It All Ends
Angin
berhembus tak begitu kencang. Cukup lembut. Tetapi meskipun begitu, rasa dingin
entah kenapa mampu menusuk kulit hingga ke daging. Membuat insan-insan dunia
yang masih betah berteman dengan sang malam pun kini sedikit demi sedikit
semakin merasa resah akan hawa yang mulai tak bersahabat itu.
Di dalam keseriusannya mengemudi mobil, Alvin menyempatkan diri melirik Sivia
yang duduk tak jauh di sampingnya sambil menggeleng iba. Lantas ia dengan
sengaja menghentikan mobilnya di tengah jalan dan kemudian membalikkan badannya
menghadap Sivia yang kini wajah cantiknya itu menampakan ekspresi bertanya.
“Kok berhenti sih, kak? Mobilnya kenapa emang?” tanya Sivia heran. Sedangkan
Alvin hanya tersenyum saja tanpa mau menjawab pertanyaan cewek yang sejak tadi
tak pernah henti mengusap pundaknya yang terbuka itu. Perlahan, Alvin membuka
jas hitam yang melekat di badannya dan kemudian memakaikannya di punggung
Sivia. Bermaksud untuk mengurangi rasa dingin yang dirasakan Sivia selama ia
duduk di jok mobil Alvin dengan kap terbuka tersebut. Lalu kembali tersenyum.
“Lho? Kok jasnya dilepas sih, kak? Entar kak Alvin kedinginan. Kak Alvin kan
cuma pakai kaos tipis doang.” kata Sivia seraya melirik jas yang ada di
pundaknya dengan kaos putih tipis yang dipakai Alvin secara bergantian.
“Udah deh jangan bawel! Gue cowok, kedinginan itu gak ada apa-apanya. Toh cowok
mana sih yang tega lihat ceweknya kedinginan gitu?” balas Alvin asal. Dan
tentunya tidak memperdulikan apa yang akan terjadi dengan raut wajah Sivia
setelah ia berucap seperti itu. Karena memang Alvin paling senang melihat kalau
Sivia sedang kebingungan. Benar-benar sangat lucu.
“Ceweknya? Kok kesannya kaya orang pacaran sih?” timpal Sivia sedikit heran.
Alvin langsung memutar mata dibuatnya.
“Mulai detik ini kita pacaran. Loe sayang sama gue, dan gue juga sayang sama
loe. Kita sama-sama sayang kan? Hmm... ya udah sekarang juga kita jadian. Fix!” mendengar ucapan aneh dan terkesan
main-main dari mulut seorang Alvin, Sivia hanya bisa menampilkan wajah tanpa
dosanya. Berusaha mencerna baik-baik apa makna yang ada di balik kalimat yang
baru saja diucapkan Alvin tersebut.
“Kak Alvin nembak aku?” tebaknya takut-takut. Sampai-sampai tatapan polos di
matanya itu tampak lucu dan berhasil membuat Alvin terkekeh.
“Sivia... Sivia... loe lucu banget sih? Gue cuma bercanda kok tadi. Hehehe.
Jangan dibawa serius lah.” Alvin memamerkan gigi putihnya seketika. Kemudian
menyalakan kembali mesin mobilnya cepat-cepat. Berusaha untuk tidak telat
mengantarkan Sivia sampai ke rumah sebelum jam sebelas.
“Ih, kak Alvin bercandanya gak lucu. Bikin orang GR aja!” tukas Sivia manja
sambil memakai jas milik Alvin yang tadi hanya menempel saja di pundaknya.
“Cie
GR. Hahaha.” ledek Alvin kemudian.
“Tau
ah!” timpal Sivia masa bodoh dengan mempererat pelukannya pada jas milik Alvin.
Sedangkan si pemilik jas itu hanya melirik dan tersenyum saja membalasnya.
Berusaha focus kembali ke arah jalanan.
“Ngg... kak Alvin serius gak kedinginan?”
“Sivia, sekali lagi gue bilang, gue itu cowok. Dan cowok itu...”
“Gak takut sama yang namanya kedinginan.” Sambung Sivia cepat.
“Nah, itu loe tau.”
“Tadi kan kak Alvin udah bilang gitu.” balasnya.
“Terus kenapa loe masih nanya? Heran deh.”
“Hmm... ya, aku cuma khawatir aja sama kakak. Entar kalau kak Alvin masuk angin
gimana?”
“Tinggal dikeluarin aja tuh angin apa susahnya sih?” lantas Alvin menyeringai.
Sepertinya ia mulai senang bercanda dengan cewek peraih gelar Queen yang kesebelas di Sarfagos
tersebut.
“Ih, kak Alvin! Ya udah deh terserah kakak aja. Dan jangan salahin aku ya kalau
nanti kakak sampai sakit?!”
“Bawel!”
“Kalau aku bawel emang ada masalah? Toh aku bawel buat kebaikan kak Alvin kan?”
balas Sivia seraya mengangkat dagunya perlahan. Alvin pun kembali tersenyum
meski pandangannya terus tertuju pada jalanan.
“Hmm…
ya udah sini balikin jasnya kalau itu mau loe.” pintanya tanpa sedikitpun
menengok ke arah Sivia.
“Tapi
nanti aku gimana dong?” tanya Sivia setelah berpikir singkat.
“Tuh
kan? Kalau gue pakai jas gue lagi, entar yang ada malah loe yang kedinginan.
Mau kedinginan?” Sivia langsung menggeleng dengan disertai deretan gigi
putihnya yang terpampang jelas di mata seorang Alvin.
“Dari
pada gue lihat loe sakit, mending sekalian gue aja yang sakit. Bener gak?”
“Ya,
kalau bisa jangan dua-duanya lah! Kan kalau kak Alvin sampai sakit, siapa dong
yang bakal gantiin King di Sarfagos?
Hehehe.” ledek Sivia asal. Dan jelas itu membuat Alvin menekuk wajahnya entah
karena alasan apa.
“Gak
ada yang boleh gantiin King di
Sarfagos selama loe yang jadi Queennya.
Paham?” tegas Alvin kemudian. Wajahnya ia sangarkan seketika.
“Iya
deh iya. Sombong banget sih yang jadi King.
Ish!” lalu Alvin terkekeh.
“Gue
juga sebenernya males jadi King kalau
aja bukan loe yang jadi Quennya.”
“Yayaya…
whatever you say aja, kak. Aku
mengalah.” tiba-tiba Sivia terkekeh.
“Kok
malah ngawur ke mana-mana sih perasaan? Aih…” dirasa baru menyadari akan arah
pembicaraannya yang mulai melayang ke mana-mana, Alvin membuang napas sesaat.
“Kak
Alvin sih.”
“Lho?
Kok gue?”
“Ya,
emang kak Alvin kan yang ngawur?”
“Aih…
kok gitu?” Sivia lagi-lagi terkekeh. Kali benar-benar lucu melihat ekspresi
Alvin yang cukup dibilang tanpa dosa. Namun tiba-tiba suasana menghening, seakan
semua topik pembicaraan yang ada di otak mereka menghilang begitu saja. Ya,
begitu saja. Entahlah.
***
“Loe kenapa sih, Fy? Diem aja nih dari tadi. Loe marah sama gue apa gimana?
Ngomong dong!” tanya Rio yang mulai jenuh melihat Ify yang belum juga merespon
pembicaraannya selama di perjalanan pulang sampai sekarang mobilnya berhenti
tepat di depan sebuah rumah yang cukup mewah itu. Rio berdecak setelahnya. Ify
kenapa sih? umpat Rio.
“Fy,
ngomong dong!” masih enggan turun dari mobil, Rio berdecak sambil badannya
menghadap ke arah Ify. Sedangkan Ify hanya menarik napas sebisa mungkin.
“Gue kesel sama kak Rio.” ucapnya datar. Namun kalimat itu berhasil membuat Rio
tersenyum.
"Oh... kesel sama gue? Kenapa? Gara-gara kelamaan nunggu gue tadi pas di
acara?" Ify memejamkan mata kemudian.
“Ya udah deh gue minta maaf. Soalnya tadi gue bener-bener lupa, Fy. Gue
keasyikan ngobrol sama Alvin dan Gabriel.”
“Lupa apa dilupain? Ah, menyebalkan! Gue masuk dulu, kak. Permisi!” dan tanpa
memperdulikan Rio, Ify langsung turun dari mobil dan melangkah mendekati
gerbang rumahnya.
“Fy?”
“Apa sih?”
“Ada yang mau gue omongin sama loe.” kata Rio sebelum Ify benar-benar masuk ke
dalam area rumahnya. Sedetik, Ify kembali menarik napas.
“Penting apa gak penting? Kalau gak penting, gue mau masuk.” timpal Ify cukup
sadis. Entah setan apa yang kini merasuk seorang Ify sampai bisa bersikap
sangar seperti itu.
“Ini penting banget. Sangat penting.” Rio pun turun dan melangkah mendekati Ify
yang masih setia berdiri sambil memandanginya.
“Ngg... di hati loe masih ada ruang gak buat gue, Fy?” glek! Ify tiba-tiba
tergelak mendengar penuturan dari Rio tersebut.
“Heh? Maksud loe, kak?”
“Jawab aja apa susahnya sih?”
“Tapi gue gak ngerti, kak. Ada ruang apa enggak buat kak Rio di hati gue?
Hmm...” bukannya menjawab, Ify malah mengucap ulang pertanyaan yang ditanyakan
Rio tadi.
“Ck! Loe gak ngerti apa pura-pura gak ngerti sih, Fy?” tukas Rio sedikit
jengah.
“Hmm... mungkin kalau ini loe bakal ngerti. Gue suka dan sayang sama loe, Fy.
Udah lama sih, sejak pertama kita ketemu.” ucap Rio jujur walaupun sedikit
grogi. Dan baru kali ini ia merasa grogi ketika menyatakan perasaannya di depan
seorang cewek. Dan baru kali ini juga ia mengungkapkan isi hatinya yang bukan
lagi main-main seperti sebelum-sebelumnya.
“Entah sebenernya susah banget menjelaskan kenapa gue bisa suka sama loe, tapi
yang jelas sekarang gue udah gak bisa lagi memendam perasaan ini sendirian.
Hmm... loe, loe mau gak jadian sama gue? Kita pacaran gitu.” tembak Rio cepat.
Walaupun ada sedikit rasa ragu di dalam hatinya akan jawaban Ify nanti, namun
Rio tetap percaya diri dengan tekadnya untuk menjadikan Ify sebagai pacar.
“Kak Rio serius?” tanya Ify seraya menautkan kedua alisnya.
“Selama loe kenal gue, apa gue pernah bohong sama loe? Enggak kan, Fy?” Rio
mencoba meyakinkan.
“Ngg... enggak sih. Cuman gue belum terlalu percaya sama loe, kak. Hmm... tau
sendiri kan kak Rio itu siapa sebelumnya?”
“Playboy maksud loe?” belum sedetik
Ify berbicara, Rio segera menimpali dengan cepat. Membuat Ify terpaksa
mengangguk dan tersenyum datar ke arah cowok yang kini memberi tatapan matanya
yang cukup dalam. Dan bahkan Ify sempat tak kuasa membalasnya walaupun hanya
sedetik.
“Gue sadar sih, gue emang sering banget ganti-ganti cewek. Tapi itu semua gue
lakuin karena gue mau cari yang tepat, Fy. Dan menurut gue, semua cewek yang
kemaren-kemaren sempat gue pacarin itu cuma karena lihat materi dan fisik gue.
Ya, walaupun semua orang di sekolah ini ngira gue playboy, tapi sebenernya gue pilih-pilih lho." jelas Rio
panjang lebar. Mencoba berusaha untuk meyakinkan seorang Ify yang mungkin
sedikit tak percaya dengan perasaan cinta yang dimiliki Rio untuknya. Sedangkan
Ify hanya bisa menjadi pendengar yang baik tanpa ada niat untuk merespon balik.
“Dan malam ini, entah kenapa gue bener-bener yakin kalau gue sudah menemukan
orang yang tepat. Dan orang itu adalah elo, Fy. Ngg... loe mau kan jadian sama
gue? Gue janji gue gak bakal jadi playboy
lagi. Demi loe, dan buat loe.” seperti kilat, Rio meraih kedua telapak tangan
Ify dan menggenggamnya erat.
Walaupun hanya ditemani sorotan temaram sebuah lampu yang ada di ujung pagar
rumahnya, Ify begitu jelas melihat wajah Rio yang sudah menampakan raut
memohonnya. Sejenak, Ify menghela napas sebelum berucap.
“Kaya orang bener aja loe kak ngomongnya.” glek! Rio mendadak tersedak tanpa
ada makanan di tenggorokannya. Satu kalimat yang keluar begitu saja dari mulut
Ify tersebut cukup membuatnya hilang keberanian. Tega-teganya Ify bilang
seperti itu ke Rio yang padahal sudah bersusah payah untuk cowok tersebut
bersikap sedewasa mungkin di hadapan seorang Ify.
“Fy,
please… gue lagi serius. Bener-bener serius.
Loe jangan bikin gue down dong!”
tukas Rio mulai jengah.
“Hehehe.
Bercanda kak, bercanda. Aih! Masa segitu aja udah ngedown? Payah!” Ify berdecak
sedetik. Menyayangkan keberanian seorang Rio yang hanya seujung kuku saja
menurutnya.
“Ya, bukan gitu juga. Lagian loe... ah gak tau deh! So, intinya loe mau gak
jadian sama gue? Kita pacaran.” tegas Rio mulai menepis keraguan yang sempat
muncul di hatinya itu. Cukup lama, Ify terlihat berpikir. Dan itu tampak jelas
saat bibirnya ia gigit-gigit kecil seraya kedua bola matanya yang beredar tak
jelas.
“Ify?”
“Ngg... gimana ya? Gue sih sebenernya suka sama loe, kak. Tapi...”
“Tapi apa? Jangan bilang masalah playboy
lagi? Aih! Kan tadi gue udah jelasin semuanya ke elo, Fy. Ayolah, please?” Rio menggenggam tangan Ify
semakin erat. Bahkan sepertinya tak ada niat di otak Rio untuk melepaskan
genggamannya sebelum Ify menjawab iya atau tidak.
“Bukan itu, kak. Tapi gue masih ragu aja sama kak Rio.” Ify tersenyum kemudian.
Tersenyum melihat perubahan raut wajah Rio yang menampakan kekecewaan.
“Oh, gitu? Hmm... ya udah deh gak apa-apa kalau loe masih ragu sama gue. Tapi
loe masih mau beri kesempatan buat gue kan, Fy? Buat buktiin kalau gue
sungguh-sungguh sama loe.” ucap Rio yakin. Walaupun sinarnya sedikit meredup,
namun Rio berusaha menghargai keraguan Ify kepadanya. Toh cinta itu butuh
keseriusan, bukan?
“Hahaha. Kak Rio beneran suka sama gue? Serius?” glek! Rio menelan ludah hebat
di depan cewek yang kini entah kenapa bersikap aneh dan bahkan benar-benar
sangat aneh.
“Ah, Ify! Loe mau mainin gue apa gimana sih?! Aneh gue sama loe. Ish!” tukas
Rio kembali jengah melihat Ify terkekeh tanpa dosa di hadapannya.
“Jadi ini serius, kak? Aih! Gue kira kak Rio cuma bercanda doang.”
“Serah loe aja deh, Fy! Bad mood gue
jadinya.” Rio akhirnya berbalik badan tanpa memperdulikan Ify lagi. Dan ia
langsung masuk ke dalam mobil cepat-cepat.
“Kok ngambek sih? Gue kan gak tau, kak. Maaf deh, maaf.” lantas Ify
mengetuk-ngetuk kaca mobil Rio perlahan. Sepertinya Ify mulai menyesal dengan ulahnya
tadi ke Rio yang sudah jelas-jelas berbicara serius.
“Bete
gue sama loe, Fy. Aih!” rutuk Rio sambil memegang setir mobilnya. Sedangkan Ify
malah berpamer ria menampakan deretan gigi-gigi putihnya yang terjaga ketat
oleh kawat berwarna hijau muda.
“Ck! Nyengir loe kaya kuda!”
“Ngg... tapi loe suka kan, kak?” Ify menyeringai setelahnya. Namun itu berhasil
membuat wajah Rio menekuk. Entah rasanya malu sendiri mendengar perkataan Ify
tersebut.
“Yayaya... bicara soal itu, loe mau gak sih jadi pacar gue, Fy? Gue seriusan,
gue gak mau bercanda.” seakan kembali ke topik awal, Rio lagi-lagi meminta
jawaban Ify atas ungkapan isi hatinya tadi.
“Ngg... sebelum gue jawab, mending kak Rio keluar dulu deh!” pinta Ify lembut.
Dan tanpa menunggu lama lagi, Rio membuka pintu mobilnya dan berdiri kembali di
hadapan Ify. Tentu saja untuk menunggu apakah ia diterima atau sebaliknya oleh
cewek yang sekarang wajahnya sedikit kusut itu.
Sedetik, dua detik, dan hampir lima detik Ify terdiam. Namun akhirnya Ify
langsung memeluk cowok berjas putih yang tadi sempat dibuat kesal olehnya itu
erat-erat. Dan walaupun Rio masih belum mengerti dengan maksud Ify tersebut,
Rio tetap berusaha membalas pelukannya.
“So, ini artinya?” lalu Rio bertanya
setelah Ify melepaskan pelukan erat di tubuh jenjangnya.
“Gue mau jadian sama loe, kak. Gue mau jadi pacar loe.” jawab Ify mantap tanpa
ada keraguan sedikitpun di benaknya.
“Se... serius loe, Fy?” Ify lantas mengangguk.
“Gue serius, kak. Sangat serius bahkan. Terserah orang lain mau bilang apa tentang
loe, kak. Yang jelas, kak Rio udah bikin gue nyaman selama gue berada di deket
loe, kak.” lanjut Ify jujur.
“Thanks ya, Fy?” lagi, mereka
berpelukan. Kali ini Rio yang memeluk Ify terlebih dahulu.
“Gue janji, gue akan berusaha sebisa mungkin buat jagain loe, selalu ada di
sisi loe saat loe butuh gue, dan yang terpenting gue akan berusaha sebisa
mungkin untuk tidak membuat loe kecewa.”
“Janji?”
“Bunuh gue kalau gue ngelakuin itu semua.” Ify tersenyum mendengarnya.
“Serius?”
“Enam rius.”
“Sungguh?”
“Gue gak pernah bohong kan sama loe, Fy?”
“Iya
deh iya gue percaya. Hmm... ya udah deh kalau gitu mendingan kak Rio pulang
gih, udah malem banget.”
“Oh, ya udah deh. Gue balik dulu ya? Selamat malem... sayang. Hehehe.” Rio
tersenyum malu-malu kemudian. Perasaannya benar-benar sangat senang.
“Hati-hati ya, kak Rio! Selamat malem juga.” balas Ify ikut tersenyum. Lantas
Rio segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin cepat-cepat.
“See you tomorrow ya?”
“Oke, see you too.” Rio pun langsung
melaju setelah sebelumnya ia membunyikan klakson sebagai tanda pamitnya. Dan
Ify melambaikan tangannya perlahan, lalu berlari masuk ke dalam rumahnya
setelah mobil yang dikendarai Rio itu sudah tak terlihat lagi di wilayah
pandangnya.
***
Hampir lima menit Prissy mematung, mulut mungil miliknya belum bisa menjawab
apakah ia akan menerima perasaan tulus Gabriel yang tadi sempat terucap begitu
saja dari mulut cowok bercardigan
abu-abu tersebut. Padahal faktanya tidak terlalu sulit untuk Prissy berkata iya
kepada Gabriel, tetapi entah kenapa saat itu lidahnya terasa sangat kelu.
Bahkan hanya sekedar membuka mulut pun Prissy tak mampu. Yang bisa ia lakukan
sekarang hanyalah duduk kaku saja di samping Gabriel yang tangannya masih
memegang kemudi mobil yang sedang berhenti itu. Perlahan, Gabriel menghela
napas, mencoba memaklumi aksi diam mendadak dari seorang Prissy tersebut.
“Ngg... kalau emang loe masih ragu sama gue, gak jawab sekarang juga gak
apa-apa kok. Mungkin loe butuh waktu.” ucap Gabriel sambil tersenyum dan
menyalakan kembali mesin mobil untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah Prissy
yang sempat terhenti.
“Hmm... Gab?”
“Ya, Pris?” respon Gabriel seraya melirik ke arah cewek bermahkota yang duduk
manis di sampingnya. Lantas kemudian Gabriel langsung mendapatkan senyuman
kecil dari cewek tersebut.
“Gue mau kok jadi pacar loe.” jawab Prissy mantap. Dan itu cukup membuat
Gabriel menelan ludah kuat-kuat karena mungkin sedikit tidak percaya dengan
jawaban indah yang baru saja mengetuk gendang telinganya.
“Are you serious, Pricilla?” Prissy
lantas mengangguk.
“Yeah, i'm serious. Karena rasanya
terlalu bodoh kalau gue sampai nolak perasaan loe yang sangat tulus itu buat
gue. Gue juga suka sama loe sejak pertama kali gue ketemu sama loe. Ya... waktu
kita tanpa sengaja bertabrakan di dekat gerbang.” ujar Prissy dengan tak
henti-hentinya tersenyum. Membuat Gabriel mendadak salah fokus. Lalu Gabriel
kembali menatap jalanan sebelum ia menabrak sesuatu karena saking antengnya
memandang senyuman seorang Prissy.
“Lucu ya?”
“Heh?”
“Ngg... iya, lucu. Ternyata cinta pada pandangan pertama itu bener-bener ada.
Gue kira cuma ada di sinetron-sinetron aja.” ujar Gabriel sedikit terkekeh saat
ilusinya muncul serentak di depan mata. Ilusi tentang dirinya dan Prissy saat
pertama kali bertemu tentunya.
“Skenario Tuhan memang tidak ada yang bisa menebak.” lanjut Gabriel sambil
menggelengkan kepala. Sedangkan Prissy hanya ikut tersenyum sambil terus
memandangi wajah Gabriel dari samping. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat
mempesona menurut Prissy.
***
“Hmm... Ag?” baru saja Agni hendak masuk ke dalam pintu rumahnya, tiba-tiba
Cakka menggenggam pergelangan tangan kiri cewek tersebut. Kontan Agni langsung
berbalik badan seraya memberi tatapan bertanya ke arah Cakka.
“Kenapa, Cak?” tanyanya kemudian.
“Ngg... loe masih inget gak janji kita waktu kecil?” tanya Cakka mencoba
memancing daya ingat cewek di depannya itu.
“Janji?”
“Iya, janji. Loe masih inget?”
“Janji apaan?” sedikit bingung, Agni mengernyitkan dahi.
“Aih! Masa loe lupa sih, Ag?!”
“Emang kita pernah janji? Seinget gue, kita gak pernah ada perjanjian deh.
Apaan sih, Cak? Jangan bikin bingung dong!” ujar Agni sangat bingung dengan
ucapan Cakka.
“Hmm... janji kalau kita udah besar nanti, kita bakalan nikah.” kata Cakka
berusaha membuyarkan kebingungan Agni. Mendengar hal itu, lantas Agni
membulatkan mulut sembari mengangguk berkali-kali.
“Oh, itu? Aih! Itu mah bukan kita yang janji, tapi cuma loe doang. Dasar!”
“Iya sih. Tapi sekarang gue mau bikin janji itu lagi untuk kedua kalinya. Dan
loe harus terlibat tentunya.”
“Lho?
Kok gitu?”
“Kali ini loe gak boleh nolak. Toh kita sekarang bukan anak kecil lagi kan? Gak
salah dong kalau kita bikin janji buat nikah nanti?” tegas Cakka asal.
Tangannya pun sejak tadi belum juga lepas dari tangan Agni.
“Tapi kan?”
“Gak ada tapi-tapian pokoknya!” timpal Cakka. Dan itu cukup berhasil membuat
Agni memutar mata jengah. Ternyata cowok yang ada di hadapannya itu masih sama
seperti dulu. Menyebalkan.
“Ish! Loe itu gak pernah berubah ya ternyata? Masih nyebelin.” tukas Agni.
“Dan memang tidak akan pernah berubah sedikitpun. Selama di sini, masih ada
nama loe.” Cakka mengarahkan telapak tangan Agni ke dada bidangnya. Membiarkan
sejenak untuk cewek tersebut merasakan getaran cinta yang ada di jantungnya.
“Ma... maksud loe?”
“Perasaan gue ke elo juga masih sama seperti dulu, Ag. Gue masih mau berada di
dekat loe lagi, jagain loe, dan bahkan berusaha untuk selalu ada saat loe butuh
gue. Hmm... seperti dulu, waktu kita masih kecil.” kemudian Cakka tersenyum.
Dan walaupun saat ini jantung Agni sudah berdentum tak karuan, namun Agni
sebisa mungkin berusaha untuk tidak terlihat gugup dan gede rasa di hadapan
sahabat kecilnya itu.
“Loe kenapa sih, Cak? Aneh deh! Loe gak lagi kesambet kan?” tanya Agni
bertubi-tubi. Namun Cakka malah tak menggubris sama sekali. Ia tetap menatap
dalam mata Agni yang indah berwarna cokelat.
“Loe sayang sama gue kan, Ag?” glek! Satu pertanyaan yang diucapkan Cakka
tersebut berhasil membuat tenggorokan Agni terasa kering. Meskipun ia sudah
biasa mendengar kata sayang dari mulut Cakka, tapi entah kenapa yang sekarang
rasanya sangat berbeda dari yang sudah-sudah. Ditambah dengan tatapan Cakka
yang seakan memaksanya untuk mati berdiri saat ini juga.
“Loe ngomong apaan sih, Cak? Jelaslah gue sayang sama loe, kita kan sahabatan
dari kecil.” ujar Agni sekenanya. Tetap sebiasa mungkin.
“Sayang lebih dari sahabat?”
“Heh? Maksudnya?”
“Ngg... maksudnya, gue sayang sama loe, tapi bukan sayang sebagai sahabat.”
ucap Cakka yang lantas menurunkan tangan Agni dari dadanya.
“Terus?”
tanya Agni bermaksud untuk meminta Cakka melanjutkan ucapannya.
“Hmm... to the point aja ya? Intinya
gue cinta sama loe, Ag.” tegas Cakka langsung. Dan sedetik setelah perkataan
tersebut keluar dari mulut Cakka, Agni membelalakan matanya seketika. Entah
rasa kaget dan senang serta terharu tiba-tiba bercampur aduk di dalam hatinya.
“Ci... cinta sama gu... gue?” Agni pun bertanya seraya menunjuk wajahnya
sendiri.
“Ya, gue cinta sama loe. Ngg... walaupun dulu gue sering banget bilang ini ke
elo, tapi sekarang gue bener-bener serius. Karena ini ada ucapan cinta dari
seorang Cakka yang berumur 16 tahun, bukan lagi Cakka yang berumur 9 tahun.
Dan... apa loe juga mau menanggapi perasaan gue ini lebih serius lagi?” ucap
Cakka dengan diakhiri sebuah pertanyaan yang mungkin saja ditunggu-tunggu Agni
selama ini.
“Maksud loe?”
“Kita pacaran.”
“Pacaran? Aih! Jangan bercanda deh! Gak lucu tau?!” sangkal Agni.
“Gue serius, Agni jelek!” gemas Cakka sembari mencubit pelan pipi cewek yang
kini wajahnya bersemu merah itu. Kontan Agni langsung meringis karena merasa
sedikit perih dengan ulah jahil dari seorang Cakka Pratama tersebut.
“Ish! Sakit tau?!”
“Bodo! Abis loe lemot sih.”
“Enak aja! Gue gak lemot. Loe tuh yang lemot!” tukasnya sebal.
“Whatever deh! So, ini gimana nasib gue?”
“Apaan sih? Gak ngerti.”
“Jangan sok polos gitu deh ah!”
“Aih! Oke-oke... loe tadi nembak gue kan? Ngg... gimana ya?” Agni berpikir
cukup lama. Bahkan saking lamanya itu membuat Cakka sampai jengah menunggunya.
“Niat jawab gak sih, Ag? Lama banget!”
“Ish! Sabar dikit kenapa sih? Namanya juga lagi mikir.”
“Padahal cuma bilang terima atau enggak aja susah amat.” rutuk Cakka tak begitu
keras.
“Iya, gue terima deh.” jawab Agni kemudian disertai senyuman kecil.
“Serius loe, Ag?” Agni pun mengangguk.
“Tapi kok kaya kepaksa sih jawabnya?”
“Beneran, Cakka Pratama! Toh mana ada sih cewek yang mau nolak loe? Apalagi gue
yang faktanya udah kenal loe dari kecil, dari loe masih ingusan. Hehehe.” Agni
terkekeh. Dan baru saja Agni hendak melanjutkan perkataannya,
Cakka dengan spontan memeluk erat tubuh cewek hitam manis tersebut. Pelukan
yang dulu sempat hilang di hidup Agni kini seakan kembali lagi. Terakhir kali
Cakka memeluknya seperti ini yaitu waktu mereka berpamitan saat Agni hendak
pindah ke luar negeri.
Flashback
On.
“Kamu jangan pernah lupain aku ya di sana?” pinta Cakka dengan sedikit air mata
yang menggenang di sudut bola matanya.
“Aku janji, aku gak akan pernah lupain kamu. Karena di manapun aku berada, kamu
tetap sahabat aku satu-satunya yang paling baik dan paling berharga buat aku.”
jleb! Cakka memeluk Agni erat-erat. Hatinya benar-benar tidak rela jikalau
harus berpisah saat ini juga dengan Agni. Tapi toh mau bagaimana lagi, ini
tuntutan pekerjaan dari orang tua Agni. Dan apapun alasannya, Agni tetap harus
pergi bersama mereka.
“Sayang, ayo? Bentar lagi pesawat take off.” panggil mama Agni sambil menyentuh
pundak anaknya perlahan.
“Jaga diri kamu baik-baik ya di sana? Aku yakin kamu bisa lakuin itu walaupun
aku gak ada di sisi kamu.” ucap Cakka setelah melepaskan pelukkannya di tubuh
Agni, dan kini tangannya beralih ke pundak gadis kecil itu. Agni pun
mengangguk. Sebisa mungkin untuk ia selalu ingat dengan kata-kata sahabat
baiknya itu.
“Aku pergi ya? Aku janji, aku akan kembali menemui kamu. Selamat tinggal.”
meski sedikit ragu, Agni akhirnya berlalu bersama dengan sang mama yang
menggandeng tangannya. Sedangkan Cakka hanya bisa melambaikan tangannya sambil
sesekali tetesan air matanya mengalir lembut di kedua pipinya.
“Ayo kita pulang, nak?” papa Cakka yang tadi hanya bisa terpaku memandangi aksi
haru dari kedua anak kecil yang sangat disayanginya itu kini mencoba meraih
pundak Cakka dan memeluknya dari belakang. Begitu juga Alvin dan Ify yang sejak
tadi diam saja meskipun sebenarnya mereka juga sangat sedih ditinggal Agni yang
sudah mereka anggap sebagai keluarga sendiri. Mereka menghela napas kemudian.
Apapun yang terjadi, mereka harus tetap ikhlas menerimanya.
Flashback
Off.
“Thanks ya, Ag?” ucap Cakka yang cukup
berhasil membuyarkan semua bayang-bayang semu di otak Agni akan masa kecilnya
dulu. Agni tersenyum saja membalasnya. Dan... cup! Tanpa diduga sama sekali
oleh Agni, Cakka melayangkan sebuah kecupan hangat di pipi kiri cewek tersebut.
“Udah malem nih, gue pulang dulu ya? Selamat malam!” pamitnya kemudian sambil
tersenyum dan berlalu begitu saja meninggalkan Agni yang mungkin cukup syok
dibuatnya.
Hampir setengah menit Agni mematung, bahkan kalau saja Cakka tidak membunyikan
klakson mobilnya, mungkin Agni sampai sekarang belum juga tersadar dari aksi
diamnya itu. Dan akhirnya ia pun hanya bisa melambaikan tangan dengan sedikit
lengkungan garis bibirnya yang terukir begitu manis saat mobil Cakka mulai
melaju.
“Tuhan, jangan bangunkan aku kalau ini hanyalah mimpi.” lirihnya seakan tak percaya.
Rasa hangat di pipinya pun masih jelas membekas. Dan mungkin saja akan
selamanya membekas di pipi Agni.
***
Detak jarum jam masih setia berputar. Memecah keheningan nada-nada yang seakan
vakum saat malam mulai larut. Suara-suara binatang yang aktif di malam hari pun
mulai tak terdengar lagi saat langkah kaki Alvin dan Sivia memasuki sebuah
rumah. Rumah sederhana yang membuat Alvin berubah sifat saat pertama kali ia
menginjakkan kaki di sana.
Belum ada lima langkah Alvin dan Sivia berjalan di ruang tamu, wanita paruh
baya dengan ditemani kursi roda yang didudukinya itu sudah menyambutnya dengan
sebuah senyuman. Lantas membuat Alvin dan Sivia saling pandang.
“Mama belum tidur?” tanya Sivia yang langsung berjalan mendekati mamanya.
Kemudian Sivia mencium tangan sebelum sang mama menjawab pertanyaan dirinya
tadi.
“Iya, tante kok belum tidur sih?” sambung Alvin yang juga ikut melakukan apa
yang dilakukan Sivia.
“Tante sengaja belum tidur buat nunggu kalian pulang.” jawabnya mantap. Kontan
membuat Alvin dan Sivia saling pandang kembali. Merasa heran tentunya dengan
kalimat tersebut.
“Oh iya, silahkan duduk dulu, nak Alvin!” suruh mama Sivia seketika. Alvin
tersenyum.
“Makasih, tante.”
“Hmm...
nak Alvin habis berantem? Kok mukanya pada lebam gitu?” mama Sivia kembali
bertanya setelah menyadari ada luka-luka kecil di wajah Alvin. Dan karena
merasa bingung harus menjawab apa, Alvin memberi kode ke Sivia yang masih
berdiri di belakang mamanya itu.
“Ngg... kak Alvin kaya gitu karena Via, Ma.” timpal Sivia asal.
“Lho? Maksud kamu?”
“Hmm... jadi gini, tadi kan di acara peringatan hari jadinya sekolah Via sama
kak Alvin itu mewajibkan untuk para siswanya buat dansa, nah... mama tau
sendiri kan kalau Via sama sekali tidak bisa dansa? Ya... jadinya gitu deh,
kaki kak Alvin gak sengaja Via injak terus jatuh.” jelas Sivia semakin asal.
Sedangkan Alvin hanya diam saja mendengar kilahan dari Sivia tersebut. Toh ia
sendiri bingung harus mencari alasan apa yang masuk akal dengan kondisi
wajahnya yang seperti itu.
“Aduh, Via! Kok kamu jadi ceroboh gitu sih? Kasihan kan Alvin?” ucap mama Sivia
yang langsung percaya saja dengan penjelasan dari anaknya tadi. Lantas dengan
bantuan kedua tangannya, beliau memutar roda dan mendekat ke arah Alvin.
“Alvin gak apa-apa kok, Tante. Cuma perih sedikit.” kata Alvin saat mama Sivia
menyentuh bekas lukanya yang ada di sudut mata serta bibir.
“Via ambilin obat ya, kak?” usul Sivia.
“Sekalian bawa air hangat dan kain bersih juga ya, sayang?”
“Iya, Ma.” balas Sivia seraya berlalu ke arah dapur.
“Maafin anak Tante ya, nak Alvin? Via emang suka ceroboh anaknya.” ucapnya
ramah. Sedangkan Alvin hanya bisa berusaha untuk tetap tersenyum walaupun
hatinya masih merasa bersalah karena sudah berbohong.
“Gak apa-apa kok, Tante. Sivia gak salah. Ini hanya kecelakaan kecil, paling
besok juga udah sembuh.” ujar Alvin yakin.
“Tapi tetep harus diobatin kan?”
“Hmm... iya juga sih. Ngg... oh iya Tante, Difa udah tidur?” tanya Alvin
mencoba mengalihkan topik.
“Difa? Difa udah tidur dari tadi sore. Kenapa emang?”
“Oh, udah tidur ya? Hmm... gak apa-apa sih, udah lama aja Alvin gak ketemu
Difa. Kangen main-main bareng lagi.” Alvin menjawab dengan santainya sambil
tersenyum.
“Oh,
gitu? Nggak tau tuh akhir-akhir ini Difa sering banget tidur sore-sore, mungkin
karena kelelahan kali ya dengan aktivitas sekolahnya yang mulai padat.”
“Hayo... lagi pada ngomongin Via ya? Aih!” tiba-tiba Sivia menyahuti dengan
kedua tangan yang memegang kotak P3K serta bawaan lainnya yang tadi diminta
sang mama.
“Ih, kepo bingit deh!” ledek mamanya dengan nada menggoda. Lantas Sivia
mengernyit sambil menatap heran ke arah sang mama dan Alvin secara bergantian.
“Ish! Kok mama jadi gaul bin alay gitu sih? Tau dari mana bahasa kaya gituan,
Ma? Jangan bilang kak Alvin yang ngajarin?!” tuduhnya kemudian. Sedangkan Alvin
yang tak tau apa-apa hanya bisa menampakan ekspresi yang seakan bilang
kok-gue-sih-yang-kena?
“Enak aja! Aku gak pernah ngomong bahasa alay, apalagi sampai ngajarin mama
kamu.” sergah Alvin membela diri.
“Bohong!”
“Beneran, Sivia. Coba aja tanya sendiri sama mama kamu kalau gak percaya!”
“Udah-udah jangan ribut! Mama tau dari Difa.” Sivia langsung mendesis serta
memejamkan mata mendengarnya.
“Aih! Parah tuh bocah!”
“Udahlah jangan dipikirin! Toh tadi Mama cuma iseng doang. Sini obatnya!”
“Ngg... biar Via aja yang ngobatin kak Alvin.”
“Oh, ya udah kalau gitu.” Sivia pun segera duduk di samping Alvin dengan
memangku kotak P3K di pahanya.
“Pelan-pelan, Vi.” pinta Alvin takut-takut.
“Iya, kak Alvin tenang aja.” jawab Sivia meyakinkan.
Dengan sangat hati-hati, Sivia menyentuhkan kain yang sudah dicelupkan ke dalam
air hangat itu di pinggiran luka Alvin. Berusaha sebisa mungkin untuk Alvin
tidak merasakan perih. Dan... dzing! Mata mereka bertemu di satu titik. Tak
lebih dari delapan sentimeter jarak antara mata mereka berdua. Sampai Alvin dan
Sivia mampu merasakan deru napas yang memburu satu sama lain. Cukup lama.
Serasa cuma mereka berdua sajalah yang berada di ruangan itu.
“Ehem! Mau ngobatin luka apa mau pandang-pandangan nih?” goda sang mama
disertai senyum. Lucu sendiri melihat tingkah dua remaja yang kini mungkin
sedang dilanda rasa yang aneh tersebut. Sontak Alvin dan Sivia langsung
tersadar dengan kembali berusaha bersikap seperti semua. Meski rasa kaku begitu
jelas terlihat di antara mereka. Sang mama pun menggeleng maklum.
“Aw! Pelan-pelan, perih.” lirih Alvin saat Sivia mengambil kapas yang sudah
diteteskan antiseptik dan menempelkannya di luka Alvin.
“Maaf, kak. Lagian ini udah pelan-pelan kok.” ujar Sivia sembari mengelap wajah
Alvin bagian lain yang sedikit basah.
“Ngg... thanks ya, Vi?” sedetik, Sivia membalasnya dengan senyuman.
“Aku simpan ini dulu ya, kak?”
“Iya. Sekali lagi makasih.” dan sama seperti tadi, Sivia kembali tersenyum,
namun kali ini ia pamerkan deretan gigi-gigi serinya. Lantas segera pergi dari
tempat tersebut.
“Udah berkurang kan perihnya?”
“Lumayan, Tante. Hmm... oh iya Tante, sebelum Alvin pamit pulang, Alvin boleh
ngomong sesuatu gak sama Tante?” tanya Alvin antusias. Dan sepertinya ia akan
membicarakan hal penting jika dilihat dari tatapan mata serta raut wajahnya
yang berseri.
“Oh, boleh kok. Mau ngomong apa?” sejenak, Alvin tampak berpikir. Entah ini
terlalu ambisius atau tidak, yang jelas tekad Alvin sudah bulat untuk
mengatakan suatu hal yang harusnya sangat personal itu.
“Ngg... sebelumnya Alvin mau minta maaf dulu kalau aja nanti Alvin salah ucap
atau gimana. Di sini Alvin cuma mau...” Alvin pun menghela napas terlebih
dahulu sebelum melanjutkan kata-katanya. Membuat mama Sivia sukses dibuat
bingung olehnya.
“Mau?”
“Hmm... Alvin mau minta izin sama Tante, atau lebih tepatnya restu.”
“Restu? Maksudnya? Tante gak ngerti deh.” lagi dan lagi Alvin menghela napas.
Ternyata susah juga mencari kata-kata yang tepat di hadapan orang tua dari
cewek yang sudah membuatnya memiliki rasa yang aneh itu.
“A... Alvin, ngg... Tante mau restuin enggak kalau Alvin sama Sivia menjalin
hubungan yang lebih dari sekedar teman?” walaupun cukup sulit untuk mengatakan
pertanyaan itu, namun Alvin berhasil membuat mama Sivia mengerti akan maksud
dari pertanyaan tersebut. Beliau pun tersenyum.
“Nak Alvin suka sama Via?” tanyanya pelan. Berusaha berbicara lebih dekat lagi
dari hati ke hati dengan Alvin.
“Begitulah, Tante. Cuma Alvin belum berani buat ungkapin perasaan Alvin ke
Sivia.”
“Takut ditolak?” tebak beliau. Alvin mengangguk pelan.
“Kenapa mesti takut? Nak Alvin kan laki-laki, harusnya nak Alvin itu lebih
berani dan lebih siap menerima apapun keputusan yang akan nak Alvin terima
nanti. Ya, Tante sih setuju-setuju aja kalau nak Alvin ada hubungan sama Via.
Entah itu sebagai teman, sahabat, ataupun yang lainnya, selama itu hubungan
sehat, gak ada masalah buat Tante. Gak ada hak juga kan kalau Tante melarang?
Toh kalian berdua yang jalanin, bukan Tante. Hmm... tapi kembali lagi, keputusan
terbesar ada di Via. Tante gak bisa berbuat lebih. Tante percayakan semuanya
sama Alvin.” kata mama Sivia panjang lebar dengan sesekali mengusap pundak
Alvin lembut.
“Tante serius?” lalu beliau mengangguk yakin.
“Makasih ya, Tante? Alvin seneng banget deh. Ya, kalaupun nanti Sivia nolak
Alvin, Alvin gak masalah. Yang penting Tante udah percaya sama Alvin, itu lebih
dari cukup.” spontan, Alvin menekuk lutut dan memeluk wanita paruh baya itu
erat-erat.
“Ah, Mamaaaaaa.” Sivia yang tadi tak sengaja mendengar pembicaraan antara Alvin
dan mamanya itu juga ikut terharu dan ikut serta memeluk mama tercintanya dari
belakang ketika melihat Alvin dengan tulusnya berlutut sambil memeluk hangat
orang tua yang telah melahirkan Sivia tersebut.
Mendengar rintihan manja itu, Alvin lantas mengangkat kepalanya, dan dengan
cepat ia menangkap sosok Sivia di belakang wanita yang sedang ia peluk. Sivia
pun tersenyum. Mungkin sangat kagum dengan keberanian Alvin tersebut.
“Via sayang, ayo duduk di sini, di samping Alvin.” pinta sang mama sambil
meraih tangan Sivia yang melingkar di lehernya.
“Ada sesuatu yang mau nak Alvin omongin sama kamu.” lanjut beliau lembut.
“Aku udah denger semuanya kok, Ma.”
“Tapi kan tadi ngomongnya sama Mama, bukan sama kamu.” beliau menyempatkan diri
untuk tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.
“Ya
udah deh kalau gitu Tante ke dalem dulu ya, nak Alvin? Tante mau tidur. Dan
kalau ngobrolnya udah selesai, jangan lupa langsung pulang ya? Udah malem, gak
enak sama tetangga.”
“Siap, Tante!”
“Oke. Good luck!” beliau pun
menyeringai sejenak ke arah Alvin sebelum benar-benar pergi dari ruang tamu
menuju kamar tidur. Seakan memberi semangat kepada remaja berwajah oriental
tersebut. Alvin mengangkat jempol sebagai balasannya.
“Pada gak jelas deh!” timpal Sivia sedikit risih dengan tingkah Alvin dan
mamanya itu.
“Mama kamu bener-bener asyik ya, Vi? Aku jadi kangen Mama.” lirih Alvin yang
tak sedikitpun merespon timpalan dari Sivia tadi. Sedangkan Sivia hanya
menghela napas dan berusaha tersenyum mendengar ucapan Alvin yang mulai
merindukan kembali sosok mamanya.
“Hmm... kak Alvin boleh kok anggap Mama aku sebagai Mama kak Alvin juga.” Alvin
tiba-tiba terkekeh. Sedikit lucu mendengar kalimat yang keluar begitu polosnya
dari mulut Sivia.
“Mungkin itu akan segera terwujud setelah kita lulus kuliah nanti.” ucapnya
asal. Dan itu cukup sukses merubah raut wajah Sivia.
“Maksudnya?”
“Maksudnya? Beneran mau tau maksudnya?”
“Aih! Apa coba?”
“Ngg... apa ya? Ya, gitu deh! Aku bakal anggap Mama kamu sebagai Mama aku juga
asalkan pas lulus kuliah nanti kita nikah. Gimana?” ucap Alvin sedikit asal dan
menggoda.
“What?! Jauh amat mikirnya, kak? Lulus SMA aja belum.”
“Oh, jadi kamu mau nikahnya setelah kita lulus SMA?” lagi-lagi Alvin terkekeh.
Apalagi kalau melihat wajah Sivia yang ekspresinya susah untuk dijelaskan oleh
kata-kata.
“Aih! Bukan gitu maksud aku!”
“Terus maksudnya apa dong?”
“Tau ah! Pacaran juga belum, masa mikirnya udah ke nikah aja. Aneh deh.”
“Oh, gitu? Ngg... kalau itu mau kamu, ya udah kita pacaran. Toh kamu sendiri
udah tau kan gimana perasaan aku sama kamu?” tegas Alvin dengan perlahan
memegang tangan Sivia.
“Aku butuh kamu, Vi. Dan entah apa jadinya aku kalau kamu gak pernah ada
sebelumnya di hidup aku. Apa aku akan seperti ini? Atau bahkan lebih buruk dari
ini? Aku juga gak tau.” jelasnya cukup panjang.
“Yang
jelas, aku nyaman menjadi aku yang sekarang, menjadi aku yang saat ada kamu di
kehidupanku. Walaupun aku gak tau aku berubah karena kamu atau bukan, tapi aku
yakin kalau kamu adalah nyawa keduaku yang bisa menghidupkan kembali nyawa
lamaku yang telah mati. Hmm... Vi, mohon izin aku untuk selalu ada di sisi
kamu. Aku bener-bener membutuhkanmu. Kamu mau kan menjadi alasan utamaku
menjalani kehidupan yang lebih baru ini? Kehidupan baruku.” lanjut Alvin semakin
erat memegang kesepuluh jemari tangan Sivia. Tatapan matanya membuktikan kalau
ia benar-benar berharap.
“Kak, sebenernya bukan aku yang bisa merubah kak Alvin. Tetapi kak Alvin
berubah dengan sendirinya. Karena mungkin udah saatnya untuk kak Alvin berubah.
Toh gak selamanya kan kak Alvin bersikap brutal?” balas Sivia disertai sebuah
senyuman.
“Dan kalau masalah ini...” lanjutnya perlahan. Genggaman tangannya dan tangan
Alvin ia sentuhkan ke dada cowok tersebut.
“Entah kenapa aku juga merasakan apa yang kak Alvin rasakan.” Alvin pun
menghela napas dibuatnya. Cukup melegakan rasanya setelah mendengar kalimat
yang keluar dari mulut Sivia tersebut.
“Karena semenjak aku deket sama kak Alvin, aku selalu merasa nyaman, merasa
terlindungi, dan merasa tidak ada yang dibuat-buat, semuanya berjalan apa
adanya. Dan aku juga merasa hari-hariku belum sempurna kalau gak ada kak Alvin
sedetikpun di sisi aku. Bukankah itu yang namanya saling membutuhkan, kak?” dan
belum sempat Sivia menarik napas, tiba-tiba Alvin memeluknya erat. Pelukan
pertama di saat mereka saling tau perasaan mereka masing-masing. Dan merupakan
pelukan pertama juga yang membuktikan kalau mereka saling membutuhkan satu sama
lain.
“Aku bersyukur pernah membully kamu,
pernah disiram air sama kamu, dan bahkan pernah dituduh copet. Aku bener-bener
bersyukur. Karena kejadian itulah aku bisa kenal kamu, Vi. Dan kenal sama kamu
adalah anugerah terindah yang pernah aku dapatkan.” gumam Alvin tepat di dekat
telinga Sivia. Sivia pun ikut membalas pelukan cowok yang wangi tubuhnya
membuat tenang itu.
“Biarkan
kejadian itu menjadi kenangan yang tidak akan pernah kita lupakan, kak.” balas
Sivia ikut berbisik. Perlahan tangannya ikut melingkar di badan Alvin. Berusaha
membalas kehangatan yang ia dapatkan dari Alvin.
“Ini bukan mimpi kan, Vi?” tanya Alvin tiba-tiba. Sivia menggeleng pelan,
membuat rambut sebahunya mengibas hingga menyentuh hidung Alvin. Dan sontak
aroma wangi seketika tercium oleh cowok yang kini menyandarkan kepalanya di
pundak Sivia tersebut. Ia memejamkan mata sesaat.
“Kalaupun ini hanya mimpi, aku berharap tidak pernah bangun untuk selamanya.”
lalu Sivia tersenyum tanpa Alvin ketahui.
“Hmm... sungguh?”
“Ya, begutlah.” wajah Alvin berseri kemudian. Lingkaran tangannya ia lepaskan
dan beralih memegang pundak cewek yang sinar matanya terlihat begitu
menyejukkan hati. Mereka kemudian saling tersenyum.
“Vi... kalau boleh jujur, kamu adalah cewek satu-satunya yang berhasil membuat
jantungku berdetak tiga kali lipat dari seharusnya. Entah ini gombal atau
bukan, tapi kenyataannya aku memang merasakan hal itu.” Sivia menunduk
mendengarnya. Oksigen dan karbondioksida yang ia hirup seakan sudah tidak
sinkron lagi apabila terus-terusan matanya merespon tatapan dalam seorang
Alvin.
“Vi, lihat aku!” lanjut Alvin seraya mengangkat pelan dagu Sivia.
“Mulai besok kita udah resmi pacaran kan, Vi?” lanjutnya lagi dengan memberikan
pertanyaan. Pertanyaan yang jawabannya nanti bisa menegaskan kalau mereka
benar-benar pacaran atau tidak. Lantas Sivia langsung mengangguk dan tak lupa
juga memberika senyuman termanis yang pernah ia punya.
“Asyik! Jadi aku boleh kan antar jemput kamu ke sekolah?”
“Hmm... boleh aja sih. Tapi jangan terlalu sering ya, kak?”
“Lho? Emang kenapa?”
“Ya, gak apa-apa. Aku cuma gak mau jadiin kakak sebagai supir ataupun ojek
dadakan aja.” Alvin mengangguk paham. Ternyata Alvin tidak salah mengikat
hatinya dengan hati Sivia. Karena Sivia memang beda dengan cewek-cewek yang
lain.
“Oke, gak masalah. Hmm... kalau gitu aku pamit pulang ya? Udah larut malem.”
“Oh,
ya udah. Aku juga udah ngantuk, pengen istirahat.” jawab Sivia sambil bangkit
dari duduknya mengikuti Alvin. Kemudian mereka berjalan ke arah pintu keluar.
“Salam buat Tante sama Difa ya?”
“Oke kak, pasti!”
“Thanks! Lumayan lama juga nih gak
main PS sama tuh anak.”
“Aku aja yang serumah jarang ketemu sama dia, apalagi kak Alvin? Tau sendiri
kan kalau Difa paling doyan ngurung di kamar? Biasalah, bocah aneh.” Sivia
terkekeh.
“Gitu-gitu juga adik kamu, Vi.”
“Iya juga sih, kak. Ya udahlah, kenapa jadi bahas Difa? Aih!”
“Eh, iya sih? Kok malah bahas si Difa?” Alvin jadi bingung sendiri dibuatnya.
Sedangkan Sivia hanya mengangkat bahu seakan bilang mana-aku-tau?
“Ngg... ya udah deh kalau gitu jangan lupa langsung tidur ya, jangan sampai
besok bangun kesiangan!” suruh Alvin saat ia berhenti sejenak di dekat gerbang
rumah Sivia.
“Siap, bos! Hehehe. Oh iya, ini jaket buat kakak biar gak kedinginan di jalan.
Kalau masalah jas, besok aja ya aku kembaliin? Mau aku cuci dulu.” ujar Sivia
sembari memberikan sebuah jaket bola berwarna biru muda kepada Alvin yang
memang hanya memakai kaus oblong tipis berwarna putih.
“Oh, makasih banyak ya? Jas aku buat kamu aja deh, anggap aja kenang-kenangan.”
Alvin tersenyum simpul sambil memakai jaket yang diberikan Sivia yang mulai
saat ini sudah resmi menjadi kekasih pertamanya itu. Dan lantas Sivia juga ikut
tersenyum membalasnya.
“Aku pamit ya? Selamat malam dan mimpi yang indah!” sedetik, Alvin menyentuh
pipi kanan Sivia dengan lembutnya sebelum ia masuk ke dalam mobil. Dan mungkin
itu adalah sentuhan terakhir yang diberikan Alvin sebagai pengantar Sivia untuk
menuju ke alam mimpinya yang pastinya akan sangat indah.
“Hati-hati, kak! Selamat malam dan semoga mimpi indah juga!” balas Sivia ketika
Alvin mulai menyalakan mesin mobilnya.
“See you tomorrow, my queen!” dan
kemudian mobil itu melaju diiringi dengan lambaian tangan cewek yang sekarang
hanya bisa mematung sambil berseri-seri itu.
“See you tomorrow too, my king!”
gumamnya kemudian. Lantas kakinya kembali melangkah ke dalam. Lantas kakinya
kembali melangkah ke dalam area rumah miliknya. Berniat untuk menutup malam
yang mungkin selama hidupnya itu tidak akan pernah terlupakan.
Dan walaupun entah siapa yang akan menjadi jodoh Sivia kelak, yang jelas
namanya cinta pertama pasti memiliki tempat tersendiri di dalam lubuk hati. Di
tempat yang tak ada seorang yang mampu menyentuh dan bahkan mengganti
posisinya. Karena sejauh apapun cinta itu berkelana dari hati ke hati, tetap
cinta pertamalah yang sangat sulit untuk dilupakan bahkan dihilangkan
sekalipun.
Sivia menyempatkan diri berbalik badan sebelum masuk ke dalam rumah. Tersenyum
sejenak, menarik napas, lalu bergumam.
“Ternyata cinta itu memang aneh. Selalu datang kepada siapapun dan dengan cara
apapun. Seperti yang sedang aku rasakan sekarang, cintaku hadir begitu saja di
sela-sela antara rasa benci dan rasa kesalku terhadap satu orang yang kini
malah menjadi kebutuhan pokok dalam hidupku.” kemudian Sivia kembali terdiam.
Matanya ia arahkan ke atas, kepada ribuan bintang yang berkilau menemani sang
bulan yang berbentuk sabit. Sangat mengagumkan. Sampai membuat Sivia kembali
melengkungkan garis bibirnya disertai genangan air suci yang ada di pelupuk
matanya.
“Sungguh tak pernah terpikirkan kalau semua ini akan terjadi padaku. Tuhan...
Engkau memang author yang paling handal di alam ini, skenario kehidupan
rancanganMu benar-benar tak bisa ditebak sama sekali oleh manusia. Makasih
untuk semuanya, Tuhan.” ucap syukur Sivia seketika. Dan kemudian ia melangkah
masuk serta menutup pintu rumahnya setelah dengan panjangnya ia menghela napas.
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Selengkapnya...
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR