Epilog
Sivia menutup buku besar yang di dalamnya berisikan kumpulan foto-foto saat
dirinya masih memakai seragam putih abu-abu yang sejak dua jam yang lalu
dipangkunya. Kemudian ia menyempatkan diri untuk menghela sebelum tersenyum ke
arah gadis remaja yang kini otaknya membayangkan sesuatu sambil senyum-senyum
tak jelas. Sivia pun membelai rambut panjang gadis itu perlahan.
“Jadi waktu dulu Mama sama Papa itu kena virus benci jadi cinta ya?” tanya gadis
itu seraya memainkain matanya ke arah Sivia. Sivia tak lantas menjawab, ia
malah merengkuh gadis tersebut dengan gemasnya. Ternyata waktu itu memang
sangat cepat berlalu. Padahal Sivia merasa baru kemarin-kemarin ia menginjakkan
kaki di Sarfagos untuk pertama kalinya, sekarang malah giliran gadis remaja
yang sedang dipeluknya itu yang akan segera mengalami hal serupa dengan hal
yang pernah dialaminya duapuluh tahun yang lalu.
“Hmm... oh iya Ma, sekarang Om Gab sama Tante Prissy gimana kabarnya?” gadis itu
kembali bertanya sambil bersandar manja di pundak mamanya. Rasa penasaran akan
semua orang yang pernah terlibat di kehidupan mamanya ketika masih SMA itu
tiba-tiba muncul begitu saja di benak gadis tersebut.
“Om Gab sama Tante Prissy? Hmm... seingat Mama, mereka itu sekarang masih
tinggal di Bali kalau gak salah, meneruskan usaha orang tua mereka dengan
mengelola kembali Ganesha Restaurant yang cukup terkenal di sana. Selain itu
juga mereka punya anak seumuran kamu lho, namanya Gilang Ganesha. Ganteng deh
anaknya.” jawab Sivia santai.
“Oh ya? Terus kalau Om Ray sama Tante Shilla?”
“Ngg... kalau Om Ray sama Tante Shilla sih Mama kurang tau. Soalnya pas mereka
selesai nikah, mereka langsung pindah ke Australia. Dan Mama juga jarang kontek
sama mereka. Mungkin Om Cakka lebih tau, mereka kan sahabatan dari SMA.” gadis
itu mengangguk paham.
“Ya udah deh entar Rara main ke rumah Acha buat nanya ke Om Cakka. Tapi sama
Mama sama Papa Alvin juga ya?” pinta gadis bernama panggilan Rara tersebut.
Sontak membuat Sivia mengernyit sesaat.
“Lho? Tadi katanya kamu yang mau ke sana? Kok minta ditemenin sama Mama sama
Papa sih?”
“Ya, kan Rara masih belum tau persis jalan ke rumah Om Cakka? Toh dari Jakarta
ke Bandung gak lama kan, Ma?”
“Iya deh entar Mama bilang sama Papa. Sekalian adik kamu juga diajak, kita
sekeluarga ke sana.” Sivia tersenyum kemudian.
“Asyik! Kalau sekeluarga kan bisa sekalian mampir juga ke rumah Tante Ify. Udah
lama juga gak ketemu sama dede Rify. Pasti sekarang udah masuk SMP.” tebak Rara
seraya membayangkan sosok Rify yang tak lain adalah buah cinta dari Rio dan
Ify.
Dan baru saja Sivia hendak merespon perkataan Rara, suara candaan dari lantai
atas terdengar semakin nyaring. Sontak membuat kedua menengok ke arah tangga.
“Papa curang! Padahal bentar lagi Vian mau menang, malah di matiin tuh PS.
Nyebelin!”
“Hahaha.”
“Dasar Papa jelek!!!”
“Aw! Viaaaannnn!!! Kepala Papa sakit, jangan dijambak!”
“Bodo! Suruh siapa curang?”
“Ada apa sih ini? Kok pada berantem gak jelas?” merasa sedikit heran dengan
tingkah kedua bapak dan anak tersebut, Sivia bertanya sambil menurunkan paksa
anak kecil bernama Vian itu dari punggung papanya.
“Papa tuh, Ma! Masa iya PS-nya di matiin? Padahal kan dikit lagi Vian mau
menang lawan Papa.” Vian mengadu manja. Membuat sang papa一yang
tak lain adalah Alvin一memutar mata sambil menghela napas. Kebiasaan, selalu dan
selalu mengadu. Lantas kemudian ia duduk di samping anak gadisnya. Alvia
Rainsha Pratama. Atau lebih akrab dipanggil Rara. Sedangkan anak keduanya yang
bernama Alviano Rain Pratama itu di pangku oleh sang mama.
“Oh, gitu? Hmm... mungkin Papa ada benernya juga, masa iya udah jam 5 sore
masih main PS aja?” kata Sivia dengan membelai anak laki-laki yang umurnya
masih berangka 13 tahun itu.
“Iya sih, Ma. Tapi kan gak mesti dimatiin gitu juga?”
“Ya udah deh Papa ngaku kalah sama Vian.” sambung Alvin mengalah.
“Nah... itu dong, Pa!” Vian terkekeh kemudian. Kali ini ia benar-benar merasa
menang dari Papanya.
“Iya deh, iya. Bawel!” timpal Alvin asal. Sedangkan Sivia dan Rara hanya bisa
saling pandang dan menggelengkan kepala mereka berulang kali. Merasa bosan
dengan tingkah Alvin dan Vian tersebut. Bisa dibilang hampir setiap hari
seperti itu.
“Lho? Ini kok album kenangan waktu Papa sama Mama SMA ada di sini?” tanya Alvin
begitu matanya menangkap buku tebal berwarna biru tua tergeletak di atas meja.
Lantas ia mengambilnya sambil meminta jawaban ke arah Sivia dan Rara.
“Oh, itu tadi Rara iseng-iseng aja buka-buka berkas punya Mama sama Papa. Terus
Rara nemu itu deh.” jawab Rara sekenanya. Alvin lalu membulatkan mulut dengan
sesekali mengangguk.
“Terus? Kok bisa dibawa ke ruang tamu?” tanya Alvin lagi.
“Rara minta diceritain sama Mama tentang masa lalu Mama sama Papa waktu SMA.”
seketika Alvin menelan ludah mendengarnya. Dan entah kenapa benaknya tiba-tiba
dirundung rasa gelisah, takut saja kalau istrinya menceritakan hal yang
tidak-tidak tentang masa lalunya. Kemudian mata Alvin melirik ke arah Sivia
yang langsung tersenyum saja membalasnya.
“Ternyata Papa itu dulunya bandel ya? Udah gitu suka jahatin Mama juga.” kata
Rara sekenanya. Sontak membuat Alvin lagi-lagi melirik ke Sivia. Tapi kali ini
terkesan melotot. Namun Sivia malah tersenyum dua jari melihat ekspresi
suaminya yang cukup dibilang kaget itu.
“Oh iya, Vian udah mandi belum? Mandi dulu gih, udah sore.” gumam Sivia lembut.
Bermaksud menjauhkan anak kecilnya yang satu itu dari obrolan-obrolan yang
terbilang cukup dewasa. Vian pun hanya bisa menuruti perintah mamanya dan
segera pergi menuju kamarnya kembali.
“Tunggu deh, tunggu! Apa kamu bilang? Papa brutal? Aih! Kata siapa Papa brutal?
Orang Papa itu anak baik-baik dulunya.” bela Alvin sambil merangkul pundak anak
gadisnya tersebut.
“Masa sih? Orang Mama sendiri yang bilang. Iya kan, Ma?”
“Mama kamu itu bohong, Sayang. Papa itu anak baik-baik kan, Ma?” ucap Alvin
dengan menekan nada bicaranya di akhir-akhir kalimat.
“Ngg... kasih tau nggak ya? Hehehe.”
“Tuh kan Mama kamu bohong! Beneran deh, Papa itu dulunya anak baik-baik, gak
brutal.” Alvin lagi-lagi membela diri.
“Enggak ah! Rara lebih percaya sama Mama daripada sama Papa.” perlahan, Rara
melepaskan rangkulan papanya dan beralih ke sang mama.
“Oh, jadi sekarang Rara gitu sama Papa? Oke! Papa gak mau ajak Rara lagi kalau
Papa main ke rumah Om Cakka sama Tante Agni.” ancam Alvin dibuat-buat.
“Ah, Papa jangan gitu dong! Iya deh Rara percaya sama Papa. Tapi entar kita
sekeluarga main ke sana ya, Pa? Ke rumah Om Cakka, terus mampir ke rumah Tante
Ify. Hmm... oh iya satu lagi, pulangnya kita ke rumah Om Difa. Rara kangen
curhat sama Tante Angel.” pinta Rara cukup banyak. Membuat Alvin dan Sivia
menggeleng pasrah.
“Om Difa sama Tante Angel kan pengantin baru, jadi mendingan kita gak usah ke
sana dulu, takut ganggu.” balas Alvin lembut.
“Yaaahhh... Papa! Sebentar aja kok? Boleh ya?” Alvin melirik Sivia sedetik,
mencoba meminta saran dari istri tercintanya. Tanpa bisa berbuat banyak, Sivia
terpaksa mengangguk. Ya, hitung-hitung silaturahmi lah dengan keluarga sendiri.
Toh kapan lagi keluarga besar mereka bertemu kalau bukan di hari libur panjang
seperti sekarang ini?
“Pokoknya kita berempat harus ke sana! Rara gak mau tau dan gak mau denger
alasan apapun dari Papa dan Mama!” timpal Rara sedikit manja.
“Iya-iya Papa tau. Rara kapan maunya? Besok?” tanya Alvin memberi pilihan. Rara
pun berpikir.
“Besok juga boleh.” jawabnya kemudian.
“Vian juga ikuuuuutttttt!!!” cukup kaget setenga mati, semua orang yang duduk
di kursi tamu mendadak mengelus dada saat Vian berteriak sambil berlari ke arah
mereka.
“Bisa gak sih gak ngagetin?! Ish!” tukas Rara kesal dengan ulah adiknya
tersebut.
“Iya, tenang aja. Nanti malem siap-siap packing ya? Besok pagi-pagi sekali kita
berlima go to Bandung!” kata Alvin sumringah.
“Yeeeeeeaaaaaayyyyyy!!!” kompak Rara dan Vian seketika. Lagi-lagi sepasang
suami istri itu kembali menggeleng. Lucu sendiri melihat tingkah kedua anaknya
tersebut.
“Eh, bentar deh! Kok berlima sih? Satunya siapa?” tanya Rara yang baru
menyadari ucapan papanya yang dirasa sedikit janggal itu.
“Sama dede bayi dong!” kata Alvin seraya mengusap perlahan perut istrinya.
“Hah? Jadi kita punya dede baru lagi?” heboh Rara dan Vian saling
berhadap-hadapan. Lalu sedetik kemudian mereka langsung mengikuti papanya
memeluk sang mama.
“Asyik, akhirnya Vian punya ade. Mama sama Papa kok cepet banget sih ngabulin
permintaan Vian? Vian seneng banget deh.” mendengar itu, Alvin dan Sivia
mendadak terkekeh. Anak kecil itu ternyata memang polos.
“Ngg... Rara mau punya ade cewek. Biar bisa jalan-jalan ke Mall bareng, ke
salon bareng, ke butik juga bareng. Pokoknya ke mana-mana bareng deh!”
“Enak aja! Pokoknya harus cowok! Kan nanti bisa Vian ajak main PS. Terus bakal
Vian ajarin main tembak-tembakan juga. Iya kan, Pa?”
“Ish! Gak mau cowok, harus cewek. Titik!”
“Cowok!!!”
“Cewek, Vian!”
“Cowok, kakak!”
“Udah-udah jangan berantem!” lerai Sivia tiba-tiba. Telinganya seakan pecah
mendengar ocehan kedua anaknya tersebut.
“Mau cewek kek, mau cowok kek, gimana yang di atas. Yang penting kalian berdua
doain Mama aja, biar Mama sama dede bayi sehat selalu sampai waktunya nanti.
Oke?” lanjut Sivia memberi pemahaman sedikit kepada anak-anaknya.
“Tuh dengerin kalau Mama kalian lagi ngomong.” sambung Alvin. Rara dan Vian
langsung mengangguk paham.
“Nah, gitu dong! Anak Papa sama Mama kan pinter-pinter.” puji Alvin dengan
mengusap satu persatu ubun-ubun kedua anaknya.
Serentak, mereka berempat berbalas senyum dan kemudian kembali berpelukan.
Sebisa mungkin untuk selalu bersyukur karena telah diberikan kebahagiaan yang
cukup dibilang besar dalam keluarga mereka. Alvin pun menghela napas terlebih
dahulu sebelum akhirnya ia mengecup kening sang istri dengan lembut. Istri
terhebat yang pernah ia temui di dunia ini. Audrey Siviana Rain. Perempuan
satu-satunya yang berhasil meluluhkan hati seorang Alexa Alvinandra Pratama.
Lelaki yang dulu memiliki hati seperti batu. Namun kini batu itu sudah berubah
menjadi salju. Putih. Lembut. Dan menyejukkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar