@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Rabu, 09 Juli 2014

Sweet as Devil 2

Guardian Devil


Ify berdiri cukup canggung di depan pintu rumahnya setelah ia turun dari taksi dan berjalan ke tempatnya berdiri saat ini sepulang kuliah tadi. Entah kenapa rasanya malas sekali untuk mengetuk pintu apalagi sampai masuk ke dalam rumah tersebut. Karena di otaknya, selalu saja dibayang-bayangi oleh sosok pria muda yang menurutnya sangat amat menyebalkan itu. Mario Rend. Pria muda berkulit sawo matang yang telah diberi mandat oleh kedua orangtua Ify untuk menjaganya selama mereka bertugas di Berlin. Di mana pria yang selalu berucap sinis itu sudah lebih dari cukup membuat Ify merasa tidak betah hidup di dalam rumahnya sendiri. Dan itu mungkin menjadi alasan kenapa Ify lebih suka menghabiskan waktu di kampus ketimbang di rumahnya selama dua minggu terakhir ini.

Ify kembali menarik napas. Dan mau tak mau ia harus masuk ke dalam rumah tersebut karena rasa lelah yang menjerat tubuhnya.
“Udah deh jangan kebanyakan mikir! Cepetan masuk! Nungguin apa lagi sih?!” glek! Entah ada suara setan dari mana, Ify seketika menelan ludahnya kuat-kuat saat langkah kaki pertamanya baru saja menginjak lantai dalam. Lantas kening Ify mengernyit sesaat dan memutar matanya setelah tersadar kalau itu adalah suara dari Mario. Guardian Devilnya.
“Kenapa jam segini baru pulang? Bukannya pulang kuliah itu jam 11? Ini udah jam berapa? Ngapain aja di luar sana hah? Main? Keluyuran? Terus kalau. . .” mendengar pertanyaan-pertanyaan Mario yang seakan menembaknya bertubi-tubi, Ify hanya mencibir saja tanpa sedikitpun berniat untuk menjawab. Jangankan menjawab, mendengar pun rasanya sangat malas bagi Ify.
“Gue belum selesai ngomong, Clarissa!” bentak Mario saat Ify dengan santainya berlalu begitu saja dari hadapannya yang masih terfokus pada sebuah televisi.
“Gue capek, gue mau tidur.” jawab Ify terpaksa meski kakinya baru saja menginjak anak tangga pertama.
“Tapi loe harus jawab semua pertanyaan gue dulu, Clarissa!”
“Penting?”
“Itu-lebih-dari-penting, Clarissa!” balas Mario dengan penekanan.
“Whatever you say! Dan jangan pernah panggil gue Clarissa! Karena loe bukan nyokap bokap gue! Ngerti?!”
“Tapi gue adalah utusan dari bokap nyokap loe, Clarissa. Udah deh, apa susahnya sih jawab pertanyaan gue tadi? Ck!” decak Mario.
“Males! Gue pulang buat istirahat, bukan buat jawab pertanyaan loe yang gak penting itu.” respon Ify yang sejak tadi selalu membatalkan niatnya untuk naik ke atas.
“Hmm. . . Ya udahlah terserah loe aja mau gimana. Tapi sebelum loe istirahat, mendingan loe makan siang dulu deh, gue udah masakin nasi goreng tuh di meja. Dan loe gak boleh nolak soalnya gue udah bela-belain masak buat loe. Oke?” kata Mario kemudian. Kali ini entah kenapa ucapannya lebih enak untuk didengar. Atau mungkin karena sudah tak bisa lagi melawan semua penolakkan yang Ify ungkapkan tadi. Entahlah.
“Gue gak laper, makasih!” balas Ify yang kini langsung berlari saja ke lantai dua cepat-cepat. Namun tiba-tiba ia berhenti dari langkahnya.
“Kenapa? Berubah pikiran?” timpal Mario asal. Namun matanya tak sedikitpun beralih dari acara televisi yang sedang ditontonnya.
“Cih! Pede amat loe jadi orang. Dan asal loe tau ya, di sini gue cuma mau bilang kalau loe gak usah sok baik sama gue! Bye!” tukas Ify dengan kembali menghentakan kakinya keras.
“Ck! Dasar gadis aneh! Susah banget dibilanginnya.” umpat Mario sembari menggeleng prihatin dibuatnya.

***


Sivia berjinjit pelan menuju pintu rumahnya. Cukup hati-hati untuk ia membuka pintu tersebut agar tidak terdengar oleh Nenek Lampir yang mungkin sekarang sedang tidur itu. Ternyata rasa lapar yang menyerang perutnya tersebut membuat Sivia harus repot-repot keluar dari kandang macan untuk mencari makanan. Juga karena semua stok makanan di rumah itu sudah dikuasai oleh Sonya dan Sivia tidak boleh menyentuh sedikitpun sebelum ia meminta izin atau diizinkan olehnya. Cukup menyebalkan, bukan? Untung saja Sivia masih mempunyai uang tabungan pemberian almarhum ayahnya yang cukup untuk membiayai kehidupan Sivia selama tujuh tahun ke depan. Bagaimana kalau tidak? Mungkin Sivia sudah tak bisa lagi menghirup udara malam seperti yang ia lakukan sekarang ini.
“Yes! Akhirnya gue bisa keluar juga dari penjara sialan ini. Hmm. . .” ujar Sivia cukup lega dengan kondisi kedua matanya yang terus mengitari setiap sudut rumah yang dulu pernah menjadi surga terindahnya itu. Namun sedetik kemudian ekspresi wajah gadis ini berubah keruh di saat untuk kesekian kalinya suara mengenaskan itu berbunyi dalam perutnya.
“Duh, laper banget gue. . .” lirihnya seketika.

Sejenak, Sivia mematung di depan pintu. Berpikir sesaat untuk mencari makanan di mana dan ke mana ia detik itu. Hingga akhirnya Sivia pun tersenyum setelah ia tau ke mana ia akan pergi untuk mengganjal perut laparnya tersebut.
“Oh iya, Ify!” cetusnya tegas. Lantas dengan cepat ia merogoh ponselnya di dalam saku celana.
“Ify, Ify, Ify! Mana siiih? Nah, ini dia!” ujar Sivia setelah menemukan kontak dari Ify. Dan tanpa ragu lagi ia segera menghubungi sahabatnya tersebut sebelum waktu benar-benar malam dan sebelum Nenek Lampir itu terbangun dari tidurnya.
“Angkat dong, Fy!” gusarnya.

“.......”

“Hallo Fy, loe di mana sekarang?”

“.......”

“Kebetulan banget, Fy! Gue lagi mau keluar nih, tapi gak ada temen. Sekarang gue ke sana ya? Gak apa-apa kan, Fy?”

“.......”

“Oh, oke. Loe tenang aja, masalah itu gue yang urus.”

“.......”

“Kalau gitu gue on the way ya? Loe siap-siap aja dulu, entar gue BBM loe kalau gue udah nyampe. Oke?”

“.......”

“Sip. See you ya!”

Klik! Dengan mantap Sivia memutuskan sambungan teleponnya dengan Ify. Dan dengan wajah yang cerah, Sivia kini melangkah setelah sebelumnya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

***


Lampu kamar itu padam seketika. Seorang pria muda yang tadi memadamkan lampu kamar tersebut pun kini berdiri di ambang pintu sambil memandangi gadis kecil yang sudah terlelap pulas di tempat tidurnya.
“Selamat malam dan mimpi indah ya, sayang.” ucapnya manis. Dan sedetik kemudian pintu kamar itu ia tutupkan perlahan. Membiarkan malaikat kecilnya berpetualang di alam mimpi dengan tenang. Lantas kaki pria berkacamata hitam tersebut langsung melangkah ketika dirasa sudah cukup waktunya untuk ia pergi menemui seseorang di suatu tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya. Ponsel yang ia genggam pun masih saja ditatapnya meski sudah tersambung dengan salah seorang di seberang sana. Entah karena ia malas berbicara, atau memang sengaja ia diamkan terlebih dahulu sebelum ia berada di garasi rumah untuk mengambil motornya? Entahlah. Yang jelas pria ini tetap fokus berjalan menuju pintu keluar dari rumah sederhana tersebut.

“Mr. Lee, are you there?!” suara dalam ponselnya kembali terdengar. Kali ini terkesan bernada lebih tegas. Dan ternyata pria itu. . . Alvin. Pria tampan yang satu jam yang lalu menjadi guru privat Angel untuk kesekian kalinya.

“Yeah, i'm here. What happen?” balas Alvin cukup datar.

“Aih! Dari tadi kek jawab panggilan gue!”

“So? Ada masalah?”

“Ck! Serah loe aja deh, Vin. Loe lagi di mana sekarang? Gue udah standby nih di tempat biasa,”

“Baguslah. Gue masih di rumah nih, baru mau on the way.” ujar Alvin santai. Tangannya ia arahkan ke sebuah helm yang tergeletak di atas jok motor yang terparkir tak jauh di tempatnya berdiri.

“What?! Yang bener aja loe?! Gue udah nunggu dari setengah jam yang lalu juga,”

“Ya elah, baru juga setengah jam. Belum nyampe dua jam kan? Ya udahlah gak usah ngebacot, ini gue mau cabut kok.”

“Serah loe deh Vin, serah loe! Cepetan ke sini! Lima menit ya?”

“Mau gue bunuh loe hah?!”

“Hahaha. Slowly brader, slowly. Becanda doang gue. Ish! ”

“Berisik loe! Gue cabut dulu.”

Klik! Alvin mematikan paksa sambungan teleponnya dengan salah seorang teman kecilnya yang sejak SD dulu selalu bersekolah di tempat yang sama, bahkan sampai sekarang pun mereka kuliah di Universitas yang sama yaitu Luxart University.

Dan lantas Alvin segera menyalakan mesin motor yang kini sudah ditumpanginya setelah menutup garasi dan menguncinya dari luar.
“Kakak pergi sebentar ya, sayang? Kamu baik-baik di rumah,” gumam Alvin sebelum benar-benar meninggalkan sebuah rumah yang kini hanya dihuni oleh seorang gadis kecil berumur sepuluh tahun.
“Saatnya buat seneng-seneng dulu sebelum melakukan tugas terakhir gue besok. Hmm. . . Baiklah, gue dateng, Gabriel. Huh!” Alvin menyempatkan diri untuk membuang napas terlebih dahulu sebelum sedetik kemudian motor itu melesat jauh dengan kecepatan yang cukup tinggi.

***


“Loe bisa gak sih hargai niat baik gue ini? Gue udah bela-belain masak cuma buat loe, Clarissa.” Ify lagi-lagi mendecak, mungkin untuk kesepuluh kalinya. Pria menyebalkan yang kini berdiri di samping tempat tidurnya sambil membawa sepiring nasi goreng dan segelas air putih itu benar-benar sudah membuat emosinya memuncak.
“GAK BISA! Terus loe mau apa hah?! Lagian loe kenapa sih ngebet banget buat gue makan tuh nasi goreng? Kan udah jelas-jelas dari tadi gue bilang gak mau ya gak mau! Jangan maksa gitu dong!” tukas Ify mulai gondok. Dan kalau saja Ify tidak menyayangi laptop yang sejak tadi ada di pangkuannya, mungkin benda tersebut sudah ia lemparkan ke wajah pria berkulit sawo matang tersebut. Siapa lagi kalau bukan Mario.
“Oh, gue tau sekarang. Loe mau racunin gue kan? Loe sengaja mau bikin gue mati akibat keracunan dengan nasi goreng buatan loe itu. Iya kan? Ngaku loe!” lanjut Ify seraya melayangkan tuduhan yang begitu sadis. Kontan Mario langsung memutar mata mendengarnya. Tega-teganya Ify membalas kebaikan Mario yang memang terbilang langka tersebut dengan sebuah tuduhan mengenaskan. Itu cukup gila, bukan?
“Heh, dengerin ya! Kalaupun gue mau ngebunuh loe, gak bakalan gue ngasih loe makanan yang beracun, gue bakal bunuh loe dengan tangan gue sendiri. Ngerti?!” respon Mario yang sukses membuat Ify menelan ludah kuat-kuat. Tatapan seorang Mario benar-benar membunuhnya meski hanya sedetik saja Ify melihatnya.
“Dan asal loe tau, gue itu paling gak suka dituduh yang enggak-enggak sama orang. Termasuk loe, Clarissa!” lanjut Mario yang kemudian pergi begitu saja dari kamar Ify.
“GUE BENCI BANGET SAMA LOE, MARIOOOOOO!!!” teriak Ify sangat kencang. Rasa kesal dan rasa sebal serta rasa benci yang akhir-akhir ini terpendam di hati Ify pun semakin memuncak bersamaan dengan gertakan sinis dari seorang Mario tadi.
“Kenapa sih harus ada loe di rumah gue hah?! Kenapa?! Buat jagain gue? Iya?! Gue gak butuh tau gak?! Gue bisa hidup sendiri tanpa harus loe jagain. Paham?!” tukas Ify dengan refleks melemparkan bantal-bantal yang ada di sekitarnya.
“Kehadiran loe di rumah ini merupakan musibah terbesar bagi gue! Gue benci sama loe, Mario!!!”

Dan sempat pergi dari kamar Ify untuk sesaat, Mario pun kembali menampakan wajahnya di ambang pintu. Setelah mendengarkan teriakan-teriakan dari Ify tentunya.
“Sebenci apapun loe sama gue, gue gak akan pernah pergi dari rumah ini dan akan tetep awasin loe sebelum bokap-nyokap loe balik ke sini tahun depan.” ujar Mario tegas.
“Gue gak sudi! Dan akan gue pastikan, besok maupun lusa, loe akan segera pergi dari rumah gue. Lihat aja!”
“Oh, silahkan! Coba aja sebisa dan semampu loe buat usir gue dari rumah ini. Gue-gak-takut, oke?” balas Mario yang sedikit meremehkan perkataan Ify.
“ISH! LOE TUH NYEBELIN BANGET SIH JADI ORANG?!”
“Maaf, gue gak ada waktu buat ngeladenin semua ocehan-ocehan loe. Permisi, selamat malam!” pintu kamar Ify ditutup seketika. Dan. . . Cklek!
“Jangan kunci kamar gue, cogil!”
“Lebih baik loe tidur, Nona cantik. Dan jangan pernah teriak-teriak lagi. Ini rumah, bukan hutan.”
“DASAR COWOK GILA!!!” baru saja Mario berhenti berbicara, Ify malah kembali berteriak. Membuat Mario lagi-lagi memutar mata, cukup susah menasehati gadis yang satu ini.

***


Sivia mencibir pelan selama di perjalanan. Pasalnya angkot yang ditumpangi gadis ini mogok di tengah jalan yang otomatis memaksa Sivia untuk berjalan kaki menuju rumah Ify. Di mana jarak dari rumah Ify dengan posisinya sekarang itu cukup dibilang sangat jauh. Apalagi ditambah perutnya yang belum terisi oleh makanan itulah yang semakin menggenapkan rasa dongkol di hati Sivia.

Dan seketika saja langkah gadis ini terhenti saat kedua mata indahnya menangkap sosok penjual bakso di seberang jalan. Ia tersenyum kecil kemudian.
“Kebetulan banget nih,” ujar Sivia senang. Rasa laparnya yang sudah akut pun membawa langkah kaki gadis tersebut untuk menyeberang tanpa melirik kanan dan kiri terlebih dahulu. Sampai-sampai sebuah lampu tembak yang sangat cerah mampu menerpa wajah Sivia saat ia baru saja berada tepat di garis putih yang tertera di atas aspal. Sontak hal itu membuat Sivia berteriak kencang sambil melindungi wajahnya, serta bersamaan dengan suara klakson yang terdengar nyaring di kedua telinganya.

Ckiiiiiiiiittttttttt!!!

Motor tersebut berhenti satu jengkal di posisi Sivia berdiri. Suara gesekan antara ban dan aspal pun menyeruak sampai mengeluarkan bau yang khas yang tercium oleh Sivia dan si pengemudi motor tersebut.

Cukup lama Sivia berdiri. Syok. Bahkan ia sendiri tidak tau apakah sekarang raganya sudah mati atau belum. Yang jelas gadis itu belum berani membuka mata saking takutnya. Takut kalau saja ia membuka mata kemudian ia dapat melihat tubuhnya hancur berantakan dan ia hanya bisa melihatnya tanpa bisa menyentuh sama sekali.
“Loe mau nyari mati hah?! Otak loe taruh di mana? Nyebrang gak pakai mata. Untung motor gue gak nabrak loe, coba kalau nabrak? Bisa beda lagi kan urusannya?” ketus si pemilik motor cukup sangar sambil melangkah mendekati Sivia. Sedang Sivia masih belum terlalu mendengar apa yang baru saja diucapkan si pemilik motor tersebut, malah ia masih setia menutup wajahnya sedari tadi.
“Loe denger gue gak sih?!” orang itu kembali menggertak.
“Sori, gue. . . Gue bener-bener ceroboh. Gue nyebrang gak lihat-lihat dulu. Sori ya?” ujar Sivia takut-takut. Matanya belum terlalu berani melihat ke arah lawan bicaranya.
“Wait! Loe. . .” untuk beberapa detik orang tersebut meneliti gerak-gerik dari Sivia.
“Loe. . . Sivia kan?” dan dibukalah kedua tangan Sivia di balik wajahnya.
“Kak Alvin?”
“Sivia, loe?”
“Duh kak, sori banget ya tadi gue nekad nyebrang gak lihat-lihat dulu. Soalnya gue buru-buru mau ke sana, gue mau. . .”“Enggak, enggak, enggak! Loe gak salah kok. Gue yang salah, loe gak usah minta maaf. Loe gak apa-apa kan? Gak ada yang luka?” sergah Alvin sembari mengecek seluruh tubuh Sivia yang berdiri tak jauh di depannya. Tak tau kenapa sikap keras Alvin lagi-lagi berubah drastis menjadi lebih peduli kepada gadis yang belum genap dua hari dikenalnya itu. Sivia cepat-cepat menggeleng.
“Gue gak apa-apa kok, kak. Gue cuma kaget. Gue pikir tadi gue bakal mati di tempat.” ujarnya kemudian. Lantas hal itu langsung membuat Alvin membuang napas lega saat mendengarnya.
“Syukurlah. Tapi beneran kan loe gak apa-apa?” tanyanya lagi untuk memastikan. Dan seperti sebelumnya, Sivia membalas dengan sebuah anggukan kepala.
“Hmm. . . Emangnya malem-malem gini loe mau ngapain di jalanan? Sendirian lagi,” ucap Alvin dengan tanpa ragu menyentuh pundak Sivia dan menggiring tubuh mungilnya ke tepian jalan.
“Niatnya tadi aku mau ke sana, mau beli makanan, kak. Tapi malah kaya gini jadinya. Yah, mungkin kurang hati-hati juga sih. Atau enggak karena efek laper kali ya?” jelas Sivia seadanya.
“Oh, gitu. Emang mesti cari makan sendiri ya, Vi? Malem-malem gini? Apa gak ada makanan di rumah?” Alvin pun kini menatap Sivia dengan tatapan heran.
“Ngg. . .”
“Hmm?”
“Ngg. . . Ada sih kak, cuma ya gitu deh. Hehehe. Ah, udahlah gak penting! Oh iya, kak Alvin sendiri mau ke mana malem-malem gini?” jawab dan tanya balik Sivia. Sedangkan Alvin yang belum terlalu paham dengan jawaban gadis tersebut hanya bisa mengernyitkan dahinya saja. Lalu sebisa mungkin mengangguk, mencoba mengerti.
“Gue. . . Gue mau ketemu sama temen.” jawabnya singkat.
“Oh, mau ketemuan sama temen toh?” ucap ulang Sivia pelan.
“OH-MY-GOD!!!” sambungnya seketika.
“Kenapa, Vi?”
“Gak apa-apa kok, kak. Hmm. . . Tadi katanya kak Alvin mau ketemuan sama temennya ya? Lewat sana gak?” tunjuknya.
“Iya, kenapa?”
“Yes! Kebetulan banget nih. Kalau gitu gue numpang motor loe ya, kak?”
“Numpang?” ujar Alvin seraya mengerutkan dahi. Bingung sendiri dengan kata-kata dari Sivia yang terkesan aneh menurutnya.“Iya kak, numpang. Numpang naik motor sama kakak. Boleh kan?”
“Hmm. . . Emangnya loe mau ke mana?” sembari mengernyitkan dahi, Alvin bertanya sedikit penasaran.
“Mau ke rumah Ify. Boleh ya, kak? Please! Tadinya kan gue naik angkot, eh malah angkotnya mogok, udah gitu rumah Ify masih jauh pula. Ditambah lagi sekarang gak ada angkot atau taksi lewat sama sekali.” jelas Sivia dengan gerak kepala yang menandakan kalau situasi dan kondisinya itu sangat membutuhkan tumpangan. Lantas tanpa bisa menolak sedikitpun, Alvin membolehkan Sivia menumpang di motornya.
“Ngg. . . Ya udah,”
“Yeay! Makasih ya, kak!” ucap Sivia seraya memberikan senyum manisnya dengan diiringi kedua lesung pipi yang terbentuk begitu anggun di wajah gadis tersebut. Alvin pun tak bisa berkutik untuk sesaat, sorot mata Sivia seakan membuatnya menjadi pria yang mudah mengabulkan apapun yang dipinta oleh gadis tersebut. Padahal faktanya Alvin bukanlah tipe orang yang seperti itu, terkecuali sama Angel selaku adik tersayangnya.
“Oh. . . Ya, sama-sama.”

***


“Sayang, kamu kenapa sih? Dari tadi kok sibuk sendiri gitu. Hati-hati lho, entar malah nabrak lagi.” sedikit was-was melihat gerak-gerik Cakka yang cukup aneh, Shilla bertanya pelan. Pasalnya sejak semenit yang lalu, Cakka cukup sering mengarahkan pandangannya ke belakang meski ia sedang menyetir mobil. Entahlah. Seperti orang yang sedang melihat sesuatu yang sangat mustahil.
“Sayang, kamu denger aku gak sih?” sekali lagi Shilla bertanya, kali ini cukup kesal.
“Ya sayang, kenapa?”
“Kamu yang kenapa? Dari tadi kok nengok terus ke belakang sih? Emangnya ada apa?”
“Oh. . . Itu sayang, tadi aku kaya lihat adik tiri aku lagi berdiri di pinggir jalan sama cowok.” jawab Cakka sambil melirik heran ke arah Shilla.
“Iya gitu?”
“Gak tau juga sih, atau mungkin aku salah lihat kali ya? Ah, udahlah lupakan! Lagian bukan urusan aku juga.” ujarnya kemudian. Sangat masa bodoh dengan apa yang tadi ia lihat. Yang pasti kini Cakka berusaha fokus kembali menyetir mobil supaya cepat sampai ke tempat tujuan awal mereka. Sedangkan Shilla yang masih sedikit terheran dengan ulah pacaranya itu, ia hanya bisa membuang napas sambil kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Melirik sebentar wajah Cakka, lalu menggeleng skeptis.
“Aneh deh,”

***


Pria muda berkacamata standar itu kembali mengisap rokok yang tinggal setengah batang yang terjepit di antara jempol dan telunjuknya. Entah sudah berapa batang rokok yang sudah ia habiskan malam itu, dan juga entah sudah berapa kali ia mendecak sebal dikarenakan seseorang yang sedang ditunggunya sejak tadi itu belum juga datang sampai sekarang.

Kini tangan pria itu beralih dengan menjamah segelas minuman bersoda setelah dengan paksa ia mematikan rokok ke dalam asbak.
“Nih bocah hobi banget sih gak on time! Bilangnya jam sembilan udah dateng, tapi sampai sekarang malah belum datang juga. Ah, shit!” gusar pria tersebut dengan sedikit menghentakan gelas bekas minumnya tadi.
“Nomornya gak aktif lagi. Ish!” kembali, ia berdecak. Genggaman pada ponselnya pun semakin erat.
“Yah. . . Begitulah anak muda zaman sekarang, pada ngaret. Gak pernah menghargai waktu sedikitpun. Padahal kan sebenernya waktu itu adalah uang.” pria itu seketika tersentak, menengok ke arah sumber suara yang baru saja ia dengar.
“Agatha?”
“Hai, Gaby!”

Pria itu Gabriel, teman Alvin. Calon ahli hukum yang kini dirundung rasa kesal akibat ulah Alvin yang mengajaknya ketemuan tapi sampai detik ini malah belum juga menampakan batang hidungnya. Namun kini berubah, rasa kesalnya seketika terlupakan saat ia melihat gadis cantik yang tiada lain adalah orang yang begitu dikaguminya. Agatha Queen Pricilla. Yang entah sejak kapan berada di tempat yang sama dengan Gabriel.
“Loe di sini juga? Sejak kapan? Kok tadi gue gak lihat loe sih?” tanya Gabriel bertubi-tubi. Sedangkan Agatha tersenyum saja. Ia tau kalau Gabriel sedang bertanya seperti itu, pasti ia tidak terlalu membutuhkan jawaban. Mungkin bisa dikatakan hanya sekedar basa-basi. Ya, begitulah.
“Pasti loe lagi nungguin Alvin kan?” tanya Agatha manis.“Ah, iya nih. Kok elo tau sih? Hmm. . . Eh iya, silahkan duduk dulu!” ujar Gabriel tak kalah manis. Agatha pun duduk di samping Gabriel. Menaruh tas yang di bawanya di atas paha setelah sebelumnya ia berucap terimakasih kepada pria tersebut.
“Loe mau pesen apa? Gue traktir deh,” lanjut Gabriel semangat. Kebetulan saja ia juga belum memesan makanan saat itu.
“Udah ah gak usah repot-repot. Gue abis makan kok tadi,”
“Gak apa-apa kali. Masa iya loe cuma lihatin gue makan entar. Ayolah!” rujuk Gabriel sedikit memaksa. Dan dengan sigap ia memberi menu makanan kepada Agatha.
“Baiklah kalau loe maksa,”
“Nah gitu dong!” mereka berbalas senyum seketika. Bahkan saking senangnya, Gabriel sampai lupa kalau ia sedang menunggu Alvin yang faktanya adalah orang yang membuat janji untuk bertemu di tempat tersebut.

***


Mario berjalan cepat ke arah depan rumah setelah gendang telinganya menangkap bunyi sebuah ketukan. Sedikit risih ia kala itu karena suara ketukan pintu yang berkali-kali. Bibirnya mencibir pelan.
“Iya sebentar!” teriaknya.

Sedetik, ia membuka pintu secara perlahan. Dan kemudian menyempatkan diri menghela napas sebelum akhirnya ia berkata.
“Maaf, kami tidak menerima tamu malam-mal. . .” dan seketika saja kata-katanya terpotong begitu ia melihat sosok gadis cantik berdiri tak jauh di hadapannya. Serta ada juga sesosok pria yang berdiri membelakangi seraya memainkan ponsel.
“Ify-nya ada, kak?” Mario pun tiba-tiba terdiam seribu bahasa. Ucapan lembut disertai tatapan mata yang mempesona itu seketika meluluhkan sikap keras yang tadi sempat dikeluarkan Mario. Dan tentu saja gadis itu adalah. . . Kimberly Sivia.
“Kak?” merasa belum juga dijawab akan pertanyaannya tadi, Sivia kembali bertanya.
“Oh, ada kok. Ini dengan siapa ya?” tanya Mario cukup gugup.
“Gue Sivia, temennya Ify. Ini pasti kak Mario, kan?”
“Temennya Ify? Iya, gue Mario. Oh iya, silahkan masuk! Ify ada di kamarnya,” ujar Mario. Sivia mengangguk kemudian. Sedangkan Alvin yang masih sibuk dengan ponselnya itu belum juga menengok ke arah Sivia dan Mario. Begitu juga Sivia yang sedikit melupakan kehadiran Alvin yang padahal dialah yang mengantarnya ke rumah Ify tadi. Malah ia begitu saja masuk ke dalam rumah Ify tanpa pamit terlebih dulu kepada Alvin. Membuntuti langkah Mario tentunya.
“Kalau gitu gue cabut duluan ya, Vi? Eh, lho? Sivia ke mana?” ucap Alvin bingung. Niatnya untuk pamit kepada Sivia tiba-tiba terpotong saat matanya tidak menemukan seorang pun ketika menengok.
“Wah, parah gue ditinggalin gitu aja. Hmm. . . Gue cabut aja kali ya? Udah jam sembilan lebih lagi, bakal kena sembur nih gue sama tuh anak jin.” was-wasnya ketika melirik arloji di lengan kanannya. Dan bersamaan dengan terlintasnya wajah Gabriel dari benak Alvin.
“Ah, bodo!” Alvin lantas menghentakan kakinya lebar-lebar. Berjalan menuju motor untuk segera ke tempat yang memang sebelumnya menjadi alasan utama untuk ia keluar rumah.

Sedangkan di dalam rumah, Sivia berjalan mengikuti Mario dari ruang tamu sampai di depan pintu kamar Ify. Tak ada percakapan di antara mereka kala itu. Hanya sebuah derap langkah kaki saja yang dapat berkomunikasi satu sama lain.
“Wuih, gila aja si Ify dikunci dari luar. Parah!” gumam Sivia pelan. Sangat pelan bahkan. Saat melihat Mario membuka pintu kamar Ify dengan kunci yang digenggamnya.
“Mau ngapain loe masuk lagi hah? Mau marahin gue? Atau mau ngeracunin gue? Please deh!” baru saja seperempat detik pintu itu terbuka, tukasan tajam dari seorang Ify pun menyeruak hebat. Sampai Sivia sedikit kaget dibuatnya. Namun kali ini Mario tak membalas, ia mencoba menarik napas dan mempersilahkan Sivia masuk.
“Ada yang mau ketemu sama loe,” ujarnya. Lantas Ify terdiam sesaat. Menatap datar ke arah Sivia.
“Makasih ya, kak.” kata Sivia begitu Mario ingin melangkah pergi dari kamar Ify. Ia mengangguk dan pergi setelahnya.
“Please lah jangan lihatin gue kaya gitu!” kembali, Ify bersuara. Sepertinya ia paham dengan tatapan sendu yang dikeluarkan oleh sahabatnya saat ini. “Dia beneran Guardian Angel loe, Fy? Wow, keren!” ujar Sivia seraya mendekat ke tempat Ify berbaring santai. Ify pun mengerutkan dahi. Sivia memang sedang meledeknya atau memang sedang memuji seorang Mario? Gila saja seorang Mario yang kejamnya tiada tanding itu dibilang Guardian Angel. Jauh.
“Guardian Angel pala loe!” kemudian Ify menukas. Mata tajamnya menatap skeptis ke arah Sivia yang tadi sempat menyenggol pundaknya.
“Bukannya kak Mario itu utusan dari bokap-nyokap loe buat jagain loe ya? Jadi otomatis dia guardian angel loe dong.”
“Please deh Vi, ngapain loe panggil dia kakak? Dia paling gak pantes dipanggil kakak. Dan asal loe tau ya, dalam kamus hidup gue, gue gak butuh adanya guardian. Apalagi model si Mario itu. Najis deh!” rutuk Ify kejam. Sivia terkekeh kecil seketika. Ternyata seorang Ify bisa kesal juga sama seorang pria. Karena baru pertama kali ini Sivia tau kalau Ify membenci salah seorang pria.
“Awas loe entar suka.”
“NO WAY! Gak akan pernah gue suka sama dia. Lagian ngapain sih kita jadi bahas dia? Bukannya loe ke sini buat ngajak gue makan di luar?” tanya Ify heran. Dan untuk sedetik Sivia menepuk dahinya. Pertanda kalau dirinya tengah melupakan sesuatu.
“Payah loe, Vi. Udah yuk cabut?”
“Enaknya makan di mana ya jam segini?” tanya Sivia seraya ikut beranjak dari duduknya. Membuntuti Ify dari belakang.
“Di resto om gue lah biar enak. Kali aja bisa makan gratis. Hehehe.”
“Oh iya ya? Eh Fy, kak Alvin?” tiba-tiba Sivia menarik tangan Ify dan berhenti berjalan.
“Kak Alvin? Kenapa dengan kak Alvin, Vi?”
“Tadi gue ke sini sama kak Alvin, Fy.”
“Lho? Terus sekarang kak Alvin mana?” tanya balik Ify yang cukup heran. Lantas Sivia tanpa berpikir panjang lagi langsung menarik Ify untuk berjalan kembali. Siapa tau saja Alvin masih ada di luar. Atau setidaknya lagi mengobrol dengan Mario mungkin.
“Kalian mau ke mana?” Mario yang masih betah di depan televisi pun tiba-tiba bertanya begitu Ify dan Sivia berjalan melewatinya.
“Kak Mario lihat cowok yang tadi nganterin gue ke sini gak?” tanya Sivia. Mario mengernyit.
“Cowok? Dari tadi gak ada cowok yang ke sini perasaan. Emang kenapa?” Mario balik bertanya ke Sivia.“Ngapain sih loe nanya ke dia, Vi? Udah jelas-jelas dia mah orangnya masa bodo.” bisik Ify seketika. Namun Sivia tak menghiraukan bisikan sahabatnya itu, ia malah merespon ucapan Mario tadi.
“Serius loe, kak?”
“Ngapain juga gue bohong? Tadi abis nganter loe ke kamar Clarissa, gue balik lagi ke sini dan gak ada siapa-siapa.”
“Jangan panggil gue Claris. . .”
“Ify! Please deh jangan ikut ngomong dulu!” gertak Sivia sedikit menekan. Ify pun mencibir dibuatnya.
“Oh gitu ya? Duh, padahal gue belum bilang makasih juga sama dia.” sesal Sivia pelan.
“Ya elah besok juga ketemu di kampus. Ribet amat jadi loe, Vi. Ayo, jadi makan di luar gak sih?” ucap Ify yang kemudian menarik tangan Sivia secara paksa. Bahkan tanpa ada basa-basi terlebih dulu terhadap Mario yang faktanya masih duduk manis di depan mereka berdua. Sivia memutar mata.

***


“Oh ya? Kok sama sih? Gue juga suka film lho, cuma gue lebih suka film action atau film horor ketimbang film yang cinta-cintaan gitu.”
“Romance maksudnya?”
“Ya, itu!” Agatha membulatkan mulut setelah sebelumnya ia menyeruput jus alpukat pesanannya tadi.
“Tau deh yang gak laku, sampai gak suka film romance segala. Hahaha.” ledek Agatha dibarengi tawa khasnya. Gabriel sempat tersedak, namun untung saja ia berhasil menahannya.
“Huh, tajem banget tuh mulut kalau ngomong ye? Gue bukannya gak laku tau!” sanggah Gabriel sedikit menekuk wajahnya.
“Terus?”
“Ya, ngg. . . Gue cuma belum nemuin cewek yang tepat aja.” ujarnya. Lantas mengedarkan pandangan ke sekitar. Berusaha menghindari tatapan mata Agatha yang cukup membunuhnya sejak tadi.
“Serius nih? Cie Gaby!”
“Apaan sih? Udah ah jangan bahas itu.”
“Hehehe. Oke-oke, sori. Hmm. . . Oh iya Gab, menurut loe Alvin itu kaya gimana sih orangnya?” berusaha untuk mengganti topik, kini Agatha mencoba berbicara tentang Alvin. Karena entah tiba-tiba di otaknya terlintas bayangan seorang Alvin. Gabriel pun yang tadi sibuk beralih ke sekitar, kini menatap Agatha penuh curiga.
“Alvin?” ucap ulangnya pelan. Agatha lantas mengangguk mengiyakan.“Iya, Alvin. Gue pengen tau aja gimana orangnya menurut loe. Loe kan sahabatnya dari kecil tuh, jadi gue. . .”
“Sori gue telat,” sempat kaget karena ucapannya yang terpotong, Agatha cukup gugup begitu melihat Alvin yang baru datang dan duduk semaunya di tempat mereka一Agatha dan Gabriel.
“Hey, Agatha! Loe di sini juga? Emang kita janjian bertiga ya, Gab?” tanya Alvin saat menyadari kehadiran Agatha. Gabriel menggeleng cepat.
“Enggak, tadi kebetulan aja ketemu Agatha di sini. Iya kan, Agatha?” ucapnya seraya meminta respon Agatha yang masih saja seperti orang yang tidak bisa mengambil napas.
“Agatha? Are you there?” panggil Gabriel sekali lagi.
“Ya? Kenapa, Gab?”
“Ya elah ngelamun.”
“Sori-sori, tadi gue gak denger. Emang loe nanya apaan?”
“Udahlah lupakan. Loe ke mana aja sih lama amat? Tau gak sih gue nunggu loe hampir dua jam lebih? Kebiasaan loe gak on time!” gerutu Gabriel bertubi-tubi. Sedangkan Alvin malah masa bodoh sambil mengedarkan pandangannya ke mana-mana. Bahkan sesekali bibirnya mengikuti gaya bicara Gabriel dengan cakapnya.
“Udah kan nyemburnya? Oke, sekarang kita ngapain?” tanya Alvin dengan tanpa dosa.
“Lee Alvinandra! Loe pengen gue bunuh hah?!”
“Hahaha. Sori Gab, sori. Tadi gue abis nganter seseorang dulu ke rumah temennya. Jadi gue telat dateng,”
“Bukan alesan basi kan, Vin?”
“No, this is fact. Ngapain gue nyari alesan? Kan gue yang bikin janji.”
“Yayaya. Whatever lah!” ujar Gabriel malas. Berdebat dengan Alvin sama saja berdebat dengan raja debat yang tidak pernah mau kalah.
“Duh, gue lupa ada Agatha di sini. Sori ya, kita emang sering kaya gini kalau ada masalah kecil.” kata Alvin memberi pemahaman.
“Oh, gak apa-apa kok nyantai aja. Lucu lihat kalian berdebat kaya gini.” balas Agatha antusias. Membuat Alvin dan Gabriel menatap skeptis ke arahnya.
“Loe gak mesenin makanan atau minuman buat gue, Gab? Wah, parah loe!” ledek sinis Alvin begitu matanya melihat ke atas meja dan di sana hanya ada dua porsi makanan dan minuman.
“Gue juga laper kali,” lanjutnya keruh.“Ya tinggal pesen aja sekarang apa susahnya sih, Vin? Heran,” Gabriel kembali menukas. Malah hal itu yang membuat Alvin terkekeh puas melihatnya. Entah kesenangan tersendiri untuk Alvin jikalau sudah melihat Gabriel kesal padanya.
“Ya udah makan punya gue aja, Vin. Belum gue makan kok,” kata Agatha ramah.
“Hmm. . . Gak usah repot-repot, Agatha. Tadi gue cuma becandain Gaby doang kok,” ucap Alvin yang langsung membuat Agatha membulatkan mulut. “Oh iya, loe abis ketemuan sama temen loe juga di sini?” lanjutnya.
“Ya begitulah. Abis ngerjain tugas bareng, terus makan-makan deh.”
“Oh gitu.”
“Hmm. . . Oh iya Vin, gue boleh minta nomor ponsel loe? Ya kali aja suatu saat gue ada perlu sama loe, jadi gue bisa langsung hubungi loe gitu.” ujar Agatha sedikit canggung.
“Oh, boleh-boleh. Catet ya?” respon Alvin langsung. Sedangkan di sisi lain ada seseorang yang sedang menatap mereka berdua secara heran. Gabriel.
“Ehem! Tau deh yang tukeran nomer,” ledeknya dengan nada canda namun tetap terdengar sinis.
“Apaan sih, Gaby?!”
“Tau tuh! Cemburu kali kita tukeran nomer.”
“Kurang kerjaan banget gue cemburu,” cibir Gabriel malas.
“Songong loe!” timpal Alvin sambil melayangkan jitakan keras di kening Gabriel. Mereka kembali berdebat kemudian. Bahkan sampai mereka melupakan apa alasan utama mereka bertemu di tempat tersebut. Yang jelas kehadiran Agatha lah yang membuat pertemuan mereka menjadi berbeda dari niat awal yang mereka buat.

***


Kedua gadis cantik itu membuang napas jengah. Masing-masing tangan mereka dilipat di dada dengan sedikit tatapan mata yang miris.
“Alamat gak jadi makan di luar,” gusar salah satu gadis itu yang bukan lain adalah Sivia.
“Ya mau gimana lagi, gue gak bisa nyetir mobil. Terus gue juga gak bisa pakai motor, mana gak ada taksi lewat lagi.” balas Ify ikut merana. Pasalnya mereka berdua sedari tadi masih saja berdiri di depan garasi rumah keluarga Ify. Memandangi mobil dan motor yang ada di dalam sana tanpa bisa menguasainya sedikitpun.
“Jadi sia-sia dong gue ke sini?”
“Gue minta maaf,” lirih Ify sesal.“So, kalian mau tetep di sini sampai matahari terbit atau mau terima penawaran gue?” tiba-tiba, untuk kedua kalinya Mario menawarkan jasa kepada mereka berdua.
“UDAH GUE BILANG KAN, SEKALI GAK MAU YA GAK MAU! Jangan sok baik deh.” sama seperti semula, Ify kembali menolak penawaran dari Mario.
“Ya terserah sih, gue cuma nawarin.” ucapnya enteng. Sedangkan kemudian Sivia langsung memberi kode ke Ify saat Mario berucap seperti itu.
“Ayo dong Fy, daripada kita di sini mulu kan? Mumpung kak Mario lagi baik nawarin kita.” bisik Sivia.
“Enggak, Vi!”
“Ah elo, masa tega banget sih sama gue.” lirih Sivia memelas.
“Gue gak sudi bisa satu mobil sama dia, Vi. Haram tingkat dewa!” tukas Ify. Namun kemudian terdengar suara mengenaskan di dalam perutnya.
“Tuh kan loe juga udah laper?” timpal Sivia seraya menyenggol pundak Ify. “Ayolah, Fy!” lanjutnya kemudian.
“Sekali gak mau ya gak mau. Please deh loe ngertiin gue.”
“Oke-oke, kalau emang gak mau gue anterin ya udah gue maksa. Lagian gue cuma nawarin doang kok. Hmm. . . Oh iya Siv, loe laper gak? Ke dapur yuk? Gue buatin nasi goreng deh,” kata Mario cukup ramah. Dan ajakannya terhadap Sivia itu membuat Ify membelalakan mata. Kenapa bisa-bisanya Mario seramah dan sebaik itu kepada Sivia. Sedangkan kepada dirinya Mario berlaku kejam layaknya penjahat di film-film action.
“Oh ya? Boleh tuh, kak. Gak apa-apa deh makan di sini daripada enggak sama sekali.” respon Sivia yang entah langsung begitu saja menerima penawaran Mario tersebut.
“Lho? Kok loe tega sih ninggalin gue?”
“Sori ya Fy, kalau urusan ini gue gak bisa pro sama loe. Dan kalau emang loe sayang sama perut loe, mending loe ikut masuk deh. Ayo, loe laper kan?” ajak Sivia yang hendak masuk kembali ke dalam rumah Ify.
“Ah, elo gitu deh sama gue.”
“Udah, ayo! Jangan sok munafik gitu deh. Loe mau mati berdiri di sini? Enggak kan?” kali ini Sivia kembali mendekati Ify dan kemudian menarik tangan gadis itu untuk masuk ke rumahnya. Dipaksa untuk menerima tawaran dari Mario tentu saja.
“Ah, Viaaa!” gusar gadis berambut panjang itu.
***


Malam kian melarut. Bulan sabit serta jutaan bintang yang menggantung di atas sana semakin menampakan kilau cahayanya ke seluruh alam. Tak tertinggal juga binatang malam yang kini saling beradu suara di tempat mereka berada. Serta semilir angin yang bertiup lembut kala itu memberi kesan damai bagi siapa saja yang merasakannya. Sungguh malam yang sangat indah.

Sedangkan di sisi lain, tiba-tiba saja Cakka memalingkan wajahnya ketika baru beberapa detik saja bibirnya menyentuh bibir mungil milik gadis berkulit putih itu. Shilla tentunya. Dan entah apa yang sedang Cakka pikirkan saat ini, ia begitu terlihat resah. Bayang-bayang Sivia yang tadi sempat dilihatnya sedang berdiri di pinggir jalan bersama seorang pria itu cukup mengganggu perasaannya.
“Kamu kenapa sih, sayang?” tanya Shilla pelan. Gerak-gerik Cakka yang aneh membuatnya sedikit merasa heran dengan kekasihnya tersebut. Dan karena belum ada niat untuk berbicara, Cakka hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Ada apa sih? Cerita dong! Siapa tau aja aku bisa bantu kalau kamu sedang ada masalah.” lagi, Shilla berucap. Meski terkesan memaksa untuk Cakka berbicara apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
“Aku gak apa-apa kok, sayang. Mungkin aku cuma sedikit capek. Kita pulang yuk?” jawab Cakka lesu sembari berusaha turun dari kap mobil miliknya. Sedangkan Shilla langsung membuang napas saat mendengarnya, entah kenapa kata-kata yang keluar dari mulut Cakka membuatnya sedikit jengah.
“Baiklah,” ucapnya sembari ikut turun dari kap mobil. Menerima ajakan Cakka untuk pulang dan tentu saja mencoba memaklumi sikap kekasihnya yang terlihat sangat aneh itu. Lalu kembali membuang napas sebelum jemari lentiknya membuka pintu mobil.

***


“Hati-hati ya, Agatha!” ucap Alvin dan Gabriel bergantian. Agatha yang baru saja dijemput oleh supirnya pun membalas ucapan kedua pria tersebut dengan sebuah lambaian tangan. Lantas mobil itu melaju dua detik kemudian.
“So, loe ngajak ketemuan sama gue di sini mau ngomongin masalah apa?” tanya Gabriel seketika. Sebuah pertanyaan yang memang sudah mengganjal di benak Gabriel semenjak Alvin mengajaknya bertemu di tempat tersebut. Alvin meneguk minumannya untuk sesaat, serta kemudian membuang napas sebelum ia berbicara.
“Masalah pelaku pembunuhan bokap-nyokap gue. Gimana? Loe udah cari tau siapa dan di mana mereka tinggal sekarang?” jawab dan tanyanya langsung. Sebatang rokok pun diisapnya secara pelahan.
“Aih! Untung loe nanyain masalah itu, gue hampir lupa mau bilang ini sama loe dari kemaren-kemaren.” ujar Gabriel antusias. Membuat Alvin dengan sigap menatap Gabriel dengan tatapan penasaran.
“Mau bilang apa?”
“Jadi gini, seminggu yang lalu kan gue ke kantor polisi buat cari tau tentang pelaku kasus pembunuhan bokap-nyokap loe itu. Terus kata Pak Kapolda di sana, si pelaku itu sudah dibebaskan secara bersyarat sekitar setahun yang lalu.” jelas Gabriel lugas.
“Serius loe? Terus, loe dapet info apalagi tentang mereka?”
“Ya seperti yang loe inginkan selama ini, my brother!” jawab Gabriel sambil menyerahkan secarik kertas formal yang masih terbungkus map transparan. Sejenak, Alvin mengernyit dibuatnya. Namun sedetik kemudian ia tersenyum setelah tau apa yang sedang digenggamnya itu.
“Thank you so much, Gabriel! Loe emang jago jadi anjing pelacak gue.” kata Alvin asal. Gabriel memutar mata sesaat.
“Sialan!” tukasnya jengah. Namun meskipun begitu ia tetap ikut senang karena bisa membantu Alvin untuk mencari tau siapakah dalangnya di balik pembunuhan keluarga Lee satu dekade silam.
“Tunggu kedatangan gue,” gumam Alvin sinis. Matanya tak henti menatap ke arah foto yang tertera di atas dua lembar kertas tersebut.

***


“Kok belum dimakan sih, Fy? Padahal enak lho, cobain deh!” dalam keseriusannya menikmati seporsi nasi goreng buatan Mario, Sivia menyempatkan diri melirik ke arah Ify. Di mana ia melihat kalau Ify belum juga menyentuh sedikitpun nasi goreng yang terhidang di hadapannya. Sedangkan di kursi yang berlawanan, Mario ikut melirik ke arah Ify begitu mendengar ucapan Sivia tersebut.
“Gue gak nafsu, Vi!” ketus Ify sinis. Kerling matanya bahkan menandakan bahwa makanan tersebut sangat haram untuk ia sentuh.
“Biarin lah Vi, entar juga makan sendiri kalau dia laper sih. Gak usah disuruh-suruh lagi. Mungkin dia gengsi kali nyoba masakan gue.” sambung Mario menyindir. Lantas Ify mendesis, kontra dengan apa yang keluar dari mulut pria tersebut.
“Loe diem deh gak usah ngomong!”
“Itu hak gue punya mulut, Clarissa.” ucap Mario santai. Enggan berdebat dengan Ify lebih lama tentunya.
“Loe itu tuli atau gimana sih sebenernya?! Udah sering gue bilang jangan panggil gue Clarissa. . .”
“Karena loe bukan orangtua gue.” lanjut Mario menyambungi kalimat Ify yang seakan sudah tertebak akan ke mana arahnya.
“Ish!”
“Udahlah jangan pada berantem gitu. Emang gak capek apa? Heran deh,” lerai Sivia yang tadi sempat bengong melihat adegan berantem mereka berdua.
“Gue gak bakal ladenin kalau dia gak mulai duluan, Vi. Tau sendiri kan dia orangnya kaya gimana? Keras kepala,” respon Mario yang langsung mendapatkan tatapan membunuh dari Ify.
“Harusnya kak Mario juga ngalah dong, kan udah tau sifat Ify kaya gitu.”
“Tau tuh, Vi. Kalau psikopat mah emang gak pernah mau ngalah.” timpal Ify asal. Sivia sempat tersedak mendengarnya, namun kemudian menatap Ify dengan menggeleng.
“Kalau gue psikopat, gue udah bunuh loe dari kemaren-kemaren kali. Ngasal aja tuh mulut kalau ngomong!”
“Emang begitu kenyataannya,”
“Aih! Loe tuh ya.”
“Ini sebenernya mau makan apa mau berantem sih?! Udah deh kalian berdua jangan kaya anak kecil gitu.” kembali, Sivia melerai perdebatan Mario dan Ify yang semakin memanas. Kontan mereka terdiam seketika.
“Udah, ayo pada makan!” lanjut Sivia.
“Enggak, Vi.”
“Ify!”
“Ck! Iya deh iya gue makan. Puas?!” ujar Ify ketus. Bukannya merasa kesal ke Sivia, tapi entah kenapa rasa kesalnya selalu tertuju pada Mario yang kini tersenyum menang ke arahnya.
“Kak Mario juga jangan pernah mancing-mancing kemarahan Ify lagi, oke?” tegur Sivia kepada Mario. Dan dengan sigap Mario pun menegakkan badan sembari memberi hormat ke arah Sivia.
“Siap laksanakan, bos!”
“Lebay!” untuk terakhir kalinya Ify menukas. Karena memang setelahnya tak ada yang merespon ucapan gadis cantik tersebut.

Melihat Sivia dan Mario yang kini kembali asyik menyantap makanannya yang hampir habis, Ify terpaksa menatap sepiring nasi goreng serta sendok dan garpu yang sejak tadi belum sempat一atau lebih tepatnya tidak mau一ia sentuh sama sekali. Ia pun menghela napas sesaat. Rasa lapar di dalam perutnya memaksa ia untuk menyantap makanan itu.
“Baiklah Fy, ini untuk pertama dan terakhir kali.” gumamnya seraya menjamah sendok meski sedikit enggan.

Perlahan, saat kunyahan pertama, Ify terdiam. Matanya melirik ke arah Mario tanpa disadari si empunya.
“Enak juga,” lantas tersenyum setelah bergumam untuk kedua kalinya. Sampai akhirnya Ify tidak menyadari kalau ia begitu menikmati masakan dari Mario. Pria yang selalu dicap negatif oleh pikirannya itu.

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar