@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Kamis, 21 November 2013

He-art 2nd



It All Started Here...


Shilla menyenderkan tubuhnya ke tembok kelas X.4 dengan perasaan yang sungguh tak bisa dijelaskan. Ulasan senyum bahagia pun tidak tau kenapa selalu terpancar di bibir manisnya. Selalu, pikiran Shilla tak pernah lepas dari bayang-bayang Cakka yang kemarin sempat diciumnya dengan sangat frontal. Dan entah dari mana Shilla mempunyai keberanian untuk melakukan hal tersebut. Yang padahal baru sekali itu ia berkenalan dan berbicara langsung di hadapan cowok yang memang diidolakan Shilla semenjak kakinya berpijak di SMA Sarfagos ini. Cakka.

Di sisi lain, ada juga rasa cemas yang menyeruak di benak Shilla. Ia takut kalau-kalau Cakka akan membencinya karena ulah yang diperbuatnya terhadap Cakka tersebut. Shilla menarik napasnya gusar.
“Kamu kenapa sih, Shil? Dari tadi aku lihatin, kamu kok kaya orang gila ya? Tiba-tiba senyum, tiba-tiba merengut, tiba-tiba melongo. Kamu kesambet?” pertanyaan seseorang yang memang sejak tadi duduk tak jauh dari tempat Shilla bersandar itu membuyarkan lamunan Shilla seketika. Shilla pun mendekat, bermaksud ikut duduk di samping seseorang tersebut.
“Aku galau nih, Ra.” lirih Shilla sembari menjamah cemilan yang dipegang orang yang kini menatap bingung ke arahnya. Zahrana Safira. Teman sekelas sekaligus sahabat Shilla saat ini.
“Galau kok dijadiin hobi sih? Toh hari gini masih galau? Oh my God, Shilla! Please deh!” tukas cewek bernama panggilan Zahra itu prihatin. Untuk sesaat Shilla mendesah.
“Tapi ini galaunya beda, Zahra! Aku nyesel…” ungkapnya semakin pelan.
Why?
“Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya?” suruh Shilla perlahan. Zahra mengangguk kemudian setelah beberapa detik ia berpikir.
“Oh tenang aja, Shil! Calm down, sister! Aku jamin deh gak bakal bocor.” yakin Zahra sambil merangkul pundak Shilla.
“Hmm… kamu tau kan kak Cakka?”
“Kak Cakka? Ada apa dengan kak Cakka, Shil?” Zahra mengernyitkan dahinya.
“Gak ada apa-apa sih. Kamu tau kan kalau aku ngfans banget sama dia?” Zahra pun mengangguk.
So?
“Ya gimana ya aku ceritainnya? Hmm… kemarin kan aku kenalan sama kak Cakka, terus aku bilang kalau aku ngefans banget sama dia.” jelas Shilla terhenti.
“Terus kak Cakka bilang apa?”
“Ya gitu lah. Dia mau kok jadi temen aku, Ra. Tapi dia gak mau kalau aku ngefans sama dia. Katanya dia bukan artis, jadi gak pantes punya fans.” jelas Shilla lagi. Kali ini Zahra hanya bisa membulatkan mulutnya.
“Lah, terus yang bikin kamu galau itu yang mananya? Gak ngerti deh.” timpal Zahra mulai bingung.
“Zahraaaaaa!!! Makanya dengerin dulu kalau aku ngomong coba!”
“Hehehe. Oke lanjut deh!”
“Jadi gini, pas kak Cakka mau pamit duluan ke kelas, gak tau kenapa tiba-tiba aku nyium pipi dia gitu aja. Aku takut kalau kak Cakka marah sama aku, Ra. Terus dia gak mau lagi ketemu sama aku. Aku nyesel…” pasrah Shilla kemudian. Zahra pun syok mendengarnya.
What?! Kamu nyium kak Cakka? Oh my God, Shilla! Parah banget kamu ini.”
“Ah, Zahraaaaaa!!! Bukannya ngasih saran buat aku, malah tambah bikin aku ngerasa bersalah.”
“Abis kamu ada-ada aja sih. Masa iya baru kenalan udah main cium? Ck!”
“Ya makanya aku nyesel, Ra. Terus aku harus gimana dong? Aku gak mau kalau kak Cakka sampai benci sama aku.” lirih Shilla.
“Hmm… ya udah gini aja, kalau nanti kamu ketemu sama kak Cakka lagi, kamu minta maaf aja. Gampang kan?”
“Tapi, Ra?”
“Tapi apa? Malu? Apa takut gak bakal dimaafin?” Shilla mengangguk seraya memajukan bibirnya.
“Gak ada salahnya kan nyoba? Setau aku nih ya, kak Cakka itu orangnya baik. Pasti dia bakal maafin kamu kok. So, kamu tenang aja!” kata Zahra simpati. Shilla pun mengangguk.
“Hmm… ya udah deh nanti aku coba saran kamu.”
“Harus dong!”
“Iya-iya!” Shilla mendengus.

***


Alvin berjalan tergesa-gesa seraya memegangi perutnya. Cukup gancang, ia melebarkan langkah kakinya setelah hampir tiga meter lagi sampai ke tempat tujuan awalnya. Toilet. Namun hendak saja Alvin berbelok arah ke persimpangan antara toilet dan sebuah kelas, Alvin merasakan ada sesuatu yang menabraknya tiba-tiba. Ia terjatuh seketika dan langsung meringis kesakitan seraya mengusap pantatnya berkali-kali.
“Arrrggghhh!!!”
“Sori gue gak sengaja. Aduh, basah lagi!” ucap orang itu menyesal. Alvin tak merespon.
“Tadi gue buru-buru mau siram tanaman. Tapi tiba-tiba loe dat…”
“Pakai mata gak sih kalau jalan?! Jadi basah gini kan baju gue?! Ah, shit!” serobot Alvin sebelum orang tersebut menyelesaikan ucapannya. Namun ia tetap sibuk meratapi baju dan celana sekolahnya yang basah akibat tersiram oleh air yang dibawa orang tersebut.
“Loe tau gak baju gue harganya berapa?! Mahal tau gak sih?! Emangnya loe mampu buat ganti baju gue, hah?!” cerca Alvin lagi.
“Tapi gue kan gak sengaja. Lagian gue juga udah minta maaf kan?” katanya pelan. Namun kemudian…
“ELO???!!!” kaget mereka bersamaan.
“Loe pencopet yang di bis itu kan?! Aih… ngapain loe di sini? Mau nyopet anak sekolah sini?”
“Cih! Jaga tuh mulut loe! Harusnya gue yang nanya sama loe, kenapa loe ada di sini?! Di SMA Sarfagos kan dilarang ada gembel kaya loe ini.”
“Ish! Songong loe ya jadi orang! Situ ngerasa oke, hah?! Muka hina kaya gitu aja songongnya minta ampun!” Alvin menggeram. Baru kali ini ada orang yang berani menghinanya selain Rio dan Gabriel.
“Apa loe bilang?! Muka gue hina?! Cih! Muka loe tuh yang hina!”
“Kalau loe emang gak ngerasa hina ya gak usah sewot gitu kali. Aneh!” kata orang itu seraya melirik matanya sinis.
“Arrrggghhh!!! Kalau bukan cewek udah gue hajar loe!” gereget Alvin emosi. Namun dengan terpaksa Alvin memilih masuk ke toilet ketimbang harus buang-buang tenaga beradu mulut dengan orang yang menabraknya tersebut.
“Dasar cowok aneh!” lantas ia berbalik arah untuk mengambil kembali air yang tumpah tadi.
“Sivia!” belum sempat jauh melangkah, cewek tersebut berhenti setelah sebuah panggilan menyeruak masuk ke dalam gendang telinganya dengan keras.
“Heh?” responnya. Ya, cewek itu Sivia.
“Loe ke mana aja sih?! Gue cariin juga.” Sivia menunjukkan sebuah ember yang dipegangnya ke arah orang yang memanggilnya tadi. Ify.
“Loe bawa-bawa ember buat apaan, Vi?”
“Udah diem dulu jangan bawel! Gue ambil air bentar.” Ify mencibir perlahan.
“Mau ngapain sih tuh anak? Heran gue sama dia.” gumamnya kemudian. Akhirnya dengan terpaksa Ify mengikuti Sivia masuk ke toilet.
“Loe di mana, Vi?” teriak Ify perlahan. Matanya ia edarkan ke ruangan sekitar. Sepi.
“Tuh anak ke mana sih?” brak! Tiba-tiba suara berisik terdengar di toilet cowok. Sejenak, Ify tersentak dan sempat berteriak saat itu juga.
“Siapa di sana?” tanyanya takut-takut. Untuk sejenak tak ada jawaban sama sekali. Lantas membuat rasa penasaran Ify bertambah kuat. Ia melangkah mendekat ke tempat kejadian.
Hallo? Are you there, Sivia?” panggil Ify sembari mengendap-endap. Klek! Daun pintu terbuka dengan cepat, dan itu membuat Ify kaget sekaget-kagetnya.
“Setttaaaaaannnnnn!!!” teriak Ify begitu sosok Alvin tiba-tiba muncul di balik pintu. Sontak Alvin pun ikut-ikutan berteriak saat ia melihat Ify berteriak tepat di hadapannya itu.
“Loe ngapain di sini, hah?! Mau ngintipin gue?” tanya Alvin heran melihat Ify yang berada di toilet cowok.
“Lho, kak Alvin sih? Gue kira setan. Kak Alvin ngapain di sini?” respon Ify asal.
“Malah nanya balik lagi. Ini kan toilet cowok, elo yang ngapain di sini?” kesal Alvin.
“Heh? Ini toilet cowok?”
“Menurut loe?!”
“Lah, berarti gue salah tempat nih? Aduh!”
“Aneh loe, Fy! Minggir, gue mau ke kelas!” suruh Alvin seraya menyenggol pelan tubuh Ify.
“Tunggu dulu, kak!”
“Apa lagi sih?!” Alvin mendecak. Perasaan kesalnya yang tadi sempat dibuat oleh Sivia malah makin bertambah dengan ulah Ify tersebut.
“Baju sama celan kak Alvin kenapa basah gitu? Kak Alvin abis mandi?” tanya Ify yang langsung mendapat tatapan jengah dari Alvin.
“Bukan urusan loe!” tanpa berpikir lagi, Alvin segera beranjak pergi sebelum ulah Ify membuatnya semakin kesal.
“Lho, ini gimana sih?” kata Ify bingung sendiri.
“Ah, bodo! Mending gue juga cabut dari sini. Lagian Sivia ke mana sih? Ngilang-ngilang aja kaya setan.” tukasnya kesal. Lalu Ify menghentakkan kakinya lebar-lebar keluar toilet.

***


“Dasar cewek gila! Gila! Gila! Arrrggghhh!!!” Gabriel mendadak melongo tiba-tiba pas melihat tingkah Alvin yang baru datang sudah marah-marah tak jelas. Keningnya ia kerutkan seketika. Nih anak kesurupan apa gimana? batin Gabriel heran.
“Kenapa gue mesti ketemu sama cewek gila itu lagi sih?! Apes gue apes!”
“Kemaren gue dituduh pencopet, sekarang gue disiram. Arrrggghhh… shit!” oceh Alvin terus-terusan.
Wait! Wait! Wait! Calm down! Ada apaan? Loe kenapa marah-marah gak jelas gini? Loe kesambet?” tanya Gabriel dengan menyentuh kening Alvin tiba-tiba.
“Loe apa-apaan sih, Gab?!”
“Ya kali aja loe sakit. Lagian loe kenapa sih? Tiba-tiba muncul, terus tiba-tiba marah kaya cewek baru dateng bulan aja loe.” Alvin mendecak.
“Gue tau kok loe jomblo hina di sekolah ini, tapi bukan berarti loe marah-marah gak jelas gini kalau ditolak cewek. Kata Rio, hidup itu memang keras, Vin. So, loe yang sabar aja ya? Masih banyak kok cewek di luar sana.” ucap Gabriel asal. Tangannya ia rangkulkan perlahan ke pundak Alvin seakan memberi support agar Alvin kuat menghadapi cobaan yang di hadapinya.
“Loe pernah dilempar sepatu belum, Gab?!”
“Hmm… seinget gue sih belum. Why?” Alvin menggeram melihat tingkah Gabriel yang kali ini terlihat benar-benar seperti orang bodoh.
Shut up, Gabriel! Gue gak lagi bercanda.” gertak Alvin sambil melepaskan paksa rangkulan Gabriel. Dan itu membuat Gabriel semakin heran dengan tingkah salah satu sahabatnya ini.
“Heh? Yang bilang loe lagi bercanda siapa?” ia memasang tampang polosnya. Perlahan, Alvin berusaha menahan emosinya yang sudah di atas rata-rata. Kalau saja Gabriel bukan sahabat baiknya, mungkin Gabriel sudah babak belur dihajar Alvin.
“Gabriel, jomblo hina yang bener-bener terhina di sekolah ini, loe tuh ya kalau ngomong jangan asal jeplak aja kaya bemo! Dengerin penjelasan gue dulu kalau apa-apa tuh! Jangan asal nebak yang aneh-aneh gitu aja. Ngerti gue ngomong?”
“Aih… iya-iya gue ngerti. So, loe kenapa bisa marah-marah kaya gini?” belum sempat Alvin menjawab pertanyaan Gabriel, Rio tiba-tiba hadir dengan sumringahnya menyapa mereka seraya menggandeng seorang cewek cantik.
Whats up, brader! Sori nih gue baru gabung. Biasalah, si cantik yang satu ini minta ditemenin makan di kantin. Ya mau gak mau gue harus turutin.” ungkap Rio dengan mencubit manja pipi kanan cewek yang digandengnya tersebut. Alvin dan Gabriel hanya diam dengan menatap Rio aneh.
So?” kompaknya kemudian.
No! No! No! No! Sekilas info doang kok.” sergah Rio begitu melihat tatapan kedua sahabatnya yang seakan bilang, “Terus penting gitu buat gue?!”.
“Sayang, kamu duluan aja ya ke kelas? Entar aku nyusul. Aku mau ada perlu sama mereka. Oke?” ucap Rio halus.
“Ya udah deh, sayang. Tapi kamu jangan lama-lama ya? Nanti aku kangen…” mendadak, Alvin dan Gabriel merasakan ada sesuatu yang hendak keluar dari tenggorokannya itu. Mual. Mual melihat ulah Rio dan ceweknya yang sok romantis.   
“Tenang aja, sayang. Cuma bentar kok.” cewek itu mengelus lembut pipi Rio sebelum benar-benar pergi dari hadapan Rio dan kawan-kawan.
“Ngiri ya? Hahaha.” ledek Rio seraya ikut duduk di samping Alvin.
“Cih! Ngapain ngiri sama loe?! Model gitu sih banyak di pinggir jalan.” tukas Gabriel sengak.
“Enek, iya!” sambung Alvin singkat.
“Alah, munafik loe berdua. Bilang aja syirik sama gue. Secara gitu gue punya pacar, gak jadi jomblo hina kaya loe berdua ini. Hahaha.” plak! Jitakan kerasa mendarat di kepala Rio dua kali.
“Tuh mulut gak dikasih password apa gimana sih? Main jeplak aja kalau ngomong!” timpal Alvin super kesal. Ternyata Gabriel sama Rio itu gak ada bedanya. Menjengkelkan.
“Fakta brader, fakta! Gue gak pernah bohong kalau ngomong.” mereka berdua memutar matanya jengah. Songong banget nih anak! sewot Alvin dan Gabriel dalam hati. Mungkin.
“Iya gue akui kalau gue sama Alvin memang jomblo, tapi gak perlu ditambahin kata hina juga di belakangnya! Kesannya gue sama Alvin kaya bener-bener ngenes tau gak?!” aku Gabriel sedikit memperjelas kalu dirinya dan Alvin bukanlah jomblo hina seperti yang dikatakan Rio tadi.
“Mario, denger ya! Udah dua kali ini gue dibikin kesal sama orang, jadi gue harap loe gak bikin gue kesal untuk ketiga kalinya. Cukup Gabriel sama cewek gila itu aja yang bikin gue kesal siang ini. Ngerti?!” ujar Alvin penuh penekanan. Rio dan Gabriel saling pandang.
What? Cewek gila? Ada gitu cewek gila di sekolah ini?” tanya Rio penasaran. Gabriel pun mengangguk menyetujui pertanyaan Rio tersebut.
See my shirt!” tunjuk Alvin seraya merentangkan kedua tangannya.
“Kok bisa?”
“Masa gue disiram air sama tuh cewek? Udah gitu kemaren pas gue berangkat naik bis umum, gue dituduh pencopet pula sama dia. Apa itu bukan cewek gila namanya?” ungkap Alvin kembali kesal.
“Wah, nyari mati tuh anak! Anak kelas berapa dia, Vin?” Alvin mengangkat bahunya.
“Gue baru pertama kali lihat dia di sekolah ini. Anak kelas X kali.”
“Cantik gak, Vin? Boleh juga tuh kalau dia cantik.” sambung Rio mulai kacau.
“Perlu gue hajar gak nih anak?!” usul Gabriel yang seakan mengetahui apa yang ada di pikiran Alvin saat mendengar kata-kata Rio.
“Gak perlu, Gab! Buang-buang tenaga aja. Kesel gue lama-lama di sini.” gertak alvin sambil pergi meninggalkan kedua sahabatnya begitu saja.
“Loe sih!”
“Lho, gue salah apa emang? Kok nyalahin gue sih, Gab?”
“Pikirin aja sendiri!”

***


Hanya sebentar saja suasana kelas XI IPS 2 terlihat tenang. Sunyi. Dan bahkan sepi. Namun tidak untuk sedetik kemudian saat Alvin dengan tidak sengajanya  terjatuh dari tempat ia duduk. Tiba-tiba suasana kelas mendadak riuh begitu semua siswa dan siswi XI IPS 2 tertawa ke arah Alvin yang kini terduduk dengan ekspresi wajah kesakitannya. Meski rasa malu menyelimuti perasaan Alvin, tetapi Alvin berusaha untuk tidak salah tingkah. Ia bersikap seperti tidak ada sesuatu apapun yang terjadi.
“Diam semuanya!” teriak salah seorang guru yang memang saat itu mengajar di kelas Alvin. Maka para siswa yang tadinya tertawa terbahak-bahak pun akhirnya terdiam. Meski tak jarang juga ada yang masih menahan tawanya tanpa sepengetahuan sang guru tersebut.   
“Kamu gak apa-apa kan, Vin?” tanyanya seraya berjalan mendekati Alvin. Alvin menggeleng dan langsung tersenyum memaksakan ke arah sang guru.
“Ya udah kalau gitu silahkan kalian lanjutkan mencatat apa ibu suruh tadi.”
“Baik, bu!” koor anak-anak.
“Jangan pada berisik! Ibu mau keluar sebentar. Paham?”
“Iya, bu!” kelas kembali hening saat sang guru keluar dengan langkah tegasnya.
“Tadi sakit gak?” bisik Gabriel iseng. Entah itu salah satu pertanyaan konyol yang harus Alvin jawab atu tidak. Dan begitu melihat Alvin melotot ke arahnya, Gabriel langsung memamerkan deretan gigi putihnya cepat-cepat.
“Pantat loe masih utuh kan, Vin?” sambung Rio yang duduk di belakang Alvin dan Gabriel.
“Mau gue hajar apa mau gue pukul?!” respon Alvin dingin. Gabriel terkekeh.
“Gue kan nanya doang, Vin. Salah gitu ya gue nanya?”
“Loe napas aja udah salah. Pakai nanya!”
“Aih… nyesel gue nanya loe, Vin.”
“Hahaha…” sambung Gabriel dengan puasnya mentertawakan Rio.
“Diem loe, Gab!” sentak Rio kesal. Alvin lebih memilih diam kembali karena memang rasa perih di pantatnya belum juga hilang. Dan bahkan Alvin sempat keheranan kenapa ia bisa terjatuh dari kursi. Padahal sudah jelas-jelas kursi yang di dudukinya itu tidak ada tanda-tanda rusak sedikitpun. Aneh.

Baru saja Alvin dan kawan-kawan berhenti dari kegiatannya berbincang-bincang, sebuah ketukan pintu di depan sana terdengar. Sontak membuat mata para penghuni kelas itu tertuju ke arah daun pintu. Perlahan, pintu kelas dibuka dengan semangat. Puluhan prasangka pun banyak berkeliaran di otak para siswa kelas XI IPS 2 termasuk Alvin. Siapa sih? Ganggu aja! rutuk Alvin dalam hati. Kemudian sosok cewek berambut dikuncir satu dengan manisnya muncul dan tersenyum di balik pintu. Alvin tercengang seketika. Namun kemudian ia tersenyum meremehkan saat beberapa detik cewek itu melangkah masuk ke kelasnya.
“Permisi! Maaf nih sebelumnya aku udah ganggu waktu belajar kakak-kakak di sini, kenalin ya nama aku…” belum sempat cewek itu selesai berbicara, sahutan keras dari salah seorang siswa menimpali ucapannya.
“Udah langsung aja kasih tau apa maksud kedatangan kamu ke sini! Jadi kamu gak perlu ngenalin diri kamu sendiri, di sini gak ada yang mau kenal sama kamu. Ngerti?!” seisi kelas langsung tertawa mendengarnya. Terlebih semua siswa cowok di sana. Meski banyak juga yang tak menggubris sama sekali. Karena mungkin mereka terlalu sibuk dan lebih memilih fokus dalam mencatat tugas Bahasa Indonesia yang tadi sempat disuruh oleh sang guru. Ternyata di sekolah elite seperti SMA Sarfagos ini belum tentu menjamin kesopanan para siswanya. Cewek itupun mendengus kesal. Kakak kelas macam apaan ini? gumamnya sangat pelan.
“Oh, oke! No problem! Aku mendapat amanah dari Pak Alex untuk manggil salah satu siswa di kelas XI IPS 2 ini yang bernama kak Alexa Alvinandra Pratama. Apa kak Alexanya ada?” tanyanya dengan tetap berusaha seramah mungkin. Serta ditambah dengan ulasan senyum manisnya sembari menunggu respon para penghuni kelas yang kini di pijaknya itu.
“Heh? Alexa? Alexander Graham Bell kali! Hahaha.” ceplos Gabriel asal. Namun itu berhasil membuat seisi kelas kembali tertawa. Lagi-lagi cewek itu mendengus. Ia merasa kalau dirinya sudah masuk ke tempat yang salah. Sangat salah bahkan.
“Loe nyari yang namanya Alexa?!” tanya Alvin sinis seraya berjalan mendekati cewek tersebut. Dan dengan tatapan tajam, Alvin berjalan mengelilingi cewek itu seperti hendak memakannya hidup-hidup. Cewek itu hanya memutar mata melihat tingkah Alvin terhadapnya.
“Loe mau nyari Alexa apa mau nyari mati di sini, hah?!” tukas Alvin sembari frontal menyentuh dagu si cewek di hadapan teman-teman sekelasnya. Spontan, sebuah perlawanan pun keluar dari tangan cewek tersebut.
“Gue ke sini buat nyari kak Alexa ya! Bukan nyari masalah! Jadi loe gak perlu dan gak ada hak buat megang-megang gue! Ngerti?!” Alvin berdecak mendengarnya.
“Oh, berani loe bentak gue?! Oke!”
“Jangan sentuh gue!!!”
“Wuih songong nih anak!” kata Alvin ke arah teman-temannya. kontan membuat semua teman-teman Alvin saling melempar kode.
“Dia belum tau gue siapa kali ya? Cih!”
“Udahlah Vin, kasian dia.” tiba-tiba salah seorang teman Alvin yang mungkin merasa iba kepada cewek yang kini sedang dibully Alvin itu angkat bicara.
Why?! Gue dari tadi gak apa-apain dia kok. Ish!”
“Iya sih kamu gak apa-apain dia, tapi kamu udah buat dia malu dan tertekan di kelas kita. Toh dia ke sini dengan baik-baik kan? Kok kamu malah bully dia sih? Dia cewek lho.” merasa di tingkah lakunya ditentang, Alvin mulai naik emosi.
“Mau dia cewek kek, cowok kek, gak ngaruh buat gue!!! Asal kalian tau ya, dia itu udah bikin malu gue lebih dari yang gue lakuin ini ke dia! Dia udah nuduh gue copet, terus dia juga udah nyiram gue pakai air sampai semua baju gue basah kuyup. Cewek macam apaan coba?! Setimpal sama yang gue lakuin ke dia barusan? Iya?!” bela Alvin kemudian. Matanya menatap satu per satu siswa yang ada kelas tersebut.
“Oh… jadi ini cewek yang loe maksud, Vin? Hmm… cantik juga!” sambung Rio asal. Namun Alvin tak menggubris kata-kata Rio sama sekali. Ia terlalu fokus menatap mangsanya yang kini berdiri dengan pose tubuh yang menantang. Cewek itu tak lain adalah Sivia. Cewek yang telah membuat hari Alvin akhir-akhir ini terasa sangat menjengkelkan dari biasanya. Bahkan lebih dari menjengkelkan.
“Cukup!!! Sekali lagi gue bilang, gue ke sini buat nyari kak Alex. Jadi tolong jangan buang-buang waktu gue. Gue gak ada urusan sama loe!” tegas Sivia yang benar-benar marah karena telah dipermalukan oleh Alvin.
“Apa loe bilang? Gue buang-buang waktu loe? Cih! Kaya gak ada kerjaan lain aja buat gue buang-buang waktu loe.” kepala Sivia mulai panas. Kakinya juga sudah mulai tak sabar untuk keluar dari tempat aneh itu. Namun baru saja Sivia akan melangkah pergi, tangannya dicengkeram kuat oleh Alvin.
“Gue Alexa! Loe mau apa, hah?!” tantang Alvin tepat di hadapan wajah Sivia. Sejenak, Sivia tergelak mendengar pengakuan dari Alvin. Oh my God! Dia Alexa? Alexa anaknya Pak Alex? Kakaknya kak Cakka dan sepupunya Ify?!  batin Sivia syok. Ia tak menyangka kalau sosok inilah yang juga bagian dari keluarga Alexandra Pratama. Sosok yang tak sepantasnya ada di antara keluarga terhormat tersbut.
“Kenapa loe diem? Kaget denger nama gue Alexa? Cih! Atau loe mulai nyesel udah bikin urusan sama gue?!” tukas Alvin. Sivia tetap berusaha santai menghadapi Alvin. Ia pun membuang napas gusar.
“Oh, jadi loe yang namanya Alexa? Bagus deh kalau gitu, loe dipanggil tuh sama Pak Alex! So, urusan gue di kelas ini udah selesai. Jadi mohon lepasin tangan gue! Permisi!” ucap Sivia cepat-cepat. Tangannya ia hentakkan dari genggaman keras seorang Alvin.
“Jangan harap loe bisa pergi gitu aja dari gue!” Alvin langsung mencengkeram kembali pergelangan tangan Sivia sebelum Sivia benar-benar pergi meninggakan kelasnya.
“Apaan sih?! Lepasin! Gue mau ke kelas!”
“Gue gak bakal lepasin sebelum loe mau minta maaf sama gue! Ngerti?!” suasana kelas pun sedikit demi sedikit mulai riuh. Alvin kini bagaikan pemeran antagonis yang mencapai titik klimaksnya.
“Lepasin!!!” berontak Sivia lagi. Genggaman tangan Alvin begitu keras dirasakannya. Rio dan Gabriel serta anak-anak lain yang mungkin merasa iba dengan Sivia pun hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mereka terlalu takut untuk mencampuri urusan Alvin.
“Jangan coba-coba bentak gue! Ngerti?!”
“Gue mau pergi! Loe punya telinga gak sih?!” Alvin tetap teguh dengan pendiriannya. Bahkan parahnya Alvin semakin keras menggenggam tangan Sivia sampai Sivia merasa kesakitan. Dan lagi, seisi kelas XI IPS 2 semakin kebingungan dibuatnya.
“Oke-oke gue minta maaf! Puas?! Sekarang gue mohon lepasin tangan gue! Please…
“Cih! Model gini nih yang harus dikasih pelajaran. Loe pikir gue mau gitu aja maafin loe, hah?! Minta maaf yang bener!!!”
 “Vin, udahlah!”
“Gue gak minta loe buat ikut campur, Mario!” bantah Alvin sewaktu Rio hendak mencegah aksinya terhadap Sivia. Seakan mendapat hipnotis, Rio mendadak diam kembali. Begitupun siswa yang lainnya.
“ Cium kaki gue sekarang juga!!!” perintah Alvin yang langsung membuat Sivia tergelak. Kali ini ia benar-benar tidak bisa berbuat lebih. Ia merasa tak bisa berkutik di hadapannya banyak orang seperti sekarang ini.
“Cepetan cium kaki gue!!! Loe punya telinga gak sih?! Atau loe emang tuli, hah?!” bentak Alvin lagi. Sivia kembali tersentak. Entah kenapa rasa berani yang ada di diri Sivia perlahan memudar, ia begitu takut akan tatapan Alvin yang sangat menusuk menurutnya. Selain itu, respon teman-teman Alvin yang seakan tak ada rasa keperdulian itu bahkan menambah tekanan pada jiwa Sivia. Entahlah. Rasanya tak mungkin juga Sivia harus berteriak meminta tolong keluar sana. Sivia sadar dengan siapa ia sedang berurusan sekarang. Seorang anak dari pemegang saham terbesar di SMA Sarfagos. Sekolah yang sudah memberikannya beasiswa hingga lulus nanti.
“CEPETAN!!!” Alvin menghentakkan genggamannya dengan keras sehingga Sivia terjatuh dan bersimpuh di bawah lututnya.  Dan akhirnya dengan rasa penuh keterpaksaan, Sivia pun berusaha mendekatkan wajahnya ke kaki Alvin.
“LAMA!!!” ditoyornya kepala Sivia sadis. Sedetik… dua detik… tiga detik… empat detik… dan hendak saja Sivia menempelkan kedua bibirnya ke kaki Alvin, tiba-tiba seseorang mengangkat tubuhnya untuk bangun. Dan orang tersebut langsung menyembunyikan Sivia di belakang tubuhnya.
“Bukan gini caranya buat minta maaf!!!” ketusnya keras. Alvin lantas mendecak. Usahanya untuk membuat Sivia kapok itu gagal total akibat kedatangan adiknya yang tak terduga tersebut. Ya, orang yang menolong Sivia dari keisengan Alvin itu adalah Cakka. Cakka Pratama yang entah sebuah kebetulan ataupun apa tiba-tiba datang dan menolong Sivia dari bullyan seorang Alvin serta teman-teman sekelasnya.
“Loe apa-apaan sih?!” gertak Alvin kesal. Cakka tertawa sinis melihatnya. Sedangkan semua anak-anak kelas XI IPS 2 yang lainnya sejak tadi cuma bisa saling pandang satu sama lain. Entah apa yang sekarang mereka tonton di depan kelas mereka tersebut. Mereka sendiri bingung harus berbuat apa kalau sudah seperti ini.
“Loe tuh yang apa-apaan?! Apa menurut loe pantas seorang cowok memperlakukan seorang cewek seperti ini, hah?! Loe keterlaluan, Vin! Kecewa gue sama loe! Loe bener-bener pengecut!” tukas Cakka seraya terus memegangi tubuh Sivia yang bersembunyi di punggungnya.
“Udah berani nyeramahin gue sekarang?! Cih! Mendingan sekarang loe pergi dari kelas gue sebelum tangan gue lepas kendali, Cak! Dan lepasin cewek itu sekarang juga!” pinta Alvin kasar. Ia berusaha menarik Sivia dari perlindungan Cakka. Namun Cakka terus-terusan mencegahnya.
“Loe jangan pernah berani ikut campur urusan gue. Ngerti?!” ketusnya.
“Jujur, selama ini gue gak pernah mau ikut campur urusan loe. Tapi untuk satu ini gue gak bisa tinggal diam, Vin. Loe udah keterlaluan tau gak?!” tanpa menunggu lama lagi, Cakka menuntun paksa tubuh Sivia untuk keluar dari tempat tersebut.
“Dan satu lagi, gue kecewa sama loe semua! Loe semua gak ada bedanya sama Alvin! Pecundang!” tukas Cakka di ambang pintu kelas. Ia menatap sinis ke semua anak-anak kelas XI IPS 2.
Shit!” geram Alvin kesal. Suasana panas yang sempat terjadi beberapa menit di kelas XI IPS 2 itupun akhirnya mereda seiring berjalannya Alvin keluar kelas untuk menemui sang orang tua yang seperti dibilang Sivia sebelumnya..

Tak lupa juga Gabriel dan Rio yang memang sangat syok melihat sikap Alvin terhadap Sivia tadi. Baru kali ini mereka mengetahui kalau Alvin lagi marah itu seperti apa. Menyeramkan. Mereka melongo. Entah itu benar-benar Alvin atau bukan yang mereka lihat barusan. Sungguh semua ini tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Itu beneran Alvin, Gab?” tanya Rio di tengah-tengah keheranannya. Gabriel menggeleng cepat.
I don’t know, Mario! I’ve never seen this before. Mungkinkah itu Alvin yang sebenarnya? Oh my God!” Gabriel lagi-lagi menggeleng.

***


Cakka mencengkeram kuat pergelangan tangan Sivia sambil berjalan sedikit kencang. Matanya terlihat begitu emosi setelah mengetahui perlakuan Alvin selaku kakak kandungnya terhadap Sivia tadi. Sedangkan Sivia yang diseret-seret Cakka tersebut hanya bisa pasrah ke mana ia akan dibawa oleh cowok tersebut. Sampai akhirnya Cakka berhenti di salah satu sudut sekolah dan menyenderkan tubuh Sivia di salah satu tiang.
“Loe gak apa-apa kan, Vi?” disentuhnya kedua pipi Sivia perlahan. Sivia tak merespon. Ia menutup matanya kuat-kuat.
“Sivia?” lirih Cakka.
“Kamu gak apa-apa kan? Apa aja yang Alvin lakuin sama kamu tadi?” tanya Cakka dengan merubah gaya bahasanya tiba-tiba. Perlahan, Sivia menarik napas panjangnya dan kemudian menggeleng cepat.
“Aku gak apa-apa kok, kak. Kak Alvin juga gak apa-apain aku.” Sivia melepaskan sentuhan tangan Cakka di pipinya. Ia terlalu lemah untuk menatap mata Cakka lama-lama. Apalagi jaraknya yang sangat dekat saat itu.
“Kenapa kamu nurut aja dipermalukan Alvin di depan kelasnya, Vi? Kamu itu bukan tontonan, kamu berhak nolak.”
“Gak tau kenapa aku gak bisa nolak, kak. Kak Alvin bener, aku emang salah.” lirih Sivia pelan. Rasa sesal dan emosinya menyatu. Entah pantas atau tidak untuk Sivia marah di posisinya saat itu.
“Tapi yang namanya minta maaf gak mesti cium kaki kan, Vi? Terus kalau seandainya tadi aku gak dateng, kamu bakal beneran cium kaki Alvin? Iya?!” tanya Cakka lagi. Kini dibarengi dengan tawa sinisnya. Sivia terdiam sesaat.
“Mungkin…”
“Ck! Sivia… Sivia…” Cakka berbalik badan membelakangi Sivia. Matanya ia pejamkan sesaat. Ia sedikit menyanyangkan akan sikap Sivia tersebut.
“Alvin memang seperti itu orangnya. Keras. Dan bahkan dia berani ngelakuin apa aja yang dia mau. Tapi…” Cakka menghela napas sebentar sebelum melanjutkan ucapannya.
“Tapi setau aku, Alvin itu gak pernah jahat sama cewek. Bahkan berurusan sama cewek sedikitpun dia gak mau.” lanjutnya semakin perlahan. Ia berbalik dan menatap wajah Sivia yang langsung terlihat bingung.
“Terus kenapa kak Alvin jahat sama aku, kak? Apa karena aku siram dia tanpa sengaja? Apa karena aku udah nuduh dia sebagai pencopet? Atau memang karena kak Alvin itu bener-bener jahat tanpa sepengetahuan kak Cakka?” tukas Sivia mulai ego.
“Aku gak tau, Vi. Aku juga gak habis pikir kenapa Alvin bisa tega sama kamu.” Sivia berdesis.
“Aku harus minta maaf sama kak Alvin, kak.” lirih Sivia yang berhasil mengernyitkan kening Cakka seketika.
“Vi… udahlah! Toh tadi kamu udah minta maaf juga kan sama dia? Jadi gak perlu lagi kamu minta maaf.”
“Tapi aku kepengen minta maaf yang bener-bener sama kak Alvin, kak. Biar aku gak ada masalah lagi sama dia di sekolah ini.”
“Tapi?”
“Aku gak mau ada urusan sama dia, kak. Mungkin kalau aku minta maaf sama kak Alvin, kak Alvin gak bakal ganggu aku lagi. Dan aku… aku gak mau lagi ketemu sama yang namanya kak Alvin, kak.” ucap Sivia lagi datar. Sekaligus dengan tatapan mata yang penuh keyakinan kalau ucapannya tersebut tidak bisa diganggu gugat. Sampai Cakka juga tak tau harus berbicara apa lagi di hadapan cewek tersebut. Mulutnya tiba-tiba seakan terbungkam begitu melihat tatapan gadis di depannya itu yang sulit untuk diartikan. Sedetik, Cakka merangkul pundak Sivia dan membawanya pergi dari tempat tersebut.

***


“Shi1llaaaaaa!!! OMG! OMG! OMG! Kamu harus lihat itu, pokoknya kamu harus lihat!!!” heboh Zahra saat matanya tertuju pada sosok cowok yang memang tak asing lagi di matanya.
“Apaan sih, Ra?” tanya Shilla sembari mengikuti arah telunjuk Zahra. Sedetik, Shilla membukakan mulutnya syok. Mengapa tidak, cowok yang baru saja dibincangkannya itu kini muncul dan berjalan tak jauh dari tempat Shilla dan Zahra duduk dengan merangkul seorang cewek yang tak dikenal.
“Itu kak Cakka sama siapa, Shil? Pacarnya ya?” tanya Zahra penasaran. Shilla menggeleng walaupun matanya tetap fokus menatap Cakka dan cewek yang dirangkul Cakka tersebut.
“Kayanya beneran pacarnya deh. Kan gak mungkin juga kak Cakka meluk-meluk cewek kaya gitu kalau bukan sama ceweknya?” ujar Zahra tanpa henti. Namun Shilla tak merespon. Bahkan mungkin Shilla sama sekali tidak mendengar apa yang dibilang Zahra barusan karena saking sibuknya menebak-nebak siapa cewek yang bersama Cakka itu.
“Cie… ada yang kalah saing nih kayanya. Hehehe.” ledek Zahra tiba-tiba.
“Zahraaaaaa!!! Diem deh! Toh belum tentu juga itu pacarnya kak Cakka kan?”
“Iya juga sih. Hmm… dia siapanya kak Cakka ya kira-kira? Atau jangan-jangan dia adiknya kak Cak…” belum sempat Zahra selesai berbicara, Shilla langsung memotongnya.
“Aku mau samperin mereka.” kata Shilla yakin. Kakinya sudah bersiap-siap untuk melangkah mendekati Cakka dan cewek tersebut.
“Shilla?!” panggil Zahra pelan. Namun Shilla sudah terlanjur jauh dari hadapannya.

Shilla berdiri di pinggiran koridor seraya tersenyum ke arah Cakka yang memang akan berjalan melewatinya. Tak lupa juga Shilla menyunggingkan senyuman termanisnya begitu Cakka sudah mendekat.
“Hai, kak Cakka!” sapanya kemudian. Cakka menghentikan langkahnya sejenak. Begitupun cewek yang dirangkulnya.
“Eh, hai! Kamu itu, Shi…” respon Cakka lupa-lupa ingat dengan nama Shilla.
“Shilla, kak.”
“Oh iya, Shilla. Maaf ya kakak hampir lupa. Ada apa deh?” Shilla tersenyum.
“Enggak ada apa-apa kok, kak. Shilla cuma mau nyapa kakak aja. Oh iya kak, ini siapa? Pacarnya kak Cakka ya? Kok gak dikenalin sama Shilla sih?” Cakka mengernyit mendengarnya.
“Oh, bukan kok! Ini Sivia, temen kakak.” jelas Cakka sigap sambil menatap cewek di sampingnya.
“Oh gitu ya, kak? Hai kak Sivia! Kenalin, aku Shilla.” sangat antusias sekali Shilla langsung mengulurkan tangan.
“Hai, aku Sivia. Eh, jangan manggil kakak dong. Aku masih kelas X kok. Manggil nama aja ya?” jelas Sivia tanpa ragu. Shilla membulatkan mulutnya.
“Oh ya? Kamu kelas apa emang?”
“Aku kelas X.1. Kamu?”
“Oh, kelas X.1 ya? Berarti kamu pinter dong? Aku kelas X.4. Salam kenal ya, Sivia?” Sivia tersenyum.
“Oh, enggak juga kok. Mungkin kebetulan aja aku masuk kelas X.1.”
“Oh, gitu. Hmm… tapi bentar deh, kamu abis nangis ya? Kok matanya sembab gitu sih?” tanya Shilla heran. Sivia pun mengernyit dan langsung menatap wajah Cakka tiba-tiba.
“Oh, enggak kok. Tadi aku kelilipan doang. Ya udah kalau gitu aku ke kelas duluan ya Shilla, kak Cakka? Makasih sebelumnya buat kak Cakka udah nganterin aku. Aku duluan ya? Bye!” pamit Sivia buru-buru.
“Vi, bareng!” panggil Cakka.
“Gak usah kak, kelas kita kan beda arah. Toh ada Shilla juga kan?” ucapnya ramah. Lantas Sivia kembali melangkahkan kakinya lebar-lebar. Mendengar respon Sivia tersebut, Cakka mengangkat bahunya maklum.

Cakka dan Shilla berdiri mematung. Tak ada komunikasi sedikitpun di antara mereka. Yang ada mereka cuma berdiam diri walaupun sesekali mata mereka bertemu dan bahkan saling senyum dalam hitungan detik saja. Sampai akhirnya Shilla memberanikan diri untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Kak?” ucapnya pelan. Cakka menengok dengan tatapan bertanya. Aduh, matanya! rutuk Cakka dalam hati saat melihat tatapan mata Shilla yang begitu lekat.
“Iya, kenapa?”
“Hmm… Shilla mau minta maaf sama kakak. Kakak mau kan maafin Shilla?” meski sedikit ragu-ragu, Shilla pun berusaha sebisa mungkin menatap mata Cakka yang saat itu terlihat bingung.
“Heh? Emang Shilla salah apa sama kakak? Setau kakak, Shilla gak pernah ada salah sama kakak.” jelas Cakka seadanya.
“Hmm… itu, soal kejadian kemarin.”
“Kemarin?” kata Cakka seraya mengangkat salah satu alisnya. Shilla pun mendengus tanpa sepengetahuan Cakka. Masa kak Cakka lupa sih? Apa jangan-jangan kak Cakka emang sering digituin sama cewek? Ish! rutuknya dalam hati.
“Iya. Shilla mau minta maaf karena kemarin Shilla udah berani cium kakak. Kak Cakka mau kan maafin Shilla?” ucap Shilla memohon.
“Oh masalah itu toh. Hmm… gak apa-apa kok. Kakak gak marah. Cuman kakak kaget doang sih kemarin.” balas Cakka seraya tersenyum.
“Beneran kak Cakka gak marah?” Cakka mengangguk.
“Makasih ya, kak? Shilla janji deh Shilla gak bakal kaya gitu lagi.” Shilla menggesek-gesekan kedua telapak tangannya. Entah kenapa Shilla merasa sangat senang sekali saat ini.
“Oh iya Shil, kamu gak masuk?” tanya Cakka mulai heran. Padahal di semua sudut sekolah itu terlihat sepi. Hanya ada mereka berdua saja yang berkeliaran di luar kelas.
“Shilla free belajarnya, kak. gurunya gak masuk. Lah, kak Cakka sendiri kenapa gak di kelas?” tanya balik Shilla ikut heran. Perlahan, mereka pun berjalan menyusuri koridor.
“Tadi kakak abis ke toilet, Shil. Toh kelas kakak juga sama kaya kelas kamu, lagi free.” jelas Cakka rinci. Shilla mengangguk seketika.
“Shil?”
“Heh?”
“Kamu mau kantin bareng kakak gak? Ya, hmm… kalau gak mau juga gak apa-apa sih, kakak bisa ke kantin sendirian.” tawar Cakka ragu-ragu. Karena sebelumnya Cakka hanya berniat mengajak Sivia dan  tidak ada niat sedikitpun untuk mengajak Shilla ke kantin, tapi karena Sivia sudah izin ke kelas lebih dulu, dan sekarang hanya ada Shilla di sampingnya itu jadi mau gak mau Cakka mengajak yang ada.
“Hmm… gimana ya? Kakak gak malu emang ke kantin sama aku? Entar kalau kakak diledek sama temen-temen kakak gimana?”
“Lho, kenapa mesti malu?”
“Ya gak apa-apa, takut aja.” Shilla memamerkan giginya malu-malu.
“Jadi mau atau enggak nih?”
“Mau deh kak!”
“Ya udah yuk!”

***


Alvin memandang wajahnya dalam-dalam di depan cermin kamar mandi. Wajahnya pun yang masih basah akibat guyuran air itu sengaja tak diusapnya. Ia terlalu fokus memandang dirinya. Memandang apa yang terjadi pada dirinya siang tadi. Di mana ia begitu teganya mempermalukan seorang cewek di depan teman-teman kelasnya. Apa itu sudah keterlaluan? Mungkin. Alvin saja baru menyadarinya sekarang.
“Arrrggghhh!!! Shit!” geram Alvin sembari mengacak rambut hitamnya. Lagi, Alvin membasuh raut wajahnya.
“Sejak kapan loe jadi pecundang kaya gini, Vin?! Sejak kapan, hah?!” ia menatap sinis ke arah cermin seakan sedang berbicara dengan seseorang.
“Hahaha… loe pecundang, Vin! Loe pecundang!!!” Alvin tertunduk kemudian. Matanya ia pejamkan kuat-kuat, berharap kejadian tadi siang itu hilang tiba-tiba di pikirannya. Tapi percuma juga, semakin Alvin menutup matanya, semakin pula wajah Sivia terlihat jelas sedang menatapnya penuh amarah.
“ Cium kaki gue sekarang juga!!!”

“Cepetan cium kaki gue!!! Loe punya telinga gak sih?! Atau loe emang tuli, hah?!”

“CEPETAN!!!”

“LAMA!!!” semua kalimat-kalimat sadis yang sempat Alvin keluarkan di hadapan Sivia itu tiba-tiba menyeruak di gendang telinganya tanpa komando.
“ENGGAK!!! GUE GAK MAU JADI PECUNDANG!!! GUE GAK MAU JADI PENGECUT!!! GUE GAK MAAAAAAUUUUUUU!!!” bantah Alvin dengan menutup kedua telinganya kuat-kuat. Namun entah kenapa kalimat itu terus berbunyi dengan sangat kencangnya sampai Alvin goyah dan menjatuhkan tubuhnya di bath up. Shower yang sedari tadi tak henti mengeluarkan air itupun dibiarkan Alvin begitu saja.
“Loe tega banget sama gue, Vin! Ya, loe tega! Loe udah mempermalukan gue di depan teman-teman loe. Loe pecundang!!! Setega itu loe sama cewek, Vin? Cih!”

“Apa cuma gara-gara gue nuduh loe pencopet sama nyiram baju loe, loe nyuruh gue cium kaki loe di depan temen-temen loe? Iya?! Jangan mentang-mentang loe anak dari pemilik saham terbesar di sekolah ini, terus loe bisa bertindak apapun semau loe dan sesuka hati loe? Iya?! Jawab, Vin! Kenapa loe diem, hah?!” kini giliran bayang-bayang Sivia yang seakan benar-benar hidup dan memaki-maki Alvin. 
Please... berhenti!!!” Alvin mengeratkan rahangnya kesal.
“Loe tega tau gak!”
“Diem loe!!! Iya, gue tau gue salah! Gue nyesel udah bikin loe malu di depan temen-temen gue.” Alvin mencoba menepis bayang-bayang Sivia yang memang tak jauh dari posisinya tersebut.
“Loe pengecut!!! Loe pecundang!!! Loe beraninya sama cewek!!! Loe beraninya di kandang sendiri!!! Loe…”
“Dieeeeeeemmmmmm!!!” lagi, Alvin menutup telinganya keras. Sekeras mungkin yang bisa ia lakukan. Kemudian semuanya menyepi. Hanya gemericik air yang keluar dari shower saja yang terdengar saat itu.   

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar