@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Jumat, 14 Februari 2014

He-art 11th



Epilog



Sivia menutup buku besar yang di dalamnya berisikan kumpulan foto-foto saat dirinya masih memakai seragam putih abu-abu yang sejak dua jam yang lalu dipangkunya. Kemudian ia menyempatkan diri untuk menghela sebelum tersenyum ke arah gadis remaja yang kini otaknya membayangkan sesuatu sambil senyum-senyum tak jelas. Sivia pun membelai rambut panjang gadis itu perlahan.
“Jadi waktu dulu Mama sama Papa itu kena virus benci jadi cinta ya?” tanya gadis itu seraya memainkain matanya ke arah Sivia. Sivia tak lantas menjawab, ia malah merengkuh gadis tersebut dengan gemasnya. Ternyata waktu itu memang sangat cepat berlalu. Padahal Sivia merasa baru kemarin-kemarin ia menginjakkan kaki di Sarfagos untuk pertama kalinya, sekarang malah giliran gadis remaja yang sedang dipeluknya itu yang akan segera mengalami hal serupa dengan hal yang pernah dialaminya duapuluh tahun yang lalu.
“Hmm... oh iya Ma, sekarang Om Gab sama Tante Prissy gimana kabarnya?” gadis itu kembali bertanya sambil bersandar manja di pundak mamanya. Rasa penasaran akan semua orang yang pernah terlibat di kehidupan mamanya ketika masih SMA itu tiba-tiba muncul begitu saja di benak gadis tersebut.
“Om Gab sama Tante Prissy? Hmm... seingat Mama, mereka itu sekarang masih tinggal di Bali kalau gak salah, meneruskan usaha orang tua mereka dengan mengelola kembali Ganesha Restaurant yang cukup terkenal di sana. Selain itu juga mereka punya anak seumuran kamu lho, namanya Gilang Ganesha. Ganteng deh anaknya.” jawab Sivia santai.
“Oh ya? Terus kalau Om Ray sama Tante Shilla?”
“Ngg... kalau Om Ray sama Tante Shilla sih Mama kurang tau. Soalnya pas mereka selesai nikah, mereka langsung pindah ke Australia. Dan Mama juga jarang kontek sama mereka. Mungkin Om Cakka lebih tau, mereka kan sahabatan dari SMA.” gadis itu mengangguk paham.
“Ya udah deh entar Rara main ke rumah Acha buat nanya ke Om Cakka. Tapi sama Mama sama Papa Alvin juga ya?” pinta gadis bernama panggilan Rara tersebut. Sontak membuat Sivia mengernyit sesaat.
“Lho? Tadi katanya kamu yang mau ke sana? Kok minta ditemenin sama Mama sama Papa sih?”
“Ya, kan Rara masih belum tau persis jalan ke rumah Om Cakka? Toh dari Jakarta ke Bandung gak lama kan, Ma?”
“Iya deh entar Mama bilang sama Papa. Sekalian adik kamu juga diajak, kita sekeluarga ke sana.” Sivia tersenyum kemudian.
“Asyik! Kalau sekeluarga kan bisa sekalian mampir juga ke rumah Tante Ify. Udah lama juga gak ketemu sama dede Rify. Pasti sekarang udah masuk SMP.” tebak Rara seraya membayangkan sosok Rify yang tak lain adalah buah cinta dari Rio dan Ify.

Dan baru saja Sivia hendak merespon perkataan Rara, suara candaan dari lantai atas terdengar semakin nyaring. Sontak membuat kedua menengok ke arah tangga.
“Papa curang! Padahal bentar lagi Vian mau menang, malah di matiin tuh PS. Nyebelin!”
“Hahaha.”
“Dasar Papa jelek!!!”
“Aw! Viaaaannnn!!! Kepala Papa sakit, jangan dijambak!”
“Bodo! Suruh siapa curang?”
“Ada apa sih ini? Kok pada berantem gak jelas?” merasa sedikit heran dengan tingkah kedua bapak dan anak tersebut, Sivia bertanya sambil menurunkan paksa anak kecil bernama Vian itu dari punggung papanya.
“Papa tuh, Ma! Masa iya PS-nya di matiin? Padahal kan dikit lagi Vian mau menang lawan Papa.” Vian mengadu manja. Membuat sang papayang tak lain adalah Alvinmemutar mata sambil menghela napas. Kebiasaan, selalu dan selalu mengadu. Lantas kemudian ia duduk di samping anak gadisnya. Alvia Rainsha Pratama. Atau lebih akrab dipanggil Rara. Sedangkan anak keduanya yang bernama Alviano Rain Pratama itu di pangku oleh sang mama.
“Oh, gitu? Hmm... mungkin Papa ada benernya juga, masa iya udah jam 5 sore masih main PS aja?” kata Sivia dengan membelai anak laki-laki yang umurnya masih berangka 13 tahun itu.
“Iya sih, Ma. Tapi kan gak mesti dimatiin gitu juga?”
“Ya udah deh Papa ngaku kalah sama Vian.” sambung Alvin mengalah.
“Nah... itu dong, Pa!” Vian terkekeh kemudian. Kali ini ia benar-benar merasa menang dari Papanya.
“Iya deh, iya. Bawel!” timpal Alvin asal. Sedangkan Sivia dan Rara hanya bisa saling pandang dan menggelengkan kepala mereka berulang kali. Merasa bosan dengan tingkah Alvin dan Vian tersebut. Bisa dibilang hampir setiap hari seperti itu.
“Lho? Ini kok album kenangan waktu Papa sama Mama SMA ada di sini?” tanya Alvin begitu matanya menangkap buku tebal berwarna biru tua tergeletak di atas meja. Lantas ia mengambilnya sambil meminta jawaban ke arah Sivia dan Rara.
“Oh, itu tadi Rara iseng-iseng aja buka-buka berkas punya Mama sama Papa. Terus Rara nemu itu deh.” jawab Rara sekenanya. Alvin lalu membulatkan mulut dengan sesekali mengangguk.
“Terus? Kok bisa dibawa ke ruang tamu?” tanya Alvin lagi.
“Rara minta diceritain sama Mama tentang masa lalu Mama sama Papa waktu SMA.” seketika Alvin menelan ludah mendengarnya. Dan entah kenapa benaknya tiba-tiba dirundung rasa gelisah, takut saja kalau istrinya menceritakan hal yang tidak-tidak tentang masa lalunya. Kemudian mata Alvin melirik ke arah Sivia yang langsung tersenyum saja membalasnya.
“Ternyata Papa itu dulunya bandel ya? Udah gitu suka jahatin Mama juga.” kata Rara sekenanya. Sontak membuat Alvin lagi-lagi melirik ke Sivia. Tapi kali ini terkesan melotot. Namun Sivia malah tersenyum dua jari melihat ekspresi suaminya yang cukup dibilang kaget itu.
“Oh iya, Vian udah mandi belum? Mandi dulu gih, udah sore.” gumam Sivia lembut. Bermaksud menjauhkan anak kecilnya yang satu itu dari obrolan-obrolan yang terbilang cukup dewasa. Vian pun hanya bisa menuruti perintah mamanya dan segera pergi menuju kamarnya kembali.
“Tunggu deh, tunggu! Apa kamu bilang? Papa brutal? Aih! Kata siapa Papa brutal? Orang Papa itu anak baik-baik dulunya.” bela Alvin sambil merangkul pundak anak gadisnya tersebut.
“Masa sih? Orang Mama sendiri yang bilang. Iya kan, Ma?”
“Mama kamu itu bohong, Sayang. Papa itu anak baik-baik kan, Ma?” ucap Alvin dengan menekan nada bicaranya di akhir-akhir kalimat.
“Ngg... kasih tau nggak ya? Hehehe.”
“Tuh kan Mama kamu bohong! Beneran deh, Papa itu dulunya anak baik-baik, gak brutal.” Alvin lagi-lagi membela diri.
“Enggak ah! Rara lebih percaya sama Mama daripada sama Papa.” perlahan, Rara melepaskan rangkulan papanya dan beralih ke sang mama.
“Oh, jadi sekarang Rara gitu sama Papa? Oke! Papa gak mau ajak Rara lagi kalau Papa main ke rumah Om Cakka sama Tante Agni.” ancam Alvin dibuat-buat.
“Ah, Papa jangan gitu dong! Iya deh Rara percaya sama Papa. Tapi entar kita sekeluarga main ke sana ya, Pa? Ke rumah Om Cakka, terus mampir ke rumah Tante Ify. Hmm... oh iya satu lagi, pulangnya kita ke rumah Om Difa. Rara kangen curhat sama Tante Angel.” pinta Rara cukup banyak. Membuat Alvin dan Sivia menggeleng pasrah.
“Om Difa sama Tante Angel kan pengantin baru, jadi mendingan kita gak usah ke sana dulu, takut ganggu.” balas Alvin lembut.
“Yaaahhh... Papa! Sebentar aja kok? Boleh ya?” Alvin melirik Sivia sedetik, mencoba meminta saran dari istri tercintanya. Tanpa bisa berbuat banyak, Sivia terpaksa mengangguk. Ya, hitung-hitung silaturahmi lah dengan keluarga sendiri. Toh kapan lagi keluarga besar mereka bertemu kalau bukan di hari libur panjang seperti sekarang ini?
“Pokoknya kita berempat harus ke sana! Rara gak mau tau dan gak mau denger alasan apapun dari Papa dan Mama!” timpal Rara sedikit manja.
“Iya-iya Papa tau. Rara kapan maunya? Besok?” tanya Alvin memberi pilihan. Rara pun berpikir.
“Besok juga boleh.” jawabnya kemudian.
“Vian juga ikuuuuutttttt!!!” cukup kaget setenga mati, semua orang yang duduk di kursi tamu mendadak mengelus dada saat Vian berteriak sambil berlari ke arah mereka.
“Bisa gak sih gak ngagetin?! Ish!” tukas Rara kesal dengan ulah adiknya tersebut.
“Iya, tenang aja. Nanti malem siap-siap packing ya? Besok pagi-pagi sekali kita berlima go to Bandung!” kata Alvin sumringah.
“Yeeeeeeaaaaaayyyyyy!!!” kompak Rara dan Vian seketika. Lagi-lagi sepasang suami istri itu kembali menggeleng. Lucu sendiri melihat tingkah kedua anaknya tersebut.
“Eh, bentar deh! Kok berlima sih? Satunya siapa?” tanya Rara yang baru menyadari ucapan papanya yang dirasa sedikit janggal itu.
“Sama dede bayi dong!” kata Alvin seraya mengusap perlahan perut istrinya.
“Hah? Jadi kita punya dede baru lagi?” heboh Rara dan Vian saling berhadap-hadapan. Lalu sedetik kemudian mereka langsung mengikuti papanya memeluk sang mama.
“Asyik, akhirnya Vian punya ade. Mama sama Papa kok cepet banget sih ngabulin permintaan Vian? Vian seneng banget deh.” mendengar itu, Alvin dan Sivia mendadak terkekeh. Anak kecil itu ternyata memang polos.
“Ngg... Rara mau punya ade cewek. Biar bisa jalan-jalan ke Mall bareng, ke salon bareng, ke butik juga bareng. Pokoknya ke mana-mana bareng deh!”
“Enak aja! Pokoknya harus cowok! Kan nanti bisa Vian ajak main PS. Terus bakal Vian ajarin main tembak-tembakan juga. Iya kan, Pa?”
“Ish! Gak mau cowok, harus cewek. Titik!”
“Cowok!!!”
“Cewek, Vian!”
“Cowok, kakak!”
“Udah-udah jangan berantem!” lerai Sivia tiba-tiba. Telinganya seakan pecah mendengar ocehan kedua anaknya tersebut.
“Mau cewek kek, mau cowok kek, gimana yang di atas. Yang penting kalian berdua doain Mama aja, biar Mama sama dede bayi sehat selalu sampai waktunya nanti. Oke?” lanjut Sivia memberi pemahaman sedikit kepada anak-anaknya.
“Tuh dengerin kalau Mama kalian lagi ngomong.” sambung Alvin. Rara dan Vian langsung mengangguk paham.
“Nah, gitu dong! Anak Papa sama Mama kan pinter-pinter.” puji Alvin dengan mengusap satu persatu ubun-ubun kedua anaknya.

Serentak, mereka berempat berbalas senyum dan kemudian kembali berpelukan. Sebisa mungkin untuk selalu bersyukur karena telah diberikan kebahagiaan yang cukup dibilang besar dalam keluarga mereka. Alvin pun menghela napas terlebih dahulu sebelum akhirnya ia mengecup kening sang istri dengan lembut. Istri terhebat yang pernah ia temui di dunia ini. Audrey Siviana Rain. Perempuan satu-satunya yang berhasil meluluhkan hati seorang Alexa Alvinandra Pratama. Lelaki yang dulu memiliki hati seperti batu. Namun kini batu itu sudah berubah menjadi salju. Putih. Lembut. Dan menyejukkan.


Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

He-art 10th



It All Ends



Angin berhembus tak begitu kencang. Cukup lembut. Tetapi meskipun begitu, rasa dingin entah kenapa mampu menusuk kulit hingga ke daging. Membuat insan-insan dunia yang masih betah berteman dengan sang malam pun kini sedikit demi sedikit semakin merasa resah akan hawa yang mulai tak bersahabat itu.

Di dalam keseriusannya mengemudi mobil, Alvin menyempatkan diri melirik Sivia yang duduk tak jauh di sampingnya sambil menggeleng iba. Lantas ia dengan sengaja menghentikan mobilnya di tengah jalan dan kemudian membalikkan badannya menghadap Sivia yang kini wajah cantiknya itu menampakan ekspresi bertanya.
“Kok berhenti sih, kak? Mobilnya kenapa emang?” tanya Sivia heran. Sedangkan Alvin hanya tersenyum saja tanpa mau menjawab pertanyaan cewek yang sejak tadi tak pernah henti mengusap pundaknya yang terbuka itu. Perlahan, Alvin membuka jas hitam yang melekat di badannya dan kemudian memakaikannya di punggung Sivia. Bermaksud untuk mengurangi rasa dingin yang dirasakan Sivia selama ia duduk di jok mobil Alvin dengan kap terbuka tersebut. Lalu kembali tersenyum.
“Lho? Kok jasnya dilepas sih, kak? Entar kak Alvin kedinginan. Kak Alvin kan cuma pakai kaos tipis doang.” kata Sivia seraya melirik jas yang ada di pundaknya dengan kaos putih tipis yang dipakai Alvin secara bergantian.
“Udah deh jangan bawel! Gue cowok, kedinginan itu gak ada apa-apanya. Toh cowok mana sih yang tega lihat ceweknya kedinginan gitu?” balas Alvin asal. Dan tentunya tidak memperdulikan apa yang akan terjadi dengan raut wajah Sivia setelah ia berucap seperti itu. Karena memang Alvin paling senang melihat kalau Sivia sedang kebingungan. Benar-benar sangat lucu.
“Ceweknya? Kok kesannya kaya orang pacaran sih?” timpal Sivia sedikit heran. Alvin langsung memutar mata dibuatnya.
“Mulai detik ini kita pacaran. Loe sayang sama gue, dan gue juga sayang sama loe. Kita sama-sama sayang kan? Hmm... ya udah sekarang juga kita jadian. Fix!” mendengar ucapan aneh dan terkesan main-main dari mulut seorang Alvin, Sivia hanya bisa menampilkan wajah tanpa dosanya. Berusaha mencerna baik-baik apa makna yang ada di balik kalimat yang baru saja diucapkan Alvin tersebut.
“Kak Alvin nembak aku?” tebaknya takut-takut. Sampai-sampai tatapan polos di matanya itu tampak lucu dan berhasil membuat Alvin terkekeh.
“Sivia... Sivia... loe lucu banget sih? Gue cuma bercanda kok tadi. Hehehe. Jangan dibawa serius lah.” Alvin memamerkan gigi putihnya seketika. Kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya cepat-cepat. Berusaha untuk tidak telat mengantarkan Sivia sampai ke rumah sebelum jam sebelas.
“Ih, kak Alvin bercandanya gak lucu. Bikin orang GR aja!” tukas Sivia manja sambil memakai jas milik Alvin yang tadi hanya menempel saja di pundaknya.
“Cie GR. Hahaha.” ledek Alvin kemudian.
“Tau ah!” timpal Sivia masa bodoh dengan mempererat pelukannya pada jas milik Alvin. Sedangkan si pemilik jas itu hanya melirik dan tersenyum saja membalasnya. Berusaha focus kembali ke arah jalanan.
“Ngg... kak Alvin serius gak kedinginan?”
“Sivia, sekali lagi gue bilang, gue itu cowok. Dan cowok itu...”
“Gak takut sama yang namanya kedinginan.” Sambung Sivia cepat.
“Nah, itu loe tau.”
“Tadi kan kak Alvin udah bilang gitu.” balasnya.
“Terus kenapa loe masih nanya? Heran deh.”
“Hmm... ya, aku cuma khawatir aja sama kakak. Entar kalau kak Alvin masuk angin gimana?”
“Tinggal dikeluarin aja tuh angin apa susahnya sih?” lantas Alvin menyeringai. Sepertinya ia mulai senang bercanda dengan cewek peraih gelar Queen yang kesebelas di Sarfagos tersebut.
“Ih, kak Alvin! Ya udah deh terserah kakak aja. Dan jangan salahin aku ya kalau nanti kakak sampai sakit?!”
“Bawel!”
“Kalau aku bawel emang ada masalah? Toh aku bawel buat kebaikan kak Alvin kan?” balas Sivia seraya mengangkat dagunya perlahan. Alvin pun kembali tersenyum meski pandangannya terus tertuju pada jalanan.
“Hmm… ya udah sini balikin jasnya kalau itu mau loe.” pintanya tanpa sedikitpun menengok ke arah Sivia.
“Tapi nanti aku gimana dong?” tanya Sivia setelah berpikir singkat.
“Tuh kan? Kalau gue pakai jas gue lagi, entar yang ada malah loe yang kedinginan. Mau kedinginan?” Sivia langsung menggeleng dengan disertai deretan gigi putihnya yang terpampang jelas di mata seorang Alvin.
“Dari pada gue lihat loe sakit, mending sekalian gue aja yang sakit. Bener gak?”
“Ya, kalau bisa jangan dua-duanya lah! Kan kalau kak Alvin sampai sakit, siapa dong yang bakal gantiin King di Sarfagos? Hehehe.” ledek Sivia asal. Dan jelas itu membuat Alvin menekuk wajahnya entah karena alasan apa.
“Gak ada yang boleh gantiin King di Sarfagos selama loe yang jadi Queennya. Paham?” tegas Alvin kemudian. Wajahnya ia sangarkan seketika.
“Iya deh iya. Sombong banget sih yang jadi King. Ish!” lalu Alvin terkekeh.
“Gue juga sebenernya males jadi King kalau aja bukan loe yang jadi Quennya.”
“Yayaya… whatever you say aja, kak. Aku mengalah.” tiba-tiba Sivia terkekeh.
“Kok malah ngawur ke mana-mana sih perasaan? Aih…” dirasa baru menyadari akan arah pembicaraannya yang mulai melayang ke mana-mana, Alvin membuang napas sesaat.
“Kak Alvin sih.”
“Lho? Kok gue?”
“Ya, emang kak Alvin kan yang ngawur?”
“Aih… kok gitu?” Sivia lagi-lagi terkekeh. Kali benar-benar lucu melihat ekspresi Alvin yang cukup dibilang tanpa dosa. Namun tiba-tiba suasana menghening, seakan semua topik pembicaraan yang ada di otak mereka menghilang begitu saja. Ya, begitu saja. Entahlah.

***


“Loe kenapa sih, Fy? Diem aja nih dari tadi. Loe marah sama gue apa gimana? Ngomong dong!” tanya Rio yang mulai jenuh melihat Ify yang belum juga merespon pembicaraannya selama di perjalanan pulang sampai sekarang mobilnya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang cukup mewah itu. Rio berdecak setelahnya. Ify kenapa sih? umpat Rio.
“Fy, ngomong dong!” masih enggan turun dari mobil, Rio berdecak sambil badannya menghadap ke arah Ify. Sedangkan Ify hanya menarik napas sebisa mungkin.
“Gue kesel sama kak Rio.” ucapnya datar. Namun kalimat itu berhasil membuat Rio tersenyum.
"Oh... kesel sama gue? Kenapa? Gara-gara kelamaan nunggu gue tadi pas di acara?" Ify memejamkan mata kemudian.
“Ya udah deh gue minta maaf. Soalnya tadi gue bener-bener lupa, Fy. Gue keasyikan ngobrol sama Alvin dan Gabriel.”
“Lupa apa dilupain? Ah, menyebalkan! Gue masuk dulu, kak. Permisi!” dan tanpa memperdulikan Rio, Ify langsung turun dari mobil dan melangkah mendekati gerbang rumahnya.
“Fy?”
“Apa sih?”
“Ada yang mau gue omongin sama loe.” kata Rio sebelum Ify benar-benar masuk ke dalam area rumahnya. Sedetik, Ify kembali menarik napas.
“Penting apa gak penting? Kalau gak penting, gue mau masuk.” timpal Ify cukup sadis. Entah setan apa yang kini merasuk seorang Ify sampai bisa bersikap sangar seperti itu.
“Ini penting banget. Sangat penting.” Rio pun turun dan melangkah mendekati Ify yang masih setia berdiri sambil memandanginya.
“Ngg... di hati loe masih ada ruang gak buat gue, Fy?” glek! Ify tiba-tiba tergelak mendengar penuturan dari Rio tersebut.
“Heh? Maksud loe, kak?”
“Jawab aja apa susahnya sih?”
“Tapi gue gak ngerti, kak. Ada ruang apa enggak buat kak Rio di hati gue? Hmm...” bukannya menjawab, Ify malah mengucap ulang pertanyaan yang ditanyakan Rio tadi.
“Ck! Loe gak ngerti apa pura-pura gak ngerti sih, Fy?” tukas Rio sedikit jengah.
“Hmm... mungkin kalau ini loe bakal ngerti. Gue suka dan sayang sama loe, Fy. Udah lama sih, sejak pertama kita ketemu.” ucap Rio jujur walaupun sedikit grogi. Dan baru kali ini ia merasa grogi ketika menyatakan perasaannya di depan seorang cewek. Dan baru kali ini juga ia mengungkapkan isi hatinya yang bukan lagi main-main seperti sebelum-sebelumnya.
“Entah sebenernya susah banget menjelaskan kenapa gue bisa suka sama loe, tapi yang jelas sekarang gue udah gak bisa lagi memendam perasaan ini sendirian. Hmm... loe, loe mau gak jadian sama gue? Kita pacaran gitu.” tembak Rio cepat. Walaupun ada sedikit rasa ragu di dalam hatinya akan jawaban Ify nanti, namun Rio tetap percaya diri dengan tekadnya untuk menjadikan Ify sebagai pacar.
“Kak Rio serius?” tanya Ify seraya menautkan kedua alisnya.
“Selama loe kenal gue, apa gue pernah bohong sama loe? Enggak kan, Fy?” Rio mencoba meyakinkan.
“Ngg... enggak sih. Cuman gue belum terlalu percaya sama loe, kak. Hmm... tau sendiri kan kak Rio itu siapa sebelumnya?”
Playboy maksud loe?” belum sedetik Ify berbicara, Rio segera menimpali dengan cepat. Membuat Ify terpaksa mengangguk dan tersenyum datar ke arah cowok yang kini memberi tatapan matanya yang cukup dalam. Dan bahkan Ify sempat tak kuasa membalasnya walaupun hanya sedetik.
“Gue sadar sih, gue emang sering banget ganti-ganti cewek. Tapi itu semua gue lakuin karena gue mau cari yang tepat, Fy. Dan menurut gue, semua cewek yang kemaren-kemaren sempat gue pacarin itu cuma karena lihat materi dan fisik gue. Ya, walaupun semua orang di sekolah ini ngira gue playboy, tapi sebenernya gue pilih-pilih lho." jelas Rio panjang lebar. Mencoba berusaha untuk meyakinkan seorang Ify yang mungkin sedikit tak percaya dengan perasaan cinta yang dimiliki Rio untuknya. Sedangkan Ify hanya bisa menjadi pendengar yang baik tanpa ada niat untuk merespon balik.
“Dan malam ini, entah kenapa gue bener-bener yakin kalau gue sudah menemukan orang yang tepat. Dan orang itu adalah elo, Fy. Ngg... loe mau kan jadian sama gue? Gue janji gue gak bakal jadi playboy lagi. Demi loe, dan buat loe.” seperti kilat, Rio meraih kedua telapak tangan Ify dan menggenggamnya erat.

Walaupun hanya ditemani sorotan temaram sebuah lampu yang ada di ujung pagar rumahnya, Ify begitu jelas melihat wajah Rio yang sudah menampakan raut memohonnya. Sejenak, Ify menghela napas sebelum berucap.
“Kaya orang bener aja loe kak ngomongnya.” glek! Rio mendadak tersedak tanpa ada makanan di tenggorokannya. Satu kalimat yang keluar begitu saja dari mulut Ify tersebut cukup membuatnya hilang keberanian. Tega-teganya Ify bilang seperti itu ke Rio yang padahal sudah bersusah payah untuk cowok tersebut bersikap sedewasa mungkin di hadapan seorang Ify.
“Fy, please… gue lagi serius. Bener-bener serius. Loe jangan bikin gue down dong!” tukas Rio mulai jengah.
“Hehehe. Bercanda kak, bercanda. Aih! Masa segitu aja udah ngedown? Payah!” Ify berdecak sedetik. Menyayangkan keberanian seorang Rio yang hanya seujung kuku saja menurutnya.
“Ya, bukan gitu juga. Lagian loe... ah gak tau deh! So, intinya loe mau gak jadian sama gue? Kita pacaran.” tegas Rio mulai menepis keraguan yang sempat muncul di hatinya itu. Cukup lama, Ify terlihat berpikir. Dan itu tampak jelas saat bibirnya ia gigit-gigit kecil seraya kedua bola matanya yang beredar tak jelas.
“Ify?”
“Ngg... gimana ya? Gue sih sebenernya suka sama loe, kak. Tapi...”
“Tapi apa? Jangan bilang masalah playboy lagi? Aih! Kan tadi gue udah jelasin semuanya ke elo, Fy. Ayolah, please?” Rio menggenggam tangan Ify semakin erat. Bahkan sepertinya tak ada niat di otak Rio untuk melepaskan genggamannya sebelum Ify menjawab iya atau tidak.
“Bukan itu, kak. Tapi gue masih ragu aja sama kak Rio.” Ify tersenyum kemudian. Tersenyum melihat perubahan raut wajah Rio yang menampakan kekecewaan.
“Oh, gitu? Hmm... ya udah deh gak apa-apa kalau loe masih ragu sama gue. Tapi loe masih mau beri kesempatan buat gue kan, Fy? Buat buktiin kalau gue sungguh-sungguh sama loe.” ucap Rio yakin. Walaupun sinarnya sedikit meredup, namun Rio berusaha menghargai keraguan Ify kepadanya. Toh cinta itu butuh keseriusan, bukan?
“Hahaha. Kak Rio beneran suka sama gue? Serius?” glek! Rio menelan ludah hebat di depan cewek yang kini entah kenapa bersikap aneh dan bahkan benar-benar sangat aneh.
“Ah, Ify! Loe mau mainin gue apa gimana sih?! Aneh gue sama loe. Ish!” tukas Rio kembali jengah melihat Ify terkekeh tanpa dosa di hadapannya.
“Jadi ini serius, kak? Aih! Gue kira kak Rio cuma bercanda doang.”
“Serah loe aja deh, Fy! Bad mood gue jadinya.” Rio akhirnya berbalik badan tanpa memperdulikan Ify lagi. Dan ia langsung masuk ke dalam mobil cepat-cepat.
“Kok ngambek sih? Gue kan gak tau, kak. Maaf deh, maaf.” lantas Ify mengetuk-ngetuk kaca mobil Rio perlahan. Sepertinya Ify mulai menyesal dengan ulahnya tadi ke Rio yang sudah jelas-jelas berbicara serius.
“Bete gue sama loe, Fy. Aih!” rutuk Rio sambil memegang setir mobilnya. Sedangkan Ify malah berpamer ria menampakan deretan gigi-gigi putihnya yang terjaga ketat oleh kawat berwarna hijau muda.
“Ck! Nyengir loe kaya kuda!”
“Ngg... tapi loe suka kan, kak?” Ify menyeringai setelahnya. Namun itu berhasil membuat wajah Rio menekuk. Entah rasanya malu sendiri mendengar perkataan Ify tersebut.
“Yayaya... bicara soal itu, loe mau gak sih jadi pacar gue, Fy? Gue seriusan, gue gak mau bercanda.” seakan kembali ke topik awal, Rio lagi-lagi meminta jawaban Ify atas ungkapan isi hatinya tadi.
“Ngg... sebelum gue jawab, mending kak Rio keluar dulu deh!” pinta Ify lembut. Dan tanpa menunggu lama lagi, Rio membuka pintu mobilnya dan berdiri kembali di hadapan Ify. Tentu saja untuk menunggu apakah ia diterima atau sebaliknya oleh cewek yang sekarang wajahnya sedikit kusut itu.

Sedetik, dua detik, dan hampir lima detik Ify terdiam. Namun akhirnya Ify langsung memeluk cowok berjas putih yang tadi sempat dibuat kesal olehnya itu erat-erat. Dan walaupun Rio masih belum mengerti dengan maksud Ify tersebut, Rio tetap berusaha membalas pelukannya.
So, ini artinya?” lalu Rio bertanya setelah Ify melepaskan pelukan erat di tubuh jenjangnya.
“Gue mau jadian sama loe, kak. Gue mau jadi pacar loe.” jawab Ify mantap tanpa ada keraguan sedikitpun di benaknya.
“Se... serius loe, Fy?” Ify lantas mengangguk.
“Gue serius, kak. Sangat serius bahkan. Terserah orang lain mau bilang apa tentang loe, kak. Yang jelas, kak Rio udah bikin gue nyaman selama gue berada di deket loe, kak.” lanjut Ify jujur.
Thanks ya, Fy?” lagi, mereka berpelukan. Kali ini Rio yang memeluk Ify terlebih dahulu.
“Gue janji, gue akan berusaha sebisa mungkin buat jagain loe, selalu ada di sisi loe saat loe butuh gue, dan yang terpenting gue akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat loe kecewa.”
“Janji?”
“Bunuh gue kalau gue ngelakuin itu semua.” Ify tersenyum mendengarnya.
“Serius?”
“Enam rius.”
“Sungguh?”
“Gue gak pernah bohong kan sama loe, Fy?”
“Iya deh iya gue percaya. Hmm... ya udah deh kalau gitu mendingan kak Rio pulang gih, udah malem banget.”
“Oh, ya udah deh. Gue balik dulu ya? Selamat malem... sayang. Hehehe.” Rio tersenyum malu-malu kemudian. Perasaannya benar-benar sangat senang.
“Hati-hati ya, kak Rio! Selamat malem juga.” balas Ify ikut tersenyum. Lantas Rio segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin cepat-cepat.
See you tomorrow ya?”
“Oke, see you too.” Rio pun langsung melaju setelah sebelumnya ia membunyikan klakson sebagai tanda pamitnya. Dan Ify melambaikan tangannya perlahan, lalu berlari masuk ke dalam rumahnya setelah mobil yang dikendarai Rio itu sudah tak terlihat lagi di wilayah pandangnya.

***


Hampir lima menit Prissy mematung, mulut mungil miliknya belum bisa menjawab apakah ia akan menerima perasaan tulus Gabriel yang tadi sempat terucap begitu saja dari mulut cowok bercardigan abu-abu tersebut. Padahal faktanya tidak terlalu sulit untuk Prissy berkata iya kepada Gabriel, tetapi entah kenapa saat itu lidahnya terasa sangat kelu. Bahkan hanya sekedar membuka mulut pun Prissy tak mampu. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah duduk kaku saja di samping Gabriel yang tangannya masih memegang kemudi mobil yang sedang berhenti itu. Perlahan, Gabriel menghela napas, mencoba memaklumi aksi diam mendadak dari seorang Prissy tersebut.
“Ngg... kalau emang loe masih ragu sama gue, gak jawab sekarang juga gak apa-apa kok. Mungkin loe butuh waktu.” ucap Gabriel sambil tersenyum dan menyalakan kembali mesin mobil untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah Prissy yang sempat terhenti.
“Hmm... Gab?”
“Ya, Pris?” respon Gabriel seraya melirik ke arah cewek bermahkota yang duduk manis di sampingnya. Lantas kemudian Gabriel langsung mendapatkan senyuman kecil dari cewek tersebut.
“Gue mau kok jadi pacar loe.” jawab Prissy mantap. Dan itu cukup membuat Gabriel menelan ludah kuat-kuat karena mungkin sedikit tidak percaya dengan jawaban indah yang baru saja mengetuk gendang telinganya.
Are you serious, Pricilla?” Prissy lantas mengangguk.
Yeah, i'm serious. Karena rasanya terlalu bodoh kalau gue sampai nolak perasaan loe yang sangat tulus itu buat gue. Gue juga suka sama loe sejak pertama kali gue ketemu sama loe. Ya... waktu kita tanpa sengaja bertabrakan di dekat gerbang.” ujar Prissy dengan tak henti-hentinya tersenyum. Membuat Gabriel mendadak salah fokus. Lalu Gabriel kembali menatap jalanan sebelum ia menabrak sesuatu karena saking antengnya memandang senyuman seorang Prissy.
“Lucu ya?”
“Heh?”
“Ngg... iya, lucu. Ternyata cinta pada pandangan pertama itu bener-bener ada. Gue kira cuma ada di sinetron-sinetron aja.” ujar Gabriel sedikit terkekeh saat ilusinya muncul serentak di depan mata. Ilusi tentang dirinya dan Prissy saat pertama kali bertemu tentunya.
“Skenario Tuhan memang tidak ada yang bisa menebak.” lanjut Gabriel sambil menggelengkan kepala. Sedangkan Prissy hanya ikut tersenyum sambil terus memandangi wajah Gabriel dari samping. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat mempesona menurut Prissy.

***


“Hmm... Ag?” baru saja Agni hendak masuk ke dalam pintu rumahnya, tiba-tiba Cakka menggenggam pergelangan tangan kiri cewek tersebut. Kontan Agni langsung berbalik badan seraya memberi tatapan bertanya ke arah Cakka.
“Kenapa, Cak?” tanyanya kemudian.
“Ngg... loe masih inget gak janji kita waktu kecil?” tanya Cakka mencoba memancing daya ingat cewek di depannya itu.
“Janji?”
“Iya, janji. Loe masih inget?”
“Janji apaan?” sedikit bingung, Agni mengernyitkan dahi.
“Aih! Masa loe lupa sih, Ag?!”
“Emang kita pernah janji? Seinget gue, kita gak pernah ada perjanjian deh. Apaan sih, Cak? Jangan bikin bingung dong!” ujar Agni sangat bingung dengan ucapan Cakka.
“Hmm... janji kalau kita udah besar nanti, kita bakalan nikah.” kata Cakka berusaha membuyarkan kebingungan Agni. Mendengar hal itu, lantas Agni membulatkan mulut sembari mengangguk berkali-kali.
“Oh, itu? Aih! Itu mah bukan kita yang janji, tapi cuma loe doang. Dasar!”
“Iya sih. Tapi sekarang gue mau bikin janji itu lagi untuk kedua kalinya. Dan loe harus terlibat tentunya.”
“Lho? Kok gitu?”
“Kali ini loe gak boleh nolak. Toh kita sekarang bukan anak kecil lagi kan? Gak salah dong kalau kita bikin janji buat nikah nanti?” tegas Cakka asal. Tangannya pun sejak tadi belum juga lepas dari tangan Agni.
“Tapi kan?”
“Gak ada tapi-tapian pokoknya!” timpal Cakka. Dan itu cukup berhasil membuat Agni memutar mata jengah. Ternyata cowok yang ada di hadapannya itu masih sama seperti dulu. Menyebalkan.
“Ish! Loe itu gak pernah berubah ya ternyata? Masih nyebelin.” tukas Agni.
“Dan memang tidak akan pernah berubah sedikitpun. Selama di sini, masih ada nama loe.” Cakka mengarahkan telapak tangan Agni ke dada bidangnya. Membiarkan sejenak untuk cewek tersebut merasakan getaran cinta yang ada di jantungnya.
“Ma... maksud loe?”
“Perasaan gue ke elo juga masih sama seperti dulu, Ag. Gue masih mau berada di dekat loe lagi, jagain loe, dan bahkan berusaha untuk selalu ada saat loe butuh gue. Hmm... seperti dulu, waktu kita masih kecil.” kemudian Cakka tersenyum.

Dan walaupun saat ini jantung Agni sudah berdentum tak karuan, namun Agni sebisa mungkin berusaha untuk tidak terlihat gugup dan gede rasa di hadapan sahabat kecilnya itu.
“Loe kenapa sih, Cak? Aneh deh! Loe gak lagi kesambet kan?” tanya Agni bertubi-tubi. Namun Cakka malah tak menggubris sama sekali. Ia tetap menatap dalam mata Agni yang indah berwarna cokelat.
“Loe sayang sama gue kan, Ag?” glek! Satu pertanyaan yang diucapkan Cakka tersebut berhasil membuat tenggorokan Agni terasa kering. Meskipun ia sudah biasa mendengar kata sayang dari mulut Cakka, tapi entah kenapa yang sekarang rasanya sangat berbeda dari yang sudah-sudah. Ditambah dengan tatapan Cakka yang seakan memaksanya untuk mati berdiri saat ini juga.
“Loe ngomong apaan sih, Cak? Jelaslah gue sayang sama loe, kita kan sahabatan dari kecil.” ujar Agni sekenanya. Tetap sebiasa mungkin.
“Sayang lebih dari sahabat?”
“Heh? Maksudnya?”
“Ngg... maksudnya, gue sayang sama loe, tapi bukan sayang sebagai sahabat.” ucap Cakka yang lantas menurunkan tangan Agni dari dadanya.
“Terus?” tanya Agni bermaksud untuk meminta Cakka melanjutkan ucapannya.
“Hmm... to the point aja ya? Intinya gue cinta sama loe, Ag.” tegas Cakka langsung. Dan sedetik setelah perkataan tersebut keluar dari mulut Cakka, Agni membelalakan matanya seketika. Entah rasa kaget dan senang serta terharu tiba-tiba bercampur aduk di dalam hatinya.
“Ci... cinta sama gu... gue?” Agni pun bertanya seraya menunjuk wajahnya sendiri.
“Ya, gue cinta sama loe. Ngg... walaupun dulu gue sering banget bilang ini ke elo, tapi sekarang gue bener-bener serius. Karena ini ada ucapan cinta dari seorang Cakka yang berumur 16 tahun, bukan lagi Cakka yang berumur 9 tahun. Dan... apa loe juga mau menanggapi perasaan gue ini lebih serius lagi?” ucap Cakka dengan diakhiri sebuah pertanyaan yang mungkin saja ditunggu-tunggu Agni selama ini.
“Maksud loe?”
“Kita pacaran.”
“Pacaran? Aih! Jangan bercanda deh! Gak lucu tau?!” sangkal Agni.
“Gue serius, Agni jelek!” gemas Cakka sembari mencubit pelan pipi cewek yang kini wajahnya bersemu merah itu. Kontan Agni langsung meringis karena merasa sedikit perih dengan ulah jahil dari seorang Cakka Pratama tersebut.
“Ish! Sakit tau?!”
“Bodo! Abis loe lemot sih.”
“Enak aja! Gue gak lemot. Loe tuh yang lemot!” tukasnya sebal.
Whatever deh! So, ini gimana nasib gue?”
“Apaan sih? Gak ngerti.”
“Jangan sok polos gitu deh ah!”
“Aih! Oke-oke... loe tadi nembak gue kan? Ngg... gimana ya?” Agni berpikir cukup lama. Bahkan saking lamanya itu membuat Cakka sampai jengah menunggunya.
“Niat jawab gak sih, Ag? Lama banget!”
“Ish! Sabar dikit kenapa sih? Namanya juga lagi mikir.”
“Padahal cuma bilang terima atau enggak aja susah amat.” rutuk Cakka tak begitu keras.
“Iya, gue terima deh.” jawab Agni kemudian disertai senyuman kecil.
“Serius loe, Ag?” Agni pun mengangguk.
“Tapi kok kaya kepaksa sih jawabnya?”
“Beneran, Cakka Pratama! Toh mana ada sih cewek yang mau nolak loe? Apalagi gue yang faktanya udah kenal loe dari kecil, dari loe masih ingusan. Hehehe.” Agni terke
keh. Dan baru saja Agni hendak melanjutkan perkataannya, Cakka dengan spontan memeluk erat tubuh cewek hitam manis tersebut. Pelukan yang dulu sempat hilang di hidup Agni kini seakan kembali lagi. Terakhir kali Cakka memeluknya seperti ini yaitu waktu mereka berpamitan saat Agni hendak pindah ke luar negeri.

Flashback On.

“Kamu jangan pernah lupain aku ya di sana?” pinta Cakka dengan sedikit air mata yang menggenang di sudut bola matanya.
“Aku janji, aku gak akan pernah lupain kamu. Karena di manapun aku berada, kamu tetap sahabat aku satu-satunya yang paling baik dan paling berharga buat aku.” jleb! Cakka memeluk Agni erat-erat. Hatinya benar-benar tidak rela jikalau harus berpisah saat ini juga dengan Agni. Tapi toh mau bagaimana lagi, ini tuntutan pekerjaan dari orang tua Agni. Dan apapun alasannya, Agni tetap harus pergi bersama mereka.
“Sayang, ayo? Bentar lagi pesawat take off.” panggil mama Agni sambil menyentuh pundak anaknya perlahan.
“Jaga diri kamu baik-baik ya di sana? Aku yakin kamu bisa lakuin itu walaupun aku gak ada di sisi kamu.” ucap Cakka setelah melepaskan pelukkannya di tubuh Agni, dan kini tangannya beralih ke pundak gadis kecil itu. Agni pun mengangguk. Sebisa mungkin untuk ia selalu ingat dengan kata-kata sahabat baiknya itu.
“Aku pergi ya? Aku janji, aku akan kembali menemui kamu. Selamat tinggal.” meski sedikit ragu, Agni akhirnya berlalu bersama dengan sang mama yang menggandeng tangannya. Sedangkan Cakka hanya bisa melambaikan tangannya sambil sesekali tetesan air matanya mengalir lembut di kedua pipinya.
“Ayo kita pulang, nak?” papa Cakka yang tadi hanya bisa terpaku memandangi aksi haru dari kedua anak kecil yang sangat disayanginya itu kini mencoba meraih pundak Cakka dan memeluknya dari belakang. Begitu juga Alvin dan Ify yang sejak tadi diam saja meskipun sebenarnya mereka juga sangat sedih ditinggal Agni yang sudah mereka anggap sebagai keluarga sendiri. Mereka menghela napas kemudian. Apapun yang terjadi, mereka harus tetap ikhlas menerimanya.

Flashback Off.

Thanks ya, Ag?” ucap Cakka yang cukup berhasil membuyarkan semua bayang-bayang semu di otak Agni akan masa kecilnya dulu. Agni tersenyum saja membalasnya. Dan... cup! Tanpa diduga sama sekali oleh Agni, Cakka melayangkan sebuah kecupan hangat di pipi kiri cewek tersebut.
“Udah malem nih, gue pulang dulu ya? Selamat malam!” pamitnya kemudian sambil tersenyum dan berlalu begitu saja meninggalkan Agni yang mungkin cukup syok dibuatnya.

Hampir setengah menit Agni mematung, bahkan kalau saja Cakka tidak membunyikan klakson mobilnya, mungkin Agni sampai sekarang belum juga tersadar dari aksi diamnya itu. Dan akhirnya ia pun hanya bisa melambaikan tangan dengan sedikit lengkungan garis bibirnya yang terukir begitu manis saat mobil Cakka mulai melaju.
“Tuhan, jangan bangunkan aku kalau ini hanyalah mimpi.” lirihnya seakan tak percaya. Rasa hangat di pipinya pun masih jelas membekas. Dan mungkin saja akan selamanya membekas di pipi Agni.

***


Detak jarum jam masih setia berputar. Memecah keheningan nada-nada yang seakan vakum saat malam mulai larut. Suara-suara binatang yang aktif di malam hari pun mulai tak terdengar lagi saat langkah kaki Alvin dan Sivia memasuki sebuah rumah. Rumah sederhana yang membuat Alvin berubah sifat saat pertama kali ia menginjakkan kaki di sana.

Belum ada lima langkah Alvin dan Sivia berjalan di ruang tamu, wanita paruh baya dengan ditemani kursi roda yang didudukinya itu sudah menyambutnya dengan sebuah senyuman. Lantas membuat Alvin dan Sivia saling pandang.
“Mama belum tidur?” tanya Sivia yang langsung berjalan mendekati mamanya. Kemudian Sivia mencium tangan sebelum sang mama menjawab pertanyaan dirinya tadi.
“Iya, tante kok belum tidur sih?” sambung Alvin yang juga ikut melakukan apa yang dilakukan Sivia.
“Tante sengaja belum tidur buat nunggu kalian pulang.” jawabnya mantap. Kontan membuat Alvin dan Sivia saling pandang kembali. Merasa heran tentunya dengan kalimat tersebut.
“Oh iya, silahkan duduk dulu, nak Alvin!” suruh mama Sivia seketika. Alvin tersenyum.
“Makasih, tante.”
“Hmm... nak Alvin habis berantem? Kok mukanya pada lebam gitu?” mama Sivia kembali bertanya setelah menyadari ada luka-luka kecil di wajah Alvin. Dan karena merasa bingung harus menjawab apa, Alvin memberi kode ke Sivia yang masih berdiri di belakang mamanya itu.
“Ngg... kak Alvin kaya gitu karena Via, Ma.” timpal Sivia asal.
“Lho? Maksud kamu?”
“Hmm... jadi gini, tadi kan di acara peringatan hari jadinya sekolah Via sama kak Alvin itu mewajibkan untuk para siswanya buat dansa, nah... mama tau sendiri kan kalau Via sama sekali tidak bisa dansa? Ya... jadinya gitu deh, kaki kak Alvin gak sengaja Via injak terus jatuh.” jelas Sivia semakin asal. Sedangkan Alvin hanya diam saja mendengar kilahan dari Sivia tersebut. Toh ia sendiri bingung harus mencari alasan apa yang masuk akal dengan kondisi wajahnya yang seperti itu.
“Aduh, Via! Kok kamu jadi ceroboh gitu sih? Kasihan kan Alvin?” ucap mama Sivia yang langsung percaya saja dengan penjelasan dari anaknya tadi. Lantas dengan bantuan kedua tangannya, beliau memutar roda dan mendekat ke arah Alvin.
“Alvin gak apa-apa kok, Tante. Cuma perih sedikit.” kata Alvin saat mama Sivia menyentuh bekas lukanya yang ada di sudut mata serta bibir.
“Via ambilin obat ya, kak?” usul Sivia.
“Sekalian bawa air hangat dan kain bersih juga ya, sayang?”
“Iya, Ma.” balas Sivia seraya berlalu ke arah dapur.
“Maafin anak Tante ya, nak Alvin? Via emang suka ceroboh anaknya.” ucapnya ramah. Sedangkan Alvin hanya bisa berusaha untuk tetap tersenyum walaupun hatinya masih merasa bersalah karena sudah berbohong.
“Gak apa-apa kok, Tante. Sivia gak salah. Ini hanya kecelakaan kecil, paling besok juga udah sembuh.” ujar Alvin yakin.
“Tapi tetep harus diobatin kan?”
“Hmm... iya juga sih. Ngg... oh iya Tante, Difa udah tidur?” tanya Alvin mencoba mengalihkan topik.
“Difa? Difa udah tidur dari tadi sore. Kenapa emang?”
“Oh, udah tidur ya? Hmm... gak apa-apa sih, udah lama aja Alvin gak ketemu Difa. Kangen main-main bareng lagi.” Alvin menjawab dengan santainya sambil tersenyum.
“Oh, gitu? Nggak tau tuh akhir-akhir ini Difa sering banget tidur sore-sore, mungkin karena kelelahan kali ya dengan aktivitas sekolahnya yang mulai padat.”
“Hayo... lagi pada ngomongin Via ya? Aih!” tiba-tiba Sivia menyahuti dengan kedua tangan yang memegang kotak P3K serta bawaan lainnya yang tadi diminta sang mama.
“Ih, kepo bingit deh!” ledek mamanya dengan nada menggoda. Lantas Sivia mengernyit sambil menatap heran ke arah sang mama dan Alvin secara bergantian.
“Ish! Kok mama jadi gaul bin alay gitu sih? Tau dari mana bahasa kaya gituan, Ma? Jangan bilang kak Alvin yang ngajarin?!” tuduhnya kemudian. Sedangkan Alvin yang tak tau apa-apa hanya bisa menampakan ekspresi yang seakan bilang kok-gue-sih-yang-kena?
“Enak aja! Aku gak pernah ngomong bahasa alay, apalagi sampai ngajarin mama kamu.” sergah Alvin membela diri.
“Bohong!”
“Beneran, Sivia. Coba aja tanya sendiri sama mama kamu kalau gak percaya!”
“Udah-udah jangan ribut! Mama tau dari Difa.” Sivia langsung mendesis serta memejamkan mata mendengarnya.
“Aih! Parah tuh bocah!”
“Udahlah jangan dipikirin! Toh tadi Mama cuma iseng doang. Sini obatnya!”
“Ngg... biar Via aja yang ngobatin kak Alvin.”
“Oh, ya udah kalau gitu.” Sivia pun segera duduk di samping Alvin dengan memangku kotak P3K di pahanya.
“Pelan-pelan, Vi.” pinta Alvin takut-takut.
“Iya, kak Alvin tenang aja.” jawab Sivia meyakinkan.

Dengan sangat hati-hati, Sivia menyentuhkan kain yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat itu di pinggiran luka Alvin. Berusaha sebisa mungkin untuk Alvin tidak merasakan perih. Dan... dzing! Mata mereka bertemu di satu titik. Tak lebih dari delapan sentimeter jarak antara mata mereka berdua. Sampai Alvin dan Sivia mampu merasakan deru napas yang memburu satu sama lain. Cukup lama. Serasa cuma mereka berdua sajalah yang berada di ruangan itu.
“Ehem! Mau ngobatin luka apa mau pandang-pandangan nih?” goda sang mama disertai senyum. Lucu sendiri melihat tingkah dua remaja yang kini mungkin sedang dilanda rasa yang aneh tersebut. Sontak Alvin dan Sivia langsung tersadar dengan kembali berusaha bersikap seperti semua. Meski rasa kaku begitu jelas terlihat di antara mereka. Sang mama pun menggeleng maklum.
“Aw! Pelan-pelan, perih.” lirih Alvin saat Sivia mengambil kapas yang sudah diteteskan antiseptik dan menempelkannya di luka Alvin.
“Maaf, kak. Lagian ini udah pelan-pelan kok.” ujar Sivia sembari mengelap wajah Alvin bagian lain yang sedikit basah.
“Ngg... thanks ya, Vi?” sedetik, Sivia membalasnya dengan senyuman.
“Aku simpan ini dulu ya, kak?”
“Iya. Sekali lagi makasih.” dan sama seperti tadi, Sivia kembali tersenyum, namun kali ini ia pamerkan deretan gigi-gigi serinya. Lantas segera pergi dari tempat tersebut.
“Udah berkurang kan perihnya?”
“Lumayan, Tante. Hmm... oh iya Tante, sebelum Alvin pamit pulang, Alvin boleh ngomong sesuatu gak sama Tante?” tanya Alvin antusias. Dan sepertinya ia akan membicarakan hal penting jika dilihat dari tatapan mata serta raut wajahnya yang berseri.
“Oh, boleh kok. Mau ngomong apa?” sejenak, Alvin tampak berpikir. Entah ini terlalu ambisius atau tidak, yang jelas tekad Alvin sudah bulat untuk mengatakan suatu hal yang harusnya sangat personal itu.
“Ngg... sebelumnya Alvin mau minta maaf dulu kalau aja nanti Alvin salah ucap atau gimana. Di sini Alvin cuma mau...” Alvin pun menghela napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan kata-katanya. Membuat mama Sivia sukses dibuat bingung olehnya.
“Mau?”
“Hmm... Alvin mau minta izin sama Tante, atau lebih tepatnya restu.”
“Restu? Maksudnya? Tante gak ngerti deh.” lagi dan lagi Alvin menghela napas. Ternyata susah juga mencari kata-kata yang tepat di hadapan orang tua dari cewek yang sudah membuatnya memiliki rasa yang aneh itu.
“A... Alvin, ngg... Tante mau restuin enggak kalau Alvin sama Sivia menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman?” walaupun cukup sulit untuk mengatakan pertanyaan itu, namun Alvin berhasil membuat mama Sivia mengerti akan maksud dari pertanyaan tersebut. Beliau pun tersenyum.
“Nak Alvin suka sama Via?” tanyanya pelan. Berusaha berbicara lebih dekat lagi dari hati ke hati dengan Alvin.
“Begitulah, Tante. Cuma Alvin belum berani buat ungkapin perasaan Alvin ke Sivia.”
“Takut ditolak?” tebak beliau. Alvin mengangguk pelan.
“Kenapa mesti takut? Nak Alvin kan laki-laki, harusnya nak Alvin itu lebih berani dan lebih siap menerima apapun keputusan yang akan nak Alvin terima nanti. Ya, Tante sih setuju-setuju aja kalau nak Alvin ada hubungan sama Via. Entah itu sebagai teman, sahabat, ataupun yang lainnya, selama itu hubungan sehat, gak ada masalah buat Tante. Gak ada hak juga kan kalau Tante melarang? Toh kalian berdua yang jalanin, bukan Tante. Hmm... tapi kembali lagi, keputusan terbesar ada di Via. Tante gak bisa berbuat lebih. Tante percayakan semuanya sama Alvin.” kata mama Sivia panjang lebar dengan sesekali mengusap pundak Alvin lembut.
“Tante serius?” lalu beliau mengangguk yakin.
“Makasih ya, Tante? Alvin seneng banget deh. Ya, kalaupun nanti Sivia nolak Alvin, Alvin gak masalah. Yang penting Tante udah percaya sama Alvin, itu lebih dari cukup.” spontan, Alvin menekuk lutut dan memeluk wanita paruh baya itu erat-erat.
“Ah, Mamaaaaaa.” Sivia yang tadi tak sengaja mendengar pembicaraan antara Alvin dan mamanya itu juga ikut terharu dan ikut serta memeluk mama tercintanya dari belakang ketika melihat Alvin dengan tulusnya berlutut sambil memeluk hangat orang tua yang telah melahirkan Sivia tersebut.

Mendengar rintihan manja itu, Alvin lantas mengangkat kepalanya, dan dengan cepat ia menangkap sosok Sivia di belakang wanita yang sedang ia peluk. Sivia pun tersenyum. Mungkin sangat kagum dengan keberanian Alvin tersebut.
“Via sayang, ayo duduk di sini, di samping Alvin.” pinta sang mama sambil meraih tangan Sivia yang melingkar di lehernya.
“Ada sesuatu yang mau nak Alvin omongin sama kamu.” lanjut beliau lembut.
“Aku udah denger semuanya kok, Ma.”
“Tapi kan tadi ngomongnya sama Mama, bukan sama kamu.” beliau menyempatkan diri untuk tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.
“Ya udah deh kalau gitu Tante ke dalem dulu ya, nak Alvin? Tante mau tidur. Dan kalau ngobrolnya udah selesai, jangan lupa langsung pulang ya? Udah malem, gak enak sama tetangga.”
“Siap, Tante!”
“Oke. Good luck!” beliau pun menyeringai sejenak ke arah Alvin sebelum benar-benar pergi dari ruang tamu menuju kamar tidur. Seakan memberi semangat kepada remaja berwajah oriental tersebut. Alvin mengangkat jempol sebagai balasannya.
“Pada gak jelas deh!” timpal Sivia sedikit risih dengan tingkah Alvin dan mamanya itu.
“Mama kamu bener-bener asyik ya, Vi? Aku jadi kangen Mama.” lirih Alvin yang tak sedikitpun merespon timpalan dari Sivia tadi. Sedangkan Sivia hanya menghela napas dan berusaha tersenyum mendengar ucapan Alvin yang mulai merindukan kembali sosok mamanya.
“Hmm... kak Alvin boleh kok anggap Mama aku sebagai Mama kak Alvin juga.” Alvin tiba-tiba terkekeh. Sedikit lucu mendengar kalimat yang keluar begitu polosnya dari mulut Sivia.
“Mungkin itu akan segera terwujud setelah kita lulus kuliah nanti.” ucapnya asal. Dan itu cukup sukses merubah raut wajah Sivia.
“Maksudnya?”
“Maksudnya? Beneran mau tau maksudnya?”
“Aih! Apa coba?”
“Ngg... apa ya? Ya, gitu deh! Aku bakal anggap Mama kamu sebagai Mama aku juga asalkan pas lulus kuliah nanti kita nikah. Gimana?” ucap Alvin sedikit asal dan menggoda.
“What?! Jauh amat mikirnya, kak? Lulus SMA aja belum.”
“Oh, jadi kamu mau nikahnya setelah kita lulus SMA?” lagi-lagi Alvin terkekeh. Apalagi kalau melihat wajah Sivia yang ekspresinya susah untuk dijelaskan oleh kata-kata.
“Aih! Bukan gitu maksud aku!”
“Terus maksudnya apa dong?”
“Tau ah! Pacaran juga belum, masa mikirnya udah ke nikah aja. Aneh deh.”
“Oh, gitu? Ngg... kalau itu mau kamu, ya udah kita pacaran. Toh kamu sendiri udah tau kan gimana perasaan aku sama kamu?” tegas Alvin dengan perlahan memegang tangan Sivia.
“Aku butuh kamu, Vi. Dan entah apa jadinya aku kalau kamu gak pernah ada sebelumnya di hidup aku. Apa aku akan seperti ini? Atau bahkan lebih buruk dari ini? Aku juga gak tau.” jelasnya cukup panjang.
“Yang jelas, aku nyaman menjadi aku yang sekarang, menjadi aku yang saat ada kamu di kehidupanku. Walaupun aku gak tau aku berubah karena kamu atau bukan, tapi aku yakin kalau kamu adalah nyawa keduaku yang bisa menghidupkan kembali nyawa lamaku yang telah mati. Hmm... Vi, mohon izin aku untuk selalu ada di sisi kamu. Aku bener-bener membutuhkanmu. Kamu mau kan menjadi alasan utamaku menjalani kehidupan yang lebih baru ini? Kehidupan baruku.” lanjut Alvin semakin erat memegang kesepuluh jemari tangan Sivia. Tatapan matanya membuktikan kalau ia benar-benar berharap.
“Kak, sebenernya bukan aku yang bisa merubah kak Alvin. Tetapi kak Alvin berubah dengan sendirinya. Karena mungkin udah saatnya untuk kak Alvin berubah. Toh gak selamanya kan kak Alvin bersikap brutal?” balas Sivia disertai sebuah senyuman.
“Dan kalau masalah ini...” lanjutnya perlahan. Genggaman tangannya dan tangan Alvin ia sentuhkan ke dada cowok tersebut.
“Entah kenapa aku juga merasakan apa yang kak Alvin rasakan.” Alvin pun menghela napas dibuatnya. Cukup melegakan rasanya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Sivia tersebut.
“Karena semenjak aku deket sama kak Alvin, aku selalu merasa nyaman, merasa terlindungi, dan merasa tidak ada yang dibuat-buat, semuanya berjalan apa adanya. Dan aku juga merasa hari-hariku belum sempurna kalau gak ada kak Alvin sedetikpun di sisi aku. Bukankah itu yang namanya saling membutuhkan, kak?” dan belum sempat Sivia menarik napas, tiba-tiba Alvin memeluknya erat. Pelukan pertama di saat mereka saling tau perasaan mereka masing-masing. Dan merupakan pelukan pertama juga yang membuktikan kalau mereka saling membutuhkan satu sama lain.
“Aku bersyukur pernah membully kamu, pernah disiram air sama kamu, dan bahkan pernah dituduh copet. Aku bener-bener bersyukur. Karena kejadian itulah aku bisa kenal kamu, Vi. Dan kenal sama kamu adalah anugerah terindah yang pernah aku dapatkan.” gumam Alvin tepat di dekat telinga Sivia. Sivia pun ikut membalas pelukan cowok yang wangi tubuhnya membuat tenang itu.
“Biarkan kejadian itu menjadi kenangan yang tidak akan pernah kita lupakan, kak.” balas Sivia ikut berbisik. Perlahan tangannya ikut melingkar di badan Alvin. Berusaha membalas kehangatan yang ia dapatkan dari Alvin.
“Ini bukan mimpi kan, Vi?” tanya Alvin tiba-tiba. Sivia menggeleng pelan, membuat rambut sebahunya mengibas hingga menyentuh hidung Alvin. Dan sontak aroma wangi seketika tercium oleh cowok yang kini menyandarkan kepalanya di pundak Sivia tersebut. Ia memejamkan mata sesaat.
“Kalaupun ini hanya mimpi, aku berharap tidak pernah bangun untuk selamanya.” lalu Sivia tersenyum tanpa Alvin ketahui.
“Hmm... sungguh?”
“Ya, begutlah.” wajah Alvin berseri kemudian. Lingkaran tangannya ia lepaskan dan beralih memegang pundak cewek yang sinar matanya terlihat begitu menyejukkan hati. Mereka kemudian saling tersenyum.
“Vi... kalau boleh jujur, kamu adalah cewek satu-satunya yang berhasil membuat jantungku berdetak tiga kali lipat dari seharusnya. Entah ini gombal atau bukan, tapi kenyataannya aku memang merasakan hal itu.” Sivia menunduk mendengarnya. Oksigen dan karbondioksida yang ia hirup seakan sudah tidak sinkron lagi apabila terus-terusan matanya merespon tatapan dalam seorang Alvin.
“Vi, lihat aku!” lanjut Alvin seraya mengangkat pelan dagu Sivia.
“Mulai besok kita udah resmi pacaran kan, Vi?” lanjutnya lagi dengan memberikan pertanyaan. Pertanyaan yang jawabannya nanti bisa menegaskan kalau mereka benar-benar pacaran atau tidak. Lantas Sivia langsung mengangguk dan tak lupa juga memberika senyuman termanis yang pernah ia punya.
“Asyik! Jadi aku boleh kan antar jemput kamu ke sekolah?”
“Hmm... boleh aja sih. Tapi jangan terlalu sering ya, kak?”
“Lho? Emang kenapa?”
“Ya, gak apa-apa. Aku cuma gak mau jadiin kakak sebagai supir ataupun ojek dadakan aja.” Alvin mengangguk paham. Ternyata Alvin tidak salah mengikat hatinya dengan hati Sivia. Karena Sivia memang beda dengan cewek-cewek yang lain.
“Oke, gak masalah. Hmm... kalau gitu aku pamit pulang ya? Udah larut malem.”
“Oh, ya udah. Aku juga udah ngantuk, pengen istirahat.” jawab Sivia sambil bangkit dari duduknya mengikuti Alvin. Kemudian mereka berjalan ke arah pintu keluar.
“Salam buat Tante sama Difa ya?”
“Oke kak, pasti!”
Thanks! Lumayan lama juga nih gak main PS sama tuh anak.”
“Aku aja yang serumah jarang ketemu sama dia, apalagi kak Alvin? Tau sendiri kan kalau Difa paling doyan ngurung di kamar? Biasalah, bocah aneh.” Sivia terkekeh.
“Gitu-gitu juga adik kamu, Vi.”
“Iya juga sih, kak. Ya udahlah, kenapa jadi bahas Difa? Aih!”
“Eh, iya sih? Kok malah bahas si Difa?” Alvin jadi bingung sendiri dibuatnya. Sedangkan Sivia hanya mengangkat bahu seakan bilang mana-aku-tau?
“Ngg... ya udah deh kalau gitu jangan lupa langsung tidur ya, jangan sampai besok bangun kesiangan!” suruh Alvin saat ia berhenti sejenak di dekat gerbang rumah Sivia.
“Siap, bos! Hehehe. Oh iya, ini jaket buat kakak biar gak kedinginan di jalan. Kalau masalah jas, besok aja ya aku kembaliin? Mau aku cuci dulu.” ujar Sivia sembari memberikan sebuah jaket bola berwarna biru muda kepada Alvin yang memang hanya memakai kaus oblong tipis berwarna putih.
“Oh, makasih banyak ya? Jas aku buat kamu aja deh, anggap aja kenang-kenangan.” Alvin tersenyum simpul sambil memakai jaket yang diberikan Sivia yang mulai saat ini sudah resmi menjadi kekasih pertamanya itu. Dan lantas Sivia juga ikut tersenyum membalasnya.
“Aku pamit ya? Selamat malam dan mimpi yang indah!” sedetik, Alvin menyentuh pipi kanan Sivia dengan lembutnya sebelum ia masuk ke dalam mobil. Dan mungkin itu adalah sentuhan terakhir yang diberikan Alvin sebagai pengantar Sivia untuk menuju ke alam mimpinya yang pastinya akan sangat indah.
“Hati-hati, kak! Selamat malam dan semoga mimpi indah juga!” balas Sivia ketika Alvin mulai menyalakan mesin mobilnya.
See you tomorrow, my queen!” dan kemudian mobil itu melaju diiringi dengan lambaian tangan cewek yang sekarang hanya bisa mematung sambil berseri-seri itu.
See you tomorrow too, my king!” gumamnya kemudian. Lantas kakinya kembali melangkah ke dalam. Lantas kakinya kembali melangkah ke dalam area rumah miliknya. Berniat untuk menutup malam yang mungkin selama hidupnya itu tidak akan pernah terlupakan.

Dan walaupun entah siapa yang akan menjadi jodoh Sivia kelak, yang jelas namanya cinta pertama pasti memiliki tempat tersendiri di dalam lubuk hati. Di tempat yang tak ada seorang yang mampu menyentuh dan bahkan mengganti posisinya. Karena sejauh apapun cinta itu berkelana dari hati ke hati, tetap cinta pertamalah yang sangat sulit untuk dilupakan bahkan dihilangkan sekalipun.

Sivia menyempatkan diri berbalik badan sebelum masuk ke dalam rumah. Tersenyum sejenak, menarik napas, lalu bergumam.
“Ternyata cinta itu memang aneh. Selalu datang kepada siapapun dan dengan cara apapun. Seperti yang sedang aku rasakan sekarang, cintaku hadir begitu saja di sela-sela antara rasa benci dan rasa kesalku terhadap satu orang yang kini malah menjadi kebutuhan pokok dalam hidupku.” kemudian Sivia kembali terdiam. Matanya ia arahkan ke atas, kepada ribuan bintang yang berkilau menemani sang bulan yang berbentuk sabit. Sangat mengagumkan. Sampai membuat Sivia kembali melengkungkan garis bibirnya disertai genangan air suci yang ada di pelupuk matanya.
“Sungguh tak pernah terpikirkan kalau semua ini akan terjadi padaku. Tuhan... Engkau memang author yang paling handal di alam ini, skenario kehidupan rancanganMu benar-benar tak bisa ditebak sama sekali oleh manusia. Makasih untuk semuanya, Tuhan.” ucap syukur Sivia seketika. Dan kemudian ia melangkah masuk serta menutup pintu rumahnya setelah dengan panjangnya ia menghela napas.
Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR