This Is (Not) Ending
“Aih…
congrats ya, Vi?” ucap Ify dan Prissy
sambil memeluk Sivia bergantian. Namun Sivia masih terdiam, rasanya tidak bisa
lagi sang mulut berbicara untuk sekedar bilang terima kasih ataupun apalah itu
namanya.
“Please welcome, Sivia!” Sivia pun
tersadar dan langsung merespon panggilan Pak Lingga dengan tatapan bertanya.
Lalu menengok ke arah Ify dan Prissy bergantian.
“Cepetan
gih sana!” suruh mereka seraya mendorong pelan tubuh Sivia.
“Give applause buat King and Queen kita malam ini, Alvin dan Sivia!” tepukan tangan
kembali bergemuruh. Pak Lingga berdiri di tengah-tengah antara Alvin dan Sivia.
Serta tak jauh dari mereka, Pak Alex dan Bu Jessie sudah bersiap dengan membawa
mahkota kebanggaan Sarfagos dalam kurun waktu satu dekade ini.
“Hmm…
sebelum Pak Alex dan Bu Jessie memberikan mahkota kepada kalian, Bapak mau
bertanya dulu sebelumnya. Gimana nih perasaan kalian setelah dinobatkan menjadi
King and Queen Sarfagos ke-11? Seneng
dong pastinya?” tanya dan tebak Pak Lingga sambil tersenyum. Membuat Alvin dan
Sivia saling melirik satu sama lain. Memberi kode siapa yang hendak menjawab
terlebih dahulu.
“Oke,
silahkan Alvin dulu.” suruh Pak Lingga saat keduanya belum juga menjawab.
Sejenak, Alvin terdiam setelah tangannya memegang microphone.
“Vin?”
“Hmm…
perasaannya?” balik tanya Alvin ke Pak Lingga. Sontak semua orang yang ada di
dalam sana sedikit terkekeh dibuatnya. Pak Lingga pun mengangguk sebagai
jawaban dari pertanyaan cowok yang jasnya sengaja tak dikancingkan itu.
“Ngg…
shocked.” jawabnya singkat dengan
ekspresi yang sulit untuk dimengerti oleh siapa saja yang melihatnya. Namun
tepuk tangan tetap saja bergema. Entahlah.
“Kalau
Alvin syok karena terpilih menjadi King,
gimana dengan Queennya? Apakah syok
juga? Atau mungkin lebih dari syok?” Sivia tersenyum kecil. Terkesan sedikit
memaksa begitu Pak Lingga dan semua yang ada di aula tersebut beralih
memandangnya.
“Hmm…
sama. Aku juga gak nyangka bisa dipilih jadi Queen di acara Prom Night
Annive Sarfagos ke-11 ini. Entahlah. Selaku siswi kelas X yang belum genap
setengah tahun menginjakkan kaki di sekolah ini, aku merasa belum pantas
mendapatkan gelar tersebut.” jawab Sivia dengan merendah. Di sisi lain, Pak
Alex tersenyum mendengarnya. Ternyata semua penilaian Cakka tentang Sivia itu
benar-benar kenyataan.
“Siapa
bilang kamu gak pantas mendapatkan gelar Queen
di acara ini?” kemudian beliau berucap sambil berjalan mendekati Sivia yang
masih berdiri canggung karena ditonton oleh siswa-siswi satu sekolah. Refleks,
Sivia langsung menengok ke arah Pria paruh baya berkacamata tipis yang kini
tersenyum padanya. Tak lupa juga Alvin yang ikut memandang Papinya dengan
tatapan bertanya.
“Gelar
King and Queen ini diberikan kepada siapapun. Tidak memandang lama atau barunya
berada di sekolah ini, kaya miskin serta pintar bodoh pun tidak dijadikan
alasan utama dalam hal ini. Dan para panitia memilih kalian karena beberapa
faktor. Kalian serasi, kompak, enjoy,
tidak berlebihan dan tentunya tidak memaksakan. Itu yang terpenting di acara Prom Night yang memang sering kami
adakan setiap tahunnya. Selain itu juga, dengan diadakannya acara seperti
sekarang ini, kami selaku komite sekolah berharap supaya siswa-siswi Sarfagos
bisa lebih kompak lagi dalam segi apapun. Saling menghargai serta tidak
membeda-bedakan fisik dan penampilan.” lantas Pak Alex tersenyum sambil
mengusap lembut bahu Sivia dan Alvin.
“Selamat
ya?”
“Terima
kasih, Pak.”
“Makasih,
Pi.” ucap Sivia dan Alvin bergantian.
“Baiklah,
untuk mempersingkat waktu, saya persilahkan Bu Jessie serta Pak Alex untuk
memakaikan mahkota kebesaran kepada Alvin dan Sivia.” tepuk tangan kembali
bergemuruh setelah lumayan lama menyepi. Lantas Alvin dan Sivia saling pandang
dan tersenyum saat beberapa detik sebuah mahkota bertengger manis di kepala
mereka. Lalu berjabat tangan sebagai tanda selamat satu sama lain. Sorakan
keras serta tepukan tangan semakin bergemuruh di dalam aula hingga keluar.
Perlahan,
suara gemuruh yang tadi cukup menggema itu berganti menjadi alunan musik mellow yang terdengar sangat lembut.
Kilauan cahaya lampu pun yang tadi begitu heboh kini sedikit temaram. Mengikuti
alunan lagu yang bergenre romantis tersebut. Dan tanpa komando, semua siswa
berdiri dan membentuk lingkaran mengelilingi Alvin dan Sivia berdua di
tengah-tengah. Meski anak kelas X belum tau apa yang sebenarnya sedang
dilakukan kakak-kakak kelasnya tersebut, mereka tetap antusias mengikutinya
membentuk lingkaran cukup besar.
“Kak,
kita mau ngapain? Kok kita dikurung gini?” bisik Sivia mulai was-was. Namun
matanya tetap mengitari orang-orang sekitar dengan wajah polos yang dimiliki
Sivia.
“Hmm…
kalau tahun lalu sih King and Queennya
harus dansa untuk menutup acara ini.” balas Alvin dengan berbisik juga. Dan itu
berhasil membuat Sivia tergelak hebat. Bahkan sangat hebat.
“What? Dansa?”
“Yeah… why are you so shocked like that?”
“I’ve never dance before.
Apa boleh diwakilin? Aku beneran gak bisa, kak.” tanya Sivia super polos. Untuk
sejenak Alvin terkekeh, tak perduli meski semua orang yang mengelilingi mereka sudah
menunggu terlalu lama.
“Dansa?
Belum pernah? So, why should be afraid?
Ada gue kan?” Alvin tersenyum setelahnya. Dengan bergerak selangkah ke hadapan
Sivia, Alvin mengulurkan tangan kanannya untuk memulai tradisi dansa yang
menjadi penutup acara Prom Night kali
ini. Dan aksi itulah yang membuat salah satu hati penonton terasa teriris
perih. Entahlah. Rasanya sangat sakit melihat Alvin dan Sivia berada di tengah
sana. Cakka.
“Kak,
aku gak bisa.” bisik Sivia lagi. Membuat orang-orang merasa gereget melihat
Sivia yang belum juga meraih tangan Alvin. Tak tertinggal juga Pak Alex yang
sejak tadi tak pernah absen tersenyum. Kedua matanya berbinar melihat Alvin
yang sekarang sangat berbeda.
“Nanti
juga bisa kok. Santai aja. Kalau pun loe gak bisa, toh siapa juga yang mau
marah sama loe? Gak ada kan?” Sivia menarik napas
gusar. Dan sedetik kemudian tersenyum sambil membalas uluran tangan Alvin
lembut.
“Pegang
pundak gue dan ikutin gerakan gue serileks mungkin. Bisa?” ucap Alvin mencoba
mengarahkan Sivia dengan tangan kanan dan kirinya memegang jemari serta
pinggang Sivia lembut.
Mereka
berdua menarik napas lagi-lagi. Walaupun Alvin sudah pernah melakukan dansa
saat di acara yang sama tahun lalu, namun kali ini entah kenapa rasa grogi dan
jantungnya berdetak tak sesantai seperti alunan musik yang didengarnya saat
itu. Mereka pun perlahan demi perlahan mulai menggerakkan kedua kakinya. Cukup
rileks. Rasa nervous yang sempat
menjamah Alvin kini terbayar sudah dengan tatapan mata Sivia yang menyejukkan.
Tanpa ragu ia tersenyum.
“Ternyata
kamu bisa juga kan?” bisik Alvin lembut. Sivia lantas tergelak mendengarnya.
Apalagi saat menyadari kalau ia sudah bertatap mata cukup lama dengan seorang
Alvin yang ketampanannya sudah tak bisa lagi untuk diungkapkan. Dan hal itu
benar-benar membuat hidung tak bisa berfungsi seperti biasanya jika wajah Alvin
dilihat dari jarak yang tak lebih dari lima sentimeter tersebut. Seperti yang
dirasakan Sivia sekarang. Cukup sesak. Entahlah.
“Oh my God! Mereka so sweet banget sih?! Parah!” decak kagum Agni sedikit syok.
Apalagi melihat Alvin yang sekarang sikapnya jauh lebih baik dari yang pernah
ia kenal dulu. Lebih kalem dan lebih romantis kalau dilihat dari tatapan
matanya ke Sivia.
“Ikutan
yuk, Cak?” pinta Agni kemudian saat beberapa orang di antaranya mengikuti jejak
Alvin dan Sivia berdansa. Namun Cakka masih tak bergeming, kedua matanya seakan
tak bisa beralih sedetikpun dari dua orang yang sangat dikenalnya itu.
“Cak?”
“Hmm?”
“Loe
kenapa sih?”
“Gue
gak apa-apa kok. Kenapa emang?” Agni berdecak mendengarnya. Sikap aneh Cakka
mulai membuatnya risih.
“Loe
aneh. Sejak acara ini dimulai sampai sekarang mau selesai, loe kelihatan
males-malesan gitu sih? Badmood gue
jadinya.” tukas Agni sedikit kesal. Cowok tinggi dengan harum tubuh yang
menenangkan hati itu kini melirik Agni dengan sedikit senyuman.
“Muka
loe udah jelek, jangan badmood gitu!”
“Apa
hubungannya sih?!”
“Tambah
jelek tau gak?! Udah ah! Katanya mau dansa?” tawar Cakka tanpa menunggu lagi
balasan Agni. Tangan jenjangnya langsung merangkul pundak Agni. Berusaha
membaur dengan yang lain.
***
Ify
terpaksa menahan tawanya saat Rio dengan tampang sok cool menatap cukup dalam ke kedua matanya itu. Selalu saja seperti
ini. Tak pernah bisa diajak romantis walaupun sudah bersusah payah untuk Rio
bersikap slowly dan gagah di
hadapannya, namun Ify selalu menanggapinya sebagai lelucon yang sangat lucu.
Dan lagi-lagi tidak seperti cewek-cewek yang lain, terlebih cewek-cewek yang
pernah jadi korban percintaan seorang Rio Sebastian.
“Kok
ketawa sih?” tanya Rio mulai heran dengan ekspresi wajah Ify.
“Hahaha.
Ya, abisnya muka kak Rio mesum gitu? Udahlah kak, dansanya biasa aja, gak perlu
lihatin gue kaya gitu. Ngeri gue!” tukas Ify jujur. Membuat tingkat
kepercayadirian seorang Rio turun drastis begitu mendengar hal tersebut.
“Ck!
Gue itu udah berusaha cool di depan
loe tau, Fy?! Biar loe kagum gitu sama gue. Eeeehhh… loe malah bikin gue down. Payah!” ujar Rio mulai malas
berdansa dengan cewek yang kini masih terkekeh itu.
“Please deh kak, kalau emang gak bisa cool ya udah jangan sok cool gitu. Apalagi pakai acara lihatin
gue kaya orang nafsu seperti itu.” glek! Nih
cewek emang aneh atau gimana sih? batin Rio heran.
“Serah
loe deh, Fy. Yang pasti gue tetep kece.”
“Mulai
ngawur!!!” timpal Ify seraya memutar matanya jengah.
Di
sisi lain, Gabriel masih terdiam seribu bahasa. Begitu terkesima memandang
pesona kecantikan Prissy yang sejak tadi juga tak mengeluarkan sepatah katapun.
Mungkin karena memang terlalu pasrah membiarkan pinggangnya dipeluk Gabriel
dengan sedikit gerakan mellow mengikuti
alunan musik. Sesekali mereka tersenyum. Ruangan pun entah kenapa mendadak
sepi. Hanya ada satu sorotan lampu yang menembak ke arah Gabriel dan Prissy di
tengah aula. Tentu saja masih diiringi dengan alunan musik yang sangat
romantis.
“Pris,
loe lihat gak di mata gue ada apa?” bisik tanya Gabriel lembut. Ditambah dengan
seulas senyum kecil yang melengkung indah di kedua bibirnya. Untuk sesaat
Prissy tak menjawab. Lebih tepatnya belum paham betul maksud dari pertanyaan
cowok tersebut. Kemudian mengernyit, sebagai tanda kalau dirinya tidak
mengerti. Gabriel pun tersenyum.
“Hmm…
coba aja loe tau kalau di mata gue itu ada…” ucapnya terpotong. Sengaja memberi
kesempatan untuk Prissy menunggu-nunggu lanjutannya.
“Ada?”
sambung tanya Prissy penasaran.
“Ada
cinta.” kemudian Gabriel menyeringai. Memamerkan sedikit deretan gigi putih
bagian atasnya.
“Heh?”
“Iya,
di mata gue ada cinta. Emang loe gak lihat?” dan tanpa sedikitpun ragu, Gabriel
mendekatkan wajahnya supaya Prissy dan melihat jelas pancaran matanya yang
begitu dalam. Prissy tergelak.
“Ngg…
loe mau ngapain?”
“Mau
mastiin aja kalau di mata loe juga ada cinta. Ada cinta buat gue.” ucap Gabriel
lembut disertai senyum manisnya. Untuk sedetik Prissy menelan ludah, dentuman
keras di dadanya semakin terasa cepat bersamaan dengan mendekatnya wajah
Gabriel.
“Hmm…
sejak pertama kali kita bertemu waktu itu, entah kenapa gue merasa ada yang
aneh di sini, di dada gue. Seperti ada getaran hebat yang mengguncang saat gue
melihat ataupun bertemu apalagi mengobrol sama loe. Ditambah sekarang gue bisa
sedekat ini sama loe, ternyata gue baru nyadar kalau gue…” ujar Gabriel sembari
perlahan melepaskan pelukannya dan beralih meraih kedua telapak tangan cewek
yang berdiri tak jauh dari tubuhnya itu.
“Hmm?”
sambung tanya Prissy lagi-lagi dengan mata dikernyitkan. Terkesan sudah tak
sabar lagi mendengar kelanjutannya.
“Kalau
gue… gue jatuh cinta sama loe.” sedetik setelah kalimat tersebut diucapkan oleh
Gabriel, Prissy membelalakan matanya hebat. Tak percaya mendengar kalimat indah
yang baru saja mengusik gendang telinganya. Ia mematung.
“Hmm…
loe mau gak jadi pacar gue?” glek! Bagai tersambar petir di siang bolong tanpa
adanya hujan setetes pun, Prissy merasakan gejala sesak napas seketika. Entah
sekarang ia membutuhkan berapa banyak oksigen untuk menetralkan kembali
kondisinya. Namun tiba-tiba…
“AWWW!!!”
seseorang yang tak jauh dari Gabriel dan Prissy berdansa sontak berteriak
kesakitan ketika tanpa sengaja kaki Prissy menginjaknya. Orang itu mengerang.
“Eh,
sori-sori gue gak sengaja. Sori ya? Aduh… loe gak apa-apa kan?” balas Prissy
yang langsung tersadar dari semua khayalannya tadi.
“Kak
Prissy gimana sih? Sakit tau?!” yang baru saja diinjak Prissy adalah Ify.
Kontan Ify langsung berjongkok demi mengusap kakinya yang terasa sedikit perih.
“Serius
gue gak sengaja. Sori ya, Fy?” ucap Prissy merasa tak enak hati. Sedangkan
kedua pasangan mereka hanya bisa saling pandang sambil berbalas kode.
“Ya
udah gak apa-apa kok, kak.” balas Ify sambil berusaha bangun dengan bantuan
Prissy tentunya.
“Loe
diapain sih sama si Gab, Pris? Segitunya sampai injek-injek kaki orang.” tukas
Rio sedikit bercanda.
“Apaan
sih loe?!” timpal Gabriel menyambungi.
“Ish!
Gue gak diapa-apain sama Gabriel. Tadi gue ngelamun.” bela Prissy masih dengan
menggamit tangan kanan Ify yang sudah cukup tenang dari ringisannya.
“Ngelamun
apa ngelamun? Cieee…” Ify menimpali.
“Please deh, Fy!”
“Udah-udah!
Sekarang kita ke sana aja yuk? Makan-makan.” ajak Gabriel mencoba mengalihkan
topik pembicaraan. Tangannya pun langsung menarik Prissy dari kerumunan
siswa-siswi lain yang sejak tadi seakan masa bodoh dengan kejadian mereka
berempat. Mungkin karena memang terlalu asyik berdansa dengan pasangan
masing-masing.
“Kita
ke sana juga?” kata Rio sembari meminta persetujuan dari pasangannya. Pasangan Prom Night maksudnya. Namun Ify hanya
mengangkat bahu. Seakan dalam hatinya bilang terserah-loe-aja.
“Ya
udah ikut ke sana aja deh. Pegel juga gue dansa mulu.” setelah cukup menarik
napas serta membuangnya perlahan, mereka pun melangkah pergi setelahnya.
***
“Kak?”
“Ya?”
Alvin menatap Sivia dengan penuh pertanyaan. Tangan kanannya yang masih
menempel di pinggang cewek tersebut akhirnya ia lepaskan juga. Sengaja memberi
kesempatan kepada Sivia untuk berbicara tanpa merasa risih.
“Aku
capek. Pengen istirahat dulu gak apa-apa kan, kak? Haus juga nih.” dengan
polosnya Sivia berucap, membuat Alvin sedikit terkekeh karena lucu
mendengarnya.
“Oh,
ya udah gak apa-apa kok. Kenapa gak bilang dari tadi sih?”
“Ngg…
aku gak enak aja sama kak Alvin.” balas Sivia lembut. Tidak sinkron dengan apa
yang ada di dalam hatinya. Bukan karena tidak enak, melainkan Sivia terlalu
susah untuk berbicara satu katapun saat matanya terjebak oleh tatapan Alvin
selama acara dansa berlangsung.
“Hmm…
ya udah deh istirahat dulu aja. Toh acaranya juga bentar lagi selesai. Ayo?”
cepat-cepat, Alvin meraih jemari Sivia dan mengajaknya ke sebuah meja yang
belum ada penghuninya. Dan mereka pun langsung menuju tempat tersebut tanpa
menunggu lama lagi.
“Minum
dulu, Vi?” tawar Alvin sesampainya di sana.
“Thanks, kak.”
“Never mind.” kemudian ia tersenyum.
Entahlah sudah berapa kali Alvin tersenyum ke Sivia malam ini.
“Oh
iya kak, malem ini kan kita jadi King and
Queen nih ceritanya? Tapi bukan berarti kita mesti pacaran kan? Kaya yang
dulu-dulu.” kata Sivia yang berhasil membuat tenggorokan Alvin ingin
memuntahkan paksa air yang baru saja diminumnya tadi.
“Uhuk…
uhuk…”
“Eh,
kak Alvin kenapa? Aih… pelan-pean dong kak kalau minum.” refleks, Sivia
langsung mengusap-usap punggung cowok yang duduk satu senti di sampingnya
tersebut.
“Gak
apa-apa kan, kak?” tanya Sivia lagi memastikan. Lantas Alvin hanya membalasnya
dengan gelengan kepala karena kedua tangannya yang sibuk membersihkan mulut
dari bercak-bercak air berwarna hijau tua itu. Dan dengan spontan Sivia pun
mengambil tissue, lantas kemudian
membantu Alvin mengelap mulut serta lehernya yang lumayan basah.
“Sini
aku bantu.” perlahan, Alvin lepas tangan, membiarkan Sivia mengambil alih
aksinya tadi. Oh my God! My game is over! batin Alvin saat
dirasa jantungnya sudah tak kuat lagi menahan detakannya yang semakin cepat
ketika tangan Sivia menyentuh rahangnya. Ia seakan tak bisa berkutik. Walaupun hanya
sekedar berkedip.
“Thanks.” ucap Alvin akhirnya begitu
Sivia sudah melepaskan sentuhan di rahangnya itu.
“Never mind. Hehehe. Lain kali kalau mau
minum baca doa dulu coba. Buru-buru aja kaya dikejar hantu.” Alvin tersenyum
lagi membalasnya. Berusaha mengiyakan kata-kata Sivia tersebut meskipun bukan
itu alasan utamanya Alvin tersedak.
“Sekali
lagi makasih.”
“Eh,
kak Alvin tadi belum jawab pertanyaan aku.”
“Heh?
Pertanyaan apa?” tanya balik Alvin sambil menampakan wajah polosnya. Sivia
berdecak pelan.
“Kak
Alvin, please deh jangan pikun!”
“Tapi
beneran gue lupa, Via. Loe nanya apaan emang?”
“Ck!
Gak jadi deh. Lain kali aja.”
“Oh,
ya udah.” Sivia kembali berdecak. Mulai menyebalkan sosok Alvin saat ini. Tapi
ya sudahlah, kalau dilihat dari sinar matanya itu Alvin memang tidak sedang
bercanda.
“Kak
Alvin, dengerin baik-baik ya?! Tadi kan aku nanya kalau kita jadi King and Queen itu bukan berarti kita
mesti pacaran kan?” tanya ulang Sivia dengan penuh penekanan di setiap katanya.
“Oh,
itu? Emang kata siapa mesti pacaran?”
“Hmm…
setau aku katanya gitu kalau dilihat dari yang udah-udah. Kak Richard sama kak
Hellen dulu King and Queen kan? Dan
mereka pacaran. Terus temen satu angkatan kak Alvin, kak Ryan sama kak Gladys,
mereka pacaran juga. Mantan King and
Queen pula.” jelas Sivia seraya menunjuk satu per satu orang yang tadi
disebut namanya.
“Kalau
emang harus kaya gitu kenapa enggak? Dan kenapa mesti khawatir juga?” balas
Alvin dengan sangat santainya. Masa bodoh meskipun cewek di sampingnya kini
berubah ekspresi dengan drastis.
“Maksud
kak Alvin?” Alvin cepat-cepat menggeleng. Membuat rasa bingung di benak Sivia
semakin menebal.
“Ish!
Nyebelin banget sih?!”
“Lagian
loe gitu aja masa gak ngerti? Ck!” timpal Alvin sembari mengambil minuman yang
baru di mejanya. Lantas pandangan matanya kembali mengitari suasana sekitar
yang cukup gemerlap dengan alunan musik yang kini sudah berganti menjadi lebih
cepat dari tempo musik sebelumnya. Seisi aula pun kembali happy sambil berjoged sesuka hati. Tanpa harus formal seperti
sebelumnya.
“Tapi
emang aku gak ngerti, kak.”
“Lemot
sih.”
“Tau
ah! Bete.” Sivia membelakangi Alvin tiba-tiba. Membuat Alvin harus menghela
napas kuat-kuat menghadapi sikap Sivia yang tak seperti biasanya. Cukup
menyebalkan.
“Hmm…
kalau emang si peraih gelar King and
Queen itu mesti pacaran ya kenapa enggak? Toh kita sama-sama jomblo kan?”
respon Alvin asal. Sedetik, Sivia membukakan mulut dan membelalakan mata tanpa
Alvin ketahui. Entah rasa apa yang harus ia munculkan di dalam hatinya. Senang
kah? Atau yang lain? Entahlah. Yang jelas Sivia sangat kaget mendengarnya.
“Ta…
tapi kan?”
“Loe
gak suka sama gue?”
“Bu…
bukan gitu, kak. Ish! Maksud aku…”
“Apa?
Loe suka sama orang lain?”
“Ngg…
nggak juga. Hmm… aku cuma takut aja kalau kak Alvin gak ada perasaan sama aku.
Toh faktanya aku juga gak ada perasaan sama kakak. Aku udah anggap kakak
sebagai teman.” Alvin terkekeh. Sebegitu khawatirnya Sivia menghadapi persoalan
yang menurut Alvin tidak ada pentingnya itu.
“Hahaha.
Loe lucu banget sih, Vi?”
“Lho?
Kok ketawa sih, kak? Aneh.”
“Ya,
lucu aja sih. Kalau emang kita gak ada perasaan satu sama lain, ya udah gak
perlu ditanggepin masalah kaya gituan. Ribet amat.” Sivia pun terdiam. Hanya
bisa memutar-mutar gelas yang ada di genggamannya tanpa merespon balik
kata-kata Alvin. Tapi kenapa dada gue
jadi sesak gini mendengar ucapan loe, kak?
“Udah,
jangan dipikirin! Toh mahkota yang kita pakai ini gak menuntut kita buat
pacaran kan? Jangan sering-sering ngikutin sejarah lah.”
“Hmm…
ya udah deh aku ikutin kak Alvin aja.”
“Tapi
kalau nanti ke depannya kita pacaran, ya gak tau juga sih.” lanjut Alvin seraya
terkekeh kecil. Membuat Sivia melirik skeptis ke arah cowok yang kini wajahnya
terlihat berseri itu.
“Ih,
labil banget sih?!” timpalnya kemudian.
“Ya,
siapa tau juga kan?”
“Ngg…
kak?” untuk memecah topik pembicaraan sebelumnya, Sivia berusaha bertanya asal.
“Ya?”
Alvin menengok. Membalas pertanyaan Sivia dengan sebuah pertanyaan singkat.
Menjadikan cewek yang wajahnya sedikit masam itu membuang napas jengah sebelum
kembali berbicara.
“Hmm…
gak jadi deh. Hehehe.” lanjut Sivia cukup menyebalkan menurut Alvin. Aneh! umpatnya. Lalu mereka berdua
saling diam seketika. Mencoba menyibukkan diri dengan aktivitas masing-masing
melihat anak-anak lain yang sedang seru-seruan ditemani alunan musik beat. Selain itu ada juga beberapa di
antara mereka yang sudah mulai jenuh dan memilih untuk keluar mencari suasana
baru, atau bahkan mungkin ada yang pulang karena kelelahan. Toh acara inti
malam ini sudah selesai, sisanya terserah mereka mau melakukan apa saja selagi
itu tidak menjorok ke arah hal-hal yang negatif. Have fun, guys!
***
Satu
per satu siswa maupun guru mulai beranjak meninggalkan Sarfagos setelah sepuluh
menit acara Prom Night itu
benar-benar selesai. Cukup melelahkan. Tapi semua itu menjadi lebih
menyenangkan karena keseruan-keseruan yang terjadi di sana. Apalagi saat
berdansa dan berjoged dengan pasangan masing-masing. Ya, sepertinya hal itu
yang ditunggu-tunggu oleh sebagian penghuni Sarfagos. Lebih-lebih kalau
dilakukannya dengan pasangan sesungguhnya. So
wonderful, right?
Shilla
mengangkat sedikit gaun panjangnya yang hampir menyentuh tanah saat ia hendak
keluar aula bersama Ray. Pasangan Prom
Nightnya malam ini. Sedangkan Ray yang tangannya masih digandeng oleh cewek
tersebut hanya bisa berjalan pelan mengikuti langkah Shilla yang sedikit
kesusahan berjalan karena memakai high
heels.
Dengan
dibarengi napas lelahnya, Ray menghentikan langkah kaki tepat di dekat mobil
milik orang tuanya itu terparkir. Lalu menengok sejenak ke dalam mobil untuk
memastikan kalau supirnya ada atau tidak. Pasalnya tadi sebelum acara Prom Night dimulai, sang supir minta
izin terlebih dahulu mencari pengganjal perut. Tetapi entah kenapa sampai
sekarang belum kembali juga. Sampai Ray memutar mata seakan bilang
Pak-Odi-kebiasaan-nih.
“Hmm…
Shil, loe mau pulang langsung apa gimana?” walau sedikit ragu, Ray berusaha
bertanya ke arah cewek yang masih berdiri mengitari suasana sekitar sambil
menggenggam tas mungil di tangan kirinya. Kontan membuat Shilla refleks
menampakan ekspresi berbalik tanyanya. Terkesan kalau ia tak begitu jelas
mendengar pertanyaan Ray tadi.
“Loe
mau langsung pulang apa gimana?” tanya ulang Ray memperjelas.
“Oh,
hmm… pengennya sih langsung pulang, kak. Udah capek banget aku. Tapi terserah
kak Ray juga sih, kan kakak yang bawa mobil.” kemudian cewek cantik itu
tersenyum. Menampilkan raut wajah yang belum pernah membuat Ray mati berdiri
seperti yang sedang dirasakannya sekarang.
“Ngg…
nunggu di sini bentar gak apa-apa kan, Shil?”
“Oh,
gak apa-apa kok. Emang kenapa mobilnya, kak?” tanya balik Shilla sambil ikut
bersandar di mobil Ray.
“Pak
Odi belum balik juga nih. Mungkin keasyikan ngobrol di warung kopi kali ya
sampai lupa gak ke sini lagi.” terka Ray sedikit memahami kebiasaan supir
pribadinya tersebut. Shilla membulatkan mulut.
“Kenapa
gak ditelpon aja, kak? Pak Odi pegang handphone
kan?” plak! Merasa sedikit bodoh, Rau menepuk dahinya pelan. Kenapa gak kepikiran ke situ sih?
batinnya.
“Oh
iya ya? Aih… bentar gue telpon dulu.” izin Ray sambil merogoh ponsel di saku
celananya. Sedangkan Shilla hanya terkekeh.
“Ck!
Gak aktif, Shil.” pasrah Ray tiba-tiba. Wajah lesunya tampak jelas terlihat
saat itu.
“Masa
sih?”
“Iya
nih, gak tau.”
“Hmm…
ya udah deh nunggu dulu aja di sini.” Ray pun menatap Shilla dengan ekspresi
yang menggambarkan tak enak hati. Walaupun masih lumayan banyak juga anak-anak
Sarfagos yang berkeliaran di sana-sini, tapi Ray merasa tak tega dengan Shilla
yang sudah terlihat lelah itu.
“Tapi
loe gak keberatan kan?”
“Oh,
gak apa-apa kok. Toh masih banyak juga yang belum pulang kan? Bukan kita aja?
Lagipula ini resiko Shilla dong, kan Shilla nebeng sama kak Ray? Hehehe.” ucap
Shilla santai. Sedangkan Ray hanya bisa tersenyum saja meresponnya.
“Ngg…
sori ya?”
“Gak
apa-apa kok, kak. Santai aja lagi.” Shilla tersenyum. Mencoba meleburkan rasa
tak enak hati yang ada pada diri Ray. Kemudian mereka berdua terdiam. Seakan
sudah kehabisan topik untuk dibicarakan lagi. Mungkin hanya kedatangan Pak Odi
sajalah yang bisa membuyarkan aksi diam mereka nanti.
***
“Gila!
Gue shocked banget malem ini. Shocked, shocked and shocked parah deh
pokoknya!!!” greget Rio beberapa detik setelah membasahi wajahnya dengan
sedikit air di sebuah toilet cowok. Lantas ia memandangi wajahnya heran di
depan cermin yang tingginya setara dengan tinggi tubuh Rio tersebut.
“Bener-bener
absurd banget! What the hell!” lanjutnya asal. Sedangkan Alvin masih sibuk sendiri
membenahi jasnya yang sedikit kotor serta Gabriel yang juga ikut meraup
wajahnya dengan air tersebut hanya bisa mendengarkan tanpa ada niat sedikitpun
merespon ocehan tak jelas dari seorang Rio Sebastian. Selalu. Seperti biasanya.
“Gue
heran deh, kok loe bisa sih gandeng Sivia ke Prom Night? Pakai acara jadi King
and Queen pula. Ish!” Rio menautkan tatapannya ke arah Alvin. Dan karena mendengar
nama Sivia disebut, Alvin kontan menengok dengan tampang polosnya. Seakan-akan
dirinya tidak tau apa-apa dengan yang sedang diomongkan Rio tersebut. Lantas
terkekeh begitu melihat ekspresi balasan dari Rio.
“Bukan
Alvin Pratama namanya kalau gak bisa lakuin itu semua. Hahaha.” tegas Alvin
lantang.
“Ck!
Loe juga, kok bisa-bisanya sih sama Prissy? Perasaan gue duluan deh yang
pertama kali nemuin dia. Eh, malah loe yang dapet. Sial!” tukas Rio beralih ke
arah Gabriel yang saat itu terkekeh tak henti-hentinya melihat Rio terpojok
karena termakan oleh taruhan yang dibuatnya sendiri. Lantas kemudian Gabriel mengangkat
alis ke arah Alvin. Menyatakan kemenangan mereka akan taruhan yang dulu pernah diberikan
Rio itu.
“Hmm…
tapi gak masalah sih. Dan sekarang gue percaya kalau kalian emang bukan maho.”
timpal Rio sembari memakai kembali tuxedo
warna hitamnya dengan tanpa dosa.
“EMANG
DARI DULU JUGA BUKAN!!!” refleks, Rio langsung menutup rapat-rapat kedua
telinganya seakan sudah hafal apa yang akan terjadi padanya setelah ia
berbicara menyangkut kata maho.
“Gak
pakai teriak juga kali kalau kalian ngerasa gak maho sih. Hahaha.” plak!
Jitakan keras mendarat seketika di kepala Rio. Ia pun meringis kesakitan.
“Gak
perlu juga bahas maho kalau loe gak mau gue hajar! Cari topik lain kek yang
lebih enak dibahas.” sambung Gabriel sinis.
“Iya-iya
gue tau. Slow aja kali, brader. Oke,
sebagai janji gue dulu, gue bakal pinjamin semua fasilitas yang gue punya ke
kalian berudua. Ngg… kalau perlu kalian gue traktir selama seminggu karena udah
berhasil buktiin kalau kalian bukan maho.” ucap Rio santai. Lagi-lagi Alvin dan
Gabriel berdecak sambil memutarkan bola matanya jengah.
“Gak
usah repot-repot, Yo. Gue udah gak butuh. Toh gue juga terpaksa ngikutin
taruhan konyol ini. Dan satu lagi, gue gak mau kalau Sivia sampai tau masalah
taruhan ini. Kalian ngerti kan?” ujar Alvin yang sudah selesai dari
kesibukannya membenahi pakaiannya.
“Oke,
slowly aja. Masalah taruhan ini cukup
kita bertiga sama Tuhan yang tau.” bisik Rio pelan. Mencoba memastikan supaya
tidak ada seorang pun yang mendengar kecuali mereka bertiga.
“Ngg…
kalau gue boleh saran, mendingan kita jangan bahas-bahas lagi masalah ini. Lagi
pula udah clear kan? Soalnya gue gak
mau kalau hubungan gue sama Prissy disangkut pautkan dengan taruhan. Gue asli
suka sama Prissy dari hati, brader.” sambung Gabriel yakin. Rio terkekeh
kemudian. Baru kali ini telinganya mendengar kalau Gabriel suka sama seorang
cewek.
“Gembel
banget gaya loe, Gab! Hahaha. Oke, gue ralat aja kali ya? Ini bukan taruhan,
tapi anggap aja ini try out dari gue
buat kalian.” Alvin dan Gabriel saling pandang dan mengangkat bahu mereka
masing-masing. Terserah saja apa yang mau dibilang Rio tersebut.
“Dan
otomatis gue putusin kalau kalian udah lulus sekarang. Good job, brader! Sisanya up
to you aja deh mau gimana tuh hubungan kalian sama mereka. Yang pasti
hubungan gue sama Ify sih tetep jalan. Hahaha.” Rio tertawa setelahnya.
“Whatever you say! Udah ah, gue lagi
ditungguin nih sama Sivia di depan.” kata Alvin sambil melirik arloji cokelat
pekat yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Tau
deh yang King and Queen. Hahaha.”
ledek Gabriel dibarengi rangkulannya di pundak Alvin. Sedangkan Alvin hanya
melirik sambil tersenyum kecil ke arah Gabriel.
“Emang
loe mau langsung balik, Vin? Aih… kenapa gak main dulu aja sih?” timpal Rio
yang kemudian ikut berjalan keluar toilet bersama Alvin dan Gabriel.
“Gak!
Ini udah malem, gak enak sama orang tuanya.” Rio mengangguk memahami. Begitu
juga Gabriel yang seakan ikut salut dengan kata-kata Alvin tersebut. Sepertinya
Gabriel sudah mulai mengerti dengan sikap Alvin akhir-akhir ini. Lalu ia
tersenyum.
Namun
kemudian… brak!!! Alvin tiba-tiba tersungkur saat sebuah pukulan melayang tepat
di dahinya sedetik setelah ia keluar dari toilet. Kontan kejadian itu membuat
kaget Gabriel dan Rio yang juga ikut terpental akibat dorongan keras dari Alvin
yang gagal menahan keseimbangannya.
“Dasar
berengsek loe, Vin!!!” satu pukulan lagi mendarat di wajah Alvin saat Alvin
hendak bangun.
“Loe
apa-apan sih, Cak?!” lerai Gabriel yang heran dengan ulah Cakka yang tiba-tiba
muncul dan menghajar Alvin begitu saja. Sedangkan Alvin hanya bisa mengerang
kesakitan sambil memegangi dahinya.
“Ini
buat loe karena udah jadiin Sivia barang taruhan.” Cakka lagi-lagi melayangkan pukulannya
di wajah Alvin. Tak perduli kalau yang dipukulnya itu adalah saudara kandungnya
sendiri. Melihat hal tersebut, Gabriel dengan cepat memegangi tubuh Cakka. Tak
lupa juga Rio yang langsung melindungi Alvin dengan mengangkatnya bangun dan
menjauh dari Cakka yang penuh emosi itu. Ternyata Cakka sejak tadi tak sengaja
mendengar percakapan Alvin dan kawan-kawan saat dirinya hendak ke toilet.
“Dari
awal gue emang curiga sama loe, Vin. Ternyata ini penyebabnya? Cih! Memalukan!”
geram Cakka meski dalam sanderaan Gabriel.
“Gue
bisa jelasin ini, Cak. Loe jangan salah paham dulu.” ucap Alvin kemudian
sembari menahan sakit di wajahnya. Dan pandangannya pun entah kenapa sedikit
buram.
“Gak
butuh! Ini semua udah jelas. Gue kecewa sama loe, Vin. Gue kira akhir-akhir ini
loe berubah karena Sivia, karena loe suka beneran sama Sivia. Ck! Ternyata bulshit! Loe berubah cuma karena ingin
deket sama Sivia terus bisa menangin taruhan konyol ini. Iya kan?! Cih! Sejak
kapan loe jadi pecundang kaya gini hah?!” Cakka sedikit berontak dari genggaman
keras Gabriel. Wajahnya semakin memerah begitu tangan Gabriel semakin kuat
menggenggam tangannya dari belakang.
“Lepasin
gue, Gab!”
“Gak
akan!”
“Lepasin
aja, Gab! Biarin dia mukulin gue semaunya. Gue ikhlas.” Gabriel pun mengernyit
saat Alvin dengan tenangnya berbicara seperti itu. Dan dengan terpaksa Gabriel
melepaskan Cakka. Membiarkan adik Alvin satu-satunya itu meluapkan emosinya
kepada kakaknya sendiri.
Meski
sedikit lemas, Alvin berdiri dengan bantuan Rio dan mendekat ke hadapan Cakka
yang sekarang tidak memakai jas itu. Raut wajah kesakitannya tampak begitu
jelas terlihat. Namun hal itu tidak membuat rasa iba di hati Cakka muncul
begitu saja. Malah Cakka semakin dibuat geram karena Alvin tak juga melawan
pukulannya.
“Ayo
pukul gue, Cak!” suruh Alvin sebisa suaranya karena Cakka tiba-tiba saja
terdiam meskipun matanya menatap tajam. Mulutnya mendesis kemudian.
“Harusnya
bukan gue yang mukul loe, tapi Sivia! Aaarrrggghhh… gue kecewa banget sama loe,
Vin. Gak bisa bayangin gue kalau Sivia sama Papi sampai tau masalah ini.” Cakka
berusaha menahan emosinya sebisa mungkin. Sedangkan Gabriel dan Rio hanya bisa
saling pandang tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Ini semua gara-gara gue! Ish! batin Rio.
“Cak,
please… gue mohon jangan
bilang-bilang masalah ini sama Papi dan Sivia. Gue tau gue salah, dan gue
nyesel. Loe boleh mukulin gue sepuas loe, asal jangan…” ucap Alvin terpotong seraya
mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Entah kenapa saat Cakka menyebut
nama Sivia dan Papinya, sesuatu yang menakutkan tiba-tiba muncul begitu saja di
hati Alvin. Bahkan jauh di lubuk hati Alvin.
“Jangan
apa hah?! Jangan bilang Sivia?! Jangan bilang Papi?! Tanpa gue bilang pun,
Sivia sama Papi pasti tau juga nanti. Gak ada manusia yang pandai menyimpan
bangkai, Vin. Camkan itu!”
“Gue
mohon, Cak. Apa perlu gue sujud di kaki loe?” ucapnya sungguh-sungguh. Namun baru saja Alvin
hendak berlutut, Gabriel dengan cepat mencegahnya. Sepertinya hal itu sudah
tidak wajar menurut Gabriel.
“Loe
apa-apaan sih, Vin?! Loe gak pantas sujud sama Cakka. Ngerti?!” Alvin langsung
menatap Gabriel dengan tatapan loe-gak-usah-ikut-campur. Sedangkan Cakka hanya
berdiri dan diam saja.
“Vin,
dengerin gue! Kalaupun loe mau ngelakuin ini, mestinya jangan sama Cakka, tapi
sama Sivia. Karena menurut gue masalah ini gak ada hubungannya sama sekali sama
Cakka.” lanjut Gabriel meyakinkan. Sesaat, Alvin tertunduk mendengar ucapan
sahabatnya itu.
“Loe
takut Sivia marah lagi sama loe? Hei… ini bukan sepenuhnya salah loe, Vin. Ini
salah kita bertiga. Gue siap kok bantu loe.” Gabriel merangkul bahu Alvin
seraya berusaha mengangkatnya.
“Loe
bodoh, Vin! Loe bilang loe gak akan lagi nyakitin Sivia, tapi mana?! Loe kira
cewek itu seneng dijadiin barang taruhan hah?!” Cakka kembali berbicara.
“Loe
diem deh mendingan! Ngerasa sempurna loe hah?!” Gabriel menyangkal ucapan
Cakka. Mulai muak dengan sikap adik Alvin yang satu ini.
“Gua
gak pernah bilang kalau hidup gue lebih sempurna dari Alvin. Ya, loe boleh aja
belain dia. Tapi yang jelas gue bener-bener kecewa sama dia. Entah gue harus
percaya lagi atau nggak sama dia.” respon Cakka perlahan. Wajahnya ia palingkan
dari Alvin dan Gabriel.
“Ini
semua salah gue. Dan Alvin ngelakuin itu karena gue, Cak. Gue yang nyuruh.” Rio
yang sejak tadi terdiam pun kini ikut angkat bicara untuk setidaknya
memperkecil gejolak emosi yang ada di antara mereka.
“Apa
pun itu alasannya, gue sudah terlanjur kecewa.”
“Kak
Alvin lama banget sih dari tadi aku tungguin juga gak dateng-dat… eng.” Alvin,
Cakka, Gabriel dan Rio tiba-tiba tergelak begitu melihat Sivia tiba-tiba datang
sambil mencibir.
Sedangkan
Sivia yang langsung merubah nada di akhir-akhir kalimatnya itu hanya bisa
terbengong melihat empat cowok yang sedang berkerumun dengan salah satu di
antaranya berwajah lebam.
“Kak
Alvin?” syoknya. Lalu berlari dengan segera ke arah Alvin.
“Kak
Alvin kenapa? Kok wajahnya kaya gini?” tanya Sivia tampak khawatir. Dan itu
terlihat jelas saat Sivia dengan lembutnya menyentuh kedua pipi Alvin penuh
hati-hati. Mereka berempat pun mendadak tak bisa bicara.
“Ini
ada apa sih? Jolong jelasin sama aku! Kak Cakka, kak Rio, kak Gab?” Sivia
mengarahkan pandangannya satu per satu ke semua cowok yang ada di sana. Mencoba
meminta jawaban apa yang sebenarnya terjadi.
“Kak,
ini ada apa? Terus kenapa muka kak Alvin pada lebam gitu? Jelasin sama aku,
kak!” lagi dan lagi Sivia bertanya. Namun tidak ada satupun yang mau menjawab
pertanyaannya tersebut. Semua yang ada di sana menunduk.
“Oke,
kalau gak ada yang mau jawab. Ayo kita pulang, kak? Biar aku obatin luka kak
Alvin di rumah.” sudah mulai jengah, Sivia mencoba menarik tangan Alvin untuk
mengajaknya pulang. Namun dengan sigap Alvin langsung menarik balik tubuh Sivia
ke dalam pelukannya.
“Maafin
gue, Vi. Gue udah sering banget nyakitin loe. Gue minta maaf. Gue udah jahat
sama loe. Gue…” lirih Alvin di pundak Sivia dengan sedikit ringisan. Karena
merasa tak mengerti dengan apa yang terjadi, Sivia mengernyit heran.
“Kak…
jelasin sama aku, sebenarnya ini ada apa? Aku gak ngerti.” pinta Sivia sedikit
memohon. Tangannya beralih ke pundak Alvin supaya ia bisa dengan jelas melihat
mata Alvin yang terdapat luka memar di sudut alisnya. Alvin memejamkan mata
seketika. Berusaha mengalihkan tatapan Sivia yang sendu ke arah matanya.
“Gue…”
ucap Alvin perlahan dan takut-takut. Entah akan seperti apa Sivia kalau Alvin
sampai memberitahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang Alvin lakukan
kepada Sivia tanpa Sivia ketahui itu. Sivia sedikit mengangkat dagunya seakan
menyuruh Alvin melanjutkan kata-katanya. Sedangkan Gabriel dan Rio hanya saling
pandang satu sama lain. Tetapi tidak dengan Cakka yang kini sedikit menahan
rasa emosinya melihat Alvin yang tak juga melanjutkan perkataannya.
“Kamu
dijadiin bahan taruhan sama Alvin, Vi.” timpal Cakka tiba-tiba sambil
melepaskan tangan Sivia yang menyentuh pundak Alvin. Dan tentu saja hal itu
berhasil membuat ekspresi wajah orang-orang yang ada di persimpangan antara
toilet cowok dan toilet cewek itu berubah syok, terlebih Alvin dan Sivia.
Lantas Alvin memejamkan mata kuat-kuat. Suasana hatinya benar-benar berubah
drastis.
“Akhir-akhir
ini Alvin deket dan baik sama kamu itu karena ada maksud lain, Vi. Dia gak mau
sampai kalah taruhan sama Gabriel dan Rio.” lanjut Cakka dengen meraih tangan
Sivia yang kini air mukanya bertambah syok. Sivia terdiam cukup lama. Otaknya
entah kenapa memaksa untuk menolak mentah-mentah ucapan Cakka tersebut. Antara
percaya dan tidak percaya yang Sivia rasakan sekarang.
Perlahan,
Sivia melirik Alvin dengan tatapan bertanya akan kebenaran yang diucapkan Cakka
tadi. Alvin membalasnya tak kurang dari sedetik, kemudian menunduk.
“Gini…
gini… gini… gue bisa jelasin semuanya.” sergah Rio di tengah-tengah aksi diam
yang cukup memanas di antara mereka itu.
“Mau
jelasin apa lagi sih, Yo? Udah jelas-jelas kalian bertiga sedang taruhan kan?
Dan Sivia yang jadi bahan taruhannya.”
“Kak
Cakka bisa diem?!” cela Sivia cukup menahan emosi dengan Cakka yang kesannya
tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk Alvin dan kawan-kawan memberi
penjelasan kepada Sivia. Kontan Cakka langsung terdiam begitu melihat pandangan
tajam milik gadis bergaun putih selutut tersebut.
“Silahkan
lanjutin, kak!” sambung Sivia sangat dingin. Membuat Rio merasa sedikit gugup
untuk menjelaskannya. Sedangkan Alvin yang baru saja ingin berbicara sesuatu
itu langsung mengurungkan niatnya begitu mendengar Rio angkat bicara.
“Ngg…
sebelumnya gue minta maaf dulu mewakili mereka berdua. Karena menurut gue, gue
lah yang paling salah di sini. Gue yang buat taruhan konyol ini. Hmm… awalnya
gue cuma nantang Alvin dan Gabriel buat cari cewek, karena gue tau kalau mereka
berdua itu jarang banget deket sama cewek.” jelas Rio panjang lebar.
“Terus?”
tanya Sivia tanpa memberi kesempatan Rio untuk menarik napas terlebih dahulu.
“Hmm…
berhubung waktu itu loe sama Alvin lagi ada problem
yang cukup besar, entah kenapa gue iseng aja kasih Alvin tantangan buat deketin
loe. Ya kali aja dengan begitu Alvin sama loe bisa baikan. Soalnya gue heran
aja sama dia, Vi. Gue sahabatan sama Alvin udah lama, tapi baru kali ini gue
lihat Alvin punya masalah sama cewek. Karena biasanya Alvin paling tidak mau
berurusan sama cewek. Tapi sama loe? Entahlah gue bingung. Dan itu alasan
sebenarnya kenapa gue bikin tantangan ini ke Alvin. Ngg… tapi kalau loe mau
marah, please… marah sama gue, jangan
sama Alvin.” Rio mengakhiri penjelasannya dengan mengatupkan kedua telapak
tangan.
“Ck!
Apapun itu alasannya, tetep aja itu namanya taruhan. Dan asal kalian tau ya,
cewek itu gak pantas buat dipertaruhkan! Ngerti?!”
“Cak,
loe diem deh mendingan! Beri kesempatan Sivia dan Alvin buat ngomong.” serobot
Gabriel mencela kata-kata Cakka. Kemudian dengan cepat Alvin menarik tangan
Sivia dan menjauh dari Cakka, Rio dan Gabriel. Bermaksud ingin berbicara
masalah pembelaan ataupun pengakuan lebih personal lagi dengan Sivia. Karena
sejak tadi Alvin belum juga berbicara sepatah katapun.
“Gue
tau ini semua salah. Gue minta maaf.”
“Kalau
kakak tau ini salah, terus kenapa kakak lakuin?! Kak Alvin sengaja mau nyakitin
aku lagi?! Apa kak Alvin gak puas-puas nyakitin aku terus?! Apa kak Alvin
anggap aku boneka yang bisa dimainkan begitu aja sama kakak?! Lalu apa arti
kata maaf yang kak Alvin ucapkan kemaren hah?! Cuma buat cari muka?! Iya, kak?!
Jawab!!!” seperti sudah tidak ada lagi pembatas, Sivia mengeluarkan semua rasa
kesalnya yang tadi sempat bisa ditahannya itu. Butiran bening pun mulai
mengalir lembut du kedua pipi Sivia.
“Demi
Tuhan. Gue tulus banget minta maaf sama loe kemaren, Vi. Itu gak ada
hubungannya sama sekali dengan taruhan ini. Kamu percaya sama aku.” plak! Tanpa
terduga oleh Alvin terlebih dahulu, Sivia menampar pipinya dengan cukup keras.
“Aku
gak tau aku harus percaya sama kakak lagi atau enggak. Kali ini aku bener-bener
sakit hati sama kakak. Aku bener-bener kecawa sama kakak!!!” Sivia membentak.
Cukup berhasil membuat Alvin menelan ludahnya kuat-kuat. Tak tau apa yang harus
diucapkannya lagi untuk menjelaskan kesalahan terbesarnya yang satu ini. Lalu
menghela napas kuat-kuat. Masa bodoh dengan Cakka dan kedua sahabatnya yang
melihat mereka berdua dari kejauhan.
“Kalau
loe mau, loe boleh pukul gue sepuas loe. Loe boleh apain aja, Vi. Ayo, gue
rela!” sigap, Alvin memegang tangan kanan Sivia dan menyuruhnya untuk melakukan
apa yang tadi diucapkannya tersebut.
“Bunuh
gue sekalian kalau itu bisa buat loe maafin gue!” plak! Sivia kembali menampar
Alvin. Kali ini pipi kiri lah yang menjadi sasarannya. Perih. Alvin hanya bisa
menahannya sekuat mungkin.
“Itu
buat kak Alvin karena kak Alvin udah lancang jadiin aku taruhan. Dan ini… plak!
Buat kak Alvin juga karena kak Alvin udah bikin aku…” kata Sivia terpotong. Entah
pantas atau tidak posisi tiga kata terakhir yang akan diucapkannya kepada
seseorang yang sudah tiga kali berturut-turut membuatnya sakit hati tersebut. Sedangkan
yang melihat Alvin dan Sivia dari kejauhan itu hanya menggeleng dibuatnya.
“Bikin
aku?” respon Alvin penasaran dengan ucapan Sivia yang sempat terpotong itu.
Lantas Sivia langsung memeluk erat tubuh Alvin dan menumpahkan semua amarahnya
di dada bidang milik cowok tersebut.
“Karena
kak Alvin udah bikin aku sayang sama kakak.” lanjut Sivia di tengah-tengah
isakannya.
Mendengar
hal tersebut, Alvin bagaikan tersambar petir di tengah padang pasir. Semua
organ tubuhnya pun mendadak tak bisa berfungsi lagi seperti seharusnya. Yang
ada kini tubuhnya hanya bisa mematung tanpa rasa saat Sivia begitu erat
memeluk.
“A…
ap… appp… apa loe bilang? Loe ss… ssaa… sayang sama gu… gue?” meski susah untuk
bicara, Alvin berusaha meminta penjelasan kepada Sivia akan ucapan yang sempat
membuatnya mati berdiri dalam beberapa detik itu.
“Iya,
aku sayang sama kak Alvin. Aku sayang karena kakak udah bikin aku nyaman, udah
bikin aku tertawa, udah bikin Difa bahagia, udah bikin mama bangga sama kak
Alvin. Aku tau, dulu kakak emang pernah nyakitin aku. Tapi karena ini, karena
ini aku bisa maafin kakak.” Sivia menunjuk dadanya. Berusaha menjelaskan kenapa
ia mau memaafkan Alvin walaupun Alvin pernah menyakitinya berkali-kali. Ya,
rasa aneh yang ada di hatinya yang bisa melakukan itu.
“Jadi
loe itu…” Sivia mengangguk walaupun Alvin belum selesai berbicara. Mungkin
sudah mengetahui apa yang hendak diucapkan cowok yang baru saja dipeluknya itu.
Sontak Alvin langsung tersenyum dan cepat-cepat memeluk Sivia erat. Pelukan
langka yang baru empat orang saja yang bisa merasakannya. Keempat orang itu
adalah Mami Alena, Papi Alexa, Cakka, dan tentu saja Sivia.
“Aku
memang kecewa sama kakak, tapi aku gak mau munafik. Mungkin ini udah takdir
dari Tuhan. Kalau gak ada taruhan itu, mungkin kita tidak akan bisa sedekat
ini, mungkin aku tidak bisa bilang sayang sama kakak, mungkin aku…”
“Gak
bisa meluk gue seerat ini.” sambung Alvin dengan nada sedikit bercanda. Namun Sivia kembali memeluk
Alvin. Tak perduli dengan Cakka, Gabriel dan Rio yang mungkin sekarang sedang terheran-heran
dibuatnya.
“Maafin gue ya, Vi. Sebenernya
gue gak mau ngelakuin ini. Gue cuma mau buktiin aja ke Rio kalau gue bukan
seperti yang dia kira. Gue males terus-terusan diledek sama dia. Hmm... tapi
jujur deh, selama gue deket sama loe, gue sama sekali gak inget kalau gue
sedang taruhan. Bahkan boleh dibilang kalau gue baru inget malem ini.”
“So?” refleks, Sivia
melepas pelukannya.
“So? Ngg... ya gue sama
loe mengalir gitu aja. Emang kaya udah ditentuin gitu jalannya. Hehehe.”
“Oh gitu. Hmm... kak?”
“Ya?”
“Masih
sakit?” ucap Sivia sembari menyentuh pelan bagian wajah Alvin yang lebam.
“Aw!!!”
“Sori,
kak. Ngg… kak Cakka harus minta maaf sama kakak.”
“Hmm…
gak perlu, Vi. Cakka kaya gitu karena dia care
sama loe. Mungkin itu juga tanda carenya
dia ke gue.” lalu mereka beralih memandang ketiga orang yang kini berjalan
beriringan menghampiri mereka.
“Gue
harap ini bukan drama murahan lagi dari loe, Vin. Jagain Sivia ya?” ucap Cakka
sambil menepuk pundak Alvin dengan sedikit senyum kecil. Sepertinya Cakka sudah
paham betul apa yang sedang dirasakan Alvin dan Sivia tersebut karena melihat
dari cara pandang mereka berdua. Alvin pun memeluk Cakka.
“Thanks buat pukulannya.” candanya
kemudian.
“Aih…
gue gak suka bagian ini. Terlalu so sweet
buat seorang cowok.”
“Sama.
Dan gue harap ini bukan ending.”
sambung Rio dan Gabriel berturut-turut.
“Ngomong
apaan sih kalian? Aneh.” tanya Sivia.
“Gak
usah tanggepin, Vi. Mereka emang aneh.”
“Sialan!!!”
“Tapi
kalian tetep sahabat gue yang paling oke kok.” sambung Alvin sembari merangkul
Gabriel dan Rio bergantian.
“Yoi
dong!” mereka lantas terkekeh. Namun tiba-tiba…
“Oh my God! Agni?!” Cakka langsung
menepuk dahi saat otaknya mengingat seseorang yang sekarang sedang
mondar-mandir tak jelas menunggunya.
“Kak
Agni kenapa, kak?”
“Aduh…
mampus gue! Alamat kena sembur Agni ini sih.”
“Udah
sana samperin. Kasihan tuh anak nungguin loe sampai lumutan.” suruh Alvin
sembari mendorong Cakka pelan.
“Ya
udah kalau gitu gue duluan ya?” pamit Cakka langsung pergi berlari. Tentu saja
untuk menemui seorang Agni yang mungkin hampir setengah jam yang lalu menunggu
Cakka kembali dari toilet.
“Prissy?!”
“Ify?!”
teriak Gabriel dan Rio juga heboh. Nasib yang sama dengan Cakka mungkin akan
dialami juga oleh mereka berdua. Lantas hal tersebut membuat Alvin dan Sivia
terkekeh kembali. Kali ini lebih lucu karena mereka sampai ditinggal berduaan
di sana. Sedetik, tatapan mereka bertemu tanpa sengaja. Salah tingkah sesaat.
Dan…
“Ayo
pulang?” ajak Alvin seraya merangkul lembut pundak Sivia. Sivia tak menjawab.
Ia hanya tersenyum pasrah dan berjalan seadanya saat tangan Alvin berlabuh di
pundak terbukanya. Lalu saling tersenyum.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar