Tugas Terakhir
Anak laki-laki kecil berusia sekitar sepuluh tahun tersebut
bersembunyi di bawah tempat tidur setelah mendapat perintah dari ibunya
limabelas menit yang lalu. Wajahnya pun berubah tegang disertai dengan
sedikit napas memburu saat ia melihat dua sosok orang bertopeng
mendobrak pintu kamarnya keras. Menakutkan. Dan bahkan ia dapat melihat
begitu jelasnya ketika sang ibu berdiri tak berdaya saat sebuah pistol
hitam mengutuk pergerakannya.
“Jangan sentuh anak saya!!!” teriak
wanita paruh baya itu saat salah satu dari kawanan penjahat tersebut
berjalan mendekat ke arah ayunan bayi.
“Diam! Sedikitpun anda kembali
bersuara, saya tidak akan segan-segan membunuh anda dan semua orang
yang ada di sini.” ancamnya keras. Lalu penjahat itu kembali mencari
sesuatu yang mungkin menjadi alasan utama mereka mendatangi rumah
keluarga tersebut secara tak terhormat.
“Ini dia yang kita cari,”
desis si penjahat satu seraya memberi kode kepada rekannya. Lantas yang
diberi kode hanya bisa tersenyum menang sambil tetap menodongkan pistol
ke arah kepala wanita tadi.
Brak!!!
Dalam sekejap, brankas
yang terkunci pun terbuka mudah hanya dengan satu pukulan keras dari
sebatang besi. Puluhan emas batangan, jutaan uang, serta berkas-berkas
penting milik keluarga tersebut langsung berpindah tangan dalam hitungan
detik saja.
“Sudah semua?”
“Beres. Ayo kita pergi!”
“Bagus!”
balas ucap penjahat yang masih setia membekap wanita paruh baya itu
ditemani pistol kecilnya. Lantas ia bergegas sambil melepaskan
bekapannya perlahan. Namun tetap dengan kondisi tangannya yang masih tak
lepas menodong ke arah wanita tersebut.
“Tolooonnnggg!!!” teriak wanita tersebut seketika. Dan. . .
Jder!!!
Sebuah
tembakan terpaksa penjahat itu bidikan ke arah dada wanita itu demi
menyelamatkan dirinya yang mungkin akan mengundang kedatangan warga
sekitar. Lantas mereka segera berlari cepat tanpa mempedulikan wanita
tersebut.
Klutuk!
“Mamaaaaaa!!!” sudah tak kuat lagi untuk
menahan sesak di dadanya, anak laki-laki yang tadi bersembunyi itu
berteriak hebat. Keluar, dan berlari mendekat ke arah ibunya yang sudah
tak berdaya lagi.
“Mama bangun, ma! Mama bangun!”
“Mama
jangan tinggalin Alvin! Mama jangan tinggalin Alvin sama Angel! Mama
bangun, Ma! Mama bangun!” semakin histeris, anak laki-laki kecil bernama
Alvin itu menggerak-gerakkan tubuh ibunya. Bersamaan dengan pecahnya
tangisan sang bayi yang semakin menggenapkan suasana miris yang terjadi
di kamar tersebut.
“Mama. . .” kembali, Alvin melirih. Kali ini
suaranya melemah, juga karena tak ada respon dari ibunya yang memang
sudah tak bernyawa lagi. Lantas ia menunduk dan bersimpuh di dekat tubuh
kaku wanita paruh baya yang berlumuran darah itu.
Sekilas, Alvin
melihat sebuah benda tergeletak tak jauh di tempatnya duduk. Sebuah
bandul kalung berbentuk asimetris dengan warna hitam pekat serta di
tengahnya bertuliskan “Gradevil”. Lalu Alvin mengambil dan
menggenggam benda tersebut erat. Seakan dalam hatinya berkata kalau
dirinya akan membalas semua perbuatan yang telah pemilik bandul kalung
itu lakukan kepada keluarganya.
“Tunggu Alvin, Alvin bakal balas
semua ini buat Mama, buat Papa juga. Alvin janji Ma, Alvin janji!” ujar
Alvin ambisius. Sinkron dengan kedua mata birunya yang memerah. Lantas
ia menarik napas kuat-kuat.
***
“Ini bonus buat kamu,”
di tengah lamunan panjangnya, seorang pria muda itu tersentak seketika
saat seorang lelaki tua berbicara seraya menyodorkan sebuah amplop
tebal.
“Bonus buat kerja kamu kemarin.” lanjutnya. Sedangkan pria
muda tersebut hanya membuang napas sambil menurunkan tumpangan kakinya
dari atas meja. Kemudian mematikan cerutu yang belum sempat diisapnya
itu ke dalam asbak.
“Tidak perlu repot-repot, Mister. Yang kemarin juga sudah cukup buat saya.” tolak Lee cukup halus.
“Ck!
Ayolah, Lee! Untuk sekali ini saja, saya mohon kamu terima uang itu.”
lagi, lelaki tua itu berucap, kali ini sedikit memohon kepada Lee. Dan
bahkan mungkin hal itu sudah terlalu sering ia lakukan tiap kali ia
memberi sesuatu yang sama kepada Lee, anak buah andalannya selama lima
tahun terakhir.
“Saya belum bisa terima, Mister. Lebih baik Mister
simpan dulu, mungkin lain kali saya ambil kalau saya butuh.” ujar Lee
santai. Membuat lelaki tua yang berdiri di sampingnya itu kembali
membuang napas.
“Ya sudahlah kalau itu yang kamu mau, saya tidak bisa memaksa.” ujarnya terlalu pasrah. Lee pun menghela napas lega.
“Hmm.
. . Mister, apa boleh saya meminta sesuatu yang lain selain yang kau
tawarkan itu?” pinta Lee setelahnya. Sontak lelaki tua itupun tersenyum
mendengarnya. Entah kenapa. Atau karena mungkin hal tersebut merupakan
hal langka yang pernah ia dengar dari mulut seorang Lee Alvinandra?
Mungkin saja. Pasalnya, Lee memang tidak pernah meminta sesuatu apapun
semenjak ia menjadi pengikut lelaki tua itu sebagai pembunuh bayaran,
walaupun sudah sering ia ditawarkan.
“Are you serious? Apa
yang kamu minta dari saya? Coba katakan! Sebisa mungkin saya akan
kabulkan,” respon lelaki tua tersebut cukup senang. Rasanya hal seperti
inilah yang selalu ia tunggu-tunggu dari Lee. Karena menurutnya, untuk
memberi sesuatu sebagai bonus kepada Lee itu seperti memberi rumput
kepada seekor serigala. Terlalu susah.
“Saya. . .”
“Ya? Kamu butuh apa?”
“Saya
mau berhenti dari pekerjaan ini, Mister. Saya mau berhenti jadi
pembunuh bayaran. Saya sudah mulai jenuh,” ungkapnya yang berhasil
membuat kening Hugo一nama lelaki tua itu一sedikit berkerut.
“Saya ingin
kembali hidup seperti biasa, tanpa harus lagi membunuh orang-orang yang
belum tentu berdosa.” lanjut Lee. Seakan selama ini baru tersadar kalau
perbuatan yang ia jalani ternyata memang salah.
“Apa Mister mau
mengabulkan permintaan saya? Saya mohon, Mister. . .” Hugo belum juga
angkat bicara walaupun kini Lee sudah mengatupkan kedua telapak
tangannya di depan dada. Entah ini akan menjadi permintaan pertama atau
mungkin menjadi permintaan terakhir yang Hugo dengar dari mulut Lee.
Rasa sulit untuk mengabulkan pun tiba-tiba muncul dalam benak Hugo,
sesulit ia melepaskan Lee setelah hampir enam tahun menjadi tangan
kanannya.
“Kamu serius meminta itu, Lee?” tanya balik Hugo setelah
dengan panjangnya ia menarik napas. Lantas Lee mengangguk yakin karena
memang tak ada niat sedikitpun untuk menarik kembali permintaannya tadi.
“Saya lebih dari serius, Pak.”
“Hmm.
. . Yayaya, baiklah.” tak tau harus menjawab apa lagi, Hugo terpaksa
mengabulkan permintaan Lee. Meski faktanya masih cukup banyak tugas Lee
yang belum sempat dijalankan olehnya, tapi mau bagaimana lagi? Lee sudah
memutuskan untuk berhenti dari profesinya. Dan Hugo, lagi-lagi harus
rela untuk membatalkan semua kesepakatan antara pihaknya dan pihak
client.
“Terimakasih banyak, Mister!” ucap Lee seraya menunduk setengah badan.
“Tapi dengan satu syarat,” Hugo kembali berucap. Kali ini nada bicaranya cukup serius.
“Dan
benar-benar harus kamu jalankan tanpa bisa menolak.” lanjut Hugo tanpa
mempedulikan ekspresi wajah Lee yang seakan bilang
kenapa-mesti-ada-syarat?
“Apa syaratnya?” tanya Lee sambil berjalan mendekati Hugo yang berdiri menghadap dinding kaca.
“Ini
syaratnya,” jawab lelaki tua itu singkat. Sedangkan Lee cukup
mengernyit dibuatnya setelah ia menerima selembar kertas tebal
bergambarkan seorang gadis cantik dari tangan Hugo.
“Namanya Kimberly, salah seorang mahasiswi di Luxart University.
Dan dia harus kamu bunuh secepatnya.” belum sempat untuk Lee bertanya,
Hugo langsung menjelaskan kenapa Lee menerima sebuah foto darinya.
“What?! Luxart University? Are you joking, right? Itu tempat saya kuliah juga.” ungkap Lee cukup syok.
Faktanya,
meskipun Lee seorang pembunuh bayaran, Lee paling pantang menerima job
yang suasananya masih berhubungan dengan apa yang sedang ia lakoni di
dalamnya.
“Saya tau, Lee. Tapi bukan berarti kamu harus membunuhnya di tempat tersebut kan? Smart think!”
“Tapi, Mister?”
“Tugas terakhir,” kata Hugo datar. Dan itu terpaksa membuat Lee membuang napas jengah.
“Baiklah,”
lirih Lee yang setelahnya terlibat percakapan panjang dengan lelaki tua
tersebut. Percakapan mengenai misi mereka kali ini lebih tepatnya.
***
Lampu
ruangan yang tadinya padam tiba-tiba berubah terang saat seorang gadis
baru membuka pintu dan melangkah dalam hitungan jari. Sontak ia terhenti
seketika, pergerakkannya seakan terkutuk dalam diam setelah sapaan
ketus menusuk gendang telinga gadis tersebut.
“Dari mana aja kamu hah?!”
“Gue?”
tunjuk gadis itu pada hidungnya sendiri. Entah karena polos atau
bagaimana, yang jelas sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh pria muda
berkacamata hitam itu bisa dibilang cukup aneh menurutnya. Karena
biasanya, meski mereka berdua satu atap, sangat jarang sekali一atau
bahkan tidak pernah一mereka berkontak suara seperti sekarang ini. Dan
jelas saja membuat gadis bernama Kimberly Sivia itu berlagak seperti
orang bodoh saat kakak tirinya bertanya.
“Ya elo lah, siapa lagi?! Dari mana aja jam segini baru pulang hah?! Keluyuran? Clubbing?
Oh, atau jangan-jangan loe abis diajak kencan sama om-om? Cih!
Murahan,” glek! Sivia menelan ludah seketika. Cukup syok mendengar
kata-kata keji yang keluar dari mulut seorang Kenzia Cakka, pria muda
yang sudah menjadi kakak tirinya sepuluh tahun terakhir. Lalu ia
mendesis, berusaha berlagak acuh tak acuh di hadapan pria yang tiap hari
selalu mengajaknya berperang itu.
“What? Ever! Serah loe, yang penting loe seneng.” respon Sivia lebih dari ketus. Langkahnya yang sempat terhenti pun ia lanjutkan kembali.
“Aih! So bitch!”
“Bitch is you, badboy!”
dan setelah Sivia menimpali ocehan dari Cakka, tiba-tiba di depan pintu
kamarnya sudah berdiri wanita paruh baya berwajah masam. Yang lagi-lagi
membuat Sivia memutar mata.
“Ck! The big momster is come back!” gumamnya asal.
“Kenapa
kamu baru pulang? Ini jam berapa hah?” tanya wanita itu seraya menunjuk
jam tangan emas yang dipakainya. Membuat Sivia membuang napas jengah
dan kemudian berdecak.
“Masih jam sebelas, Tante! Masih terlalu
wajarlah pulang kampus jam sebelas mah. Bukannya setiap hari juga aku
pulang jam segini ya? Lagipula ini rumah aku kan? Jadi terserah aku dong
mau pulang jam berapa? Dan Tante gak berhak buat larang-larang aku.”
jawabnya tegas.
“Oh, sekarang kamu udah berani melawan Tante, iya?!”
“Maaf
Tante, bukannya aku mau melawan sama Tante. Tapi aku cuma lagi males
aja debat sama Tante, sama Cakka juga. Aku capek banget, aku mau tidur.”
“Apa
katamu? Kamu capek? Mau tidur? Apa Tante gak salah denger?” tanya
wanita itu kemudian. Kakinya ia langkahkan demi mengelilingi tubuh
Sivia. Sedangkan Sivia hanya mengernyit sambil bola matanya mengikuti ke
mana saja ibu tirinya bergerak.
“Emang kamu pikir kamu puteri raja
yang pulang main langsung tidur? Iya?!” lagi-lagi Sivia mengernyit.
Mulai tidak mengerti dengan ucapan wanita yang masih menggunakan nada
sinis di setiap perkataannya itu.
“Maksud Tante apa? Aku gak ngerti.
Udah ah, aku mau istirahat, besok kuliah pagi.” ujar Sivia cukup jengah
dengan suasana yang kini menjerat kelelahannya.
“Kamu jangan
pura-pura bodoh, Kimberly! Kamu itu bukan siapa-siapa lagi di rumah ini!
Karena mulai sekarang kamu itu cuma pembantu di rumah ini. Bukan lagi
Kimberly yang menjadi anak kesayangan ayah kamu yang bodoh dan tolol
itu!” tukas wanita itu tepat di depan wajah Sivia.
“JANGAN PERNAH
HINA AYAH DI DEPAN AKU!!!” bentak Sivia tiba-tiba. Mulai muak dengan
kata-kata wanita paruh baya yang kini membawa-bawa nama ayahnya yang
telah meninggal. Namun wanita tersebut malah tertawa sinis meresponnya.
“Apa
kamu bilang? Tante menghina ayah kamu? Itu memang faktanya, sayang!”
bisiknya kemudian. Lantas Sivia langsung menepis cepat saat tangan
wanita itu hendak menyentuh dagunya.
“Cukup, Tante! Aku bilang aku gak mau debat sama Tante. Aku mau tidur, permisi!”
Plak!
“Kamu
itu dibilangin susah banget sih?! Tante bilang kamu jangan tidur! Kamu
bersihin dulu semua cucian kotor yang ada di dapur, pel semua lantai
yang ada di rumah ini sampai mengkilat, dan yang terakhir kamu harus
bersihin gudang. Karena tempat itulah yang akan menjadi kamar kamu mulai
malam ini dan seterusnya. Ngerti?!” jelasnya panjang lebar setelah
dengan kerasnya ia menampar pipi kanan Sivia.
“Dan kalau sampai besok
pagi belum kelar, jangan harap kamu bisa keluar dari rumah ini!
Termasuk kuliah.” ancamnya. Lalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan
Sivia yang merasa kesakitan di wilayah wajahnya. Sedangkan di sudut
lain, ada seseorang yang tersenyum ketus saat melihat Sivia disiksa
seperti sekarang ini. Kenzia Cakka tentunya.
“Dan sebentar lagi riwayat loe akan tamat, Kimberly. Huh! I can't wait it.”
***
Luxart University
Di
sebuah toilet, Alvin memandangi wajahnya di depan cermin setelah
beberapa detik matanya melirik sebuah foto yang hampir setengah jam
digenggamnya. Gampang-gampang susah untuk Alvin mencari gadis yang
tertera pada foto itu di Universitas ini. Tetapi yang jadi masalahnya
bukan itu, melainkan entah kenapa Alvin merasa tidak tega jikalau harus
membunuh gadis yang tatapannya selalu membuat hati Alvin merasakan hal
berbeda itu. Dan meski belum pernah sekalipun ia bertemu dengannya.
“Kimberly. . .” gusar Alvin pelan. Rambutnya yang sedikit basah itu sengaja diacaknya seketika.
“Kenapa gue jadi seperti ini?! Come on, Alvin! Ini tugas terakhir loe. Loe pasti bisa! Loe pasti bisa bunuh gadis ini.” ujarnya mencoba membujuk diri.
“Tapi?
Aaarrrggghhh. . . Shit! Loe itu siapa sih?! Kok gue malah jadi gini
cuma gara-gara lihat foto loe?” tukas Alvin kembali frustasi. Mata gadis
itu seakan-akan mempermainkan perasaan Alvin dalam sekejap.
“Astaga! She is the eagle's eyes, right?
Kenapa gue baru inget sekarang? Aih!” ujar Alvin lagi saat otaknya
teringat akan sesuatu. Sesuatu yang kurang dari 24 jam yang lalu sempat
dibahasnya dengan sang bos besar.
“Huh! Yayaya. Cukup menantang. Tapi
bukan Lee Alvinandra namanya kalau gak bisa ngelakuin ini semua. Hmm. .
.” sekejap, ia bergegas setelah menyelipkan kacamata hitam pekat di
kedua telinganya.
Alvin pun berjalan sewajarnya setelah membuka
hendel pintu toilet. Melirik suasana sekitar yang masih terlihat sangat
sepi. Lantas menarik napas pendeknya cepat-cepat.
“Awaaaaaassssss!!!”
dan baru saja Alvin mengembuskan napas, tiba-tiba seorang gadis
berteriak ke arah Alvin sambil berlari tak terkontrol.
Brak! Klutuk!
Mereka
berdua kontan terjatuh dengan posisi Alvin berada di bawah dan gadis
tadi berada di atasnya. Dan sedikit lagi hampir saja bibir mereka
bersentuhan kalau saja tangan Alvin tidak refleks menahan pundak gadis
tersebut. Keduanya menahan napas, cukup syok. Bahkan Alvin yang
kacamatanya terlempar jauh itu dapat melihat dengan jelasnya ekspresi
was-was dari raut wajah gadis tersebut. Lalu ia mengernyit. Sepertinya
ia mengenali sosok gadis yang kini matanya terpejam kuat itu.
“Kimberly?” gumamnya spontan. Sontak gadis itu berusaha membuka matanya perlahan.
“Ah. . . Sori,” lalu segera berdiri begitu menyadari tubuh beratnya menumpang di atas tubuh orang lain.
“Sori
ya, kak? Tadi aku larinya gak ke kontrol, susah banget buat ngerem.
Maaf ya, lagi buru-buru banget soalnya. Kakak gak apa-apa kan?” celoteh
gadis itu kemudian. Sedangkan Alvin malah mendadak diam seribu bahasa.
Pergerakkannya terkutuk seketika. Bahkan bukan hanya pergerakkannya yang
terkutuk, semua organ-organ di tubuhnya juga mengalami hal yang sama
saat ia tanpa sengaja menatap mata cokelat milik gadis tersebut.
“Hey,
kakak gak apa-apa kan?” merasa tak ada respon, gadis itu memastikan
kondisi Alvin dengan sebuah lambaian pelan di depan matanya.
“Eh, gue. . . Iya, gue gak apa-apa kok.” kata Alvin cukup terbata.
“Oh, syukurlah. Sekali lagi maaf ya, kak?”
“Oke, gak apa-apa kok. Santai aja,”
“Hehehe.
Oh iya, kalau boleh tau siapa namanya? Gue Sivia, mahasiswi fakultas
hukum.” Sivia, gadis itu, kini dengan manisnya mengulurkan tangan di
hadapan Alvin yang masih terlihat kaku dari sebelumnya.
“Sivia?” gumam Alvin dengan mengulang kembali nama Sivia.
“Ya, Sivia. Nama kakak ini siapa?”
“Gue. . . Lee, eh, Alvin. Ya, gue Alvin.”
“Alvin? Oke, salam kenal ya?”
“Iya,
salam kenal. Hmm. . . Ngomong-ngomong tadi kenapa lari-lari? Bukannya
ini masih pagi ya?” tanya Alvin spontan. Membuat Sivia langsung teringat
kembali akan tujuan utamanya kenapa ia sampai lari-lari seperti tadi.
“Oh
itu? Iya, tadi gue berangkat ke sini naik ojek, terus pas di jalan
malah kebelet pipis, jadi gue lari-larian buat ke toilet deh. Hehehe.”
jelas Sivia jujur. Sementara Alvin terkekeh kecil dibuatnya. Ada-ada
saja.
“Aduh. . . Sebentar ya kak, aku mau ke toilet dulu. Tambah gak tahan ini,”
“Oh iya sok silahkan!” ujar Alvin refleks. Kemudian menggelengkan kepala setelah Sivia melewatinya sambil berlari kecil.
“Astaga! Gadis itu?!” ucap Alvin begitu ia melihat kacamatanya yang tergeletak sambil melirik Sivia bergantian.
“Ah, shit!”
cetus Alvin seakan baru menyadari bahwa begitulah jadinya kalau ia
sampai menatap mata Sivia secara langsung. Seperti terhipnotis. Lantas
ia mengambil kacamata itu dan memakainya kembali.
“Hmm. . . Baiklah,
ini hal baru yang harus gue mulai.” Alvin menyeringai seketika.
Tangannya ia masukkan ke dalam saku celana dan kemudian melangkah pergi.
***
“Muka
loe kok kusut banget, kenapa sih? Loe abis begadang lagi gara-gara si
Lampir sama Gerandongnya itu?” Sivia membuang napas pelan ketika teman
akrabnya bertanya saat mereka duduk di pelataran taman kampus.
“Ya begitulah,”
“Astaga,
Sivia! Loe tuh mau-maunya sih disuruh-suruh sama mereka? Lawan dong
sekali-kali! Jangan diem aja! Setidaknya jangan bikin mereka makin
ngelunjak lah.”
“Gak segampang itu, Fy. Bisa aja sih gue ngelawan,
tapi kalau gue diusir dari rumah gimana? Mau tidur di mana gue? Kolong
jembatan?”
“Ck! Itu kan rumah loe, Vi. Kenapa mesti takut diusir? Harusnya mereka lah yang diusir sama loe.”
“Hmm.
. . Iya sih. Tapi gue gak mau gegabah Fy, gue kasihan sama mereka
berdua. Ya kali aja mereka bisa tobat, siapa tau kan?” Ify一teman akrab
Sivia一lantas tertawa ketus mendengar perkataan temannya tersebut.
“Loe berharap mereka tobat? Aih! Mau sampai kapan, Vi? Nunggu kiamat dulu baru iya.” ujarnya.
“Hahaha.
Bisa aja loe. Udah ah, males gue bahas mereka berdua.” ucap Sivia
seraya menyambar air mineral yang tadi ia beli di kantin.
“Bentar
deh, itu kak Alvin bukan sih? Kak Alviiinnn, tunggu!” teriak Sivia
begitu matanya menangkap sosok pria muda berkacamata sedang berjalan
gancang tak jauh dari tempatnya duduk. Membuat pria muda itu berhenti
melangkah dan menengok ke arah sumber suara.
“Ya?” respon pria muda tersebut yang ternyata memang Alvin.
“Mau
ke mana, kak? Sini ngobrol-ngobrol dulu aja sama kita.” ajak Sivia
antusias. Sedangkan Alvin yang masih bingung pun tiba-tiba kakinya
tergoda untuk melangkah ke arah Sivia dan temannya duduk.
“Duduk dulu, kak! Oh iya, kak Alvin mau pulang ya?” tanya Sivia lagi memastikan.
“Iya sih mau pulang, tapi gue mau jemput Angel dulu.” jawab Alvin langsung.
“Angel?”
“Iya, adik kecil gue.”
“Oh, adik kak Alvin? Sekolah di mana?”
“Di SD samping kampus kita kok, gak jauh.”
“Masih SD, kak? Wah, pasti unyu-unyu.”
“Begitulah,”
“Ehem!” seketika Ify berdehem kecil. Seakan keberadaannya tidak dianggap lagi semenjak ada Alvin di sana.
“Oh
iya kak, ini Ify, temen gue. Ify, ini kak Alvin, yang tadi pagi gue
ceritain itu lho?” ungkap Sivia sebagai perantara perkenalan antara
Alvin dan Ify. Mereka saling senyum terlebih dahulu dan kemudian
berjabat tangan.
“Ify,”
“Alvin.”
“Salam kenal ya, kak?”
“Iya,” lalu Alvin melirik arlojinya lekat-lekat.
“Hmm. . . Gue cabut duluan gak apa-apa kan? Mau jemput Angel dulu,” pamit Alvin sembari melirik Sivia dan Ify bergantian.
“Gak apa-apa kok, kak. Santai aja!”
“Iya, harusnya juga kita yang gak enak sama kak Alvin. Soalnya udah menyita waktu kakak buat jemput Angel.” sambung Ify.
“Kalau
gitu gue pergi ya? Permisi!” sejenak, sebelum melangkah pergi, Alvin
menyempatkan diri untuk tersenyum ke arah Sivia dan Ify. Dan itu
benar-benar senyuman termanis yang pernah mereka berdua temui.
“Iya kak, hati-hati!” ucap Sivia dan Ify kompakan.
“Ah,
Siviaaaaaa!!! Ternyata yang namanya Alvin itu ganteng bangeeettt! Kece
parah deh pokoknya! Terus tadi pas dia senyum, gue kok jadi deg-degan
gini ya? Aih! So sweet.” histeris Ify yang matanya belum juga beralih dari tubuh Alvin yang semakin menjauh.
“Gak usah segitunya juga kali, Fy! Lebay loe!” respon Sivia sambil menyenggol pundak gadis yang masih bertingkah over itu.
“Mau loe bilang lebay kek, apa kek, bodo amat! Yang jelas tuh cowok udah bikin gue spot jantung hari ini. Oh my to the God!”
“Huh, dasar joni!”
“Heh? Apaan tuh joni?”
“JOMBLO NISTA! Hahaha.”
“Sialan
parah loe, Vi! Dan kalaupun gue jomblo nista, apa kabar dengan loe
hah?!” timpal Ify yang berhasil membuat Sivia berpamer gigi.
“Gue mah single, bukan jomblo. Hahaha.” bisik Sivia sambil bangkit dari duduknya.
“Sama aja, Sivia! Huh, dasar!”
“HAHAHA.”
“Tungguin gueee!”
***
Gadis
kecil berambut dikuncir dua itu terus berjalan lurus, tak menghiraukan
panggilan dari Alvin yang sedikit berlari tak jauh di belakangnya.
“Angel, tungguin kak Alvin!” sudah hampir puluhan kali seruan tersebut keluar dari mulut Alvin, namun Angel tetap tak bergeming.
“Angel
marah ya sama kakak? Ya udah deh kakak minta maaf,” lagi, Alvin
bersuara. Langkahnya sudah sejajar dengan gadis kecil tersebut.
“Kok
Angel gitu sih sama kakak? Kakak kan udah minta maaf,” Angel masih tak
peduli. Wajahnya yang masih ditekuk pun belum mau untuk menengok ke arah
Alvin.
“Oke. . . Kalau emang Angel gak mau maafin kakak, gak masalah
kok. Kakak mau beli es krim ah,” pancing Alvin seraya berhenti
mengikuti langkah adiknya, lalu berjalan mundur perlahan.
“Kakak gak bakal kasih kalau Angel minta!”
Dan seperti dugaan Alvin sebelumnya, Angel berhenti melangkah dan berbalik badan ke arahnya.
“Kok
kakak jahat sih sama Angel? Angel kan mau juga dibeliin es krim sama
kak Alvin.” ujar Angel mulai sedikit melunturkan aksi ngambeknya.
“Angel
kan lagi marah sama kak Alvin, jadi ngapain juga kak Alvin beliin es
krim buat Angel?” ledek Alvin dengan melipat kedua tangannya di dada.
Angel pun memajukan bibirnya seketika.
“Ih, kok kakak gitu sih sama Angel? Tadi kan Angel cuma ngambek dikit doang, kak?”
“Mau sedikit, mau banyak, tetep aja ngambek kan?”
“Ya
lagian suruh siapa tadi kak Alvin lama banget datengnya? Angel kesel
tau, kak?!” balas Angel sambil ikut melipat tangan. Lalu Alvin
berjongkok dengan memegang kedua pundak Angel.
“Ya udah sekarang impas ya?”
“Hmm. . . Ya udah deh. Tapi janji ya beliin es krim dulu?”
“Gak mau,”
“Ih, kak Alviiinnn!”
“Hehehe. Iya-iya,” ucap Alvin sambil mencubit pelan hidung adiknya. Angel pun tersenyum.
***
“Kamu
beneran gak mau pulang siang ini, sayang?” tanya seorang gadis cantik
yang sedikit bermanja dalam dekapan Cakka. Cakka pun menengok, kemudian
membelai lembut ubun-ubun gadis itu.
“Iya, sayang. Aku mau habisin siang indah ini bersama kamu.” bisiknya sembari menggigit pelan telinga gadis tersebut.
“Ih, kamu nakal deh!” Cakka hanya tersenyum saja saat gadis tersebut membalas dengan menepuk dada bidangnya.
Mereka
berdua kembali berpelukan, tanpa busana, hanya sebuah selimut tipis
saja yang menjadi penutup tubuh mereka di atas sebuah ranjang. Perbuatan
haram itu memang sudah sering dilakukan oleh Cakka setiap ia mendatangi
sebuah apartemen milik kekasihnya, Reshilla. Meskipun mereka belum
terikat dalam sebuah tali pernikahan, tetapi anehnya mereka tidak pernah
mempedulikan hal itu. Entah karena terlalu cinta atau memang karena
mereka telah terjerat oleh hasutan setan, yang jelas Cakka dan Shilla
kini sudah terlanjur terjebak dalam kenikmatan dunia.
Perlahan,
Shilla menautkan kedua tangannya di leher Cakka. Mencoba menikmati
setiap cumbuan yang dilakukan pria tersebut di tubuhnya.
“I really love you, my honey.” lagi-lagi Cakka berbisik. Membuat Shilla kembali tersenyum sembari mengeratkan pelukkannya.
***
“Ade
cantik, kamu ngapain di sini? Kok sendirian aja?” Sivia yang baru saja
mengantar Ify mencari taksi, tiba-tiba terheran saat melihat seorang
gadis duduk di pinggir trotoar.
“Aku lagi nunggu kakak aku, kak.” jawabnya polos.
“Lho? Emang kakak kamu ke mana? Kok kamu gak ikut?” tanya Sivia lagi. Kali ini ia ikut duduk di samping gadis tersebut.
“Kakak
aku mau ke toilet sebentar katanya, kak.” Sivia mengangguk sambil
membulatkan mulut. Lalu sedetik kemudian ia merogoh tasnya.
“Oh iya,
kamu mau cokelat? Kakak punya dua cokelat nih, kakak kasih satu kalau
kamu mau.” tawar Sivia seraya menunjuk cokelat di kedua tangannya.
“Hmm.
. . Gimana ya? Sebenernya Angel mau-mau aja sih, tapi kata kakak Angel,
Angel gak boleh nerima sesuatu apapun dari orang yang gak dikenal.”
ucap gadis itu yang ternyata Angel一adik Alvin. Sivia mendadak tersenyum
kecil dibuatnya.
“Oh, namanya Angel ya?” Angel langsung mengangguk.
“Ngg. . . Gak apa-apa juga kok kalau emang Angel gak mau mah. Kakak
simpen lagi aja,” lanjutnya.
“Tapi kayanya kakak itu orang baik deh.
Hmm. . . Gak apa-apa deh, Angel mau. Hehehe.” ujar Angel sedikit
labil. Membuat Sivia kembali tersenyum, mewajarkan sikap kekanak-kanakan
gadis tersebut.
“Emang Angel sama kakak Angel mau pergi ke mana?”
“Angel
sama kakak Angel rencananya mau ke mini market, mau beli es krim. Tapi
kakak Angel malah kebelet pipis,” jawab Angel yang lantas menggigit
cokelat pemberian Sivia tadi.
“Oh gitu ya?”
“Iya, kak. Hmm. . .
Kalau boleh tau, nama kakak ini siapa ya? Angel kan udah makan cokelat
punya kakak, masa iya Angel gak tau nama kakak?”
“Eh iya ya, kakak juga sampai lupa ngenalin diri kakak sendiri. Hehehe. Kenalin, nama kakak Via.”
“Oh,
kak Via? Angel seneng deh bisa kenal sama kak Via, udah baik, cantik
pula. Pasti kakaknya Angel juga bakal suka kalau ketemu sama kak Via.”
“Lho? Emang kakaknya Angel cowok ya?”
“Cowok kak, ganteng lagi.”
“Oh. . . Kakak kira cewek.”
“Cowok kok, kak. Hehehe. Entar deh Angel kenalin kak Via sama kakak Angel kalau udah dateng.” ucap Angel antusias.
“Hmm.
. . Mungkin lain waktu aja kali ya? Soalnya kakak harus pulang nih,
udah hampir jam dua.” kata Sivia setelah melirik arloji berwarna ungu
yang melingkar di tangan kirinya.
“Yah, kakak. Tapi ya udah deh gak apa-apa. Makasih ya kak buat cokelatnya?”
“Iya
sayang, sama-sama. Kamu baik-baik ya di sini? Kakak mau pergi dulu.
Babay!” dan sebelum pergi, Sivia mengacak pelan poni gadis itu.
“Hati-hati ya, kak Via!” teriak Angel. Seulas senyuman manis pun mengiringi langkah Sivia yang semakin jauh.
“Sayang,
tadi kamu ngobrol sama siapa?” tanya Alvin yang entah sejak kapan
berada di belakang Angel. Membuat Angel sedikit terkejut.
“Ih, kak Alvin ngagetin aja!”
“Ya
maaf, abisnya tadi kakak khawatir lihat kamu ngobrol sama orang yang
gak dikenal. Kakak takut kamu diculik, jadi kakak lari deh. Emang tadi
siapa sih?” tanya Alvin lagi ingin mengetahui lebih rinci.
“Kakak yang itu? Dia kak Via, kak. Temen Angel,”
“Via?
Temen Angel? Emang sejak kapan Angel punya temen sebesar itu?” Alvin
mengernyit heran. Jika dilihat dari postur tubuhnya, Alvin sepertinya
belum pernah melihat gadis yang tadi mengobrol dengan Angel itu
sebelumnya.
“Sejak
barusan,” jawab Angel sumringah. Karena baru kali ini Angel berkenalan
dengan seorang perempuan yang usianya hampir sebaya dengan kakaknya,
Alvin.
“Aduh, Angel. . . Kakak kan udah pernah bilang, jangan pernah
deket-deket sama orang yang gak dikenal! Kamu inget gak sih?!”
“Tapi kak Via itu orang baik kok, kak. Buktinya dia ngasih Angel
cokelat.”
“Angel, dengerin kakak! Sekali lagi kakak bilang, kamu jangan pernah
deket-deket sama orang yang gak dikenal, apalagi sampai nerima sesuatu.
Ngerti?!” perintah Alvin sambil menatap tajam dengan pegangan yang cukup
erat di pundak Angel. Yang lantas memberi efek menakutkan bagi gadis
kecil tersebut.
“Maafin kakak, bukan maksud kakak buat ngebentak kamu. Jujur, kakak cuma
takut aja kalau kamu sampai kenapa-kenapa.” kini Alvin sedikit melirih begitu merasa
kalau Angel ketakutan dengan ucapannya tadi. Lalu menyentuh kedua pipi
adiknya itu sangat lembut.
“Kak Alvin gak usah minta maaf, kak Alvin gak salah kok, Angel yang salah. Dan Angel
janji, Angel bakal inget terus kata-kata kak Alvin tadi.” ujar Angel
yakin. Dan tiba-tiba hatinya tergoda untuk memeluk pria muda yang masih
berjongkok di hadapannya itu.
“Aku sayang banget sama kak Alvin.”
“Iya sayang, kakak juga sayang banget sama Angel. Karena Angel itu harta
terindah satu-satunya yang kakak punya di dunia ini.” mereka berpelukan
erat di pinggir jalan, tak peduli meski banyak juga orang yang
melihatnya dengan tatapan haru.
***
Srek! Suara gorden terbuka seketika. Sinar mentari sore pun seketika
menerobos ruangan itu. Menusuk secara paksa kedua pasang mata yang masih
terpejam. Lantas pemilik mata itu menggeliat setelahnya.
“Sayang, bangun! Aku udah siapin teh hangat nih buat kamu.” ujar Shilla yang masih
berbalut baju tidur. Kemudian duduk tak jauh di tempat Cakka berbaring.
“Ayo dong bangun! Pasti kamu capek kan, sayang?” dirasa Cakka belum juga
merespon panggilannya tadi, Shilla kembali bersuara. Kali ini sembari
menggoyangkan tubuh kekasihnya itu.
“Bentar lagi ya, sayang? Aku masih capek,” balas Cakka dengan suara sengaunya.
Shilla pun menarik napas pasrah.
“Ya
udah kalau gitu aku mandi dulu ya, sayang?” kata Shilla sambil menaruh
segelas teh hangat di atas meja dan kemudian mengecup mesra pipi kanan
Cakka. Lantas Cakka pun mengangguk paham, lalu menbalas dengan
tersenyum.
“Bye, sayang!” dan Shilla melangkah pergi setelahnya.
Sedangkan dalam detik yang sama, Cakka segera menarik selimut yang tadi
hanya menutupi setengah perutnya yang masih tanpa busana.
Namun
baru saja Cakka berniat untuk memejamkan mata, tiba-tiba suara ponsel
mengusik pendengarannya. Cakka pun langsung menggeliat kesal, juga
terpaksa tangannya keluar dari balik selimut untuk mengambil ponselnya
yang memang terletak tak jauh di posisinya tersebut.
“Lee?” gumam
Cakka begitu matanya menatap layar ponsel. Sebuah panggilan dari Lee,
kontak yang pernah ia terima dari Mr. Hugo beberapa hari yang lalu.
“Hallo?”
“Apa anda ini Mr. Ken?”
“Ya, saya Ken. Ada apa?”
“Saya Lee, agen dari DeadFaster.”
“Oh,
yayaya. Gimana tugas anda? Apa anda sudah berhasil melakukan apa yang
aku mau, Mr. Lee?” tanya Cakka begitu menyadari kalau Lee adalah utusan
dari Hugo, owner DeadFaster yang ia kunjungi beberapa hari yang
lalu. Untuk apalagi kalau niat Cakka datang ke sana bukan untuk
melenyapkan Kimberly Sivia一satu-satunya gadis penghalang bagi Cakka dan
ibunya untuk mendapatkan semua harta warisan milik ayah dari gadis
tersebut.
“Maafkan saya mister, saya belum melakukan apa yang
anda inginkan. Saya perlu waktu, karena sepertinya gadis ini mempunyai
kekuatan yang sangat tidak mudah untuk dilenyapkan begitu saja.”
“Bodoh! Kenapa mesti mengulur waktu lagi hah? Bukankah ini terlalu mudah buat anda selaku pembunuh bayaran yang sudah handal?!”
“Saya mengerti mister, tapi saya. . .”
“Saya
gak mau tau! Saya ingin anda membunuh gadis sialan itu secepatnya!”
sontak Cakka langsung mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.
Sangat tak peduli dengan Lee yang mungkin sekarang sedang kebingungan
harus berbuat apa.
“Sayang, tadi katanya kamu mau tidur? Kok belum tidur juga sih? Terus tadi juga aku denger kamu ngobrol sendiri,”
“Tadi ada orang yang telpon aku,” jawab Cakka dengan memotong pembicaraan Shilla yang kini berdiri di depan cermin.
“Emangnya siapa yang telpon? Mama kamu?”
“Bukan
kok, temen kuliah.” balas Cakka sambil bangkit dari tidurnya. Lantas
berjalan mendekati Shilla dan memeluknya dari belakang.
“Ih, sayang!
Mulai deh! Gak malu apa telanjang gitu?” timpal Shilla sedikit risih.
Sedangkan Cakka malah menyeringai iblis. Matanya tergoda untuk menjamah
wilayah leher jenjang Shilla. Namun. . .
“Eits! Tidak lagi untuk sekarang!” cegah Shilla dengan memegang kepala Cakka. Lalu menuntun pria tersebut ke arah kamar mandi.
“Lebih baik kamu mandi dulu, terus minum teh, terus siap-siap buat hangout entar malem, terus. . .”
“Terus?” pancing Cakka saat kata-kata Shilla terpotong.
“Hmm. . . Terus apa ya? Udah ah, sana mandi dulu!”
“Tapi
aku mau dimandiin sama kamu, sayang?” rengek Cakka saat tubuhnya masih
berdiri di tengah-tengah pintu kamar mandi. Shilla pun memutar mata.
Pria ini terkadang bersifat seperti anak kecil meskipun sifat aslinya
tidak sama sekali baik.
“Sayang. . . Kamu itu bukan anak kecil lagi.”
“Tapi aku mauuu. . .” ucap Cakka manja.
“Enggak, enggak, enggak!” tolak Shilla mentah-mentah. Namun seketika Cakka menyeringai iblis untuk kedua kalinya. Dan. . .
“Cakkkkkkaaaaaa. . .” teriak Shilla kencang saat tubuhnya di tarik Cakka ke dalam kamar mandi dan dikuncinya cepat-cepat.
***
“Kimberlyyyyyy!!!”
teriak Sonya yang berhasil memecahkan gendang telinga Sivia yang sedang
mengepel lantai. Sontak membuat Sivia memutar mata seraya membuang
napas jengah.
“Kiamat duabelas!” tukasnya.
“Kimberly, ke sini kamu!”
“Iya, sebentar!”
“Cepetan!”
“Iya-iya, ada apa sih?! Pakai teriak segala kaya di hutan aja.” cetus Sivia sambil segera mendekati sumber suara.
“Kamu ini becus gak sih kalau kerja?! Kamar Cakka kok masih berantakan kaya gini?!” omel Sonya begitu Sivia sampai di tempatnya.
“Oh, itu? Aku kira ada apa teriak-teriak kaya orangutan.”
“Kenapa ini masih berantakan hah?!” bentak Sonya untuk kesekian kalinya di hadapan Sivia.
“Jelaslah masih berantakan, orang belum aku beresin.” respon Sivia santai.
“Kenapa belum diberesin? Ke mana aja kamu dari tadi?”
“Tante, tadi kan Tante sendiri yang nyuruh aku ngepel. Sekarang malah nanyain ke mana aja aku dari tadi, gimana sih? Heran deh,”
“Diem
kamu! Kalau dibilangin malah ngebantah terus. Cepetan beresin kamar
Cakka sekarang juga! Tante gak mau kalau Cakka sampai marah-marah
gara-gara kamarnya belum diberesin.” seru Sonya seenak hatinya.
“Ya, lagian suruh siapa punya anak sifatnya kaya beruang gitu.” umpat Sivia pelan.
“Cepetaaannn!”
“Tapi aku kan belum kelar ngepel, Tante.”
“Beresin ini dulu, abis itu baru terusin ngepelnya!”
“Gak
mau ah! Hmm. . . Atau gini aja deh, aku beresin kamar Cakka, Tante yang
ngepel. Kan cukup adil tuh?” saran Sivia asal. Namun bodohnya, Sonya
malah berpikir dan raut wajahnya seakan memberi tanda kalau ia mau
menyetujui saran dari Sivia tersebut.
“Oh, ya udah.” ucapnya.
“Yes!”
umpat Sivia lagi. Lantas ia memberikan semua alat pelnya ke Sonya. Dan
sedetik kemudian Sonya pun keluar dari kamar Cakka dengan linglungnya.
“Dasar wanita bodoh! Mau aja gue kibulin. Hahaha.” gumam Sivia sambil tertawa puas.
“Satu, dua, tiga. . .”
“Kimberlyyyyyy!!!”
“Tepat
sekali!” seperti dugaan Sivia, Sonya kini一hanya dalam hitungan detik
saja一langsung tersadar kalau ia sedang dikibuli anak tirinya itu.
“Iya, apalagi sih, Tante?”
“Kamu mau bodohin Tante hah?!” Sonya kembali menukas saat tubuhnya muncul lagi di depan pintu kamar Cakka.
“Lho? Kan tadi Tante sendiri yang mau?”
“Aaarrrggghhh. . . Kamu tuh ya!” Sivia terkekeh dibuatnya. Apalagi saat melihat ekspresi wajah Sonya yang sangat bodoh itu.
“Anda kalah telak, wanita bodoh!” ketus Sivia dengan desisan sinisnya.
Dalam
sedetik, Sivia kembali membuang napas. Baru saja telinganya merasa
damai dari teriakan Nenek Lampir itu, kini malah pandangan matanya yang
disuguhkan dengan keadaan kamar Cakka yang super berantakan. Membuatnya
menggeleng malas dan sedikit berdecak.
“Ini kamar orang apa kamar
setan sih? Absurd bener kelihatannya. Parah!” gumam Sivia prihatin.
Bahkan Sivia sampai bingung harus dari mana dulu ia memulai untuk
membereskan kamar milik Cakka itu.
“Hmm. . . Baiklah,”
***
Di
dalam duduknya, Alvin terlihat memasang wajah masam. Ternyata niatnya
untuk menghubungi Mr. Ken itu tidak seperti yang ia bayangkan. Cukup
menyebalkan. Padahal baru pertama kali ia mengontak client barunya
tersebut, tetapi ia sudah mendapatkan cacian yang bahkan belum pernah
sekalipun ia dengar selama menjadi agen DeadFaster.
“So damn! Kalau
saja bukan karena tugas terakhir dari Mr. Hugo, gue gak bakal diam saja
mendapatkan cacian yang hina dari loe, Ken! Loe belum tau siapa gue
sebenarnya.” sinis Alvin seraya memutar ponselnya di atas kasur.
“Ya,
bisa aja sih gue bunuh Sivia secepatnya. Tapi sayangnya gue ingin tau
lebih dulu apa konflik yang terjadi antara Sivia dan loe, Mr. Ken.”
kini, Alvin menyeringai sinis. Entah kenapa ia tergoda untuk mengetahui
urusan clientnya yang terakhir ini.
“Ini tugas gue yang terakhir, dan
gue. . . Gue ingin melakukan yang berbeda dengan yang pernah gue
lakukan.” Alvin pun merebahkan tubuhnya seketika. Memandang
langit-langit dengan tatapan kosong.
“Ck! Sepertinya ini sangat
menyenangkan. Yayaya. . . Mungkin dengan begini gue bakal tau kenapa
orang-orang di luar sana sampai tega menyuruh pembunuh bayaran untuk
membunuh orang yang belum tentu berdosa itu. Hmm. . . Baiklah,”
lanjutnya. Sampai tak sadar kalau sejak tadi pintu kamarnya sudah ada
yang mengetuk berulang kali.
“Kak Alvin, Angel boleh masuk gak?” tanya gadis di balik pintu. Membuat Alvin segera bangkit dari ranjangnya.
“Masuk
aja, sayang! Gak dikunci kok.” jawabnya lantang. Lantas Angel pun masuk
dengan kedua tangannya yang memegang dua buah susu kotak seraya
tersenyum ke arah kakaknya.
“Kak Alvin mau tidur ya? Duh, maaf ya kak
kalau Angel ganggu? Angel cuma mau bawain susu kotak aja kok buat
kakak.” ujar Angel sedikit tak enak hati. Namun Alvin hanya membalasnya
dengan senyuman. Lantas menarik gadis kecil itu ke atas pangkuannya.
“Gak apa-apa kok, sayang. Makasih ya?” ucap Alvin cukup manis. Susu kotak yang disuguhkan Angel pun diterimanya dengan cepat.
“Oh iya kak, Angel boleh tanya gak sama kak Alvin?” tanya Angel.
“Hmm. . . Boleh,”
“Beneran nih boleh? Tapi kak Alvin janji dulu ya bakal jawab jujur?” pinta Angel yang cukup membuat Alvin mengernyit.
“Emang Angel mau tanya apa? Iya deh kak Alvin janji bakal jawab jujur,”
“Janji nih?”
“Iya
sayang, kak Alvin janji. Mau tanya apaan sih?” Alvin lantas mencubit
hidung Angel pelan. Benar-benar gemas dengan sifat adik cantiknya itu.
Angel menyeringai terlebih dulu sebelum bertanya.
“Ngg. . . Kak Alvin
kok sampai sekarang belum punya pacar sih? Emang kak Alvin gak ada yang
suka ya?” glek! Alvin menelan ludah seketika. Dua buah pertanyaan dari
Angel tersebut bahkan tidak pernah sedikitpun terpikirkan oleh Alvin
sebelumnya.
“Hmm. . . Mesti dijawab ya?”
“Wajib! Kan tadi kak Alvin udah janji sama Angel.” kata Angel sambil mengangkat kepalanya ke atas demi melihat wajah Alvin.
“Hmm.
. . Bukannya kak Alvin gak ada yang suka sih, tapi emang kak Alvin lagi
gak pengen pacaran dulu. Kak Alvin pengen fokus urusin Angel,” jawab
jujur Alvin dengan semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Angel yang
masih duduk manis di pangkuannya itu.
“Oh gitu ya, kak? Yah, padahal
Angel pengen banget kalau kak Alvin itu punya pacar. Kalau gitu kan
nanti Angel jadi punya kakak perempuan deh.” ujar Angel seraya
membayangkan apa yang sedang ia harapkan dari Alvin. Sedangkan Alvin
hanya terkekeh mendengarnya.
“Ya udah deh entar kakak cari pacar kalau ada waktu. Hehehe.”
“Hmm.
. . Gimana kalau Angel aja yang cariin pacar buat kak Alvin?” tawar
Angel yang berhasil membuat Alvin menautkan salah satu alisnya.
“Ish! Emangnya Angel tau cewek kesukaan kakak itu kaya gimana?”
“Gak tau! Hehehe.”
“Ih, dasar!”
“Hmm.
. . Tapi menurut Angel, kak Via sepertinya cocok juga tuh buat kak
Alvin.” ucap Angel saat teringat sosok gadis yang memberinya cokelat
siang tadi. Alvin lagi-lagi mengernyit dibuatnya.
“Kak Via? Kak Via siapa?” tanya Alvin kemudian. Matanya pun ia sipitkan kompak.
“Itu
lho kak, yang tadi siang ngasih cokelat ke Angel.” jawab Angel sembari
turun dari pangkuan Alvin. Lantas Alvin pun langsung membulatkan
mulutnya sambil mengangguk berulang kali.
“Oh, yang itu? Tapi kan kak Alvin gak tau orangnya, sayang?” cetus Alvin sangsi.
“Asal
kak Alvin tau ya, kak Via itu orangnya cantiiiiiik banget! Udah gitu
baik dan ramah pula sama Angel. Pokoknya gak nyesel deh kalau kak Alvin
punya pacar kaya kak Via.” jelas rinci Angel yang seakan sudah mahir
betul dengan masalah percintaan orang dewasa.
“Masa sih? Aduuuh. . .
Ade kakak ini kok paham bener sih masalah gituan? Udah ah, kamu gak
boleh bahas masalah itu lagi! Kamu kan masih kecil, sayang. Mendingan
sekarang kamu tidur deh, entar malem kan katanya mau ditemenin belajar
matematika sama kakak?” ucap Alvin sambil membelai rambut panjang Angel
yang kini memamerkan gigi rapinya itu.
“Oh iya ya? Hmm. . . Ya udah
deh kalau gitu Angel tidur dulu.” ujarnya polos sembari bergegas naik ke
atas tempat tidur kakaknya dan lalu menarik selimut cepat-cepat.
“Nah,
gitu dong! Entar kakak bangunin deh pas waktunya Angel buat belajar.
Oke?” gadis itupun mengangguk cepat. Kedua kelopak matanya sudah mulai
terasa berat.
“Selamat tidur ya, Angel sayang? Semoga mimpi indah,”
ucap Alvin sembari melayangkan ciuman hangat di kedua pipi adiknya
tersebut. Hal terindah yang rutin Alvin lakukan semenjak dirinya dan
Angel ditinggal oleh kedua orangtuanya sepuluh tahun yang lalu.
Sejenak,
Alvin memandang sendu wajah adiknya yang begitu cantik saat terlelap.
Wajah itu, wajah yang selalu mengingatkan ia kepada sosok ibu
tercintanya. Seorang wanita anggun yang nyawanya terenggut dengan sangat
mengenaskan itu.
“Ma, Pa. . . Alvin janji, Alvin bakal lindungi
Angel sampai kapanpun. Dan Alvin juga janji akan membuat Angel menjadi
perempuan terhebat yang pernah ada di keluarga Lee. Kalian yang tenang
ya di sana?” ujar Alvin dengan yakinnya. Kemudian ia menarik napas cukup
panjang sebelum ia melangkah pergi untuk membiarkan gadis kecil itu
terlelap dengan tenangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar