@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Kamis, 21 November 2013

He-art 3rd


Always Happens at School


Hari ini hari senin. Hari terpanjang dan paling membosankan bagi kebanyakan anak sekolah. Di mana setianya mereka harus berangkat pagi-pagi sekali demi mengejar waktu untuk bisa mengikuti Upacara Bendera. Ritual rutin di setiap sekolah manapun, termasuk Sarfagos.

Matahari masih tak begitu menyengat. Entah kenapa kali ini sang penguasa tata surya tersebut tak sepenuhnya memancarkan energi panas ke bumi. Hangat. Meski begitu, rasa pegal karena terus-terusan berdiri seraya mengikuti tahap demi tahap pelaksanaan Upacara Bendera tersebut, tak jarang siswa-siswa Sarfagos mengeluarkan keringat dingin di dahinya. Rasa bosan akibat petuah-petuah sang pembina pun kontan menjamah pikiran para siswa tersebut.

Di tengah-tengah barisan, Rio berdiri dengan malasnya. Dengan posisi kaki yang ditekuk satu, mata nakal milik Rio berpetualang ke arah siswi-siswi kelas X yang memang barisannya tak jauh dari tempatnya berdiri. Klik!
Oh my ghost! Tuh cewek cantik banget ya? Ck! Parah… parah… parah…” rutuknya dalam hati. Kini pandangan Rio pun terfokus pada salah satu cewek berambut hitam pekat dan sedikit bergelombang yang berdiri paling depan di gerombolan kelasnya. Cewek tersebut terlihat fokus mendengar dan menyimak segala apa yang keluar dari mulut pembina upacara yang saat itu berpidato.
“Wuih… kece parah tuh cewek!!! Mesti kenal gue sama dia. Gak boleh enggak pokoknya.” gumamnya kemudian. Tak sadar kalau tangannya ia lipatkan di dada.
“Heh, loe ngapain?” bisik Gabriel yang mulai risih akan ulah Rio di depannya. Rio tak menjawab, ia hanya memberi kode kalau dirinya sedang memandang bidadari yang jatuh entah dari mana. Mungkin.
“Ck! Otak loe mesti gue instal ulang kayanya, Yo. Udah gak beres!” bisik Gabriel asal.
Why, brader? Berarti gue normal. Gak kaya loe, maho!” sedetik setelah Rio bilang itu, kepalanya serasa ada yang menyentuh. Tepatnya menjitak.
“Sialan loe, Gab!”
“Lagian tuh mulut kalau ngomong pedes amat!” Rio nyengir perlahan.
“Tapi emang fakta kan? Atau jangan-jangan loe sama Alvin ada apa-apanya lagi. Oh my God! Cepet-cepet tobat kalau saran dari gue sih, Gab. Mumpung belum kiamat lah…” balas Rio dibarengi tawa khasnya.
“Gembel loe!” lagi-lagi Rio tertawa. Di sisi lain, ada satu siswa yang masih diam meski sejak tadi dua orang sahabatnya beradu mulut di belakangnya. Siswa itu adalah Alvin. Ya, Alvin sedari tada hanya diam seribu bahasa. Tak seperti biasanya saat upacara seperti ini ia mematung, biasanya paling tidak betah berdiri lama-lama apalagi sambil dipanggang di bawah terik matahari. Rio menyenggol pundak Gabriel perlahan.
 “Tumben si Alvin diem, Gab.” bisiknya. Gabriel mengangkat bahu sembari memandang Alvin yang memang sejak tadi tak bergeming sama sekali.
“Lagi puasa ngomong kali tuh anak.” kata Gabriel kemudian.
“Tapi bodo ah! Yang penting sekarang gue udah nemu bidadari baru gue di sana. Beautiful banget, brader! Coba lihat deh!” sedikit ilfeel dengan sifat sahabatnya yang satu itu, Gabriel memutar mata.
Whatever you say, Mario Sebastian! Dasar playboy kampung loe!”
“Yayaya… mending playboy kampung kali ya ketimbang jomblo kampung yang hina dan terhina. Life is so hard ya ternyata? Hahaha. Segitu susahnya loe move on dari Alvin, Gab.”
Please deh, Mario! Gue bukan mahoannya Alvin ya! Lama-lama gue jahit juga tuh mulut.”
“Kalian bisa diem gak, hah?! Berisik tau gak?!” sudah hampir lama terdiam, akhirnya Alvin mulai angkat bicara karena merasa terganggu dengan semua ocehan sahabat-sahabatnya. Rio dan Gabriel pun menunjukkan deretan gigi putihnya seraya mengangkat kedua jari tengah dan jari telunjuknya. Alvin mendecak kesal. Kalau saja mereka bukan sahabatnya, mungkin mereka sudah Alvin hajar di tempat.
“Galak banget loe kaya ibu tiri! Slow aja slow, brader! Toh gak ada yang ngawasin kita ini kan?” timpal Rio sembari menepuk pundak Alvin. Lantas membuat Rio langsung mendapatkan tatapan membunuh dari Alvin.  
“Hehehe.”
“Udah-udah, gue sama Rio bakal diem kok.” serobot Gabriel dengan membekap mulut Rio sebelum Alvin benar-benar emosi dan turun tangan menghajar mereka.
“Diem loe!” bisik Gabriel lagi. Ia mengancam ke arah Rio.
“Ck!”

Di sisi lain, sejak tadi tatapan Shilla hanya terfokus pada sosok cowok terkeren yang pernah ia temui. Cowok oriental berbadan tinggi yang kini sedang memimpin upacara itu berhasil mengalihkan dunia Shilla sedari awal dimulainya upacara hingga sekarang hampir selesai. Shilla senyum-senyum sendiri.
“Ganteeeeeennnggg!!!” rutuknya dalam hati. Matanya pun ikut berbinar begitu cowok yang diperhatikannya tersebut berbalik arah untuk membubarkan para peserta upacara.
“Jangan bilang kamu lagi lihatin kak Cakka, Shil?” tebak Zahra seraya menyenggol pundak Shilla. Shilla tak merespon.
“Apa sih, Ra? Ganggu aku aja deh!” Zahra berdecak. Nih anak bener-bener udah kepelet sama kak Cakka kayanya. Please deh, Shil! batin Zahra. Sedikit terpaksa, Zahra menarik lengan sahabatnya itu untuk ke kelas.
“ZAHRAAAAAA!!!” ujar Shilla kesal meski pandangnya tetap tertuju pada sosok Cakka yang kini sedang mengelap keringatnya di pinggir lapangan.  

***


“Hai, cantik! Boleh kenalan gak?” sapa Rio kepada setiap cewek yang lewat di hadapannya. Meskipun banyak cewek-cewek yang melihat aneh tingkah Rio tersebut, tetapi tak jarang juga ada yang merespon balik dengan melempar senyum bahkan sampai mau berkenalan dengannya.
“Hai, manis! Sapa yang di sini dong?” Rio mulai kumat. Membuat Alvin dan Gabriel yang sedari tadi sibuk dengan santapan yang ada di hadapannya itu mulai merasa jengah.
“Loe bisa gak sih sehari aja gak kecentilan kaya gitu? Enek gue lihatnya!” tukas Gabriel tegas. Rio pun kebingungan mendengar ucapan sahabatnya tersebut.
What’s wrong? Itu artinya gue normal. Gak kaya loe ber…”
Shut up, Mario! Jangan bilang loe mau ngatain kita gak normal.”
“Nah, bukan gue tuh yang bilang. Loe mikirnya negatif mulu sih jadi orang.”
“Gue hafal betul sama semua pikiran buruk loe, Mario!” lanjut Gabriel. Sedangkan Alvin lebih memilih diam ketimbang harus buang-buang tenaga menghadapi kedua anak yang tingkahnya seperti alien itu.
Oh my God!!! Bidadari gue dateng tuh, Gab.” tunjuk Rio ke arah cewek yang berjalan ke arah kantin sebelah dengan seorang temannya.
Wait! Wait! Wait! Bukannya cewek itu yang dibully Alvin kemarin lusa ya?” deg! Jantung Alvin mendadak berhenti mendengar ucapan Gabriel. Cewek? Bully? batinnya kemudian. Lantas itu membuat Alvin terpaksa mengikuti arah pandang Gabriel dan Rio.
“Oh, iya bener tuh! Hmm… tapi kenapa dia bisa jalan sama bidadari gue ya?”
“Bego loe ah! Ya kali aja dia temen sekelasnya atau tetangganya atau apalah itu.” timpal Gabriel mulai heran dengan pemikiran Rio.
“Apa loe bilang barusan? Bidadari loe? Cih! Jangan harap loe bisa dapetin dia gitu aja.” sambung Alvin tiba-tiba. Sontak membuat kedua sahabatnya itu mengangkat alis.
What?! Please deh, Vin! Loe boleh kok pacaran sama Gabriel, tapi gue mohon loe gak perlu naksir sama orang yang gue taksir. Dan loe gak berhak buat larang-larang gue. Do you understand?!” seperti biasa, Rio langsung mendapatkan jitakan keras dari Gabriel dan Alvin.
“Sekali lagi gue bilang, gue bukan maho!!!”
“Hahaha. Ya udah gini aja deh, gue perlu bukti kalau kalian bukan maho. Gimana?” tawar Rio sembari menahan tawa.
“MARIO!!!”
Slow aja kali gak usah sewot!”
“Muka loe tuh yang bikin sewot!” tukas Gabriel sengit.
“Kalau nggak gini aja deh, gue tantang loe berdua buat dapetin mereka.” lagi-lagi Rio mendapat tatapan membunuh dari kedua sahabatnya.
So? Kalian berdua emang maho kan? Buktinya kalian gak pada mau nerima tantangan gue.” lanjut Rio dengan menarik kesimpulan semaunya.
“Oke-oke gue terima tantangan loe. Tapi gue gak mau sama mereka. Bisa diganti yang lain?” ucap Alvin dengan menerima tawaran Rio. Gabriel ikut mengiyakan.
No! Loe harus dapetin mereka.”
“Tapi?”
“Gak ada alesan pokoknya! Loe mesti dapetin dia, Vin.” Rio menunjuk salah satu cewek yang memang sedang dibicarakannya tersebut.
What?! Tapi dia itu sep…” belum sempat Alvin meneruskan kata-katanya, Rio kembali menimpali.
“Tapi jangan deh, dia incaran gue. Hehehe. Loe yang satunya aja, biar lebih menantang. Secara gitu, loe udah bully dia di depan kelas loe kemarin lusa. Gimana?” Alvin tergelak.
“HEH?! GAK MAU GUE!!!” tolak Alvin mentah-mentah.
“Oke, loe maho berarti.” tukas Rio menusuk. Lagi-lagi Alvin melotot. Dan bahkan sesekali ingin rasanya ia membunuh sahabatnya yang satu ini.
“Udahlah terima aja, Vin! Daripada loe dibilang maho kan?” sambung Gabriel.
“Nah lho?”  
“Mending dibilang maho kalau gitu.”
“Vin, please deh! Masa gini aja loe gak bisa? Jangan cuma tampang aja yang sadis kali, buktiin!” kata Gabriel memberi sedikit saran.
“Oke-oke gue terima! Puas loe pada?!” Rio dan Gabriel terkekeh kemudian.
“Dan buat loe entar aja ya, Gab? Beri kesempatan gue buat nyari dulu. Hehehe.”
“Bagus deh kalau gitu. So, gue gak perlu pusing nyari cewek buat tantangan loe ini.” ucap Gabriel sekenanya. Alvin kembali terdiam. Tapi entah kenapa matanya selalu tertuju pada sosok cewek yang sempat dibullynya kemarin lusa.
“Alvinandra? Apa yang sedang anda pikirkan? Apakah anda masih ragu dengan tantangan yang saya berikan?” tanya Rio sekali lagi. Ia berbicara layaknya pebisnis yang sedang berdialog dengan clientnya. Alvin mendecak.
“Bisa gak sih gak usah ngeremehin gue?!” tegas Alvin datar.
“Oke-oke gue percaya sama loe. Jadi sekarang deal ya?” Rio berucap. Tangannya ia julurkan ke depan untuk meminta persetujuan dari kedua sahabatnya itu.
“Bentar dulu deh bentar! Kalau sampai gue sama Alvin berhasil dapetin cewek yang loe tunjuk itu bakal dikasih apa?” serobot Gabriel baru ingat akan sesuatu. Alvin ikut mengangguk mengiyakan.
“Oh, masalah itu? Gampang lah! Bisa diatur entar.”
No! No! No! Gue gak mau di entar-entarin pokoknya. Harus sekarang juga ditentuin!” sahut Alvin. Untuk sementara Rio berpikir. Lumayan lama.
“Hmm… gini aja deh, kalau loe berdua beneran bisa dapetin cewek yang gue tunjuk tadi, loe berdua gue pinjamin semua fasilitas yang gue punya. Gimana?” usul Rio di depan Alvin dan Gabriel yang kini saling pandang.
“Oke, kita setuju. Tapi gak ada batasan waktu kan buat kita dapetin mereka?” sambung Gabriel santai.
“Wuih… ada dong! Loe berdua gue kasih waktu dua minggu dimulai besok.” ucap Rio santai. Namun tidak dengan dua orang cowok yang ada di hadapannya tersebut.
What?!! Dua minggu?! Loe gila kali ya?!” kaget Alvin dan Gabriel bersamaan. Sedangkan Rio berusaha tetap santai dengan ekspresi yang ditunjukkan mereka.
“Kenapa? Keberatan?”
“Loe mikir dulu harusnya sebelum ngomong, Mario!” tegas Alvin.
“Iya nih. Gue aja belum tau ceweknya yang mana? Gila aja!”
“Loe sih masih mending, Gab. Lah gue? Mana mungkin gue bisa dapetin dia secepet itu?” tukas Alvin dengan menunjuk ke arah cewek yang tadi menjadi bahan pembicaraan mereka.
“Lagian loe tau sendiri kan kemaren lusa gue udah bikin dia malu di kelas kita?” lanjut Alvin sengit.
So? Cuma karena itu aja kalian nyerah? Ish!”
“Bukan gitu maksud gue, Mario. Coba loe pikir dulu deh, dua minggu kan? Buat kenal sama dia aja belum tentu gue bisa dalam waktu secepat itu. Apalagi buat jadi pacar dia?” ungkap Alvin sejujur-jujurnya. Rio berpikir sejenak.
“Hmm… ya udah deh kalau gitu gue tambahan satu minggu lagi. Gak ada alasan lagi untuk kali ini. Ayo cabut!” Alvin dan Gabriel saling pandang penuh heran setelah beberapa detik mereka mendengar kata-kata Rio. Sedangkan si pelaku langsung melangkahkan kakinya dari tempat tersebut begitu saja tanpa memikirkan kedua sahabatnya yang super bingung.

***


Dengan ekspresi wajah yang sangat kesal, Ify melangkah mendekati sepupunya yang kebetulan sedang duduk di depan kelasnya sendirian. Alvin. Dan dengan menggandeng tangan kanan Sivia, Ify berdiri tepat di hadapan Alvin seraya menatapnya jengah. Alvin tergelak seketika. Kaget dengan kehadiran Ify dan Sivia yang tiba-tiba ada begitu saja.
“Loe mau ngapain di sini?” tanya Alvin gugup. Pertanyaan pertama yang ia keluarkan itu terdengar patah-patah di telinga Ify dan Sivia. Ify pun memutar mata kesal.
“Kak Alvin kok tega banget sih sama Sivia?!” tukas Ify tanpa menjawab terlebih dulu pertanyaan Alvin sebelumnya. Namun belum sempat Alvin merespon, Ify kembali bersuara.
“Kak Alvin bener-bener pecundang tau gak?!” wajah Alvin berubah emosi saat mendengar ucapan Ify tersebut.
“Udahlah, Fy! Gue gak mau ada urusan lagi sama kak Alvin. Ayo kita ke kelas aja.” sambung Sivia sambil memohon. Matanya tidak sama sekali melihat ke arah Alvin.
“Sivia, dengerin gue! Kak Alvin itu udah keterlaluan banget sama loe, dan gue gak suka kalau sahabat gue digituin apalagi sama sepupu gue sendiri.” tegas Ify ke arah Sivia.
“Tapi gue gak apa-apa kok, Fy. Udah yuk ke kelas?” respon Sivia langsung. Namun Ify tak menggubris sedikitpun. Tatapannya kembali ke arah Alvin yang dari tada hanya diam seribu kata.
“Kak Alvin itu cowok bukan sih?! Kok bisa-bisanya ngelakuin itu sama Sivia? Apa gak ada cara lain buat kak Alvin nyuruh Sivia minta maaf? Sivia itu cewek lho, kak! Gue gak nyangka kak Alvin setega itu sama cewek. Apalagi cuma gara-gara hal sepele kaya gitu. Atau memang kak Alvin udah gak punya perasaan sama sekali? Sejak kapan sih kak Alvin kaya gini? Gue kecewa sama loe, kak.” Alvin menelan ludah mendengar pertanyaan-pertanyaan sinis yang keluar dari mulut sepupunya. Entah ia harus berkata apa sekarang.
“Fy, ayo kita ke kelas!” ajak Sivia memaksa. Ify tetap tak menggubris.
“Pokoknya kak Alvin harus minta maaf sama Sivia sekarang juga!!!” gertak Ify tegas seraya tangannya menahan keras tangan Sivia yang hendak pergi ke kelas.
“Ify udahlah! Kalau loe emang gak mau ke kelas, gue ke kelas sendirian. Permisi!” pamit Sivia yang mulai kesal dengan Ify.
“Kalau emang kak Alvin gak mau minta maaf sama Sivia, berarti kak Alvin adalah orang yang paling kejam yang pernah gue kenal! Terus apa kak Alvin lupa sama semua pesan almarhumah mami kak Alvin, hah? Kak Alvin lupa? Iya?!” timpal Ify lagi-lagi. Karena suara Ify yang keras, itu membuat semua teman-teman kelas Alvin penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana. Mereka mengintip di jendela, dan bahkan ada juga yang keluar demi mengetahui lebih jelas. Seperti yang dilakukan Gabriel dan Rio.
“Kenapa loe diem, kak?! Ck!” Alvin menarik napas.
“Gue diem karena gue gak pernah diberi kesempatan buat ngomong sama loe. Dan asal loe tau ya, gue gak pernah sama sekali lupa sama semua pesan dari mami. Urusan gue sama dia itu gak ada hubungannya sama mami. Jadi loe gak perlu bawa-bawa mami di sini! Ngerti?!” kata Alvin sengit. Matanya begitu tajam menatap Ify.
“Ck! Kak Alvin bener-bener udah lupa.” decak Ify prihatin.
“Mami kak Alvin pernah bilang kalau kak Alvin sama kak Cakka gak boleh berbuat jahat sama siapa pun, terlebih sama yang namanya cewek! Apa kak Alvin lupa, hah?! Dan kenapa kak Alvin bilang kalau perbuatan kak Alvin ke Sivia kemarin itu gak ada hubungan sama sekali sama pesan dari mami kak Alvin?” tanya Ify heran. Perlahan Alvin pun mendecak kesal. Bukan kesal karena Ify dan Sivia, melainkan kesal karena teman-temannya yang mulai berhamburan keluar kelas. Untuk melihat Alvin tentunya.
“Ikut gue!” Alvin pun segera menarik tangan Ify ke tempat yang menurutnya lebih personal lagi untuk membahas semua ini. Tapi Ify dengan keras menolaknya.
“Kenapa? Kak Alvin malu sama mereka?!” tanya Ify lagi dan lagi. Tangannya ia tunjukkan ke arah teman-teman Alvin. Alvin lagi-lagi menarik napas. Terpaksa ia membiarkan Ify berkicau ria di depan orang banyak tersebut.
“Satu lagi, mami kak Alvin pernah bilang juga kalau kak Alvin…”
“Cukup Fy, cukup!!! Sekali lagi gue bilang, gue gak mau ada urusan lagi sama yang namanya kak Alvin! Cukup sekali saja kak Alvin mempermalukan gue di depan teman-temannya.” sentak Sivia mulai angkat bicara. Kini giliran Alvin dan Ify yang terdiam serta semua orang yang melihat kejadian itu.
“Kak, gue mau minta maaf sama loe. Gue minta maaf karena gue pernah bilang kalau kak Alvin pencopet, gue minta maaf karena gue pernah nyiram kak Alvin pakai air, dan gue juga minta maaf karena gue udah lancang bentak-bentak kak Alvin pas kemarin gue mampir ke kelas kak Alvin. Gue minta maaf, kak.” ucap Sivia benar-benar tulus. Tangannya ia ulurkan ke depan. Sivia tak perduli dengan semua orang di sana yang mungkin heran dengan sikapnya. Yang jelas Sivia benar-benar tulus meminta maaf ke Alvin. Alvin tiba-tiba mematung. Entah ia sendiri bingung harus bicara dan berbuat apa ke orang yang kini berdiri tepat di hadapannya itu.
“Loe apa-apaan sih, Vi?! Harusnya yang minta maaf itu kak Alvin, bukan loe!” cegah Ify dengan menarik tangan Sivia cepat-cepat.
“Ini urusan gue sama kak Alvin, Fy. Jadi gue mohon loe jangan halangin gue. Toh tadi loe udah bicara banyak kan sama dia?” balasnya tegas. Lalu ia kembali mengulurkan tangan ke Alvin.
“Kak Alvin mau kan maafin gue?” deg! Jantung Alvin serasa berhenti seketika. Entah kenapa kalimat maaf dari Sivia tersebut begitu menusuk jantungnya.
“Apa kak Alvin gak mau maafin gue?” lagi, Sivia menampakkan wajah memohonnya di hadapan Alvin.
“Gu… gue… gue…”
“Kak?”  
“Gu… gu… gue yang harusnya minta maaf sama loe, Vi.” balas Alvin dengan mengikuti panggilan Ify tadi ke Sivia. Karena memang Alvin sampai sekarang belum tau nama dari Sivia tersebut. Toh ia sendiri belum sempat berkenalan juga dengan cewek yang pernah dibullynya tersebut.
“Eggak, kak! gue yang minta maaf!” bantah Sivia keras.
“Ta… tapi?”
“Aku minta maaf sama kak Alvin karena aku gak mau ada urusan lagi sama kak Alvin. Bukankah ini yang kak Alvin mau? Aku udah minta maaf kan? Plus di depan teman-teman kak Alvin juga.” Sivia merubah gaya bicaranya tiba-tiba. Sedangkan Alvin masih terpaku dibuatnya. Tak terlupakan juga Ify yang sampai terheran-heran menatap sikap Sivia terhadap sepupunya itu.
“Tapi aku mohon banget buat ke depannya, aku cuma mau minta satu permintaan aja sama kak Alvin, aku minta kak Alvin gak usah ganggu-ganggu aku lagi di sekolah ini. Aku mohon, kak. Aku sekolah di sini bukan mau cari masalah, aku cuma mau belajar. Aku mau memanfaatkan beasiswa ini sebaik mungkin. Aku mohon kak Alvin ngerti. Aku minta maaf, kak.” ucap Sivia panjang lebar. Matanya memancarkan permohonan yang besar.
“Permisi!” lanjutnya tegas. Meski ada niat untuk Alvin memanggil Sivia, tapi entah kenapa mulutnya sekan susah untuk berbicara. Kaku.
“Ini acara apa sih, Gab?” bisik Rio heran. Ia sendiri bingung melihat apa yang barusan dilihatnya itu. Gabriel menggeleng.
“Oke, semuanya bubar! Ini bukan tontonan buat kalian! Bubar! Bubar!” usir Gabriel kemudian.
“Kak…” lirih Ify saat melihat Alvin yang hanya diam melihat Sivia pergi.
“Kalau kak Alvin merasa gentle, gue saranin kak Alvin minta maaf sama Sivia.” Ify pun ikut pergi mengikuti jejak Sivia. Seperti kena telak, Alvin benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali. Perbuatannya saat itu seakan sangat salah dan tak bisa diampuni.
“Arrrggghhh!!! Kenapa jadi kaya gini sih?! Ck! Cuma karena masalah itu kok kesannya gue yang paling salah dan paling jahat di sini? Ish!” geram Alvin sambil mengacak rambut harajukunya.
“Bentar Vin, bentar! Swear gue gak ngerti semua ini. Coba deh loe jelasin sama gue, kenapa cewek tadi bisa marah-marah sama loe? Bukannya yang loe bully itu cewek yang satunya? Terus kenapa dia kayanya tau banget semua tentang loe? Sumpah gue bingung.” cerca Rio bertubi-tubi. Alvin mendengus.
“Mario, dengerin ya! Cewek itu namanya Ify, sepupu gue.” Jawab Alvin di tengah-tengah kesalnya. Sontak Rio dan Gabriel langsung saling pandang.
“HAH?! SEPUPU LOE?!” kompak mereka kaget. Pantas saja mereka kaget, karena memang selama mereka berteman, Alvin tidak pernah bercerita kalau ia punya sepupu cewek. Yang mereka tau Alvin hanya memiliki seorang adik. Dan itu Cakka.
“Gak perlu syok gitu bisa gak?!”
“Gimana gue gak syok, Vin. Ternyata bidadari idaman gue itu sepupu loe. Ck! Pantes aja loe larang-larang gue buat deketin dia. Ternyata…” sambung Rio menyayangkan.
“Loe kok gak pernah cerita masalah ini sama kita sih, Vin?” Gabriel ikut duduk di samping Alvin.
“Penting?”
“Hmm… ya nggak juga sih. Tapi kan…”
“Sudahlah! Gue lagi males debat sama kalian. Please, tinggalin gue sendiri!” pinta Alvin tegas. Dengan terpaksa, Gabriel pun berdiri dan berusaha mengajak Rio pergi dari tempat tersebut meski di benaknya masih terpendam banyak pertanyaan.
“Yaudah kalau gitu gue sama Rio ke tempat biasa. Kalau loe butuh kita, kita ada di sana kok.” pamit Gabriel seraya menepuk pundak Alvin pelan. Alvin mengangguk.

***


“Shilla gak ngerepotin kak Cakka kan?” tanya Shilla di tengah-tengah kegiatan makannya di kantin. Kebetulan ia ditemani sama Cakka di sana. Di mana sebelumnya Cakka yang baru saja selesai dari pelajaran olahraga itu ketemu dengan Shilla saat dirinya hendak membeli minum di kantin. Jadi mau gak mau Cakka harus menemani cewek tersebut karena memang Shilla sedikit memohon kepadanya. Ya, hitung-hitung saja itu sebagai balas budi Cakka ke Shilla kemarin lusa saat meminta Shilla menemaninya makan siang.
“Oh, nggak kok. Shilla nyantai aja. Toh kakak juga udah selesai olahraganya.” balas Cakka lembut.
“Oh, gitu ya?” sembari meneruskan makannya, Shilla pun mengangguk.
“Kamu kelaparan ya, Shil? Kok lahap bener makannya?” ledek Cakka seraya terkekeh.
“Hehehe. Bisa dibilang gitu, kak. Abisnya tadi pagi Shilla gak sempet sarapan di rumah, untungnya tadi pagi gak sampai pingsan pas upacara. Tau gak kenapa?” Cakka mengernyit.
“Lho, kok hebat sih? Kenapa emang?”
“Soalnya Shilla lihatin kakak terus. Jadinya kenyang sendiri deh.” sedetik, Cakka tertawa mendengarnya. Nih anak ngegombal apa ngeledek sih? tanya Cakka dalam hati.
“Jadi kamu nyamain kakak sama makanan nih? Ish!”
“Lho, yang bilang Shilla nyamain kakak sama makanan itu siapa?” respon Shilla setelah sebelumnya meminum teh manis yang telah dipesannya itu.
“Terus itu kenapa kenyang?” Shilla tersenyum.
“Kan itu cuma ibarat doang, kak. Kak Cakka ini gimana sih?”
“Oh, bilang dong dari tadi. Jadinya kakak gak perlu bingung kaya gini.”
“Kak Cakka tuh yang gak peka. Masa iya kaya gitu aja mesti dijelasin? Huh!” ledek Shilla dengan mengembungkan kedua pipinya.
“Ih, jelek tau kalau kaya gitu.”
“Enak aja! Orang Shilla cantik juga.”
“Emang udah ada yang bilang gitu sama Shilla?” tanya Cakka dengan tatapan yang sedikit meledek. Shilla berpikir keras.
“Hmm… seinget Shilla sih belum ada, kak. Cuma mama sama papa aja. Hehehe.” Cakka ikut tertawa.        
“Duh, kasihan banget sih kamu. Hahaha.”
“Jahat deh!” timpal Shilla sedikit memanyunkan bibirnya. Lagi-lagi Cakka tertawa melihatnya.
“Gue cari ke mana-mana ternyata loe ada di sini, Cak.” ujar seseorang pas di belakang Cakka. Cakka pun langsung menengok dan menemukan sosok cowok berambut sedikit panjang berdiri santai di belakangnya. Cowok itu teman sebangku Cakka di kelas XI IPA 1.
“Eh, Ray? Kenapa deh?” tanya Cakka penasaran. Cowok itu bernama Ray, lebih lengkapnya Raynald Orlando. Sahabat Cakka sejak ia pertama masuk di SMA Sarfagos ini. Dan Ray juga merupakan cowok satu-satunya yang paling dekat dengan Cakka selain Alvin. Tapi bukan berarti Cakka tidak mempunyai banyak teman, hanya saja Cakka sudah menganggap Ray itu sebagai saudaranya sendiri karena Ray selalu ada dan berusaha membantu ketika Cakka mendapatkan masalah. Tidak seperti Alvin yang masa bodoh meskipun ia sebagai kakak kandungnya.
“Loe ngilang-ngilang mulu kaya jin. Tadi loe dicariin tuh sama cewek.” kata Ray to he point. Cakka mengernyit, begitupun Shilla.
“Cewek? Cewek siapa?”
“Gak tau tuh gue juga. Kalau gak salah sih namanya itu Si…” Ray mengingat-ingat seketika.
“Sivia?”
“Nah, iya tuh bener! Sivia.”
“Terus dia ke mana sekarang?”
“Gak tau tuh. Dia pergi gitu aja pas gue bilang loe gak ada.” jelas Ray singkat.
“Lho, kalau ini siapa? Pacar loe, Cak? Wuih… parah loe gak pernah cerita sama gue.” lanjut Ray heboh.
“Oh, bukan kok. Cuma temen.”
“Temen apa temen? Kok makan bareng sih?” ledek Ray mulai rusuh. Lalu ia langsung duduk di depan Cakka dan Shilla yang memang duduk berdampingan.
“Kita emang temenan kan, Shil?” ucap Cakka meminta persetujuan. Shilla mengangguk.
“Shilla sama kak Cakka emang temenan kok, kak. Oh iya, kenalin nama aku Shilla.”
“Oh, gue Raynald. Panggil gue Ray.” Ray menjabat tangan Shilla mantap.
“Oke, kak Ray.”
“Jangan panggil kakak dong, Shil. Kesannya gue tua banget.” ujar Ray risih. Cakka menyahut.
“Emang tua kali.”
“Sialan loe!”
“Kak Ray kan kakak kelas Shilla, jadi gak enak aja kalau Shilla panggil nama.” jelas Shilla santai.
“Oh, jadi loe adik kelas kita toh?” Shilla mengangguk.
“Ya udah deh kalau gitu gak apa-apa panggil kakak juga. Hehehe.”
“Ish! Ada yang labil nih kayanya. Hahaha.” Ray langsung menjitak kepala Cakka keras.
“Hmm… kak?” panggil Shilla pelan. Cakka yang masih sibuk mengusap bekas jitakan Ray pun menengok tiba-tiba dengan tatapan bertanya.
“Kayanya Sivia ada perlu penting tuh sama kakak, mendingan kak Cakka susul dia deh. Shilla gak apa-apa kok ditinggal sendirian.” usul Shilla.
“Beneran gak apa-apa?”
“Iya, beneran. Malahan Shilla mau bilang makasih karena kakak udah mau temenin Shilla di sini.”
“Hmm… gini aja deh, gimana kalau kak Ray gantiin kakak buat temenin kamu?” saran Cakka tiba-tiba. Sedikit kaget, Ray menatap ke arah Cakka penuh heran. Waduh! Bisa mati kutu gue kalau kaya gini. Sialan nih si Cakka! rutuk Ray dalam hati. Karena memang Ray itu merupakan tipe cowok yang jarang ngobrol berdua sama cewek kecuali kalau sedang bertiga atau ada temannya seperti sekarang ini.   
“Boleh aja sih kalau kak Ray mau.” jawab Shilla.
“Oh tenang aja kalau gitu, Ray pasti mau kok. Iya kan, Ray?” Ray pun melotot mendengarnya.
“Cakka?!” geramnya sangat pelan. Berusaha memberi kode kepada Cakka kalau ia menolak sarannya. Namun Cakka tak menggubris.
“Ya udah kakak pamit ya, Shil? Baik-baik sama Shilla, Ray!” kata Cakka ke Shilla dan Ray bergantian.  Ray berdecak pasrah saat Cakka menepuk pelan punggungnya dan berlari begitu saja meningalkannya bersama Shilla.

***


Rio melangkahkan kakinya menyusuri koridor kelas dengan gaya yang menurutnya cool banget. Kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana serta sesekali mulutnya mengeluarkan siulan lembut layaknya pangeran tampan yang menguasai sekolah tersebut. Kali ini ia sengaja meninggalkan Gabriel sendirian di tempat tongkrongan mereka dengan alasan ingin mencari target untuk Gabriel taklukkan dalam misi taruhannya bersama Alvin. Kebetulan Rio memang belum mendapatkan sosok cewek yang pantas untuk Gabriel taklukkan.

Sedikit ceroboh, tanpa melihat ke depan karena sibuk lirik sana-sini, tiba-tiba Rio menabrak seorang cewek yang sedang berdiri di pinggiran koridor kelasnya. Cewek itu meringis.
“Eh, sori-sori. Gue gak sengaja.” ucap Rio respect. Tangannya ia sentuhkan ke bahu cewek tersebut.
“Oh iya gak apa-apa kok.” balasnya ramah. Dengan sedikit senyuman, cewek itu berhasil membuat Rio mematung beberapa detik. Oh my God! She is very beautiful! batinnya berkagum ria. Lantas cewek itupun langsung memandangi seluruh tubuhnya, apakah ada yang salah sampai Rio menatapnya seperti orang syok.
“Hei? Kok diem sih? Apa ada yang salah?” tanya cewek itu heran.
“Heh? Anu? Itu? Apa? Nggak ada kok. Sori ya? Loe gak apa-apa kan?” respon Rio gugup. Cewek itu langsung menggeleng.
“Gak apa-apa kok. Cuma sakit sedikit aja. Loe ngelamun ya?”
“Oh, nggak kok. Tadi gue lagi lihatin mereka, iya bener mereka.” Rio menunjuk asal gerombolan cowok-cowok yang sedang berkejaran merebut bola merah berukuran lumayan besar di tengah lapangan.
“Oh, gitu toh. Oh iya, loe kelas berapa?” tanya cewek itu penasaran. Meski terus mengusap pundaknya yang lumayan terasa sakit akibat senggolan Rio yang cukup keras tadi.
“Gue? Gue kelas XI IPS 2. Loe?”
“Kelas XI? Pantesan aja gue gak terlalu paham sama loe. Gue kelas ini nih, XII IPS 1.” balasnya sembari menunjuk sebuah kelas yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Oh, anak kelas ini? Ya udah kenalin, nama gue Mario.” tanpa ada ragu sedikit pun, Rio mengulurkan tangannya dengan senang hati.
“Princess Pricilla. Panggil Prissy, double S. Hehehe.” Rio terkekeh mendengarnya. Ternyata cewek yang baru dikenalnya itu bisa bercanda juga.
“Kalau panggil kak Prissy boleh nggak?” tanya Rio dengan nada meledek.
“Boleh-boleh aja sih. Terserah loe aja mau manggil gue apa?” Rio membulatkan mulutnya.
“Berarti boleh juga dong kalau gue panggil tante? Hehehe.”
“Tapi ya nggak gitu juga kali. Hmm… panggil nama aja deh biar lebih enak.”
“Oke deh! Oh iya, loe lagi ada pelajaran apa nggak?” lagi-lagi Rio bertanya. Sedetik, Prissy terdiam karena berpikir.
“Gak ada sih. Cuma tadi ada tugas dari guru PKN, tapi gue udah selesai kerjain. Kenapa gitu?”
“Gak apa-apa kok nanya doang. Kebetulan gue mau ke kantin, loe mau ikut gak? Cuma nawarin aja sih, gak mau juga gak apa-apa. Gue gak maksa kok.” ungkap Rio basa-basi. Di dalam hatinya sangat berharap sekali kalau Prissy menerima ajakannya tersebut.
“Kalau gak ngerepotin sih boleh-boleh aja. Hmm… tapi ada yang marah gak nih? Entar disangkanya gue perebut cowok orang lagi.” ucap Prissy was-was.
“Tenang aja lagi, i’m single and very happy kok. Jadi loe gak perlu khawatir.”
“Seriusan loe?”
“Tujuh rius pun gue berani taruhin.” ujar Rio mantap. Baru kali ini Rio mendapatkan negosiasi yang cukup lama sama cewek yang diajak makan olehnya. Biasanya sekali ia menawarkan cewek untuk makan bareng itu langsung diterima begitu saja. Entah karena tipu daya Rio yang begitu ampuh atau memang karena ceweknya yang terlalu bodoh? Entahlah. Terlalu buang-buang waktu untuk membahas perjalan cinta Rio yang mungkin bisa dijuluki sebagai Best Playboy In The World.
“Ya udah kalau gitu gue mau deh.” terima Prissy setelah menimbang-nimbang kembali ajakan Rio.
“Nah, gitu dong! Anggap aja ini sebagai tanda permintaan maaf gue karena udah nabrak loe.” mereka pun mulai berjalan perlahan meninggalkan tempat tadi dengan saling berbagi cerita.

***


Flashback On.

“Oh, jadi sekarang Alvin udah mulai tau cinta-cintaan nih?” Alvin tersenyum malu-malu mendengar ledekan sang mami kepadanya. Ia menunduk perlahan setelah ia dengan sedikit gugup menceritakan masalah cewek yang disukainya ke sang mami.
“Sini sayang, sini. Peluk mami!” pinta mami Alvin dengan merengkuh tubuh mungil anaknya tersebut. Saat ini Alvin dan maminya sedang berada di balkon kamar, menghirup udara sore berduaan. Dan dengan sedikit berjongkok, Alvin memeluk maminya yang memang duduk di atas kursi roda. Ya, mami Alvin sudah tidak bisa berjalan lagi sejak penyakit stroke menggerogoti tubuhnya setahun yang lalu.
“Beneran kamu lagi suka-sukaan sama cewek?” tanya sang mami sekali lagi. Alvin pun mengangguk dengan dibarengi senyum manisnya.
“Anak mami yang satu ini kan masih kelas dua SMP, kok udah mulai suka-sukaan sih? Kamu itu masih kecil, jadi belum waktunya cinta-cintaan.” katanya sembari membelai lembut kepala Alvin.
“Tapi Alvin kan cuma sekedar suka, Mi? Emangnya gak boleh ya?” balas Alvin penasaran. Ia menatap mata maminya lekat-lekat.
“Ya boleh-boleh aja sih, gak ada salahnya juga kalau itu hanya sekedar suka ataupun kagum. Asal jangan berlebihan aja.”
“Oh, gitu. Jadi Alvin boleh nih suka-sukaan sama perempuan, Mi?” tanya Alvin polos. Sang mami tersenyum, lucu melihat anaknya yang mulai penasaran dengan masalah cinta. Lantas ia mengangguk.
“Asik!”
“Tapi jangan seneng dulu! Ingat terus pesan mami, kamu itu masih terlalu muda buat masalah seperti ini, jangan terlalu berlebihan! Jalani dengan sewajarnya saja, jangan sampai anak mami yang ganteng ini terjerumus sama hal-hal buruk. Paham?” ucapnya tegas.
“Siap, bos!” balas Alvin dengan menganggukan kepalanya berulang kali.
“Satu lagi, yang harus Alvin ingat sampai kapanpun dan di manapun Alvin berada.” lanjutnya kemudian. Sontak Alvin berheran ria dibuatnya.
“Apa itu, Mi?” sang mami menarik napas panjangnya sebelum ia bercerita.
“Jangan pernah sekalipun Alvin menyakiti hati seorang perempuan ya? Karena perempuan itu bukan untuk disakiti, tetapi untuk disayang dan dilindungi. Inget itu!” Alvin berpikir sejenak. Mencoba mencerna kata-kata maminya yang belum begitu ia pahami.
“Hmm… tapi kalau suatu saat Alvin lupa gimana? Atau gini aja deh, kalau si perempuannya yang jahat sama Alvin gimana, Mi?” tanya Alvin lagi super penasaran.
“Sayang, apapun itu alasannya, Alvin gak boleh sakitin yang namanya perempuan. Alvin kan laki-laki, jadi gak pantas buat sakitin perempuan. Dan kalau suatu saat Alvin lupa dan mau lakuin itu, Alvin harus ingat mami, karena mami juga perempuan. Jadi kalau Alvin sampai tega sakitin perempuan, itu sama aja Alvin sakitin mami. Alvin ngerti kan?” jelasnya panjang lebar. Lagi-lagi ia tersenyum melihat ekspresi wajah anaknya itu.
“Intinya Alvin itu gak boleh sakitin perempuan ya, Mi?” sang mami mengangguk. Lalu membelai lembut ubun-ubunnya.
“Oke, Mi! Alvin janji, Alvin akan selalu ingat nasihat mami yang satu ini.” perlahan tubuhnya ia pelukkan ke tubuh sang mami dengan manja.

Flashback Off.

Alvin memejamkan matanya kuat-kuat. Kenangannya bersama mami tercinta tiga tahun yang lalu itu muncul tiba-tiba dengan sangat jelas di benaknya.
“Mi, Alvin minta maaf. Alvin udah langgar janji Alvin sama mami. Alvin minta maaf, Alvin nyesel.” lirihnya sesal. Semua nasihat yang pernah orang tuanya berikan itu seakan hilang begitu saja di otak Alvin semenjak kepergian sang mami. Bahkan Alvin pun sempat menjadi brutal akibat salah pergaulan yang dialaminya. Sering pulang malam, balapan motor, hura-hura, dan masih banyak lagi. Hidupnya seperti hilang kontrol karena sang papi yang super sibuk di pekerjaannya sampai lupa mengontrol anak-anaknya dalam bergaul.

***


Cakka langsung duduk di samping cewek yang kini sedang melamun di perpustakaan dengan kedua tangan sibuk memutar-mutar sebuah novel tanpa sepengetahuannya. Lantas ia langsung merebut paksa novel yang dipegang cewek tersebut. Cewek itu Sivia.
“Denger-denger tadi ada yang nyariin aku ya?” ucapnya pura-pura. Tangannya membuka asal beberapa halaman novel yang tadi direbutnya dari tangan Sivia. Sivia membuang napas seketika. Sempat kaget dengan kehadiran Cakka yang secara tiba-tiba duduk di sampingnya.
“Tadi aku yang nyari kakak.” jawab Sivia langsung.
“Oh, jadi kamu yang nyari kakak? Kenapa deh? Jangan bilang kamu kangen sama kakak. Hehehe.” untuk sekejap Sivia tersenyum mendengarnya.
“Pede parah! Aku gak kangen sama kakak.” timpal Sivia sambil menyenggol pundak Cakka yang sedang senyum-senyum tak jelas.
“Lho, terus itu nyariin kenapa dong?”
“Ya, gak apa-apa. Lagian emang kalau nyariin itu artinya kangen ya, kak? Ish!” decak Sivia heran. Cakka hanya tersenyum lebar-lebar.
“Kenapa sih nyariin? Tumben,” tanya Cakka lagi. Sekarang wajahnya berubah serius.
“Masalah Alvin lagi?” lanjutnya menebak. Tanpa ragu, Sivia menggeleng.
“Terus?”
“Aku lagi kesel sama Ify, kak.” ucap Sivia perlahan.
“Lho? Kenapa gitu?” Cakka mengernyit.
“Ya gitu lah, kak. Ify bahas-bahas lagi masalah aku sama kak Alvin. Padahal aku udah bilang ke Ify kalau aku gak mau ada urusan lagi sama kak Alvin, eh dia malah ajak aku ke kelasnya biar kak Alvin minta maaf sama aku.” jelas Sivia kemudian. Cakka tak langsung merespon, ia berusaha menjadi pendengar yang baik untuk sementara.
“Lagian kan aku udah maafin kak Alvin kok. Tapi Ify tetep keukeuh kalau kak Alvin harus minta maaf ke aku di depan teman-temannya. Nyebelin kan, kak?” lanjut Sivia lantang.
“Udah?” tanya Cakka seraya tersenyum. Sivia memandang Cakka kemudian. Matanya begitu dalam menatap mata cowok yang ada di hadapannya itu.
“Hmm… menurut aku itu adalah carenya Ify ke kamu, Vi. Karena mungkin Ify gak suka kamu diperlakukan seperti itu sama Alvin, jadi dia mau kalau Alvin minta maaf langsung sama kamu.” ucap Cakka memberi statement tentang sikap Ify kepada Sivia.
“Tapi aku kan udah bilang sama Ify kalau aku gak mau lagi ada urusan sama kak Alvin, kak. Ify malah gak mau denger kata-kata aku.”
“Sivia, yang dilakuin Ify itu bener. Ify lakuin itu buat kamu, buat kebaikan kamu. Toh emang seharusnya kok si Alvin itu minta maaf sama kamu. Dia kan salah.” kata Cakka sesantai mungkin.
“Tapi kan, kak?”
“Udahlah, Vi! Aku tau persis Ify itu kaya gimana. Dia gak bakal mungkin ikut campur urusan orang lain kalau bukan urusan orang yang udah dianggap sayang olehnya. Dan dia juga gak pernah segan-segan menegur orang yang melakukan kesalahan meski itu saudara atau sahabatnya sendiri.” ungkap Cakka lagi. Kini Sivia terdiam mendengar penuturan Cakka yang lembut. Tak salah ia mencari Cakka untuk menenangkan diri.
“Kamu ngerti kan, Vi?”
“Iya, aku ngerti. Makasih ya, kak?” balas Sivia tenang. Matanya langsung ia alihkan begitu Cakka menatapnya dalam-dalam.
“Vi?”
“Ya?”
“Hmm… gak jadi deh.” Sivia mengangkat salah satu alisnya. Heran dengan sikap Cakka yang berubah aneh menurutnya.                   
“Vi?”
“Apaan sih, kak? Aneh deh!”
“Aku kebelet pipis.” ujar Cakka dengan ekspresi lucunya.
“Astaga, kak Cakka! Kirain tuh ada apa manggil-manggil gak jelas. Ternyata cuma kebelet pipis. Ya udah sana ke toilet dulu!” sambung Sivia sembari memutar bola matanya jengah.
“Becanda kok, becanda. Aku gak kebelet pipis.”
“Lho? Aneh ih!”
“Hehehe…” Cakka menggaruk kepalanya pelan-pelan. Duh, gue kenapa sih? Kok jadi gugup gini? Slow Cakka, slow! Jangan terlalu terburu-buru. Ini belum waktunya. Loe ngerti kan? rutuk Cakka dalam hati. Ia menggaruk kepalanya bingung saat Sivia menatapnya penuh heran. Kemudian mereka diam. Seperti tak ada lagi pembahasan yang harus mereka bahas saat itu juga.

***


“Makasih ya, kak Ray?” Shilla tersenyum dengan menghadap ke arah Ray yang baru saja berhenti berjalan. Sedikit ragu, Ray tersenyum sambil menggaruk pelan kepala belakangnya.
“Sama-sama, Shil.” balas Ray singkat. Mereka saat ini berdiri di depan kelas Shilla setelah sebelumnya mengobrol cukup lama di kantin sepeninggalan Cakka. Mereka membicarakan banyak hal di sana. Masalah persahabatan, permusuhan, pertemanan, bahkan sampai ke masalah percintaan. Dan karena memang jarang sekali Ray melakukan itu, tak salah lagi kalau Ray sempat kehabisan bahan pembicaraannya dengan Shilla tersebut. Untungnya Shilla termasuk orang yang komunikatif, jadi Ray merasa terselamatkan dalam posisinya yang pasif dalam mengobrol dengan cewek itu.
“Terus sekarang Kak Ray mau ke mana? Apa mau main dulu aja di kelas Shilla? Hehehe.” tanya Shilla antusias. Ray langsung menyanggah.
“Oh, nggak kok. Gue ke kelas aja kali ya? Kayanya bentar lagi juga mau masuk. Hmm… kalau gitu gue kelas dulu ya, Shil?” pamitnya ragu-ragu.
“Ya udah deh, kak. Sekali lagi makasih ya, kak ?” Shilla tersenyum begitu manis. Bahkan saking manisnya, membuat Ray sempat salah belok arah saat ia hendak menuju koridor kelasnya. Shilla terkekeh dan menggeleng cepat-cepat melihat tingkah Ray tersebut.
“Woy, loe ke mana aja sih?” gertak Zahra mengagetkan Shilla. Dan itu membuat Shilla mengusap dadanya berulang kali. Benar-benar kaget.
“Zahraaaaaa!!! Bisa gak sih gak ngagetin?!” oceh Shilla kesal. Ia berusaha memastikan jantungnya masih ada di tempat atau tidak. Zahra pun terkekeh.
“Hehehe. Sori Shil, sori. Abis loe ke mana aja sih? Gue cariin juga.” timpal Zahra kemudian. Shilla hanya tersenyum sambil berlalu begitu saja ke dalam kelas.
“Mau tau aja apa mau tau banget?” tanya balik Shilla dengan gaya yang dibuat semenyebalkan mungkin. Dan itu membuat Zahra mendelik ke arahnya.
“MAU TAU ABIS!!! PUAS?!” gertak Zahra penuh penekanan.
“Oh ya? Duh, tapi sayang nih gue lagi males cerita sama loe. So, kapan-kapan aja ya gue ceritain?” Shilla duduk dengan manisnya seraya menyiapkan beberapa buku yang memang akan dipelajarinya sedetik ini juga bersama teman kelas lainnya.
“Shillllllaaaaaa!!! Gue ngambek nih kalau loe gak cerita?” ancam Zahra gereget.
“Bo to the Doh to the A to the Mat. Bodoh amat!!!” ledek Shilla super menyebalkan bagi Zahra.
“Shillllllaaaaaa…” Shilla pun langsung menutup kedua telinganya sebelum teriakan Zahra membuatnya tuli dadakan.

***


Semua siswa serentak berhamburan ke kelas mereka masing-masing setelah beberapa detik bel masuk berbunyi. Beberapa pelosok sekolah yang biasanya dipenuhi para siswa pun mulai menyepi. Termasuk kantin. Walaupun ada juga satu dua anak yang memang masih betah duduk-duduk sambil asyik berbincang di sana. Tak terkecuali Rio dan Prissy yang sejak tadi pagi mengobrol berduaan itupun belum juga ada niatan untuk kembali ke kelas. Entah karena mereka lagi free belajar, atau karena memang ada urusan lain? Hanya mereka berdua yang tau.
“Balik yuk? Gue ada pelajaran matematika nih.” ajak Prissy dengan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.
“Entar aja lagi, tanggung nih belum abis makanan gue.” balas Rio penuh alasan.
“Oh, ya udah deh cepetan dihabisin tuh makanan.” suruh Prissy resah.
“Iya, santai aja.” jawab Rio sekenanya. Lantas tangannya langsung menjamah gorengan yang sempat didiamkannya beberapa menit karena saking asyiknya berbincang-bincang dengan Prissy.
“Tapi loe gak usah lihatin gue kaya gitu dong! Gue jadi gak konsen nih makannya.” lanjut Rio grogi.
“Ih, biasa aja kali. Lagian gue lihatin loe bukan karena terpesona ya, tapi mual lihat cara loe makan. Lahap bener!” timpal Prissy dengan herannya. Namun kemudain ia terkekeh. Lucu juga lama-lama kalau lihat cara Rio makan.
“Ya beginilah jadinya kalau gue  makan di depan orang cantik kaya loe. Super lahap! Hehehe.” goda Rio dengan mengedipkan salah satu matanya ke arah Prissy.
“Hahaha. Loe bisa aja bikin orang terbang. Udah ah cepetan makannya! Gue takut telat masuk nih.” Prissy melirik jam tangannya resah.
“Makanya loe jangan lihat gue dulu, biar cepet abis nih makanan. Lagian kenapa sih lihat gue kaya gitu? Loe suka ya?” lagi-lagi Rio menggoda. Kepalanya ia dekatkan ke hadapan Prissy.
“Ish! Loe pedenya kebangetan ya? Baru kali ini gue kenal sama adik kelas yang model gini. Hahaha. Ada-ada aja loe ah.” ujar Prissy prihatin.
“Tapi cakep kan? Udahlah ngaku aja!”
“Lho, cakep dari mananya? Pecicilan sih iya. Hahaha.” Rio tersedak sesaat. Ini kali pertama dalam hidupnya ia dibilang pecicilan.
What? Pecicilan? Orang cakep kaya gini masa dibilang pecicilan sih? yang bener aja.” sergah Rio membela diri. Prissy terkekeh.
Whatever you say aja deh, Mario. Gue duluan ke kelas ya?” pamitnya kemudian.
Please deh, Princess Pricilla! Gue gak pecicilan ya!” Rio yang memang baru saja menghabiskan minuman penutupnya, akhirnya ikut pergi membelakangi Prissy sambil mengoceh tidak jelas.

***


“Aku ke kelas ya, kak?” Sivia memecah keheningan yang terjadi beberapa menit antara dirinya dan Cakka di dalam perpustakaan. Cakka mengernyit sejenak. Rasanya ingin sekali ia berlama-lama di tempat ini bersama cewek tersebut. Tapi karena Sivia pamit ke kelas, mau tidak mau Cakka harus pasrah berpisah dengan cewek yang entah kenapa selalu membuatnya susah tidur itu.
“Oh, ya udah deh kalau gitu. Kamu duluan aja ke kelas, aku mau di sini dulu.” balas Cakka ramah.
“Lho? Kak Cakka kenapa gak masuk?”
“Bentar aja kok, Vi. Entar juga aku ke kelas. Udah cepetan ke kelas, entar ada guru lagi.” Sivia membuang napas melihat sikap Cakka. Perlahan ia duduk kembali di samping Cakka.
“Ck! Katanya mau ke kelas? Kok malah duduk lagi sih?”
“Abis kak Cakkanya gak mau ke kelas sih, ya udah aku juga gak mau ke kelas.” respon Sivia mantap. Kedua pipinya ia kembungkan sedikit.
“Aku bilang aku cuma sebentar doang kok di sini. Udah gih sana ke kelas!” saran Cakka ramah.
“Ya udah kalau gitu aku juga di sini. Cuma sebentar kan?” tanya Sivia polos. Kemudian ia tersenyum. Meski sedikit kesal, Cakka mencoba untuk tetap santai.
“Sivia, temennya Ify yang cantik tapi kadang nyebelin, udah sana ke kelas. Entar kamu dihukum sama guru gara-gara telat masuk.”
“Ih, kak Cakka ini! Ya udah deh kalau kakak gak mau aku temenin, aku ke kelas sekarang juga. Permisi, kak!” pamit Sivia sedikit kesal. Cakka lag-lagi mengernyit. Lho kok? batinnya heran. Lantas ia hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Sivia yang aneh menurutnya. Namun belum sempat Cakka mengedipkan mata, Sivia berjalan kembali ke arahnya.
“Satu lagi, makasih karena kak Cakka udah temenin aku di sini. Bye!” lagi dan lagi Cakka mengernyitkan dahi. Entah ada kesalahan apa yang terjadi pada diri Cakka sampai Sivia bersikap aneh kepadanya. Entahlah, Cakka sendiri bingung dibuatnya. Yang jelas kini Cakka hanya bisa meratapi kepergian Sivia dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Sivia… Sivia…” gumamnya sambil menggeleng.   
Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR