@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Rabu, 09 Juli 2014

Yang Terlupakan

Denting piano kala jemari menari
Nada merambat pelan, di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Bersama sebuah bayang yang pernah terlupakan


Malam melarut. Hawanya mulai menggenapkan hening yang baru saja mengembara beberapa menit yang lalu. Sunyi. Hanya saja gemericik air hujan yang mampu terdengar dengan efek menggelegar serta kilauan garis putih yang terpancar sepersekian detik setelahnya. Bahkan sesekali hembusan angin pun terasa cukup lembut hingga membuat gorden bergoyang pelan.

Pukul 23.23 WIB. Waktu di mana semua insan bumi terlelap melepas lelah. Setidaknya beristirahat dari segala hiruk pikuk aktivitas dunia yang sangat padat. Namun tidak dengan seorang pria yang satu ini. Pria yang dari setengah jam yang lalu duduk di depan piano. Dengan tak sungkan memainkan jejeran hitam putih bernada itu dengan kesepuluh jarinya. Merdu. Denting piano yang dimainkannya mengalun cukup indah. Bahkan sangat damai jika didengar dengan cermat.

Tetapi entah kenapa nada piano itu seakan tidak sinkron dengan suasana hati si pianis. Wajahnya datar. Begitupula dengan tatapan matanya yang cenderung kosong. Seperti sedang membayangkan sesuatu kelam yang pernah terjadi di masa lalunya.

“Gue menyesal,”

Satu kalimat terucap di bibir pria tersebut. Tentu saja bersamaan dengan terhentinya sebuah irama yang tadi sempat menggema di kamarnya itu. Ia memejamkan mata sesaat dan kemudian berdecak. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Ia benar-benar terlihat stres.
“Sivia, loe di mana? Gue kangen sama loe. Gue. . .” gumamnya seraya menunduk. Satu nama yang ternyata menjadi jawaban kenapa ia seperti sekarang. Ya, ia merindukan si pemilik nama tersebut. Nama yang mungkin pernah ia lupakan, ralat! Atau bahkan sengaja dilupakan sehingga ia teringat nama itu kembali dengan begitu sakitnya. Ia pun terus menunduk.

***


“Gue lihat-lihat dari tadi loe bengong mulu deh. Ada masalah?” sedikit tersentak, pria berbadan jangkung itu mengatur napasnya saat menyadari kehadiran dari salah seorang sahabatnya. Lantas ia tersenyum dan dengan segera menggeleng ke arah sahabatnya tersebut.
“Beneran? Gak apa-apa kok, cerita aja!” sekali lagi, orang itu memaksa secara halus untuk si pria bercerita apa yang sedang dirasakannya sekarang.
“Ah, sok care banget sih loe sama gue? Lagian kepo banget sih jadi orang? Serba pengen tau mulu urusan gue. Heran,” bukannya menjawab, pria tadi malah menyenggol pundak sahabatnya sembari mencibir.
“Ih, Alviiin! Gue serius.”

Pria itu bernama Alvin, mahasiswa semester empat di universitas ternama di Indonesia Tengah. Dan orang yang ikut duduk di sampingnya itu adalah Zea, gadis berambut panjang dan berlesung pipi satu yang cukup manis. Sahabat karib Alvin selama ia berkuliah di universitas tersebut.
“Tetep gak ngaruh,” ujarnya kemudian. Disuguhkannya senyuman meledek ke arah Zea. Membuat Zea memutar mata dengan sedikit memainkan bibir.
“Oh, oke! Gak masalah sih buat gue. Awas aja kalau entar loe minta curhat sama gue. Gak bakal mau gue,” ancam Zea dengan ucap guraunya. Alvin pun terkekeh.
“Bodo. Hahaha.”
“Aih! Nyebelin parah loe, Vin. Bener-bener gak asik,” sungut Zea sinis.
“Serah loe deh. Kantin yuk!” ajak Alvin tiba-tiba tanpa mempedulikan kata-kata Zea tadi. Lantas ia bangkit meninggalkan Zea yang sudah membuang napas malas.
Please deh, Vin!”
“Udah ikut aja kalau pengen kenyang sih. Mumpung gue lagi baik nih. Tapi kalau gak mau ya udah,” ujar Alvin meski tak melihat Zea sedikitpun. Membuat gadis tersebut dengan paksa mengikuti pria itu dari belakang.

***


Di sebuah rumah sederhana. Seorang gadis dengan tas selempangnya keluar dari pintu. Mengibaskan roknya yang sedikit kotor terlebih dahulu sebelum akhirnya ia berjalan kembali ke arah garasi rumahnya.
“Ah, aku bisa telat kalau kaya gini.” ucapnya resah begitu melirik arloji hitam di lengan kirinya. Ia pun semakin menggancangkan langkah kakinya cepat.. Sampai-sampai tak mendengar sebuah teriakan seseorang yang berlari kecil dari dalam rumahnya.
“Sayang, polanya ketinggalan!” teriak orang tersebut dengan memegang beberapa lembar kertas putih. Sejurus kemudian ia membuang napas pasrah. Orang yang dipanggilnya tersebut sudah menghilang dari area pandangannya.
“Percuma juga berangkat kalau pola ininya gak dibawa. Ck! Sayang, sayang. Ceroboh banget sih kamu itu?” ujarnya seraya menatap resah lembaran kertas yang dipegangnya.
“Apa aku susul dia aja kali ya? Hmm. . . Tapi yang jagain Bima siapa dong?” gusarnya kali ini. Sejurus kemudian ia membuang napas seraya menghentakan kakinya kembali ke dalam rumah.

***


Raja siang sedikit condong ke arah barat. Radiasinya masih begitu kuat mengarah ke bumi. Benar-benar panas. Bahkan sama sekali tidak ada angin di siang bolong seperti ini. Membuat cucuran peluh mengalir di setiap tubuh orang yang merasakan efeknya.

Zea dengan cepat menyeruput jus lemon yang ada di genggamannya. Seperti orang kesurupan, ia menghabiskannya hanya dalam satu tegukan. Membuat Alvin menggeleng prihatin melihat ulah sahabatnya itu.
“Gila loe Ze, kaya orang baru lihat air bertahun-tahun. Dehidrasi?” sindir dan tanya Alvin cepat.
“Iya nih, panasnya parah banget. Bikin haus tenggorokan gue.” jawab Zea setelah gelas yang dipegangnya sudah kosong. Alvin lagi-lagi menggeleng.
“Loe emang gak haus, Vin?”
“Gak sih, biasa. Gue laper doang,”
“Oh, gue pesen lagi ya? Gak apa-apa kan? Katanya loe lagi baik?” pinta Zea dengan nada menggodanya.
“Iya-iya tinggal pesen aja sana! Ribet amat sih,” ujar Alvin ketus. Lantas Zea menyengir terlebih dahulu ke arah Alvin sebelum akhirnya ia berteriak kecil ke arah pemilik kantin. Untuk memesan makanan lagi tentunya.
“Si Rio ke mana sih kok belum dateng juga sampai sekarang?” resah Alvin kemudian. Matanya mulai mengitari suasana di sekitarnya.
“Sms atau telpon ajalah, Vin. Nyasar kali, kan kantin di kampus ini banyak.” kata Zea.
“Udah kok. Udah gue kasih tau juga tempatnya.” balas Alvin yakin. Dan sedetik setelahnya. . .
“Nah, tuh orangnya nongol.” tunjuk Zea ke arah orang yang kini berlari kecil ke arah mereka. Rio. Sepupu Alvin.
“Sori gue telat,” ujarnya.
“Abis ke mana sih, Yo? Emang masih ada kelas?”
“Gak ada sih, Vin. Cuma tadi nyokap gue nelpon. Biasalah,”“Oh, suruh ke butik lagi?” ucap Alvin yang seakan sudah paham dengan keseharian Rio. Tentunya membantu sang Mama mengantar barang pesanan ke sana ke mari atau sekedar menjaga butik tersebut saat sang Mama pergi untuk bertemu clientnya.
“Ngobrolnya sambil duduk kenapa, Yo?” sambung Zea sambil menunjuk tempat duduk di sampingnya.
“Gue bentaran doang kok di sini. Mau cabut nih, kalian mau ikut?”
“Yah, kok gitu sih? Baru juga bentar,”
“Ya mau gimana lagi, Ze? Gue suruh ke butik sekarang,”
“Ya udah gue ikut deh, Yo. Udah lama juga gue gak ke butik nyokap loe.” ungkap Alvin menengahi.
“Gue cabut duluan ya, Ze? Gak apa-apa kan?” kata Rio. Sedangkan Zea hanya menampakan wajah jengahnya.
“Tenang, udah gue bayar ini semuanya.” bisik Alvin.
“Bukan gitu maksudnya. Masa gue ditinggal sendiri sih? Ah, gak asik loe berdua.”
“Katanya udah biasa ditinggal-tinggal? Apalagi sama mantan. Hahaha.” ujar Rio menggoda. Alvin hanya ikut tertawa dibuatnya.
“Sialan! Udah sana pergi ah!”
“Hahaha. Sampai ketemu besok ya!”

***


Gadis itu merogoh tasnya dengan gelisah. Mencari sesuatu penting yang entah kenapa tiba-tiba hilang begitu saja di dalam tas kecilnya itu. Wajahnya pun semakin terlihat cemas apalagi di depannya sudah ada dua bola mata yang sedang menatapnya skeptis.
“Tadi perasaan saya masukin ke sini deh, tapi kok gak ada ya?” ucap gadis tersebut sambil terus mencari apa yang sedang dicarinya.
“Sepertinya pola baju yang sudah saya buat ketinggalan di rumah nih. Gimana dong Bu, apa saya balik lagi aja buat ambil?” lagi, gadis itu berucap. Kali ini dengan memberi tatapan penyesalan.
“Sivia, Sivia. Kamu itu kenapa sih sebenarnya? Kok akhir-akhir ini suka ceroboh. Tadi telat, dan sekarang kamu gak bawa pola baju yang saya perintahkan ke kamu kemarin lusa.” ungkap wanita yang sejak tadi duduk di depan gadis yang ternyata bernama Sivia tersebut. Beliau menggeleng pasrah. Entah akhir-akhir ini rasanya ia telah sedikit dikecewakan oleh orang yang sudah menjadi kepercayaannya selama setahun ini. Sedangkan Sivia hanya menunduk.“Saya minta maaf,” ucapnya sesal.
“Hmm. . . Ya sudahlah gak apa-apa, lain kali jangan diulangi lagi ya?” ucap wanita itu sedikit memaklumi. Sontak Sivia langsung mendongak dan tersenyum tenang.
“Beneran, Bu? Ya Tuhan terimakasih banyak ya, Bu. Saya janji, lain kali saya gak akan ceroboh lagi.” ujarnya mantap.
“Baiklah. Kalau begitu saya mau siap-siap dulu buat ketemu client saya di tempat lain. Sekarang kamu boleh pulang.” Sivia pun mengangguk dan tersenyum setelah mendengar ucapan wanita tersebut. Lantas ia dengan segera bangkit dari duduk dan melangkah mendekati pintu.

Beberapa detik, sebelum Sivia sampai di dekat pintu, tiba-tiba terdengar ketukan dari arah luar. Dan kemudian pintu itu terbuka lebar, menampakan dua orang pria jangkung yang berdiri di sana. Sivia sempat tersenyum ramah dibuatnya, meski hanya sekilas saja karena ia langsung melangkah kembali melewati mereka tanpa menatap wajah.
“Sini masuk!” suruh wanita di dalam ruangan. Lantas salah satu dari kedua pria tadi pun tersenyum meresponnya. Tidak dengan yang satunya lagi, ia malah terlihat seperti orang bingung. Bahkan sejak tadi ia masih berdiri di tempat dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
“Sivia?” gumamnya tiba-tiba. Kontan ia langsung berlari keluar dengan cepat.
“Sivia, tunggu!” teriaknya kali ini. Membuat wanita dan pria yang tadi datang bersamanya itu terheran-heran dibuatnya. Pria itu Alvin.
“Alvin kenapa, Yo?” tanya wanita tersebut yang tiada lain adalah orangtuanya Rio. Rani.
“Rio juga gak tau tuh, Ma.” jawab Rio sambil mengikuti mamanya memandang ke arah pintu.

Di sisi lain, Alvin terus-terusan berlari. Matanya sibuk mencari sosok yang tadi sempat berjalan melewatinya itu.
“Aih! Cepet banget jalannya,” rutuknya kesal. Karena memang orang yang sedang dicarinya itu sudah tak terlihat lagi di area pandangnya. Hanya saja ada sebuah taksi yang baru saja melaju dengan di dalamnya terlihat siluet orang yang cukup tak asing lagi bagi mata Alvin. Sivia.
“Sivia, tunggu! Siviaaaaaa. . .” teriak Alvin mencoba mengejar taksi tersebut.
“Ah, sial!” meski sedikit menunduk karena kehabisan napas, mata Alvin tetap tak henti memandang taksi yang ia yakini bahwa ada Sivia di dalamnya. Gadis yang dulu pernah mewarnai kehidupannya. Gadis yang dulu selalu ia puja-puji tak pernah henti. Dan bahkan, Sivia, adalah gadis yang dulu pernah ia campakkan tanpa merasa berdosa sedikitpun.
“Tante Rani,” lirihnya sambil berlari kembali ke dalam butik.

***


Hati kecil berbisik, untuk kembali padanya
Seribu kata menggoda, seribu sesal di depan mata
Seperti menjelma
Waktu aku tertawa, kala memberimu dosa


Masih di tempat yang sama, di depan sebuah piano besar yang terletak dekat jendela, Alvin duduk dan termenung di sana. Memandang lurus ke arah luar dengan tatapan kosong. Hanya saja kali ini tak ada rintik hujan yang menemaninya. Cukup hawa dingin, suara binatang malam, bulan sabit dan bintang-bintang kecil nan jauh di sana sajalah yang menjadi kawan Alvin saat ini. Tak ada yang lain. Sunyi.
“Jadi selama ini loe kerja di butik milik Tante Rani, Vi? Tapi kenapa gue gak pernah tau?” lirih Alvin sesal.
“Gue harus ketemu loe secepatnya. Gue pengen ngobrol serius sama loe. Gue gak mau terus-terusan merasa bersalah. Gue. . .” Alvin berhenti berucap tiba-tiba. Bayang-bayang Sivia dan dirinya di masa lalu muncul begitu saja di benaknya. Apalagi di saat Sivia menangis sambil bersimpuh di kakinya. Benar-benar membuat Alvin selalu dan selalu di hantui rasa sesal dan rasa bersalah teramat dalam.
Please, jangan lihatin gue seperti itu!” geram Alvin saat halusinasinya menangkap wajah Sivia yang tak jauh berdiri di depan matanya. Alvin pun dengan segera menutup wajahnya dengan siku.
“Gue tau gue salah. Gue tau!” teriaknya lagi.

Flashback On.

“Apa?! Kamu gak lagi bercanda kan? Gak mungkin!” sentak Alvin begitu mendengar pengakuan yang mengejutkan dari mulut kekasihnya, Sivia.
“Aku gak lagi bercanda, kak. Aku serius. Aku hamil kak, hamil!” sembari terisak, Sivia menunjukkan testpack ke depan mata Alvin. Yang tentu saja berhasil merubah ekspresi wajah pria tersebut menjadi lebih syok. Sampai ia tak mampu lagi untuk berbicara.
“Aku takut kalau sampai orangtuaku tau masalah ini, kak. Aku takut,” lirih Sivia mulai parau.“Kamu tenang dulu dong Vi, jangan nangis terus! Pasti ada jalan keluarnya kok.” ketus Alvin seraya melirik Sivia yang duduk di sampingnya.
“Tapi aku hamil kak, aku hamil! Kak Alvin harus tanggung jawab!” ujar Sivia ikut ketus.
“Kak Alvin harus nikahin aku,” lanjutnya. Deg! Mendengar itu, Alvin terlihat sangat syok dan langsung menatap Sivia dengan sorot mata menolak.
“Nikahin kamu?” ucapnya sembari bangkit.
“Gak, gak akan! Aku belum siap menikah. Aku belum siap jadi seorang ayah. Aku belum siap, Vi.”
Please, kak. Aku mohon banget sama kak Alvin. Aku gak mau menanggung resikonya sendirian. Aku butuh kamu, kak.” kata Sivia dengan menggenggam lengan Alvin penuh harap.
“Tapi aku belum siap menikah. Aku masih SMA, aku masih mau menikmati masa mudaku. Aku gak mau menjadi ayah, Vi. Kamu ngertiin dong!” respon Alvin dengan membalas genggaman tangan Sivia. Sivia refleks menggeleng. Air matanya semakin deras mengalir. Sangat kecewa dengan sikap Alvin yang seperti itu.
Please, kak. Aku mohon. . .” dengan cepat ia memeluk tubuh Alvin erat.
“Gimana kalau kita gugurin aja kandungan kamu itu. Dengan begitu masalah ini cepat selesai. Kamu mau kan, Vi?” tawar Alvin sekenanya.
“Maksud kak Alvin aborsi?”
“Iya, kamu mau kan? Demi kebaikan kita, Vi.”
“Enggak! Aku gak mau lakuin itu. Itu sama aja ngebunuh, kak.”
“Tapi itu jalan terbaik buat kita. Kamu mau keluarga kita malu karena salah satu anggotanya menikah muda karena hamil duluan? Enggak kan?” timpal Alvin langsung.
“Lebih baik kita menanggung malu daripada kita harus membunuh kan, kak? Lagian anak ini titipan dari Tuhan, gak punya dosa.”
“Ck! Kalau emang kamu gak mau ya udah tanggung aja sendiri resikonya. Aku gak mau menikah sama kamu.” tutur Alvin sadis. Tanpa peduli lagi sama Sivia, ia melangkah pergi dari kekasihnya itu. Dan. . . Bruk! Sivia bersimpuh di kedua kaki Alvin saat Alvin belum jauh melangkah.
“Kak Alvin jangan tinggalin aku! Aku mohon, aku gak mau menanggung resiko ini sendirian.”
“Lepasin Sivia, lepasin!”
“Aku mohon kak, aku mohon. . .” pintanya semakin lirih.“Sekali lagi aku bilang, aku gak mau nikah! Meskipun kamu mohon-mohon seperti itu, aku tetep gak mau. Lepasin Via, lepasin!” bentak Alvin kalap. Dan dengan sekali hentakan, tubuh Sivia pun terjungkal ke belakang. Lantas ia pergi begitu saja tanpa mempedulikan kekasihnya sama sekali. Entah setan apa yang sudah merasuki raga Alvin saat itu. Benar-benar kejam.
“KAK ALVIN TUNGGU!!!” teriak Sivia yang sudah tak kuasa lagi untuk berdiri. Alvin tetap tak bergeming. Ia terus melangkah dengan cepat. Ditambah suasana taman sekitar yang cukup sepi itu membuat Alvin lebih leluasa bersikap tak acuh dengan Sivia yang sudah menangis darah.

Flashback Off.

“Gue bener-bener jahat!” geram Alvin seketika. Kesepuluh jemarinya meremas keras rambut hitam di kepalanya. Entah kenapa baru sekarang Alvin menyadari hal itu setelah kurang lebih dua tahun belakangan ia berlaku masa bodoh bahkan menyesal pun enggan dengan sikapnya tersebut kepada Sivia. Alvin pun tertunduk kembali, tak terasa ada beberapa bulir air yang menetes di atas jejeran tuts piano.
“ARRRGGGHHH!!!”

***


“Hallo? Ada apa, Vin?”

“......”

“Oh, bisa dong. Minta tolong apa?”

“......”

“Oh gitu. Ya udah entar gue bilangin. Kebetulan gue lagi sama Zea nih. Mau ngomong langsung gak?”

“......”

“Hahaha. Kaya orang penting aja loe, Vin.”

“......”

“Oke sip, sama-sama.”

Dan. . . Klik! Rio mengakhiri sambungan teleponnya dengan Alvin.
“Ada apaan, Yo? Kok nyebut-nyebut nama gue?” tanya Zea setelah ia terdiam sejenak saat Rio bertelekomunikasi dengan Alvin tadi.
“Tadi Alvin bilang katanya dia mau pinjem ponsel loe sehari lagi, soalnya hari ini dia gak masuk kuliah.” jawab Rio seraya kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celana.
“Oh, emang kenapa dia gak masuk? Tumben banget,” tanya Zea lagi penasaran. Aksinya yang tadi bermain game di laptop Rio pun ia hentikan sejenak.
“Gak tau juga tuh, katanya sih ada urusan gitu.”
“Oh, udah kaya orang penting aja tuh anak.”
“Yah, begitulah. Namanya juga Alvin. Oh iya, gimana loe menang gak? Jangan bilang loe kalah?” ujar Rio yang kini langsung berubah topik pembicaraan, ke topik awal sebelum Alvin telepon tentunya.
“Wuih, menang dong ya! Gue kan pinter,” seru Zea menyombongkan diri. Mendengar itu, Rio pun memajukan bibir bawahnya.
“Iya deh iya loe emang pinter. Sini-sini gantian, gue pengen nyoba.” lantas dengan sangat sigap Rio mengambil laptop miliknya dari kuasa Zea.
“Emang loe bisa gitu, Yo? Game ini kan cuma buat orang yang IQ-nya tinggi doang.”
“MAKSUD LOE?”
“Hahaha.”
“Tawa pula loe ah!”
“Canda Yo, canda. Elah,”
“Diem loe Ze, gak usah bacot! Gue mau serius nih,”
“Iye-iye gue diem. Ish!”
“Cakep!” kata Rio seraya menempelkan jempolnya ke hidung Zea. Membuang wajah gadis itu ditekuk seketika.

***


Oh maafkanlah, oh maafkanlah. . .


Jam masih menunjuk ke angka sembilan saat Alvin melirik arlojinya. Cukup gelisah. Karena sedari tadi langkahnya mondar-mandir tak jelas di depan pintu sebuah rumah. Kadang ia menarik napas panjangnya kuat-kuat saat tangannya hendak mengetuk pintu tersebut. Tapi entah kenapa untuk kesekian kalinya Alvin membatalkan hal itu. Sampai ia kembali mondar-mandir tak jelas seperti setengah jam yang lalu.

“Bentaran doang, mau nyiram bunga dulu!”

Sedetik, setelah satu kalimat itu terdengar di telinganya, Alvin mendadak gelagapan.
“Suara itu?” gumamnya seketika.
Please, jangan keluar dulu! Gue belum siap,” rutuk Alvin pelan. Tangannya pun cukup bergetar begitu melihat hendel pintu yang mulai bergerak dan daun pintu yang sedikit demi sedikit terbuka.
“Ss. . . Si. . . Sivia?” seperti orang yang kehabisan napas, Alvin berucap dengan susah payah saat seorang gadis cantik berambut ikal itu muncul dari balik pintu. Sivia.
“Ka. . . Kamu?!” sama seperti Alvin, Sivia yang baru saja keluar rumah dengan membawa seember air pun langsung dibuat syok begitu sosok Alvin tertangkap oleh wilayah pandangnya. Sosok pria yang ia ingat sebagai pria paling pengecut satu-satunya di dunia ini. Lantas dengan refleks ember berisi air itu jatuh di dekat kakinya.
“Sivia,” sekali lagi Alvin bergumam. Sedangkan Sivia masih saja terdiam. Mulutnya seakan terkunci begitu saja ketika ia menatap mata Alvin. Tiba-tiba merasa sesak. Emosi. Geram. Muak. Bercampur aduk menjadi satu. Bahkan mungkin saking bencinya Sivia kepada Alvin, sampai tak ada lagi ruang kebaikan untuk Alvin di dalam hatinya.

Seketika, saat semua rasa-rasa itu memuncak, Sivia mengusap cepat air matanya yang hendak jatuh dan langsung membalikan badan seraya mencoba menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat.
“Sivia, tunggu!” cegah Alvin sigap. Pintu yang hendak tertutup itu ia tahan meski ia harus merelakan setengah badannya terjepit.
“Pergi! Mau ngapain kamu ke sini?!” usir Sivia ketus. Ia tetap menekan daun pintu tanpa mempedulikan Alvin sedikitpun.
“Vi, tolong beri aku kesempatan buat ngomong sesuatu sama kamu. Please,”
“Gak ada yang perlu diomongin lagi. Semuanya udah selesai.” ujar Sivia cukup sinis.
“Aku mohon,”
“Pergi! Jangan pernah ganggu kehidupan aku lagi! Aku mohon kamu pergi dari sini! Pergiiiiiii!!!” usir Sivia lagi-lagi. Kali ini ia berusaha mendorong tubuh Alvin yang mengganjal usahanya untuk menutup pintu.
“Aku gak akan pergi sebelum aku diberi kesempatan buat ngomong. Setidaknya buat minta maaf,” ungkap Alvin tetap berusaha. Namun Sivia tak langsung merespon. Ia tiba-tiba terdiam begitu saja. Dadanya semakin terasa sesak. Terlebih saat telinganya mendengar kata maaf dari mulut Alvin.
“Gue mau minta maaf,” lirih Alvin kali ini.
“Apa kamu bilang? Maaf? Kamu bilang maaf?! Apa aku gak salah denger?” satu kalimat yang diucapkan Alvin tersebut membuat Sivia kembali membuka pintu dibarengi dengan dilontarkannya pertanyaan-pertanyaan membunuh dari gadis tersebut.
“Aku bener-bener minta maaf sama kamu, Vi. Aku bener-bener berdosa.” ujar Alvin seraya bersimpuh di kaki Sivia. Meski Sivia hendak menghindar, tetapi rangkulan tangan Alvin di kakinya terlalu kuat. Membuatnya sulit bergerak.
Please, maafin aku!”
“Lepasin! Jangan pernah sentuh tubuhku sedikitpun! Lepasin!”
Please Sivia, please! Aku mohon banget sama kamu.” lirih Alvin kali ini. Sivia menggeleng sambil sinis mendengarnya.
“Aku gak mau jatuh ke lubang yang sama. Aku sudah merasakan sakit yang bener-bener sakit. Dan aku gak mau lagi rasain itu. Kamu ngerti gak sih?!"
"Tapi apa salahnya kalau aku minta maaf sama kamu, Vi? Please, maafin gue."
"Loe itu denger apa yang gue bilang gak sih?! Gue gak mau ada urusan lagi sama loe. Ngerti?!" sedikit berganti gaya bahasa, Sivia juga memasang wajah amarahnya lagi sebagai bukti kalau ia sangat murka dengan pria yang bersimpuh di kakinya itu.
"Vi. . ."
"LEPASIN KAKI GUE!!! PERGI SEKARANG JUGA DARI RUMAH INI KALAU LOE GAK MAU BIKIN GUE JADI TAMBAH BENCI SAMA LOE. Pergi Vin, pergi!" usir Sivia spontan dengan tendangan kakinya yang sedikit membuat Alvin terjungkal. Lantas Alvin langsung bangkit.
"Loe gak tau apa yang gue rasain waktu itu. Loe gak tau, Vin!" ungkap Sivia kembali lemah. Air matanya yang menggenang pun belum berani jatuh mengaliri pipi.
"Sakit banget tau Vin, sakit!" lanjutnya seraya memegangi dada. Lantas Sivia menunduk, membuat memberanikan diri untuk mendekat dan memeluk erat gadis cantik tersebut. Alasannya cuma satu, berusaha untuk menghentikan keluh kesah dan emosi Sivia yang begitu menyakitkan baginya.
“Vi, denger gue, gue bener-bener menyesali apa yang pernah gue lakuin dulu ke elo. Makanya gue ke sini buat minta maaf sama loe. Gue. . ." ucap Alvin dengan memegang kepala belakang Sivia yang sedari tadi menggeleng sebagai tolakan akan ucapan Alvin.
"Gue mohon loe jangan ganggu kehidupan gue lagi, Vin. Please,” meski tangannya sudah mencoba untuk menepis pelukan Alvin, Sivia akhirnya menjatuhkan juga kepalanya di pundak Alvin. Sudah terlalu lelah mengungkit-ungkit rasa sakit yang pernah dirasakannya dulu.
“Aku emang jahat sama kamu, Vi. Aku pecundang! Tapi aku mohon dengan sangat sama kamu, beri aku kesempatan kedua untuk aku menebus semua dosa-dosaku sama kamu. Demi anak kita,” ujar Alvin yang semakin melirih di kalimat-kalimat akhir. Namun tiba-tiba. . .

Plak!

Sivia menampar keras pipi Alvin setelah sebelumnya ia melepaskan pelukan pria tersebut.
“Anak kita? Loe bilang anak kita?! Setelah dua tahun loe menghilang dan membiarkan gue mengurus kandungan gue sendirian, loe bisa-bisanya bilang itu anak kita? Enggak! Loe gak berhak mengaku sebagai ayah dari anak gue. Ngerti?!” tukas Sivia kembali amarah.
“Tapi, Vi?”
“Lebih baik sekarang loe pergi dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi ke sini! Gue udah muak lihat muka loe. Pergi Vin, pergi!” dengan mata merahnya Sivia mengusir kasar Alvin untuk enyah dari rumah sederhananya. Dan bahkan saking kerasnya gadis itu berteriak, sampai-sampai seorang pria berwajah tampan mulai memperlihatkan sosoknya dengan menuruni tangga seraya menggendong seorang anak kecil di lengan kanannya.

Sejenak, pria tersebut menghentikan langkahnya saat menginjak anak tangga terakhir. Bingung sendiri melihat Sivia dengan seorang pria yang kini berdiri dua langkah dari Sivia.
“Sayang, ini ada apa? Tadi aku denger ada yang teriak-teriak sambil nangis-nangis gitu sih? Pria itu siapa?” tanyanya super heran. Sontak hal itu membuat keduanya tercengang, terlebih Alvin. Matanya pun entah kenapa langsung terfokus pada seorang anak yang digendong oleh pria yang memiliki panggilan khusus kepada Sivia itu.
“Dia bukan siapa-siapa! Lebih baik kamu usir dia sekarang sebelum dia berbuat yang macem-macem.” ujar Sivia dengan cepat menggendong bayi tadi dan langsung lari menaiki tangga. Membuat pria itu menatap Sivia penuh heran.
“Sivia, tunggu!!!” teriak Alvin sambil bangkit mengejar Sivia. Namun percuma saja karena aksinya tersebut langsung dihalang oleh pria tadi. Membuat Alvin sedikit berontak.
“Tunggu, anda siapa?” tanyanya skeptis.
“Lepasin! Saya ingin bicara dengan Sivia.” ungkap Alvin tetap memaksa.
“Iya, tapi anda siapa? Dan ada hubungan apa anda dengan istri saya?” tanya pria itu lagi. Glek! Alvin seketika menelan ludahnya secara paksa.
“Istri?” ucapnya cukup syok.
“Iya, Sivia itu istri saya. Sebenarnya anda ini siapa?”
“Terus anak itu?” bukannya menjawab, Alvin malah balik bertanya seraya melihat ke arah Sivia berlari tadi dengan sedikit demi sedikit melangkah mundur.
“Dia anak saya dan Sivia. Tapi sebentar, tolong jelaskan anda ini siapa? Apa maksud kedatangan anda ke rumah ini?” Alvin tetap tak menjawab. Ia terlalu tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tersebut.
“Gak mungkin! Loe bukan suami Sivia! Dan anak itu bukan anak loe, itu anak gue! Loe bohong! Sivia, keluar!” seperti kerasukan iblis, emosi Alvin kembali memuncak. Mencoba menerobos tubuh pria tadi untuk menemui Sivia dan anaknya di lantai atas.
“Dasar orang gila!” geram pria itu sembari tetap menahan Alvin yang sangat berontak. Bahkan dengan cepat ia melakukan reaksi yang sama seperti Alvin.
“Cepat keluar dari rumah saya! Anda jangan coba-coba bikin keributan di rumah ini. Pergi!” dan brak! Pintu ditutup dengan keras dan dikuncinya setelah beberapa detik pria itu berhasil membawa Alvin keluar.
“Sivia, buka pintunya!” teriak Alvin sambil memukul pintu berkali-kali. Suaranya pun sudah mulai habis.
“Sivia, buka pintunya!” sekali lagi Alvin berucap. Kali ini terkesan melemah. Lantas kepalanya ia tundukan pasrah.
“Sivia. . .”

***


Suasana kamar terlihat seperti tak terurus. Berantakan. Banyak barang-barang berserakan di mana-mana. Dan bahkan ada juga beberapa pecahan kaca di dekat pintu kamar tersebut.
“Bajingan!!! Aaarrrggghhh!!!” suara benda pecah kembali terdengar bersamaan dengan keluarnya suara tersebut dari mulut seseorang. Seseorang yang wajahnya terlihat sangat lecek dan rambutnya berantakan tak jelas. Siapa lagi kalau bukan. . . Alvin.

Ya, Alvin kini terduduk lesu di pojokan tempat tidurnya. Menyatukan kepala dengan kedua lututnya dengan sedikit napas yang memburu. Benar-benar terlihat sangat depresi saat itu. Ditambah dengan suasana kamarnya yang seakan menggambarkan suasana hatinya detik itu juga.
“Loe bego Vin, loe bego! Kenapa dulu loe tega banget ninggalin cewek yang sebenernya loe sayang hah?! Loe itu manusia paling pengecut di dunia ini! Bahkan loe dengan seenaknya kabur dari masalah yang loe buat sendiri. Loe kejam, Vin. Loe gak bertanggung jawab!” geramnya pelan. Rasa sesal yang menderanya cukup membuat Alvin gila setengah mati. Apalagi kalau teringat wajah Sivia yang penuh amarah saat di rumahnya pagi tadi.

Sampai akhirnya Alvin mendongakan wajahnya pelan. Memandang tempat sekitar dengan tatapan kosong. Kemudian ia bangkit dari duduk pasrahnya, terdiam sejenak sambil menarik napas sebelum akhirnya ia melangkah mendekati jendela. Tepatnya mendekat ke arah piano besar berwarna hitam pekat yang ada di samping jendela kamarnya.
“Sivia, mungkin di hati loe gak ada ruang maaf sedikitpun buat gue. Tapi percayalah, gue bener-bener menyesal dengan semua hal buruk yang pernah gue berikan ke loe. Gue menyesal,” lirih Alvin sembari menyentuh tuts-tuts piano dengan lembutnya tanpa berbunyi.
“Dan ini, sebuah nada yang bisa mewakili perasaan gue saat ini. Semoga angin bisa menyampaikan ini buat loe yang pernah gue sakiti. Sivia.” Alvin menarik napas panjang setelahnya. Dan memandang jejeran hitam putih itu dengan lekat sebelum ia menekannya dengan sedikit tenaga. Alvin pun mulai bernyanyi.


Rasa sesal di dasar hati
Diam, tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini?
Pernah ku mencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Sorry, and Happy Birthday!

Sudah hampir dua jam sang hujan turun dengan kompaknya mengguyur bumi. Cukup deras. Namun tetap saja warna langit di atas sana belum juga berniat untuk merubah warnanya menjadi lebih terang. Malahan sekarang warnanya semakin menghitam. Pekat. Memberi tanda kalau hujan akan lebih lama lagi turun ke bumi. Lantas cuaca yang cukup ekstrim tersebut membuat segala aktivitas yang seharusnya terjadi di sore itu terhenti seketika. Tak perduli sepenting apapun aktivitasnya, yang jelas hujan deras di sore hari pada akhir pekan ini sudah berhasil mengurung niat para manusia untuk melakukan kegiatan.

Di dalam sebuah ruangan, seorang gadis remaja duduk di samping sebuah ranjang yang berada di dekat jendela. Kepalanya menunduk dengan kondisi kedua tangan memegang erat kelima jemari milik seorang anak laki-laki yang sedang tidur terlentang tak jauh di depannya dengan hidung yang tertutup oleh alat bantu napas serta selang infus yang juga menempel di tangan kanan laki-laki tersebut. Entah apa yang sedang dilakukan gadis remaja itu, yang pasti semenjak hujan belum turun pun ia sudah melakukan aktivitas yang sama sebelumnya.

Dan perlahan, ia mengangkat pelan kepalanya. Lalu menatap iba wajah pucat seseorang yang tubuhnya terbujur lemah itu.
"Sayang, harus berapa lama lagi aku menunggu kamu membuka mata?" ucapnya lirih dengan suara yang sedikit serak.
"Aku lelah, aku udah gak kuat lagi seperti ini. Karena tanpa kamu, aku bukanlah orang yang kuat. Sayang, aku mohon, buka mata kamu untuk aku." gadis itu kembali menunduk setelah dirasa laki-laki itu belum juga menuruti kemauannya untuk membuka mata. Atau lebih tepatnya bangun dan sadar dari koma yang menjerat tubuhnya selama seminggu ini.
"Aku gak bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai ada sesuatu buruk terjadi sama kamu. Aku bener-bener gak bisa maafin!" lalu ia menangis. Bayang-bayang terakhir saat ia bersama laki-laki yang begitu disayanginya tersebut muncul tiba-tiba di benaknya.
"Kamu bodoh, Sivia! Kamu bodoh!!!" rutuknya kemudian sambil mengacak rambut hitamnya berkali-kali.
"Kalau aja waktu itu aku gak maksa kamu buat duel main basket, mungkin kejadiannya gak akan seperti ini. Maafin aku ya, sayang? Maafin aku. Kamu bangun dong, sayang! Apa kamu gak kangen aku? Atau kamu sengaja gak bangun-bangun karena kamu gak suka sama sikap aku yang egois dan childish selama ini? Sayang, jawab dong!" gadis yang mengaku bernama Sivia itu semakin menggenggam erat jemari laki-laki yang sudah lima hari ini tidak bisa mewarnai kehidupannya lagi. Di mana lima hari yang lalu, saat dirinya masih bisa menghabiskan waktu bersama dengan sang kekasih di lapangan basket sekolah, peristiwa yang tak pernah di duga Sivia sebelumnya itu terjadi begitu saja. Dan bahkan sampai sekarang pun, Sivia masih bisa dengan jelasnya mengingat peristiwa tersebut secara rinci.

Saat itu, sepulang latihan cheers, Sivia menghampiri kekasihnya yang sedang duduk sendiri sambil memandangi beberapa temannya berlatih basket di tengah lapangan. Dan dengan pom-pom warna-warni yang dibawanya itu ia gunakan untuk menutup mata laki-laki tersebut dari belakang.
"Aku udah gak mempan lagi dikerjain seperti ini." Sivia menghela napas kemudian. Niat awalnya untuk mengerjai sang kekasih pun gagal total. Lantas ia langsung duduk di samping kekasihnya itu sambil memasang wajah manjanya. Laki-laki itu bernama Alvin. Arkenzie Alvino tepatnya.
"Hmm... kamu siapa ya?" tanya Alvin cukup sinkron dengan ekspresi mukanya yang seakan belum pernah sama sekali melihat Sivia sebelumnya. Sontak membuat gadis yang duduk di dekatnya itu mengernyitkan dahi.
"Ih, apaan sih?! Aku Sivia, pacar kamu!" kemudian Alvin menyipitkan mata sambil meneliti setiap titik pori-pori wajah Sivia.
"Sivia? Pacar aku yang nyebelin itu? Tapi kok beda ya? Perasaan pacar aku itu cantik, kok ini jelek sih?" ledeknya kemudian dengan disertai sebuah tawa kecil. Sivia lantas menggeram mendengarnya, kedua pom-pom yang sejak tadi ia pegang pun dilempar ke arah dada Alvin perlahan. Sebagai balasan atas ledekan Alvin tersebut.
"Nyebelin banget sih jadi orang?!"
"Hehehe. Bodo! Toh lagian suruh siapa tuh muka pakai acara ditekuk segala? Makin jelek aja." dan lagi-lagi Alvin meledek. Namun kali ini hidung Sivia yang menjadi sasaran empuknya.
"Sakit, jeleeeeeekkkkkk!!!" rengek Sivia sambil mencoba melepaskan paksa tangan Alvin dari hidungnya.
"Kamu ini yang sakit, bukan aku."
"Tau ah!"
"Ih, ngambek nih? Aku pergi ah! Mau cari pacar baru." kata Alvin asal. Ternyata meledek Sivia itu sudah menjadi hobi barunya kali ini.
"Ya udah sana cari pacar baru!" timpal Sivia cukup sinis.
"Serius? Gak bakal nyesel?" sedetik, setelah dua pertanyaan dari mulut Alvin tersebut terucap, Sivia langsung sigap mengaitkan tangannya ke tangan Alvin. Berusaha untuk mencegah Alvin bangkit dari duduknya.
"Enak aja mau cari pacar baru! Dapetin pacar kaya kamu itu susah tau?! Masa iya mau dilepasin gitu aja?" ucapnya kemudian. Kontan Alvin langsung tersenyum mendengarnya. Dan entah kenapa rasa bahagia muncul tiba-tiba saat perkataan dari Sivia tadi berhasil mengusik gendang telinganya. Lalu Alvin mengacak pelan poni kekasihnya tanpa berkomentar lagi.

Mereka pun menghening seketika. Gerombolan anak-anak basket yang sedang berebut bola pun menjadi pusat pandangan mereka saat ini.
"Oh iya, kok kamu gak ikut latihan sih?" tanya Sivia yang baru sadar akan sosok Alvin yang seharusnya berada di antara mereka. Sedangkan sekarang Alvin malah asyik duduk-duduk santai di sampingnya.
"Sayang?"
"Iya?"
"Kamu kok gak ikut latihan sama mereka? Kenapa?" sekali lagi Sivia bertanya. Kali ini ia alihkan tatapan matanya ke arah Alvin.
"Oh, gak apa-apa kok, sayang. Aku lagi gak enak badan aja." jawab Alvin kemudian.
"Oh ya? Kamu sakit? Kok tumben sih sakit? Belum makan? Atau semalem abis begadang?" Alvin terkekeh dibuatnya. Pertanyaan bertubi-tubi yang dilayangkan Sivia tersebut cukup membuktikan kalau dirinya benar-benar diperhatikan oleh gadis cantik berambut panjang tersebut.
"Mungkin cuma kecapekan doang. Kamu tenang aja ya, gak usah khawatir. Karena seburuk apapun kesehatan sang pangeran, ia akan tetap kuat selama ada permaisuri di sampingnya." ungkap Alvin tulus. Dan itu berhasil membuat Sivia tersenyum dengan tatapan kagum kepadanya.
"Kamu itu bisa aja sih, sayang? Hmm... ya udah kalau gitu, kita main basket berdua yuk? Mumpung mereka pada istirahat." ajak Sivia ketika melihat lapangan yang mulai kosong. Namun tanpa berpikir panjang lagi, Alvin cepat-cepat menggeleng. Mencoba menolak permintaan kekasihnya tersebut.
"Enggak ah, sayang. Aku lagi gak enak badan nih, males gerak."
"Kan cuma main basket sama aku doang? Ya, itung-itung olahraga biar sehat lah. Ayo dong, sayang! Mau ya? Aku pengen banget lho main basket sama kamu, apalagi sampai diajarin. Kan romantis?" Sivia tetap kekeh merayu Alvin walaupun sudah jelas-jelas tadi Alvin menolak.
"Enggak bisa, sayang. Aku..." dan belum juga Alvin selesai bicara, Sivia langsung melepaskan genggaman tangannya dan kembali duduk sambil membelakangi kekasihnya.
"Kamu gitu deh sama aku." seketika Alvin membuang napas gusar. Kalau Sivia sudah bersikap seperti itu, rasanya Alvin tak bisa lagi berbuat banyak. Lantas mau tak mau ia harus menuruti permintaan gadis tercintanya itu.
"Ya udah deh ya udah, aku mau kok. Kamu jangan ngambek ya? Ayo!" ucap Alvin seraya meraih lengan Sivia lembut.
"Nah, gitu dong! Kamu kan pacar aku yang paling baik, paling ganteng, paling sempurna, paling..."
"Paling suka bohong kalau ada maunya." sambung Alvin asal. Lalu mereka tertawa sambil berjalan menuju sebuah bola yang tergeletak begitu saja di bawah tiang ring basket.

Dan tak lama setelah mendapatkan bola tersebut, Sivia langsung berlari menjauh dari Alvin seraya mendribble bola. Meskipun belum terlalu pandai bermain basket, ia tetap menantang Alvin untuk melawannya.
"Ayo maju, sayang! Buktikan kalau kamu adalah kapten tim basket." suruh Sivia sedikit sombong. Sedangkan Alvin hanya bisa tertawa kecil saja melihat tingkah kekasihnya yang cukup dibilang menggemaskan.
"Oke, siapa takut!" lalu ia melangkah mendekat. Mencoba ingin tau sepintar apa kekasihnya menguasai bola basket.
"Ah, segitu doang? Payah!" lagi-lagi Sivia meledek saat Alvin tak berhasil merebut bola dari tangan Sivia. Padahal itu adalah sebuah taktik dari Alvin, mencoba mengalah terlebih dahulu.
"Kamu bisa juga ya main basket? Aku kira bisanya cuma nari-nari aja di pinggir lapangan." kata Alvin walaupun sedang dalam posisi kuda-kuda untuk melawan rivalnya yang berdiri dua langkah di depan.
"Iya dong! Masa iya pacar aku aja yang bisa main basket? Aku juga harus bisa lah." nada percaya diri dari mulut Sivia keluar bersamaan dengan cepatnya ia menerobos tubuh Alvin tanpa Alvin duga. Sontak Alvin langsung menggeleng salut.
"Itu namanya gaya cinta. Hahaha." lanjut Sivia meledek lagi. Dan dirasa sudah cukup untuk Alvin mengalah, kini saatnya Alvin mengeluarkan jurusnya dalam bermain basket.

Sejenak, Alvin melirik sambil tersenyum terlebih dahulu ke arah Sivia sebelum akhirnya ia berlari mengejar bola yang masih memantul di tangan kekasihnya itu. Dan... hup! Tak kurang dari lima detik, bola itu sudah berpindah dari tangan Sivia ke tangan Alvin.
"Ah, ini terlalu mudah." kali ini giliran Alvin yang meledek Sivia. Dan kemudian bola itu ia putarkan di salah satu jarinya. Lalu tersenyum.
"Ih, kok bolanya bisa cepet di tangan kamu sih?"
"Bisa dong! Ini namanya gaya aku cinta kamu. Hahaha." seperti boomerang, semua ledekan yang Sivia ucapkan tadi kepada Alvin, kini balik menyerang dirinya.
"Oke, baru pemanasan." ujar Sivia yakin. Meskipun ia memakai rok cheers yang benar-benar mini, namun Sivia tetap lihai berlari.
"Aih! Gak kena!" kata Alvin sambil memutar tubuhnya saat Sivia hendak merebut bola yang masih berputar di jarinya. Sivia kemudian memutar mata, ternyata gelar kapten basket itu memang pantas diraih seorang Alvin.
"Kayanya tadi ada yang sombong deh, tapi kok sekarang diem ya?" tanya Alvin cukup menyindir. Membuat Sivia geram dan kemudian langsung memeluk Alvin dari belakang dan menggelitiki tubuhnya.
"Hahaha. Geli sayang, geli. Hahaha. Lepasin! Hahaha. Udah dong, udah! Hahaha. Siviiiiaaaaaa!!!" dan bola di jari Alvin pun jatuh seketika. Lantas dengan sigapnya Sivia mengambil bola itu dan berlari menjauhi laki-laki yang kini menggeleng heran.
"Aih! Kamu curang!" teriak Alvin. Sedangkan Sivia hanya menjulurkan lidah sebagai balasan.
"Ish! Udah mulai ngeselin ya sekarang?" lanjutnya pelan. Karena entah kenapa kepalanya mulai terasa pusing serta pandangannya pun sedikit demi sedikit memburam.
"Ayo sini maju! Masa mau nyerah sih? Ah, payah!" tantang Sivia lagi-lagi. Alvin tak langsung merespon. Kini giliran lututnya yang terasa lemas. Dan walaupun ia sudah berusaha untuk menahan, rasa sakit di kepala serta rasa lemas di lututnya semakin memberontak. Lantas Alvin menekuk tubuhnya, mencoba menopang tubuhnya sebisa mungkin dengan posisi kedua tangan menyentuh kedua pahanya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Sivia mulai curiga dengan tingkah Alvin itu.
"Aku gak apa-apa kok, say..." bruk! Tubuh Alvin pun tumbang seketika.
"Sayang?!" teriak Sivia yang langsung saja membuang bola tak tentu arah dan kemudian berlari mendekati Alvin yang sudah tergeletak di tengah lapang.
"Sayang, kamu kenapa? Bangun dong, sayang! Kamu jangan becanda! Sayang, bangun! Gak lucu tau?! Tolooooonnnggg!!!" Sivia sontak berteriak keras. Alvin ternyata tidak sedang bercanda jika dilihat dari wajahnya yang sangat pucat.
"Toloooooonnnggg!!!" sekali lagi Sivia berteriak meminta tolong. Sampai teman-teman basket Alvin yang mendengar teriakan Sivia pun langsung berlarian ke sumber suara.
"Alvin?! Alvin kenapa, Vi?" tanya salah seorang di antara mereka yang datang.
"Aku gak tau, Alvin pingsan gitu aja pas lagi main basket sama aku." lirih Sivia cukup sendu. Genangan air di sudut matanya pun mulai tampak.
"Ayo bantu angkat Alvin! Kita bawa dia ke UKS." setelah mendapat komando kecil, tubuh Alvin kini diangkat oleh keempat teman basketnya menuju UKS. Tak lupa juga Sivia yang ikut serta memegangi kepala Alvin yang cukup membikin dada sesak jika melihat wajah pucatnya terus-terusan. Lantas ia menarik napas sejenak sebelum mengusap kening Alvin yang berkeringat dingin.
"Kamu yang kuat ya, sayang?" gumamnya pelan.

Klik! Bayangan yang sangat menyedihkan itu bagaikan film yang terhenti begitu saja di pikiran Sivia saat sebuah sentuhan lembut di pundaknya dapat ia rasakan. Sentuhan dari seorang wanita paruh baya yang kini tersenyum ke arah Sivia yang baru saja membuka mata.
"Via, pasti kamu belum makan kan dari tadi siang? Makan dulu gih, sayang? Tante udah beliin makanan tuh di meja. Biar Tante aja yang gantiin Via buat jagain Alvin." ujar wanita itu sangat manis. Karena beliau mulai merasa tidak tega saat melihat gadis yang telah dianggap sebagai bagian dari keluarganya itu sudah tidak lagi memikirkan kesehatannya semenjak Alvin terkena musibah tersebut.
"Via mau di sini aja, Tante. Mau jagain Alvin terus. Toh Via juga masih kenyang kok, Tante. Soalnya sebelum Via ke sini, Via makan dulu di kantin sekolah." tolak Sivia dengan memberi alasan yang cukup logis.
"Tapi itu kan di sekolah sayang, bukan di sini. Ya udah kalau gitu Tante ambilin aja ya makanannya? Biar kamu bisa makan di sini kalau emang gak mau jauh-jauh dari Alvin." ucap wanita itu lagi yang tak lain adalah orang tua Alvin. Yang Sivia panggil dengan sebutan Tante Sonia.
"Gak usah, Tante." sambung Sivia dengan memegang tangan Tante Sonia yang hendak melangkah pergi. Beliau menghela napas kemudian. Mulai sedikit memahami dengan sikap Sivia yang seperti itu.
"Hmm... Via, Tante tau kok gimana perasaan kamu akhir-akhir ini. Kamu sedih kan melihat keadaan Alvin seperti itu? Kamu menyesal, dan bahkan mungkin kamu marah karena merasa kamulah penyebab dari musibah ini. Tapi menurut Tante ini semua udah jalan Tuhan, gak perlu disesali. Apalagi sampai kamu menyiksa diri seperti ini. Nanti kalau kamu sampai sakit, gimana? Siapa yang mau jagain Alvin?" Sivia terdiam mendengarnya. Semua kata-kata Tante Sonia memang benar. Lantas ia tersenyum kecil.
"Tante bener. Kalau Via sampai sakit, nanti Via gak bisa jagain Alvin lagi kan, Tante?" ucap Sivia lirih. Sedangkan saat mendengar itu, Tante Sonia hanya bisa tersenyum sambil mengelus pelan rambut Sivia dengan penuh kasih. Beliau merasa sangat bangga karena ada salah seorang gadis cantik yang begitu menyayangi Alvin melebihi dirinya sendiri selaku orang tuanya.

Lantas Sivia bangkit dari duduknya dan menatap sejenak wajah wanita paruh baya yang selalu tersenyum tulus itu.
"Makasih ya, Tante?" ucapnya tiba-tiba. Tante Sonia tak lantas merespon, beliau hanya mengedipkan matanya lembut sambil kemudian mengangguk.
"Jagain Alvin terus ya, Tante? Via mau makan dulu." lagi-lagi Tante Sonia mengangguk saat gadis cantik itu kembali berkata.
"Maafin Tante ya, Via? Tante terpaksa lakuin ini." dan saat Sivia mulai berjalan keluar, Tante Sonia bergumam sambil terus menatap punggung Sivia yang semakin jauh.

***


Sivia berhenti dari langkahnya, "Ih, lucu! Aku mau dibeliin boneka itu dong, sayang?" pintanya kemudian saat ia melihat sebuah boneka panda super besar berwarna merah muda yang terpajang di salah satu toko boneka yang dilewatinya bersama Alvin.
"Lho? Gimana sih? Tadi katanya minta dibeliin ice cream, kok sekarang jadi boneka? Yang bener yang mana?" tanya Alvin heran. Karena memang baru saja satu menit yang lalu Sivia memaksa Alvin untuk membeli ice cream kesukaannya, tapi sekarang malah sudah berubah permintaannya.
"Ngg... kalau dua-duanya boleh enggak, sayang?" jawab Sivia setelah berpikir cukup lama. Sorot mata mengiba pun tak lupa Sivia tunjukkan di hadapan Alvin. Mungkin hanya hal itulah yang mampu ia lakukan untuk meluluhkan hati seorang Alvin.
"Kamu ini paling bisa ya bikin aku pantang menolak?" tak lama Sivia pun tersenyum saat sebuah cubitan manja mendarat di pipi kanannya. Karena kalau Alvin sudah bilang seperti itu, berarti Alvin mau mengabulkan apa yang tadi Sivia pinta.
"Makasih ya, sayang? Kamu baik deh!"
"Kalau ada maunya aja bilang aku baik, dasar jelek!" tukas Alvin dengan nada bercanda. Sedangkan Sivia langsung mengaitkan tangannya kembali ke tangan Alvin tanpa berniat menimpali tukasan kekasihnya tersebut.

Dan kemudian bayangan itu melenyap kembali di benak Sivia saat sebuah suara mengusik gendang telinganya. Panggilan dari sahabat kecilnya, Ify Clarissa. Gadis yang limabelas menit yang lalu mengajaknya ke kantin. Gadis yang sepuluh menit yang lalu membelikannya sebuah ice cream. Dan ice cream dari gadis tersebutlah yang tadi berhasil membuat Sivia termenung, mengingat kembali masa-masa indah seminggu yang lalu saat ia diberikan ice cream yang sama oleh Alvin. Dan bahkan bukan cuma ice cream yang ia dapat, boneka panda super besar juga dapat ia peluk saat itu.
"Kamu ngelamunin Alvin lagi ya, Vi?" setelah dirasa Sivia sudah cukup sadar dari lamunannya, Ify pun bertanya.
"Ice cream ini ngingetin aku sama Alvin, Fy. Aku kangen sama dia, aku kangen dibeliin ice cream lagi sama dia. Aku kangen," cukup lirih Sivia berkata. Membuat Ify merasa sedikit tak enak hati kepadanya.
"Kamu yang sabar ya, Vi. Karena aku yakin kalau Alvin gak akan tidur lama-lama lagi, dia bakal bangun buat kamu, buat ngasih ice cream itu lagi yang jauh lebih spesial." balas Ify memberi semangat kepada sahabat kecilnya itu. Orang yang tau baik-buruknya Sivia dan juga orang yang paling mengerti Sivia di kehidupan luar selain Alvin.

Lantas Sivia tersenyum begitu Ify mengusap pundaknya. Karena sebelumnya ia juga sudah yakin kalau yang tadi dikatakan Ify tersebut akan terjadi. Walaupun entah itu kapan, tetapi yang jelas Sivia selalu yakin kalau itu akan terjadi. Ya, terjadi.
"Makasih banyak ya, Fy? Kamu memang sahabat aku yang paling baik." ujarnya seraya menyandarkan kepala di bahu Ify.
"Makasih juga ya, Vi? Toh kalaupun saat ini aku yang berada di posisi kamu, mungkin kamu akan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan ke kamu sekarang. Karena menurut aku, seperti itulah sahabat." kata Ify seraya tangannya memutar-mutar ice cream yang sudah sedikit meleleh.
"Hai semuanya! Lagi pada ngapain nih? Makan ice cream ya? Wuih... bagi aku dong!" sedetik setelah Ify berhenti berbicara, seorang siswa tiba-tiba datang dengan sedikit menyapa dan serta-merta langsung mengambil ice cream yang ada di genggaman Sivia tanpa izin terlebih dahulu. Terkesan tidak sopan sih, namun perilaku seperti itulah yang biasa Sivia dan Ify dapatkan acapkali siswa tersebut menemui mereka. Dan walaupun kadang suka kesal dibuatnya, namun Sivia dan Ify tetap tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena memang seperti itulah ia, mau diapakan lagi?

Siswa itu bernama Cakka, Cakka Raditya, sepupu dari Alvin. Salah satu member tim basket di sekolahnya. Bahkan ia pernah menjabat sebagai kapten tim juga sebelum akhirnya berpindah tangan kepada Alvin.
"Oh iya, menurut kalian berdua aku itu pantes gak sih punya pacar? Kok perasaan di sekolah ini gak ada yang mau ya sama aku? Apalagi sih yang kurang dari aku? Ganteng, iya! Tajir, iya juga! Kurang apalagi coba?" cibir Cakka di tengah-tengah kegiatannya memakan ice cream. Dan itu cukup membuat perasaan Sivia yang tadi sempat sedih pun berubah drastis begitu mendengar Cakka mencibir.
"Satu lagi tuh yang kurang," timpal Sivia sambil memberi kode ke Ify.
"Apa tuh, Vi?"
"KURANG SOPAN!!!" glek! Cakka terpaksa menelan mentah-mentah ice cream yang ada di pangkal tenggorokannya. Dua kata yang keluar dari mulut mereka berhasil membuat Cakka tak bernafsu lagi dengan ice cream yang kini tinggal setengah itu.
"Ya, kalau itu kan cuma berlaku buat kalian berdua doang." respon Cakka setelahnya.
"Tapi kita berdua itu wakil dari semua cewek yang ada di sekolah ini, Cakka! Iya kan, Vi?" lantas Sivia mengangguk. Sangat menyetujui apa yang dibilang Ify barusan.
"Lagian kalau kamu pecicilan kaya gitu, mana ada sih cewek yang mau sama kamu?" kata Sivia. Cakka membuang napas mendengarnya.
"Nyesel deh aku curhat sama kalian berdua. Aih!" lirihnya pasrah. Sedangkan Sivia dan Ify malah terkekeh hebat begitu melihat raut wajah Cakka yang berubah total dari sebelumnya.
"Udah, gak usah dipikirin! Kita berdua cuma bercanda doang kok, Kka."
"Hahaha. Iya, kita cuma bercanda doang kok. Toh bukannya kamu gak laku sih Kka, mungkin karena kamu terlalu pilih-pilih aja kali ya? Padahal sebenernya lumayan banyak juga cewek yang suka sama kamu lho. Iya kan, Vi?" sambung Ify kemudian. Sivia langsung mengangguk.
"Masa sih? Kalian gak lagi bercanda kan?" tanya Cakka memastikan.
"Kali ini kita serius. Buktinya aja tiap kali kamu dan kawan-kawan sparing basket, banyak tuh cewek-cewek yang teriakin nama kamu."
"Terus waktu itu juga ada cewek yang minta tanda tangan kamu ke aku. Inget kan waktu aku minta tanda tangan ke kamu? Nah, itu dari penggemar kamu tau?!" sambung Sivia antusias. Dan kali ini wajah Cakka pun kembali berseri. Seakan ada semangat baru untuk segera mengakhiri masa jomblonya.
"Wuih... ternyata aku banyak penggemarnya juga ya? Aku kira cuma kalian berdua aja yang jadi penggemar setia aku. Hahaha."
"Kaya gak ada idola lain yang lebih baik aja." tukas Sivia dengan nada meledek.
"Bener banget, Vi. Lagian nih ya, kalaupun di dunia ini cuma ada kamu sama kambing doang, aku bakal milih Justin Bieber. Hahaha." sambung Ify mulai ngawur.
"Wuuuuuuhhh!!! Gak nyambung!" timpal Cakka semangat. Sedangkan Sivia hanya menggeleng heran ke arah Ify yang kadang suka disconnection.
"Hahaha." kemudian mereka bertiga tertawa kompak.

Namun semua itu tidak berlaku lama untuk Sivia. Entah kenapa semua peristiwa yang ia alami bersama Alvin sejak empat hari pertama bulan Februari di saat sebelum Alvin koma itu selalu berputar ulang bagaikan sebuah piringan hitam di otak Sivia. Seperti sekarang, ketika telinganya mendengar kata Justin Bieber dari mulut Ify, tiba-tiba otak Sivia kembali memutarkan momen-momen lucu saat ia menonton konser sang idola tersebut.

Dan malam itu, Alvin terduduk lemas di sebuah bangku panjang yang letaknya tak jauh dari gedung yang di mana Justin Bieber mengadakan konser di dalamnya. Cukup melelahkan. Sampai Alvin berusaha memijit-mijit betisnya yang lumayan pegal.
"Kalau bukan karena kamu, mending aku milih diem di rumah daripada mesti duduk di kerumunan orang-orang yang udah kaya kesurupan setan gitu." umpatnya pelan. Dua jam berada di dalam sana cukup membuat Alvin stres karena ulah fanatiknya dari para penggemar Justin Bieber tersebut. Dan itu membuat Alvin sangat tidak nyaman.
"Oh my God, Justiiiiiinnn!!! Gila deh keren banget! Aaaaaahhh!!!" histeris Sivia masih tak percaya kalau tadi dirinya melihat sosok sang idola secara langsung. Bahkan saking histerisnya, ia tidak sedikitpun merespon ocehan Alvin sama sekali.
"Oh iya sayang, tadi si Justin lihatin aku mulu tau?! Tatapannya itu lho? Bikin meleleh! Aaahhh!!! Justin, i love you so much deh!" teriak Sivia semakin histeris. Sungguh tak perduli walaupun banyak orang yang berlalu-lalang di depannya.
"Via, udah deh gak usah berlebihan gitu! Belum tentu si Justin itu mikirin kamu kan? Nah, daripada kamu teriak-teriak gak jelas gitu, mending pijitin aku gih! Kan aku cowok kamu, jauh lebih keren daripada Justin." ujar Alvin asal. Intinya ia sudah mulai jengah dengan Sivia yang terus-terusan memuji idolanya.
"Ih, ngarep! Kerenan Justin ke mana-mana lah!" balas Sivia sedikit membanding-bandingkan.
"Oh, jadi lebih milih Justin nih? Ya udah, pacaran aja sana sama Justin! Aku mau cari cewek lain yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih seksi dari kamu." kata Alvin tak mau kalah. Lalu Sivia terdiam, matanya menatap tajam ke arah Alvin.
"Ish! Enak aja mau cari cewek lain. Kamu itu cuma milik aku. Titik!" cegah Sivia ketus. Membuat Alvin tersenyum meledek seketika.
"Masa sih? Tadi katanya masih kerenan Justin ke mana-mana daripada aku. Tapi kenapa giliran aku mau lirik cewek lain malah gak boleh?" Sivia mendesis. Bibir bawahnya pun ia gigit pelan.
"Ya, wajar kan kalau aku histeris? Namanya juga ketemu sama idola yang belum tentu bakal ketemu lagi." tegas Sivia kemudian.
"Oh ya? Terus kalau misalkan kamu suruh milih antara Justin sama aku, kamu bakal pilih siapa?"
"JUSTIN LAH!!!" Alvin lantas memutar mata saat mendengar jawaban cepat dari kekasihnya itu.
"Oh, ya udah kalau gitu." timpalnya malas. Dan tiba-tiba Sivia terkekeh. Benar-benar lucu melihat Alvin cemburu seperti itu.
"Cieee... cemburu. Hahaha."
"Apaan sih?! Enggak!"
"Oh, enggak cemburu? Beneran? Kalau gitu berarti kamu gak cinta sama aku dong? Katanya cemburu itu tanda cinta. Aih!"
"Abisnya kamu nyebelin banget sih!" umpat Alvin datar.
"Ya, maaf. Tadi aku cuma bercanda doang kok. Dan kalaupun Justin itu nomor satu di mata aku, tapi yang nomor satu dan selamanya nomor satu di hati aku ya cuma kamu." ucap jujur Sivia sambil mencubit manja hidung mancung milik Alvin.
"Nah, gitu dong! Kalau kaya gini kan aku jadi makin sayang sama kamu." kini giliran Alvin mencubit pipi Sivia. Lalu mereka balas tersenyum.
"Beneran nih makin sayang?"
"Beneran."
"Serius?"
"Sejuta rius!"
"Gendong aku sampai parkiran bisa dong kalau emang kamu makin sayang sama aku?" pinta Sivia dengan menyuguhkan senyuman termanisnya. Seketika Alvin menelan ludah.
"Ya ampun, sayang. Kamu mau bunuh aku secara perlahan?"
"Lho? Kan aku cuma minta gendong? Masa iya sih bisa ngebunuh?"
"Gimana gak ngebunuh? Dari sini sampai parkiran itu jauh banget, Via cantik. Lagian kalau mau minta sesuatu itu jangan yang aneh-aneh kek." timpal Alvin disertai hembusan napas yang gusar.
"Ya udah deh gak jadi." balas Sivia pasrah.
"Tapi kamu gak ngambek kan?" Sivia pun cepat-cepat menggeleng. Rasanya ia terlalu egois kalau harus memerintah Alvin untuk berbuat ini dan itu. Sedangkan Alvin sendiri tidak pernah meminta apa-apa padanya.
"Aku gak ngambek kok, sayang. Oh iya, aku pijitin ya kakinya?" lanjut Sivia tiba-tiba. Dan itu membuat kening Alvin mengerut hebat. Tidak seperti Sivia yang biasanya.
"Gak usah sayang, gak usah! Aku udah gak pegel kok." tolak Alvin seketika. Namun percuma, Sivia sudah terlanjur mengangkat kedua kaki Alvin dan menaruhnya di atas pangkuan.

Dan baru saja Sivia hendak memijit kaki Alvin, putaran film kehidupan di benak Sivia pun terpotong begitu suara bel berbunyi dengan nyaringnya. Ia mengerjapkan mata kemudian.
"Hmm... aku masuk duluan ya? Matematika nih. Thanks ya buat ice creamnya? Hehehe." pamit Cakka yang langsung berlari meninggalkan Ify dan Sivia. Ify mengangguk membalasnya, sedangkan Sivia masih belum terlalu sadar sedang melakukan apa ia dengan Ify serta Cakka sebelumnya. Jadi ia hanya bisa tersenyum seadanya.
"Ya udah kita juga masuk yuk, Vi?" ajak Ify setelahnya. Dan tanpa bisa menolak, Sivia mengikut saja saat Ify menarik tangannya perlahan.

***


Senja kembali memudar. Bias-bias oranye di ufuk barat pun perlahan menjadi hitam. Merubah siang menjadi malam hanya dalam hitungan detik saja. Segerombolan kelelawar yang kompak keluar dari sarang mereka juga selalu memberi kesan tersendiri tatkala malam tiba. Pepohonan lantas menghening, tak bergerak seperti biasanya. Damai.

Namun faktanya suasana di luar sana tidak terlalu berpengaruh untuk Sivia yang masih dilanda resah. Sudah hampir seminggu ia tak melihat Alvin tersenyum. Yang ada ia hanya melihat Alvin yang terbujur lemas dengan mata tertutup serta sekujur tubuhnya yang didominasi oleh banyak selang-selang kecil. Sangat miris. Wajah pucatnya membuat dada Sivia merasakan sakit yang teramat sakit. Tapi mau bagaimana lagi, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pasrah untuk menunggu kapan kekasihnya itu terbangun dari tidur panjangnya.
"Om?" panggil Sivia ke arah dokter yang menangani Alvin. Dan dokter itu adalah Papanya Alvin sendiri. Dokter Joe panggilannya.
"Ya, sayang?" respon Dokter Joe setelah beberapa detik memeriksa keadaan Alvin.
"Gimana kondisi Alvin, Om? Apa Alvin udah lebih baik?" tanya Sivia penasaran. Dokter Joe lantas mendekati Sivia dan merangkul pundak gadis tersebut.
"Sayang, kamu gak usah khawatir lagi ya? Dalam waktu dekat mungkin Alvin udah bisa siuman. Kita berdoa aja sama Tuhan." ujar Dokter Joe yakin. Ketika mendengar kabar baik tersebut, Sivia langsung menatap tak percaya ke arah Dokter Joe.
"Om gak lagi bohongin Via kan?" Dokter Joe lalu membuang napas. Tatapan Sivia berhasil membuat hatinya terasa perih. Rasa tak tega dan sedih ikut muncul di dalam jiwanya. Namun beliau sudah terlanjur masuk ke dalam skenario yang dibuat keluarganya sendiri.
"Om gak bohong, sayang. Alvin pasti akan segera bangun untuk kita, untuk orang-orang yang disayanginya." jawab Dokter Joe sambil berusaha menahan genangan air di sudut matanya supaya tidak terjatuh.
"Kalau gitu Via mau di sini terus biar pas Alvin bangun nanti, Via lah orang pertama yang Alvin lihat. Gak apa-apa kan, Om?" pinta Sivia lembut. Sorotan matanya kembali memohon. Lantas Dokter Joe pun hanya bisa mengangguk saja tanpa sanggup berbuat banyak lagi.
"Makasih banyak ya, Om? Via seneng banget!"
"Sama-sama, sayang. Kalau gitu Om keluar dulu ya? Mau ke ruang rawat yang lain." Sivia mengangguk pasti setelahnya.
"Jagain Alvin baik-baik ya?" kata Dokter Joe sambil menepuk pelan pundak Sivia sebelum beliau benar-benar keluar dari ruang rawat Alvin.
"Sayang, kamu tau enggak kalau sekarang aku lagi kenapa? Aku itu lagi seneeeeeeng banget! Seneng karena barusan Papa kamu bilang kalau kondisi kamu udah sedikit membaik, dan Papa kamu juga bilang kalau bentar lagi kamu bakal siuman. Aku bener-bener gak nyangka, sayang." Sivia kembali duduk di samping tubuh lemas Alvin dengan sedikit meremas lembut jemari tangan milik laki-laki yang begitu dicintainya itu.
"Aku udah gak sabar lagi lihat kamu tersenyum, lihat kamu tertawa, lihat kamu ngambek, lihat kamu marah, lihat kamu manja, lihat kamu main basket sama temen-temen kamu, dan pokoknya aku kangen banget lihat semua tingkah kamu. Kamu cepet bangun ya, sayang? Masa kamu tega sih biarin aku terus-terusan sendiri?" kata Sivia lagi-lagi. Walaupun itu baru saja prediksi dari Dokter Joe, namun rasa senang di hati Sivia sudah tidak bisa lagi diganggu gugat.
"Hmm... oh iya sayang, kamu inget gak kalau besok itu tanggal berapa? Kamu inget kan?" layaknya sedang berbicara dengan Alvin yang sadar, Sivia pun mencoba bertanya. Namun kemudian terdiam lagi.
"Iya, tanggal 14. Itu hari ulang tahun aku. Kamu masih inget kan sama ulang tahun aku?" lanjutnya masih dengan berbicara sendiri.

Entah karena sudah menjadi hobi barunya atau bukan, akhir-akhir ini Sivia sering sekali membayangkan kembali masa-masa indahnya bersama Alvin. Terlebih di hari-hari terakhir sebelum keadaan Alvin seperti sekarang ini.

Flashback On.

"Oh iya sayang, nanti pas aku ulang tahun, kamu mau beliin kado apa buat aku?" tanya Sivia spontan saat matanya tak sengaja melihat sebuah pesta ulang tahun seorang anak kecil di salah satu taman bermain yang sedang ia kunjungi bersama Alvin.
"Rahasia dong! Masa iya sih dikasih tau sekarang? Kan gak asyik." jawab Alvin yakin walaupun pandangannya masih terfokus pada kumpulan anak-anak kecil yang berkumpul di sana.
"Ih, masa gak boleh dikasih tau sih? Emang kamu udah tau apa kesukaan aku?" Alvin lantas terkekeh. Pertanyaan yang cukup dibilang skeptis jika dilihat akan perjalanan cinta mereka yang hampir menginjak tahun keempat.
"Mungkin aku terlalu bodoh kalau sampai gak tau kesukaan kamu. Sayang, kita itu berhubungan udah lumayan lama, masa iya cuma hal kaya gitu aja aku gak tau?" jelas Alvin kemudian.
"Oh gitu ya?" respon Sivia lagi. Sedangkan Alvin hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.
"Tapi masa gak ada bocoran sedikitpun gitu?"
"Gak ada,"
"Ih, gitu aja pelit!"
"Kalau kadonya dikasih tau ya gak seru dong, sayang. Udah deh kamu jangan banyak tanya, entar juga kamu tau sendiri kok."
"Iya deh, iya. Terserah kamu aja!"
"Wuih... ngambek?"
"Jangan sok tau deh!"
"Ish! Jutek amat, mbak?"
"Bodo!"
"Aih... ya udah deh aku mau ke sana aja, mau ucapin selamat ulang tahun buat dede unyu itu." Alvin pun bangkit kemudian. Berniat kabur dari aksi jutek Sivia tersebut.
"Mau ngapain ke sana?! Kamu kan gak diundang?" teriak Sivia.
"Bodo! Walaupun gak diundang, setidaknya aku gak bakal dijutekin kalau di sana." ketus Alvin ikut teriak.
"Ih, nyebelin banget sih?!"

Dan meskipun Sivia terus-terusan mencibir, Alvin tetap tak mengurungkan niatnya tersebut. Ia berjalan perlahan mendekati gadis kecil yang berdiri tepat di depan kue tart yang di atasnya tertera sebuah lilin berangka lima. Lalu Alvin berjongkok setelah cukup dekat, mencoba menyetarakan tinggi tubuhnya dengan tubuh gadis kecil itu.
"Selamat ulang tahun ya, dede unyu?" ucap Alvin tulus sambil mengeluarkan dua buah lolipop di balik jaketnya. Entah sejak kapan Alvin membawa lolipop, yang jelas sekarang kehadirannya sudah disambut senang oleh gadis kecil itu.
"Makasih ya, kakak baik? Tapi kalau boleh tau unyu itu artinya apa ya, kak?" respon dan tanya gadis kecil tersebut sangat polos. Alvin tersenyum, tangannya tiba-tiba tergoda untuk mencubit pipi anak kecil yang sekarang berdiri tak jauh di hadapannya. Lantas hal itu juga berhasil membuat kedua orang tua gadis kecil itu tertawa sambil menggeleng.
"Unyu itu cantik, dede." jawab Alvin gemas.
"Oh, unyu itu cantik ya? Hehehe. Makasih lagi ya, kakak ganteng." Alvin lagi-lagi tersenyum.
"Oke, sama-sama. Oh iya, nama dede unyu siapa?"
"Nama aku Rara, kak. Kalau nama kakak sih siapa?" gadis kecil yang mengaku bernama Rara itu balik bertanya kepada Alvin dengan nada yang anak-anak banget.
"Oh, Rara? Ih, namanya unyu juga ya kaya yang punya. Hehehe. Kenalin, kalau kakak namanya Alvin. Salam kenal ya, dede unyu?" kini giliran Rara yang tersenyum ketika Alvin terus-terusan memujinya.
"Hehehe. Salam kenal juga ya, kak Alvin yang ganteng?" balasnya antusias.
"Hmm... kak Alvin boleh minta tolong enggak sama Rara?" setelah beberapa detik berkenalan, tiba-tiba Alvin teringat akan Sivia.
"Boleh kok, kak. Minta tolong apa? Tapi jangan lama-lama ya? Soalnya sebentar lagi kan Rara mau tiup lilin." syarat dari Rara seraya melirik kedua orang tuanya.
"Oh, enggak lama kok. Kak Alvin cuma mau minta tolong sama Rara buat bilang sesuatu ke kakak cantik yang duduk di sana." kata Alvin yang akhirnya berbisik ke telinga Rara. Lantas Rara mengangguk paham setelahnya.

Sedangkan di sisi lain, Sivia cukup dibilang heran saat melihat gadis kecil yang tadi berbincang-bincang dengan Alvin itu kini berjalan mendekat ke arahnya. Entah apa yang Alvin perintahkan kepada gadis kecil bernama Rara tersebut.
"Hai, kak Via yang cantik?" sapa Rara begitu ia sampai di tempat Sivia duduk. Sedangkan untuk sementara Sivia mengernyit, matanya ia tujukan ke arah Alvin yang malah tersenyum saja membalasnya.
"Hai juga, ade?" sapa balik Sivia kemudian.
"Kata kak Alvin, kak Via lagi ngambek ya? Nih Rara kasih lolipop buat kak Via, biar kak Via gak ngambek lagi sama kak Alvin." ucap Rara benar-benar polos. Mendengar itu, Sivia langsung menghela napas seraya tersenyum kecil serta dengan terpaksa ia menerima lolipop pemberian dari Rara.
"Aduh! Makasih banyak ya, sayang? Tapi ini buat Rara aja, kak Via gak ngambek kok sama kak Alvin." balas Sivia dengan meletakkan kembali lolipop di jemari Rara. Lantas Rara menolak cepat-cepat.
"Gak apa-apa kak, ini buat kak Via. Kalau kak Via gak mau terima, berarti kak Via gak sayang dong sama kak Alvin?" sedetik, Sivia mengernyit. Entah bisikan apa yang telah Alvin lakukan kepada gadis kecil ini.
"Kok bisa gitu sih, sayang?" tanyanya sambil melirik ke arah Alvin yang jauh di sana.
"Soalnya tadi kak Alvin bilang kalau lolipop ini sengaja kak Alvin beli khusus untuk orang yang paling cantik dan paling kak Alvin sayangi di dunia ini." jelas Rara tanpa dosa. Sivia akhirnya tersenyum, ternyata Alvin itu memang paling bisa membuatnya merasa istimewa.
"Oh, jadi kak Alvin bilang gitu sama Rara? Baiklah, kak Via terima lolipop ini. Tapi nanti Rara bilang ya sama kak Alvin kalau lain kali kak Via gak mau disogok sama lolipop." ujar Sivia dengan nada bercanda.
"Ngg... gimana kalau kak Via bilang langsung aja sama kak Alvinnya? Ayo, kak! Soalnya bentar lagi Rara mau tiup lilin nih." ajak Rara dengan menarik paksa lengan Sivia.
"Tapi kan kak Via gak diundang, sayang? Kak Via takut ganggu pesta ulang tahun Rara."
"Dengan ini kak Via sama kak Alvin udah resmi jadi tamu istimewa Rara. Kak Via tenang aja, pesta ulang tahun Rara pasti bakal tambah seru dengan adanya kak Via sama kak Alvin." ungkap Rara seraya terus menarik tangan Sivia. Sivia pun cukup pasrah dibuatnya.

Flashback Off.

"Sayang, aku harap di hari ulang tahunku nanti, terbukanya mata kamu lah yang jadi kado terindah buat aku. Karena aku udah gak perduli lagi semua kado yang pernah kamu janjikan waktu itu, aku cuma butuh kamu sekarang. Itu aja kok." lirih Sivia setelah lama terdiam. Entah harus sampai kapan ia meneteskan air mata di tempat yang sama. Di samping orang yang teramat ia sayang. Dan di samping orang yang keputusan antara hidup dan matinya belum juga ditentukan oleh sang pencipta hingga saat ini.

Lantas lagi-lagi Sivia berucap, "Tuhan, apakah tidak ada kesempatan lagi untuk aku melihat sorot mata indah milik Alvin? Melihat Alvin tersenyum seperti dulu? Melihat Alvin bercanda dan tertawa bersama aku dan teman-temannya? Melihat Alvin yang selalu berusaha membuat bangga kedua orang tuanya? Tuhan, tidak adakah kesempatan itu lagi untuk aku?" kepalan tangannya pun semakin erat menggenggam jemari Alvin. Dan perlahan, rasa sesak di dada Sivia mulai menyeruak ketika ia mencoba menyentuh pipi kanan Alvin yang semakin pucat pasi.
"Sayang, kenapa selama ini kamu gak pernah mau jujur sama aku? Bukankah kamu pernah bilang kalau di antara kita itu harus saling terbuka satu sama lain? Tapi kenapa aku gak pernah tau kalau selama dua tahun ini kamu mengidap penyakit jantung? Apa karena kamu takut melihat aku sedih, khawatir, ataupun kecewa sama kamu? Iya?" tukas Sivia bertubi-tubi. Pengakuan dari kedua orang tua Alvin kalau Alvin mengidap penyakit jantung itu cukup membuat Sivia syok berat dan merasa sangat bersalah. Apalagi saat dirinya mengingat kembali ketika Alvin pingsan dan tak pernah sadarkan diri hingga sekarang setelah berduel basket dengannya. Benar-benar menyakitkan bagi Sivia.
"Tapi menurut aku ini jauh lebih sakit dibanding aku harus tau lebih awal, Vin. Dan entah kenapa aku masih belum bisa menerima keadaan ini. Kenapa gak aku aja? Kenapa harus kamu?" Sivia mulai berontak dengan semua pertanyaan-pertanyaannya yang entah ia tujukan untuk siapa. Sampai akhirnya ia kembali terdiam seribu bahasa, mencoba mengunci semua gejolak yang ada di dadanya, serta mencoba menenangkan diri tanpa harus menyalahkan siapapun. Lalu Sivia memejamkan matanya kuat-kuat. Sampai tak sadarkan diri kemudian.

***


"Aku beli kado apaan ya buat Via? Bingung." ujar Ify saat ia berjalan tanpa tujuan di sebuah pusat perbelanjaan. Sedangkan Cakka yang hari ini sudah seperti asisten pribadi Ify hanya bisa mengikuti ke manapun kaki Ify melangkah tanpa berkomentar.
"Menurut kamu kalau aku ngasih boneka aja gimana, Kka? Via bakal suka gak ya?" Ify kemudian bertanya saat ia melihat sebuah toko boneka tak jauh di tempatnya berdiri bersama Cakka.
"Boneka? Kalau boneka mah udah bejibun kali di kamar Via juga. Tau sendiri kan Alvin sering banget beli boneka buat dia?" jawab Cakka santai. Matanya mulai mengitari suasana di sekelilingnya.
"Iya juga sih. Terus kalau kamu mau kasih apa buat Via?" tanya Ify lagi dengan matanya yang ikut sibuk melirik sana-sini mengikuti Cakka.
"Kalau aku sih udah nyiapin di rumah, Fy. Tinggal langsung dikasih ke Via aja entar. Cuma sekarang aku lagi nyari tempat yang bisa bikin sesuatu secara instan tapi unik gitu. Biasalah, pesanan seseorang." ujar Cakka. Sedetik, Ify mengangguk paham apa yang dikatakan sahabatnya tersebut.
"Ya udah yuk kalau gitu jalan lagi? Aku masih belum nemu sesuatu yang tepat nih buat Via." ajak Ify dengan menarik tangan Cakka cepat.
"Jangan terlalu susah-susah lah, Fy. Yang simpel aja. Toh cuma kado, Via pasti seneng kok apapun itu kadonya." kata Cakka di tengah perjalanan.
"Tapi tetep aja harus yang bener-bener istimewa kali, Kka. Soalnya aku mau ngasih sesuatu yang selalu bisa Via pakai. Kaya dia ngasih aku jam tangan unik ini waktu ultah aku kemaren." balas Ify seraya menunjukkan jam tangan berwarna cokelat yang melingkar di lengan kirinya.
"Ya udah kamu beli jam tangan aja buat Via. Yang merknya sama tapi warnanya beda, biar kesannya kompakan. Lagian seinget aku itu Via gak pernah pakai jam tangan kan?" sejenak, Ify berpikir setelah mendengar saran dari Cakka tersebut.
"Iya juga ya? Kenapa kamu gak bilang dari tadi sih, Kka?" seketika Ify berhenti melangkah, lalu berbalik arah ke tempat sebelumnya di mana Ify melihat toko pernak-pernik jam tangan dan sebagainya. Lantas lagi-lagi Cakka dibuat pasrah oleh Ify. Tangannya yang masih ditarik oleh Ify pun hanya bisa ia pandangi seraya menggeleng.
"Ribet ya kalau jadi cewek?" gumamnya kemudian.

***


Sivia menyandarkan kepalanya di pundak Tante Sonia sambil terus menangis. Berita buruk di pagi buta yang ia terima cukup membuatnya jantungan mendadak ketika mendengar kalau kondisi Alvin menurun drastis dan harus dipindahkan ke ruang ICU.

Dan hampir tak bisa lagi untuk Sivia berpikir jernih sekarang ini. Tak perduli meski perutnya belum diisi makanan ataupun minuman sedikitpun. Bahkan ia juga sampai nekad tidak masuk sekolah demi menunggu kabar dari Dokter Joe akan kondisi terakhir Alvin. Karena yang ada di otak Sivia saat ini hanyalah Alvin dan selalu Alvin. Orang yang sangat ia sayang.
"Udah, jangan nangis lagi ya? Alvin akan baik-baik aja kok, sayang. Kamu yang tenang." ucap Tante Sonia lembut disertai sebuah belaian kecil di rambut panjang Sivia.
"Tapi Tante, Alvin? Alvin masuk ruang ICU lagi. Sivia takut," lirih Sivia sesenggukan. Entah tiba-tiba rasa takut di hatinya muncul begitu saja. Takut akan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi itu akan terjadi.
"Kita berdoa aja, sayang. Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Tante yakin kalau Alvin kuat. Apalagi Alvin punya kekasih seperti kamu, pasti dia sedang berusaha untuk bangkit dari sakitnya untuk kamu." lagi-lagi Tante Sonia berucap. Mencoba menenangkan gadis cantik yang sudah beliau anggap seperti anak kandungnya sendiri. Apalagi kedua orang tua Sivia yang sibuk bekerja di luar kota juga membuat beliau semakin dekat dengan gadis yang sering Alvin ajak main ke rumahnya itu.

Sivia lantas tak membalas ucapan Tante Sonia. Ia malah beralih memeluk wanita tersebut sangat erat.
"Kamu jangan takut. Tante juga tau kok gimana perasaan kamu sekarang. Tapi yang jelas kita serahkan semuanya pada Tuhan. Dia tau mana yang terbaik buat kita." Sivia mengangguk. Air matanya sudah cukup kering dan tak bisa lagi mengalir di pipinya. Hanya saja sebuah isakan yang masih terdengar dari mulutnya. Benar-benar menyedihkan.
"Tante, kenapa sih Alvin gak pernah cerita sama Via kalau dia punya penyakit jantung?" tanya Sivia tiba-tiba. Rasa ingin tau akan alasan Alvin yang tidak pernah mau jujur itu menyeruak lagi di benak gadis ini. Tante Sonia pun terdiam mendengarnya. Seketika beliau dibuat bingung oleh pertanyaan tersebut. Entah apa yang harus beliau jawab saat ini. Saat Sivia dengan wajah penasarannya terus-terusan menatap penuh harap.
"Hmm... sebenarnya Tante juga belum tau betul kenapa Alvin melarang Tante sama Om untuk tidak memberi tau penyakit dia kepada siapapun terlebih kamu. Tapi sepertinya Alvin ngelakuin itu karena dia gak mau bikin orang-orang yang disayanginya sedih ataupun khawatir. Apalagi sampai kasihan sama dia, Alvin paling gak suka itu semua."
"Tapi menurut Via ini lebih menyedihkan, Tante. Via juga menyesal karena Via gak selalu ada buat Alvin, padahal faktanya Alvin selalu ada buat Via. Via memang bukan kekasih yang baik, Via gak bisa jagain Alvin, Via gak bisa perhatiin Alvin, Via gak bisa ngelakuin apa yang Alvin lakuin ke Via selama ini. Via..." semua gejolak yang Sivia tumpahkan tiba-tiba saja berhenti ketika jari Tante Sonia menyentuh bibir mungilnya.
"Tidak ada gunanya buat Via menyesali semua itu. Toh hal ini akan tetap terjadi juga kan? Lagipula tanpa Via melakukan hal itupun, Alvin selalu merasa bahagia kok tiap kali dia bersama kamu. Alvin yang bilang sendiri sama Tante. Dan asal Via tau juga, Alvin bisa terus bertahan dari penyakitnya itu karena ada Via. Harusnya Via bersyukur, karena tanpa berbuat apapun, Via sudah bisa membuat Alvin kuat. Bahkan Tante sama Om aja belum tentu bisa melakukan itu." jelas Tante Sonia sebisa mungkin memberi pengertian.
"Tapi, Tante?" bermaksud untuk menyanggah, mulutnya kembali terkunci begitu Tante Sonia tersenyum sambil menggeleng pelan. Isyarat kalau beliau tidak mau mendengar semua penyesalan dari mulut Sivia lagi.

Cklek! Pintu ruang ICU terbuka perlahan. Dan tak lama kemudian Dokter Joe pun keluar seraya menarik napas saat matanya menangkap kedua sosok manusia yang sedang berpelukan tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Om?!" ujar Sivia refleks. Pelukan Tante Sonia pun segera ia lepaskan demi bergegas mendekati Dokter Joe.
"Om, gimana keadaan Alvin? Alvin baik-baik aja kan, Om? Alvin gak kenapa-kenapa kan, Om? Alvin..." tanya Sivia langsung saja. Bahkan tangan Sivia pun terus-terusan menyentuh keras tangan Dokter Joe. Meminta jawaban tanpa memberi kesempatan terlebih dulu untuk Dokter Joe menarik napas.
"Jawab, Om!" lalu Dokter Joe memejamkan mata yang berhasil membuat Sivia menarik kesimpulan yang buruk.
"Sayang, Om sama tim medis yang lain sudah berusaha sekuat tenaga, tapi Tuhan berkehendak lain." ujarnya seraya meneteskan air mata walaupun sudah berusaha untuk beliau tahan.
"Gak mungkin! Om lagi bercanda kan?! Om lagi bohongin aku kan?! Alvin gak meninggal kan, Om?! Jawab, Om! Jawab kalau Om lagi bercanda! Om..." sudah terasa lemas, Sivia langsung terduduk di kaki Dokter Joe. Suasana hatinya benar-benar kalut saat itu. Meski sudah berusaha untuk ia menolak fakta yang telah terjadi, tapi tetap saja itu tidak akan mengembalikan semuanya seperti semua. Alvin sudah meninggal.
"Tante, Alvin masih hidup kan?" lirihnya lagi-lagi. Sedangkan Tante Sonia yang juga ikut menangis dan sempat tak percaya kalau Alvin sudah meninggal pun hanya bisa menutup mulut sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok.

"ALVIIIIIINNNNNN!!!" Sivia mulai berteriak.

"GAK MUNGKIN!!! ALVIN BELUM MENINGGAL!!! KALIAN BOHONG!!!"

"ALVIN MASIH HIDUP!!!"

"ALVIN GAK AKAN TINGGALIN AKU!!!"

"ALVIIIIIINNNNNN!!!"


"Via, bangun! Kamu kenapa? Kamu mimpi?" Sivia pun tersentak seketika. Tidur panjangnya tiba-tiba terbangun saat seseorang menggoyangkan pundaknya.
"Ify? Cakka?" gumam Sivia sedikit serak. Kedua sosok sahabatnya langsung terukir jelas saat ia membuka mata.
"Kamu mimpi ya, Vi?" tanya Ify pelan.
"Alvin? Alvin mana, Fy? Alvin masih hidup kan? Alvin gak meninggal kan? Alvin mana, Kka? Alvin mana?" bukannya menjawab pertanyaan Ify, Sivia malah seperti orang kesurupan. Menarik tangan Ify dan Cakka bergantian.
"Vi, kamu tenang dulu ya? Alvin masih baik-baik aja kok." ucap Cakka prihatin.
"Iya Vi, kamu yang tenang dulu. Alvin masih ada kok, lihat aja." sambung Ify sambil mengarahkan pandangan Sivia ke tempat Alvin berbaring.
"Alvin?" ia bergegas cepat mendekati Alvin. Lalu dipeluknya erat-erat.
"Aku takut, Vin. Aku takut,"
"Udah Vi, kamu tenang aja. Tadi kamu cuma mimpi."
"Tapi aku beneran takut, Kka. Aku takut semua itu akan terjadi. Aku belum siap."
"Percaya sama aku, Alvin akan baik-baik aja. Mungkin karena kamu terlalu capek dan kurang istirahat, jadi kamu sampai mimpi buruk gitu." ujar Ify menengahi. Sivia terdiam kemudian. Ucapan Ify memang benar. Ia terlalu banyak memikirkan Alvin sampai ia tidak bisa memikirkan kesehatannya sendiri.
"Kamu cuci muka dulu gih! Biar lebih fresh." lanjut Ify. Sivia mengangguk dan mulai melangkah tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.
"Aku gak tega lihat dia kaya gitu, Kka. Aku takut Sivia sampai tekanan batin karena semua ini." bisik Ify sambil terus menatap Sivia yang berjalan gontai menuju kamar mandi.
"Aku juga sama, Fy. Tapi mau gimana lagi?" kini giliran Cakka yang berbisik. Ikut juga menatap Sivia dan Alvin bergantian.
"Semoga ini semua berakhir bahagia ya, Kka?" Cakka mengangguk menyetujui.
"Kalian udah lama di sini?" tanya Sivia setelah beberapa detik keluar dari kamar mandi.
"Lumayan."
"Kok gak bangunin aku sih?"
"Emang sengaja gak kita bangunin, kita gak tega. Soalnya tadi lelap banget kamu tidurnya, Vi." jawab Ify.
"Iya, makanya aku pindahin kamu ke kursi. Jadi biar kita juga bisa gantiin kamu buat jagain Alvin." Cakka ikut menyahuti.
"Oh, gitu? Makasih ya sebelumnya?"
"Oke, sama-sama. Hmm... oh iya, aku izin pulang gak apa-apa kan? Udah jam 11 malem nih, besok takut kesiangan. Sebenernya gak enak juga sih, tapi mau gimana lagi?" pinta Ify sedikit canggung.
"Oh, gak apa-apa kok. Harusnya aku yang gak enak sama kamu. Kamu udah repot-repot jagain Alvin sampai malem gini. Sekali lagi makasih ya, Fy? Maaf juga kalau besok aku belum bisa sekolah, aku udah terlanjur izin 2 hari."
"Oh iya gak apa-apa kok, Vi. Kalau gitu aku pamit ya?"
"Iya, Fy. Hati-hati ya?"
"Aku juga pamit ya, Vi? Mau antar Ify dulu." Sivia mengangguk. Lantas mengantar mereka berdua sampai ke pintu.
"Baik-baik ya, Vi? Jangan lupa tidur, udah malem!"
"Iya, bawel!"
"Hehehe. Bye, Vi!"

Sivia melambaikan tangan perlahan. Menyertai kepergian Ify dan Cakka dengan sebuah tarikan napas yang cukup panjang. Dan untuk sejenak matanya melihat suasana sekitar yang begitu sepi. Mungkin hanya dirinya sajalah yang ada di koridor rumah sakit setelah Ify dan Cakka pergi. Lantas ia kembali masuk ke ruangan Alvin tanpa ada orang lain karena kedua orang tua Alvin izin sebentar untuk menengok rumah yang hampir ditinggalkannya selama kurang lebih seminggu.

***


23.50 WIB

Malam semakin larut. Detak jarum jam pun semakin terdengar jelas mengetuk gendang telinga. Namun Sivia belum juga tertidur kembali. Matanya masih terbuka lebar di samping Alvin.
"Jika keajaiban Tuhan masih berlaku buat aku, aku ingin mata kamu terbuka disaat lima menit terakhir ini aku menghabiskan umurku yang keenambelas. Apa itu bisa terkabul, Tuhan?" gumamnya seperti biasa. Mengadu, meminta, dan memohon kepada Tuhan akan permohon yang sama yang sering ia pinta sebelumnya di samping Alvin.

Dan entah itu jawaban dari Tuhan atau bukan, Sivia merasakan jari Alvin yang digenggamnya bergerak perlahan.
"Alvin???" kagetnya. Bahkan rasa kagetnya pun semakin bertambah parah begitu mata Alvin dengan ajaibnya terbuka sedikit demi sedikit.
"Ya Tuhan, Alvin sadar? Alvin, kamu?" tidak tau harus berkata apalagi, Sivia hanya bisa mematung begitu mata Alvin terbuka lebar dan menatapnya tanpa berkata.

Cukup lama Alvin terdiam dengan tatapan yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Seakan-akan Alvin ingin mengucapkan sesuatu kepada Sivia tetapi tidak kuasa untuk berbicara. Sampai akhirnya tubuh tenang Alvin mulai berontak tak terkontrol. Kejang-kejang. Membuat wajah Sivia yang tadinya syok karena senang, kini berubah total menjadi syok karena dirundung rasa khawatir dan takut.
"Sayang, kamu kenapa? Sayang? Toloooooonnnggg!!!" heboh Sivia kebingungan. Di satu sisi ia ingin berlari mencari pertolongan, namun di sisi lain ia juga ingin menjaga Alvin.
"Toloooooonnnggg!!! Dokter?! Suster?!" karena merasa belum juga ada yang datang, Sivia memutuskan untuk keluar. Mencoba mencari dokter siapa saja yang sedang bertugas malam ini. Namun, brak! Pintu ruangan Alvin entah kenapa terkunci dari luar. Sivia kontan semakin panik dan berusaha menggedor-gedor pintu tersebut sambil tak henti berteriak.
"Buka pintunya! Susteeeeeerrr?! Tolongin Alvin!" terus-terusan Sivia berteriak seraya menggerakan hendel pintu secara paksa. Matanya pun tak pernah beralih dari Alvin yang semakin memberontak hebat. Meski ada pikiran untuk ia mendobrak pintu, namun apa daya tenaganya sudah lemas karena berteriak.
"Dokter, Suster, tolong Alvin!" teriaknya mulai lemah. Sampai tak tersadar pandangan Sivia mulai gelap. Bukan karena Sivia ingin pingsan, melainkan karena lampu ruangan itu tiba-tiba padam begitu saja.

Sivia tambah panik dibuatnya. Ruangan tersebut sangat gelap karena tak ada setitik pun cahaya yang masuk. Bahkan untuk berjalan menghampiri Alvin pun Sivia mengandalkan tangannya untuk meraba udara.
"Tuhan, aku tak pernah meminta padaMu untuk memberiku seseorang yang seperti malaikat. Tapi aku cukup bersyukur karena Kau telah menghadirkan seseorang yang luar biasa, seseorang yang sangat berharga di hidupku. Dan seseorang itu... kamu, Sivia." remang-remang Sivia melihat dua buah lilin menyala bersamaan dengan terdengarnya suara yang sudah tak asing lagi di telinganya. Kedua lilin itupun semakin mendekat ke arahnya sampai Sivia dapat melihat siapa yang menyalakan kedua lilin yang berangka satu dan tujuh tersebut.
"ALVIN???" gumamnya tak percaya.
"Semua permohonan yang kamu minta kepada Tuhan sudah terkabul. Permohonan yang mana aku sendirilah yang menjadi saksi kalau kamu adalah perempuan yang sangat mencintaiku, sangat menyangiku, dan yang sangat membutuhkan kehadiranku. Dan kali ini kamu tidak sedang bermimpi, ini kenyataan. Alvin yang sesungguhnya yang ada di depan mata kamu sekarang." di balik cahaya lilin Alvin pun tersenyum. Meski rasa sesak menusuk hatinya saat ia melihat Sivia yang tak henti menangis karena syok dengan kejadian tadi.
"Sebenernya ini ada apa? Aku gak ngerti." ucap Sivia tetap melirih. Mulutnya ia tutupi karena masih tak percaya dengan semua yang sedang ia alami.
"Maafkan aku, sayang. Sungguh gak ada maksud sedikitpun untuk aku membuatmu menangis, membuatmu khawatir, dan membuat suasana hatimu jadi tak tenang karena aku. Ini semua skenario, skenario buatan aku sendiri untuk menyambut hari ulang tahun kamu. Mungkin ini terlalu nekad dan berlebihan, tapi aku cuma ingin memberi kesan yang berbeda dari yang sudah-sudah. Dan aku..." Alvin terdiam sejenak. Ingin rasanya ia memeluk erat Sivia karena telah mengerjainya sampai seperti itu.
"Dan aku sebenernya tidak pernah mengidap penyakit jantung. Maafin aku ya, sayang? Aku udah bohong sama kamu." lanjutnya kemudian.
"Terus waktu kamu pingsan, apa itu skenario juga?" tanya Sivia yang suaranya mulai serak.
"Kalau itu bukan skenario, itu kenyataan. Aku pingsan karena waktu itu emang aku lagi sakit. Dan pas aku main basket sama kamu, entah kenapa kepalaku terasa berat dan saat itu juga aku gak inget apa-apa. Lalu dari situlah aku kepikiran untuk membuat skenario aneh ini." jawab Alvin. Lantas ia menarik napas setelah dirasa sudah cukup untuk ia menjelaskan.
"I'm so sorry, and happy birthday for you! Happy birthday, my beloved girlfriend. You get sweet seventeen now, darl. " ucap Alvin setelah beberapa detik meletakkan kue yang sejak tadi ia bawa.

Plak! Tanpa diduga, Alvin merasakan perih di pipi kanannya. Tamparan keras yang dilayangkan Sivia seakan mewakilkan ketegaan yang telah Alvin lakukan kepada gadis tersebut.
"Kamu jahat sama aku! Kamu jahat banget tau gak?! Kenapa kamu gak bunuh aku aja sekalian?!" tukas Sivia seraya memeluk Alvin erat.
"Aku takut, aku bener-bener takut kehilangan kamu. Aku... aku gak tau mesti gimana kalau semua itu beneran terjadi. Kenapa kamu jahat banget sih sama aku?" semakin erat Sivia memeluk, malah semakin lemah suaranya untuk keluar. Sedangkan Alvin hanya memilih diam, membiarkan Sivia untuk mengeluarkan semua kekesalannya di dalam pelukan dirinya. Karena Alvin sendiri tau bagaimana perasaan Sivia saat ini. Dan perlahan, Alvin mendekap kepala Sivia ke pundaknya, berusaha memberi ketenangan kepada gadis itu. Sampai seketika pintu pun terbuka dan lampu ruangan menyala kembali.
"HAPPY BIRTHDAY, VIAAA!!!" serempak, segerombolan orang berucap cukup heboh. Membuat Sivia tersentak dan segera menengok ke arah sumber suara.
"Mama, Papa, Tante Sonia, Om Joe, Cakka, Ify? Kalian semua?" kaget Sivia seraya mengabsen semua orang yang ada di depannya dengan membawa kue super besar yang di atasnya bergambarkan wajah dirinya.
"Selamat ulang tahun ya, sayang?" ucap Mama dan Papa Sivia bergantian.
"Maaf kalau Mama sama Papa baru bisa pulang sekarang." lanjut sang Mama karena beliau merasa tidak sempat ada untuk menemani anak tercintanya saat Alvin sedang sakit. Ralat! Pura-pura sakit tepatnya. Sivia pun merengek manja sambil memeluk mereka berdua.
"Makasih banyak ya Ma, Pa? Udah ada di hari ulang tahun Via aja Via udah seneng kok." responnya.
"Selamat ulang tahun ya, Via cantik? Tante minta maaf kalau selama ini Tante udah bohong sama kamu. Sebenernya Tante juga gak tega, tapi Tante terpaksa lakuin ini." ucap Tante Sonia sambil mendekati Sivia.
"Selamat ulang tahun, sayang? Maafin Om juga ya? Padahal Om udah nolak mentah-mentah, tapi Alvin terus-terusan maksa Om untuk terlibat dalam skenario ini." sambung Dokter Joe lembut. Lalu mereka berdua membelai rambut Sivia bergantian.
"Jadi Om sama Tante juga terlibat? Hmm... jangan bilang kalian berdua terlibat juga?" tuduh Sivia ke arah kedua sahabatnya yang masih berdiri di dekat pintu. Cakka dan Ify pun sontak memamerkan deretan gigi-giginya, seakan bilang kalau mereka juga ikut ke dalam skenario yang Alvin buat.
"Iiihhh, kalian kok tega banget sih sama aku?" geram Sivia sedikit kesal.
"Hehehe. Sori ya, Vi? Kita berdua cuma mau bantu Alvin aja kok, bukan mau ngerjain kamu." kata Cakka asal.
"Sama aja, Cakka!"
"Oh, masa sih? Hehehe. Happy birthday ya, Vi? All the best and all the goods for you!" lanjut Cakka di balik candanya. Sivia tersenyum.
"Thanks, Cakka!"
"Aih! Viiiaaa, happy birthday ya? Duh, maaf banget nih aku udah tega sama kamu. Tapi serius deh, aku sampai nangis lihat kamu kaya gitu. Uh, Alvin itu emang kejam ya? Tega banget ngerjain pacarnya sampai nangis darah." seketika semua orang di sana tertawa mendengar kata-kata Ify. Terlebih Alvin.
"Oh iya, ini ada kado dari aku sama Cakka. Mohon diterima ya, Vi?" lanjutnya.
"Aih... makasih banget ya Fy, Kka? Seneng banget deh dapet kado." Ify dan Cakka langsung mengangguk kompak.

Lalu acara ritual ulang tahun pun berjalan cukup lancar. Sesi make a wish serta tiup lilin, sesi potong kue, dan sampai sesi first cake pun Sivia lakukan tahap demi tahap. Sudah jelas kepada siapa Sivia memberika first cake di usianya yang sudah tujuhbelas tahun ini. Untuk Alvin tentunya.
"Kalau gitu kita keluar dulu ya, sayang?" pinta sang Mama kepada Sivia dan Alvin. Sengaja memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk mengobrol lebih intim lagi.
"Mau pada ke mana?"
"Kita nunggu di luar, gak enak sama pasien yang lain kalau mesti ramai-ramai kaya gini." jawab Dokter Joe mewakili mereka yang beranjak pergi. Sivia pun mengangguk paham.
"Vi, sekarang giliran aku." ucap Alvin setelah dirasa cukup sepi. Kue yang tadi diletakkannya juga tak lupa Alvin ambil kembali meski setengah dari lilin itu sudah meleleh.
"Sudikah kamu meminta permohonan untuk hubungan kita ke depannya?" pinta Alvin ramah. Dan tanpa menunggu lama lagi, Sivia mengangguk dan langsung menundukan kepalanya. Cukup lama.
"Makasih ya sayang atas doanya untuk hubungan kita? Sekali lagi aku ucapin, happy birthday Sivia! Semoga di hari ulang tahun kamu yang sekarang, kamu selalu ada dalam perlindungan Tuhan, selalu bahagia, selalu membanggakan, selalu menjadi yang terbaik, selalu menjadi yang terhebat, dan selalu menjadi Sivia yang aku kenal sebelumnya. And then..." ucap Alvin yang sempat terpotong oleh tarikan napasnya.
"Always be my lovely! Love you, sayang." Sivia lantas tersenyum bangga mendengarnya. Entah harus bersyukur seberapa banyak ia kepada Tuhan karena telah menciptakan Alvin di hidupnya.

Sedetik, Alvin mengeluarkan kotak kecil berwarna merah di saku celananya.
"Ini adalah tanda sayang aku untuk kamu." ucapnya bersamaan saat membuka kotak itu dan memakaikan isinya ke leher jenjang Sivia. Sebuah kalung berlian dengan bandul berbentuk lingkaran yang di tengahnya terukir oleh huruf A dan S.
"Selama kalung ini melingkar di leher kamu, izinkanlah aku untuk selalu ada di samping kamu." Alvin kembali berucap manis.
"Dan yang ini aku berikan sebagai hadiah atas kesetiaanmu untuk aku." lagi-lagi Alvin mengeluarkan benda yang ia sembunyikan di balik meja. Sebuah kotak kaca yang di dalamnya terdapat ukiran kedua sepasang kekasih yang terbuat dari kaca juga yang sedang memegang simbol hati dengan tulisan "Still together and always together!". Sivia pun kini termangu. Sudah tak bisa lagi mengungkapkan kata-kata kepada kekasih tercintanya itu.
"Terakhir, aku harap kamu suka ini." ujar Alvin tak henti-hentinya memberi sesuatu spesial kepada Sivia. Kali ini seikat bunga mawar merah lah yang menjadi penutup dari semua kado yang Alvin berikan kepada kekasihnya.
"Meski suatu saat bunga ini akan layu, tapi nanti kamu akan mengerti kalau ini hanyalah sebuah simbol. Karena di sini, di hati aku, rasa sayang dan rasa cinta itu tidak akan pernah layu untuk kamu. Dan asal kamu tau kalau ini bukanlah gombal semata, tapi ini benar-benar apa yang aku rasakan selama ini. Aku sayang kamu, Vi. Makasih udah selalu hadir di hidup aku." ucap Alvin tulus. Tangan Sivia ia pegang erat.

Sontak Sivia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain memeluk kekasih hatinya yang sangat luar biasa itu.
"Thanks for everything! Kamu memang malaikat sejati aku. I love you so much, Alvin!" ungkap Sivia tak kuasa lagi menahan air matanya. Membiarkan air mata bahagia tersebut mengalir di pundak Alvin, Malaikat Sejatinya.

Alvin lantas tersenyum bahagia. Cukup bersyukur karena skenario dadakan buatannya berakhir dengan lancar dan bahagia.
"Terima kasih, Tuhan." gumamnya.

Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Sampai Menutup Mata

Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik ku hitung
Inikah saat ku pergi?


Seorang gadis bersandar di kursi roda yang didudukinya seraya menghirup udara pagi yang masih segar. Cukup lama. Sekitar setengah jam yang lalu. Di mana sang mentari yang belum terbit saat si gadis ini sudah berinteraksi dengan ribuan embun yang membasahi populasi flora yang ada di taman depan rumahnya pun kini sedikit demi sedikit mulai memamerkan kilauan sinar hangatnya hingga menerpa wajah gadis tersebut.

Sivia Rainsha. Nama gadis itu. Gadis yang kini kedua matanya sedikit terpejam karena berusaha menghalau sinar mentari yang sangat menyilaukan itu. Lalu ia tersenyum kemudian. Entah kenapa. Mungkin merasa begitu bahagia karena sudah cukup lama sekali ia tidak merasakan hangatnya sinar mentari pagi dan juga sudah tidak terlalu sering lagi untuknya melihat ribuan tetes embun yang menggenang kecil di dedaunan dengan indahnya.

Tepat sejak sebulan yang lalu. Sebulan yang mungkin merupakan bulan tersuram yang pernah Sivia alami. Bagaimana tidak, Sivia yang dulu hidupnya selalu ceria dan baik-baik saja tiba-tiba divonis oleh dokter mengidap penyakit mematikan nomor dua di dunia. Kanker. Ya, Sivia mengidap penyakit kanker di otak kirinya. Dan kanker itupula yang telah merubah hidup keluarga Sivia hampir seratus delapan puluh derajat. Keuangan keluarganya yang dulu cukup dibilang di atas rata-rata pun kini mulai berangsur habis dan hampir tak bersisa karena terpakai untuk membiayai semua perawatan Sivia selama ini. Miris memang, tapi mungkin itulah takdir yang harus mereka jalani.

Namun saat ini, entah karena sudah terlalu pasrah dengan takdir, Sivia memilih tinggal di rumah dan tidak ingin lagi berurusan dengan obat-obatan yang menjerat organ tubuhnya secara paksa. Meski semua orang terdekatnya menolak akan pilihan Sivia tersebut, Sivia tetap kekeh dengan pilihannya. Ia sudah tak ingin lagi menyusahkan orang lain terlebih orang tuanya yang mati-matian pinjam uang sana-sini demi menebus perawatan yang dijalaninya. Yang jelas sekarang Sivia sudah pasrah dan memberi kekuasaan penuh kepada Tuhan akan keputusan terbaikNya nanti. Apa Ia akan memberikan hidup yang lebih lama lagi pada Sivia, atau mungkin sebaliknya, mengambil kehidupan itu sendiri dari tubuh Sivia. Karena bagaimana pun Tuhan berkehendak, Sivia harus selalu ikhlas menerimanya. Toh bukankah semua manusia akan kembali padaNya suatu saat nanti?

Kembali, Sivia menghela napas. Kali ini napas gusar lah yang ia tunjukkan saat matanya menangkap beberapa helai rambut yang terjatuh di pundak kanannya. Lantas ia mengambil dan memandang helaian rambut itu dengan senyuman kecil.
"Rambutku. . ." gumamnya perlahan. Mengingat akan rambutnya yang memang sudah tak tersisa lagi saat ini, senyuman kecil itu tiba-tiba ditemani dengan butiran bening yang masih menggenang di sudut mata Sivia.
"Rambutku sudah habis, Tuhan." lalu ia terdiam lagi setelahnya. Efek kemoterapi yang telah empat kali dijalani Sivia itu sudah merenggut sedikit demi sedikit mahkota terindah yang Tuhan anugerahkan kepadanya tersebut.
"Dan. . . Apakah detik-detik hidupku akan segera berakhir juga seperti nasib rambut ini, Tuhan?" lagi-lagi Sivia bergumam lirih. Kali ini seperti sebuah pertanyaan yang memang tak membutuhkan sebuah jawaban pasti baginya. Lantas Sivia memejamkan mata seraya menggenggam erat helaian rambut di telapak tangannya.
"Kalaupun itu harus terjadi, aku selalu siap. Aku. . ." semakin kuat mata Sivia terpejam, semakin erat juga tangannya menggenggam. Berusaha setegar mungkin meski sebenarnya ada rasa takut yang menyeruak hebat di dalam dadanya.
"Aku. . ." belum sempat gadis ini melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba. . .
"Ayo tebak siapa?" seru seseorang tiba-tiba. Kedua tangannya yang menutupi mata Sivia dari belakang itu cukup membuat gadis tersebut merasa kaget.
"Lho? Kamu nangis?" dan belum sempat Sivia menebak, seseorang itu kembali bertanya saat jemarinya merasakan sesuatu. Basah. Apalagi kalau bukan air mata yang sejak tadi belum juga terjatuh dari pelupuk mata Sivia.

Perlahan, Sivia pun menggeleng saat mendengar pertanyaan seseorang tersebut.
"Kamu gak bisa bohong sama aku. Kamu nangis kan?" tanyanya lagi sedikit sangsi.
"Aku gak nangis, Alvin. Aku cuma kelilipan kok. Jangan sok tau deh!" kilah Sivia asal. Membuat laki-laki bernama Alvin itu menghela napas jengah.

Alvinandra. Sahabat kecil Sivia yang kini sudah remaja. Laki-laki pertama yang pernah hadir dalam hidupnya. Laki-laki pertama yang menjadi sahabat dan pelindung sejatinya sepuluh tahun terakhir ini. Laki-laki pertama yang selalu ada saat Sivia butuhkan, selalu menghibur saat Sivia merasa sedih, selalu marah saat Sivia melakukan kesalahan, selalu memberi semangat saat Sivia mulai terpuruk. Dan bahkan, Alvin, adalah laki-laki pertama yang menjadi alasan terbesar Sivia untuk selalu bertahan hidup dari segala cobaan Tuhan yang sedang dialaminya.

Sivia pun mengernyit, "Kok lihatinnya gitu sih?"
"Gak apa-apa. Aku tau alasannya kenapa kamu nangis." kata Alvin seraya meraih telapak tangan Sivia yang mengepal. Lantas dibukalah oleh Alvin secara perlahan.
"Karena ini kan?" lanjutnya. Beberapa helai rambut yang tadi Sivia genggam pun kini beralih ke tangan Alvin. Sedangkan Sivia masih terdiam. Menyadari kebodohan utama yang selalu ia lakukan di hadapan laki-laki tersebut. Berbohong. Sedangkan ia sendiri tau kalau Alvin bukanlah tipe orang yang mudah dibohongi.
"Sivia, aku udah sering bilang kan sama kamu kalau rambut itu bukan lagi lambang sejati seorang perempuan?" tanya Alvin lagi. Sivia lantas mengangguk pelan layaknya anak kecil saat diberi nasihat oleh kedua orangtuanya.
"Karena menurut aku, lambang sejati seorang perempuan itu ada di sini, di dalam hati perempuan itu sendiri." lanjut Alvin memperjelas. Tangan Sivia yang sejak tadi digenggam pun ia letakkan di dada gadis tersebut.
"Toh bukan cuma rambut aja yang membuat perempuan terlihat lebih cantik, tapi hati jauh lebih berperan penting dari itu. Dan asal kamu tau ya, kamu tetap cantik kok meski tanpa rambut. Serius deh!" ujar Alvin sambil tersenyum.
"Tapi aku malu, Vin. Aku. . ." lirih Sivia sedikit sangsi dengan ucapan Alvin.
"Kenapa mesti malu, Vi? Kamu kan gak ngelakuin kesalahan? Lagian yang seharusnya malu itu ya mereka yang hanya memiliki rambut indah tapi gak memiliki sifat dan sikap yang indah. Malah semestinya mereka yang wajib malu sama kamu. Karena kamu sudah jauh lebih sempurna dari mereka." Sivia tersenyum mendengarnya. Laki-laki bernama Alvin tersebut memang selalu begitu. Selalu membuatnya merasa menjadi orang yang paling spesial di dunia ini."Makasih ya, Alvin? Kamu memang sahabat aku yang paling baik." ujar Sivia manis. Garis lengkung di kedua bibirnya begitu jelas terukir. Alvin balas tersenyum.
"Oh iya, kok kamu di sini sih? Gak berangkat sekolah? Udah jam enam lho, Vin. Tau sendiri kan Jakarta itu gimana?" dan sebagai pengalihan topik, Sivia bertanya sedikit penasaran. Ditambah Alvin yang langsung berbalik badan sambil menyandarkan punggungnya di kaki Sivia itu semakin membuat gadis cantik tersebut mengernyitkan dahinya hebat.
"Aku izin gak masuk sehari, Vi. Tadi aku titipin surat izinnya ke Rio kok, soalnya aku mau temenin kamu seharian ini. Gak apa-apa kan, Vi?" tanpa harus menengok, Alvin meminta persetujuan dari Sivia dengan tatapan mata yang ikut terfokus ke arah taman depan rumah Sivia. Sedangkan Sivia tak langsung merespon, ia malah tersenyum tanpa Alvin ketahui. Bahkan rasanya ia ingin sekali memeluk Alvin dari belakang, sebagai tanda terimakasihnya kepada laki-laki menawan yang dengan sangat santai bersandar di kedua kakinya. Tetapi Sivia belum mempunyai sedikitpun keberanian untuk melakukan itu.
"Vi, kamu gak keberatan kan?" karena belum juga mendapatkan jawaban, Alvin menolehkan kepalanya pelan.
"Ngg. . . Aku gak bisa larang, Vin. Itu hak kamu. Tapi kalau nanti kamu sampai ketinggalan pelajaran, jangan salahin aku ya?" Alvin tertawa ringan mendengarnya. Gadis berkepala botak dengan kelopak mata yang cekung hitam itu cukup menggemaskan menurutnya.
"Kalaupun nanti aku sampai tertinggal pelajaran, aku bakal kejar kok. Aku kan jago lari, Vi." lagi-lagi Alvin terkekeh setelahnya.
"Alvin, tolong ya, aku gak lagi bercanda." respon Sivia dingin. Si Alvin kontan berhenti tertawa, kembali memasang wajah seriusnya.
"Iya-iya aku ngerti. Toh cuma sehari doang kok." kata Alvin sambil melempar lagi pandangannya ke arah taman.

Mereka membisu kemudian. Tatapan mereka sama-sama tertuju pada dua ekor kupu-kupu yang saling berkejaran satu sama lain. Mengagumkan.
"Coba aja aku punya sayap kaya mereka," gumam Alvin perlahan."Dan seandainya kamu punya?" seakan ingin tau lebih lanjut perkataan Alvin, Sivia lantas memancingnya dengan sebuah pertanyaan.
"Aku mau ajak kamu terbang ke atas awan tanpa harus merasa takut terjatuh." jawab Alvin yang cukup sulit dimengerti akan arti yang terkandung di dalamnya.
"Hmm. . . Tapi kok entah kenapa aku gak rela kalau kamu punya sayap ya?" kata Sivia. Lantas tatapan refleks dari Alvin pun ia dapatkan seketika.
"Kok gitu?"
"Aku cuma gak mau kamu terbang tinggalin aku saat kamu sudah tak mampu lagi membawa aku terbang." lanjutnya. Alvin kontan tersenyum.
"Kamu gak perlu takut, Sivia. Toh aku cuma punya satu sayap kok, kan satu sayapnya lagi aku kasih ke kamu. Jadi aku gak bisa terbang kalau aku gak sama kamu. Hehehe."
"Ih, perasaan tadi kamu gak bilang gitu deh."
"Ya kan sekarang udah bilang."
"Iya, tapi tetep aja tadi kamu gak bilang kalau sayapnya kamu kasih ke aku satu."
"Iya sih. Eh, kok jadi malah bahas sayap ya?" baru tersadar dari omongan ngelanturnya, Alvin berpikir dengan mengernyit hebat. Begitupun dengan Sivia.
"HAHAHA." lalu tertawa.

***


Sivia berteriak kecil, "Turunin aku, Alvin! Aku takut."
"Kamu tenang aja, aku kuat kok."
"Jangan kenceng-kenceng, Alviiiiiinnn!!!" lagi-lagi Sivia berteriak. Rasa was-was saat ia berada di gendongan Alvin pun terus menyeruak. Apalagi Alvin yang memang sengaja berlari pun semakin membuat Sivia takut.

Namun Alvin tak menghiraukan. Ia tetap berlari di tengah-tengah padang ilalang yang tingginya hampir satu meter itu.
"Akhirnya sampai juga," ujar Alvin setelah ia mencapai puncak bukit yang cukup tinggi di antara hamparan ilalang-ilalang yang sedang bergoyang tertiup angin.
"Lihat! Kita bisa nyentuh awan dari sini." kembali, Alvin berujar. Menunjukkan satu persatu keindahan alam yang sebelumnya hanya ia saja yang tau. Sedangkan Sivia masih terdiam, masih terlalu kagum dengan apa yang ia lihat sekarang. Berdiri di atas bukit yang dikelilingi lautan ilalang berwarna oranye, sinkron dengan warna senja yang menggaris tepat di perbatasan antara langit dan bumi."Gimana menurut kamu, Vi? Kamu suka kan?" di tengah-tengah kesibukannya melirik alam sekitar, Alvin menyempatkan diri untuk bertanya.
"Aku suka ini, suka banget malah." jawab Sivia antusias seraya menarik napas panjangnya.
"Sungguh?" tanpa harus menjawab lagi, cukup anggukan sajalah yang Sivia tunjukkan kepada Alvin. Membuat Alvin tersenyum senang melihat gadis yang kepalanya dibalut kain putih ditambah seutas syal berwarna cokelat krem yang melingkar renggang di lehernya itu. Lalu ia menghela napas, rasanya lega sekali jika melihat raut wajah Sivia seperti yang sekarang. Cukup mendamaikan hatinya.

Perlahan, Sivia yang sedang sibuk menikmati sepoi angin sembari duduk bersimpuh di atas batu kecil yang tak jauh dari posisi Alvin berdiri, tiba-tiba merasakan tubuhnya diangkat secara paksa.
"Ah, Alvin. . . Kok kamu gendong aku lagi sih? Ayo turunin! Kamu gak capek apa gendong aku terus? Alvin, udah deh! Aku mau duduk aja di bawah, aku kan bukan anak kecil lagi." oceh Sivia saat tubuhnya sudah berada di punggung Alvin untuk keduakalinya. Sedangkan Alvin memilih tak merespon, membiarkan Sivia berhenti terlebih dulu dari ocehannya sebelum ia berkata.
"Udah kan ngocehnya?" ucap Alvin kemudian.
"Sekarang, coba deh kamu tutup mata dulu." lanjutnya. Sivia mengernyit sesaat, menatap heran Alvin dari belakang.
"Udah, tutup aja. Jangan kebanyakan mikir gitu deh." sindir Alvin yang seakan tau apa yang dilakukan Sivia dalam gendongannya. Sivia pun membuang napas.
"Iya-iya ini udah aku tutup, Alvin bawel. Lagian kenapa sih pakai acara tutup mata segala?"
"Jangan banyak protes deh, Sivia jelek. Udah mulai bandel ya sekarang? Toh cuma tutup mata aja apa susahnya sih? Gampang kan? Terus entar kalau aku suruh buka matanya, kamu buka lagi oke?" tutur Alvin yang seenak raja menyuruh-nyuruh Sivia seperti itu. Sedangkan Sivia hanya pasrah dan mengangguk saja mengikuti perintah dari Alvin.

Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, sampai hampir setengah menit Sivia memejamkan mata, namun Alvin belum juga berniat untuk angkat suara. Membuat Sivia mulai sedikit jengah.
"Kok lama banget sih, Vin?" ujarnya resah.
"Bentar lagi. Sabar ya?"
"Baiklah," balas Sivia setelah sebelumnya ia menghela napas.
"Oke, sekarang buka mata kamu!" suruh Alvin setelah lima detik Sivia kembali diam.

Refleks, gadis yang masih berada di gendongan Alvin itu membuka matanya perlahan. Mengerjap, dan kemudian mengernyit saat kedua mata minimalisnya tidak menangkap sesuatu atau apapun yang lebih spesial dari sebelum yang ia lihat.
"Kamu lihat mereka kan?" tanya Alvin kemudian seraya tangannya menunjuk ke arah tiga ekor burung unta yang terbang berdampingan. Yang mana pemandangan itulah yang selalu Alvin lihat saat dirinya mendatangi tempat tersebut. Dan itu merupakan pemandangan yang sangat romantis menurut Alvin. Di mana ada tiga ekor burung yang selalu terbang berjejer di saat semburat senja mulai datang. Entah dari mana mereka, yang jelas Alvin selalu melihat mereka bertiga terbang di tempat yang sama. Bahkan Alvin pun sampai hafal kapan waktunya mereka akan melintas. Seperti sekarang ini.
"Iya, aku lihat. Emang kenapa dengan mereka, Vin?" jawab dan tanya Sivia kemudian. Alvin pun tersenyum terlebih dulu sebelum menjawab.
"Mereka bertiga itu setia, Vi. Selalu bersama apapun yang terjadi tanpa tanpa pandang bulu. Dan bahkan pernah suatu hari aku melihat salah satu di antara mereka yang terbang tanpa gairah, mungkin karena sedang sakit atau gimana kali ya," jelas Alvin rinci. Sedangkan Sivia hanya menjadi pendengar yang baik di balik punggung Alvin. Kadang juga ia mengangguk paham saat Alvin seakan meminta tanggapan darinya.
"Di situ dia sedikit tertinggal jauh dari kedua temannya yang lain, sampai akhirnya kedua teman si burung yang sakit itu menyadari kalau salah satu di antara mereka bertiga tertinggal. Lantas mereka dengan refleksnya mengurangi kecepatan demi menunggu si burung yang sakit itu mengejar sedikit demi sedikit." jelas Alvin terhenti. Memberi kesempatan sedikit untuk Sivia merespon.
"Lalu apa yang terjadi?" dan benar saja, Sivia tiba-tiba bertanya akan kelanjutan nasib si burung yang sakit tersebut. Lagi-lagi Alvin tersenyum. Bersamaan dengan menghilangnya ketiga burung unta yang tadi melintas jauh di atas pandangannya.
"Mereka bertiga akhirnya bisa terbang bersama-sama lagi, dan si burung yang sakit itu berada di tengah-tengah kedua temannya, mungkin mereka mencoba berusaha untuk selalu menjaga si burung tersebut." Sivia pun mengangguk sambil membulatkan mulutnya.
"Mereka itu solider banget ya, Vin?" ujarnya seketika. Lantas kini giliran Alvin yang mengangguk.
"Dan kamu tau gak kenapa aku bisa kagum sama mereka?"
"Kenapa?"
"Karena aku ingin seperti mereka. Selalu setia untuk jagain kamu apapun yang terjadi." ucap Alvin yang membuat Sivia terharu. Genangan air kecil pun tiba-tiba berkumpul di kedua sudut matanya.
"Aku juga ingin selalu ada disaat kamu butuh aku. Jadi, kamu jangan segan lagi buat libatin aku di setiap episode kehidupan kamu ya, Vi? Karena menurut aku, kamu itu adalah sahabat aku yang paling luar biasa. Juga sahabat paling baik yang pernah Tuhan berikan buat aku. Dan aku bangga karena bisa jadi sahabat kamu, Sivia." lanjut Alvin dengan nada sumringah. Sedangkan Sivia masih enggan untuk berbicara. Ia hanya bisa mengeratkan pelukannya dari belakang.
"Makasih ya, Vin."

***


Oh Tuhan, kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadi


Alvin menunduk lirih. Cukup sesak melihat sahabatnya yang terbaring lemah di balik pintu berkaca. Padahal baru tiga jam yang lalu, ia masih bisa bercanda dengan Sivia di salah satu kursi panjang yang terletak di tengah-tengah taman bunga depan rumah milik gadis tersebut.

Flashback On.

"Ah, kamu ini bisa aja." ucap Sivia malu-malu saat Alvin memuji setelah menempelkan bunga kamboja di salah satu telinganya.
"Serius deh, aku gak bohong. Kamu beneran terlihat lebih cantik siang ini. Beda aja gitu dari hari biasanya." Alvin lalu duduk di samping Sivia sambil tak lupa menyenggol bahu gadis tersebut perlahan. Membuat Sivia kembali tersenyum malu."Udah ah jangan muji aku terus, aku malu." ungkapnya manja. Alvin terkekeh kemudian.
"Malu apa GR nih? Hehehe."
"Terserah kamu aja deh, Vin. Udah ah, jangan lihatin aku kaya gitu. Aku takut!" ujar Sivia yang sedikit menghindar dari tatapan Alvin yang tertuju pada wajahnya.
"Aih! Emangnya aku setan apa mesti ditakutin segala? Dasar!" lagi, Alvin menyenggol bahu Sivia perlahan. Kontan gadis tersebut tertawa kecil setelahnya.
"Ketawa pula,"
"Hehehe. Iya deh maaf."

Alvin lantas tersenyum manis. Entah rasanya damai dan betah sekali untuk Alvin memandang wajah Sivia hari ini. Benar-benar beraura. Begitupun sebaliknya, Sivia merasa di dalam dadanya selalu ada getaran hebat yang kompak bergetar saat tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Alvin. Tidak seperti biasanya. Dan bahkan ini yang pertama kali ia rasakan saat bersama Alvin. Sahabat kecilnya.
"Tuhan, apa aku sedang jatuh cinta?" gumam Sivia sangat pelan. Mungkin hanya ia, Tuhan, dan kedua malaikatNya sajalah yang dapat mendengar.
"Alvin?" samar-samar, panggilan dari Sivia mengetuk gendang telinga Alvin. Lantas Alvin menengok dan mendapati Sivia sedang menatapnya lekat.
"Iya, Vi?" jawab Alvin sembari mengerutkan dahi.
"Aku. . ." kata Sivia ragu. Bibir bawahnya pun ia gigit-gigit perlahan demi meyakinkan pada dirinya sendiri untuk mengatakan sesuatu yang cukup spesial pada remaja muda yang masih setia duduk di sampingnya itu.
"Aku?" respon Alvin seakan memancing Sivia untuk melanjutkan ucapannya.
"Aku. . ."

Flashback Off.

"Kamu yang kuat ya, Vi? Aku selalu ada di sini buat kamu." lirih Alvin dengan kembali melihat Sivia dari kejauhan.

Di sisi lain, Sivia yang juga masih setengah tersadar itu dapat melihat Alvin dengan jelas. Meski rasa sakit di kepalanya semakin menusuk, dan meski mulutnya pun tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata karena terhalang oleh alat bantu bernapas, namun di dalam hati Sivia selalu dan selalu menyebut nama Alvin. Bahkan ia selalu mengadu kepada Tuhan demi Alvin."Tuhan, kalau boleh aku meminta satu hal padaMu, ridho kah Engkau untuk memberiku hidup lebih lama lagi? Aku mencinta dia, Tuhan. Dan aku ingin mengatakan kalau dialah satu-satunya yang membuat aku bisa bertahan hidup sampa detik ini. Tuhan, sudi kah Engkau mengabulkan permintaanku? Aku janji, aku tidak akan menyakiti dia, tidak akan membuatnya sedih, dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pernah dia lakukan padaku. Aku mohon, Tuhan." lirih Sivia dalam hatinya. Walaupun pandangannya mulai memburam, namun Sivia tetap melihat siluet Alvin yang masih setia menunggunya di balik pintu.
"Dan kalaupun ini adalah detik terakhir untuk aku melihat Alvin, aku harap Engkau tidak memberikan kesedihan yang mendalam untuknya saat kepergianku tiba." lalu mata Sivia benar-benar terpejam. Tidak dapat lagi melihat suasana di sekitarnya saat sebuah suntikan menusuk di lengan kirinya.

***


Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku kucinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta

Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai ku menutup mata


"Coba ungkapkan perlahan, Vi. Kamu pasti bisa!" suruh Alvin saat Sivia mulai tersadar dari komanya dua hari yang lalu. Di mana ia sekarang seperti ingin mengungkapkan sesuatu namun mulutnya sulit untuk mengeluarkan suara. Yang ada ia hanya bisa menggenggam tangan Alvin semakin erat dengan terus-terusan mengeluarkan tatapan harap dan sesal. Berharap kalau Tuhan mau memberinya kesempatan untuk ia mengungkapan apa yang ada dalam hatinya kepada Alvin. Dan menyesal karena ia belum juga bisa mengungkapnya selama ini kepada remaja muda tersebut.

Walaupun hatinya memberontak, namun tetap saja mulutnya tak bisa dikompromi.
"Kamu mau bilang apa, Vi? Coba kamu tenang dulu, kamu bilang perlahan." lagi-lagi Alvin menyuruh. Namun Sivia hanya bisa menggeleng, pertanda kalau dirinya masih tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
"Aku. . ."
"Ya? Kamu kenapa?"
"A. . ." tiba-tiba Sivia menggeleng lagi. Ia benar-benar tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Alvin pun berdiri dan melangkah mendekati meja yang berada tepat di belakang kedua orang tua Sivia berdiri. Lantas kembali ke tempatnya setelah ia mendapatkan apa yang ia cari.
"Coba kamu tulis!" suruh Alvin seraya memberikan sebuah buku lengkap dengan pulpennya. Rasa penasaran yang begitu besar akan apa yang hendak Sivia katakan itu cukup membuat Alvin khawatir.
"Iya sayang, tulis sebisa kamu apa yang ingin kamu katakan." sambung Mamanya dengan menggenggam lengan kiri Sivia.

Perlahan, Sivia memegang pulpen dengan kakunya. Lantas menuliskan dua kalimat pokok yang memang benar-benar ingin ia sampaikan kepada Alvin dan kepada orang tuanya. Dan. . . Klutuk! Pulpen itupun terjatuh saat Sivia berusaha menunjukkan hasil tulisannya kepada Alvin dan kedua orang tuanya.
"Aku mencintaimu, Alvin. Dan aku mencintai kalian semua." lirih Alvin sedikit membacakan tulisan yang ada di buku tersebut.
"Sivia. . ." Sivia tersenyum kecil. Mencoba meyakinkan Alvin kalau ia benar-benar mencintainya. Lantas Sivia beralih kepada kedua orang tuanya. Berusaha juga untuk tersenyum meski kini rasanya sedikit sulit. Dan. . .
"SIVIAAAAAA!!!" teriak Alvin spontan ketika genggaman Sivia terlepas begitu saja. Sedangkan kedua orang tua Sivia hanya bisa menggeleng bersamaan dengan pecahnya air mata saat melihat mata puteri tercintanya terpejam damai seketika. Lalu mereka berpelukan dengan perasaan sedih yang cukup menyesakkan dada.
"Sivia, aku. . . Aku pun sama. Aku mencintai kamu." gumam Alvin sesal. Entah menyesal karena Sivia telah tiada, atau menyesal karena ia baru bisa mengatakan kalau ia pun jatuh cinta kepada Sivia saat ia sudah tiada. Entahlah. Yang pasti Alvin kini hanya bisa menangis seraya menundukkan kepalanya di jemari Sivia.


Cintaku. . . Sampai ku menutup mata
Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR Selengkapnya...

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR