New Cerpen :)
follow: @guetaher_ dan @taherians
blog: <a>http://metamorvia.blogspot.com</a>
page: Metamorvia Blog
happy reading!!!
Cewek
itu masih terduduk kesakitan di pinggir lapangan. Pantatnya terasa
benar-benar perih saat ia terjatuh akibat bola basket yang menimpa
tubuhnya dengan keras. Ia mendecak.
“Sori gak sengaja.” cewek tadi memutar bola matanya kesal saat seorang cowok berdiri di depannya seraya mengulurkan tangan.
“Mau gue bantu?” tawar cowok tersebut.
“Gak usah! Gue bisa sendiri.” ia berusaha berdiri sebisanya. Lantas membersihkan roknya yang lumayan kotor dengan debu.
“Sori ya?”
“Kata sori gak bisa nyembuhin pantat gue yang sakit kan?” tanya cewek itu sinis. Si cowok hanya mengernyit.
“Mending loe pergi deh, gak usah sok baik jadi orang.” lanjut cewek tersebut antagonis.
“Nama loe siapa? Gue Alvin.” cowok bernama Alvin itu tak menghiraukan ucapan si cewek. Ia malah meminta berkenalan dengannya.
“Gue gak nanya. Permisi.”
“Hey?”
***
Alvin
melangkah santai sembari terus memantulkan bola basket oranye yang ia
gunakan pas tadi pelajaran olahraga. Senyum manisnya selalu ia pancarkan
ke setiap orang yang menyapanya atau hanya sekedar tersenyum padanya
selama ia berjalan menuju kelas.
“Vin, tungguin gue kenapa?” seketika Alvin langsung berhenti dan menengok ke arah sumber suara yang memanggilnya.
“Gak setia kawan banget loe ya sekarang.” ucap seseorang yang ternyata teman sebangku Alvin dengan napas yang masih memburu.
“Abis
tadi gue cariin gak ada. Ya udah gue pergi duluan aja ke kelas.” Alvin
dan temannya itu kembali melangkahkan kakinya perlahan.
“Tadi gue ke toilet bentar. Biasalah, setor harian.” Alvin terkekeh.
“Itu bukan salah gue berarti. Loe sendiri ke toilet gak bilang-bilang gue.”
“Kenapa mesti bilang-bilang dulu?”
“Ya biar gue bisa nunggu. Katanya loe gak mau ditinggalin?”
“Iya deh kapan-kapan lagi. Oh iya, tadi asik gak tuh olahraga?”
“Ya asik gak asik sih.”
“Oh gitu.”
“Eh
Yo, gue tadi gak sengaja lempar bola ke kepala cewek sampai jatuh gitu.
Kasihan,” kata Alvin ketika ia sampai di kelasnya dan duduk begitu saja
di atas meja.
“Terus dia gimana? Gak kenapa-kenapa kan?” tanya teman
Alvin yang ternyata bernama Rio. Alvin mengangkat bahu. Ia sendiri
bingung.
“Kayanya sih gak apa-apa. Buktinya bisa marah-marah gitu.” Rio mengangguk.
“Loe udah minta maaf?”
“Udah, tapi gak ditanggepin.” kata Alvin sembari mengelap keringat yang sedikit bercucuran di leher jenjangnya.
“Serius? Masa sih?”
“Ya begitulah.”
“Kayanya
tuh cewek gak waras deh, Vin. Masa cowok terpopuler di sekolah ini
diabaikan gitu aja. Padahal hampir semua cewek-cewek di sini pada
bertekuk lutut sama loe.” ungkap Rio tak percaya.
Pasalnya, Alvin
dan Rio memang dua orang yang paling berpengaruh di sekolah ini. Selain
fisiknya yang hampir sempurna, mereka juga cukup berprestasi dibidang
olahraga basket. Bahkan Alvin dan Rio itu tergolong siswa-siswa yang
orang tuanya memiliki kekayaan yang super berlimpah. Jadi sudah tidak
heran lagi kalau ada beberapa cewek dan mungkin hampir semua cewek di
sekolah itu yang ingin sekali menjadi pacar mereka.
Meskipun
begitu, Alvin dan Rio faktanya sampai sekarang belum mempunyai seorang
pacar. Bukan berarti mereka tidak tertarik sama cewek, melainkan mereka
hanya ingin mengetahui cewek-cewek yang mendekati mereka itu benar-benar
cinta atau tidak. Karena mereka merasa ragu dengan semua cewek di sana.
Entah mereka memandang Alvin dan Rio dari segi apa sehingga sampai
terobsesi banget ingin menjadi pacar Alvin dan Rio.
“Gue gak rugi kok. Toh fans gue juga masih banyak di luar sana.” kata Alvin seraya menyeringai jahil.
“Songong loe! Hahaha.”
“Emang begitu faktanya. Udahlah, kantin yuk?” ajaknya kemudian. Ia langsung pergi tanpa menunggu persetujuan dari Rio.
***
“Ify Sandria?”
“Iya, Pak?”
“Tolong
kerjakan soal nomor lima!” suruh Pak Jodie selaku guru fisika di kelas
XI IPA 2. Cewek yang barusan dipanggil itu langsung melotot dan menengok
ke arah teman sebangkunya.
“Mampus gue! Gimana nih?” bisiknya seakan kematian hendak menjemput dirinya saat itu juga.
“Udah sana, loe pasti bisa.” kata teman sebangkunya seraya menyenggol pelan pundak Ify.
“Dan kamu, Sivia Azzahra. Silahkan kerjakan soal nomor empat.”
“Buset!
Gue kena juga, Fy.” Ify terkekeh. Ternyata bukan ia saja yang akan mati
kutu di depan kelas. Teman sebangkunya juga bakal mengalami hal yang
sama. Mati kutu juga.
Mereka berdua langsung maju tanpa ada
bayang-bayang materi sedikitpun di otak mereka. Karena sejak pelajaran
fisika berlangsung, mereka berdua malah asyik menggambar di buku tulis.
Sebab Ify dan teman sebangkunya一Sivia一itu tidak terlalu suka dengan
pelajaran fisika. Selain rumusnya yang terlalu banyak, gurunya pun tidak
pernah jelas dalam menerangkan. Hanya mengerti sendiri saja. Dan bahkan
beliau tidak pernah mengadakan sesi tanya jawab seperti guru lainnya.
Padahal sudah banyak banget berbagai pertanyaan yang berterbangan di
otak para siswa XI IPA 2. Dan terpaksa mereka lebih memilih bertanya
kepada kakak-kakak kelas yang mungkin lebih mengerti dari mereka atau
belajar sendiri di perpustakaan dengan bantuan buku paket fisika yang
banyak tersedia di sana. Setidaknya itu bisa membantu meskipun sedikit.
“Maaf,
Pak. Aku belum ngerti cara ngerjainnya gimana. Aku udah berusaha sebisa
mungkin, tapi tetep aja aku tidak menemukan jawabannya.” ucap Ify
pasrah. Begitu juga Sivia yang sudah sejak tadi berkutat di depan papan
tulis. Pak Jodie membuang napasnya heran.
“Gak ngerti kan kalian?
Makanya kalau Bapak lagi menerangkan harus diperhatikan, jangan ngobrol
masing-masing seenaknya!” bentaknya keras. Ify terdiam. Matanya ia
pejamkan kuat-kuat. Sedangkan Sivia sama sekali tak menghiraukan
bentakan Pak Jodie. Mungkin ia sudah kebal dengan kejadian yang sekarang
terjadi lagi itu. Pak Jodie memang selalu marah-marah setiap kali ia
masuk dan mengajar di kelas manapun.
“Yang gak bisa bukan kita aja
kok, Pak. Aku yakin kalau semua siswa di kelas ini juga gak pada bisa,
atau bahkan mungkin semua yang ada di sekolah ini.” timpal Sivia santai.
Ia tak takut dengan perubahan ekspresi wajah Pak Jodie yang penuh
amarah.
“Apa kamu bilang?!”
“Maaf Pak, aku gak bisa bilang dua
kali.” kata Sivia sambil memainkan rambutnya. Ify hanya melotot ke arah
teman sebangkunya itu.
“Loe mau cari mati?” bisik Ify kemudian. Sivia tersenyum sinis mendengarnya.
“Tenang aja, kita gak bakal mati di sini kok.” jawabnya ikut berbisik.
“Kalian
denger baik-baik ya, di kelas ini cuma kalian yang bodoh dengan
pelajaran saya. Karena kalian itu gak pernah mau memperhatikan saya saat
pelajaran berlangsung.” ucap Pak Jodie seraya mondar-mandir di depan
Sivia dan Ify. Lantas sesekali jemarinya menujuk wajah mereka,
seakan-akan sedang mengancam.
“Dan belum tentu juga yang
memperhatikan Bapak itu mengerti dengan apa yang Bapak ajarkan. Mereka
memperhatikan Bapak karena terpaksa, Pak.” timpal Sivia enteng. Ia tidak
sama sekali menatap mata Pak Jodie.
“Diem kamu! Jangan pernah menyebarkan kebodohan kamu kepada semua siswa yang ada di kelas ini.”
“Kalau
gak percaya, coba aja Bapak tanya sendiri sama mereka. Dan Bapak boleh
usir saya kalau salah satu di antara mereka ada yang bisa mengerjakan
soal buatan Bapak ini.” tantang Sivia yakin. Wajah Pak Jodie seakan
memanas mendengar kata-kata siswinya yang satu ini. Lantas ia langsung
menyelidik satu persatu siswa yang ada di kelas XI IPA 2. Apakah benar
dengan apa yang dikatakan Sivia tersebut?
“Gak ada yang bisa kan, Pak?” sinis Sivia jelas.
“Kalian berdua keluar sekarang juga!” bentak Pak Jodie seketika. Siswa yang lain hanya terdiam.
“Kalau begitu saya juga ikut keluar, Pak!” kata seseorang yang duduk paling belakang dan membuat semua siswa terpusat padanya.
“Saya juga.”
“Saya juga.”
“Saya juga.”
“Saya juga.”
Pak
Jodie hanya bisa terdiam melihat siswa-siswanya keluar satu demi satu
mengikuti Sivia dan Ify. Ia sedikit syok dengan hal itu. Seburuk itukah
ia di mata para siswanya? Lantas ia terduduk pasrah sambil memegangi
kepala yang rambutnya sudah terkombinasi dengan warna putih tersebut.
“Ya Tuhan, apa yang sudah hamba perbuat?” lirihnya perlahan.
***
“Loe
nekad juga jadi orang, Vi.” kata Ify seraya menyambar gorengan yang
sudah tersedia di hadapannya. Sedangkan Sivia masih sibuk dengan handphonenya serta mulut yang masih terisi penuh oleh makanan.
“Guru
kaya gitu emang seharusnya ditegur, Fy. Jadi kita gak usah capek-capek
lagi buat akting sok ngerti saat pelajaran fisika.” kata Sivia sebisa
mungkin ia bicara.
“Iya juga sih.”
“Ya syukur-syukur aja Pak
Jodie tobat dan bisa ngajar kita dengan benar.” kemudian Sivia terkekeh
dengan ucapan yang ia lontarkan sendiri.
“Semoga aja.”
“Udahlah, gak usah bahas itu lagi. Oh iya, gimana si Molly? Udah sembuh?” tanya Sivia beralih topik pembicaran.
“Udah
agak mendingan kok, Vi. Dia cuma stres doang kata dokter.” Sivia
mengangguk. Karena kebetulan kemarin ia main ke rumah Ify dan menemukan
si Molly一kucing kesayangan Ify一yang terlihat murung tak bergairah.
Padahal biasanya si Molly langsung berlari girang apabila melihat Sivia
dan sang majikan datang menghampirinya.
Lantas Sivia kembali menyeruput jus melon miliknya yang tinggal setengah itu.
“Eh
itu ada apaan sih?” tanyanya tiba-tiba saat melihat kerumunan yang tak
jauh dari tempat dirinya dan Ify duduk. Mereka memicingkan mata sejenak.
“Gak tau, Vi. Sana aja yuk?”
“Enggak ah! Norak gitu kelihatannya, kaya orang kampung baru ketemu artis aja.”
“Ya siapa tau aja ada pengumuman penting.” Sivia berpikir sejenak.
“Ya udah.” belum sempat Sivia dan Ify melangkah dari duduknya, mereka mendadak berhenti.
“Norak banget sih.” timpal Sivia sinis. Matanya melihat dua orang cowok yang bersusah payah keluar dari kerumunan cewek-cewek.
“Eh, kasihan juga tuh cowok.” kata Ify yang terus menerus memperhatikan mereka.
“Mereka
itu kesenengan kali, Fy. Mana ada coba cowok yang gak mau digituin?
Dikerumunin sama cewek-cewek.” balas Sivia sekenanya.
“Gak semuanya gitu kan, Vi?” tanya Ify penuh penekanan.
“Siapa yang bilang semuanya?” Sivia mengambil tasnya di tempat semula ia duduk.
“Udahlah lupakan! Pulang yuk?” lanjutnya. Ify menghela napas.
“Bayar dulu kali!” kata Ify yang berhasil membuat Sivia menepuk jidatnya.
“Hehe gue lupa, Fy.”
“Kebiasaan.”
***
Alvin
dan Rio bersembunyi di balik mobil yang terparkir di depan gerbang
sekolah. Napasnya memburu seakan habis dikejar oleh puluhan harimau yang
hendak menerkamnya hidup-hidup.
Untuk sekejap, mereka mencoba
menstabilkan detak jantungnya yang hampir hilang dan menetralkan asupan
udara yang tidak karuan selama mereka diburu sama cewek-cewek di sekolah
mereka.
“Udah aman kan, Yo?” tanya Alvin pelan. Matanya menyelidik ke sekitar tempat persembunyiannya.
“Sepertinya aman, Vin.”
“Syukurlah,” mereka menyembunyikan kepalanya di atas lutut.
“Hey, kalian ngapain di sini?” tanya seseorang yang berhasil mengagetkan Alvin dan Rio. Mereka tersentak seketika.
“Sssttt! Jangan berisik!” suruh Alvin tiba-tiba. Ia belum melihat jelas siapa yang menegurnya.
“Tapi loe ngapain di sini?” tanya orang tadi lagi. Kini ia ikut jongkok bersama Alvin dan Rio.
“Gue
lagi ngumpet dari buruan cewek-cewek. Loe gak lagi ngeburu kita kan?”
tanya Alvin. Rio ikut mengangguk untuk memperjelas pertanyaan Alvin.
“Oh gitu. Ngeburu loe berdua? Dih, ngapain coba? Kenal aja enggak.” kata orang tersebut seraya memutar bola mata.
“Hah? Yang bener loe gak kenal kita berdua?” tanya Rio heran.
“Loe anak sekolah sini kan?” sambung Alvin. Orang itu mengangguk.
“Emang kalian siapa?”
“Kita itu cowok terpo…”
“Gue Alvin. Anak kelas XII IPA 1. Dan ini temen gue, Rio.” potong Alvin sebelum Rio menyelesaikan kata-katanya.
“Oh, gue Ify. Kelas XI IPA 2, Kak.” orang itu一Ify一menyalami Alvin dan Rio bergantian.
“Loe
lagi ngapain, Fy? Lah, terus kalian siapa?” tanya Sivia yang baru
datang dari warung untuk membeli minuman bersama supirnya.
“Ini ada orang ngumpet di mobil loe. Katanya sih abis dikejar-kejar sama cewek-cewek.”
“Masa sih? Mereka itu maling kali, Fy!” tuduh Sivia langsung.
“Sori, kita bukan maling kok.” balas Rio. Alvin mengangguk.
“Elo cewek yang tadi pagi jatuh kan?” Sivia mengernyit.
“Siapa ya? Gue lupa.”
“Jangan sok-sok lupa gitu deh.”
“Apaan sih?”
“Sori deh buat tadi pagi.” kata Alvin meminta maaf.
“Ini cewek yang tadi pagi loe ceritain, Vin?” Alvin mengangguk. Sedangkan Ify hanya terbengong-bengong dibuatnya.
“Cepet
ah pulang!” kata Sivia seraya menarik paksa tangan Ify. Begitupun supir
Sivia yang mengikuti dari belakang. Alvin dan Rio saling pandang gak
jelas ketika mobil yang ditumpangi Sivia dan Ify melesat begitu saja di
hadapannya.
“Cewek aneh,” gumam Rio. Alvin hanya tertawa pelan.
“Unik
kali.” sambung Alvin. Sejenak, mereka terpaku diam memandangi kepergian
dua orang cewek yang baru saja dikenalnya kurang dari setengah jam
tersebut. Seketika Rio tersenyum. Entah kenapa ia langsung melengkungkan
bibirnya saat otaknya tanpa sengaja membayangkan perkenalannya dengan
cewek tadi. Ify.
“Sepertinya jodoh kita udah deket, Vin.” Alvin mengangkat alis mendengar ucapan Rio tersebut.
“Maksud loe?”
“Cabut yuk?”
“Maksud loe tadi apaan?” tanya Alvin yang masih terheran-heran. Ia berusaha menyamakan derap langkahnya dengan Rio.
“Lupakanlah!” balas Rio seraya merangkul Alvin perlahan.
“Yayaya.” Alvin balas merangkul pundak Rio.
“Loe naksir cewek kecil tadi ya?” bisiknya kemudian. Rio langsung menyanggah.
“Ish! Apaan sih? Enggak!”
“Udah deh ngaku aja! Tumben loe normal, Yo.” Alvin terkekeh.
“Sialan!
Jangan-jangan loe juga naksir sama tuh cewek aneh? Iya kan?” tuduh Rio
balas dendam. Mendadak, Alvin menelan ludahnya cepat-cepat.
“Eh, ngarang aja loe!” Alvin menjitak kepala Rio perlahan.
“Ciyeeee salah tingkah.”
“Siapa? Enggak!”
“Tuh kan? Hahaha.”
“Riiiooo!!!”
“Nah lho tambah salah tingkah.” lagi-lagi Rio meledek Alvin yang menurutnya super salah tingkah.
“Iya gue naksir, puas?!”
“Hah?!”
“Gak usah sok kaget deh loe.”
“Beneran loe naksir?” Alvin mendecak kesal.
“Gitu aja percaya. Gue bercanda kali!”
“Ya elah, Vin. Kirain loe beneran naksir sama dia.”
“Ngarep
banget ya gue naksir sama dia? Biar loe bisa naksir juga sama cewek
yang satunya lagi, gitu?” Rio hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal
tersebut.
“Ketahuan kan yang lagi naksir orang itu siapa? Hahaha.”
Alvin langsung berlari meninggalkan Rio yang masih berdiri mencerna
kata-kata dari Alvin.
“Woy, tungguin gue!” teriaknya kemudian. Rio berusaha mengejar Alvin yang memang sudah berlari jauh darinya.
***
Sivia
melangkah pelan mengitari setiap lorong rak buku yang cukup sempit di
perpustakaan milik sekolahnya. Telunjuknya ia angkat untuk memilih satu
persatu judul buku yang mungkin sedang ia cari di sana. Cukup lama. Ia
belum juga menemukan apa yang ia cari.
“Ini dia!” gumamnya senang
begitu telunjuk mungilnya berhenti di salah satu buku paket yang ada di
antara kumpulan buku-buku pengetahuan alam.
“Heh, ini punya gue!” pinta seseorang yang kebetulan ikut memegang buku itu.
“Ini gue duluan yang ngambil!” ujar Sivia gak mau kalah.
“Udah
jelas gue ngambil duluan. Eh, elo main rebut aja dari gue.” ocehnya
sambil mencoba merebut buku yang disembunyikan Sivia di belakang
punggungnya.
“Enak aja loe kalau ngomong! Udah jelas-jelas gue yang
megang buku ini sekarang. Udah deh, ngalah kek sama cewek. Loe cowok
kan?”
“Masalah ini beda lagi. Gue mau ulangan sekarang. Tolong dong kembaliin, Vi.” mohonnya sambil mengatupkan kedua tangannya.
“Ngaruh buat gue?”
“Please
lah. Materinya ada di situ semua. Dan harus loe inget, gue di sini
kakak kelas loe. Jadi jangan coba-coba ngelawan kakak kelas.” ancamnya
sinis. Sivia terkekeh mendengarnya.
“Loe ngancem gue? Aduh, gue harus takut gitu?”
“Loe nyebelin ya jadi adik kelas?!”
“Loe juga lebih nyebelin ya jadi kakak kelas. Harusnya loe ngalah sama adik kelas. Egois banget sih!”
“Banyak
ngomong loe!” cowok itu langsung merebut paksa buku yang dipegang oleh
Sivia. Meski Sivia sudah berusaha menolak, tapi faktanya tenaga cowok
itu lebih kuat dan dengan mudah mengambil buku tersebut dari genggaman
Sivia. Lantas ia pergi begitu saja.
“Alviiiinnnn!!!” cowok itu Alvin.
“Gue benci sama loe!”
“Gak ngaruh loe mau benci atau tidak sama gue.” balas Alvin sebelum jauh meninggalkan Sivia. Sivia menggeram.
Sudah
hampir tiga bulan Alvin dan Sivia berkenalan. Ralat! Saling kenal satu
sama lain tanpa adanya jabat tangan di antara keduanya. Dan selama itu
pula mereka belum pernah yang namanya saling menghormati layaknya
seorang adik kelas ke kakak kelas ataupun sebaliknya. Yang ada mereka
hanya saling beradu mulut saja tiap kali bertemu. Entah apa yang mereka
bicarakan dalam perdebatan tersebut.
“Dasar norak! Nyebelin! Emangnya
di sini cuma ada satu buku apa?!” rutuk Sivia kesal. Ia langsung
melangkahkan kakinya keluar perpustakaan seraya mencibir tak jelas.
“Awas
aja kalau ketemu lagi, gue remas-remas tuh muka!” belum selesai Sivia
mengoceh, tubuhnya tak sengaja tertabrak orang dan jatuh terduduk.
“Aduh! Punya mata gak sih?!”
“Sori Vi, sori. Gue gak lihat ada loe. Sori ya?” kata si penabrak sambil membantu Sivia bangun.
“Ify?” gumam Sivia setelah menyadari kalau yang menabraknya ialah Ify一sahabatnya.
“Loe mau ngapain sih? Sampai nabrak gue segala.” lanjutnya sambil membersihkan rok hitamnya.
“Gue nyari loe.”
“Nyari gue? Ada apa emang?” Ify mengikuti Sivia yang mulai berjalan perlahan.
“Abisnya loe lama banget di perpustakaan, kesel gue nunggu loe di kelas.” kata Ify sedikit memanyunkan bibirnya.
“Semuanya gara-gara Alvin!”
“Kak Alvin?”
“Apaan sih loe manggil dia Kak Alvin?! Dia gak pantes dipanggil Kakak, dia gak pantes dihormati.”
“Karena dia kan kakak kelas kita, Vi?”
“Iya kakak kelas, kakak kelas yang gak bisa dijadiin panutan.”
“Hmm emangnya tadi loe diapain sama dia di perpus?” selidik Ify penasaran.
“Dia merebut paksa buku yang udah capek-capek gue cari. Pokoknya nyebelin banget deh dia itu, pengen gue hajar mukanya.”
“Emangnya
dia masih belajar materi kelas XI ya? Bukannya udah kelas XII? Padahal
inikan udah pertengahan tahun,” tanya Ify kembali heran.
“Mana gue tau. Nilai ulangannya nol mulu kali.”
“Siapa
bilang?” tanya Alvin yang entah dari kapan berada di belakang Sivia dan
Ify. Sivia langsung mengernyit, begitupun Ify. Lantas mereka segera
menengok ke arah sumber suara.
“Elo?!”
“Iya gue, siapa lagi?”
“Ngapain loe ngikutin kita hah?!”
“Dih, siapa yang ngikutin kalian? Pede amat!”
“Terus loe ngapain di sini? Mau ngajak ribut di depan kelas gue?”
“Terserah gue dong mau ngapain, bukan urusan loe kan?”
“Dasar aneh!”
“Tapi
gue keren. Daripada loe, udah aneh, jelek pula!” ujar Alvin sinis.
Sedangkan Ify sejak tadi hanya bisa terbengong-bengong melihat dua orang
yang sedang beradu mulut di hadapannya itu.
Seketika, wajah Sivia berubah merah. Emosi. Rasanya ingin sekali ia memakan hidup-hidup cowok yang bernama Alvin itu.
“Aaaarrrrgggghhhh!!!”
teriak Alvin seketika. Ia meringis kesakitan begitu Sivia dengan
sengajanya menginjak kakinya keras. Kemudian Sivia menarik paksa tangan
Ify untuk masuk kelas.
“Dasar cewek gila!” cibir Alvin sambil mengelus-elus kakinya.
“Bodo! Suruh siapa loe bikin urusan sama cewek gila hah?!” timpal Sivia sinis.
“Ish!”
elak Alvin yang hanya bisa menahan emosinya kuat-kuat. Ia berusaha
berjalan meski sedikit pincang. Mulutnya tak henti-hentinya mencibir.
Di
kelas, Sivia duduk dengan kadar emosinya yang masih melebihi kapasitas.
Tangannya terus mengepal dan sesekali ia pukulkan ke meja. Bahkan buku
tulis yang sejak tadi tergeletak di sana juga ikut menjadi sasarannya.
Sepenuh tenaga, Sivia meremas-remas buku tersebut hingga beberapa lembar
di antaranya terlepas begitu saja.
“Nyebeliiiinnnn!!!” kesalnya akut.
“Vi,
kasihan Kak Alvin sampai pincang gitu jalannya.” Ify ikut duduk di
samping Sivia yang kini melotot ke arahnya. Dan Ify langsung mati kutu
ditatap seperti itu oleh Sivia.
“Sebenernya sahabat loe itu siapa
sih, Fy?! Kok elo malah kasihan sama dia. Emang elo gak kasihan sama
gue?!” tukas Sivia heran. Ify langsung tergelak.
“Ya bukan gitu maksud gue.” sesal Ify pelan. Untuk sejenak, Sivia tak bergeming. Ia terlalu fokus meremas-remas buku kimianya.
“Segitu bencinya loe sama Kak Alvin, Vi?” tanya Ify kemudian. Mendengar itu, Sivia melirik sinis ke Ify.
“Pakai ditanya lagi. Gak lihat apa gue lagi emosi gara-gara dia? Heran gue sama loe.” Ify menghela napas.
“Emangnya
Kak Alvin punya salah apa sama loe? Setau gue, loe sama dia itu gak
pernah ada masalah. Tapi kok kalian bisa berantem mulu ya kalau ketemu?”
heran Ify. Sivia kembali tak bergeming. Sepertinya ia baru menyadari
akan sesuatu. Benar apa yang Ify bilang barusan.
“Via?” panggilnya sangat pelan.
“Loe gak apa-apa kan?” tanya Ify lagi. Sedikit heran melihat Sivia yang mendadak diam, diam dari aktivitas meremas-remas buku.
“Udahlah Fy, gue gak mau bahas itu lagi. Kantin aja yuk?”
“Hmm
ya udah deh.” kata Ify pasrah menerima ajakan Sivia. Ia berusaha
memaklumi dan langsung mengikuti langkah sahabatnya itu dari belakang.
***
Limabelas
menit setelah bel pulang berbunyi, Sivia buru-buru pamit ke Ify
lantaran ada hal penting yang mendadak katanya. Ify membolehkan, toh ia
juga bisa pulang sendiri naik angkot. Ya bedanya cuma gak ada teman buat
ngobrol saja.
Setelah selesai Ify memasukan semua peralatan
menulisnya ke dalam tas, ia dengan segera melangkah keluar kelas yang
faktanya sudah terlihat sepi sekali. Teman-teman sekelasnya sudah pada
pulang, bahkan kelas tetangga pun terlihat tak berpenghuni juga. Hanya
saja ada beberapa orang yang sibuk di tengah lapangan basket saat Ify
melewatinya.
“Ify?!” untuk sesaat Ify menghentikan langkahnya. Ia mencari-cari sumber suara yang tadi memanggilnya.
“Siapa
sih yang manggil gue?” matanya terus mengitari setiap sudut sekolah
tersebut. Dan kemudian ekor matanya menangkap bayangan nyata seseorang
yang sedang berlari pelan ke arahnya.
“Kak Rio?” gumamnya.
“Loe belum pulang?” tanya Rio setelah ia sampai di hadapan Ify.
“Belum Kak, kenapa?”
“Sivia
mana? Kok sendirian aja?” Rio mencari-cari sosok Sivia yang memang
biasanya selalu bareng dengan Ify. Tapi kali ini tidak.
“Sivia pulang
duluan, Kak. Kak Rio juga sendirian, mana Kak Alvin?” tanya Ify seraya
memicingkan mata ke arah lapangan basket dan tak menemukan sosok Alvin
di sana.
“Tau tuh dia pulang gak bilang-bilang dulu. Padahal sore ini ada latihan. Loe mau pulang sekarang? Naik apa?”
“Iya. Naik angkot, Kak.”
“Bareng gue aja yuk?”
“Gak usah deh. Kak Rio kan mau latihan.”
“Males ah gue. Lagian gak asik kalau gak ada Alvin.”
“Oh gitu.”
“Bareng gue ya?”
“Naik motor?”
“Enggak, jalan kaki. Ya iya lah naik motor!”
“Siapa tau aja mau bareng naik angkot.” balas Ify datar.
“Ayo
pulang?” lantas Rio langsung memegang tangan Ify. Untuk sejenak Ify
heran melihat ulah Rio. Ada yang beda dengan rasa di dadanya. Berdebar.
Namun Ify tak menghiraukan hal tersebut, ia hanya pasrah saat tangannya
ditarik Rio sambil jalan menuju parkiran.
Ify berdiri di belakang
Rio. Mematung. Memandangi semua gerak-gerik Rio mulai dari memakai helm
hingga menyalakan mesin seperti sekarang ini.
“Ayo naik, Fy!” suruh Rio. Ify tak menyahut.
“Fy?”
panggil Rio lagi sedikit membuka helmnya. Ia melihat cewek yang
dipanggilnya itu sedang berdiri mematung. Rio menggeleng kesal.
“IFY!!!”
“Eh iya Kak, kenapa?” respon Ify gelagapan.
“Ayo naik! Bengong mulu dari tadi.”
“Maaf gue gak denger, Kak.” Ify segera menaiki motor Rio. Lantas memegang pundak Rio perlahan.
“Pegang
pinggang gue aja yang erat. Gue mau ngebut.” Rio mengarahkan tangan Ify
ke pinggangnya. Perlahan, Ify cuma bisa nurut kata-kata Rio.
“Jangan terlalu ngebut ya Kak, gue takut.”
“Tenang aja. Loe pegangan yang erat.” Ify langsung memegang pinggang Rio erat, terkesan memeluk.
***
“Loe ngapain di rumah gue?” syok Sivia begitu ia melihat musuhnya sedang duduk bersama Mamanya一Alvin.
“Sivia,
gak sopan kamu.” ucap sang Mama setelah selesai membalutkan perban di
jemari Alvin yang sedikit luka akibat melawan pencopet yang hendak
menyambar dompet milik Mama Sivia.
“Tapi kenapa orang ini ada di rumah kita, Ma? Dia jahatin Mama?”
“Enggak
Sayang, dia malah yang nolong Mama dari para pencopet di jalan tadi.”
jelas Mama. Sedangkan Alvin sedari tadi masih meringis dengan lukanya
yang memang terasa perih. Ia gak berniat melawan ocehan dari Sivia.
Lagian ini juga rumah Sivia, toh Alvin bakal kalah debat meskipun harus
melawan.
“Coba kalau gak ada Nak Alvin, pasti dompet Mama udah raib.”
Sivia langsung duduk di samping Mamanya. Ia sedikit mencibir ke arah
Alvin.
“Emang kalian saling kenal ya? Kok Tante gak pernah lihat Nak Alvin main ke sini sih?” Alvin tersenyum.
“Kenal
kok, Tante. Sivia satu sekolah sama Alvin. Cuma Alvin kakak kelas
Sivia, jadi gak begitu deket.” ucapnya ramah. Sivia mendengus.
“Sok ramah loe!”
“Sivia?!” greget Mama Sivia seraya mencubit pelan perut anaknya tersebut.
“Sivia emang gitu, Tante. Agak nyebelin.” Alvin tersenyum sinis.
“Iya?”
“Enggak Ma, enggak! Dia yang nyebelin. Buktinya dia sering jailin Via kalau di sekolah. Dasar cowok pengadu loe!” kesal Sivia.
“Karena loe duluan yang bikin kesel.”
“Enak aja! Elo tuh yang bikin kesel.”
“Tuh
kan Tante, Sivia emang ngeselin.” adu Alvin kepada Mama Sivia. Mencoba
meyakinkan kalau Sivia lah yang memang menyebalkan. Mama Sivia
menggeleng sambil tersenyum.
“Enggak Ma, dia yang ngeselin.” Sivia ikut mengadu. Sang Mama langsung ketawa.
“Kok Mama malah ketawa sih?”
“Iya nih Tante payah.”
“Abis
kalian lucu sih. Mama jadi keinget sama masa-masa Mama muda dulu.” kata
Mama Sivia yang behasil membuat anaknya menepuk jidat, sama seperti
Alvin.
“Mamaaaa!!!” greget Sivia kesal.
“Alvin jangan terlalu
benci sama Sivia, dan Sivia juga jangan terlalu benci sama Alvin. Itu
aja pesan Mama sama kalian.” mereka mengernyit. Tak mengerti dengan apa
yang diucapkan Mama Sivia.
“Emang kenapa, Tante?”
“Karena benci bisa jadi cinta lho.” bisik Mama Sivia pelan sekali. Namun terdengar jelas di telinga Alvin dan Sivia.
“Gak akan!” kompak mereka. Sang Mama beranjak sambil terus tersenyum melihat tingkah kedua anak yang menurutnya lucu itu.
“Mama berani taruhan deh.”
“Mama, udah deh!”
“Iya nih Tante nyebelin deh.”
“Entar kalau kalian udah jadian, bagi pajaknya ya? Hehehe.” kata sang Mama yang sedari tadi mau pergi tapi gak jadi-jadi.
“Mama!”
“Tante!” mereka一Alvin dan Sivia一lantas menekuk wajah penuh kesal.
“Kenapa loe ngikutin gue kesel kaya gitu?!” Sivia mencibir.
“Dih, apa sih?!”
“Mending loe pergi aja sana! Udah selesai kan urusannya sama nyokap gue?”
“Tanpa diusir pun gue bakal pergi dari sini.”
“Ya udah sana pergi.”
“Iya-iya gue pergi! Dasar cewek nyebelin!”
“Elo tuh yang nyebelin. Awas loe, jangan pernah berani lagi nginjak kaki loe di rumah gue!”
“Whatever you say!”
“Hush, hush, hush! Cepetan pergi sana! Jauh-jauh loe dari gue.” usir Sivia keras. Alvin terus mencibir dibuatnya.
“Lho kok pulang?” heran Mama Sivia yang tiba-tiba muncul di belakang Sivia dengan membawa sedikit cemilan dan es jeruk.
“Udah Via usir. Lagian Mama repot-repot amat sih pakai bawa-bawa ginian buat dia.”
“Tamu itu raja, Sayang. Apalagi Alvin udah nolong Mama.” Sivia mendengus. Entah setan apa yang telah merasuki otaknya.
“Terserah
Mama deh! Via ke kamar.” lantas dengan perasaan kesalnya, Sivia
langsung pergi ke kamarnya meninggalkan sang Mama yang masih berdiri
mematung.
“Sivia, Sivia.”
***
Ify memutar-mutar remote
televisinya asal. Ia terlalu asyik mengobrol dengan sahabatnya一Sivia一di
sambungan telepon tanpa memperdulikan televisi yang masih menyala
sedari tadi.
“Terus loe apain tuh Kak Alvin?” tanyanya setelah Sivia selesai bercerita panjang lebar.
“Ya gue usir lah, Fy! Buat apa lihat dia lama-lama di rumah gue?”
“Dih, loe parah banget sumpah! Dia kan udah nolongin nyokap loe sampai terluka gitu. Tapi loe main usir-usir dia aja.”
“Udah deh gak usah belain dia. Mau sebaik apapun dia sama gue ataupun nyokap gue, gue gak perduli.”
“Yakin loe? Gak nyesel kalau loe nanti sampai suka sama dia?” Ify terkekeh tiba-tiba.
“Ish! Loe doain gue gitu, Fy? Temen macem apaan loe? Sumpah nih ya, gue gak bakal suka tuh sama yang namanya A.L.V.I.N! Titik!”
“Gue gak ikut-ikutan ya kalau loe nanti beneran suka sama dia. Hahaha.”
“IFFFFYYYY!!!” teriak Sivia keras. Dan membuat Ify sedikit menjauhkan handphonenya sebelum gendang telinganya pecah sia-sia akibat teriakan dari sahabatnya tersebut.
“Udah?”
“Apanya?”
“Teriaknya?”
“Mau gue teriak lagi?”
“Gak usah Vi, gak usah!”
“Eh Fy, bentar ya ada yang nelpon gue.” Ify mengernyit sesaat.
“Ya udah deh matiin aja gak apa-apa kok. Kebetulan gue juga ngantuk, Vi.”
“Ya udah, selamat istirahat ya? Bye!”
“Iya,
selamat istirahat juga. Bye!” lantas Ify langsung mengakhiri sambungan
teleponnya. Matanya mulai terasa berat. Ia mematikan TV terlebih dahulu sebelum pergi ke kamarnya.
Sedetik, baru saja Ify memeluk bantal guling yang tergeletak di atas kasurnya, tiba-tiba ada suara panggilan masuk di handphonenya. Lantas Ify berusaha mengangkatnya meski seluruh tubuh kecilnya sudah enggan untuk bangun.
“Kenapa lagi, Sivia? Tadi katanya ada yang nelpon?”
“Sivia? Bukan. Gue Rio.” Ify langsung mengangkat alis mendengarnya.
“Kak Rio?” tanyanya kemudian. Terkesan keheranan.
“Iya. Ganggu gak?”
“Enggak, Kak. Ada apa?”
“Gak ada apa-apa kok. Loe belum tidur?”
“Oh belum. Baru aja tadi mau tidur, eh Kak Rionya nelpon.”
“Maaf ya ganggu.”
“Gak apa-apa kok. Kak Rio belum tidur?”
“Belum ngantuk.”
“Oh gitu. Tau nomor gue dari siapa, Kak?”
“Hmm dari siapa ya? Ada deh pokoknya. Gak penting juga kan?”
“Iya sih. Terus sekarang Kak Rio mau ngapain?”
“Mau main petak umpet! Ya ngobrol lah!”
“Gak usah emosi juga kali, gue kan nanya doang.”
“Abisan
loe nanyanya aneh-aneh aja.” Ify terkekeh tiba-tiba. Rasa kantuknya
hilang begitu saja ketika Rio menelponnya. Mendadak, Ify
tersenyum-senyum. Entah kenapa?
***
“Ini siapa?”
“Gak penting!”
“Siapa sih? Aneh!”
“Masa gak kenal?”
“Woy, ini siapa? Udah deh gak usah bercanda!”
“Gue gak bercanda.”
“Loe siapa? Ayo ngaku!”
“Gak usah pura-pura gak tau deh!”
“Siapa sih? Cakka?”
“Cakka? Cakka siapa?”
“Cakka temen sekelas gue.”
“Bukan!”
“Terus? Gabriel?”
“Bukan!”
“Septian?”
“Bukaaaannnn!!!”
“Siapa
siiiihhhh??? Temen SD, SMP, apa SMA?” Sivia super penasaran dengan
seseorang misterius yang tiba-tiba menelponnya. Cukup menyebalkan bagi
Sivia. Andai saja tadi Sivia tidak mengangkat telepon dari orang
misterius tersebut, pasti ia masih bisa santai curhat-curhatan sama Ify
ketimbang harus meladeni orang aneh seperti yang sedang ia lakukan
sekarang.
“Gue bukan temen loe!”
“Lho? Terus?”
“Musuh loe!”
“Musuh? Gue gak punya musuh ya!”
“Loe berlagak bego ya sekarang?”
“ALVIIIINNNN!!!”
“HAHAHA!!!”
“Ngapain loe nelpon gue? Ish!”
“Emang ada larangannya?”
“Jelas ada lah! Dan itu khusus buat loe doang!”
“Dih, gitu ya? Pilih kasih loe jadi orang!” tiba-tiba terdengar decakan sinis dari seberang sana.
“Bodo!”
“Bisa gak sih gak nyebelin sebentar aja?”
“GAK!”
“Ish! Bener-bener loe ya.”
“Apa?!”
“Enggak.”
“Ya udah matiin cepetan!”
“Gak mau!”
“Gue yang matiin.” sejenak, Alvin tak bergeming. Heran. Sampai Sivia tak berani untuk mematikan sambungan teleponnya.
“Alvin?” Alvin masih diam. Belum berniat menyahuti panggilan Sivia.
“Loe
masih di situ kan?” tak ada jawaban. Hanya terdengar olehnya deru napas
Alvin perlahan. Sejenak, Sivia merenung. Cukup lama. Sampai ia
memutuskan untuk berusaha berubah sikap ke Alvin hanya sekali ini saja.
“Ada perlu apa?” tanya Sivia ramah. Seramah mungkin. Sebisanya. Alvin masih tak menjawab.
“Vin?”
“Kita
bisa gak sih untuk sebentar aja damai? Gak harus berantem, gak harus
debat, gak harus saling emosi?” kata Alvin lirih. Entah kenapa Alvin
harus bicara itu.
“Hmm maksud loe?”
“Gue capek berantem mulu sama
loe, Vi.” Sivia terhenyak sesaat. Kalau dipikir-pikir memang benar juga
apa yang dikatakan Alvin. Kenapa selama ini mereka selalu berantem?
Padahal mereka sendiri tidak tau apa alasannya mereka sampai seperti
itu.
“Apa loe gak capek berantem terus sama gue?” Sivia menghela napas.
“Maafin gue, Vin.”
“Buat?”
“Ya buat semuanya.”
“Loe gak punya salah ke gue.”
“Gue kan sering banget marah-marah gak jelas sama loe.”
“Gak gue masukin ke hati kalau masalah itu. Bagi gue itu hanya candaan.”
“Kalau gitu loe yang minta maaf sama gue.”
“Kok gue harus minta maaf?”
“Karena gue bukan elo yang nganggep semua itu candaan. Ayo minta maaf!”
“Gak mau!”
“Harus!”
“Enggak!”
“Ya udah matiin nih?”
“Iya-iya nih gue minta maaf. Maafin gue ya? Mungkin gue udah nyebelin selama ini. Bahkan mungkin lebih dari nyebelin.”
“Nah gitu dong! Oke, gue maafin. Hahaha.”
“Ketawa lagi.”
“Abis lucu.”
“Apanya yang lucu?”
“Kita.”
“Maksudnya?”
“Tau ah!”
“Loe belum tidur?”
“Tidur? Belum. Lagian kalau gue tidur, loe mau ngobrol sama siapa?”
“Sama nyokap loe juga boleh. Hehehe.”
“Ish! Jangan pernah lagi deketin nyokap gue!”
“Kenapa? Oh, cemburu? Ciyeeee.”
“Ngarep! Ngapain cemburu sama loe? Kaya gak ada yang bisa dicemburuin lagi aja.”
“Udah
deh ngaku aja. Gue tau kok gue ganteng. Dan gue juga tau loe naksir
gue.” Sivia mendengus. Perutnya tiba-tiba terasa mual mendengar
kata-kata Alvin.
“Boleh muntah gak, Vin?”
“Boleh, silahkan!”
“Ish! Sejak kapan loe narsis?”
“Hahaha.”
“Vin, gue ngantuk.”
“Ya udah tidur aja sok.”
“Gak apa-apa dimatiin?”
“Gak apa-apa.”
“Beneran?”
“Niat tidur gak sih, Vi? Banyak nanya loe ah!”
“Ish! Kali aja loe kangen sama gue.”
“Enggaaaakkkk! Udah sana tidur gih!”
“Huh! Ya udah gue tidur ya?”
“Iya, semoga mimpi indah.”
“Makasih.” Sivia langsung menarik selimut yang sejak tadi didudukinya.
“Kok belum dimatiin?” tanyanya kemudian.
“Loe aja yang matiin.”
“Gak mau! Yang nelpon duluan siapa coba?”
“Tapi yang pamit tidur duluan siapa?”
“Alviiiinnnn!!!”
“Siviaaaa!!!”
“Tau ah!”
“Ya udah. Matiin aja apa susahnya sih? Heran deh,”
“Dasar nyebelin!” Sivia langsung mematikan handphonenya tanpa komando. Ia bergegas tidur tanpa memperdulikan Alvin yang entah lagi apa di seberang sana.
“Selamat
tidur, Alvin!” gumamnya sebelum benar-benar tidur. Seakan ia lupa
dengan semua sikapnya kepada Alvin selama ini. Entahlah.
***
Rio
berdiri resah di bawah tiang yang di atasnya terdapat lampu besar yang
sinarnya sedikit temaram. Ia bersandar di sana. Menunggu seseorang yang
sebelumnya pamit untuk membeli sedikit cemilan di toko terdekat.
Rio berniat mengantar, tapi ditolak. Lantas ia lebih memilih menunggu sambil sesekali meneliti sendu keadaan sekitar.
“Sori
ya udah nunggu lama.” sesosok cewek tinggi kecil berambut panjang dan
bergelombang itu seketika mengusik pendengaran Rio. Rio tersenyum
renyah.
“Gak apa-apa. Sini duduk!” cewek itu lantas duduk dengan cemilan yang masih ia pegang.
“Kak Rio mau minum?” tawarnya ramah.
“Tau
aja kalau aku haus, Fy?” cewek kecil itu Ify. Seketika Ify tersenyum
melihat tingkah Rio yang sulit untuk diungkapkan menurutnya.
“Iya
dong, seorang pacar harus pengertian kan?” kata Ify seraya menyenggol
pelan pundak pacarnya tersebut. Ya, Ify dan Rio memang sudah berpacaran.
Sejak seminggu yang lalu.
“Aku jadi makin sayang sama kamu, Fy.” ungkap Rio manja. Ia memegang tangan Ify lembut.
“Iya dong Kak, harus!” kata Ify sembari membalas genggaman Rio. Rio memanyunkan bibirnya.
“Iya-iya pasti. Tenang aja, aku selalu sayang kok sama kamu. Beneran,”
“Gombal banget.”
“Ini serius lho.”
“Masa sih?”
“Ya udah kalau gak percaya.”
“Iya aku percaya.” Ify tersenyum kemudian.
“Nah gitu dong.” lalu Rio menarik kepala Ify ke pundaknya. Membiarkan Ify menikmati sejenak belaian tangannya.
Rio
bergumam pelan. Wangi rambut Ify berhasil membuat Rio semakin erat
merangkul cewek yang kini hanya terdiam sejuta kata di pundak Rio itu.
“Kak?”
“Hmm,”
“Jangan
pernah tinggalin aku ya?” Rio menarik napas. Dan dibukalah poni Ify
perlahan, supaya Rio bisa melihat mata indah milik cewek tersebut.
Sedetik, Ify melirik dan melihat Rio yang sedang menatap wajahnya. Rio
pun menggeleng. Menjawab pertanyaan Ify barusan.
“Janji?”
“Aku gak mau janji, aku takut suatu saat aku akan melanggarnya.” Ify kembali memalingkan pandangannya.
“Aku
cuma bisa berusaha, Fy. Berusaha untuk tidak melakukannya.” Rio
mengangkat wajah Ify perlahan. Lantas memegang kedua pipinya. Ia
tersenyum.
“Gak ada sedikitpun niat yang tersirat di otakku untuk meninggalkanmu.”
“Sungguh?”
Rio mengangguk. Kemudian ia merasakan bahwa cewek yang ada di
sampingnya itu telah memeluknya begitu erat. Seakan ia tak mau
kehilangan Rio untuk sekejap pun.
“Udah-udah, pengap nih.” gurau Rio.
“Ish! Apaan sih? Orang masih pengen meluk juga.” Ify mencibir.
“Malu tau dilihatin orang.”
“Bodo! Mereka juga memaklumi kali. Kaya mereka gak pernah muda aja.”
“Huh dasar!” Ify langsung memeluk Rio lagi tanpa komando. Bahkan itu lebih erat dari sebelumnya.
***
“Ehem!
Senyum-senyum aja kelihatannya dari tadi.” Alvin dan Sivia mendadak
salah tingkah dibuatnya. Mama Sivia selalu saja menggoda mereka tiap
kali Alvin main ke rumahnya untuk menemui Sivia.
“Mama apaan sih?” kata Sivia salting.
“Enggak.
Mama cuma mau ngasih ini aja kok. Tenang, Mama gak bakal ganggu
kalian.” ditaruhnya makanan dan minuman yang memang dibawa oleh Mama
Sivia tersebut di atas meja. Alvin tersenyum.
“Makasih, Tante.”
“Sama-sama, Sayang.” Sivia mendelik.
“Mamaaaa!!!” geramnya kemudian.
“Apa
sih? Gak salah kan manggil Alvin dengan sebutan sayang?” Mama Sivia
tersenyum ke arah Alvin. Alvin juga tersenyum. Mereka seakan kompak
mengerjai Sivia.
“Sivia cemburu kali, Tante.” kata Alvin ikut angkat bicara. Mama Sivia mengangkat jempolnya.
“Nah bener!”
“Ish!
Kamu juga ikut-ikutan aja! Udah deh, Mama cepetan pergi sanaaaaa!!!”
Sivia mencoba mendorong Mamanya agar pergi dari tempat Sivia dan Alvin
mengobrol.
“Ciyeeee yang gak mau diganggu.”
“Mamaaaa!!! Nyebelin deh!”
“Ya udah kalau gitu Tante masuk dulu ya?” pamit Mama Sivia seraya mengedipkan sebelah matanya ke Alvin. Alvin tersenyum.
“Udah cepetaaaan!” Sivia kembali mendorong Mamanya masuk ke dalam rumah.
“Kok kamu gitu sih sama Mama kamu sendiri?”
“Abis Mamaku tuh nyebelin banget.” Sivia kembali duduk di samping Alvin.
“Nyebelin? Enggak ah! Mama kamu itu asik.”
“Tapi
kadang nyebelin, kaya tadi itu. Ya udahlah, kenapa jadi bahas Mama?”
Alvin menghela napas. Sebisa mungkin mencari topik pembicaraan baru.
Begitupun Sivia yang lebih memilih diam. Lebih jelasnya menunggu Alvin
kembali berbicara.
“Vi?”
“Iya?”
“Kamu nyaman gak sih dengan
sikap kita seperti sekarang ini?” tanya Alvin sendu. Sivia mengerutkan
dahinya. Tak mengerti apa yang ditanyakan Alvin.
“Yang selalu damai, gak pernah berantem.” lanjutnya yang seakan tau dengan pemikiran Sivia sekarang.
“Hmm aku, aku merasa nyaman sekali.” kata Sivia berusaha santai.
“Kenapa
kita gak gini aja dari dulu?” tanya Alvin lagi. Ia tak butuh jawaban
dari siapapun dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkannya.
Menurutnya itu bukan pertanyaan, melainkan hanya sebuah penyesalan yang
baru terungkap.
“Aku gak pernah menyadari hal itu sebelumnya.” gumam Sivia yang kini matanya menatap lurus ke depan.
Sejenak,
tanpa Sivia sadari, Alvin memandangi setiap raut wajah yang terukir
indah pada gadis di sebelahnya tersebut. Ia tersenyum sesaat.
“Kamu gak mau ngikutin jejak Ify?” tanyanya kemudian. Lantas Sivia melirik Alvin perlahan.
“Maksudnya?”
“Hmm enggak, maksud aku, ya gitu deh.” Alvin langsung terlihat salting dibuatnya.
“Nyuruh aku pacaran gitu?” Alvin tak menjawab.
“Kak Alvin juga gak ngikutin jejak Rio?” Alvin tergelak. Sivia bilang apa barusan? Apa Alvin tidak salah dengar? Entahlah.
“Apa? Kak Alvin? Kamu gak salah ucap kan, Vi?” Sivia mengernyit.
“Enggak kok. Kenapa gitu? Ada yang salah?”
“Enggak
sih. Ya heran aja, tumben manggil aku dengan sebutan kakak.” kini
giliran Sivia yang tidak merespon. Ia membungkam mulutnya seribu bahasa.
“Rencananya aku mau nyusul jejak Rio secepatnya.”
“Oh ya?”
“Iya, secepatnya. Kamu kapan nyusul?” Sivia mengambil napas dan membuangnya asal.
“Entahlah!”
“Kenapa?”
“Ya
begitulah. Pokoknya yang jelas, selama cowok yang ada di sampingku ini
belum mengungkapan perasaannya padaku, mungkin aku gak pernah nyusul Ify
untuk pacaran. Setidaknya untuk double date.” ucap Sivia sembari
menarik kedua sudut bibirnya. Ia tak menatap Alvin sedikitpun. Ingin
mengetahui sepeka apakah Alvin kepadanya?
“Yayaya. Aku pun sama.
Sebelum denger kata iya dari cewek di sampingku ini, aku rela jomblo
seumur hidup.” mereka terkekeh tiba-tiba. Lantas hening kembali untuk
beberapa detik.
Untuk pertama kalinya Alvin menyentuh tangan
Sivia perlahan. Alvin tersenyum tipis. Telapak tangan Sivia terasa
begitu sangat dingin. Diam. Alvin dan Sivia belum berucap sepatah
katapun. Hanya saja getaran yang ada di dada mereka itu saling
berkomunikasi. Cukup lama.
“Mulai sekarang, kamu milikku.”
“Lho kok? Kamu aja belum nembak aku! Bagaimana bisa aku jadi milik kamu? Ish!” Sivia mencibir.
“Bukankah
getaran yang ada di hatiku mampu kamu rasakan juga? Dan bukankah itu
membuktikan kalau kamu sama aku itu saling cinta?” Alvin tersenyum.
Begitupun Sivia.
“Jadi, gak perlu nembak dan gak perlu katakan iya. Simpel kan?”
“Kak Alviiiinnnn!!!” rengek Sivia manja. Ia langsung merengkuh tubuh bidang Alvin tersebut. Alvin membalas.
Perlahan, Alvin mendaratkan kecupannya yang begitu lembut di kening Sivia yang saat itu bersimpuh di dadanya.
“I Love You, Sivia!” Alvin memberikan senyuman termanisnya kala itu. Begitupun Sivia.
“I Love You Too, Kak!”
Di
sisi lain, ada seseorang yang benar-benar bahagia melihat kedua remaja
yang sedang berduaan mesra tersebut. Ia tersenyum. Sesekali kepalanya
menggeleng karena melihat tingkah lucu Alvin dan Sivia. Ia, Mama Sivia.
End!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar