“Iya kakak kelas, kakak kelas yang gak bisa dijadiin panutan.”
“Hmm emangnya tadi loe diapain sama dia di perpus?” selidik Ify penasaran.
“Dia merebut paksa buku yang udah capek-capek gue cari. Pokoknya nyebelin banget deh dia itu, pengen gue hajar mukanya.”
“Emangnya dia masih belajar materi kelas XI ya? Bukannya udah kelas XII? Padahal inikan udah pertengahan tahun,” tanya Ify kembali heran.
“Mana gue tau. Nilai ulangannya nol mulu kali.”
“Siapa bilang?” tanya Alvin yang entah dari kapan berada di belakang Sivia dan Ify. Sivia langsung mengernyit, begitupun Ify. Lantas mereka segera menengok ke arah sumber suara.
“Elo?!”
“Iya gue, siapa lagi?”
“Ngapain loe ngikutin kita hah?!”
“Dih, siapa yang ngikutin kalian? Pede amat!”
“Terus loe ngapain di sini? Mau ngajak ribut di depan kelas gue?”
“Terserah gue dong mau ngapain, bukan urusan loe kan?”
“Dasar aneh!”
“Tapi gue keren. Daripada loe, udah aneh, jelek pula!” ujar Alvin sinis. Sedangkan Ify sejak tadi hanya bisa terbengong-bengong melihat dua orang yang sedang beradu mulut di hadapannya itu.

Seketika, wajah Sivia berubah merah. Emosi. Rasanya ingin sekali ia memakan hidup-hidup cowok yang bernama Alvin itu.
“Aaaarrrrgggghhhh!!!” teriak Alvin seketika. Ia meringis kesakitan begitu Sivia dengan sengajanya menginjak kakinya keras. Kemudian Sivia menarik paksa tangan Ify untuk masuk kelas.
“Dasar cewek gila!” cibir Alvin sambil mengelus-elus kakinya.
“Bodo! Suruh siapa loe bikin urusan sama cewek gila hah?!” timpal Sivia sinis.
“Ish!” elak Alvin yang hanya bisa menahan emosinya kuat-kuat. Ia berusaha berjalan meski sedikit pincang. Mulutnya tak henti-hentinya mencibir.

Di kelas, Sivia duduk dengan kadar emosinya yang masih melebihi kapasitas. Tangannya terus mengepal dan sesekali ia pukulkan ke meja. Bahkan buku tulis yang sejak tadi tergeletak di sana juga ikut menjadi sasarannya. Sepenuh tenaga, Sivia meremas-remas buku tersebut hingga beberapa lembar di antaranya terlepas begitu saja.
“Nyebeliiiinnnn!!!” kesalnya akut.
“Vi, kasihan Kak Alvin sampai pincang gitu jalannya.” Ify ikut duduk di samping Sivia yang kini melotot ke arahnya. Dan Ify langsung mati kutu ditatap seperti itu oleh Sivia.
“Sebenernya sahabat loe itu siapa sih, Fy?! Kok elo malah kasihan sama dia. Emang elo gak kasihan sama gue?!” tukas Sivia heran. Ify langsung tergelak.
“Ya bukan gitu maksud gue.” sesal Ify pelan. Untuk sejenak, Sivia tak bergeming. Ia terlalu fokus meremas-remas buku kimianya.
“Segitu bencinya loe sama Kak Alvin, Vi?” tanya Ify kemudian. Mendengar itu, Sivia melirik sinis ke Ify.
“Pakai ditanya lagi. Gak lihat apa gue lagi emosi gara-gara dia? Heran gue sama loe.” Ify menghela napas.
“Emangnya Kak Alvin punya salah apa sama loe? Setau gue, loe sama dia itu gak pernah ada masalah. Tapi kok kalian bisa berantem mulu ya kalau ketemu?” heran Ify. Sivia kembali tak bergeming. Sepertinya ia baru menyadari akan sesuatu. Benar apa yang Ify bilang barusan.
“Via?” panggilnya sangat pelan.
“Loe gak apa-apa kan?” tanya Ify lagi. Sedikit heran melihat Sivia yang mendadak diam, diam dari aktivitas meremas-remas buku.
“Udahlah Fy, gue gak mau bahas itu lagi. Kantin aja yuk?”
“Hmm ya udah deh.” kata Ify pasrah menerima ajakan Sivia. Ia berusaha memaklumi dan langsung mengikuti langkah sahabatnya itu dari belakang.

***


Limabelas menit setelah bel pulang berbunyi, Sivia buru-buru pamit ke Ify lantaran ada hal penting yang mendadak katanya. Ify membolehkan, toh ia juga bisa pulang sendiri naik angkot. Ya bedanya cuma gak ada teman buat ngobrol saja.

Setelah selesai Ify memasukan semua peralatan menulisnya ke dalam tas, ia dengan segera melangkah keluar kelas yang faktanya sudah terlihat sepi sekali. Teman-teman sekelasnya sudah pada pulang, bahkan kelas tetangga pun terlihat tak berpenghuni juga. Hanya saja ada beberapa orang yang sibuk di tengah lapangan basket saat Ify melewatinya.
“Ify?!” untuk sesaat Ify menghentikan langkahnya. Ia mencari-cari sumber suara yang tadi memanggilnya.
“Siapa sih yang manggil gue?” matanya terus mengitari setiap sudut sekolah tersebut. Dan kemudian ekor matanya menangkap bayangan nyata seseorang yang sedang berlari pelan ke arahnya.
“Kak Rio?” gumamnya.
“Loe belum pulang?” tanya Rio setelah ia sampai di hadapan Ify.
“Belum Kak, kenapa?”
“Sivia mana? Kok sendirian aja?” Rio mencari-cari sosok Sivia yang memang biasanya selalu bareng dengan Ify. Tapi kali ini tidak.
“Sivia pulang duluan, Kak. Kak Rio juga sendirian, mana Kak Alvin?” tanya Ify seraya memicingkan mata ke arah lapangan basket dan tak menemukan sosok Alvin di sana.
“Tau tuh dia pulang gak bilang-bilang dulu. Padahal sore ini ada latihan. Loe mau pulang sekarang? Naik apa?”
“Iya. Naik angkot, Kak.”
“Bareng gue aja yuk?”
“Gak usah deh. Kak Rio kan mau latihan.”
“Males ah gue. Lagian gak asik kalau gak ada Alvin.”
“Oh gitu.”
“Bareng gue ya?”
“Naik motor?”
“Enggak, jalan kaki. Ya iya lah naik motor!”
“Siapa tau aja mau bareng naik angkot.” balas Ify datar.
“Ayo pulang?” lantas Rio langsung memegang tangan Ify. Untuk sejenak Ify heran melihat ulah Rio. Ada yang beda dengan rasa di dadanya. Berdebar. Namun Ify tak menghiraukan hal tersebut, ia hanya pasrah saat tangannya ditarik Rio sambil jalan menuju parkiran.

Ify berdiri di belakang Rio. Mematung. Memandangi semua gerak-gerik Rio mulai dari memakai helm hingga menyalakan mesin seperti sekarang ini.
“Ayo naik, Fy!” suruh Rio. Ify tak menyahut.
“Fy?” panggil Rio lagi sedikit membuka helmnya. Ia melihat cewek yang dipanggilnya itu sedang berdiri mematung. Rio menggeleng kesal.
“IFY!!!”
“Eh iya Kak, kenapa?” respon Ify gelagapan.
“Ayo naik! Bengong mulu dari tadi.”
“Maaf gue gak denger, Kak.” Ify segera menaiki motor Rio. Lantas memegang pundak Rio perlahan.
“Pegang pinggang gue aja yang erat. Gue mau ngebut.” Rio mengarahkan tangan Ify ke pinggangnya. Perlahan, Ify cuma bisa nurut kata-kata Rio.
“Jangan terlalu ngebut ya Kak, gue takut.”
“Tenang aja. Loe pegangan yang erat.” Ify langsung memegang pinggang Rio erat, terkesan memeluk.

***


“Loe ngapain di rumah gue?” syok Sivia begitu ia melihat musuhnya sedang duduk bersama Mamanya一Alvin.
“Sivia, gak sopan kamu.” ucap sang Mama setelah selesai membalutkan perban di jemari Alvin yang sedikit luka akibat melawan pencopet yang hendak menyambar dompet milik Mama Sivia.
“Tapi kenapa orang ini ada di rumah kita, Ma? Dia jahatin Mama?”
“Enggak Sayang, dia malah yang nolong Mama dari para pencopet di jalan tadi.” jelas Mama. Sedangkan Alvin sedari tadi masih meringis dengan lukanya yang memang terasa perih. Ia gak berniat melawan ocehan dari Sivia. Lagian ini juga rumah Sivia, toh Alvin bakal kalah debat meskipun harus melawan.
“Coba kalau gak ada Nak Alvin, pasti dompet Mama udah raib.” Sivia langsung duduk di samping Mamanya. Ia sedikit mencibir ke arah Alvin.
“Emang kalian saling kenal ya? Kok Tante gak pernah lihat Nak Alvin main ke sini sih?” Alvin tersenyum.
“Kenal kok, Tante. Sivia satu sekolah sama Alvin. Cuma Alvin kakak kelas Sivia, jadi gak begitu deket.” ucapnya ramah. Sivia mendengus.
“Sok ramah loe!”
“Sivia?!” greget Mama Sivia seraya mencubit pelan perut anaknya tersebut.
“Sivia emang gitu, Tante. Agak nyebelin.” Alvin tersenyum sinis.
“Iya?”
“Enggak Ma, enggak! Dia yang nyebelin. Buktinya dia sering jailin Via kalau di sekolah. Dasar cowok pengadu loe!” kesal Sivia.
“Karena loe duluan yang bikin kesel.”
“Enak aja! Elo tuh yang bikin kesel.”
“Tuh kan Tante, Sivia emang ngeselin.” adu Alvin kepada Mama Sivia. Mencoba meyakinkan kalau Sivia lah yang memang menyebalkan. Mama Sivia menggeleng sambil tersenyum.
“Enggak Ma, dia yang ngeselin.” Sivia ikut mengadu. Sang Mama langsung ketawa.
“Kok Mama malah ketawa sih?”
“Iya nih Tante payah.”
“Abis kalian lucu sih. Mama jadi keinget sama masa-masa Mama muda dulu.” kata Mama Sivia yang behasil membuat anaknya menepuk jidat, sama seperti Alvin.
“Mamaaaa!!!” greget Sivia kesal.
“Alvin jangan terlalu benci sama Sivia, dan Sivia juga jangan terlalu benci sama Alvin. Itu aja pesan Mama sama kalian.” mereka mengernyit. Tak mengerti dengan apa yang diucapkan Mama Sivia.
“Emang kenapa, Tante?”
“Karena benci bisa jadi cinta lho.” bisik Mama Sivia pelan sekali. Namun terdengar jelas di telinga Alvin dan Sivia.
“Gak akan!” kompak mereka. Sang Mama beranjak sambil terus tersenyum melihat tingkah kedua anak yang menurutnya lucu itu.
“Mama berani taruhan deh.”
“Mama, udah deh!”
“Iya nih Tante nyebelin deh.”
“Entar kalau kalian udah jadian, bagi pajaknya ya? Hehehe.” kata sang Mama yang sedari tadi mau pergi tapi gak jadi-jadi.
“Mama!”
“Tante!” mereka一Alvin dan Sivia一lantas menekuk wajah penuh kesal.
“Kenapa loe ngikutin gue kesel kaya gitu?!” Sivia mencibir.
“Dih, apa sih?!”
“Mending loe pergi aja sana! Udah selesai kan urusannya sama nyokap gue?”
“Tanpa diusir pun gue bakal pergi dari sini.”
“Ya udah sana pergi.”
“Iya-iya gue pergi! Dasar cewek nyebelin!”
“Elo tuh yang nyebelin. Awas loe, jangan pernah berani lagi nginjak kaki loe di rumah gue!”
Whatever you say!
“Hush, hush, hush! Cepetan pergi sana! Jauh-jauh loe dari gue.” usir Sivia keras. Alvin terus mencibir dibuatnya.
“Lho kok pulang?” heran Mama Sivia yang tiba-tiba muncul di belakang Sivia dengan membawa sedikit cemilan dan es jeruk.
“Udah Via usir. Lagian Mama repot-repot amat sih pakai bawa-bawa ginian buat dia.”
“Tamu itu raja, Sayang. Apalagi Alvin udah nolong Mama.” Sivia mendengus. Entah setan apa yang telah merasuki otaknya.
“Terserah Mama deh! Via ke kamar.” lantas dengan perasaan kesalnya, Sivia langsung pergi ke kamarnya meninggalkan sang Mama yang masih berdiri mematung.
“Sivia, Sivia.”

***


Ify memutar-mutar remote televisinya asal. Ia terlalu asyik mengobrol dengan sahabatnya一Sivia一di sambungan telepon tanpa memperdulikan televisi yang masih menyala sedari tadi.
“Terus loe apain tuh Kak Alvin?” tanyanya setelah Sivia selesai bercerita panjang lebar.
“Ya gue usir lah, Fy! Buat apa lihat dia lama-lama di rumah gue?”
“Dih, loe parah banget sumpah! Dia kan udah nolongin nyokap loe sampai terluka gitu. Tapi loe main usir-usir dia aja.”
“Udah deh gak usah belain dia. Mau sebaik apapun dia sama gue ataupun nyokap gue, gue gak perduli.”
“Yakin loe? Gak nyesel kalau loe nanti sampai suka sama dia?” Ify terkekeh tiba-tiba.
“Ish! Loe doain gue gitu, Fy? Temen macem apaan loe? Sumpah nih ya, gue gak bakal suka tuh sama yang namanya A.L.V.I.N! Titik!”
“Gue gak ikut-ikutan ya kalau loe nanti beneran suka sama dia. Hahaha.”
“IFFFFYYYY!!!” teriak Sivia keras. Dan membuat Ify sedikit menjauhkan handphonenya sebelum gendang telinganya pecah sia-sia akibat teriakan dari sahabatnya tersebut.
“Udah?”
“Apanya?”
“Teriaknya?”
“Mau gue teriak lagi?”
“Gak usah Vi, gak usah!”
“Eh Fy, bentar ya ada yang nelpon gue.” Ify mengernyit sesaat.
“Ya udah deh matiin aja gak apa-apa kok. Kebetulan gue juga ngantuk, Vi.”
“Ya udah, selamat istirahat ya? Bye!”
“Iya, selamat istirahat juga. Bye!” lantas Ify langsung mengakhiri sambungan teleponnya. Matanya mulai terasa berat. Ia mematikan TV terlebih dahulu sebelum pergi ke kamarnya.

Sedetik, baru saja Ify memeluk bantal guling yang tergeletak di atas kasurnya, tiba-tiba ada suara panggilan masuk di handphonenya. Lantas Ify berusaha mengangkatnya meski seluruh tubuh kecilnya sudah enggan untuk bangun.
“Kenapa lagi, Sivia? Tadi katanya ada yang nelpon?”
“Sivia? Bukan. Gue Rio.” Ify langsung mengangkat alis mendengarnya.
“Kak Rio?” tanyanya kemudian. Terkesan keheranan.
“Iya. Ganggu gak?”
“Enggak, Kak. Ada apa?”
“Gak ada apa-apa kok. Loe belum tidur?”
“Oh belum. Baru aja tadi mau tidur, eh Kak Rionya nelpon.”
“Maaf ya ganggu.”
“Gak apa-apa kok. Kak Rio belum tidur?”
“Belum ngantuk.”
“Oh gitu. Tau nomor gue dari siapa, Kak?”
“Hmm dari siapa ya? Ada deh pokoknya. Gak penting juga kan?”
“Iya sih. Terus sekarang Kak Rio mau ngapain?”
“Mau main petak umpet! Ya ngobrol lah!”
“Gak usah emosi juga kali, gue kan nanya doang.”
“Abisan loe nanyanya aneh-aneh aja.” Ify terkekeh tiba-tiba. Rasa kantuknya hilang begitu saja ketika Rio menelponnya. Mendadak, Ify tersenyum-senyum. Entah kenapa?

***


“Ini siapa?”
“Gak penting!”
“Siapa sih? Aneh!”
“Masa gak kenal?”
“Woy, ini siapa? Udah deh gak usah bercanda!”
“Gue gak bercanda.”
“Loe siapa? Ayo ngaku!”
“Gak usah pura-pura gak tau deh!”
“Siapa sih? Cakka?”
“Cakka? Cakka siapa?”
“Cakka temen sekelas gue.”
“Bukan!”
“Terus? Gabriel?”
“Bukan!”
“Septian?”
“Bukaaaannnn!!!”
“Siapa siiiihhhh??? Temen SD, SMP, apa SMA?” Sivia super penasaran dengan seseorang misterius yang tiba-tiba menelponnya. Cukup menyebalkan bagi Sivia. Andai saja tadi Sivia tidak mengangkat telepon dari orang misterius tersebut, pasti ia masih bisa santai curhat-curhatan sama Ify ketimbang harus meladeni orang aneh seperti yang sedang ia lakukan sekarang.
“Gue bukan temen loe!”
“Lho? Terus?”
“Musuh loe!”
“Musuh? Gue gak punya musuh ya!”
“Loe berlagak bego ya sekarang?”
“ALVIIIINNNN!!!”
“HAHAHA!!!”
“Ngapain loe nelpon gue? Ish!”
“Emang ada larangannya?”
“Jelas ada lah! Dan itu khusus buat loe doang!”
“Dih, gitu ya? Pilih kasih loe jadi orang!” tiba-tiba terdengar decakan sinis dari seberang sana.
“Bodo!”
“Bisa gak sih gak nyebelin sebentar aja?”
“GAK!”
“Ish! Bener-bener loe ya.”
“Apa?!”
“Enggak.”
“Ya udah matiin cepetan!”
“Gak mau!”
“Gue yang matiin.” sejenak, Alvin tak bergeming. Heran. Sampai Sivia tak berani untuk mematikan sambungan teleponnya.
“Alvin?” Alvin masih diam. Belum berniat menyahuti panggilan Sivia.
“Loe masih di situ kan?” tak ada jawaban. Hanya terdengar olehnya deru napas Alvin perlahan. Sejenak, Sivia merenung. Cukup lama. Sampai ia memutuskan untuk berusaha berubah sikap ke Alvin hanya sekali ini saja.
“Ada perlu apa?” tanya Sivia ramah. Seramah mungkin. Sebisanya. Alvin masih tak menjawab.
“Vin?”
“Kita bisa gak sih untuk sebentar aja damai? Gak harus berantem, gak harus debat, gak harus saling emosi?” kata Alvin lirih. Entah kenapa Alvin harus bicara itu.
“Hmm maksud loe?”
“Gue capek berantem mulu sama loe, Vi.” Sivia terhenyak sesaat. Kalau dipikir-pikir memang benar juga apa yang dikatakan Alvin. Kenapa selama ini mereka selalu berantem? Padahal mereka sendiri tidak tau apa alasannya mereka sampai seperti itu.
“Apa loe gak capek berantem terus sama gue?” Sivia menghela napas.
“Maafin gue, Vin.”
“Buat?”
“Ya buat semuanya.”
“Loe gak punya salah ke gue.”
“Gue kan sering banget marah-marah gak jelas sama loe.”
“Gak gue masukin ke hati kalau masalah itu. Bagi gue itu hanya candaan.”
“Kalau gitu loe yang minta maaf sama gue.”
“Kok gue harus minta maaf?”
“Karena gue bukan elo yang nganggep semua itu candaan. Ayo minta maaf!”
“Gak mau!”
“Harus!”
“Enggak!”
“Ya udah matiin nih?”
“Iya-iya nih gue minta maaf. Maafin gue ya? Mungkin gue udah nyebelin selama ini. Bahkan mungkin lebih dari nyebelin.”
“Nah gitu dong! Oke, gue maafin. Hahaha.”
“Ketawa lagi.”
“Abis lucu.”
“Apanya yang lucu?”
“Kita.”
“Maksudnya?”
“Tau ah!”
“Loe belum tidur?”
“Tidur? Belum. Lagian kalau gue tidur, loe mau ngobrol sama siapa?”
“Sama nyokap loe juga boleh. Hehehe.”
“Ish! Jangan pernah lagi deketin nyokap gue!”
“Kenapa? Oh, cemburu? Ciyeeee.”
“Ngarep! Ngapain cemburu sama loe? Kaya gak ada yang bisa dicemburuin lagi aja.”
“Udah deh ngaku aja. Gue tau kok gue ganteng. Dan gue juga tau loe naksir gue.” Sivia mendengus. Perutnya tiba-tiba terasa mual mendengar kata-kata Alvin.
“Boleh muntah gak, Vin?”
“Boleh, silahkan!”
“Ish! Sejak kapan loe narsis?”
“Hahaha.”
“Vin, gue ngantuk.”
“Ya udah tidur aja sok.”
“Gak apa-apa dimatiin?”
“Gak apa-apa.”
“Beneran?”
“Niat tidur gak sih, Vi? Banyak nanya loe ah!”
“Ish! Kali aja loe kangen sama gue.”
“Enggaaaakkkk! Udah sana tidur gih!”
“Huh! Ya udah gue tidur ya?”
“Iya, semoga mimpi indah.”
“Makasih.” Sivia langsung menarik selimut yang sejak tadi didudukinya.
“Kok belum dimatiin?” tanyanya kemudian.
“Loe aja yang matiin.”
“Gak mau! Yang nelpon duluan siapa coba?”
“Tapi yang pamit tidur duluan siapa?”
“Alviiiinnnn!!!”
“Siviaaaa!!!”
“Tau ah!”
“Ya udah. Matiin aja apa susahnya sih? Heran deh,”
“Dasar nyebelin!” Sivia langsung mematikan handphonenya tanpa komando. Ia bergegas tidur tanpa memperdulikan Alvin yang entah lagi apa di seberang sana.
“Selamat tidur, Alvin!” gumamnya sebelum benar-benar tidur. Seakan ia lupa dengan semua sikapnya kepada Alvin selama ini. Entahlah.

***


Rio berdiri resah di bawah tiang yang di atasnya terdapat lampu besar yang sinarnya sedikit temaram. Ia bersandar di sana. Menunggu seseorang yang sebelumnya pamit untuk membeli sedikit cemilan di toko terdekat.

Rio berniat mengantar, tapi ditolak. Lantas ia lebih memilih menunggu sambil sesekali meneliti sendu keadaan sekitar.
“Sori ya udah nunggu lama.” sesosok cewek tinggi kecil berambut panjang dan bergelombang itu seketika mengusik pendengaran Rio. Rio tersenyum renyah.
“Gak apa-apa. Sini duduk!” cewek itu lantas duduk dengan cemilan yang masih ia pegang.
“Kak Rio mau minum?” tawarnya ramah.
“Tau aja kalau aku haus, Fy?” cewek kecil itu Ify. Seketika Ify tersenyum melihat tingkah Rio yang sulit untuk diungkapkan menurutnya.
“Iya dong, seorang pacar harus pengertian kan?” kata Ify seraya menyenggol pelan pundak pacarnya tersebut. Ya, Ify dan Rio memang sudah berpacaran. Sejak seminggu yang lalu.
“Aku jadi makin sayang sama kamu, Fy.” ungkap Rio manja. Ia memegang tangan Ify lembut.
“Iya dong Kak, harus!” kata Ify sembari membalas genggaman Rio. Rio memanyunkan bibirnya.
“Iya-iya pasti. Tenang aja, aku selalu sayang kok sama kamu. Beneran,”
“Gombal banget.”
“Ini serius lho.”
“Masa sih?”
“Ya udah kalau gak percaya.”
“Iya aku percaya.” Ify tersenyum kemudian.
“Nah gitu dong.” lalu Rio menarik kepala Ify ke pundaknya. Membiarkan Ify menikmati sejenak belaian tangannya.

Rio bergumam pelan. Wangi rambut Ify berhasil membuat Rio semakin erat merangkul cewek yang kini hanya terdiam sejuta kata di pundak Rio itu.
“Kak?”
“Hmm,”
“Jangan pernah tinggalin aku ya?” Rio menarik napas. Dan dibukalah poni Ify perlahan, supaya Rio bisa melihat mata indah milik cewek tersebut. Sedetik, Ify melirik dan melihat Rio yang sedang menatap wajahnya. Rio pun menggeleng. Menjawab pertanyaan Ify barusan.
“Janji?”
“Aku gak mau janji, aku takut suatu saat aku akan melanggarnya.” Ify kembali memalingkan pandangannya.
“Aku cuma bisa berusaha, Fy. Berusaha untuk tidak melakukannya.” Rio mengangkat wajah Ify perlahan. Lantas memegang kedua pipinya. Ia tersenyum.
“Gak ada sedikitpun niat yang tersirat di otakku untuk meninggalkanmu.”
“Sungguh?” Rio mengangguk. Kemudian ia merasakan bahwa cewek yang ada di sampingnya itu telah memeluknya begitu erat. Seakan ia tak mau kehilangan Rio untuk sekejap pun.
“Udah-udah, pengap nih.” gurau Rio.
“Ish! Apaan sih? Orang masih pengen meluk juga.” Ify mencibir.
“Malu tau dilihatin orang.”
“Bodo! Mereka juga memaklumi kali. Kaya mereka gak pernah muda aja.”
“Huh dasar!” Ify langsung memeluk Rio lagi tanpa komando. Bahkan itu lebih erat dari sebelumnya.

***


“Ehem! Senyum-senyum aja kelihatannya dari tadi.” Alvin dan Sivia mendadak salah tingkah dibuatnya. Mama Sivia selalu saja menggoda mereka tiap kali Alvin main ke rumahnya untuk menemui Sivia.
“Mama apaan sih?” kata Sivia salting.
“Enggak. Mama cuma mau ngasih ini aja kok. Tenang, Mama gak bakal ganggu kalian.” ditaruhnya makanan dan minuman yang memang dibawa oleh Mama Sivia tersebut di atas meja. Alvin tersenyum.
“Makasih, Tante.”
“Sama-sama, Sayang.” Sivia mendelik.
“Mamaaaa!!!” geramnya kemudian.
“Apa sih? Gak salah kan manggil Alvin dengan sebutan sayang?” Mama Sivia tersenyum ke arah Alvin. Alvin juga tersenyum. Mereka seakan kompak mengerjai Sivia.
“Sivia cemburu kali, Tante.” kata Alvin ikut angkat bicara. Mama Sivia mengangkat jempolnya.
“Nah bener!”
“Ish! Kamu juga ikut-ikutan aja! Udah deh, Mama cepetan pergi sanaaaaa!!!” Sivia mencoba mendorong Mamanya agar pergi dari tempat Sivia dan Alvin mengobrol.
“Ciyeeee yang gak mau diganggu.”
“Mamaaaa!!! Nyebelin deh!”
“Ya udah kalau gitu Tante masuk dulu ya?” pamit Mama Sivia seraya mengedipkan sebelah matanya ke Alvin. Alvin tersenyum.
“Udah cepetaaaan!” Sivia kembali mendorong Mamanya masuk ke dalam rumah.
“Kok kamu gitu sih sama Mama kamu sendiri?”
“Abis Mamaku tuh nyebelin banget.” Sivia kembali duduk di samping Alvin.
“Nyebelin? Enggak ah! Mama kamu itu asik.”
“Tapi kadang nyebelin, kaya tadi itu. Ya udahlah, kenapa jadi bahas Mama?” Alvin menghela napas. Sebisa mungkin mencari topik pembicaraan baru. Begitupun Sivia yang lebih memilih diam. Lebih jelasnya menunggu Alvin kembali berbicara.
“Vi?”
“Iya?”
“Kamu nyaman gak sih dengan sikap kita seperti sekarang ini?” tanya Alvin sendu. Sivia mengerutkan dahinya. Tak mengerti apa yang ditanyakan Alvin.
“Yang selalu damai, gak pernah berantem.” lanjutnya yang seakan tau dengan pemikiran Sivia sekarang.
“Hmm aku, aku merasa nyaman sekali.” kata Sivia berusaha santai.
“Kenapa kita gak gini aja dari dulu?” tanya Alvin lagi. Ia tak butuh jawaban dari siapapun dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkannya. Menurutnya itu bukan pertanyaan, melainkan hanya sebuah penyesalan yang baru terungkap.
“Aku gak pernah menyadari hal itu sebelumnya.” gumam Sivia yang kini matanya menatap lurus ke depan.

Sejenak, tanpa Sivia sadari, Alvin memandangi setiap raut wajah yang terukir indah pada gadis di sebelahnya tersebut. Ia tersenyum sesaat.
“Kamu gak mau ngikutin jejak Ify?” tanyanya kemudian. Lantas Sivia melirik Alvin perlahan.
“Maksudnya?”
“Hmm enggak, maksud aku, ya gitu deh.” Alvin langsung terlihat salting dibuatnya.
“Nyuruh aku pacaran gitu?” Alvin tak menjawab.
“Kak Alvin juga gak ngikutin jejak Rio?” Alvin tergelak. Sivia bilang apa barusan? Apa Alvin tidak salah dengar? Entahlah.
“Apa? Kak Alvin? Kamu gak salah ucap kan, Vi?” Sivia mengernyit.
“Enggak kok. Kenapa gitu? Ada yang salah?”
“Enggak sih. Ya heran aja, tumben manggil aku dengan sebutan kakak.” kini giliran Sivia yang tidak merespon. Ia membungkam mulutnya seribu bahasa.
“Rencananya aku mau nyusul jejak Rio secepatnya.”
“Oh ya?”
“Iya, secepatnya. Kamu kapan nyusul?” Sivia mengambil napas dan membuangnya asal.
“Entahlah!”
“Kenapa?”
“Ya begitulah. Pokoknya yang jelas, selama cowok yang ada di sampingku ini belum mengungkapan perasaannya padaku, mungkin aku gak pernah nyusul Ify untuk pacaran. Setidaknya untuk double date.” ucap Sivia sembari menarik kedua sudut bibirnya. Ia tak menatap Alvin sedikitpun. Ingin mengetahui sepeka apakah Alvin kepadanya?
“Yayaya. Aku pun sama. Sebelum denger kata iya dari cewek di sampingku ini, aku rela jomblo seumur hidup.” mereka terkekeh tiba-tiba. Lantas hening kembali untuk beberapa detik.

Untuk pertama kalinya Alvin menyentuh tangan Sivia perlahan. Alvin tersenyum tipis. Telapak tangan Sivia terasa begitu sangat dingin. Diam. Alvin dan Sivia belum berucap sepatah katapun. Hanya saja getaran yang ada di dada mereka itu saling berkomunikasi. Cukup lama.
“Mulai sekarang, kamu milikku.”
“Lho kok? Kamu aja belum nembak aku! Bagaimana bisa aku jadi milik kamu? Ish!” Sivia mencibir.
“Bukankah getaran yang ada di hatiku mampu kamu rasakan juga? Dan bukankah itu membuktikan kalau kamu sama aku itu saling cinta?” Alvin tersenyum. Begitupun Sivia.
“Jadi, gak perlu nembak dan gak perlu katakan iya. Simpel kan?”
“Kak Alviiiinnnn!!!” rengek Sivia manja. Ia langsung merengkuh tubuh bidang Alvin tersebut. Alvin membalas.

Perlahan, Alvin mendaratkan kecupannya yang begitu lembut di kening Sivia yang saat itu bersimpuh di dadanya.
I Love You, Sivia!” Alvin memberikan senyuman termanisnya kala itu. Begitupun Sivia.
I Love You Too, Kak!”

Di sisi lain, ada seseorang yang benar-benar bahagia melihat kedua remaja yang sedang berduaan mesra tersebut. Ia tersenyum. Sesekali kepalanya menggeleng karena melihat tingkah lucu Alvin dan Sivia. Ia, Mama Sivia.

End! Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Selasa, 06 Agustus 2013

Lovacebook

Via's P.O.V

Gue masih setia duduk di depan laptop. Gelisah. Menanti balasan dari chattingan gue dengan orang yang belum lama ini gue kenal di facebook. Dia orangnya asyik diajak ngobrol, meskipun sedikit cuek. Tapi entah kenapa gue selalu penasaran dibuatnya. Lumayan lama, hampir kurang lebih setengah jam gue menyapanya di facebook, tapi dia belum juga balas chattingan gue. Padahal gue tau kalau dia lagi on facebook.
“Sori telat.”
“Oke gak apa-apa. Hehe kamu lagi ngapain?”
“Napas,”
“Oh, masih bisa napas toh? :D”
“Sialan -_-”
“Abis kamu aneh sih. Semua manusia juga napas kali. Yang lebih spesifik lagi dong.”
“Ngupil :P”
“Jorok ih!”
“Itu kan spesifik?”
“Tapi gak gitu juga :|”
“Sori,”
“Iya gak apa-apa. Selain ngupil, ngapain lagi?”
“Maunya?”
“Gak jadi deh.”
“Ya udah.”
“Tau ah!” Cowok itu namanya Alvin Joe, sesuai dengan nama akun facebooknya. Kurang tau juga sih nama sebenarnya siapa. Bahkan wajah aslinya aja gue gak tau yang mana. Soalnya dia pakai foto profil tokoh kartun Detective Conan. Selain itu disemua koleksi albumnya juga gak ada foto dia yang sendiri, kebanyakan sama teman-temannya. Jadi gue bingung mana wajah dia yang sebenarnya.

Kembali, Alvin tak membalas chattingan gue. Mungkin dia malas meladeni keisengan gue, atau mungkin aja dia lagi ada kesibukan lain.
“Sombong nih gak bales -_-”
“Hehe :D”
“Malah ketawa,”
“Gak boleh? Ya udah.”
“Terserah kamu deh. Aku off ya?”
“Kenapa?”
“Gak apa-apa. Pengen off aja.”
“Ya udah aku juga.”
“Gak boleh ikut-ikutan!”
“Kata siapa?”
“Kata aku barusan.”
“Oh.”

Gue sengaja gak balas chatnya. Ingin tau kalau dia juga respect atau tidak sama gue. Tapi toh ternyata tidak, dia memang benar-benar off facebook. Ya sudahlah.

***


Alvin's P.O.V

Cewek yang lucu. Ya, cewek yang baru gue kenal di facebook. Namanya Via Squarepants. Itu juga nama facebooknya, gak tau nama aslinya siapa. Mungkin karena dia ngefans kali sama kartun Spongebob, jadi namanya dikasih embel-embel Squarepants. Lucu juga. Selain itu anaknya juga manis kalau dilihat dari beberapa fotonya yang sering gue lihat. Sedikit alay sih gaya berposenya. Tapi dia tetap terlihat manis dengan sedikit lesung pipitnya yang lumayan dalam itu. Ya sudah deh, gue lanjutin lagi nanti. Toh dia juga udah off. Mungkin udah kesal dengan sifat gue yang cuek ini. Tapi inilah gue, mau diapain lagi?
“Vin, loe kaya pangeran aja di kamar mulu.” baru saja gue mau bangkit dari kasur, suara orang yang sangat gue kenal itu menyapa. Itu suara Rio一sepupu gue.
“Apa sih? Terserah gue kali.” balas gue santai. Rio mengangkat pundaknya dan langsung tepar di atas kasur kesayangan gue.
“Gue pinjem laptop loe ya? Mau buka facebook nih.” pinta Rio sambil menyambar laptop gue yang sengaja belum gue tutup.
“Gak biasanya loe izin dulu? Loe salah minum obat, Yo?” gue heran lihat dia yang sedikit aneh sekarang. Karena gak biasanya Rio bilang-bilang dulu kalau pinjam sesuatu dari gue. Tapi sekarang? Ya sudahlah. Mungkin lebih baik begitu.
“Sialan loe! Perasaan gue selalu serba salah di mata loe, Vin.”
“Terserah deh. Gue laper,” gue langsung turun ke bawah meninggalkan Rio sendirian di kamar gue. Palingan dia juga bakal asyik sendiri mainan facebook.

***


Author's P.O.V

Via berdiri di balkon kamarnya dengan tangan yang erat menggenggam handphone.
“Gue kesel sama dia, Fy. Masa kalau gue chat dia, balesnya singkat-singkat mulu?” Via membalik badannya dan berjalan mendekati kasur. Perlahan, ia menarik bantal guling serta menaruhnya di pangkuan.
“Biasa aja kali, Vi. Namanya juga temen maya.” sahut seseorang di balik telepon.
“Ya tapi kan gue pengen kenal lebih deket aja sama dia. Emang salah?” Via memanyunkan bibirnya. Cewek bernama Ify itu tiba-tiba tertawa.
“Kok ketawa sih? Nyebelin loe ah!”
“Loe naksir beneran sama tuh cowok facebook, Vi? Loe kan belum tau dia yang sebenarnya. Kalau dia Om-Om gimana? Hahaha.”
“Iya juga sih.”
“Nah kan? Hati-hati loe sekarang, udah banyak lho kasusnya di luar sana.”
“Iya tenang aja. Gue gak bakal bisa diculik kok. Hahaha. Eh, udah dulu ya, gue laper. See you cantik!” pamit Via seketika.
“Oke. See you ya!” Via melempar handphonenya asal. Tapi belum sempat Via turun dari kasur, entah mengapa ia ingin sekali membuka facebook. Siapa tau aja ada pesan masuk dari Alvin.
“Alvin?” matanya berubah senang saat melihat Alvin mengomentari foto profilnya yang melet itu.
“Ih cantik deh.” Via langsung mengernyit membacanya.
“Makasih :)”
“Udah punya pacar belum nih?” Via kembali mengernyit. Sepertinya ia merasakan hal yang aneh terjadi pada Alvin.
“Ini beneran Alvin?”
“Iya ini Alvin.”
“Oh. Aku belum punya pacar. Kenapa?”
“Masa sih? Kalau gitu kamu mau gak jadi pacar aku?” Via melotot membacanya.
“Alvin nembak gue?” kata Via heran. Ia diam untuk sejenak. Entah jawaban apa yang harus ia jawab. Tapi sebelum Via membalasnya, Alvin kembali berkomentar.
“Bajak cuy.”
“Maksudnya? Gue gak ngerti.”
“Tadi sepupu gue.”
“Oh, pantesan.”
“Sori ya?”
“Santai aja. Sebelumnya juga gue udah tau kok kalau facebook loe itu dibajak.”
“Oh ya?”
“Iya,”
“Kok bisa?”
“Dari cara nulisnya beda. Gak cuek,”
“Oh gitu.”
“Lagi ngapain?” tanya Via kemudian. Lagi, Alvin tak membalasnya. Sepertinya ia sudah off dan sedang meladeni si pembajak facebooknya tadi. Si Rio tentunya.

Via memandangi laptopnya heran. Menunggu Alvin yang tak kunjung membalas komentarnya.
“Walaupun tadi bukan Alvin yang nembak, kok gue deg-degan ya? Duh, kenapa gue jadi gini sih?” rutuk Via kemudian.
“Ya ampun! Gue sampai lupa mau makan.” Via langsung berlari tanpa menghiraukan facebooknya.
“Via?” chat dari Alvin.

***


“Loe gak sopan banget ya jadi orang!” bentak Alvin sinis.
“Sori Vin, sori. Gue niatnya iseng doang.” balas Rio tanpa dosa. Alvin mendengus kesal. Ia langsung log out akun facebooknya.
“Iseng loe gak lucu tau! Pergi loe sana!” usir Alvin. Rio tertawa menanggapinya.
“Iya-iya gue pergi. Santai aja kali. Entar kalau loe butuh gue sms aja ya?”
“Najis loe! Udah sana pergi!” Alvin mendorong paksa Rio keluar pintu kamarnya.
“Gak usah dipaksa-paksa juga kali. Gue bisa keluar sendiri.”
“Cepetan!”
“Iya bawel loe!”
“Jangan lupa tutup pintunya!”
“Iya, Tuan!” Rio terkekeh. Alvin terlihat lucu kalau lagi emosi.
“Untung gue cepet-cepet dateng, kalau enggak? Ck! Bisa rusak reputasi gue di dunia maya.” timpal Alvin seraya menghapus semua komentarnya yang menurut ia tak enak dibaca.
“Via?” chatnya menyapa Via kemudian.
“Apa dia udah off? Ya udah deh gue off juga.” gumam Alvin lagi. Lain kali ia harus lebih hati-hati lagi dalam meminjamkan sesuatu kepada sepupunya itu sebelum hal buruk lainnya terjadi.

***


Ify terus menatap arloji miliknya gusar. Sudah hampir 15 menit ia menunggu angkot di depan rumahnya.
“Gue bisa telat kalau kaya gini,” gumamnya sambil terus menengok kanan-kiri mencari angkot.
“Ini angkot pada ke mana sih? Nyebelin deh!” Ify menghentak-hentakan kakinya kesal. Ia tidak rela kalau sampai telat di hari senin ini. Soalnya hukumannya bisa sampai dua kali lipat kalau telat.
Stop, stop, stop! Ke SMA Rajawali, Mas. Cepetan!” suruh Ify saat sepeda motor melintas di hadapannya lumayan pelan. Lantas ia langsung naik tanpa si pengemudi berbicara.
“Eh, loe siapa? Cepetan turun!” respon si pemilik motor heran.
Please, bawa gue ke SMA Rajawali sekarang juga. Gue udah telat.” Ify menepuk pundak si pemilik motor.
“Tapi gue bukan tukang ojek.”
“Udah cepetan! Jangan banyak basa-basi.” si pemilik motor hanya mendengus, terpaksa ia menuruti permintaan cewek aneh tersebut. Ify.

Ify memegang pundak si pengemudi erat, bahkan lebih erat. Karena si pengemudi memang mengendarai motornya dengan cepat. Sampai Ify menyembunyikan wajahnya di punggung orang tersebut.
“Turun!” perintah si pemilik motor.
“Udah nyampe?”
“Lihat aja sendiri. Cepetan turun! Gue lagi buru-buru.”
“Gak pakai otot juga kali. Nih uangnya!”
“Hey, gue bukan tukang ojek ya!” si pengemudi membuka helmnya dan berjalan mendekati Ify yang memang ngeloyor begitu saja.
“Nih uang loe.” ucapnya sambil memegang pundak belakang Ify. Ify berbalik dan menatap wajah cowok itu kaget.
“Kenapa bengong? Kaget lihat orang ganteng?”
“Ih, pede banget loe.”
“Faktanya gitu.”
“Terserah loe! Ambil aja tuh uang gue, anggap aja tanda terimakasih gue buat loe.” Ify langsung melangkah pergi.
“Dasar cewek sinting!” teriaknya keras. Ify tak menghiraukan.

***


“Kenapa tuh muka ditekuk gitu?” tanya Alvin saat Rio baru saja duduk di sampingnya. Alvin dan Rio berada di depan kelas menunggu bel masuk berbunyi.
“Lagi emosi gue.” Rio mengacak rambutnya frustasi.
“Kenapa? Tumben loe emosi,” ledek Alvin. Ia menyenggol pelan pundak sepupunya tersebut.
“Tadi gue ketemu cewek sinting di jalan. Masa gue disangka tukang ojek coba? Udah gitu maksa-maksa gue buat nganterin dia ke sekolahnya lagi.” Alvin terkekeh mendengarnya.
“Hahaha loe pantes kali jadi tukang ojek.” Rio langsung menoyor kepala Alvin keras. Alvin meringis kesakitan.
“Nyesel gue cerita sama loe.”
“Anak sekolah mana emang?”
“Rajawali.”
“Rajawali? Di mana tuh? Gue baru denger,” Alvin melihat Rio seakan meminta penjelasan darinya.
“Gue juga baru tau. Biasa, sekolahnya tersembunyi gitu.” jelas Rio. Alvin hanya mengangguk.
“Gue gak mau ketemu dia lagi. Yang ada gue apes mulu kalau ketemu dia.” Alvin tersenyum jahil.
“Awas nanti loe suka.” ledeknya kemudian.
“Ogah! Mending gue jomblo seumur hidup kalau gitu.”
“Beneran mau jomblo seumur hidup? Ucapan itu doa lho.” Alvin langsung bangkit sambil ketawa puas meledek Rio.
“Sialan loe! Bukan gitu juga maksud gue.”
“Takut kan loe? Ya udah makanya jangan terlalu benci sama orang.”
“Iya gue tau.”
“Terus?”
“Terus apa?”
“Maunya loe apa sekarang?”
“Kalau bisa sih gue mau bunuh loe saat ini juga.” Alvin menjitak Rio keras.
“Jangan duduk bareng gue! Kalau loe masih pengen hidup.” timpal Alvin sinis.
“Elo mah dibawa serius orangnya.”
“Hahaha gue bercanda.” Rio mendengus kesal. Sedangkan Alvin hanya nyengir gak jelas.

***


Sudah cukup lama Via gak chattingan sama Alvin. Raut kangen terlihat jelas di wajahnya. Tapi nyatanya Alvin memang belum on facebook sampai sekarang. Terakhir, Alvin hanya memanggil namanya di chat. Via sudah membalas, tapi Alvin gak balik membalas sampai seminggu lamanya.
“Hah, serius ini Alvin?” histeris Via saat ia sedang asyik memandang kronologi facebook Alvin. Di sana, Via melihat seseorang mengupload foto Alvin yang lagi tersenyum. Meski Alvin tak menatap kamera, tapi wajahnya begitu jelas terlihat. Via masih tak percaya kalau itu adalah Alvin. Kulitnya putih, matanya sipit, alisnya tebal, dan ia terlihat tinggi. Sepertinya itu bukan Alvin yang minta foto, tapi ada yang memotretnya diam-diam.
“Alvin cakep bangeeeettt!!!” histerisnya lagi sumringah. Tak lupa Via langsung mendownload foto Alvin buat dikoleksi.
“Alvin on? Godain ah.” gumam Via saat nama Alvin Joe aktif di line chattingnya.
“Ehem, baru on lagi, Mas?”
“Iya.”
“Ke mana aja?”
“Di rumah.”
“Oh. Itu foto asli kamu ya?”
“Eh, yang mana?” balas Alvin yang sepertinya kaget dengan chat Via. Ia memang paling gak suka upload foto ke facebook. Ia langsung mengklik notificationnya.
“Iya itu gue.”
“Cakep!”
“Nggak juga.”
“Cakep tau!” Alvin tak membalas. Ia beralih memandang kronologinya.
“Kok dihapus fotonya? -_-”
“Jelek.”
“Enggak jelek kok. Emang kenapa kalau jelek?”
“Gak apa-apa.”
“Untung gue udah save fotonya :D”
“Hapus, please :(”
“Gak mau :P”
Please,” Via mengernyitkan dahinya.
“Ya udah gue hapus deh -_-”
“Jangan!”
“Lho? Tadi katanya suruh dihapus.”
“Gak apa-apa.”
“Oke, lagi ngapain sekarang?”
“Lagi chattingan,”
“Oh. Sama siapa aja?”
“Sama loe,”
“Gak ada yang lain gitu?”
“Yang lain chatnya norak.”
“Kok gitu?”
“Gak apa-apa.”
“Oh.”
“Ya.”
“Yayaya.”
“Loe lagi ngapain?” tanya Alvin tumben-tumbenan. Via langsung tersenyum membacanya. Karena baru kali ini Alvin perhatian begitu.
“Gue? Gue lagi ngemil sambil main facebook.”
“Oh.”
“Iya. Eh, loe masih sekolah kan? Sekolah di mana? Kelas berapa?”
“Iya masih.” Via memutar bola matanya kesal. Kesal karena pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya itu selalu dijawab Alvin dengan singkat. Mungkin Via juga yang terlalu banyak tanya sama Alvin, bukannya ia tau kalau Alvin itu orangnya cuek? Tapi toh Via tetap mau meladeni sifat Alvin tersebut. Baru saja Via mau membalas chat Alvin, Alvin kembali mengirim.
“Gue kelas 12 di SMA Garuda. Loe?” Via membulatkan mulutnya.
“Oh. Gue masih kelas 11 di SMA Rajawali. Eh, gimana kalau gue panggil Kakak aja?” balas Via. Alvin terdiam membaca balasan dari Via.
“SMA Rajawali? Itukan SMA yang pernah dibilang sama Rio? Jadi dia anak sini juga?” gumam Alvin tak percaya. Sampai-sampai ia lupa membalas chat dari Via.
“Hey?”
“Eh iya kenapa?”
“Gue panggil loe Kakak boleh enggak?”
“Terserah aja,”
“Ya udah gue panggil Kak aja ya?”
“Iya, De :)”
“Jangan panggil De dong, Kak. Gue udah gede, bukan anak kecil lagi.”
“Oh ya?”
“Iya. Panggil nama aja deh.”
“Kalau Mbak aja gimana?”
“Ketuaan!” Alvin tak membalas, sepertinya ia sudah tak kuat lagi menahan rasa kantuknya. Ia tertidur di samping laptopnya yang masih aktif.
“Kak?”

***


“Hey, gue bukan pengemis ya!” bentak Ify saat seseorang menghentikan motor di hadapannya dan memberinya uang receh.
“Oh, bukan pengemis ya? Sori, gue gak tau. Lagian suruh siapa duduk di trotoar kaya gini?” Ify melotot ke arah orang yang masih memakai helm tersebut.
“Bukan urusan loe ya!”
“Loe gembel?”
“Loe gak sopan ya jadi orang?! Siapa sih loe?” tanya Ify sewot. Ia langsung berdiri di hadapan orang tadi.
“Elo?!”
“Kenapa? Kaget?”
“Hahaha. Sori, gue lagi gak butuh tukang ojek. Jadi maaf-maaf aja ya?” ucap Ify terkekeh. Ternyata orang tersebut adalah orang yang pernah disangka Ify seperti tukang ojek. Cowok itu Rio. Sepupu Alvin.
“Sialan! Udah pernah gue bilang kan kalau gue bukan tukang ojek?”
“Lho? Terus ngapain loe masih di sini? Gue kan gak butuh loe.” timpal Ify sinis. Sedangkan Rio hanya bisa menahan emosinya di depan cewek aneh tersebut.
“Loe anak Rajawali kan?”
“Bukan urusan loe.”
“Gue nanya beneran!”
“Dan gue juga jawab beneran!”
“Cih! Dasar cewek aneh.” sinis Rio yang sudah gak betah berada lama-lama di dekat Ify. Ia langsung memakai helm dan melaju meninggalkan Ify sendirian. Klutuk!
“Eh, woy!!! Ini punya loe jatuh.” teriak Ify begitu ia melihat sesuatu jatuh dari saku celana Rio.
“Rio Aditya?” gumamnya. Ternyata itu adalah kartu nama milik Rio.
“Namanya Rio?” Ify membolak-balik kartu nama tersebut dan kemudian memasukannya ke dalam saku baju.

***


“Serius loe, Fy?” tanya Via ketika Ify menceritakan beberapa pertemuan singkatnya dengan Rio.
“Setau gue sih gitu.” jawab Ify santai.
“Kenapa sih? Girang amat kayanya.” lanjut Ify kemudian.
“Berarti dia satu sekolah dong sama Kak Alvin? Oh iya, gue pinjem kartu namanya Rio boleh?” pinta Via dengan mengatupkan kedua tangannya di depan mata Ify.
“Boleh. Bentar ya gue ambil.” kata Ify. Via tersenyum.
“Makasih ya cantik!” heboh Via seraya memeluk tubuh kecil Ify erat.
“Gak usah pakai peluk kali. Sakit tau!”
“Hehe sori. Gue hubungi Rio dulu ya?”
“Mau ngapain?”
“Mau nanya tentang Alvin. Siapa tau aja dia kenal.” Ify menganggukan kepalanya.
“Ya udah gue pinjem laptop loe sini!”
“Ambil aja.” teriak Via yang sudah berada lumayan jauh dari Ify duduk.

Belum hampir 5 detik Via menekan tombol hijau di handphonenya, suara di seberang sana sudah menyahut.
Hallo, ini siapa ya?”
Hallo. Ini Rio bukan?”
“Iya. Ini siapa?”
“Gue Via.”
“Via? Tau nomor gue dari siapa?”
“Gak perlu tau. Gue cuma mau bilang kalau kartu nama loe ada di gue. Itu juga temen gue yang nemunya di jalan.” Rio langsung merogoh saku celananya. Memastikan kalau kartu namanya benar-benar hilang atau tidak.
“Oh iya, gue baru nyadar kalau kartu nama gue gak ada di saku.”
“Terus gimana? Mau diambil apa enggak?”
“Enggak deh, buat loe aja. Gue masih ada lagi kok.”
“Oke. Oh iya, gue boleh nanya gak?”
“Nanya apaan?”
“Loe sekolah di SMA Garuda kan?” tanya Via langsung. Dan akhirnya mereka terlibat percakapan yang sangat panjang. Rio dan Via seakan teman lama yang baru dipertemukan lagi.
“Makasih ya atas infonya.”
“Iya sama-sama. Entar gue bilangin sama dia. Bye!
Bye! Via menutup sambungan teleponnya dengan Rio. Wajahnya berseri.
“Ifffyyyyyyy!!!” teriaknya girang. Ia langsung menghampiri Ify yang serius mainan laptop milik Via. Lantas ia langsung menceritakan apa saja yang ia bicarakan dengan Rio di telepon barusan ke Ify.
“Ah yang bener?” kaget Ify spontan.
“Iya, Ify. Ternyata Rio itu sepupunya Alvin. Aduh, gue jadi pengen cepet-cepet ketemu sama Alvin deh. Pengen tau kaya gimana orangnya.”
“Emangnya Alvin mau ketemuan sama loe?” Ify tersenyum jahil.
“Gak tau juga sih.” kata Via seraya menekuk wajahnya. Ify tersenyum.
“Dia pasti mau kok. Tadi gue bercanda doang. Kenapa loe gak coba chat dia aja? Siapa tau dia lagi on sekarang.”
“Kenapa gue gak kepikiran? Ya udah sini laptopnya.” Ify hanya geleng-geleng melihat tingkah sahabatnya ini.

***


“Apa?! Via nelpon loe? Kok bisa?” syok Alvin setelah Rio selesai cerita tentang Via kepadanya.
“Ceritanya panjang, Vin. Gue juga bingung tadinya. Emang Via itu siapa sih?”
“Nih gue kasih tau orangnya.” Alvin langsung mengetik nama facebook Via di kotak pencarian. Setelah ketemu, ia langsung memperlihatkan fotonya ke Rio.
“Oh, ini orangnya? Yang pernah gue godain dulu kan?” kata Rio. Alvin mengangguk.
“Eh, bentar ada pesan.” ucap Alvin dan langsung membuka pesan di facebooknya.
“Hey, Kak!” seketika Alvin menatap Rio. Lantas Rio menyuruhnya untuk membalas pesan dari Via tersebut.
“Kenapa?”
“Kakak kenal Rio?” Alvin kembali menatap Rio sesaat, dan kemudian membalasnya.
“Kenal,”
“Dia sepupu Kak Alvin ya?”
“Iya, kenapa?”
“Gak apa-apa. Kapan-kapan gue boleh telpon loe gak, Kak?”
“Emang tau nomornya?”
“Enggak sih. Sini gan minta nomornya?” Alvin meminta persetujuan dari Rio. Rio mengangkat bahu, menyerahkan semuanya pada Alvin.
“Enggak ah.”
“Oh, hmm ya udah :|”
“Maaf ya? :)” Via tak membalas. Entah kenapa matanya berkaca.
“Nanti gue sms.” balas Alvin lagi. Via mengernyitkan dahi. Heran.
“Maksudnya?” tiba-tiba facebook Alvin langsung off. Via hanya bisa memandangi laptopnya resah.
“Besok kita ketemuan di depan SMA Rajawali jam 9. Jangan banyak tanya. Alvinjoe.” Via langsung syok begitu membaca pesan dari Alvin. Tapi kali ini bukan dari facebook, melainkan dari handphonenya sendiri.
“Iya, Kak.” balas Via kemudian. Senyumnya langsung mengembang lebar. Via benar-benar merasa senang saat itu.

***


Alvin menyandarkan tubuhnya di pagar sekolah Via. Tangannya terus membolak-balikan handphone yang sejak tadi dipegangnya. Sesekali ia melirik arloji, memastikan sudah berapa lama ia menunggu di sana. Lagi, Alvin meneliti tempat-tempat yang ada di sekelilingnya. Sepi. Karena memang hari ini adalah hari minggu.
“Gue balik aja deh. Mungkin dia memang gak niat buat dateng.” ucapnya pada diri sendiri. Ia mencoba melangkahkan kakinya dari tempat tersebut.
“Tunggu, Kak!” Alvin menengok dan mendapati seorang cewek berlari kecil menghampirinya. Cewek berambut sebahu, putih, mata sedikit sipit, kini tersenyum malu padanya. Sedangkan Alvin masih terus meneliti cewek di hadapannya itu.
“Hey, Kak! Gue Via.” ucap cewek itu sedikit kaku. Di wajahnya terlihat jelas rasa groginya. Cewek itu memang Via. Teman Alvin di facebook.
“Hey. Hmm Via ya? Gue Alvin.” lantas Alvin dan Via pun saling bersalaman. Mereka masih merasa canggung. Ternyata Alvin jauh lebih tampan dari apa yang Via duga sebelumnya. Begitupun sebaliknya, Alvin langsung terpesona melihat Via yang saat itu mengenakan celana jeans panjang dan kaos merah muda bermotif hati di depannya.
“Kak Alvin ternyata lebih cakep dari yang gue kira.” kata Via memberanikan diri untuk berbicara. Alvin tersenyum, manis sekali. Sampai Via tak kuasa memandangnya lama-lama.
“Enggak kok biasa aja.”
“Beneran.”
“Makasih. Loe juga terlihat lebih cantik kok.” kata Alvin tulus. Mereka kembali terdiam. Hanya mata dan senyumanlah yang menjadi alat komunikasi mereka saat itu.
“Rio mana, Kak? Gak ikut?”
“Hmm Rio? Lagi beli minum.” Via langsung mengangguk dan membulatkan bibirnya.
“Loe sendirian?” tanya Alvin kemudian.
“Enggak kok, gue sama temen.”
“Mana?”
“Sama, lagi beli minum juga.” kata Via. Tiba-tiba mereka saling pandang dan tersenyum.
“Gue duluan yang beli! Loe tuh yang ngikutin gue.” bentak seseorang yang tak jauh dari tempat Alvin dan Via berdiri. Mereka, Ify dan Rio.
“Elo yang ngikutin, bukan gue!” bela Rio kemudian. Lantas membuat Alvin dan Via terbengong-bengong melihat ulah mereka.
“Kalian kenapa ribut?” tanya Alvin dan Via bersamaan. Rio dan Ify berhenti mengoceh. Mereka mendekati sahabat mereka masing-masing.
“Oh, jadi loe yang namanya Via? Tapi kenapa loe kenal sama pengemis ini?” tanya Rio setelah diberi tau oleh Alvin. Via menatap Ify seketika.
“Gue bukan pengemis ya!” sewot Ify.
“Ini temen gue, Ify. Dan Ify lah yang nemuin kartu nama loe.” jelas Via. Sebenarnya Via sudah tau tentang Rio dari Ify. Tapi Via belum memberi tau kalau Ify lah yang menemukan kartu nama Rio.
“Jadi kalian udah pada kenal sebelumnya?” sambung Alvin yang masih terheran-heran.
“Ini cewek aneh yang pernah gue ceritain sama loe waktu di sekolah.” kata Rio. Alvin mengangguk paham.
“Elo tuh yang aneh!”
“Udah dong, Fy. Mending loe baikan deh sama Rio.” pinta Via lembut.
“Ogah! Males banget gue baikan sama dia. Nyebelin abis!”
“Dih, siapa juga yang mau baikan sama loe? Cewek aneh!”
“Ya udah deh terserah kalian. Kak, kita pergi aja yuk dari sini?” ajak Via ke Alvin. Alvin hanya pasrah saat tangannya ditarik sama Via.
“Vi, mau ke mana? Gue ikut!”
“Vin? Masa gue ditinggal sih?”
“Kita gak mau bareng kalau kalian masih berantem.” ancam Via tiba-tiba. Ia masih terus menarik tangan Alvin. Rio dan Ify saling pandang. Lama. Sampai Rio memutuskan untuk bicara.
“Oke, kita baikan.” Rio mengangkat jari kelingkingnya di depan mata Ify.
“Ya udah kalau gak mau.”
“Iya gue mau. Gue minta maaf ya?”
“Iya. Gue juga minta maaf ya?” mereka saling mengaitkan jari kelingking mereka masing-masing.
“Ayo kejar mereka!” ajak Rio sambil menarik tangan Ify.

***


“Kak Alvin seneng gak ketemu gue? Jujur!” tanya Via di sela-sela makannya. Alvin tersedak, ia langsung mencari minuman.
“Pelan-pelan dong Kak kalau makan.”
“Makasih.” Alvin langsung meminum minuman yang diberikan Via barusan.
“Kok nanya gitu sih?” kata Alvin balik tanya.
“Ya gak apa-apa. Kali aja Kak Alvin gak seneng ketemu gue. Gak salah kan nanya gitu?” Alvin langsung menggeleng mendengarnya.
“Ternyata Kak Alvin itu bener-bener cuek orangnya. Kirain cuma di facebook doang cueknya.” kata Via sambil terus memakan bakso. Alvin hanya memandang lekat cewek yang ada di sampingnya itu.
“Oh ya?”
“Iya. Kak Alvin itu pelit ngomong.”
“Belum sempet les ngomong waktu kecil.” ucapnya asal. Via terkekeh dan hampir tersedak. Namun Alvin langsung mengusap-usap punggung atas Via perlahan.
“Emang ada yang lucu ya?” tanya Alvin heran. Sedangkan Via masih sibuk dengan batuk-batuknya.
“Abis Kak Alvin lucu sih. Masa ngomong aja harus les dulu?”
“Terus mesti gimana?”
“Ya ngomong aja. Gimana Kakak mau ngomong apa?” seketika Alvin diam. Ia terus menatap mangkuk baksonya yang hampir habis.
“Loe cantik!” kata Alvin spontan. Entah kenapa hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutnya. Via termangu, memandang wajah Alvin dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.
“Salah lagi?”
“Hmm enggak sih.” jawab Via singkat. Ia kembali memakan baksonya. Kali ini berbeda, tangannya sedikit gemetar. Entahlah.

Kembali, mereka tak bersuara. Hanya penjual bakso sajalah yang sejak tadi sibuk sendiri membereskan tempat dagangannya. Sedetik, tangan Alvin menyentuh bibir Via perlahan. Dan itu membuat jantung Via seakan pindah dari tempatnya.
“Ada saus,” bisik Alvin tepat di telinga Via.
“Oh-iya-Kak, makasih.” kata Via gugup. Bahkan sulit rasanya ia melihat wajah Alvin yang saat itu sangat dekat dengan wajahnya.
“Pulang yuk?”
“Pulang? Oh, ya udah.”
“Gue anter ya?”
“Gak usah repot-repot, Kak. Gue pulang bareng Ify aja.”
“Kalau loe nolak, berarti ini pertemuan terakhir kita.”
“Kok gitu?”
“Gimana?”
“Ya udah deh.” Alvin langsung tersenyum mendengarnya. Lantas ia segera mengulurkan tangannya ke Via.
“Terimakasih.” ucap Via ikut tersenyum. Ia menggenggam tangan Alvin erat-erat.
“Seneng banget gue bisa ketemu Kak Alvin. Bener-bener gak nyangka.”
“Biasa aja.”
“Tuh kan? Kebiasaan ih!”
“Tapi emang kenyataannya biasa aja.”
“Kok gitu?”
“Bukannya kita udah sering ngobrol di facebook?” tanya Alvin yang masih menggenggam tangan Via sambil jalan.
“Iya juga sih. Eh, tapi inikan beda? Kita ketemu dan ngobrol secara langsung. Bukan di chattingan lagi.” Via memberhentikan langkahnya.
“Tapi sama aja ngobrol kan?”
“Terserah Kak Alvin aja deh.”
“Ngambeeek,”
“Enggak.”
“Ya udah.”
“Nyebelin banget sih?!”
“Tapi seneng kan ketemu gue?” ledek Alvin sambil mengacak poni Via perlahan. Sepertinya Alvin mulai merasa nyaman dengan Via. Ia sudah gak canggung lagi bercanda dengan cewek yang dikenalnya di facebook tersebut.
“Itu tadi, sekarang udah enggak!”
“Ya udah gue pergi duluan ya? Bye!
“Ih, tega banget sih jadi cowok?!” teriak Via sedikit kesal melihat Alvin yang berjalan duluan一terkesan meninggalkannya.
“Terus maunya gimana?”
“Tau ah!”
“Ya udah.”
“Kak Alviiiiiiiiiiinnn!!! Nyebelin banget sih?!”
“Udah?” tanya Alvin. Via mengembungkan pipinya manja.
“Ya udah yuk pulang?” Alvin menggendong paksa Via yang masih saja menampakan wajah kesalnya.
“Apa-apaan sih, Kaaakk?”
“Udah deh diem!”
“Iya, iya!” kata Via seraya tersenyum di atas punggung Alvin.

***


“Makasih ya udah nganterin?” Rio mengangguk.
“Bagi nomor handphone loe dong?” pintanya kemudian.
“Gue gak hafal.” Ify memamerkan gigi putihnya.
“Duh, masa nomor sendiri lupa? Payah,”
“Entar gue sms aja deh. Kartu nama loe kan ada di gue.”
“Oh iya gue lupa. Gue pamit ya?”
“Iya, hati-hati.”
“Jangan lupa sms!” suruh Rio sebelum benar-benar pergi dari hadapan Ify.
“Oke, tenang aja.” kata Ify. Rio mengangkat jempolnya dan langsung melesat cepat.

Kemudian Ify langsung lari ke rumahnya. Mengambil handphone dan segera menelpon sahabatnya.
“Vi, loe di mana?”
“Di rumah. Kenapa?”
“Loe nyebelin banget ya ninggalin gue sama Rio. Gak seru loe ah!”
“Gue sengaja kok, biar loe bisa berduaan sama dia. Hahaha.”
“Asem loe! Eh, tapi ternyata Rio itu asyik juga diajak ngobrolnya, Vi.”
“Cieee. Kayanya bakal ada yang benci jadi cinta nih. Cieee.”
“Ih, apaan sih loe? Enggak!”
“Ngaku aja deh!”
“Loe sama Alvin gimana?”
“Gak usah mengalihkan pembicaraan deh. Gue sama Alvin baik-baik aja kok. Loe sama Rio gimana? Ehem!”
“Tau ah! Gue tidur dulu ya? Ngantuk nih. Entar sore disambung lagi. Bye!
“Oke, bye! Ify dan Via menutup sambungan telepon mereka.

***


Malam ini, untuk pertama kalinya Alvin bertamu ke rumah Via. Awalnya ragu, namun ia memberanikan diri untuk masuk. Lama, Alvin berdiri di depan pintu. Masih belum ada juga tuan rumah yang datang membukakan pintu untuknya.
“Pulang aja deh. Mungkin udah pada tidur.” kata Alvin pelan dan melangkah pergi dari rumah Via.
“Maaf lama. Ada perlu dengan siapa ya?” tanya seseorang yang membukakan pintu.
“Gak apa-apa kok, Tante. Aku Alvin, temennya Via.” kata Alvin ramah. Lantas ia mencium tangan wanita paruh baya yang ada di hadapannya tersebut.
“Oh, temennya Via ya? Aduh, sayang banget Vianya udah tidur, Nak. Sepertinya dia kelelahan. Tapi Tante mau coba bangunin dulu deh. Sebentar ya?” kata Mama Via. Alvin langsung menyanggah sebelum Mama Via masuk ke dalam.
“Oh, gitu. Ya udah gak usah dibangunin, Tante. Mungkin lain kali aja Alvin ke sini lagi. Kasihan Via kalau sampai dibangunin.”
“Beneran?”
“Iya, Alvin gak apa-apa kok. Kalau gitu Alvin permisi ya, Tante? Selamat malam!”
“Iya Nak, maaf ya sebelumnya.” balas Mama Via sedikit tidak enak hati. Alvin tersenyum dan langsung berbalik badan meninggalkan rumah Via.

Baru saja Alvin sampai di dekat pagar rumah Via, ia merasa kalau handphonenya berbunyi. Alvin sempat heran saat melihat nama Via tertera di layar ponselnya.
Hallo?
“Kak Alvin mau ke mana? Pulang?” tanya Via.
“Niatnya sih gitu. Katanya tidur?”
“Tadi gue tidur bentar. Tapi langsung bangun lagi pas denger suara Kak Alvin.”
“Oh,”
“Tunggu ya, Kak! Gue mau turun.”
“Gak perlu. Kalau loe ngantuk mending tidur lagi aja.” kata Alvin mantap. Tapi sayang, Via sudah memutuskan sambungan teleponnya.
“Maaf Kak lama. Mau ada perlu apa sih, Kak?” tanya Via begitu ia sampai di depan pagar rumahnya, tempat Alvin berdiri.
“Gak ada apa-apa. Pengen main aja.”
“Ya udah masuk aja yuk?”
“Enggak ah di sini aja.”
“Kenapa?”
“Udah terlanjur pamit sama Mama loe.” kata Alvin pelan. Via hanya mengangguk.
“Terus sekarang mau ngapain?”
“Duduk,” Alvin menunjuk ke trotoar yang ada di dekat rumah Via. Via tersenyum.
“Di sini?”
“Iya. Di mana lagi?”
“Ya udah deh. Kalau gitu gue ambil minum sama cemilan dulu ya, Kak?” izin Via sambil memegang pundak Alvin.
“Gak usah, Vi. Cuma pengen ngobrol aja kok, jadi gak butuh minum sama makan kan? Hehehe.”
“Tumben Kak nyengir? Hahaha. Ya udah deh, sekarang maunya gimana?” Via menopang dagunya di lutut. Matanya terus menatap Alvin yang malam ini sangat mempesona menurutnya.
“Jangan lihatin gue kaya gitu dong!” kata Alvin salah tingkah.
“Kakak cakep malem ini.” Alvin melotot ke arah Via yang sudah tersenyum memamerkan lesung pipitnya.
“Maksudnya kemarin-kemarin gak cakep gitu?” Via menggeleng.
“Tiap hari kok.” goda Via seraya menyenggol genit badan Alvin. Alvin tersenyum. Mereka berdua terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bermesraan di pinggir jalan. Tapi nyatanya mereka memang tidak sedang pacaran.
“Apanya yang tiap hari?”
“Nyebelinnya.” Alvin memutar bola matanya pelan. Cewek yang ada di sampingnya itu mudah banget ngambek.
“Jelek kalau ngambek.”
“Siapa yang ngambek? Enggak yeee!!!”
“Syukur deh!”
“Tuh ya!”
“Apa sih?”
“Tau ah! Mau ngambek.”
“Mau ngambek kok bilang-bilang?”
“Bodo!”
“Ya udah deh gue pulang.”
“Dih, kok gitu?”
“Terus?”
“Jangan pulang!”

***


“Gue suka sama loe!” bisik Rio pelan. Ify langsung syok mendengarnya. Apa gak salah Rio mengatakan cinta secepat itu ke Ify?
“Gue gak suka dibercandain.” Ify menatap sinis mata Rio.
“Gue seriusan. Gue gak bohong. Sumpah, gue beneran suka sama loe.” kata Rio tulus.
“Ternyata bener kata Alvin kalau benci sama cinta itu beda tipis.” lanjutnya.
“Oh, jadi dulu loe benci sama gue? Oke, fine!”
“Iya, itukan dulu. Abisnya elo nyebelin anaknya.”
“Masa sih? Terus sekarang?”
“Sekarang? Maunya? Hehehe.”
“Ih, nyebelin.” sewot Ify sambil berbalik membelakangi Rio yang masih terkekeh dibuatnya.
“Kamu itu ngangenin. Serius.” goda Rio sambil tersenyum. Ia membalikan badan Ify perlahan.
“Mau ya jadi pacar gue?”
“Kalau gue nolak gimana?”
“Ya gak apa-apa. Paling gue kecewa doang.”
“Harus jawab sekarang apa gimana?”
“Tahun depan aja kalau bisa.”
“Ya udah kalau gitu tahun depan loe ke sini lagi.” Rio melongo. Cewek satu ini sangat susah buat diajak bercanda maupun serius.
“Ify! Gue serius.”
“Rio! Gue juga serius.” lagi-lagi Rio menarik napasnya berat. Berusaha sabar menghadapi Ify yang super menyebalkan menurutnya.
“Oke, jadi jawabannya apa? Loe terima gue apa enggak?”
“Menurut loe aja gimana? Gue bakal terima loe atau enggak?” ucap Ify asal. Ia tak menyadari bahwa Rio sudah menahan emosinya sejak tadi.
“Ya gue sih pengennya loe terima gue. Tapi gue gak mau maksa.”
“Ya udah kalau gitu.”
“Maksudnya?”
“Loe tuh bego apa pura-pura bego sih, Yo?! Loe pengen gue terima cinta loe kan? Ya udah gue terima.”
“Serius loe, Fy?”
“Emang muka gue muka bercanda?” kata Ify enteng. Tiba-tiba Ify sudah merasakan tubuhnya terangkat dan diputar oleh Rio. Sangat kencang.
“Turunin gue! Kepala gue pusing, Yoooo!!!” teriaknya kemudian. Namun Rio sengaja tak menghiraukan permintaan Ify. Ia semakin kencang memutar Ify hingga akhirnya mereka jatuh bersamaan.
“Gue cinta sama loe, Fy. Gue cintaaaaa banget.” kata Rio yang langsung memeluk pacar barunya tersebut.
“Gue juga cinta sama loe, Yo. Tapi cinta gue gak selebay kaya cinta milik loe.” Ify tersenyum sinis.
“Terserah. Yang penting sekarang loe udah jadi pacar gue.” Rio semakin erat memeluk tubuh Ify. Perlahan, Ify pun membalas pelukan Rio.

***


“Dari tadi kok kita gini-gini aja sih, Kak? Ngobrol apa kek?” pinta Via yang mulai jenuh dengan aksi diam-diamannya dengan Alvin. Alvin menatap Via perlahan, tubuhnya ia satukan dengan lutut.
“Loe kedinginan?” tanya Alvin. Via menggeleng cepat.
“Pakai jaket gue ya?” seketika Alvin langsung memakaikan jaketnya ke Via.
“Makasih, Kak.” Alvin kembali diam. Cukup lama.
“Loe beneran suka sama gue? Jujur aja, gak apa-apa.” tanya Alvin ragu. Ia tidak sama sekali menatap mata Via.
“Emang kenapa, Kak?”
“Jawab aja.”
“Oke. Jujur Kak, sebenernya gue juga gak tau sama perasaan ini. Kadang gue merasa kangen kalau Kakak gak ada, tapi gue juga suka benci kalau ada Kakak.” ucapnya jujur. Alvin mengangguk. Ia kembali membayangkan bagaimana sikapnya selama ini ke Via.
“Kok gitu?”
“Iya, Kakak terlalu cuek orangnya dan itu sangat menyebalkan. Ya sebenernya boleh-boleh aja sih cuek, tapi tolong jangan terlalu cuek banget sama gue, Kak.”
“Akan gue coba.”
“Seharusnya juga begitu.”
“Emang keterlaluan ya cueknya?”
“Enggak juga. Tapi ya, gak tau deh.”
“Rasanya aneh banget kalau gue harus pecicilan dan banyak tanya. Gue gak terlalu bisa.”
“Gak gitu juga. Ya perhatian dikit kek sama orang, atau gimana gitu. Kalau ditanya harus jawab yang bener, gak menyebalkan.” kata Via sambil menopang dagunya di lutut. Alvin terdiam, ia hanya bisa memandangi wajah Via yang sedang meluapkan uneg-unegnya tentang dirinya.
“Gue paling gak bisa perhatian sama orang, Vi. Apalagi sama cewek,” gumamnya lemas. Via mendongak.
“Kakak harus bisa. Karena cewek paling seneng kalau diperhatiin. Dan itu berlaku juga buat gue.” lirih Via kemudian. Lalu ia merasakan kehangatan yang luar biasa menjalar di tubuhnya. Pelukan Alvin.
“Maafin gue ya?”
“Buat apa, Kak?”
“Buat semuanya.” Via tak merespon. Ia terlalu menikmati dekapan Alvin yang begitu hangat.
“Entah kenapa perasaan gue jadi kaya gini semenjak gue kenal loe di facebook.”
“Maksudnya?”
“Gak tau. Seneng aja rasanya.”
“Oh, sama kalau gitu.”
“Oh ya?”
“Begitulah,”
“Kok sekarang jadi loe yang cuek sih?”
“Emang gak boleh?”
“Gak boleh! Cukup gue aja yang cuek.” Alvin melepaskan pelukannya.
“Oh, ya udah.”
“Viiiiaaa!!!”
“Tuh kan kesel? Makanya jangan cuek-cuek kalau jadi orang.”
“Iya deh, nanti gue coba.”
“Harus sekarang. Jangan nanti-nanti!”
“Nanti aja.”
“Sekarang!”
“Kalau sekarang mau ada urusan lain.”
“Urusan apa?”
“Urusan yang penting banget.”
“Urusan apa sih, Kak? Mulai deh, nyebelin.”
“Mau nembak loe.” Via langsung menatap Alvin tak percaya.
“Loe bakal terima gue apa enggak kalau gue nembak?” Via mengernyit dibuatnya. Baru kali ini ada orang yang meminta jawabannya terlebih dahulu sebelum menembak.
“Gak tau ah!”
“Kok gitu? Ya udah deh gak jadi.”
“Kak Alviiiinnn!!!”
“Apa sih?”
“Tau ah! Bete gue.”
“Ya udah kalau gitu.”
“Tuh kan?”
“Kenapa lagi?”
“Terserah deh. Gue mau masuk, ngantuk!” kesal Via yang langsung beranjak dari duduknya. Namun Alvin dengan segara menarik Via ke dalam pelukannya. Via hanya bisa pasrah, perlahan ia membalas pelukan Alvin tanpa berucap sepatah katapun.
“Gue sayang sama loe, Vi.” Alvin terus memeluk Via erat. Rasanya nyaman sekali berada di pelukan cewek yang kini hanya membisu di dadanya itu. Begitu juga sebaliknya.
“Maaf kalau selama ini gue sering cuek sama loe. Itu semua karena gue selalu kehabisan kata-kata setiap chattingan atau ngobrol sama loe dan gak tau lagi harus ngobrolin apa? Tapi emang cuek itu adalah salah satu sifat gue juga sih. Gue harap loe bisa ngerti.” Via tak merespon kata-kata Alvin. Ia masih begitu menikmati kehangatan yang diberikan Alvin malam itu.
“Sekarang terserah loe mau anggap gue apa? Entah itu pacar, sahabat, teman, atau apalah itu. Yang penting gue ingin selalu ada di dekat loe dengan cara apapun. Gue sayang sama loe, Vi.” Alvin memegang kedua pipi Via lembut.
“Kak?”
“Mendingan sekarang loe masuk. Tidur yang nyenyak, besok sekolah.” suruh Alvin ramah. Via tersenyum manis.
“Tunggu! Ini semua bukan mimpi kan? Ini beneran? Kita beneran jadian?” tanya Via bertubi-tubi. Ia menyentuh wajahnya dan wajah Alvin bergantian. Lantas一tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari si cewek一Alvin langsung mengunci rapat-rapat bibir Via. Untuk sejenak, Via hanya mematung, jantungnya seakan telah jatuh dari posisi seharusnya. Lututnya benar-benar terasa lemas. Perlahan, Via pun berusaha mengikuti gerakan Alvin. Hangat dan lembut.
“Aku cinta sama kamu, Via.” ucap Alvin sambil menatap lekat mata Via yang saat itu bersinar bagai bulan purnama.
“Loe masuk gih, udah malem.” Via hanya mengangguk pasrah. Ia terlalu senang dengan semua ini.
“Maaf kalau aku udah lancang. Selamat malam.”
“Aku juga cinta kamu, Kak.” bisik Via kemudian. Ia langsung berlari meninggalkan Alvin sendirian. Perasaannya saat itu sudah tidak bisa lagi diungkapkan oleh kata-kata. Alvin hanya bisa memandangi tubuh Via yang berlari kecil ke dalam rumahnya. Ia benar-benar merasakan apa yang sekarang Via rasakan. Bahagia. Dan memang benar-benar bahagia. Ia tersenyum manis. Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR