@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Kamis, 21 November 2013

He-art 1st


Love at First Sight


Alexandra Paratama. Salah seorang pemegang saham terbesar di SMA Sarfagos. SMA terpopuler yang namanya sudah melambung ke berbagai pelosok Indonesia hampir dua dekade ini karena memang banyak menciptakan alumni-alumni terbaik setiap periodenya. Bahkan tak sedikit juga lulusan dari SMA Sarfagos yang mampu menembus perguruan-perguruan tinggi ternama di Indonesia maupun di luar negeri. Selain itu, Alexandra Pratama itu merupakan pengusaha kaya yang perusahaannya terkenal dan terdapat di mana-mana. Selaku pencetus logo “Alex-art” itu memang sudah berpuluh-puluh tahun ini berkecimpung di dunia bisnis, sifatnya yang sangat baik dan ramah serta kinerjanya yang gesit dan perfectionist dalam bekerja itu menjadikan dirinya salah seorang atasan yang disegani oleh para bawahannya. Maka tak jarang juga banyak perusahaan besar lainnya yang ingin bekerjasama dengan perusahaan yang dipegang beliau tersebut.
Di sisi lain, Alexandra Pratama atau yang lebih akrab dipanggil Pak Alex ini memiliki dua orang anak laki-laki yang sudah remaja. Namanya Alexa Cakka Pratama dan Alexa Alvinandra Pratama. Dua anak laki-laki yang sering dipanggil Cakka dan Alvin itu hanya berbeda usia satu tahun. Dan sekarang mereka merupakan siswa kelas XI di SMA milik orang tuanya tersebut. SMA Sarfagos. Sebagai single parent, Pak Alex cukup kesulitan mengawasi dan mengontrol kedua anaknya yang memang butuh pengawasan lebih di usianya yang beranjak remaja tersebut. Apalagi Alvin dan Cakka mempunyai sifat dan karakter yang bertolak belakang itu membuat Pak Alex semakin sulit memberikan pengertian-pengertian serta wejangan-wejangan yang harus Alvin dan Cakka pegang teguh di masa-masa remajanya saat ini. Karena faktanya memang Alvin dan Cakka lah yang nantinya akan meneruskan perusahaan yang dipegang oleh Pak Alex sekarang.
“Papi gak mau denger lagi alasan kamu! Pokoknya mulainya sekarang Papi mau cabut semua fasilitas yang Papi berikan sama kamu! Mobil, motor, ATM, semuanya Papi sita!!!” tegas Pak Alex di hadapan salah satu anaknya. Alvin. Sedangkan Alvin yang sedari tadi hanya diam pun akhirnya angkat bicara.
“Heh? Papi ini apa-apaan sih?! Terus nanti kalau Alvin mau berangkat ke sekolah gimana? Dan kalau sewaktu-waktu Alvin butuh uang karena urusan mendadak mau pakai apa coba? Kalau ATM-nya aja disita kaya gitu.” bela Alvin seraya berdiri.
“Itu hukuman buat kamu. Toh kamu bisa naik mobil umum kan ke sekolah? Terus kalau kamu butuh uang, Papi udah siapin kok uang seratus ribu buat seharinya.”
“Seratus ribu?! Mana cukup uang segitu buat Alvin, Pi? Buat makan aja gak cukup, apalagi sekarang harus pakai mobil umum ke sekolah. Belum beli pulsa, traktir temen-temen, hang-out, dan lain-lain. Sadis banget sih sama anak sendiri, Pi?”
“Sekali lagi Papi bilang, Papi gak mau denger alasan apapun dari kamu. Titik! Papi mau tidur.”
“Pi, come on!” kata Alvin sedikit memelas. Pak Alex tetap tak menghiraukan. Beliau hanya berjalan lurus meski anaknya terus-terusan merengek di belakangnya.
“Papi! Please, pikirin sekali lagi. Masa Papi tega biarin Alvin miskin mendadak? Entar kalau Alvin dijauhin sama temen-temen Alvin gimana? Papi mau tanggung jawab?” Alvin terus mengetuk pintu kamar Papinya yang sudah ditutup itu.
“Kalau temen-temen kamu itu memang benar-benar menganggap kamu sebagai temen, pasti mereka gak bakal pandang bulu. So, why should you be afraid?
“Papi!!!”
“Papi mau tidur. Mending kamu juga tidur sana, besok sekolah.”
“Alvin gak mau tidur sebelum Papi ngabulin permohonan Alvin. Dan Alvin akan tetap di sini, Pi.”
“Permohonan apalagi?” Pak alex pun membukakan pintu kamarnya perlahan. Sudah cukup sabar beliau menghadapi anaknya yang satu ini.
“Papi harus batalin semua keputusan Papi tadi!”
“Oh, jadi itu yang kamu mau?” Alvin mengangguk sambil tersenyum.
“Kalau gitu Papi turunin uang jajan kamu jadi lima puluh ribu sehari!”
“Heh?”
“Tiga puluh ribu!”
“Papi sadis banget sih sama Alvin?!”
“Dua puluh…”
“Oke-oke Alvin bakal pergi dari sini! Tapi Alvin mohon ya ditambahin lagi jadi seratus lima puluh? Oke, Pi?”
“Sepuluh ribu!”
“Ish! Iya… iya… iya… Alvin pergi nih dar sini.” kesal Alvin seraya berjalan mundur meninggalkan Papinya yang kini menggelengkan kepalanya heran melihat tingkah sang anak tersebut.

***


“Heh! Bisa diem gak sih loe jadi orang? Geser-geser mulu dari tadi.” bentak salah seorang cewek berjaket biru seraya melotot sinis ke arah cowok yang sejak tadi duduk gelisah di dalam sebuah mobil umum. Cowok itu tak menggubris sedikitpun perkataan si cewek tadi. Malah ia terus-terusan sibuk mengibaskan kerah bajunya karena kegerahan.
“Ih! Loe tuh kenapa sih?! Oh, atau jangan-jangan loe mau nyopet gue ya?! Ngaku loe!” tuduh cewek tersebut tak diduga.
“Heh? Enak aja loe nuduh gue copet! Gak nyadar apa muka gue segini kecenya?!”
“Ngaca dulu kalau mau ngomong!”
“Loe tuh yang mestinya ngaca! Lagian kalau pun gue copet nih ya, gue bakal milih-milih dulu mana yang pantas buat dicopet! Model gini aja mana ada duitnya?!” sindir si cowok dengan senyum meremehkannya.
“MAKSUD LOE?!”
Whatever you say, bad girl!
“Tolong ada copet!!!”
“Heh?!”
“Tolong ada cop…”
“Diem gak loe!” ancam si cowok sambil membekap paksa mulut si cewek. Sedetik, tatapan para penumpang lain tertuju ke arah dua orang tersebut.
“Maaf, gangguan jiwa.” bisik si cowok pelan. Lantas membuat para penumpang lain langsung mengangguk paham. Sedangkan si cewek tadi masih saja berusaha melepaskan tangan si cowok dari mulutnya.
“Gue bakal lepasin tangan gue kalau loe mau diem. Ngerti?!”
“Oke.” lanjut si cowok setelah si cewek dengan sangat terpaksa menyetujui ancamannya tadi.
“Dasar cowok gila loe!!!”
Stop, Bang!” ucap si cowok tanpa merespon perkatan si cewek yang belum dikenalnya itu. Lalu ia turun dengan santainya setelah sebelumnya memberikan selembar uang ke sang kondektur.

***


SMA Sarfagos

Cakka melangkah menelusuri koridor kelas dengan gaya seperti biasanya. Cool. Namun tetap diiringi dengan ulasan senyum di bibirnya yang begitu mempesona bagi siapa saja yang melihatnya. Wangi parfumnya yang khas serta aura bintangnya yang begitu kuat itu membuat para cewek mudah menebak kedatangannya. Seperti saat ini, sudah banyak fans-fans Cakka yang selalu setia menyambut kedatangannya acapkali ia lewat di depan kelas mereka masing-masing.
“Hai, ganteng!” Cakka hanya tersenyum seraya melambaikan tangan tiap kali ada orang yang menyapanya seperti itu.
“Cakka, gue mau foto dong sama loe!” pinta salah seorang cewek dengan gugupnya.
“Oh, boleh kok. Ayo!”
“Gue pinjem Cakka dulu bentar!” serobot Alvin tiba-tiba. Lantas membuat Cakka mengangkat alisnya heran serta pasrah begitu tangannya ditarik Alvin keras. Begitupun cewek tadi yang langsung menekuk wajahnya karena Alvin telah merusak momen yang harusnya menjadi momen yang tak terlupakan itu. Kapan lagi coba foto sama Cakka?
“Loe kenapa sih, Vin?”
“Udah deh! Tadi pagi loe kenapa cabut duluan? Mau biarin gue sengsara naik bis umum?” tukas Alvin tanpa memikirkan Cakka yang tidak tau apa-apa.
“Hah? Bukannya dari dulu loe sama gue gak pernah berangkat bareng ya? Motor sama mobil loe kenapa?”
“Jangan pura-pura bego deh loe! Mobil sama motor gue disita bokap!”
“Lho? Kok bisa gitu?”
Shut up,Cakka! Loe kan yang bilang sama bokap kalau semalem gue balapan motor? Ngaku gak loe?!”
“Loe balapan motor?”
“Gue minta loe jawab pertanyaan gue, bukan malah balik tanya!” ketus Alvin mulai kesal dengan ulah Adiknya itu.
“Tapi gue emang…”
“Jawab pertanyaan gue!!!” Cakka langsung menggeleng.
“Serius loe gak bilang sama bokap?”
“Seriusan gue gak tau apa-apa masalah ini. Kenapa sih?”
“Oh, oke! Mana kunci motor loe?”
“Kunci motor gue?”
“Iya, siapa lagi?!”
“Buat apaan?”
“Udah jangan banyak omong! Mana kunci motor loe?”
“Tapi…”
“Ah, lama!” rebut Alvin tiba-tiba. Cakka mendengus.
“Oh iya, bagi duit dong! Gue gak dikasih duit nih sama bokap.”
“Ck! Loe ada ATM kan? Ngapain loe minta duit sama gue?”
“Alexa Cakka Pratama, dengerin ya! Semua fasilitas yang gue punya itu disita sama bokap. Udah sini cepetan bagi duitnya! Masa loe tega sih sama kakak sendiri?”
“Heh? Gak bohong kan loe?”
“Ada gitu tampang gue bohong? Udah sini cepetan!”
“Iya-iya sabar.” kata Cakka cukup simpati sama musibah yang dialami saudaranya tersebut.
“Entar pulang sekolah loe naik bis umum. Jangan bilang-bilang bokap kalau gue pakai motor loe! Oke, brader?”
“Iya tenang aja.”
“Pinter!” Alvin menepuk pelan pundak Cakka sebelum ia benar-benar pergi dari hadapannya.
“Malangnya nasib loe, Vin. Ck!” katanya sembari mengangkat bahu. Lantas Cakka pun beranjak pergi dari tempat tersebut.
“Kak Cakra?!” teriak seseorang tiba-tiba. Sekejap, Cakka yang baru dua kali melangkahkan kakinya itu akhirnya berhenti seketika. Pandangannya ia alihkan ke tempat sekitar untuk mencari sosok orang yang tadi memanggilnya.
“Siapa ya?” tanya Cakka saat mendapati seorang cewek yang kini tersenyum manis itu berjalan mendekat ke arahnya.
“Kak Cakra kan? Kenalin kak, aku Marshilla Auryn. Tapi kakak cukup panggil Shilla aja.” cewek itu mengulurkan tangan mulusnya sembari memperkenalkan diri. Seketika Cakka mengernyit.
“Cakra? Nama kakak bukan Cakra, tapi Cakka.” meski sedikit ragu, Cakka tetap membalas uluran tangan cewek yang bernama Shilla tersebut.
“Heh? Aduh! Sori kak, sori. Kirain aku nama kakak itu Cakra. Hehehe…” ucap Shilla penuh malu.
“Gak apa-apa kok. Oh iya, ada perlu apa deh? Soalnya kakak lagi buru-buru mau ke kelas nih.” tanya Cakka ramah sembari melirik ke arah tangan kirinya yang memang terdapat lingkaran arloji berwarna hitam tersebut.
“Hmm… gak ada apa-apa kok, kak. Shilla cuma mau kenalan aja sama kakak. Kakak mau kan jadi temen Shilla? Shilla itu salah satu fans kakak lho dari waktu MOS kemarin. Soalnya kakak itu cakep, terus kakak juga jago main basket. Gak apa-apa kan kak kalau Shilla jadi fans kakak?” kata Shilla jujur. Cakka yang sejak tadi melongo mendengar kalimat-kalimat yang Shilla keluarkan itu hanya tertawa pelan membalasnya. Baru kali ini Cakka melihat cewek yang dengan polosnya mengaku sebagai fans Cakka.
“Kamu ini bisa aja. Kakak itu bukan artis kok, jadi kamu gak perlu jadi fans kakak.”
“Tapi Shilla mau jadi fans kakak.”
“Hmm… ya udah deh terserah kamu aja. Kalau gitu kakak duluan ya? Kamu gak apa-apa kan kalau kakak ting…” belum sempat Cakka menyelesaikan kata-katanya, Shilla dengan frontalnya mengecup pipi kanan Cakka dan kemudian berlari begitu saja tanpa berucap sepatah katapun.
Oh my God!” gumam Cakka sangat kaget dengan perbuatan Shilla yang belum dikenal dekat olehnya itu. Lantas ia hanya bisa memegangi pipinya sambil terus menatap punggung Shilla yang semakin jauh di wilayah pandangnya.
“Mimpi apa gue semalam? Motor sama duit dipalak sama Alvin, lalu sekarang? Ck!” Cakka menggeleng heran.

***


“Loe gak bawa motor ke sekolah?” Alvin mengangkat bahu perlahan. Ia terlalu sibuk memainkan ponselnya meski sedari tadi kedua sahabatnya terus-terusan bertanya masalah balapan motor yang Alvin ikuti semalam.
“Jangan bilang loe kalah taruhan terus jual motor loe itu?” timpal sahabat Alvin yang satunya. Alvin langsung menggeleng.
Please deh gak usah sok sibuk mainin handphone! Gue tau loe jomblo hina yang ada di sekolah ini, tapi bukan berarti loe jadi galau gini. Wake up, Alvin! Dari tadi gue sama Rio nanya gak dijawab mulu.” tukas Gabriel sambil merebut paksa handphone yang digenggam Alvin. Sontak membuat Alvin memutar matanya kesal. Kedua sahabatnya yang bernama Gabriel dan Rio itu memang gak pernah berubah sifatnya dari mereka kenal sejak kelas VII dulu dampai sekarang kelas XI pun tetap menyebalkan menurut Alvin.
“Tuh mulut kalau ngomong bisa disaring dulu gak sih?! Lagian kalau gue jomblo hina, loe berdua jomblo apaan?” Gabriel dan Rio tertawa sinis mendengarnya.
“Abisnya loe dari tadi sibuk sendiri mulu.” rutuk Rio seketika.
“Oke nih gue jawab semua pertanyaan loe berdua tadi! Masalah balapan semalem, loe berdua tau sendiri kan kalau gue pembalap handal? Jadi mana mungkin gue bisa kalah ngelawan semut-semut kecil seperti mereka?” Alvin menepuk dada bidangnya perlahan. Bermaksud menyombongkan diri di hadapan kedua sahabatnya tersebut.
“Jadi loe menang nih semalem?” tanya Gabriel masih belum percaya.
“Tepat sekali! Lagian kenapa loe berdua semalem gak dateng?” kini giliran Alvin bertanya sinis ke arah Gabriel serta Rio yang sedang mengangguk ria.
“Biasalah, gue langsung tepar sepulang latihan basket.”
“Cih! Tidur mulu dibiasain. Terus loe kanapa, Yo?” Rio tiba-tiba merangkul Alvin perlahan dan menuntun arah pandang Alvin ke salah satu cewek yang duduk tak jauh dari tempat mereka nongkrong di kantin sekolah.
“Loe jalan sama dia semalem? Ish! Emang dia mau sama model yang beginian?” sindir Alvin tajam. Gabriel terkekeh mendengarnya.
“Gak ada yang lucu ya! Jadi gak usah pada ketawa. Lagian gue ini cakep kali, mana ada cewek yang gak mau diajak jalan sama gue?” kata Rio super percaya diri. Membuat Alvin dan Gabriel merasa mual seketika.
What the hell?! Cowok model gini nih yang bikin bumi tambah sempit.” tukas Alvin asal. Gabriel lagi-lagi terkekeh melihat ekspresi Rio yang penuh kesal.
“Sialan loe!”
“Eh iya gue hampir lupa sama pertanyaan gue tadi. Loe gak bawa motor, Vin? Apa motor loe ada di bengkel?” tanya Gabriel yang masih penasaran dengan keadaan motor Alvin. Soalnya sejak tadi pagi Gabriel sama Rio memang tidak melihat wujud dari motor Alvin di area parkiran.
“Motor gue disita bokap.”
“Hah?! Kok bisa sih?”
“Bisalah. Semalem gue ketahuan balapan sama bokap. Loe berdua tau sendiri kan kalau bokap gue paling gak suka lihat gue balapan?” Gabriel dan Rio membulatkan mulutnya seketika.
“Terus tadi pagi loe naik apa?” tanya Rio antusias.
“Bis umum.”
“HAH?! SERIUSAN LOE???”
“Biasa aja kali ekspresinya! Lagian segitu kagetnya kah kalian denger gue ke sekolah naik bis umum? Ck! Lebay…”
“Aih… gimana kita gak kaget coba? Masa iya anak pemilik saham terbesar di SMA Sarfagos berangkat ke sekolah naik bis umum? What the world says, Alvin Pratama?”
Shut up, Ganesha Gabriel! Bukan hanya motor gue aja yang disita, semua fasilitas yang gue punya pun ikut disita. Puas loe?!” ucap Alvin sinis.
Life is so hard, brader. Gue turut prihatin sama loe. Loe yang sabar ya?” ucap Rio dengan mengusap pundak Alvin.
“Loe prihatin apa ngeledek hah?!”
“Hmm… dua-duanya. Hahaha.”
“Sialan loe!”
“Ya udah loe gak usah khwatir, Vin. Gue sama Rio siap bantu kok. Iya nggak, Yo?”
“Yoi, Gab! Sahabat kan harus setia suka dan duka. Bener gak, Vin?”
“Nah gitu dong! Ini nih yang namanya sahabat.” kata Alvin seraya menjabat satu per satu tangan Gabriel dan Rio.

***


Sudah hampir setengah jam cewek manis ini berdiri di depan gerbang sekolah. Diam. Hanya matanya saja yang sejak tadi sibuk melirik detik jam yang tertera di layar ponselnya. Lantas sesekali ia mendengus karena yang ia tunggu sejak tadi belum juga tampak di hadapannya.
“Lama banget sih!” geramnya kesal.
“Siviaaaaaa!!! Lagi nunggu mobil ya?” cewek itu langsung tersentak kaget begitu salah seorang temannya berteriak di dalam mobil berwarna hitam pekat yang sekarang berhenti tepat di sampingnya. Mobil tersebut tersnyata baru saja keluar dari lingkungan sekolah.
“Iya nih, Fy. Loe baru mau pulang?” tanyanya. Cewek yang ada di dalam mobil itu mengangguk dan tersenyum.
“Iya. Ikut gue aja yuk? Lama tau kalau nunggu mobil umum.”
“Enggak deh, Fy. Gue naik bis aja.” tolak cewek  bernama Sivia itu dengan ramah.
“Ayolah, Vi! Sekalian gue pengen tau rumah loe juga. Biar kapan-kapan gue bisa main. Gimana? Mau ya?” cewek tersebut berpikir sejenak. Namun akhirnya memutuskan untuk ikut karena menatap pandangan mata temannya yang penuh permohonan.

Audrey Siviana Rain. Cewek cantik yang bersifat sedikit tomboy itu merupakan salah satu siswi terbaik yang mendapatkan beasiswa di SMA Sarfagos sebulan yang lalu. Di mana siswa-siswi lain yang begitu susah payah ingin masuk ke SMA tersebut dengan mengikuti berbagai tes, Sivia hanya tinggal menunggu waktu untuk mengikuti MOS di SMA Sarfagos yang diimpikannya itu. Berbeda dengan Clarissa Rifya Pratama yang notabenenya adalah keponakan dari sang pemilik saham sekolah tersebut. Namun walaupun begitu, cewek yang sering dipanggil Ify ini tidak terlalu mengandalkan posisi Pak Alex sebagai penguasa sekolah tersebut. Ify juga sama seperti siswa yang lainnya, selalu diperlakukan sama. Selain itu juga Ify pun termasuk siswi yang dikategorikan pandai di kelas X ini.

Dan sekarang, Sivia dan Ify masuk di kelas X.1 yang faktanya adalah kelas terfavorit. Kelas yang isinya dipenuhi dengan para siswa yang memiliki otak cukup cerdas dibanding siswa-siswa di kelas lain.
“Kak Cakka, kenalin ini Sivia, temen gue. Sivia, ini kak Cakka, sepupu gue.” kata Ify seraya memperkenalkan Sivia dengan Cakka yang kini memang ikut juga di mobilnya. Sedikit malu-malu, Sivia menjabat tangan Cakka yang sudah lebih dulu mengajaknya bersalaman.
“Sivia.”
“Cakka.” balas Cakka lembut. Matanya terus-terusan memandang wajah Sivia yang saat itu terlihat sedikit kucel.
“Udah kali gak usah lama-lama salamannya.” ucap Ify sedikit menyindir. Sivia dan Cakka langsung salah tingkah dibuatnya. Ify terkekeh geli melihat ekspresi mereka di kaca spion.
“Oh iya, motor kak Cakka ke mana sih? Tumben gak bawa motor ke sekolah.”
“Hmm… motor gue dipinjam Alvin.”
What?! Kok mau-maunya sih kak pinjemin motor ke kak Alvin? Gue jamin deh motor kak Cakka dipakai balapan lagi sama dia.” tebak Ify kesal.
“Ya abisnya mau gimana lagi? Semua fasilitas yang papi berikan ke dia udah disita. Masa gue tega sih?” ungkap Cakka apa adanya. Ify memutar matanya perlahan dan kemudian menengok ke belakang. Ke tempat Cakka dan Sivia duduk bersebelahan.
“Ya bagus dong kalau gitu. Biar kak Alvin gak suka balapan lagi.”
“Iya juga sih.”
“Ah, kak Cakka ini gimana sih? Jadi sia-sia kan gue ngadu sama Om Alex semalem?” timpal Ify sesal. Membuat Cakka tiba-tiba mengernyitkan keningnya.
“Jadi yang ngadu sama papi semalem itu loe, Fy?” Ify mengangguk sembari memamerkan gigi-gigi putihnya yang dijaga ketat oleh barisan kawat hitam tersebut.
“Tega amat loe sama saudara sendiri.”
“Tapi kan buat kebaikan kak Alvin juga, kak. Coba deh kak Cakka pikirin, kalau sampai kak Alvin kenapa-kenapa akibat balapan yang sering dia ikutin itu gimana? Kita sendiri kan yang repot?” tegas Ify mencoba memberi pengertian ke Cakka.
“Maaf nih sebelumnya bukan maksud gue buat ikut campur urusan kalian. Tapi menurut gue bener juga apa yang Ify bilang barusan. Jadi kalau kak Cakka terus-terusan pinjemin motor ke dia, itu berarti orang tuanya kak Cakka sia-sia aja dong menyita semua fasilitas yang diberikannya ke kak Alvin itu. Toh lagian orang tua kak Cakka ngelakuin itu buat kebaikan kak Alvin juga kan?” ucap Sivia yang kini ikut angkat bicara setelah cukup lama terdiam mendengar percakapan Cakka dan Ify.
“Nah!”
“Hmm… oke deh lain kali gue gak bakal pinjemin motor gue ke dia lagi.”
Stop, Pak!” suruh Sivia lembut.
“Yang mana rumah loe, Vi?” tanya Ify penasaran.
“Ini rumah gue, Vi. Oh iya, mau mampir dulu gak?”
“Oh, yang ini? Hmm… lain kali aja deh gue mampir. Gue ada les piano soalnya, Vi.” Sivia membulatkan mulutnya. Lantas ia mengalihkan pandangannya ke arah Cakka yang memang duduk di sampingnya.
“Kalau kak Cakka mau mampir dulu gak?” Cakka tercengang seketika. Entah kenapa ia tiba-tiba kaget mendengar tawaran dari Sivia barusan.
“Hmm… lain kali aja deh gue mampirnya. Mungkin nanti kalau gue bawa motor sendiri.”
“Modus tuh modus!” timpal Ify rusuh. Kontan Cakka segera melotot ke arah Ify.
“Ya udah kalau gitu gue masuk dulu ya? Makasih untuk tebengannya ya kak Cakka, Ify.” Cakka dan Ify tersenyum. 
“Gue juga pamit ya, Vi? Bye!
Bye! Hati-hati ya!” teriak Sivia sedikit kencang. Kemudian ia membenahi bajunya yang terlihat acak-acakan itu dan langsung melangkah masuk setelahnya.

***


Setelah beberapa menit Cakka membenahi tubuhnya dari berbagai perlengkap sekolah, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Sesaat terdiam. Lalu tangannya menjamah sebuah remote televisi dan mengganti malas beberapa channel televisi yang begitu membosankan menurutnya. Cakka membuang napas gusar.
“Hmm… Sivia.” matanya edarkan ke arah langit-langit kamarnya. Entah kenapa bayang-bayang Sivia muncul tiba-tiba di atas sana. Senyumannya yang manis pun seakan benar-benar nyata terlukis di sana.
You’re so beautiful!” Cakka tersenyum. Hari ini benar-benar membuat Cakka mendadak gila. Dari mulai Alvin, Shilla, dan sekarang Sivia. Tiga orang yang membuat hari Cakka menjadi penuh dengan kejadian yang tak terduga.
“Aih… kenapa gue jadi kebayang-bayang sama Sivia?” sadarnya kemudian. Ia mengacak pelan poni rambutnya yang memang bergaya harajuku.
“Tidak! Tidak! Tidak!” Cakka mencoba untuk menghapus sketsa wajah cewek yang baru saja dikenalnya sepulang sekolah itu dengan segera. Ia menutup wajahnya dengan bantal.
“Sivia.”

“Maaf nih sebelumnya bukan maksud gue buat ikut campur urusan kalian. Tapi menurut gue bener juga apa yang Ify bilang barusan. Jadi kalau kak Cakka terus-terusan pinjemin motor ke dia, itu berarti orang tuanya kak Cakka sia-sia aja dong menyita semua fasilitas yang diberikannya ke kak Alvin itu. Toh lagian orang tua kak Cakka ngelakuin itu buat kebaikan kak Alvin juga kan?”

Stop, Pak!”

“Ini rumah gue, Vi. Oh iya, mau mampir dulu gak?”

“Kalau kak Cakka mau mampir dulu gak?”

“Ya udah kalau gitu gue masuk dulu ya? Makasih untuk tebengannya ya kak Cakka, Ify.”

Bye! Hati-hati ya!” sudah berusaha Cakka untuk menepis bayang-bayang Sivia dari matanya. Namun kini giliran suara Sivia yang menggema bak kaset DVD yang tanpa bisa dihentikan di telinga Cakka. Ia mendesah dibuatnya.
“Bisa gila gue kalau kaya gini. Ish!”
“Apa gue jatuh cinta sama dia? Oh my God! Itu gak mungkin! Kenal aja baru tadi.” Cakka meraup wajahnya perlahan. Perasaannya saat ini begitu aneh. Bahkan dia sendiri susah untuk menebak apa yang terjadi dengannya sekarang ini. Apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama? Entahlah…

***


Sivia tersenyum di tengah-tengah pembicaraannya dengan Ify lewat telepon. Gambaran wajah Cakka pun tiba-tiba muncul begitu ia mendengarkan semua tentang Cakka dari Ify.
“Loe suka sama kak Cakka ya, Vi?” terka Ify kemudian. Sivia tak menggubris sedikitpun. Lebih tepatnya ia tak mendengar apa yang diucapkan Ify itu karena terlalu sibuk membayangkan sosok Cakka sambil tiduran.
“Jangan bilang loe lagi mikirin kak Cakka?! Siviaaaaaa!!!” timpal Ify mulai kesal.
“Eh iya kenapa, Fy? Sori gue ngelamun. Hehehe.”
“Dasar!!! Ngelamunin siapa sih? Kak Cakka ya?”
“Heh? Sotoy loe!”
“Udah deh ngaku aja!”
“Dih, apaan sih?!”
“Loe beneran suka sama kak Cakka, Vi? Cieeeeee…”
“Enggak, ih!”
“Udah deh! Gue restui kok kalau loe suka sama kak Cakka.”
“IFY!!!”
“Syalalalala… kayanya ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama nih. Mesti diumumin di mading besok. Hahaha.”
“Ify gila!”
“Biar yang lain pada tau kalau loe sama kak Cakka bakal pacaran. Kan seru tuh satu sekolah pada heboh.”
“Serah loe aja deh! Yang jelas gue gak suka sama kak Cakka.”
“Tepatnya bukan gak suka, tapi belum suka. Iya kan, Vi? Hehehe.” Sivia langsung mendengus mendengarnya. Nih anak ngeselin juga lama-lama! batin Sivia.
“Yayaya!”
“Oke, fix!
“Hah? Maksud loe?”
“Gak ada maksud kok.”
“Aneh!”
“Bodo!”
“Udah ah gue ngantuk, Fy.”
“Oke. Kalau gitu selamat tidur ya, Sivia? Semoga mimpiin kak Cakka!!! Hahaha.” klik! Ify segera memutuskan sambungan teleponnya sebelum kejadian buruk menimpanya. Tentu saja kalau bukan ocehan dari Sivia.
“IFY GILAAAAAA!!!”

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar