Always Happens at School
Hari
ini hari senin. Hari terpanjang dan paling membosankan bagi kebanyakan anak
sekolah. Di mana setianya mereka harus berangkat pagi-pagi sekali demi mengejar
waktu untuk bisa mengikuti Upacara Bendera. Ritual rutin di setiap sekolah
manapun, termasuk Sarfagos.
Matahari
masih tak begitu menyengat. Entah kenapa kali ini sang penguasa tata surya
tersebut tak sepenuhnya memancarkan energi panas ke bumi. Hangat. Meski begitu,
rasa pegal karena terus-terusan berdiri seraya mengikuti tahap demi tahap
pelaksanaan Upacara Bendera tersebut, tak jarang siswa-siswa Sarfagos
mengeluarkan keringat dingin di dahinya. Rasa bosan akibat petuah-petuah sang
pembina pun kontan menjamah pikiran para siswa tersebut.
Di
tengah-tengah barisan, Rio berdiri dengan malasnya. Dengan posisi kaki yang
ditekuk satu, mata nakal milik Rio berpetualang ke arah siswi-siswi kelas X
yang memang barisannya tak jauh dari tempatnya berdiri. Klik!
“Oh my ghost! Tuh cewek cantik banget ya?
Ck! Parah… parah… parah…” rutuknya dalam hati. Kini pandangan Rio pun terfokus
pada salah satu cewek berambut hitam pekat dan sedikit bergelombang yang
berdiri paling depan di gerombolan kelasnya. Cewek tersebut terlihat fokus
mendengar dan menyimak segala apa yang keluar dari mulut pembina upacara yang
saat itu berpidato.
“Wuih…
kece parah tuh cewek!!! Mesti kenal gue sama dia. Gak boleh enggak pokoknya.” gumamnya
kemudian. Tak sadar kalau tangannya ia lipatkan di dada.
“Heh,
loe ngapain?” bisik Gabriel yang mulai risih akan ulah Rio di depannya. Rio tak
menjawab, ia hanya memberi kode kalau dirinya sedang memandang bidadari yang
jatuh entah dari mana. Mungkin.
“Ck!
Otak loe mesti gue instal ulang kayanya, Yo. Udah gak beres!” bisik Gabriel
asal.
“Why, brader? Berarti gue normal. Gak
kaya loe, maho!” sedetik setelah Rio bilang itu, kepalanya serasa ada yang
menyentuh. Tepatnya menjitak.
“Sialan
loe, Gab!”
“Lagian
tuh mulut kalau ngomong pedes amat!” Rio nyengir perlahan.
“Tapi
emang fakta kan? Atau jangan-jangan loe sama Alvin ada apa-apanya lagi. Oh my God! Cepet-cepet tobat kalau saran
dari gue sih, Gab. Mumpung belum kiamat lah…” balas Rio dibarengi tawa khasnya.
“Gembel
loe!” lagi-lagi Rio tertawa. Di sisi lain, ada satu siswa yang masih diam meski
sejak tadi dua orang sahabatnya beradu mulut di belakangnya. Siswa itu adalah
Alvin. Ya, Alvin sedari tada hanya diam seribu bahasa. Tak seperti biasanya
saat upacara seperti ini ia mematung, biasanya paling tidak betah berdiri
lama-lama apalagi sambil dipanggang di bawah terik matahari. Rio menyenggol
pundak Gabriel perlahan.
“Tumben si Alvin diem, Gab.” bisiknya. Gabriel
mengangkat bahu sembari memandang Alvin yang memang sejak tadi tak bergeming
sama sekali.
“Lagi
puasa ngomong kali tuh anak.” kata Gabriel kemudian.
“Tapi
bodo ah! Yang penting sekarang gue udah nemu bidadari baru gue di sana. Beautiful banget, brader! Coba lihat
deh!” sedikit ilfeel dengan sifat
sahabatnya yang satu itu, Gabriel memutar mata.
“Whatever you say, Mario Sebastian! Dasar
playboy kampung loe!”
“Yayaya…
mending playboy kampung kali ya
ketimbang jomblo kampung yang hina dan terhina. Life is so hard ya ternyata? Hahaha. Segitu susahnya loe move on dari Alvin, Gab.”
“Please deh, Mario! Gue bukan mahoannya
Alvin ya! Lama-lama gue jahit juga tuh mulut.”
“Kalian
bisa diem gak, hah?! Berisik tau gak?!” sudah hampir lama terdiam, akhirnya
Alvin mulai angkat bicara karena merasa terganggu dengan semua ocehan
sahabat-sahabatnya. Rio dan Gabriel pun menunjukkan deretan gigi putihnya
seraya mengangkat kedua jari tengah dan jari telunjuknya. Alvin mendecak kesal.
Kalau saja mereka bukan sahabatnya, mungkin mereka sudah Alvin hajar di tempat.
“Galak
banget loe kaya ibu tiri! Slow aja slow, brader! Toh gak ada yang ngawasin
kita ini kan?” timpal Rio sembari menepuk pundak Alvin. Lantas membuat Rio
langsung mendapatkan tatapan membunuh dari Alvin.
“Hehehe.”
“Udah-udah,
gue sama Rio bakal diem kok.” serobot Gabriel dengan membekap mulut Rio sebelum
Alvin benar-benar emosi dan turun tangan menghajar mereka.
“Diem
loe!” bisik Gabriel lagi. Ia mengancam ke arah Rio.
“Ck!”
Di
sisi lain, sejak tadi tatapan Shilla hanya terfokus pada sosok cowok terkeren
yang pernah ia temui. Cowok oriental berbadan tinggi yang kini sedang memimpin
upacara itu berhasil mengalihkan dunia Shilla sedari awal dimulainya upacara
hingga sekarang hampir selesai. Shilla senyum-senyum sendiri.
“Ganteeeeeennnggg!!!”
rutuknya dalam hati. Matanya pun ikut berbinar begitu cowok yang
diperhatikannya tersebut berbalik arah untuk membubarkan para peserta upacara.
“Jangan
bilang kamu lagi lihatin kak Cakka, Shil?” tebak Zahra seraya menyenggol pundak
Shilla. Shilla tak merespon.
“Apa
sih, Ra? Ganggu aku aja deh!” Zahra berdecak. Nih anak bener-bener udah kepelet sama kak Cakka kayanya. Please deh, Shil! batin Zahra.
Sedikit terpaksa, Zahra menarik lengan sahabatnya itu untuk ke kelas.
“ZAHRAAAAAA!!!”
ujar Shilla kesal meski pandangnya tetap tertuju pada sosok Cakka yang kini
sedang mengelap keringatnya di pinggir lapangan.
***
“Hai,
cantik! Boleh kenalan gak?” sapa Rio kepada setiap cewek yang lewat di
hadapannya. Meskipun banyak cewek-cewek yang melihat aneh tingkah Rio tersebut,
tetapi tak jarang juga ada yang merespon balik dengan melempar senyum bahkan
sampai mau berkenalan dengannya.
“Hai,
manis! Sapa yang di sini dong?” Rio mulai kumat. Membuat Alvin dan Gabriel yang
sedari tadi sibuk dengan santapan yang ada di hadapannya itu mulai merasa
jengah.
“Loe
bisa gak sih sehari aja gak kecentilan kaya gitu? Enek gue lihatnya!” tukas
Gabriel tegas. Rio pun kebingungan mendengar ucapan sahabatnya tersebut.
“What’s wrong? Itu artinya gue normal.
Gak kaya loe ber…”
“Shut up, Mario! Jangan bilang loe mau
ngatain kita gak normal.”
“Nah,
bukan gue tuh yang bilang. Loe mikirnya negatif mulu sih jadi orang.”
“Gue
hafal betul sama semua pikiran buruk loe, Mario!” lanjut Gabriel. Sedangkan
Alvin lebih memilih diam ketimbang harus buang-buang tenaga menghadapi kedua
anak yang tingkahnya seperti alien
itu.
“Oh my God!!! Bidadari gue dateng tuh,
Gab.” tunjuk Rio ke arah cewek yang berjalan ke arah kantin sebelah dengan
seorang temannya.
“Wait! Wait! Wait! Bukannya cewek itu
yang dibully Alvin kemarin lusa ya?”
deg! Jantung Alvin mendadak berhenti mendengar ucapan Gabriel. Cewek? Bully?
batinnya kemudian. Lantas itu membuat Alvin terpaksa mengikuti arah pandang
Gabriel dan Rio.
“Oh,
iya bener tuh! Hmm… tapi kenapa dia bisa jalan sama bidadari gue ya?”
“Bego
loe ah! Ya kali aja dia temen sekelasnya atau tetangganya atau apalah itu.”
timpal Gabriel mulai heran dengan pemikiran Rio.
“Apa
loe bilang barusan? Bidadari loe? Cih! Jangan harap loe bisa dapetin dia gitu
aja.” sambung Alvin tiba-tiba. Sontak membuat kedua sahabatnya itu mengangkat
alis.
“What?! Please deh, Vin! Loe boleh kok
pacaran sama Gabriel, tapi gue mohon loe gak perlu naksir sama orang yang gue
taksir. Dan loe gak berhak buat larang-larang gue. Do you understand?!” seperti biasa, Rio langsung mendapatkan
jitakan keras dari Gabriel dan Alvin.
“Sekali
lagi gue bilang, gue bukan maho!!!”
“Hahaha.
Ya udah gini aja deh, gue perlu bukti kalau kalian bukan maho. Gimana?” tawar
Rio sembari menahan tawa.
“MARIO!!!”
“Slow aja kali gak usah sewot!”
“Muka
loe tuh yang bikin sewot!” tukas Gabriel sengit.
“Kalau
nggak gini aja deh, gue tantang loe berdua buat dapetin mereka.” lagi-lagi Rio
mendapat tatapan membunuh dari kedua sahabatnya.
“So? Kalian berdua emang maho kan?
Buktinya kalian gak pada mau nerima tantangan gue.” lanjut Rio dengan menarik kesimpulan
semaunya.
“Oke-oke
gue terima tantangan loe. Tapi gue gak mau sama mereka. Bisa diganti yang
lain?” ucap Alvin dengan menerima tawaran Rio. Gabriel ikut mengiyakan.
“No! Loe harus dapetin mereka.”
“Tapi?”
“Gak
ada alesan pokoknya! Loe mesti dapetin dia, Vin.” Rio menunjuk salah satu cewek
yang memang sedang dibicarakannya tersebut.
“What?! Tapi dia itu sep…” belum sempat
Alvin meneruskan kata-katanya, Rio kembali menimpali.
“Tapi
jangan deh, dia incaran gue. Hehehe. Loe yang satunya aja, biar lebih menantang.
Secara gitu, loe udah bully dia di depan
kelas loe kemarin lusa. Gimana?” Alvin tergelak.
“HEH?!
GAK MAU GUE!!!” tolak Alvin mentah-mentah.
“Oke,
loe maho berarti.” tukas Rio menusuk. Lagi-lagi Alvin melotot. Dan bahkan
sesekali ingin rasanya ia membunuh sahabatnya yang satu ini.
“Udahlah
terima aja, Vin! Daripada loe dibilang maho kan?” sambung Gabriel.
“Nah
lho?”
“Mending
dibilang maho kalau gitu.”
“Vin,
please deh! Masa gini aja loe gak
bisa? Jangan cuma tampang aja yang sadis kali, buktiin!” kata Gabriel memberi
sedikit saran.
“Oke-oke
gue terima! Puas loe pada?!” Rio dan Gabriel terkekeh kemudian.
“Dan
buat loe entar aja ya, Gab? Beri kesempatan gue buat nyari dulu. Hehehe.”
“Bagus
deh kalau gitu. So, gue gak perlu
pusing nyari cewek buat tantangan loe ini.” ucap Gabriel sekenanya. Alvin
kembali terdiam. Tapi entah kenapa matanya selalu tertuju pada sosok cewek yang
sempat dibullynya kemarin lusa.
“Alvinandra?
Apa yang sedang anda pikirkan? Apakah anda masih ragu dengan tantangan yang
saya berikan?” tanya Rio sekali lagi. Ia berbicara layaknya pebisnis yang
sedang berdialog dengan clientnya.
Alvin mendecak.
“Bisa
gak sih gak usah ngeremehin gue?!” tegas Alvin datar.
“Oke-oke
gue percaya sama loe. Jadi sekarang deal
ya?” Rio berucap. Tangannya ia julurkan ke depan untuk meminta persetujuan dari
kedua sahabatnya itu.
“Bentar
dulu deh bentar! Kalau sampai gue sama Alvin berhasil dapetin cewek yang loe
tunjuk itu bakal dikasih apa?” serobot Gabriel baru ingat akan sesuatu. Alvin
ikut mengangguk mengiyakan.
“Oh,
masalah itu? Gampang lah! Bisa diatur entar.”
“No! No! No! Gue gak mau di entar-entarin
pokoknya. Harus sekarang juga ditentuin!” sahut Alvin. Untuk sementara Rio berpikir.
Lumayan lama.
“Hmm…
gini aja deh, kalau loe berdua beneran bisa dapetin cewek yang gue tunjuk tadi,
loe berdua gue pinjamin semua fasilitas yang gue punya. Gimana?” usul Rio di
depan Alvin dan Gabriel yang kini saling pandang.
“Oke,
kita setuju. Tapi gak ada batasan waktu kan buat kita dapetin mereka?” sambung
Gabriel santai.
“Wuih…
ada dong! Loe berdua gue kasih waktu dua minggu dimulai besok.” ucap Rio
santai. Namun tidak dengan dua orang cowok yang ada di hadapannya tersebut.
“What?!! Dua minggu?! Loe gila kali ya?!”
kaget Alvin dan Gabriel bersamaan. Sedangkan Rio berusaha tetap santai dengan
ekspresi yang ditunjukkan mereka.
“Kenapa?
Keberatan?”
“Loe
mikir dulu harusnya sebelum ngomong, Mario!” tegas Alvin.
“Iya
nih. Gue aja belum tau ceweknya yang mana? Gila aja!”
“Loe
sih masih mending, Gab. Lah gue? Mana mungkin gue bisa dapetin dia secepet
itu?” tukas Alvin dengan menunjuk ke arah cewek yang tadi menjadi bahan
pembicaraan mereka.
“Lagian
loe tau sendiri kan kemaren lusa gue udah bikin dia malu di kelas kita?” lanjut
Alvin sengit.
“So? Cuma karena itu aja kalian nyerah?
Ish!”
“Bukan
gitu maksud gue, Mario. Coba loe pikir dulu deh, dua minggu kan? Buat kenal
sama dia aja belum tentu gue bisa dalam waktu secepat itu. Apalagi buat jadi
pacar dia?” ungkap Alvin sejujur-jujurnya. Rio berpikir sejenak.
“Hmm…
ya udah deh kalau gitu gue tambahan satu minggu lagi. Gak ada alasan lagi untuk
kali ini. Ayo cabut!” Alvin dan Gabriel saling pandang penuh heran setelah
beberapa detik mereka mendengar kata-kata Rio. Sedangkan si pelaku langsung melangkahkan
kakinya dari tempat tersebut begitu saja tanpa memikirkan kedua sahabatnya yang
super bingung.
***
Dengan
ekspresi wajah yang sangat kesal, Ify melangkah mendekati sepupunya yang
kebetulan sedang duduk di depan kelasnya sendirian. Alvin. Dan dengan
menggandeng tangan kanan Sivia, Ify berdiri tepat di hadapan Alvin seraya
menatapnya jengah. Alvin tergelak seketika. Kaget dengan kehadiran Ify dan
Sivia yang tiba-tiba ada begitu saja.
“Loe
mau ngapain di sini?” tanya Alvin gugup. Pertanyaan pertama yang ia keluarkan
itu terdengar patah-patah di telinga Ify dan Sivia. Ify pun memutar mata kesal.
“Kak
Alvin kok tega banget sih sama Sivia?!” tukas Ify tanpa menjawab terlebih dulu pertanyaan
Alvin sebelumnya. Namun belum sempat Alvin merespon, Ify kembali bersuara.
“Kak
Alvin bener-bener pecundang tau gak?!” wajah Alvin berubah emosi saat mendengar
ucapan Ify tersebut.
“Udahlah,
Fy! Gue gak mau ada urusan lagi sama kak Alvin. Ayo kita ke kelas aja.” sambung
Sivia sambil memohon. Matanya tidak sama sekali melihat ke arah Alvin.
“Sivia,
dengerin gue! Kak Alvin itu udah keterlaluan banget sama loe, dan gue gak suka
kalau sahabat gue digituin apalagi sama sepupu gue sendiri.” tegas Ify ke arah
Sivia.
“Tapi
gue gak apa-apa kok, Fy. Udah yuk ke kelas?” respon Sivia langsung. Namun Ify
tak menggubris sedikitpun. Tatapannya kembali ke arah Alvin yang dari tada
hanya diam seribu kata.
“Kak
Alvin itu cowok bukan sih?! Kok bisa-bisanya ngelakuin itu sama Sivia? Apa gak
ada cara lain buat kak Alvin nyuruh Sivia minta maaf? Sivia itu cewek lho, kak!
Gue gak nyangka kak Alvin setega itu sama cewek. Apalagi cuma gara-gara hal
sepele kaya gitu. Atau memang kak Alvin udah gak punya perasaan sama sekali?
Sejak kapan sih kak Alvin kaya gini? Gue kecewa sama loe, kak.” Alvin menelan
ludah mendengar pertanyaan-pertanyaan sinis yang keluar dari mulut sepupunya.
Entah ia harus berkata apa sekarang.
“Fy,
ayo kita ke kelas!” ajak Sivia memaksa. Ify tetap tak menggubris.
“Pokoknya
kak Alvin harus minta maaf sama Sivia sekarang juga!!!” gertak Ify tegas seraya
tangannya menahan keras tangan Sivia yang hendak pergi ke kelas.
“Ify
udahlah! Kalau loe emang gak mau ke kelas, gue ke kelas sendirian. Permisi!”
pamit Sivia yang mulai kesal dengan Ify.
“Kalau
emang kak Alvin gak mau minta maaf sama Sivia, berarti kak Alvin adalah orang
yang paling kejam yang pernah gue kenal! Terus apa kak Alvin lupa sama semua
pesan almarhumah mami kak Alvin, hah? Kak Alvin lupa? Iya?!” timpal Ify
lagi-lagi. Karena suara Ify yang keras, itu membuat semua teman-teman kelas
Alvin penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana. Mereka mengintip di
jendela, dan bahkan ada juga yang keluar demi mengetahui lebih jelas. Seperti
yang dilakukan Gabriel dan Rio.
“Kenapa
loe diem, kak?! Ck!” Alvin menarik napas.
“Gue
diem karena gue gak pernah diberi kesempatan buat ngomong sama loe. Dan asal
loe tau ya, gue gak pernah sama sekali lupa sama semua pesan dari mami. Urusan
gue sama dia itu gak ada hubungannya sama mami. Jadi loe gak perlu bawa-bawa
mami di sini! Ngerti?!” kata Alvin sengit. Matanya begitu tajam menatap Ify.
“Ck!
Kak Alvin bener-bener udah lupa.” decak Ify prihatin.
“Mami
kak Alvin pernah bilang kalau kak Alvin sama kak Cakka gak boleh berbuat jahat
sama siapa pun, terlebih sama yang namanya cewek! Apa kak Alvin lupa, hah?! Dan
kenapa kak Alvin bilang kalau perbuatan kak Alvin ke Sivia kemarin itu gak ada
hubungan sama sekali sama pesan dari mami kak Alvin?” tanya Ify heran. Perlahan
Alvin pun mendecak kesal. Bukan kesal karena Ify dan Sivia, melainkan kesal
karena teman-temannya yang mulai berhamburan keluar kelas. Untuk melihat Alvin
tentunya.
“Ikut
gue!” Alvin pun segera menarik tangan Ify ke tempat yang menurutnya lebih
personal lagi untuk membahas semua ini. Tapi Ify dengan keras menolaknya.
“Kenapa?
Kak Alvin malu sama mereka?!” tanya Ify lagi dan lagi. Tangannya ia tunjukkan
ke arah teman-teman Alvin. Alvin lagi-lagi menarik napas. Terpaksa ia
membiarkan Ify berkicau ria di depan orang banyak tersebut.
“Satu
lagi, mami kak Alvin pernah bilang juga kalau kak Alvin…”
“Cukup
Fy, cukup!!! Sekali lagi gue bilang, gue gak mau ada urusan lagi sama yang
namanya kak Alvin! Cukup sekali saja kak Alvin mempermalukan gue di depan
teman-temannya.” sentak Sivia mulai angkat bicara. Kini giliran Alvin dan Ify
yang terdiam serta semua orang yang melihat kejadian itu.
“Kak,
gue mau minta maaf sama loe. Gue minta maaf karena gue pernah bilang kalau kak
Alvin pencopet, gue minta maaf karena gue pernah nyiram kak Alvin pakai air,
dan gue juga minta maaf karena gue udah lancang bentak-bentak kak Alvin pas
kemarin gue mampir ke kelas kak Alvin. Gue minta maaf, kak.” ucap Sivia
benar-benar tulus. Tangannya ia ulurkan ke depan. Sivia tak perduli dengan semua
orang di sana yang mungkin heran dengan sikapnya. Yang jelas Sivia benar-benar
tulus meminta maaf ke Alvin. Alvin tiba-tiba mematung. Entah ia sendiri bingung
harus bicara dan berbuat apa ke orang yang kini berdiri tepat di hadapannya
itu.
“Loe
apa-apaan sih, Vi?! Harusnya yang minta maaf itu kak Alvin, bukan loe!” cegah
Ify dengan menarik tangan Sivia cepat-cepat.
“Ini
urusan gue sama kak Alvin, Fy. Jadi gue mohon loe jangan halangin gue. Toh tadi
loe udah bicara banyak kan sama dia?” balasnya tegas. Lalu ia kembali
mengulurkan tangan ke Alvin.
“Kak
Alvin mau kan maafin gue?” deg! Jantung Alvin serasa berhenti seketika. Entah
kenapa kalimat maaf dari Sivia tersebut begitu menusuk jantungnya.
“Apa
kak Alvin gak mau maafin gue?” lagi, Sivia menampakkan wajah memohonnya di
hadapan Alvin.
“Gu…
gue… gue…”
“Kak?”
“Gu…
gu… gue yang harusnya minta maaf sama loe, Vi.” balas Alvin dengan mengikuti
panggilan Ify tadi ke Sivia. Karena memang Alvin sampai sekarang belum tau nama
dari Sivia tersebut. Toh ia sendiri belum sempat berkenalan juga dengan cewek
yang pernah dibullynya tersebut.
“Eggak,
kak! gue yang minta maaf!” bantah Sivia keras.
“Ta…
tapi?”
“Aku
minta maaf sama kak Alvin karena aku gak mau ada urusan lagi sama kak Alvin.
Bukankah ini yang kak Alvin mau? Aku udah minta maaf kan? Plus di depan teman-teman kak Alvin juga.” Sivia merubah gaya
bicaranya tiba-tiba. Sedangkan Alvin masih terpaku dibuatnya. Tak terlupakan
juga Ify yang sampai terheran-heran menatap sikap Sivia terhadap sepupunya itu.
“Tapi
aku mohon banget buat ke depannya, aku cuma mau minta satu permintaan aja sama
kak Alvin, aku minta kak Alvin gak usah ganggu-ganggu aku lagi di sekolah ini.
Aku mohon, kak. Aku sekolah di sini bukan mau cari masalah, aku cuma mau
belajar. Aku mau memanfaatkan beasiswa ini sebaik mungkin. Aku mohon kak Alvin
ngerti. Aku minta maaf, kak.” ucap Sivia panjang lebar. Matanya memancarkan
permohonan yang besar.
“Permisi!”
lanjutnya tegas. Meski ada niat untuk Alvin memanggil Sivia, tapi entah kenapa
mulutnya sekan susah untuk berbicara. Kaku.
“Ini
acara apa sih, Gab?” bisik Rio heran. Ia sendiri bingung melihat apa yang
barusan dilihatnya itu. Gabriel menggeleng.
“Oke,
semuanya bubar! Ini bukan tontonan buat kalian! Bubar! Bubar!” usir Gabriel
kemudian.
“Kak…”
lirih Ify saat melihat Alvin yang hanya diam melihat Sivia pergi.
“Kalau
kak Alvin merasa gentle, gue saranin
kak Alvin minta maaf sama Sivia.” Ify pun ikut pergi mengikuti jejak Sivia.
Seperti kena telak, Alvin benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali.
Perbuatannya saat itu seakan sangat salah dan tak bisa diampuni.
“Arrrggghhh!!!
Kenapa jadi kaya gini sih?! Ck! Cuma karena masalah itu kok kesannya gue yang
paling salah dan paling jahat di sini? Ish!” geram Alvin sambil mengacak rambut
harajukunya.
“Bentar
Vin, bentar! Swear gue gak ngerti
semua ini. Coba deh loe jelasin sama gue, kenapa cewek tadi bisa marah-marah
sama loe? Bukannya yang loe bully itu cewek yang satunya? Terus kenapa dia
kayanya tau banget semua tentang loe? Sumpah gue bingung.” cerca Rio
bertubi-tubi. Alvin mendengus.
“Mario,
dengerin ya! Cewek itu namanya Ify, sepupu gue.” Jawab Alvin di tengah-tengah
kesalnya. Sontak Rio dan Gabriel langsung saling pandang.
“HAH?!
SEPUPU LOE?!” kompak mereka kaget. Pantas saja mereka kaget, karena memang
selama mereka berteman, Alvin tidak pernah bercerita kalau ia punya sepupu
cewek. Yang mereka tau Alvin hanya memiliki seorang adik. Dan itu Cakka.
“Gak
perlu syok gitu bisa gak?!”
“Gimana
gue gak syok, Vin. Ternyata bidadari idaman gue itu sepupu loe. Ck! Pantes aja
loe larang-larang gue buat deketin dia. Ternyata…” sambung Rio menyayangkan.
“Loe
kok gak pernah cerita masalah ini sama kita sih, Vin?” Gabriel ikut duduk di
samping Alvin.
“Penting?”
“Hmm…
ya nggak juga sih. Tapi kan…”
“Sudahlah!
Gue lagi males debat sama kalian. Please,
tinggalin gue sendiri!” pinta Alvin tegas. Dengan terpaksa, Gabriel pun berdiri
dan berusaha mengajak Rio pergi dari tempat tersebut meski di benaknya masih
terpendam banyak pertanyaan.
“Yaudah
kalau gitu gue sama Rio ke tempat biasa. Kalau loe butuh kita, kita ada di sana
kok.” pamit Gabriel seraya menepuk pundak Alvin pelan. Alvin mengangguk.
***
“Shilla
gak ngerepotin kak Cakka kan?” tanya Shilla di tengah-tengah kegiatan makannya
di kantin. Kebetulan ia ditemani sama Cakka di sana. Di mana sebelumnya Cakka
yang baru saja selesai dari pelajaran olahraga itu ketemu dengan Shilla saat
dirinya hendak membeli minum di kantin. Jadi mau gak mau Cakka harus menemani
cewek tersebut karena memang Shilla sedikit memohon kepadanya. Ya,
hitung-hitung saja itu sebagai balas budi Cakka ke Shilla kemarin lusa saat
meminta Shilla menemaninya makan siang.
“Oh,
nggak kok. Shilla nyantai aja. Toh kakak juga udah selesai olahraganya.” balas
Cakka lembut.
“Oh,
gitu ya?” sembari meneruskan makannya, Shilla pun mengangguk.
“Kamu
kelaparan ya, Shil? Kok lahap bener makannya?” ledek Cakka seraya terkekeh.
“Hehehe.
Bisa dibilang gitu, kak. Abisnya tadi pagi Shilla gak sempet sarapan di rumah,
untungnya tadi pagi gak sampai pingsan pas upacara. Tau gak kenapa?” Cakka
mengernyit.
“Lho,
kok hebat sih? Kenapa emang?”
“Soalnya
Shilla lihatin kakak terus. Jadinya kenyang sendiri deh.” sedetik, Cakka
tertawa mendengarnya. Nih anak ngegombal
apa ngeledek sih? tanya Cakka dalam hati.
“Jadi
kamu nyamain kakak sama makanan nih? Ish!”
“Lho,
yang bilang Shilla nyamain kakak sama makanan itu siapa?” respon Shilla setelah
sebelumnya meminum teh manis yang telah dipesannya itu.
“Terus
itu kenapa kenyang?” Shilla tersenyum.
“Kan
itu cuma ibarat doang, kak. Kak Cakka ini gimana sih?”
“Oh,
bilang dong dari tadi. Jadinya kakak gak perlu bingung kaya gini.”
“Kak
Cakka tuh yang gak peka. Masa iya kaya gitu aja mesti dijelasin? Huh!” ledek
Shilla dengan mengembungkan kedua pipinya.
“Ih,
jelek tau kalau kaya gitu.”
“Enak
aja! Orang Shilla cantik juga.”
“Emang
udah ada yang bilang gitu sama Shilla?” tanya Cakka dengan tatapan yang sedikit
meledek. Shilla berpikir keras.
“Hmm…
seinget Shilla sih belum ada, kak. Cuma mama sama papa aja. Hehehe.” Cakka ikut
tertawa.
“Duh,
kasihan banget sih kamu. Hahaha.”
“Jahat
deh!” timpal Shilla sedikit memanyunkan bibirnya. Lagi-lagi Cakka tertawa
melihatnya.
“Gue
cari ke mana-mana ternyata loe ada di sini, Cak.” ujar seseorang pas di
belakang Cakka. Cakka pun langsung menengok dan menemukan sosok cowok berambut
sedikit panjang berdiri santai di belakangnya. Cowok itu teman sebangku Cakka
di kelas XI IPA 1.
“Eh,
Ray? Kenapa deh?” tanya Cakka penasaran. Cowok itu bernama Ray, lebih
lengkapnya Raynald Orlando. Sahabat Cakka sejak ia pertama masuk di SMA
Sarfagos ini. Dan Ray juga merupakan cowok satu-satunya yang paling dekat
dengan Cakka selain Alvin. Tapi bukan berarti Cakka tidak mempunyai banyak
teman, hanya saja Cakka sudah menganggap Ray itu sebagai saudaranya sendiri
karena Ray selalu ada dan berusaha membantu ketika Cakka mendapatkan masalah.
Tidak seperti Alvin yang masa bodoh meskipun ia sebagai kakak kandungnya.
“Loe
ngilang-ngilang mulu kaya jin. Tadi loe dicariin tuh sama cewek.” kata Ray to he point. Cakka mengernyit, begitupun
Shilla.
“Cewek?
Cewek siapa?”
“Gak
tau tuh gue juga. Kalau gak salah sih namanya itu Si…” Ray mengingat-ingat
seketika.
“Sivia?”
“Nah,
iya tuh bener! Sivia.”
“Terus
dia ke mana sekarang?”
“Gak
tau tuh. Dia pergi gitu aja pas gue bilang loe gak ada.” jelas Ray singkat.
“Lho,
kalau ini siapa? Pacar loe, Cak? Wuih… parah loe gak pernah cerita sama gue.” lanjut
Ray heboh.
“Oh,
bukan kok. Cuma temen.”
“Temen
apa temen? Kok makan bareng sih?” ledek Ray mulai rusuh. Lalu ia langsung duduk
di depan Cakka dan Shilla yang memang duduk berdampingan.
“Kita
emang temenan kan, Shil?” ucap Cakka meminta persetujuan. Shilla mengangguk.
“Shilla
sama kak Cakka emang temenan kok, kak. Oh iya, kenalin nama aku Shilla.”
“Oh,
gue Raynald. Panggil gue Ray.” Ray menjabat tangan Shilla mantap.
“Oke,
kak Ray.”
“Jangan
panggil kakak dong, Shil. Kesannya gue tua banget.” ujar Ray risih. Cakka
menyahut.
“Emang
tua kali.”
“Sialan
loe!”
“Kak
Ray kan kakak kelas Shilla, jadi gak enak aja kalau Shilla panggil nama.” jelas
Shilla santai.
“Oh,
jadi loe adik kelas kita toh?” Shilla mengangguk.
“Ya
udah deh kalau gitu gak apa-apa panggil kakak juga. Hehehe.”
“Ish!
Ada yang labil nih kayanya. Hahaha.” Ray langsung menjitak kepala Cakka keras.
“Hmm…
kak?” panggil Shilla pelan. Cakka yang masih sibuk mengusap bekas jitakan Ray
pun menengok tiba-tiba dengan tatapan bertanya.
“Kayanya
Sivia ada perlu penting tuh sama kakak, mendingan kak Cakka susul dia deh. Shilla
gak apa-apa kok ditinggal sendirian.” usul Shilla.
“Beneran
gak apa-apa?”
“Iya,
beneran. Malahan Shilla mau bilang makasih karena kakak udah mau temenin Shilla
di sini.”
“Hmm…
gini aja deh, gimana kalau kak Ray gantiin kakak buat temenin kamu?” saran
Cakka tiba-tiba. Sedikit kaget, Ray menatap ke arah Cakka penuh heran. Waduh! Bisa mati kutu gue kalau kaya gini.
Sialan nih si Cakka! rutuk Ray dalam hati. Karena memang Ray itu merupakan
tipe cowok yang jarang ngobrol berdua sama cewek kecuali kalau sedang bertiga
atau ada temannya seperti sekarang ini.
“Boleh
aja sih kalau kak Ray mau.” jawab Shilla.
“Oh
tenang aja kalau gitu, Ray pasti mau kok. Iya kan, Ray?” Ray pun melotot
mendengarnya.
“Cakka?!”
geramnya sangat pelan. Berusaha memberi kode kepada Cakka kalau ia menolak
sarannya. Namun Cakka tak menggubris.
“Ya
udah kakak pamit ya, Shil? Baik-baik sama Shilla, Ray!” kata Cakka ke Shilla
dan Ray bergantian. Ray berdecak pasrah
saat Cakka menepuk pelan punggungnya dan berlari begitu saja meningalkannya
bersama Shilla.
***
Rio
melangkahkan kakinya menyusuri koridor kelas dengan gaya yang menurutnya cool banget. Kedua tangan yang
dimasukkan ke dalam saku celana serta sesekali mulutnya mengeluarkan siulan
lembut layaknya pangeran tampan yang menguasai sekolah tersebut. Kali ini ia
sengaja meninggalkan Gabriel sendirian di tempat tongkrongan mereka dengan
alasan ingin mencari target untuk Gabriel taklukkan dalam misi taruhannya
bersama Alvin. Kebetulan Rio memang belum mendapatkan sosok cewek yang pantas
untuk Gabriel taklukkan.
Sedikit
ceroboh, tanpa melihat ke depan karena sibuk lirik sana-sini, tiba-tiba Rio
menabrak seorang cewek yang sedang berdiri di pinggiran koridor kelasnya. Cewek
itu meringis.
“Eh,
sori-sori. Gue gak sengaja.” ucap Rio respect.
Tangannya ia sentuhkan ke bahu cewek tersebut.
“Oh
iya gak apa-apa kok.” balasnya ramah. Dengan sedikit senyuman, cewek itu
berhasil membuat Rio mematung beberapa detik. Oh my God! She is very beautiful! batinnya berkagum ria. Lantas
cewek itupun langsung memandangi seluruh tubuhnya, apakah ada yang salah sampai
Rio menatapnya seperti orang syok.
“Hei?
Kok diem sih? Apa ada yang salah?” tanya cewek itu heran.
“Heh? Anu? Itu? Apa? Nggak ada kok. Sori
ya? Loe gak apa-apa kan?” respon Rio gugup. Cewek itu langsung menggeleng.
“Gak
apa-apa kok. Cuma sakit sedikit aja. Loe ngelamun ya?”
“Oh,
nggak kok. Tadi gue lagi lihatin mereka, iya bener mereka.” Rio menunjuk asal
gerombolan cowok-cowok yang sedang berkejaran merebut bola merah berukuran
lumayan besar di tengah lapangan.
“Oh,
gitu toh. Oh iya, loe kelas berapa?” tanya cewek itu penasaran. Meski terus
mengusap pundaknya yang lumayan terasa sakit akibat senggolan Rio yang cukup
keras tadi.
“Gue?
Gue kelas XI IPS 2. Loe?”
“Kelas
XI? Pantesan aja gue gak terlalu paham sama loe. Gue kelas ini nih, XII IPS 1.”
balasnya sembari menunjuk sebuah kelas yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Oh,
anak kelas ini? Ya udah kenalin, nama gue Mario.” tanpa ada ragu sedikit pun,
Rio mengulurkan tangannya dengan senang hati.
“Princess
Pricilla. Panggil Prissy, double S.
Hehehe.” Rio terkekeh mendengarnya. Ternyata cewek yang baru dikenalnya itu
bisa bercanda juga.
“Kalau
panggil kak Prissy boleh nggak?” tanya Rio dengan nada meledek.
“Boleh-boleh
aja sih. Terserah loe aja mau manggil gue apa?” Rio membulatkan mulutnya.
“Berarti
boleh juga dong kalau gue panggil tante? Hehehe.”
“Tapi
ya nggak gitu juga kali. Hmm… panggil nama aja deh biar lebih enak.”
“Oke
deh! Oh iya, loe lagi ada pelajaran apa nggak?” lagi-lagi Rio bertanya.
Sedetik, Prissy terdiam karena berpikir.
“Gak
ada sih. Cuma tadi ada tugas dari guru PKN, tapi gue udah selesai kerjain.
Kenapa gitu?”
“Gak
apa-apa kok nanya doang. Kebetulan gue mau ke kantin, loe mau ikut gak? Cuma
nawarin aja sih, gak mau juga gak apa-apa. Gue gak maksa kok.” ungkap Rio
basa-basi. Di dalam hatinya sangat berharap sekali kalau Prissy menerima
ajakannya tersebut.
“Kalau
gak ngerepotin sih boleh-boleh aja. Hmm… tapi ada yang marah gak nih? Entar
disangkanya gue perebut cowok orang lagi.” ucap Prissy was-was.
“Tenang
aja lagi, i’m single and very happy
kok. Jadi loe gak perlu khawatir.”
“Seriusan
loe?”
“Tujuh
rius pun gue berani taruhin.” ujar Rio mantap. Baru kali ini Rio mendapatkan
negosiasi yang cukup lama sama cewek yang diajak makan olehnya. Biasanya sekali
ia menawarkan cewek untuk makan bareng itu langsung diterima begitu saja. Entah
karena tipu daya Rio yang begitu ampuh atau memang karena ceweknya yang terlalu
bodoh? Entahlah. Terlalu buang-buang waktu untuk membahas perjalan cinta Rio
yang mungkin bisa dijuluki sebagai Best
Playboy In The World.
“Ya
udah kalau gitu gue mau deh.” terima Prissy setelah menimbang-nimbang kembali
ajakan Rio.
“Nah,
gitu dong! Anggap aja ini sebagai tanda permintaan maaf gue karena udah nabrak
loe.” mereka pun mulai berjalan perlahan meninggalkan tempat tadi dengan saling
berbagi cerita.
***
Flashback On.
“Oh,
jadi sekarang Alvin udah mulai tau cinta-cintaan nih?” Alvin tersenyum
malu-malu mendengar ledekan sang mami kepadanya. Ia menunduk perlahan setelah
ia dengan sedikit gugup menceritakan masalah cewek yang disukainya ke sang
mami.
“Sini
sayang, sini. Peluk mami!” pinta mami Alvin dengan merengkuh tubuh mungil
anaknya tersebut. Saat ini Alvin dan maminya sedang berada di balkon kamar,
menghirup udara sore berduaan. Dan dengan sedikit berjongkok, Alvin memeluk
maminya yang memang duduk di atas kursi roda. Ya, mami Alvin sudah tidak bisa
berjalan lagi sejak penyakit stroke
menggerogoti tubuhnya setahun yang lalu.
“Beneran
kamu lagi suka-sukaan sama cewek?” tanya sang mami sekali lagi. Alvin pun mengangguk
dengan dibarengi senyum manisnya.
“Anak
mami yang satu ini kan masih kelas dua SMP, kok udah mulai suka-sukaan sih?
Kamu itu masih kecil, jadi belum waktunya cinta-cintaan.” katanya sembari
membelai lembut kepala Alvin.
“Tapi
Alvin kan cuma sekedar suka, Mi? Emangnya gak boleh ya?” balas Alvin penasaran.
Ia menatap mata maminya lekat-lekat.
“Ya
boleh-boleh aja sih, gak ada salahnya juga kalau itu hanya sekedar suka ataupun
kagum. Asal jangan berlebihan aja.”
“Oh,
gitu. Jadi Alvin boleh nih suka-sukaan sama perempuan, Mi?” tanya Alvin polos.
Sang mami tersenyum, lucu melihat anaknya yang mulai penasaran dengan masalah
cinta. Lantas ia mengangguk.
“Asik!”
“Tapi
jangan seneng dulu! Ingat terus pesan mami, kamu itu masih terlalu muda buat
masalah seperti ini, jangan terlalu berlebihan! Jalani dengan sewajarnya saja,
jangan sampai anak mami yang ganteng ini terjerumus sama hal-hal buruk. Paham?”
ucapnya tegas.
“Siap,
bos!” balas Alvin dengan menganggukan kepalanya berulang kali.
“Satu
lagi, yang harus Alvin ingat sampai kapanpun dan di manapun Alvin berada.”
lanjutnya kemudian. Sontak Alvin berheran ria dibuatnya.
“Apa
itu, Mi?” sang mami menarik napas panjangnya sebelum ia bercerita.
“Jangan
pernah sekalipun Alvin menyakiti hati seorang perempuan ya? Karena perempuan
itu bukan untuk disakiti, tetapi untuk disayang dan dilindungi. Inget itu!”
Alvin berpikir sejenak. Mencoba mencerna kata-kata maminya yang belum begitu ia
pahami.
“Hmm…
tapi kalau suatu saat Alvin lupa gimana? Atau gini aja deh, kalau si perempuannya
yang jahat sama Alvin gimana, Mi?” tanya Alvin lagi super penasaran.
“Sayang,
apapun itu alasannya, Alvin gak boleh sakitin yang namanya perempuan. Alvin kan
laki-laki, jadi gak pantas buat sakitin perempuan. Dan kalau suatu saat Alvin
lupa dan mau lakuin itu, Alvin harus ingat mami, karena mami juga perempuan.
Jadi kalau Alvin sampai tega sakitin perempuan, itu sama aja Alvin sakitin
mami. Alvin ngerti kan?” jelasnya panjang lebar. Lagi-lagi ia tersenyum melihat
ekspresi wajah anaknya itu.
“Intinya
Alvin itu gak boleh sakitin perempuan ya, Mi?” sang mami mengangguk. Lalu
membelai lembut ubun-ubunnya.
“Oke,
Mi! Alvin janji, Alvin akan selalu ingat nasihat mami yang satu ini.” perlahan
tubuhnya ia pelukkan ke tubuh sang mami dengan manja.
Flashback Off.
Alvin
memejamkan matanya kuat-kuat. Kenangannya bersama mami tercinta tiga tahun yang
lalu itu muncul tiba-tiba dengan sangat jelas di benaknya.
“Mi,
Alvin minta maaf. Alvin udah langgar janji Alvin sama mami. Alvin minta maaf,
Alvin nyesel.” lirihnya sesal. Semua nasihat yang pernah orang tuanya berikan
itu seakan hilang begitu saja di otak Alvin semenjak kepergian sang mami.
Bahkan Alvin pun sempat menjadi brutal akibat salah pergaulan yang dialaminya.
Sering pulang malam, balapan motor, hura-hura, dan masih banyak lagi. Hidupnya
seperti hilang kontrol karena sang papi yang super sibuk di pekerjaannya sampai
lupa mengontrol anak-anaknya dalam bergaul.
***
Cakka
langsung duduk di samping cewek yang kini sedang melamun di perpustakaan dengan
kedua tangan sibuk memutar-mutar sebuah novel tanpa sepengetahuannya. Lantas ia
langsung merebut paksa novel yang dipegang cewek tersebut. Cewek itu Sivia.
“Denger-denger
tadi ada yang nyariin aku ya?” ucapnya pura-pura. Tangannya membuka asal
beberapa halaman novel yang tadi direbutnya dari tangan Sivia. Sivia membuang
napas seketika. Sempat kaget dengan kehadiran Cakka yang secara tiba-tiba duduk
di sampingnya.
“Tadi
aku yang nyari kakak.” jawab Sivia langsung.
“Oh,
jadi kamu yang nyari kakak? Kenapa deh? Jangan bilang kamu kangen sama kakak.
Hehehe.” untuk sekejap Sivia tersenyum mendengarnya.
“Pede
parah! Aku gak kangen sama kakak.” timpal Sivia sambil menyenggol pundak Cakka
yang sedang senyum-senyum tak jelas.
“Lho,
terus itu nyariin kenapa dong?”
“Ya,
gak apa-apa. Lagian emang kalau nyariin itu artinya kangen ya, kak? Ish!” decak
Sivia heran. Cakka hanya tersenyum lebar-lebar.
“Kenapa
sih nyariin? Tumben,” tanya Cakka lagi. Sekarang wajahnya berubah serius.
“Masalah
Alvin lagi?” lanjutnya menebak. Tanpa ragu, Sivia menggeleng.
“Terus?”
“Aku
lagi kesel sama Ify, kak.” ucap Sivia perlahan.
“Lho?
Kenapa gitu?” Cakka mengernyit.
“Ya
gitu lah, kak. Ify bahas-bahas lagi masalah aku sama kak Alvin. Padahal aku
udah bilang ke Ify kalau aku gak mau ada urusan lagi sama kak Alvin, eh dia
malah ajak aku ke kelasnya biar kak Alvin minta maaf sama aku.” jelas Sivia
kemudian. Cakka tak langsung merespon, ia berusaha menjadi pendengar yang baik
untuk sementara.
“Lagian
kan aku udah maafin kak Alvin kok. Tapi Ify tetep keukeuh kalau kak Alvin harus
minta maaf ke aku di depan teman-temannya. Nyebelin kan, kak?” lanjut Sivia
lantang.
“Udah?”
tanya Cakka seraya tersenyum. Sivia memandang Cakka kemudian. Matanya begitu
dalam menatap mata cowok yang ada di hadapannya itu.
“Hmm…
menurut aku itu adalah carenya Ify ke
kamu, Vi. Karena mungkin Ify gak suka kamu diperlakukan seperti itu sama Alvin,
jadi dia mau kalau Alvin minta maaf langsung sama kamu.” ucap Cakka memberi statement tentang sikap Ify kepada
Sivia.
“Tapi
aku kan udah bilang sama Ify kalau aku gak mau lagi ada urusan sama kak Alvin,
kak. Ify malah gak mau denger kata-kata aku.”
“Sivia,
yang dilakuin Ify itu bener. Ify lakuin itu buat kamu, buat kebaikan kamu. Toh
emang seharusnya kok si Alvin itu minta maaf sama kamu. Dia kan salah.” kata
Cakka sesantai mungkin.
“Tapi
kan, kak?”
“Udahlah,
Vi! Aku tau persis Ify itu kaya gimana. Dia gak bakal mungkin ikut campur
urusan orang lain kalau bukan urusan orang yang udah dianggap sayang olehnya.
Dan dia juga gak pernah segan-segan menegur orang yang melakukan kesalahan
meski itu saudara atau sahabatnya sendiri.” ungkap Cakka lagi. Kini Sivia
terdiam mendengar penuturan Cakka yang lembut. Tak salah ia mencari Cakka untuk
menenangkan diri.
“Kamu
ngerti kan, Vi?”
“Iya,
aku ngerti. Makasih ya, kak?” balas Sivia tenang. Matanya langsung ia alihkan
begitu Cakka menatapnya dalam-dalam.
“Vi?”
“Ya?”
“Hmm…
gak jadi deh.” Sivia mengangkat salah satu alisnya. Heran dengan sikap Cakka
yang berubah aneh menurutnya.
“Vi?”
“Apaan
sih, kak? Aneh deh!”
“Aku
kebelet pipis.” ujar Cakka dengan ekspresi lucunya.
“Astaga,
kak Cakka! Kirain tuh ada apa manggil-manggil gak jelas. Ternyata cuma kebelet
pipis. Ya udah sana ke toilet dulu!” sambung Sivia sembari memutar bola matanya
jengah.
“Becanda
kok, becanda. Aku gak kebelet pipis.”
“Lho?
Aneh ih!”
“Hehehe…”
Cakka menggaruk kepalanya pelan-pelan. Duh,
gue kenapa sih? Kok jadi gugup gini? Slow
Cakka, slow! Jangan terlalu
terburu-buru. Ini belum waktunya. Loe ngerti kan? rutuk Cakka dalam hati.
Ia menggaruk kepalanya bingung saat Sivia menatapnya penuh heran. Kemudian
mereka diam. Seperti tak ada lagi pembahasan yang harus mereka bahas saat itu
juga.
***
“Makasih
ya, kak Ray?” Shilla tersenyum dengan menghadap ke arah Ray yang baru saja
berhenti berjalan. Sedikit ragu, Ray tersenyum sambil menggaruk pelan kepala
belakangnya.
“Sama-sama,
Shil.” balas Ray singkat. Mereka saat ini berdiri di depan kelas Shilla setelah
sebelumnya mengobrol cukup lama di kantin sepeninggalan Cakka. Mereka
membicarakan banyak hal di sana. Masalah persahabatan, permusuhan, pertemanan,
bahkan sampai ke masalah percintaan. Dan karena memang jarang sekali Ray
melakukan itu, tak salah lagi kalau Ray sempat kehabisan bahan pembicaraannya
dengan Shilla tersebut. Untungnya Shilla termasuk orang yang komunikatif, jadi
Ray merasa terselamatkan dalam posisinya yang pasif dalam mengobrol dengan
cewek itu.
“Terus
sekarang Kak Ray mau ke mana? Apa mau main dulu aja di kelas Shilla? Hehehe.”
tanya Shilla antusias. Ray langsung menyanggah.
“Oh,
nggak kok. Gue ke kelas aja kali ya? Kayanya bentar lagi juga mau masuk. Hmm…
kalau gitu gue kelas dulu ya, Shil?” pamitnya ragu-ragu.
“Ya
udah deh, kak. Sekali lagi makasih ya, kak ?” Shilla tersenyum begitu manis. Bahkan
saking manisnya, membuat Ray sempat salah belok arah saat ia hendak menuju
koridor kelasnya. Shilla terkekeh dan menggeleng cepat-cepat melihat tingkah
Ray tersebut.
“Woy,
loe ke mana aja sih?” gertak Zahra mengagetkan Shilla. Dan itu membuat Shilla
mengusap dadanya berulang kali. Benar-benar kaget.
“Zahraaaaaa!!!
Bisa gak sih gak ngagetin?!” oceh Shilla kesal. Ia berusaha memastikan
jantungnya masih ada di tempat atau tidak. Zahra pun terkekeh.
“Hehehe.
Sori Shil, sori. Abis loe ke mana aja sih? Gue cariin juga.” timpal Zahra kemudian.
Shilla hanya tersenyum sambil berlalu begitu saja ke dalam kelas.
“Mau
tau aja apa mau tau banget?” tanya balik Shilla dengan gaya yang dibuat
semenyebalkan mungkin. Dan itu membuat Zahra mendelik ke arahnya.
“MAU
TAU ABIS!!! PUAS?!” gertak Zahra penuh penekanan.
“Oh
ya? Duh, tapi sayang nih gue lagi males cerita sama loe. So, kapan-kapan aja ya gue ceritain?” Shilla duduk dengan manisnya
seraya menyiapkan beberapa buku yang memang akan dipelajarinya sedetik ini juga
bersama teman kelas lainnya.
“Shillllllaaaaaa!!!
Gue ngambek nih kalau loe gak cerita?” ancam Zahra gereget.
“Bo
to the Doh to the A to the Mat.
Bodoh amat!!!” ledek Shilla super menyebalkan bagi Zahra.
“Shillllllaaaaaa…”
Shilla pun langsung menutup kedua telinganya sebelum teriakan Zahra membuatnya
tuli dadakan.
***
Semua
siswa serentak berhamburan ke kelas mereka masing-masing setelah beberapa detik
bel masuk berbunyi. Beberapa pelosok sekolah yang biasanya dipenuhi para siswa
pun mulai menyepi. Termasuk kantin. Walaupun ada juga satu dua anak yang memang
masih betah duduk-duduk sambil asyik berbincang di sana. Tak terkecuali Rio dan
Prissy yang sejak tadi pagi mengobrol berduaan itupun belum juga ada niatan
untuk kembali ke kelas. Entah karena mereka lagi free belajar, atau karena memang ada urusan lain? Hanya mereka
berdua yang tau.
“Balik
yuk? Gue ada pelajaran matematika nih.” ajak Prissy dengan mengalihkan
pembicaraan sebelumnya.
“Entar
aja lagi, tanggung nih belum abis makanan gue.” balas Rio penuh alasan.
“Oh,
ya udah deh cepetan dihabisin tuh makanan.” suruh Prissy resah.
“Iya,
santai aja.” jawab Rio sekenanya. Lantas tangannya langsung menjamah gorengan
yang sempat didiamkannya beberapa menit karena saking asyiknya
berbincang-bincang dengan Prissy.
“Tapi
loe gak usah lihatin gue kaya gitu dong! Gue jadi gak konsen nih makannya.”
lanjut Rio grogi.
“Ih,
biasa aja kali. Lagian gue lihatin loe bukan karena terpesona ya, tapi mual
lihat cara loe makan. Lahap bener!” timpal Prissy dengan herannya. Namun
kemudain ia terkekeh. Lucu juga lama-lama kalau lihat cara Rio makan.
“Ya
beginilah jadinya kalau gue makan di
depan orang cantik kaya loe. Super lahap! Hehehe.” goda Rio dengan mengedipkan
salah satu matanya ke arah Prissy.
“Hahaha.
Loe bisa aja bikin orang terbang. Udah ah cepetan makannya! Gue takut telat
masuk nih.” Prissy melirik jam tangannya resah.
“Makanya
loe jangan lihat gue dulu, biar cepet abis nih makanan. Lagian kenapa sih lihat
gue kaya gitu? Loe suka ya?” lagi-lagi Rio menggoda. Kepalanya ia dekatkan ke
hadapan Prissy.
“Ish!
Loe pedenya kebangetan ya? Baru kali ini gue kenal sama adik kelas yang model
gini. Hahaha. Ada-ada aja loe ah.” ujar Prissy prihatin.
“Tapi
cakep kan? Udahlah ngaku aja!”
“Lho,
cakep dari mananya? Pecicilan sih iya. Hahaha.” Rio tersedak sesaat. Ini kali
pertama dalam hidupnya ia dibilang pecicilan.
“What? Pecicilan? Orang cakep kaya gini
masa dibilang pecicilan sih? yang bener aja.” sergah Rio membela diri. Prissy
terkekeh.
“Whatever you say aja deh, Mario. Gue
duluan ke kelas ya?” pamitnya kemudian.
“Please deh, Princess Pricilla! Gue gak
pecicilan ya!” Rio yang memang baru saja menghabiskan minuman penutupnya,
akhirnya ikut pergi membelakangi Prissy sambil mengoceh tidak jelas.
***
“Aku
ke kelas ya, kak?” Sivia memecah keheningan yang terjadi beberapa menit antara
dirinya dan Cakka di dalam perpustakaan. Cakka mengernyit sejenak. Rasanya
ingin sekali ia berlama-lama di tempat ini bersama cewek tersebut. Tapi karena
Sivia pamit ke kelas, mau tidak mau Cakka harus pasrah berpisah dengan cewek
yang entah kenapa selalu membuatnya susah tidur itu.
“Oh,
ya udah deh kalau gitu. Kamu duluan aja ke kelas, aku mau di sini dulu.” balas
Cakka ramah.
“Lho?
Kak Cakka kenapa gak masuk?”
“Bentar
aja kok, Vi. Entar juga aku ke kelas. Udah cepetan ke kelas, entar ada guru
lagi.” Sivia membuang napas melihat sikap Cakka. Perlahan ia duduk kembali di
samping Cakka.
“Ck!
Katanya mau ke kelas? Kok malah duduk lagi sih?”
“Abis
kak Cakkanya gak mau ke kelas sih, ya udah aku juga gak mau ke kelas.” respon
Sivia mantap. Kedua pipinya ia kembungkan sedikit.
“Aku
bilang aku cuma sebentar doang kok di sini. Udah gih sana ke kelas!” saran
Cakka ramah.
“Ya
udah kalau gitu aku juga di sini. Cuma sebentar kan?” tanya Sivia polos.
Kemudian ia tersenyum. Meski sedikit kesal, Cakka mencoba untuk tetap santai.
“Sivia,
temennya Ify yang cantik tapi kadang nyebelin, udah sana ke kelas. Entar kamu dihukum
sama guru gara-gara telat masuk.”
“Ih,
kak Cakka ini! Ya udah deh kalau kakak gak mau aku temenin, aku ke kelas
sekarang juga. Permisi, kak!” pamit Sivia sedikit kesal. Cakka lag-lagi
mengernyit. Lho kok? batinnya heran.
Lantas ia hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Sivia yang aneh menurutnya.
Namun belum sempat Cakka mengedipkan mata, Sivia berjalan kembali ke arahnya.
“Satu
lagi, makasih karena kak Cakka udah temenin aku di sini. Bye!” lagi dan lagi Cakka mengernyitkan dahi. Entah ada kesalahan
apa yang terjadi pada diri Cakka sampai Sivia bersikap aneh kepadanya.
Entahlah, Cakka sendiri bingung dibuatnya. Yang jelas kini Cakka hanya bisa
meratapi kepergian Sivia dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan
kata-kata.
“Sivia…
Sivia…” gumamnya sambil menggeleng.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar