Love at First Sight
Alexandra
Paratama. Salah seorang pemegang saham terbesar di SMA Sarfagos. SMA terpopuler
yang namanya sudah melambung ke berbagai pelosok Indonesia hampir dua dekade
ini karena memang banyak menciptakan alumni-alumni terbaik setiap periodenya.
Bahkan tak sedikit juga lulusan dari SMA Sarfagos yang mampu menembus
perguruan-perguruan tinggi ternama di Indonesia maupun di luar negeri. Selain
itu, Alexandra Pratama itu merupakan pengusaha kaya yang perusahaannya terkenal
dan terdapat di mana-mana. Selaku pencetus logo “Alex-art” itu memang sudah berpuluh-puluh tahun ini berkecimpung
di dunia bisnis, sifatnya yang sangat baik dan ramah serta kinerjanya yang
gesit dan perfectionist dalam bekerja
itu menjadikan dirinya salah seorang atasan yang disegani oleh para bawahannya.
Maka tak jarang juga banyak perusahaan besar lainnya yang ingin bekerjasama
dengan perusahaan yang dipegang beliau tersebut.
Di
sisi lain, Alexandra Pratama atau yang lebih akrab dipanggil Pak Alex ini
memiliki dua orang anak laki-laki yang sudah remaja. Namanya Alexa Cakka
Pratama dan Alexa Alvinandra Pratama. Dua anak laki-laki yang sering dipanggil
Cakka dan Alvin itu hanya berbeda usia satu tahun. Dan sekarang mereka
merupakan siswa kelas XI di SMA milik orang tuanya tersebut. SMA Sarfagos.
Sebagai single parent, Pak Alex cukup
kesulitan mengawasi dan mengontrol kedua anaknya yang memang butuh pengawasan
lebih di usianya yang beranjak remaja tersebut. Apalagi Alvin dan Cakka
mempunyai sifat dan karakter yang bertolak belakang itu membuat Pak Alex
semakin sulit memberikan pengertian-pengertian serta wejangan-wejangan yang
harus Alvin dan Cakka pegang teguh di masa-masa remajanya saat ini. Karena
faktanya memang Alvin dan Cakka lah yang nantinya akan meneruskan perusahaan
yang dipegang oleh Pak Alex sekarang.
“Papi
gak mau denger lagi alasan kamu! Pokoknya mulainya sekarang Papi mau cabut
semua fasilitas yang Papi berikan sama kamu! Mobil, motor, ATM, semuanya Papi
sita!!!” tegas Pak Alex di hadapan salah satu anaknya. Alvin. Sedangkan Alvin
yang sedari tadi hanya diam pun akhirnya angkat bicara.
“Heh?
Papi ini apa-apaan sih?! Terus nanti kalau Alvin mau berangkat ke sekolah
gimana? Dan kalau sewaktu-waktu Alvin butuh uang karena urusan mendadak mau
pakai apa coba? Kalau ATM-nya aja disita kaya gitu.” bela Alvin seraya berdiri.
“Itu
hukuman buat kamu. Toh kamu bisa naik mobil umum kan ke sekolah? Terus kalau
kamu butuh uang, Papi udah siapin kok uang seratus ribu buat seharinya.”
“Seratus
ribu?! Mana cukup uang segitu buat Alvin, Pi? Buat makan aja gak cukup, apalagi
sekarang harus pakai mobil umum ke sekolah. Belum beli pulsa, traktir
temen-temen, hang-out, dan lain-lain.
Sadis banget sih sama anak sendiri, Pi?”
“Sekali
lagi Papi bilang, Papi gak mau denger alasan apapun dari kamu. Titik! Papi mau
tidur.”
“Pi,
come on!” kata Alvin sedikit memelas.
Pak Alex tetap tak menghiraukan. Beliau hanya berjalan lurus meski anaknya
terus-terusan merengek di belakangnya.
“Papi!
Please, pikirin sekali lagi. Masa
Papi tega biarin Alvin miskin mendadak? Entar kalau Alvin dijauhin sama
temen-temen Alvin gimana? Papi mau tanggung jawab?” Alvin terus mengetuk pintu
kamar Papinya yang sudah ditutup itu.
“Kalau
temen-temen kamu itu memang benar-benar menganggap kamu sebagai temen, pasti
mereka gak bakal pandang bulu. So, why should you be afraid?”
“Papi!!!”
“Papi mau tidur. Mending kamu juga tidur sana, besok
sekolah.”
“Alvin gak mau tidur sebelum Papi ngabulin
permohonan Alvin. Dan Alvin akan tetap di sini, Pi.”
“Permohonan apalagi?” Pak alex pun membukakan pintu
kamarnya perlahan. Sudah cukup sabar beliau menghadapi anaknya yang satu ini.
“Papi harus batalin semua keputusan Papi tadi!”
“Oh, jadi itu yang kamu mau?” Alvin mengangguk
sambil tersenyum.
“Kalau gitu Papi turunin uang jajan kamu jadi lima
puluh ribu sehari!”
“Heh?”
“Tiga puluh ribu!”
“Papi sadis banget sih sama Alvin?!”
“Dua puluh…”
“Oke-oke Alvin bakal pergi dari sini! Tapi Alvin
mohon ya ditambahin lagi jadi seratus lima puluh? Oke, Pi?”
“Sepuluh ribu!”
“Ish! Iya… iya… iya… Alvin pergi nih dar sini.”
kesal Alvin seraya berjalan mundur meninggalkan Papinya yang kini menggelengkan
kepalanya heran melihat tingkah sang anak tersebut.
***
“Heh! Bisa diem gak sih loe jadi orang? Geser-geser
mulu dari tadi.” bentak salah seorang cewek berjaket biru seraya melotot sinis
ke arah cowok yang sejak tadi duduk gelisah di dalam sebuah mobil umum. Cowok itu
tak menggubris sedikitpun perkataan si cewek tadi. Malah ia terus-terusan sibuk
mengibaskan kerah bajunya karena kegerahan.
“Ih! Loe tuh kenapa sih?! Oh, atau jangan-jangan loe
mau nyopet gue ya?! Ngaku loe!” tuduh cewek tersebut tak diduga.
“Heh? Enak aja loe nuduh gue copet! Gak nyadar apa
muka gue segini kecenya?!”
“Ngaca dulu kalau mau ngomong!”
“Loe tuh yang mestinya ngaca! Lagian kalau pun gue
copet nih ya, gue bakal milih-milih dulu mana yang pantas buat dicopet! Model
gini aja mana ada duitnya?!” sindir si cowok dengan senyum meremehkannya.
“MAKSUD LOE?!”
“Whatever you
say, bad girl!”
“Tolong ada copet!!!”
“Heh?!”
“Tolong ada cop…”
“Diem gak loe!” ancam si cowok sambil membekap paksa
mulut si cewek. Sedetik, tatapan para penumpang lain tertuju ke arah dua orang
tersebut.
“Maaf, gangguan jiwa.” bisik si cowok pelan. Lantas
membuat para penumpang lain langsung mengangguk paham. Sedangkan si cewek tadi
masih saja berusaha melepaskan tangan si cowok dari mulutnya.
“Gue bakal lepasin tangan gue kalau loe mau diem.
Ngerti?!”
“Oke.” lanjut si cowok setelah si cewek dengan
sangat terpaksa menyetujui ancamannya tadi.
“Dasar cowok gila loe!!!”
“Stop,
Bang!” ucap si cowok tanpa merespon perkatan si cewek yang belum dikenalnya
itu. Lalu ia turun dengan santainya setelah sebelumnya memberikan selembar uang
ke sang kondektur.
***
SMA Sarfagos
Cakka melangkah menelusuri koridor kelas dengan gaya
seperti biasanya. Cool. Namun tetap
diiringi dengan ulasan senyum di bibirnya yang begitu mempesona bagi siapa saja
yang melihatnya. Wangi parfumnya yang khas serta aura bintangnya yang begitu
kuat itu membuat para cewek mudah menebak kedatangannya. Seperti saat ini,
sudah banyak fans-fans Cakka yang
selalu setia menyambut kedatangannya acapkali ia lewat di depan kelas mereka
masing-masing.
“Hai, ganteng!” Cakka hanya tersenyum seraya
melambaikan tangan tiap kali ada orang yang menyapanya seperti itu.
“Cakka, gue mau foto dong sama loe!” pinta salah
seorang cewek dengan gugupnya.
“Oh, boleh kok. Ayo!”
“Gue pinjem Cakka dulu bentar!” serobot Alvin
tiba-tiba. Lantas membuat Cakka mengangkat alisnya heran serta pasrah begitu
tangannya ditarik Alvin keras. Begitupun cewek tadi yang langsung menekuk
wajahnya karena Alvin telah merusak momen yang harusnya menjadi momen yang tak
terlupakan itu. Kapan lagi coba foto sama Cakka?
“Loe kenapa sih, Vin?”
“Udah deh! Tadi pagi loe kenapa cabut duluan? Mau
biarin gue sengsara naik bis umum?” tukas Alvin tanpa memikirkan Cakka yang
tidak tau apa-apa.
“Hah? Bukannya dari dulu loe sama gue gak pernah berangkat
bareng ya? Motor sama mobil loe kenapa?”
“Jangan pura-pura bego deh loe! Mobil sama motor gue
disita bokap!”
“Lho? Kok bisa gitu?”
“Shut up,Cakka!
Loe kan yang bilang sama bokap kalau semalem gue balapan motor? Ngaku gak loe?!”
“Loe balapan motor?”
“Gue minta loe jawab pertanyaan gue, bukan malah
balik tanya!” ketus Alvin mulai kesal dengan ulah Adiknya itu.
“Tapi gue emang…”
“Jawab pertanyaan gue!!!” Cakka langsung menggeleng.
“Serius loe gak bilang sama bokap?”
“Seriusan gue gak tau apa-apa masalah ini. Kenapa
sih?”
“Oh, oke! Mana kunci motor loe?”
“Kunci motor gue?”
“Iya, siapa lagi?!”
“Buat apaan?”
“Udah jangan banyak omong! Mana kunci motor loe?”
“Tapi…”
“Ah, lama!” rebut Alvin tiba-tiba. Cakka mendengus.
“Oh iya, bagi duit dong! Gue gak dikasih duit nih
sama bokap.”
“Ck! Loe ada ATM kan? Ngapain loe minta duit sama
gue?”
“Alexa Cakka Pratama, dengerin ya! Semua fasilitas yang
gue punya itu disita sama bokap. Udah sini cepetan bagi duitnya! Masa loe tega sih
sama kakak sendiri?”
“Heh? Gak bohong kan loe?”
“Ada gitu tampang gue bohong? Udah sini cepetan!”
“Iya-iya sabar.” kata Cakka cukup simpati sama
musibah yang dialami saudaranya tersebut.
“Entar pulang sekolah loe naik bis umum. Jangan
bilang-bilang bokap kalau gue pakai motor loe! Oke, brader?”
“Iya tenang aja.”
“Pinter!” Alvin menepuk pelan pundak Cakka sebelum
ia benar-benar pergi dari hadapannya.
“Malangnya nasib loe, Vin. Ck!” katanya sembari
mengangkat bahu. Lantas Cakka pun beranjak pergi dari tempat tersebut.
“Kak Cakra?!” teriak seseorang tiba-tiba. Sekejap,
Cakka yang baru dua kali melangkahkan kakinya itu akhirnya berhenti seketika.
Pandangannya ia alihkan ke tempat sekitar untuk mencari sosok orang yang tadi memanggilnya.
“Siapa ya?” tanya Cakka saat mendapati seorang cewek
yang kini tersenyum manis itu berjalan mendekat ke arahnya.
“Kak Cakra kan? Kenalin kak, aku Marshilla Auryn.
Tapi kakak cukup panggil Shilla aja.” cewek itu mengulurkan tangan mulusnya
sembari memperkenalkan diri. Seketika Cakka mengernyit.
“Cakra? Nama kakak bukan Cakra, tapi Cakka.” meski sedikit
ragu, Cakka tetap membalas uluran tangan cewek yang bernama Shilla tersebut.
“Heh? Aduh! Sori kak, sori. Kirain aku nama kakak
itu Cakra. Hehehe…” ucap Shilla penuh malu.
“Gak apa-apa kok. Oh iya, ada perlu apa deh? Soalnya
kakak lagi buru-buru mau ke kelas nih.” tanya Cakka ramah sembari melirik ke
arah tangan kirinya yang memang terdapat lingkaran arloji berwarna hitam
tersebut.
“Hmm… gak ada apa-apa kok, kak. Shilla cuma mau
kenalan aja sama kakak. Kakak mau kan jadi temen Shilla? Shilla itu salah satu fans kakak lho dari waktu MOS kemarin.
Soalnya kakak itu cakep, terus kakak juga jago main basket. Gak apa-apa kan kak
kalau Shilla jadi fans kakak?” kata
Shilla jujur. Cakka yang sejak tadi melongo mendengar kalimat-kalimat yang
Shilla keluarkan itu hanya tertawa pelan membalasnya. Baru kali ini Cakka
melihat cewek yang dengan polosnya mengaku sebagai fans Cakka.
“Kamu ini bisa aja. Kakak itu bukan artis kok, jadi
kamu gak perlu jadi fans kakak.”
“Tapi Shilla mau jadi fans kakak.”
“Hmm… ya udah deh terserah kamu aja. Kalau gitu
kakak duluan ya? Kamu gak apa-apa kan kalau kakak ting…” belum sempat Cakka
menyelesaikan kata-katanya, Shilla dengan frontalnya mengecup pipi kanan Cakka
dan kemudian berlari begitu saja tanpa berucap sepatah katapun.
“Oh my God!” gumam Cakka sangat kaget dengan
perbuatan Shilla yang belum dikenal dekat olehnya itu. Lantas ia hanya bisa
memegangi pipinya sambil terus menatap punggung Shilla yang semakin jauh di
wilayah pandangnya.
“Mimpi apa gue semalam? Motor sama duit dipalak sama
Alvin, lalu sekarang? Ck!” Cakka menggeleng heran.
***
“Loe gak bawa motor ke sekolah?” Alvin mengangkat bahu
perlahan. Ia terlalu sibuk memainkan ponselnya meski sedari tadi kedua
sahabatnya terus-terusan bertanya masalah balapan motor yang Alvin ikuti
semalam.
“Jangan bilang loe kalah taruhan terus jual motor
loe itu?” timpal sahabat Alvin yang satunya. Alvin langsung menggeleng.
“Please
deh gak usah sok sibuk mainin handphone! Gue
tau loe jomblo hina yang ada di sekolah ini, tapi bukan berarti loe jadi galau
gini. Wake up, Alvin! Dari tadi gue
sama Rio nanya gak dijawab mulu.” tukas Gabriel sambil merebut paksa handphone yang digenggam Alvin. Sontak
membuat Alvin memutar matanya kesal. Kedua sahabatnya yang bernama Gabriel dan
Rio itu memang gak pernah berubah sifatnya dari mereka kenal sejak kelas VII
dulu dampai sekarang kelas XI pun tetap menyebalkan menurut Alvin.
“Tuh mulut kalau ngomong bisa disaring dulu gak
sih?! Lagian kalau gue jomblo hina, loe berdua jomblo apaan?” Gabriel dan Rio
tertawa sinis mendengarnya.
“Abisnya loe dari tadi sibuk sendiri mulu.” rutuk
Rio seketika.
“Oke nih gue jawab semua pertanyaan loe berdua tadi!
Masalah balapan semalem, loe berdua tau sendiri kan kalau gue pembalap handal?
Jadi mana mungkin gue bisa kalah ngelawan semut-semut kecil seperti mereka?”
Alvin menepuk dada bidangnya perlahan. Bermaksud menyombongkan diri di hadapan
kedua sahabatnya tersebut.
“Jadi loe menang nih semalem?” tanya Gabriel masih
belum percaya.
“Tepat sekali! Lagian kenapa loe berdua semalem gak
dateng?” kini giliran Alvin bertanya sinis ke arah Gabriel serta Rio yang
sedang mengangguk ria.
“Biasalah, gue langsung tepar sepulang latihan
basket.”
“Cih! Tidur mulu dibiasain. Terus loe kanapa, Yo?”
Rio tiba-tiba merangkul Alvin perlahan dan menuntun arah pandang Alvin ke salah
satu cewek yang duduk tak jauh dari tempat mereka nongkrong di kantin sekolah.
“Loe jalan sama dia semalem? Ish! Emang dia mau sama
model yang beginian?” sindir Alvin tajam. Gabriel terkekeh mendengarnya.
“Gak ada yang lucu ya! Jadi gak usah pada ketawa.
Lagian gue ini cakep kali, mana ada cewek yang gak mau diajak jalan sama gue?”
kata Rio super percaya diri. Membuat Alvin dan Gabriel merasa mual seketika.
“What the
hell?! Cowok model gini nih yang bikin bumi tambah sempit.” tukas Alvin
asal. Gabriel lagi-lagi terkekeh melihat ekspresi Rio yang penuh kesal.
“Sialan loe!”
“Eh iya gue hampir lupa sama pertanyaan gue tadi.
Loe gak bawa motor, Vin? Apa motor loe ada di bengkel?” tanya Gabriel yang
masih penasaran dengan keadaan motor Alvin. Soalnya sejak tadi pagi Gabriel
sama Rio memang tidak melihat wujud dari motor Alvin di area parkiran.
“Motor gue disita bokap.”
“Hah?! Kok bisa sih?”
“Bisalah. Semalem gue ketahuan balapan sama bokap.
Loe berdua tau sendiri kan kalau bokap gue paling gak suka lihat gue balapan?”
Gabriel dan Rio membulatkan mulutnya seketika.
“Terus tadi pagi loe naik apa?” tanya Rio antusias.
“Bis umum.”
“HAH?! SERIUSAN LOE???”
“Biasa aja kali ekspresinya! Lagian segitu kagetnya
kah kalian denger gue ke sekolah naik bis umum? Ck! Lebay…”
“Aih… gimana kita gak kaget coba? Masa iya anak
pemilik saham terbesar di SMA Sarfagos berangkat ke sekolah naik bis umum? What the world says, Alvin
Pratama?”
“Shut up,
Ganesha Gabriel! Bukan hanya motor gue aja yang disita, semua fasilitas yang
gue punya pun ikut disita. Puas loe?!” ucap Alvin sinis.
“Life is so
hard, brader. Gue turut prihatin sama loe. Loe yang sabar ya?” ucap Rio
dengan mengusap pundak Alvin.
“Loe prihatin apa ngeledek hah?!”
“Hmm… dua-duanya. Hahaha.”
“Sialan loe!”
“Ya udah loe gak usah khwatir, Vin. Gue sama Rio
siap bantu kok. Iya nggak, Yo?”
“Yoi, Gab! Sahabat kan harus setia suka dan duka.
Bener gak, Vin?”
“Nah gitu dong! Ini nih yang namanya sahabat.” kata
Alvin seraya menjabat satu per satu tangan Gabriel dan Rio.
***
Sudah hampir setengah jam cewek manis ini berdiri di
depan gerbang sekolah. Diam. Hanya matanya saja yang sejak tadi sibuk melirik
detik jam yang tertera di layar ponselnya. Lantas sesekali ia mendengus karena
yang ia tunggu sejak tadi belum juga tampak di hadapannya.
“Lama banget sih!” geramnya kesal.
“Siviaaaaaa!!! Lagi nunggu mobil ya?” cewek itu
langsung tersentak kaget begitu salah seorang temannya berteriak di dalam mobil
berwarna hitam pekat yang sekarang berhenti tepat di sampingnya. Mobil tersebut
tersnyata baru saja keluar dari lingkungan sekolah.
“Iya nih, Fy. Loe baru mau pulang?” tanyanya. Cewek
yang ada di dalam mobil itu mengangguk dan tersenyum.
“Iya. Ikut gue aja yuk? Lama tau kalau nunggu mobil
umum.”
“Enggak deh, Fy. Gue naik bis aja.” tolak cewek bernama Sivia itu dengan ramah.
“Ayolah, Vi! Sekalian gue pengen tau rumah loe juga.
Biar kapan-kapan gue bisa main. Gimana? Mau ya?” cewek tersebut berpikir
sejenak. Namun akhirnya memutuskan untuk ikut karena menatap pandangan mata
temannya yang penuh permohonan.
Audrey Siviana Rain. Cewek cantik yang bersifat
sedikit tomboy itu merupakan salah satu siswi terbaik yang mendapatkan beasiswa
di SMA Sarfagos sebulan yang lalu. Di mana siswa-siswi lain yang begitu susah
payah ingin masuk ke SMA tersebut dengan mengikuti berbagai tes, Sivia hanya
tinggal menunggu waktu untuk mengikuti MOS di SMA Sarfagos yang diimpikannya
itu. Berbeda dengan Clarissa Rifya Pratama yang notabenenya adalah keponakan dari sang pemilik saham sekolah
tersebut. Namun walaupun begitu, cewek yang sering dipanggil Ify ini tidak
terlalu mengandalkan posisi Pak Alex sebagai penguasa sekolah tersebut. Ify
juga sama seperti siswa yang lainnya, selalu diperlakukan sama. Selain itu juga
Ify pun termasuk siswi yang dikategorikan pandai di kelas X ini.
Dan sekarang, Sivia dan Ify masuk di kelas X.1 yang
faktanya adalah kelas terfavorit. Kelas yang isinya dipenuhi dengan para siswa
yang memiliki otak cukup cerdas dibanding siswa-siswa di kelas lain.
“Kak Cakka, kenalin ini Sivia, temen gue. Sivia, ini
kak Cakka, sepupu gue.” kata Ify seraya memperkenalkan Sivia dengan Cakka yang
kini memang ikut juga di mobilnya. Sedikit malu-malu, Sivia menjabat tangan
Cakka yang sudah lebih dulu mengajaknya bersalaman.
“Sivia.”
“Cakka.” balas Cakka lembut. Matanya terus-terusan
memandang wajah Sivia yang saat itu terlihat sedikit kucel.
“Udah kali gak usah lama-lama salamannya.” ucap Ify
sedikit menyindir. Sivia dan Cakka langsung salah tingkah dibuatnya. Ify
terkekeh geli melihat ekspresi mereka di kaca spion.
“Oh iya, motor kak Cakka ke mana sih? Tumben gak
bawa motor ke sekolah.”
“Hmm… motor gue dipinjam Alvin.”
“What?! Kok
mau-maunya sih kak pinjemin motor ke kak Alvin? Gue jamin deh motor kak Cakka
dipakai balapan lagi sama dia.” tebak Ify kesal.
“Ya abisnya mau gimana lagi? Semua fasilitas yang
papi berikan ke dia udah disita. Masa gue tega sih?” ungkap Cakka apa adanya.
Ify memutar matanya perlahan dan kemudian menengok ke belakang. Ke tempat Cakka
dan Sivia duduk bersebelahan.
“Ya bagus dong kalau gitu. Biar kak Alvin gak suka
balapan lagi.”
“Iya juga sih.”
“Ah, kak Cakka ini gimana sih? Jadi sia-sia kan gue
ngadu sama Om Alex semalem?” timpal Ify sesal. Membuat Cakka tiba-tiba
mengernyitkan keningnya.
“Jadi yang ngadu sama papi semalem itu loe, Fy?” Ify
mengangguk sembari memamerkan gigi-gigi putihnya yang dijaga ketat oleh barisan
kawat hitam tersebut.
“Tega amat loe sama saudara sendiri.”
“Tapi kan buat kebaikan kak Alvin juga, kak. Coba
deh kak Cakka pikirin, kalau sampai kak Alvin kenapa-kenapa akibat balapan yang
sering dia ikutin itu gimana? Kita sendiri kan yang repot?” tegas Ify mencoba
memberi pengertian ke Cakka.
“Maaf nih sebelumnya bukan maksud gue buat ikut
campur urusan kalian. Tapi menurut gue bener juga apa yang Ify bilang barusan.
Jadi kalau kak Cakka terus-terusan pinjemin motor ke dia, itu berarti orang
tuanya kak Cakka sia-sia aja dong menyita semua fasilitas yang diberikannya ke
kak Alvin itu. Toh lagian orang tua kak Cakka ngelakuin itu buat kebaikan kak
Alvin juga kan?” ucap Sivia yang kini ikut angkat bicara setelah cukup lama
terdiam mendengar percakapan Cakka dan Ify.
“Nah!”
“Hmm… oke deh lain kali gue gak bakal pinjemin motor
gue ke dia lagi.”
“Stop, Pak!”
suruh Sivia lembut.
“Yang mana rumah loe, Vi?” tanya Ify penasaran.
“Ini rumah gue, Vi. Oh iya, mau mampir dulu gak?”
“Oh, yang ini? Hmm… lain kali aja deh gue mampir.
Gue ada les piano soalnya, Vi.” Sivia membulatkan mulutnya. Lantas ia
mengalihkan pandangannya ke arah Cakka yang memang duduk di sampingnya.
“Kalau kak Cakka mau mampir dulu gak?” Cakka
tercengang seketika. Entah kenapa ia tiba-tiba kaget mendengar tawaran dari
Sivia barusan.
“Hmm… lain kali aja deh gue mampirnya. Mungkin nanti
kalau gue bawa motor sendiri.”
“Modus tuh modus!” timpal Ify rusuh. Kontan Cakka
segera melotot ke arah Ify.
“Ya udah kalau gitu gue masuk dulu ya? Makasih untuk
tebengannya ya kak Cakka, Ify.” Cakka dan Ify tersenyum.
“Gue juga pamit ya, Vi? Bye!”
“Bye!
Hati-hati ya!” teriak Sivia sedikit kencang. Kemudian ia membenahi bajunya yang
terlihat acak-acakan itu dan langsung melangkah masuk setelahnya.
***
Setelah beberapa menit Cakka membenahi tubuhnya dari
berbagai perlengkap sekolah, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Sesaat
terdiam. Lalu tangannya menjamah sebuah remote
televisi dan mengganti malas beberapa channel
televisi yang begitu membosankan menurutnya. Cakka membuang napas gusar.
“Hmm… Sivia.” matanya edarkan ke arah langit-langit
kamarnya. Entah kenapa bayang-bayang Sivia muncul tiba-tiba di atas sana. Senyumannya
yang manis pun seakan benar-benar nyata terlukis di sana.
“You’re so beautiful!”
Cakka tersenyum. Hari ini benar-benar membuat Cakka mendadak gila. Dari mulai
Alvin, Shilla, dan sekarang Sivia. Tiga orang yang membuat hari Cakka menjadi penuh
dengan kejadian yang tak terduga.
“Aih… kenapa gue jadi kebayang-bayang sama Sivia?”
sadarnya kemudian. Ia mengacak pelan poni rambutnya yang memang bergaya
harajuku.
“Tidak! Tidak! Tidak!” Cakka mencoba untuk menghapus
sketsa wajah cewek yang baru saja dikenalnya sepulang sekolah itu dengan
segera. Ia menutup wajahnya dengan bantal.
“Sivia.”
“Maaf
nih sebelumnya bukan maksud gue buat ikut campur urusan kalian. Tapi menurut
gue bener juga apa yang Ify bilang barusan. Jadi kalau kak Cakka terus-terusan
pinjemin motor ke dia, itu berarti orang tuanya kak Cakka sia-sia aja dong
menyita semua fasilitas yang diberikannya ke kak Alvin itu. Toh lagian orang
tua kak Cakka ngelakuin itu buat kebaikan kak Alvin juga kan?”
“Stop, Pak!”
“Ini
rumah gue, Vi. Oh iya, mau mampir dulu gak?”
“Kalau
kak Cakka mau mampir dulu gak?”
“Ya
udah kalau gitu gue masuk dulu ya? Makasih untuk tebengannya ya kak Cakka,
Ify.”
“Bye! Hati-hati ya!” sudah berusaha Cakka untuk menepis bayang-bayang
Sivia dari matanya. Namun kini giliran suara Sivia yang menggema bak kaset DVD yang tanpa bisa dihentikan di
telinga Cakka. Ia mendesah dibuatnya.
“Bisa gila gue kalau kaya gini. Ish!”
“Apa gue jatuh cinta sama dia? Oh my God! Itu gak mungkin! Kenal aja baru tadi.” Cakka meraup
wajahnya perlahan. Perasaannya saat ini begitu aneh. Bahkan dia sendiri susah
untuk menebak apa yang terjadi dengannya sekarang ini. Apakah ini yang namanya
cinta pada pandangan pertama? Entahlah…
***
Sivia tersenyum di tengah-tengah pembicaraannya
dengan Ify lewat telepon. Gambaran wajah Cakka pun tiba-tiba muncul begitu ia
mendengarkan semua tentang Cakka dari Ify.
“Loe suka sama kak Cakka ya, Vi?” terka Ify
kemudian. Sivia tak menggubris sedikitpun. Lebih tepatnya ia tak mendengar apa
yang diucapkan Ify itu karena terlalu sibuk membayangkan sosok Cakka sambil
tiduran.
“Jangan bilang loe lagi mikirin kak Cakka?!
Siviaaaaaa!!!” timpal Ify mulai kesal.
“Eh iya kenapa, Fy? Sori gue ngelamun. Hehehe.”
“Dasar!!! Ngelamunin siapa sih? Kak Cakka ya?”
“Heh? Sotoy loe!”
“Udah deh ngaku aja!”
“Dih, apaan sih?!”
“Loe beneran suka sama kak Cakka, Vi? Cieeeeee…”
“Enggak, ih!”
“Udah deh! Gue restui kok kalau loe suka sama kak
Cakka.”
“IFY!!!”
“Syalalalala… kayanya ada yang jatuh cinta pada
pandangan pertama nih. Mesti diumumin di mading besok. Hahaha.”
“Ify gila!”
“Biar yang lain pada tau kalau loe sama kak Cakka
bakal pacaran. Kan seru tuh satu sekolah pada heboh.”
“Serah loe aja deh! Yang jelas gue gak suka sama kak
Cakka.”
“Tepatnya bukan gak suka, tapi belum suka. Iya kan,
Vi? Hehehe.” Sivia langsung mendengus mendengarnya. Nih anak ngeselin juga lama-lama! batin Sivia.
“Yayaya!”
“Oke, fix!”
“Hah? Maksud loe?”
“Gak ada maksud kok.”
“Aneh!”
“Bodo!”
“Udah ah gue ngantuk, Fy.”
“Oke. Kalau gitu selamat tidur ya, Sivia? Semoga
mimpiin kak Cakka!!! Hahaha.” klik! Ify segera memutuskan sambungan teleponnya
sebelum kejadian buruk menimpanya. Tentu saja kalau bukan ocehan dari Sivia.
“IFY GILAAAAAA!!!”
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar