@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Jumat, 14 Februari 2014

He-art 9th



This Is (Not) Ending



“Aih… congrats ya, Vi?” ucap Ify dan Prissy sambil memeluk Sivia bergantian. Namun Sivia masih terdiam, rasanya tidak bisa lagi sang mulut berbicara untuk sekedar bilang terima kasih ataupun apalah itu namanya.
Please welcome, Sivia!” Sivia pun tersadar dan langsung merespon panggilan Pak Lingga dengan tatapan bertanya. Lalu menengok ke arah Ify dan Prissy bergantian.
“Cepetan gih sana!” suruh mereka seraya mendorong pelan tubuh Sivia.
Give applause buat King and Queen kita malam ini, Alvin dan Sivia!” tepukan tangan kembali bergemuruh. Pak Lingga berdiri di tengah-tengah antara Alvin dan Sivia. Serta tak jauh dari mereka, Pak Alex dan Bu Jessie sudah bersiap dengan membawa mahkota kebanggaan Sarfagos dalam kurun waktu satu dekade ini.
“Hmm… sebelum Pak Alex dan Bu Jessie memberikan mahkota kepada kalian, Bapak mau bertanya dulu sebelumnya. Gimana nih perasaan kalian setelah dinobatkan menjadi King and Queen Sarfagos ke-11? Seneng dong pastinya?” tanya dan tebak Pak Lingga sambil tersenyum. Membuat Alvin dan Sivia saling melirik satu sama lain. Memberi kode siapa yang hendak menjawab terlebih dahulu.
“Oke, silahkan Alvin dulu.” suruh Pak Lingga saat keduanya belum juga menjawab. Sejenak, Alvin terdiam setelah tangannya memegang microphone.
“Vin?”
“Hmm… perasaannya?” balik tanya Alvin ke Pak Lingga. Sontak semua orang yang ada di dalam sana sedikit terkekeh dibuatnya. Pak Lingga pun mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan cowok yang jasnya sengaja tak dikancingkan itu.
“Ngg… shocked.” jawabnya singkat dengan ekspresi yang sulit untuk dimengerti oleh siapa saja yang melihatnya. Namun tepuk tangan tetap saja bergema. Entahlah.
“Kalau Alvin syok karena terpilih menjadi King, gimana dengan Queennya? Apakah syok juga? Atau mungkin lebih dari syok?” Sivia tersenyum kecil. Terkesan sedikit memaksa begitu Pak Lingga dan semua yang ada di aula tersebut beralih memandangnya.
“Hmm… sama. Aku juga gak nyangka bisa dipilih jadi Queen di acara Prom Night Annive Sarfagos ke-11 ini. Entahlah. Selaku siswi kelas X yang belum genap setengah tahun menginjakkan kaki di sekolah ini, aku merasa belum pantas mendapatkan gelar tersebut.” jawab Sivia dengan merendah. Di sisi lain, Pak Alex tersenyum mendengarnya. Ternyata semua penilaian Cakka tentang Sivia itu benar-benar kenyataan.
“Siapa bilang kamu gak pantas mendapatkan gelar Queen di acara ini?” kemudian beliau berucap sambil berjalan mendekati Sivia yang masih berdiri canggung karena ditonton oleh siswa-siswi satu sekolah. Refleks, Sivia langsung menengok ke arah Pria paruh baya berkacamata tipis yang kini tersenyum padanya. Tak lupa juga Alvin yang ikut memandang Papinya dengan tatapan bertanya.
“Gelar King and Queen ini diberikan kepada siapapun. Tidak memandang lama atau barunya berada di sekolah ini, kaya miskin serta pintar bodoh pun tidak dijadikan alasan utama dalam hal ini. Dan para panitia memilih kalian karena beberapa faktor. Kalian serasi, kompak, enjoy, tidak berlebihan dan tentunya tidak memaksakan. Itu yang terpenting di acara Prom Night yang memang sering kami adakan setiap tahunnya. Selain itu juga, dengan diadakannya acara seperti sekarang ini, kami selaku komite sekolah berharap supaya siswa-siswi Sarfagos bisa lebih kompak lagi dalam segi apapun. Saling menghargai serta tidak membeda-bedakan fisik dan penampilan.” lantas Pak Alex tersenyum sambil mengusap lembut bahu Sivia dan Alvin.
“Selamat ya?”
“Terima kasih, Pak.”
“Makasih, Pi.” ucap Sivia dan Alvin bergantian.
“Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya persilahkan Bu Jessie serta Pak Alex untuk memakaikan mahkota kebesaran kepada Alvin dan Sivia.” tepuk tangan kembali bergemuruh setelah lumayan lama menyepi. Lantas Alvin dan Sivia saling pandang dan tersenyum saat beberapa detik sebuah mahkota bertengger manis di kepala mereka. Lalu berjabat tangan sebagai tanda selamat satu sama lain. Sorakan keras serta tepukan tangan semakin bergemuruh di dalam aula hingga keluar.

Perlahan, suara gemuruh yang tadi cukup menggema itu berganti menjadi alunan musik mellow yang terdengar sangat lembut. Kilauan cahaya lampu pun yang tadi begitu heboh kini sedikit temaram. Mengikuti alunan lagu yang bergenre romantis tersebut. Dan tanpa komando, semua siswa berdiri dan membentuk lingkaran mengelilingi Alvin dan Sivia berdua di tengah-tengah. Meski anak kelas X belum tau apa yang sebenarnya sedang dilakukan kakak-kakak kelasnya tersebut, mereka tetap antusias mengikutinya membentuk lingkaran cukup besar.
“Kak, kita mau ngapain? Kok kita dikurung gini?” bisik Sivia mulai was-was. Namun matanya tetap mengitari orang-orang sekitar dengan wajah polos yang dimiliki Sivia.
“Hmm… kalau tahun lalu sih King and Queennya harus dansa untuk menutup acara ini.” balas Alvin dengan berbisik juga. Dan itu berhasil membuat Sivia tergelak hebat. Bahkan sangat hebat.
What? Dansa?”
Yeah… why are you so shocked like that?
Ive never dance before. Apa boleh diwakilin? Aku beneran gak bisa, kak.” tanya Sivia super polos. Untuk sejenak Alvin terkekeh, tak perduli meski semua orang yang mengelilingi mereka sudah menunggu terlalu lama.
“Dansa? Belum pernah? So, why should be afraid? Ada gue kan?” Alvin tersenyum setelahnya. Dengan bergerak selangkah ke hadapan Sivia, Alvin mengulurkan tangan kanannya untuk memulai tradisi dansa yang menjadi penutup acara Prom Night kali ini. Dan aksi itulah yang membuat salah satu hati penonton terasa teriris perih. Entahlah. Rasanya sangat sakit melihat Alvin dan Sivia berada di tengah sana. Cakka.
“Kak, aku gak bisa.” bisik Sivia lagi. Membuat orang-orang merasa gereget melihat Sivia yang belum juga meraih tangan Alvin. Tak tertinggal juga Pak Alex yang sejak tadi tak pernah absen tersenyum. Kedua matanya berbinar melihat Alvin yang sekarang sangat berbeda.
“Nanti juga bisa kok. Santai aja. Kalau pun loe gak bisa, toh siapa juga yang mau marah sama loe? Gak ada kan?” Sivia menarik napas gusar. Dan sedetik kemudian tersenyum sambil membalas uluran tangan Alvin lembut.
“Pegang pundak gue dan ikutin gerakan gue serileks mungkin. Bisa?” ucap Alvin mencoba mengarahkan Sivia dengan tangan kanan dan kirinya memegang jemari serta pinggang Sivia lembut.

Mereka berdua menarik napas lagi-lagi. Walaupun Alvin sudah pernah melakukan dansa saat di acara yang sama tahun lalu, namun kali ini entah kenapa rasa grogi dan jantungnya berdetak tak sesantai seperti alunan musik yang didengarnya saat itu. Mereka pun perlahan demi perlahan mulai menggerakkan kedua kakinya. Cukup rileks. Rasa nervous yang sempat menjamah Alvin kini terbayar sudah dengan tatapan mata Sivia yang menyejukkan. Tanpa ragu ia tersenyum.
“Ternyata kamu bisa juga kan?” bisik Alvin lembut. Sivia lantas tergelak mendengarnya. Apalagi saat menyadari kalau ia sudah bertatap mata cukup lama dengan seorang Alvin yang ketampanannya sudah tak bisa lagi untuk diungkapkan. Dan hal itu benar-benar membuat hidung tak bisa berfungsi seperti biasanya jika wajah Alvin dilihat dari jarak yang tak lebih dari lima sentimeter tersebut. Seperti yang dirasakan Sivia sekarang. Cukup sesak. Entahlah.
Oh my God! Mereka so sweet banget sih?! Parah!” decak kagum Agni sedikit syok. Apalagi melihat Alvin yang sekarang sikapnya jauh lebih baik dari yang pernah ia kenal dulu. Lebih kalem dan lebih romantis kalau dilihat dari tatapan matanya ke Sivia.
“Ikutan yuk, Cak?” pinta Agni kemudian saat beberapa orang di antaranya mengikuti jejak Alvin dan Sivia berdansa. Namun Cakka masih tak bergeming, kedua matanya seakan tak bisa beralih sedetikpun dari dua orang yang sangat dikenalnya itu.
“Cak?”
“Hmm?”
“Loe kenapa sih?”
“Gue gak apa-apa kok. Kenapa emang?” Agni berdecak mendengarnya. Sikap aneh Cakka mulai membuatnya risih.
“Loe aneh. Sejak acara ini dimulai sampai sekarang mau selesai, loe kelihatan males-malesan gitu sih? Badmood gue jadinya.” tukas Agni sedikit kesal. Cowok tinggi dengan harum tubuh yang menenangkan hati itu kini melirik Agni dengan sedikit senyuman.
“Muka loe udah jelek, jangan badmood gitu!”
“Apa hubungannya sih?!”
“Tambah jelek tau gak?! Udah ah! Katanya mau dansa?” tawar Cakka tanpa menunggu lagi balasan Agni. Tangan jenjangnya langsung merangkul pundak Agni. Berusaha membaur dengan yang lain.

***


Ify terpaksa menahan tawanya saat Rio dengan tampang sok cool menatap cukup dalam ke kedua matanya itu. Selalu saja seperti ini. Tak pernah bisa diajak romantis walaupun sudah bersusah payah untuk Rio bersikap slowly dan gagah di hadapannya, namun Ify selalu menanggapinya sebagai lelucon yang sangat lucu. Dan lagi-lagi tidak seperti cewek-cewek yang lain, terlebih cewek-cewek yang pernah jadi korban percintaan seorang Rio Sebastian.
“Kok ketawa sih?” tanya Rio mulai heran dengan ekspresi wajah Ify.
“Hahaha. Ya, abisnya muka kak Rio mesum gitu? Udahlah kak, dansanya biasa aja, gak perlu lihatin gue kaya gitu. Ngeri gue!” tukas Ify jujur. Membuat tingkat kepercayadirian seorang Rio turun drastis begitu mendengar hal tersebut.
“Ck! Gue itu udah berusaha cool di depan loe tau, Fy?! Biar loe kagum gitu sama gue. Eeeehhh… loe malah bikin gue down. Payah!” ujar Rio mulai malas berdansa dengan cewek yang kini masih terkekeh itu.
Please deh kak, kalau emang gak bisa cool ya udah jangan sok cool gitu. Apalagi pakai acara lihatin gue kaya orang nafsu seperti itu.” glek! Nih cewek emang aneh atau gimana sih? batin Rio heran.
“Serah loe deh, Fy. Yang pasti gue tetep kece.”
“Mulai ngawur!!!” timpal Ify seraya memutar matanya jengah.

Di sisi lain, Gabriel masih terdiam seribu bahasa. Begitu terkesima memandang pesona kecantikan Prissy yang sejak tadi juga tak mengeluarkan sepatah katapun. Mungkin karena memang terlalu pasrah membiarkan pinggangnya dipeluk Gabriel dengan sedikit gerakan mellow mengikuti alunan musik. Sesekali mereka tersenyum. Ruangan pun entah kenapa mendadak sepi. Hanya ada satu sorotan lampu yang menembak ke arah Gabriel dan Prissy di tengah aula. Tentu saja masih diiringi dengan alunan musik yang sangat romantis.
“Pris, loe lihat gak di mata gue ada apa?” bisik tanya Gabriel lembut. Ditambah dengan seulas senyum kecil yang melengkung indah di kedua bibirnya. Untuk sesaat Prissy tak menjawab. Lebih tepatnya belum paham betul maksud dari pertanyaan cowok tersebut. Kemudian mengernyit, sebagai tanda kalau dirinya tidak mengerti. Gabriel pun tersenyum.
“Hmm… coba aja loe tau kalau di mata gue itu ada…” ucapnya terpotong. Sengaja memberi kesempatan untuk Prissy menunggu-nunggu lanjutannya.
“Ada?” sambung tanya Prissy penasaran.
“Ada cinta.” kemudian Gabriel menyeringai. Memamerkan sedikit deretan gigi putih bagian atasnya.
“Heh?”
“Iya, di mata gue ada cinta. Emang loe gak lihat?” dan tanpa sedikitpun ragu, Gabriel mendekatkan wajahnya supaya Prissy dan melihat jelas pancaran matanya yang begitu dalam. Prissy tergelak.
“Ngg… loe mau ngapain?”
“Mau mastiin aja kalau di mata loe juga ada cinta. Ada cinta buat gue.” ucap Gabriel lembut disertai senyum manisnya. Untuk sedetik Prissy menelan ludah, dentuman keras di dadanya semakin terasa cepat bersamaan dengan mendekatnya wajah Gabriel.
“Hmm… sejak pertama kali kita bertemu waktu itu, entah kenapa gue merasa ada yang aneh di sini, di dada gue. Seperti ada getaran hebat yang mengguncang saat gue melihat ataupun bertemu apalagi mengobrol sama loe. Ditambah sekarang gue bisa sedekat ini sama loe, ternyata gue baru nyadar kalau gue…” ujar Gabriel sembari perlahan melepaskan pelukannya dan beralih meraih kedua telapak tangan cewek yang berdiri tak jauh dari tubuhnya itu.
“Hmm?” sambung tanya Prissy lagi-lagi dengan mata dikernyitkan. Terkesan sudah tak sabar lagi mendengar kelanjutannya.
“Kalau gue… gue jatuh cinta sama loe.” sedetik setelah kalimat tersebut diucapkan oleh Gabriel, Prissy membelalakan matanya hebat. Tak percaya mendengar kalimat indah yang baru saja mengusik gendang telinganya. Ia mematung.
“Hmm… loe mau gak jadi pacar gue?” glek! Bagai tersambar petir di siang bolong tanpa adanya hujan setetes pun, Prissy merasakan gejala sesak napas seketika. Entah sekarang ia membutuhkan berapa banyak oksigen untuk menetralkan kembali kondisinya. Namun tiba-tiba…
“AWWW!!!” seseorang yang tak jauh dari Gabriel dan Prissy berdansa sontak berteriak kesakitan ketika tanpa sengaja kaki Prissy menginjaknya. Orang itu mengerang.
“Eh, sori-sori gue gak sengaja. Sori ya? Aduh… loe gak apa-apa kan?” balas Prissy yang langsung tersadar dari semua khayalannya tadi.
“Kak Prissy gimana sih? Sakit tau?!” yang baru saja diinjak Prissy adalah Ify. Kontan Ify langsung berjongkok demi mengusap kakinya yang terasa sedikit perih.
“Serius gue gak sengaja. Sori ya, Fy?” ucap Prissy merasa tak enak hati. Sedangkan kedua pasangan mereka hanya bisa saling pandang sambil berbalas kode.
“Ya udah gak apa-apa kok, kak.” balas Ify sambil berusaha bangun dengan bantuan Prissy tentunya.
“Loe diapain sih sama si Gab, Pris? Segitunya sampai injek-injek kaki orang.” tukas Rio sedikit bercanda.
“Apaan sih loe?!” timpal Gabriel menyambungi.
“Ish! Gue gak diapa-apain sama Gabriel. Tadi gue ngelamun.” bela Prissy masih dengan menggamit tangan kanan Ify yang sudah cukup tenang dari ringisannya.
“Ngelamun apa ngelamun? Cieee…” Ify menimpali.
Please deh, Fy!”
“Udah-udah! Sekarang kita ke sana aja yuk? Makan-makan.” ajak Gabriel mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tangannya pun langsung menarik Prissy dari kerumunan siswa-siswi lain yang sejak tadi seakan masa bodoh dengan kejadian mereka berempat. Mungkin karena memang terlalu asyik berdansa dengan pasangan masing-masing.
“Kita ke sana juga?” kata Rio sembari meminta persetujuan dari pasangannya. Pasangan Prom Night maksudnya. Namun Ify hanya mengangkat bahu. Seakan dalam hatinya bilang terserah-loe-aja.
“Ya udah ikut ke sana aja deh. Pegel juga gue dansa mulu.” setelah cukup menarik napas serta membuangnya perlahan, mereka pun melangkah pergi setelahnya.

***


“Kak?”
“Ya?” Alvin menatap Sivia dengan penuh pertanyaan. Tangan kanannya yang masih menempel di pinggang cewek tersebut akhirnya ia lepaskan juga. Sengaja memberi kesempatan kepada Sivia untuk berbicara tanpa merasa risih.
“Aku capek. Pengen istirahat dulu gak apa-apa kan, kak? Haus juga nih.” dengan polosnya Sivia berucap, membuat Alvin sedikit terkekeh karena lucu mendengarnya.
“Oh, ya udah gak apa-apa kok. Kenapa gak bilang dari tadi sih?”
“Ngg… aku gak enak aja sama kak Alvin.” balas Sivia lembut. Tidak sinkron dengan apa yang ada di dalam hatinya. Bukan karena tidak enak, melainkan Sivia terlalu susah untuk berbicara satu katapun saat matanya terjebak oleh tatapan Alvin selama acara dansa berlangsung.
“Hmm… ya udah deh istirahat dulu aja. Toh acaranya juga bentar lagi selesai. Ayo?” cepat-cepat, Alvin meraih jemari Sivia dan mengajaknya ke sebuah meja yang belum ada penghuninya. Dan mereka pun langsung menuju tempat tersebut tanpa menunggu lama lagi.
“Minum dulu, Vi?” tawar Alvin sesampainya di sana.
Thanks, kak.”
Never mind.” kemudian ia tersenyum. Entahlah sudah berapa kali Alvin tersenyum ke Sivia malam ini.
“Oh iya kak, malem ini kan kita jadi King and Queen nih ceritanya? Tapi bukan berarti kita mesti pacaran kan? Kaya yang dulu-dulu.” kata Sivia yang berhasil membuat tenggorokan Alvin ingin memuntahkan paksa air yang baru saja diminumnya tadi.
“Uhuk… uhuk…”
“Eh, kak Alvin kenapa? Aih… pelan-pean dong kak kalau minum.” refleks, Sivia langsung mengusap-usap punggung cowok yang duduk satu senti di sampingnya tersebut.
“Gak apa-apa kan, kak?” tanya Sivia lagi memastikan. Lantas Alvin hanya membalasnya dengan gelengan kepala karena kedua tangannya yang sibuk membersihkan mulut dari bercak-bercak air berwarna hijau tua itu. Dan dengan spontan Sivia pun mengambil tissue, lantas kemudian membantu Alvin mengelap mulut serta lehernya yang lumayan basah.
“Sini aku bantu.” perlahan, Alvin lepas tangan, membiarkan Sivia mengambil alih aksinya tadi. Oh my God! My game is over! batin Alvin saat dirasa jantungnya sudah tak kuat lagi menahan detakannya yang semakin cepat ketika tangan Sivia menyentuh rahangnya. Ia seakan tak bisa berkutik. Walaupun hanya sekedar berkedip.
Thanks.” ucap Alvin akhirnya begitu Sivia sudah melepaskan sentuhan di rahangnya itu.
Never mind. Hehehe. Lain kali kalau mau minum baca doa dulu coba. Buru-buru aja kaya dikejar hantu.” Alvin tersenyum lagi membalasnya. Berusaha mengiyakan kata-kata Sivia tersebut meskipun bukan itu alasan utamanya Alvin tersedak.
“Sekali lagi makasih.”
“Eh, kak Alvin tadi belum jawab pertanyaan aku.”
“Heh? Pertanyaan apa?” tanya balik Alvin sambil menampakan wajah polosnya. Sivia berdecak pelan.
“Kak Alvin, please deh jangan pikun!”
“Tapi beneran gue lupa, Via. Loe nanya apaan emang?”
“Ck! Gak jadi deh. Lain kali aja.”
“Oh, ya udah.” Sivia kembali berdecak. Mulai menyebalkan sosok Alvin saat ini. Tapi ya sudahlah, kalau dilihat dari sinar matanya itu Alvin memang tidak sedang bercanda.
“Kak Alvin, dengerin baik-baik ya?! Tadi kan aku nanya kalau kita jadi King and Queen itu bukan berarti kita mesti pacaran kan?” tanya ulang Sivia dengan penuh penekanan di setiap katanya.
“Oh, itu? Emang kata siapa mesti pacaran?”
“Hmm… setau aku katanya gitu kalau dilihat dari yang udah-udah. Kak Richard sama kak Hellen dulu King and Queen kan? Dan mereka pacaran. Terus temen satu angkatan kak Alvin, kak Ryan sama kak Gladys, mereka pacaran juga. Mantan King and Queen pula.” jelas Sivia seraya menunjuk satu per satu orang yang tadi disebut namanya.
“Kalau emang harus kaya gitu kenapa enggak? Dan kenapa mesti khawatir juga?” balas Alvin dengan sangat santainya. Masa bodoh meskipun cewek di sampingnya kini berubah ekspresi dengan drastis.
“Maksud kak Alvin?” Alvin cepat-cepat menggeleng. Membuat rasa bingung di benak Sivia semakin menebal.
“Ish! Nyebelin banget sih?!”
“Lagian loe gitu aja masa gak ngerti? Ck!” timpal Alvin sembari mengambil minuman yang baru di mejanya. Lantas pandangan matanya kembali mengitari suasana sekitar yang cukup gemerlap dengan alunan musik yang kini sudah berganti menjadi lebih cepat dari tempo musik sebelumnya. Seisi aula pun kembali happy sambil berjoged sesuka hati. Tanpa harus formal seperti sebelumnya.
“Tapi emang aku gak ngerti, kak.”
“Lemot sih.”
“Tau ah! Bete.” Sivia membelakangi Alvin tiba-tiba. Membuat Alvin harus menghela napas kuat-kuat menghadapi sikap Sivia yang tak seperti biasanya. Cukup menyebalkan.
“Hmm… kalau emang si peraih gelar King and Queen itu mesti pacaran ya kenapa enggak? Toh kita sama-sama jomblo kan?” respon Alvin asal. Sedetik, Sivia membukakan mulut dan membelalakan mata tanpa Alvin ketahui. Entah rasa apa yang harus ia munculkan di dalam hatinya. Senang kah? Atau yang lain? Entahlah. Yang jelas Sivia sangat kaget mendengarnya.
“Ta… tapi kan?”
“Loe gak suka sama gue?”
“Bu… bukan gitu, kak. Ish! Maksud aku…”
“Apa? Loe suka sama orang lain?”
“Ngg… nggak juga. Hmm… aku cuma takut aja kalau kak Alvin gak ada perasaan sama aku. Toh faktanya aku juga gak ada perasaan sama kakak. Aku udah anggap kakak sebagai teman.” Alvin terkekeh. Sebegitu khawatirnya Sivia menghadapi persoalan yang menurut Alvin tidak ada pentingnya itu.
“Hahaha. Loe lucu banget sih, Vi?”
“Lho? Kok ketawa sih, kak? Aneh.”
“Ya, lucu aja sih. Kalau emang kita gak ada perasaan satu sama lain, ya udah gak perlu ditanggepin masalah kaya gituan. Ribet amat.” Sivia pun terdiam. Hanya bisa memutar-mutar gelas yang ada di genggamannya tanpa merespon balik kata-kata Alvin. Tapi kenapa dada gue jadi sesak gini mendengar ucapan loe, kak?
“Udah, jangan dipikirin! Toh mahkota yang kita pakai ini gak menuntut kita buat pacaran kan? Jangan sering-sering ngikutin sejarah lah.”
“Hmm… ya udah deh aku ikutin kak Alvin aja.”
“Tapi kalau nanti ke depannya kita pacaran, ya gak tau juga sih.” lanjut Alvin seraya terkekeh kecil. Membuat Sivia melirik skeptis ke arah cowok yang kini wajahnya terlihat berseri itu.
“Ih, labil banget sih?!” timpalnya kemudian.
“Ya, siapa tau juga kan?”
“Ngg… kak?” untuk memecah topik pembicaraan sebelumnya, Sivia berusaha bertanya asal.
“Ya?” Alvin menengok. Membalas pertanyaan Sivia dengan sebuah pertanyaan singkat. Menjadikan cewek yang wajahnya sedikit masam itu membuang napas jengah sebelum kembali berbicara.
“Hmm… gak jadi deh. Hehehe.” lanjut Sivia cukup menyebalkan menurut Alvin. Aneh! umpatnya. Lalu mereka berdua saling diam seketika. Mencoba menyibukkan diri dengan aktivitas masing-masing melihat anak-anak lain yang sedang seru-seruan ditemani alunan musik beat. Selain itu ada juga beberapa di antara mereka yang sudah mulai jenuh dan memilih untuk keluar mencari suasana baru, atau bahkan mungkin ada yang pulang karena kelelahan. Toh acara inti malam ini sudah selesai, sisanya terserah mereka mau melakukan apa saja selagi itu tidak menjorok ke arah hal-hal yang negatif. Have fun, guys!

***


Satu per satu siswa maupun guru mulai beranjak meninggalkan Sarfagos setelah sepuluh menit acara Prom Night itu benar-benar selesai. Cukup melelahkan. Tapi semua itu menjadi lebih menyenangkan karena keseruan-keseruan yang terjadi di sana. Apalagi saat berdansa dan berjoged dengan pasangan masing-masing. Ya, sepertinya hal itu yang ditunggu-tunggu oleh sebagian penghuni Sarfagos. Lebih-lebih kalau dilakukannya dengan pasangan sesungguhnya. So wonderful, right?

Shilla mengangkat sedikit gaun panjangnya yang hampir menyentuh tanah saat ia hendak keluar aula bersama Ray. Pasangan Prom Nightnya malam ini. Sedangkan Ray yang tangannya masih digandeng oleh cewek tersebut hanya bisa berjalan pelan mengikuti langkah Shilla yang sedikit kesusahan berjalan karena memakai high heels.

Dengan dibarengi napas lelahnya, Ray menghentikan langkah kaki tepat di dekat mobil milik orang tuanya itu terparkir. Lalu menengok sejenak ke dalam mobil untuk memastikan kalau supirnya ada atau tidak. Pasalnya tadi sebelum acara Prom Night dimulai, sang supir minta izin terlebih dahulu mencari pengganjal perut. Tetapi entah kenapa sampai sekarang belum kembali juga. Sampai Ray memutar mata seakan bilang Pak-Odi-kebiasaan-nih.
“Hmm… Shil, loe mau pulang langsung apa gimana?” walau sedikit ragu, Ray berusaha bertanya ke arah cewek yang masih berdiri mengitari suasana sekitar sambil menggenggam tas mungil di tangan kirinya. Kontan membuat Shilla refleks menampakan ekspresi berbalik tanyanya. Terkesan kalau ia tak begitu jelas mendengar pertanyaan Ray tadi.
“Loe mau langsung pulang apa gimana?” tanya ulang Ray memperjelas.
“Oh, hmm… pengennya sih langsung pulang, kak. Udah capek banget aku. Tapi terserah kak Ray juga sih, kan kakak yang bawa mobil.” kemudian cewek cantik itu tersenyum. Menampilkan raut wajah yang belum pernah membuat Ray mati berdiri seperti yang sedang dirasakannya sekarang.
“Ngg… nunggu di sini bentar gak apa-apa kan, Shil?”
“Oh, gak apa-apa kok. Emang kenapa mobilnya, kak?” tanya balik Shilla sambil ikut bersandar di mobil Ray.
“Pak Odi belum balik juga nih. Mungkin keasyikan ngobrol di warung kopi kali ya sampai lupa gak ke sini lagi.” terka Ray sedikit memahami kebiasaan supir pribadinya tersebut. Shilla membulatkan mulut.
“Kenapa gak ditelpon aja, kak? Pak Odi pegang handphone kan?” plak! Merasa sedikit bodoh, Rau menepuk dahinya pelan. Kenapa gak kepikiran ke situ sih? batinnya.
“Oh iya ya? Aih… bentar gue telpon dulu.” izin Ray sambil merogoh ponsel di saku celananya. Sedangkan Shilla hanya terkekeh.
“Ck! Gak aktif, Shil.” pasrah Ray tiba-tiba. Wajah lesunya tampak jelas terlihat saat itu.
“Masa sih?”
“Iya nih, gak tau.”
“Hmm… ya udah deh nunggu dulu aja di sini.” Ray pun menatap Shilla dengan ekspresi yang menggambarkan tak enak hati. Walaupun masih lumayan banyak juga anak-anak Sarfagos yang berkeliaran di sana-sini, tapi Ray merasa tak tega dengan Shilla yang sudah terlihat lelah itu.
“Tapi loe gak keberatan kan?”
“Oh, gak apa-apa kok. Toh masih banyak juga yang belum pulang kan? Bukan kita aja? Lagipula ini resiko Shilla dong, kan Shilla nebeng sama kak Ray? Hehehe.” ucap Shilla santai. Sedangkan Ray hanya bisa tersenyum saja meresponnya.
“Ngg… sori ya?”
“Gak apa-apa kok, kak. Santai aja lagi.” Shilla tersenyum. Mencoba meleburkan rasa tak enak hati yang ada pada diri Ray. Kemudian mereka berdua terdiam. Seakan sudah kehabisan topik untuk dibicarakan lagi. Mungkin hanya kedatangan Pak Odi sajalah yang bisa membuyarkan aksi diam mereka nanti.

***


“Gila! Gue shocked banget malem ini. Shocked, shocked and shocked parah deh pokoknya!!!” greget Rio beberapa detik setelah membasahi wajahnya dengan sedikit air di sebuah toilet cowok. Lantas ia memandangi wajahnya heran di depan cermin yang tingginya setara dengan tinggi tubuh Rio tersebut.
“Bener-bener absurd banget! What the hell!” lanjutnya asal. Sedangkan Alvin masih sibuk sendiri membenahi jasnya yang sedikit kotor serta Gabriel yang juga ikut meraup wajahnya dengan air tersebut hanya bisa mendengarkan tanpa ada niat sedikitpun merespon ocehan tak jelas dari seorang Rio Sebastian. Selalu. Seperti biasanya.
“Gue heran deh, kok loe bisa sih gandeng Sivia ke Prom Night? Pakai acara jadi King and Queen pula. Ish!” Rio menautkan tatapannya ke arah Alvin. Dan karena mendengar nama Sivia disebut, Alvin kontan menengok dengan tampang polosnya. Seakan-akan dirinya tidak tau apa-apa dengan yang sedang diomongkan Rio tersebut. Lantas terkekeh begitu melihat ekspresi balasan dari Rio.
“Bukan Alvin Pratama namanya kalau gak bisa lakuin itu semua. Hahaha.” tegas Alvin lantang.
“Ck! Loe juga, kok bisa-bisanya sih sama Prissy? Perasaan gue duluan deh yang pertama kali nemuin dia. Eh, malah loe yang dapet. Sial!” tukas Rio beralih ke arah Gabriel yang saat itu terkekeh tak henti-hentinya melihat Rio terpojok karena termakan oleh taruhan yang dibuatnya sendiri. Lantas kemudian Gabriel mengangkat alis ke arah Alvin. Menyatakan kemenangan mereka akan taruhan yang dulu pernah diberikan Rio itu.
“Hmm… tapi gak masalah sih. Dan sekarang gue percaya kalau kalian emang bukan maho.” timpal Rio sembari memakai kembali tuxedo warna hitamnya dengan tanpa dosa.
“EMANG DARI DULU JUGA BUKAN!!!” refleks, Rio langsung menutup rapat-rapat kedua telinganya seakan sudah hafal apa yang akan terjadi padanya setelah ia berbicara menyangkut kata maho.
“Gak pakai teriak juga kali kalau kalian ngerasa gak maho sih. Hahaha.” plak! Jitakan keras mendarat seketika di kepala Rio. Ia pun meringis kesakitan.
“Gak perlu juga bahas maho kalau loe gak mau gue hajar! Cari topik lain kek yang lebih enak dibahas.” sambung Gabriel sinis.
“Iya-iya gue tau. Slow aja kali, brader. Oke, sebagai janji gue dulu, gue bakal pinjamin semua fasilitas yang gue punya ke kalian berudua. Ngg… kalau perlu kalian gue traktir selama seminggu karena udah berhasil buktiin kalau kalian bukan maho.” ucap Rio santai. Lagi-lagi Alvin dan Gabriel berdecak sambil memutarkan bola matanya jengah.
“Gak usah repot-repot, Yo. Gue udah gak butuh. Toh gue juga terpaksa ngikutin taruhan konyol ini. Dan satu lagi, gue gak mau kalau Sivia sampai tau masalah taruhan ini. Kalian ngerti kan?” ujar Alvin yang sudah selesai dari kesibukannya membenahi pakaiannya.
“Oke, slowly aja. Masalah taruhan ini cukup kita bertiga sama Tuhan yang tau.” bisik Rio pelan. Mencoba memastikan supaya tidak ada seorang pun yang mendengar kecuali mereka bertiga.
“Ngg… kalau gue boleh saran, mendingan kita jangan bahas-bahas lagi masalah ini. Lagi pula udah clear kan? Soalnya gue gak mau kalau hubungan gue sama Prissy disangkut pautkan dengan taruhan. Gue asli suka sama Prissy dari hati, brader.” sambung Gabriel yakin. Rio terkekeh kemudian. Baru kali ini telinganya mendengar kalau Gabriel suka sama seorang cewek.
“Gembel banget gaya loe, Gab! Hahaha. Oke, gue ralat aja kali ya? Ini bukan taruhan, tapi anggap aja ini try out dari gue buat kalian.” Alvin dan Gabriel saling pandang dan mengangkat bahu mereka masing-masing. Terserah saja apa yang mau dibilang Rio tersebut.
“Dan otomatis gue putusin kalau kalian udah lulus sekarang. Good job, brader! Sisanya up to you aja deh mau gimana tuh hubungan kalian sama mereka. Yang pasti hubungan gue sama Ify sih tetep jalan. Hahaha.” Rio tertawa setelahnya.
Whatever you say! Udah ah, gue lagi ditungguin nih sama Sivia di depan.” kata Alvin sambil melirik arloji cokelat pekat yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Tau deh yang King and Queen. Hahaha.” ledek Gabriel dibarengi rangkulannya di pundak Alvin. Sedangkan Alvin hanya melirik sambil tersenyum kecil ke arah Gabriel.
“Emang loe mau langsung balik, Vin? Aih… kenapa gak main dulu aja sih?” timpal Rio yang kemudian ikut berjalan keluar toilet bersama Alvin dan Gabriel.
“Gak! Ini udah malem, gak enak sama orang tuanya.” Rio mengangguk memahami. Begitu juga Gabriel yang seakan ikut salut dengan kata-kata Alvin tersebut. Sepertinya Gabriel sudah mulai mengerti dengan sikap Alvin akhir-akhir ini. Lalu ia tersenyum.

Namun kemudian… brak!!! Alvin tiba-tiba tersungkur saat sebuah pukulan melayang tepat di dahinya sedetik setelah ia keluar dari toilet. Kontan kejadian itu membuat kaget Gabriel dan Rio yang juga ikut terpental akibat dorongan keras dari Alvin yang gagal menahan keseimbangannya.
“Dasar berengsek loe, Vin!!!” satu pukulan lagi mendarat di wajah Alvin saat Alvin hendak bangun.
“Loe apa-apan sih, Cak?!” lerai Gabriel yang heran dengan ulah Cakka yang tiba-tiba muncul dan menghajar Alvin begitu saja. Sedangkan Alvin hanya bisa mengerang kesakitan sambil memegangi dahinya.
“Ini buat loe karena udah jadiin Sivia barang taruhan.” Cakka lagi-lagi melayangkan pukulannya di wajah Alvin. Tak perduli kalau yang dipukulnya itu adalah saudara kandungnya sendiri. Melihat hal tersebut, Gabriel dengan cepat memegangi tubuh Cakka. Tak lupa juga Rio yang langsung melindungi Alvin dengan mengangkatnya bangun dan menjauh dari Cakka yang penuh emosi itu. Ternyata Cakka sejak tadi tak sengaja mendengar percakapan Alvin dan kawan-kawan saat dirinya hendak ke toilet.
“Dari awal gue emang curiga sama loe, Vin. Ternyata ini penyebabnya? Cih! Memalukan!” geram Cakka meski dalam sanderaan Gabriel.
“Gue bisa jelasin ini, Cak. Loe jangan salah paham dulu.” ucap Alvin kemudian sembari menahan sakit di wajahnya. Dan pandangannya pun entah kenapa sedikit buram.
“Gak butuh! Ini semua udah jelas. Gue kecewa sama loe, Vin. Gue kira akhir-akhir ini loe berubah karena Sivia, karena loe suka beneran sama Sivia. Ck! Ternyata bulshit! Loe berubah cuma karena ingin deket sama Sivia terus bisa menangin taruhan konyol ini. Iya kan?! Cih! Sejak kapan loe jadi pecundang kaya gini hah?!” Cakka sedikit berontak dari genggaman keras Gabriel. Wajahnya semakin memerah begitu tangan Gabriel semakin kuat menggenggam tangannya dari belakang.
“Lepasin gue, Gab!”
“Gak akan!”
“Lepasin aja, Gab! Biarin dia mukulin gue semaunya. Gue ikhlas.” Gabriel pun mengernyit saat Alvin dengan tenangnya berbicara seperti itu. Dan dengan terpaksa Gabriel melepaskan Cakka. Membiarkan adik Alvin satu-satunya itu meluapkan emosinya kepada kakaknya sendiri.

Meski sedikit lemas, Alvin berdiri dengan bantuan Rio dan mendekat ke hadapan Cakka yang sekarang tidak memakai jas itu. Raut wajah kesakitannya tampak begitu jelas terlihat. Namun hal itu tidak membuat rasa iba di hati Cakka muncul begitu saja. Malah Cakka semakin dibuat geram karena Alvin tak juga melawan pukulannya.
“Ayo pukul gue, Cak!” suruh Alvin sebisa suaranya karena Cakka tiba-tiba saja terdiam meskipun matanya menatap tajam. Mulutnya mendesis kemudian.
“Harusnya bukan gue yang mukul loe, tapi Sivia! Aaarrrggghhh… gue kecewa banget sama loe, Vin. Gak bisa bayangin gue kalau Sivia sama Papi sampai tau masalah ini.” Cakka berusaha menahan emosinya sebisa mungkin. Sedangkan Gabriel dan Rio hanya bisa saling pandang tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Ini semua gara-gara gue! Ish! batin Rio.
“Cak, please… gue mohon jangan bilang-bilang masalah ini sama Papi dan Sivia. Gue tau gue salah, dan gue nyesel. Loe boleh mukulin gue sepuas loe, asal jangan…” ucap Alvin terpotong seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Entah kenapa saat Cakka menyebut nama Sivia dan Papinya, sesuatu yang menakutkan tiba-tiba muncul begitu saja di hati Alvin. Bahkan jauh di lubuk hati Alvin.
“Jangan apa hah?! Jangan bilang Sivia?! Jangan bilang Papi?! Tanpa gue bilang pun, Sivia sama Papi pasti tau juga nanti. Gak ada manusia yang pandai menyimpan bangkai, Vin. Camkan itu!”
“Gue mohon, Cak. Apa perlu gue sujud di kaki loe?”  ucapnya sungguh-sungguh. Namun baru saja Alvin hendak berlutut, Gabriel dengan cepat mencegahnya. Sepertinya hal itu sudah tidak wajar menurut Gabriel.
“Loe apa-apaan sih, Vin?! Loe gak pantas sujud sama Cakka. Ngerti?!” Alvin langsung menatap Gabriel dengan tatapan loe-gak-usah-ikut-campur. Sedangkan Cakka hanya berdiri dan diam saja.
“Vin, dengerin gue! Kalaupun loe mau ngelakuin ini, mestinya jangan sama Cakka, tapi sama Sivia. Karena menurut gue masalah ini gak ada hubungannya sama sekali sama Cakka.” lanjut Gabriel meyakinkan. Sesaat, Alvin tertunduk mendengar ucapan sahabatnya itu.
“Loe takut Sivia marah lagi sama loe? Hei… ini bukan sepenuhnya salah loe, Vin. Ini salah kita bertiga. Gue siap kok bantu loe.” Gabriel merangkul bahu Alvin seraya berusaha mengangkatnya.
“Loe bodoh, Vin! Loe bilang loe gak akan lagi nyakitin Sivia, tapi mana?! Loe kira cewek itu seneng dijadiin barang taruhan hah?!” Cakka kembali berbicara.
“Loe diem deh mendingan! Ngerasa sempurna loe hah?!” Gabriel menyangkal ucapan Cakka. Mulai muak dengan sikap adik Alvin yang satu ini.
“Gua gak pernah bilang kalau hidup gue lebih sempurna dari Alvin. Ya, loe boleh aja belain dia. Tapi yang jelas gue bener-bener kecewa sama dia. Entah gue harus percaya lagi atau nggak sama dia.” respon Cakka perlahan. Wajahnya ia palingkan dari Alvin dan Gabriel.
“Ini semua salah gue. Dan Alvin ngelakuin itu karena gue, Cak. Gue yang nyuruh.” Rio yang sejak tadi terdiam pun kini ikut angkat bicara untuk setidaknya memperkecil gejolak emosi yang ada di antara mereka.
“Apa pun itu alasannya, gue sudah terlanjur kecewa.”
“Kak Alvin lama banget sih dari tadi aku tungguin juga gak dateng-dat… eng.” Alvin, Cakka, Gabriel dan Rio tiba-tiba tergelak begitu melihat Sivia tiba-tiba datang sambil mencibir.

Sedangkan Sivia yang langsung merubah nada di akhir-akhir kalimatnya itu hanya bisa terbengong melihat empat cowok yang sedang berkerumun dengan salah satu di antaranya berwajah lebam.
“Kak Alvin?” syoknya. Lalu berlari dengan segera ke arah Alvin.
“Kak Alvin kenapa? Kok wajahnya kaya gini?” tanya Sivia tampak khawatir. Dan itu terlihat jelas saat Sivia dengan lembutnya menyentuh kedua pipi Alvin penuh hati-hati. Mereka berempat pun mendadak tak bisa bicara.
“Ini ada apa sih? Jolong jelasin sama aku! Kak Cakka, kak Rio, kak Gab?” Sivia mengarahkan pandangannya satu per satu ke semua cowok yang ada di sana. Mencoba meminta jawaban apa yang sebenarnya terjadi.
“Kak, ini ada apa? Terus kenapa muka kak Alvin pada lebam gitu? Jelasin sama aku, kak!” lagi dan lagi Sivia bertanya. Namun tidak ada satupun yang mau menjawab pertanyaannya tersebut. Semua yang ada di sana menunduk.
“Oke, kalau gak ada yang mau jawab. Ayo kita pulang, kak? Biar aku obatin luka kak Alvin di rumah.” sudah mulai jengah, Sivia mencoba menarik tangan Alvin untuk mengajaknya pulang. Namun dengan sigap Alvin langsung menarik balik tubuh Sivia ke dalam pelukannya.
“Maafin gue, Vi. Gue udah sering banget nyakitin loe. Gue minta maaf. Gue udah jahat sama loe. Gue…” lirih Alvin di pundak Sivia dengan sedikit ringisan. Karena merasa tak mengerti dengan apa yang terjadi, Sivia mengernyit heran.
“Kak… jelasin sama aku, sebenarnya ini ada apa? Aku gak ngerti.” pinta Sivia sedikit memohon. Tangannya beralih ke pundak Alvin supaya ia bisa dengan jelas melihat mata Alvin yang terdapat luka memar di sudut alisnya. Alvin memejamkan mata seketika. Berusaha mengalihkan tatapan Sivia yang sendu ke arah matanya.
“Gue…” ucap Alvin perlahan dan takut-takut. Entah akan seperti apa Sivia kalau Alvin sampai memberitahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang Alvin lakukan kepada Sivia tanpa Sivia ketahui itu. Sivia sedikit mengangkat dagunya seakan menyuruh Alvin melanjutkan kata-katanya. Sedangkan Gabriel dan Rio hanya saling pandang satu sama lain. Tetapi tidak dengan Cakka yang kini sedikit menahan rasa emosinya melihat Alvin yang tak juga melanjutkan perkataannya.
“Kamu dijadiin bahan taruhan sama Alvin, Vi.” timpal Cakka tiba-tiba sambil melepaskan tangan Sivia yang menyentuh pundak Alvin. Dan tentu saja hal itu berhasil membuat ekspresi wajah orang-orang yang ada di persimpangan antara toilet cowok dan toilet cewek itu berubah syok, terlebih Alvin dan Sivia. Lantas Alvin memejamkan mata kuat-kuat. Suasana hatinya benar-benar berubah drastis.
“Akhir-akhir ini Alvin deket dan baik sama kamu itu karena ada maksud lain, Vi. Dia gak mau sampai kalah taruhan sama Gabriel dan Rio.” lanjut Cakka dengen meraih tangan Sivia yang kini air mukanya bertambah syok. Sivia terdiam cukup lama. Otaknya entah kenapa memaksa untuk menolak mentah-mentah ucapan Cakka tersebut. Antara percaya dan tidak percaya yang Sivia rasakan sekarang.

Perlahan, Sivia melirik Alvin dengan tatapan bertanya akan kebenaran yang diucapkan Cakka tadi. Alvin membalasnya tak kurang dari sedetik, kemudian menunduk.
“Gini… gini… gini… gue bisa jelasin semuanya.” sergah Rio di tengah-tengah aksi diam yang cukup memanas di antara mereka itu.
“Mau jelasin apa lagi sih, Yo? Udah jelas-jelas kalian bertiga sedang taruhan kan? Dan Sivia yang jadi bahan taruhannya.”
“Kak Cakka bisa diem?!” cela Sivia cukup menahan emosi dengan Cakka yang kesannya tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk Alvin dan kawan-kawan memberi penjelasan kepada Sivia. Kontan Cakka langsung terdiam begitu melihat pandangan tajam milik gadis bergaun putih selutut tersebut.
“Silahkan lanjutin, kak!” sambung Sivia sangat dingin. Membuat Rio merasa sedikit gugup untuk menjelaskannya. Sedangkan Alvin yang baru saja ingin berbicara sesuatu itu langsung mengurungkan niatnya begitu mendengar Rio angkat bicara.
“Ngg… sebelumnya gue minta maaf dulu mewakili mereka berdua. Karena menurut gue, gue lah yang paling salah di sini. Gue yang buat taruhan konyol ini. Hmm… awalnya gue cuma nantang Alvin dan Gabriel buat cari cewek, karena gue tau kalau mereka berdua itu jarang banget deket sama cewek.” jelas Rio panjang lebar.
“Terus?” tanya Sivia tanpa memberi kesempatan Rio untuk menarik napas terlebih dahulu.
“Hmm… berhubung waktu itu loe sama Alvin lagi ada problem yang cukup besar, entah kenapa gue iseng aja kasih Alvin tantangan buat deketin loe. Ya kali aja dengan begitu Alvin sama loe bisa baikan. Soalnya gue heran aja sama dia, Vi. Gue sahabatan sama Alvin udah lama, tapi baru kali ini gue lihat Alvin punya masalah sama cewek. Karena biasanya Alvin paling tidak mau berurusan sama cewek. Tapi sama loe? Entahlah gue bingung. Dan itu alasan sebenarnya kenapa gue bikin tantangan ini ke Alvin. Ngg… tapi kalau loe mau marah, please… marah sama gue, jangan sama Alvin.” Rio mengakhiri penjelasannya dengan mengatupkan kedua telapak tangan.
“Ck! Apapun itu alasannya, tetep aja itu namanya taruhan. Dan asal kalian tau ya, cewek itu gak pantas buat dipertaruhkan! Ngerti?!”
“Cak, loe diem deh mendingan! Beri kesempatan Sivia dan Alvin buat ngomong.” serobot Gabriel mencela kata-kata Cakka. Kemudian dengan cepat Alvin menarik tangan Sivia dan menjauh dari Cakka, Rio dan Gabriel. Bermaksud ingin berbicara masalah pembelaan ataupun pengakuan lebih personal lagi dengan Sivia. Karena sejak tadi Alvin belum juga berbicara sepatah katapun.
“Gue tau ini semua salah. Gue minta maaf.”
“Kalau kakak tau ini salah, terus kenapa kakak lakuin?! Kak Alvin sengaja mau nyakitin aku lagi?! Apa kak Alvin gak puas-puas nyakitin aku terus?! Apa kak Alvin anggap aku boneka yang bisa dimainkan begitu aja sama kakak?! Lalu apa arti kata maaf yang kak Alvin ucapkan kemaren hah?! Cuma buat cari muka?! Iya, kak?! Jawab!!!” seperti sudah tidak ada lagi pembatas, Sivia mengeluarkan semua rasa kesalnya yang tadi sempat bisa ditahannya itu. Butiran bening pun mulai mengalir lembut du kedua pipi Sivia.
“Demi Tuhan. Gue tulus banget minta maaf sama loe kemaren, Vi. Itu gak ada hubungannya sama sekali dengan taruhan ini. Kamu percaya sama aku.” plak! Tanpa terduga oleh Alvin terlebih dahulu, Sivia menampar pipinya dengan cukup keras.
“Aku gak tau aku harus percaya sama kakak lagi atau enggak. Kali ini aku bener-bener sakit hati sama kakak. Aku bener-bener kecawa sama kakak!!!” Sivia membentak. Cukup berhasil membuat Alvin menelan ludahnya kuat-kuat. Tak tau apa yang harus diucapkannya lagi untuk menjelaskan kesalahan terbesarnya yang satu ini. Lalu menghela napas kuat-kuat. Masa bodoh dengan Cakka dan kedua sahabatnya yang melihat mereka berdua dari kejauhan.
“Kalau loe mau, loe boleh pukul gue sepuas loe. Loe boleh apain aja, Vi. Ayo, gue rela!” sigap, Alvin memegang tangan kanan Sivia dan menyuruhnya untuk melakukan apa yang tadi diucapkannya tersebut.
“Bunuh gue sekalian kalau itu bisa buat loe maafin gue!” plak! Sivia kembali menampar Alvin. Kali ini pipi kiri lah yang menjadi sasarannya. Perih. Alvin hanya bisa menahannya sekuat mungkin.
“Itu buat kak Alvin karena kak Alvin udah lancang jadiin aku taruhan. Dan ini… plak! Buat kak Alvin juga karena kak Alvin udah bikin aku…” kata Sivia terpotong. Entah pantas atau tidak posisi tiga kata terakhir yang akan diucapkannya kepada seseorang yang sudah tiga kali berturut-turut membuatnya sakit hati tersebut. Sedangkan yang melihat Alvin dan Sivia dari kejauhan itu hanya menggeleng dibuatnya.
“Bikin aku?” respon Alvin penasaran dengan ucapan Sivia yang sempat terpotong itu. Lantas Sivia langsung memeluk erat tubuh Alvin dan menumpahkan semua amarahnya di dada bidang milik cowok tersebut.
“Karena kak Alvin udah bikin aku sayang sama kakak.” lanjut Sivia di tengah-tengah isakannya.

Mendengar hal tersebut, Alvin bagaikan tersambar petir di tengah padang pasir. Semua organ tubuhnya pun mendadak tak bisa berfungsi lagi seperti seharusnya. Yang ada kini tubuhnya hanya bisa mematung tanpa rasa saat Sivia begitu erat memeluk.
“A… ap… appp… apa loe bilang? Loe ss… ssaa… sayang sama gu… gue?” meski susah untuk bicara, Alvin berusaha meminta penjelasan kepada Sivia akan ucapan yang sempat membuatnya mati berdiri dalam beberapa detik itu.
“Iya, aku sayang sama kak Alvin. Aku sayang karena kakak udah bikin aku nyaman, udah bikin aku tertawa, udah bikin Difa bahagia, udah bikin mama bangga sama kak Alvin. Aku tau, dulu kakak emang pernah nyakitin aku. Tapi karena ini, karena ini aku bisa maafin kakak.” Sivia menunjuk dadanya. Berusaha menjelaskan kenapa ia mau memaafkan Alvin walaupun Alvin pernah menyakitinya berkali-kali. Ya, rasa aneh yang ada di hatinya yang bisa melakukan itu.
“Jadi loe itu…” Sivia mengangguk walaupun Alvin belum selesai berbicara. Mungkin sudah mengetahui apa yang hendak diucapkan cowok yang baru saja dipeluknya itu. Sontak Alvin langsung tersenyum dan cepat-cepat memeluk Sivia erat. Pelukan langka yang baru empat orang saja yang bisa merasakannya. Keempat orang itu adalah Mami Alena, Papi Alexa, Cakka, dan tentu saja Sivia.
“Aku memang kecewa sama kakak, tapi aku gak mau munafik. Mungkin ini udah takdir dari Tuhan. Kalau gak ada taruhan itu, mungkin kita tidak akan bisa sedekat ini, mungkin aku tidak bisa bilang sayang sama kakak, mungkin aku…”
“Gak bisa meluk gue seerat ini.” sambung Alvin dengan nada sedikit bercanda. Namun Sivia kembali memeluk Alvin. Tak perduli dengan Cakka, Gabriel dan Rio yang mungkin sekarang sedang terheran-heran dibuatnya.
“Maafin gue ya, Vi. Sebenernya gue gak mau ngelakuin ini. Gue cuma mau buktiin aja ke Rio kalau gue bukan seperti yang dia kira. Gue males terus-terusan diledek sama dia. Hmm... tapi jujur deh, selama gue deket sama loe, gue sama sekali gak inget kalau gue sedang taruhan. Bahkan boleh dibilang kalau gue baru inget malem ini.”
So?” refleks, Sivia melepas pelukannya.
So? Ngg... ya gue sama loe mengalir gitu aja. Emang kaya udah ditentuin gitu jalannya. Hehehe.”
“Oh gitu. Hmm... kak?”
“Ya?”
Masih sakit?” ucap Sivia sembari menyentuh pelan bagian wajah Alvin yang lebam.
“Aw!!!”
“Sori, kak. Ngg… kak Cakka harus minta maaf sama kakak.”
“Hmm… gak perlu, Vi. Cakka kaya gitu karena dia care sama loe. Mungkin itu juga tanda carenya dia ke gue.” lalu mereka beralih memandang ketiga orang yang kini berjalan beriringan menghampiri mereka.
“Gue harap ini bukan drama murahan lagi dari loe, Vin. Jagain Sivia ya?” ucap Cakka sambil menepuk pundak Alvin dengan sedikit senyum kecil. Sepertinya Cakka sudah paham betul apa yang sedang dirasakan Alvin dan Sivia tersebut karena melihat dari cara pandang mereka berdua. Alvin pun memeluk Cakka.
Thanks buat pukulannya.” candanya kemudian.
“Aih… gue gak suka bagian ini. Terlalu so sweet buat seorang cowok.”
“Sama. Dan gue harap ini bukan ending.” sambung Rio dan Gabriel berturut-turut.
“Ngomong apaan sih kalian? Aneh.” tanya Sivia.
“Gak usah tanggepin, Vi. Mereka emang aneh.”
“Sialan!!!”
“Tapi kalian tetep sahabat gue yang paling oke kok.” sambung Alvin sembari merangkul Gabriel dan Rio bergantian.
“Yoi dong!” mereka lantas terkekeh. Namun tiba-tiba…
Oh my God! Agni?!” Cakka langsung menepuk dahi saat otaknya mengingat seseorang yang sekarang sedang mondar-mandir tak jelas menunggunya.
“Kak Agni kenapa, kak?”
“Aduh… mampus gue! Alamat kena sembur Agni ini sih.”
“Udah sana samperin. Kasihan tuh anak nungguin loe sampai lumutan.” suruh Alvin sembari mendorong Cakka pelan.
“Ya udah kalau gitu gue duluan ya?” pamit Cakka langsung pergi berlari. Tentu saja untuk menemui seorang Agni yang mungkin hampir setengah jam yang lalu menunggu Cakka kembali dari toilet.

“Prissy?!”

“Ify?!” teriak Gabriel dan Rio juga heboh. Nasib yang sama dengan Cakka mungkin akan dialami juga oleh mereka berdua. Lantas hal tersebut membuat Alvin dan Sivia terkekeh kembali. Kali ini lebih lucu karena mereka sampai ditinggal berduaan di sana. Sedetik, tatapan mereka bertemu tanpa sengaja. Salah tingkah sesaat. Dan…
“Ayo pulang?” ajak Alvin seraya merangkul lembut pundak Sivia. Sivia tak menjawab. Ia hanya tersenyum pasrah dan berjalan seadanya saat tangan Alvin berlabuh di pundak terbukanya. Lalu saling tersenyum.

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar