Guardian Devil
Ify berdiri cukup canggung di depan pintu rumahnya setelah ia turun
dari taksi dan berjalan ke tempatnya berdiri saat ini sepulang kuliah
tadi. Entah kenapa rasanya malas sekali untuk mengetuk pintu apalagi
sampai masuk ke dalam rumah tersebut. Karena di otaknya, selalu saja
dibayang-bayangi oleh sosok pria muda yang menurutnya sangat amat
menyebalkan itu. Mario Rend. Pria muda berkulit sawo matang yang telah
diberi mandat oleh kedua orangtua Ify untuk menjaganya selama mereka
bertugas di Berlin. Di mana pria yang selalu berucap sinis itu sudah
lebih dari cukup membuat Ify merasa tidak betah hidup di dalam rumahnya
sendiri. Dan itu mungkin menjadi alasan kenapa Ify lebih suka
menghabiskan waktu di kampus ketimbang di rumahnya selama dua minggu
terakhir ini.
Ify kembali menarik napas. Dan mau tak mau ia harus masuk ke dalam rumah tersebut karena rasa lelah yang menjerat tubuhnya.
“Udah
deh jangan kebanyakan mikir! Cepetan masuk! Nungguin apa lagi sih?!”
glek! Entah ada suara setan dari mana, Ify seketika menelan ludahnya
kuat-kuat saat langkah kaki pertamanya baru saja menginjak lantai dalam.
Lantas kening Ify mengernyit sesaat dan memutar matanya setelah
tersadar kalau itu adalah suara dari Mario. Guardian Devilnya.
“Kenapa
jam segini baru pulang? Bukannya pulang kuliah itu jam 11? Ini udah jam
berapa? Ngapain aja di luar sana hah? Main? Keluyuran? Terus kalau. .
.” mendengar pertanyaan-pertanyaan Mario yang seakan menembaknya
bertubi-tubi, Ify hanya mencibir saja tanpa sedikitpun berniat untuk
menjawab. Jangankan menjawab, mendengar pun rasanya sangat malas bagi
Ify.
“Gue belum selesai ngomong, Clarissa!” bentak Mario saat Ify
dengan santainya berlalu begitu saja dari hadapannya yang masih terfokus
pada sebuah televisi.
“Gue capek, gue mau tidur.” jawab Ify terpaksa meski kakinya baru saja menginjak anak tangga pertama.
“Tapi loe harus jawab semua pertanyaan gue dulu, Clarissa!”
“Penting?”
“Itu-lebih-dari-penting, Clarissa!” balas Mario dengan penekanan.
“Whatever you say! Dan jangan pernah panggil gue Clarissa! Karena loe bukan nyokap bokap gue! Ngerti?!”
“Tapi gue adalah utusan dari bokap nyokap loe, Clarissa. Udah deh, apa susahnya sih jawab pertanyaan gue tadi? Ck!” decak Mario.
“Males!
Gue pulang buat istirahat, bukan buat jawab pertanyaan loe yang gak
penting itu.” respon Ify yang sejak tadi selalu membatalkan niatnya
untuk naik ke atas.
“Hmm. . . Ya udahlah terserah loe aja mau gimana.
Tapi sebelum loe istirahat, mendingan loe makan siang dulu deh, gue
udah masakin nasi goreng tuh di meja. Dan loe gak boleh nolak soalnya
gue udah bela-belain masak buat loe. Oke?” kata Mario kemudian. Kali ini
entah kenapa ucapannya lebih enak untuk didengar. Atau mungkin karena
sudah tak bisa lagi melawan semua penolakkan yang Ify ungkapkan tadi.
Entahlah.
“Gue gak laper, makasih!” balas Ify yang kini langsung
berlari saja ke lantai dua cepat-cepat. Namun tiba-tiba ia berhenti dari
langkahnya.
“Kenapa? Berubah pikiran?” timpal Mario asal. Namun matanya tak sedikitpun beralih dari acara televisi yang sedang ditontonnya.
“Cih!
Pede amat loe jadi orang. Dan asal loe tau ya, di sini gue cuma mau
bilang kalau loe gak usah sok baik sama gue! Bye!” tukas Ify dengan
kembali menghentakan kakinya keras.
“Ck! Dasar gadis aneh! Susah banget dibilanginnya.” umpat Mario sembari menggeleng prihatin dibuatnya.
***
Sivia
berjinjit pelan menuju pintu rumahnya. Cukup hati-hati untuk ia membuka
pintu tersebut agar tidak terdengar oleh Nenek Lampir yang mungkin
sekarang sedang tidur itu. Ternyata rasa lapar yang menyerang perutnya
tersebut membuat Sivia harus repot-repot keluar dari kandang macan untuk
mencari makanan. Juga karena semua stok makanan di rumah itu sudah
dikuasai oleh Sonya dan Sivia tidak boleh menyentuh sedikitpun sebelum
ia meminta izin atau diizinkan olehnya. Cukup menyebalkan, bukan? Untung
saja Sivia masih mempunyai uang tabungan pemberian almarhum ayahnya
yang cukup untuk membiayai kehidupan Sivia selama tujuh tahun ke
depan. Bagaimana kalau tidak? Mungkin Sivia sudah tak bisa lagi
menghirup udara malam seperti yang ia lakukan sekarang ini.
“Yes!
Akhirnya gue bisa keluar juga dari penjara sialan ini. Hmm. . .” ujar
Sivia cukup lega dengan kondisi kedua matanya yang terus mengitari
setiap sudut rumah yang dulu pernah menjadi surga terindahnya itu. Namun
sedetik kemudian ekspresi wajah gadis ini berubah keruh di saat untuk
kesekian kalinya suara mengenaskan itu berbunyi dalam perutnya.
“Duh, laper banget gue. . .” lirihnya seketika.
Sejenak,
Sivia mematung di depan pintu. Berpikir sesaat untuk mencari makanan di
mana dan ke mana ia detik itu. Hingga akhirnya Sivia pun tersenyum
setelah ia tau ke mana ia akan pergi untuk mengganjal perut laparnya
tersebut.
“Oh iya, Ify!” cetusnya tegas. Lantas dengan cepat ia merogoh ponselnya di dalam saku celana.
“Ify,
Ify, Ify! Mana siiih? Nah, ini dia!” ujar Sivia setelah menemukan
kontak dari Ify. Dan tanpa ragu lagi ia segera menghubungi sahabatnya
tersebut sebelum waktu benar-benar malam dan sebelum Nenek Lampir itu
terbangun dari tidurnya.
“Angkat dong, Fy!” gusarnya.
“.......”
“Hallo Fy, loe di mana sekarang?”
“.......”
“Kebetulan banget, Fy! Gue lagi mau keluar nih, tapi gak ada temen. Sekarang gue ke sana ya? Gak apa-apa kan, Fy?”
“.......”
“Oh, oke. Loe tenang aja, masalah itu gue yang urus.”
“.......”
“Kalau gitu gue on the way ya? Loe siap-siap aja dulu, entar gue BBM loe kalau gue udah nyampe. Oke?”
“.......”
“Sip. See you ya!”
Klik!
Dengan mantap Sivia memutuskan sambungan teleponnya dengan Ify. Dan
dengan wajah yang cerah, Sivia kini melangkah setelah sebelumnya
memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
***
Lampu
kamar itu padam seketika. Seorang pria muda yang tadi memadamkan lampu
kamar tersebut pun kini berdiri di ambang pintu sambil memandangi gadis
kecil yang sudah terlelap pulas di tempat tidurnya.
“Selamat malam
dan mimpi indah ya, sayang.” ucapnya manis. Dan sedetik kemudian pintu
kamar itu ia tutupkan perlahan. Membiarkan malaikat kecilnya
berpetualang di alam mimpi dengan tenang. Lantas kaki pria berkacamata
hitam tersebut langsung melangkah ketika dirasa sudah cukup waktunya
untuk ia pergi menemui seseorang di suatu tempat yang sudah dijanjikan
sebelumnya. Ponsel yang ia genggam pun masih saja ditatapnya meski sudah
tersambung dengan salah seorang di seberang sana. Entah karena ia malas
berbicara, atau memang sengaja ia diamkan terlebih dahulu sebelum ia
berada di garasi rumah untuk mengambil motornya? Entahlah. Yang jelas
pria ini tetap fokus berjalan menuju pintu keluar dari rumah sederhana
tersebut.
“Mr. Lee, are you there?!” suara dalam ponselnya
kembali terdengar. Kali ini terkesan bernada lebih tegas. Dan ternyata
pria itu. . . Alvin. Pria tampan yang satu jam yang lalu menjadi guru
privat Angel untuk kesekian kalinya.
“Yeah, i'm here. What happen?” balas Alvin cukup datar.
“Aih! Dari tadi kek jawab panggilan gue!”
“So? Ada masalah?”
“Ck! Serah loe aja deh, Vin. Loe lagi di mana sekarang? Gue udah standby nih di tempat biasa,”
“Baguslah.
Gue masih di rumah nih, baru mau on the way.” ujar Alvin santai.
Tangannya ia arahkan ke sebuah helm yang tergeletak di atas jok motor
yang terparkir tak jauh di tempatnya berdiri.
“What?! Yang bener aja loe?! Gue udah nunggu dari setengah jam yang lalu juga,”
“Ya elah, baru juga setengah jam. Belum nyampe dua jam kan? Ya udahlah gak usah ngebacot, ini gue mau cabut kok.”
“Serah loe deh Vin, serah loe! Cepetan ke sini! Lima menit ya?”
“Mau gue bunuh loe hah?!”
“Hahaha. Slowly brader, slowly. Becanda doang gue. Ish! ”
“Berisik loe! Gue cabut dulu.”
Klik!
Alvin mematikan paksa sambungan teleponnya dengan salah seorang teman
kecilnya yang sejak SD dulu selalu bersekolah di tempat yang sama,
bahkan sampai sekarang pun mereka kuliah di Universitas yang sama yaitu
Luxart University.
Dan lantas Alvin segera menyalakan mesin motor yang kini sudah ditumpanginya setelah menutup garasi dan menguncinya dari luar.
“Kakak
pergi sebentar ya, sayang? Kamu baik-baik di rumah,” gumam Alvin
sebelum benar-benar meninggalkan sebuah rumah yang kini hanya dihuni
oleh seorang gadis kecil berumur sepuluh tahun.
“Saatnya buat
seneng-seneng dulu sebelum melakukan tugas terakhir gue besok. Hmm. . .
Baiklah, gue dateng, Gabriel. Huh!” Alvin menyempatkan diri untuk
membuang napas terlebih dahulu sebelum sedetik kemudian motor itu
melesat jauh dengan kecepatan yang cukup tinggi.
***
“Loe
bisa gak sih hargai niat baik gue ini? Gue udah bela-belain masak cuma
buat loe, Clarissa.” Ify lagi-lagi mendecak, mungkin untuk kesepuluh
kalinya. Pria menyebalkan yang kini berdiri di samping tempat tidurnya
sambil membawa sepiring nasi goreng dan segelas air putih itu
benar-benar sudah membuat emosinya memuncak.
“GAK BISA! Terus loe mau
apa hah?! Lagian loe kenapa sih ngebet banget buat gue makan tuh nasi
goreng? Kan udah jelas-jelas dari tadi gue bilang gak mau ya gak mau!
Jangan maksa gitu dong!” tukas Ify mulai gondok. Dan kalau saja Ify
tidak menyayangi laptop yang sejak tadi ada di pangkuannya, mungkin
benda tersebut sudah ia lemparkan ke wajah pria berkulit sawo matang
tersebut. Siapa lagi kalau bukan Mario.
“Oh, gue tau sekarang. Loe
mau racunin gue kan? Loe sengaja mau bikin gue mati akibat keracunan
dengan nasi goreng buatan loe itu. Iya kan? Ngaku loe!” lanjut Ify
seraya melayangkan tuduhan yang begitu sadis. Kontan Mario langsung
memutar mata mendengarnya. Tega-teganya Ify membalas kebaikan Mario yang
memang terbilang langka tersebut dengan sebuah tuduhan mengenaskan. Itu
cukup gila, bukan?
“Heh, dengerin ya! Kalaupun gue mau ngebunuh loe,
gak bakalan gue ngasih loe makanan yang beracun, gue bakal bunuh loe
dengan tangan gue sendiri. Ngerti?!” respon Mario yang sukses membuat
Ify menelan ludah kuat-kuat. Tatapan seorang Mario benar-benar
membunuhnya meski hanya sedetik saja Ify melihatnya.
“Dan asal loe
tau, gue itu paling gak suka dituduh yang enggak-enggak sama orang.
Termasuk loe, Clarissa!” lanjut Mario yang kemudian pergi begitu saja
dari kamar Ify.
“GUE BENCI BANGET SAMA LOE, MARIOOOOOO!!!” teriak Ify
sangat kencang. Rasa kesal dan rasa sebal serta rasa benci yang
akhir-akhir ini terpendam di hati Ify pun semakin memuncak bersamaan
dengan gertakan sinis dari seorang Mario tadi.
“Kenapa sih harus ada
loe di rumah gue hah?! Kenapa?! Buat jagain gue? Iya?! Gue gak butuh tau
gak?! Gue bisa hidup sendiri tanpa harus loe jagain. Paham?!” tukas Ify
dengan refleks melemparkan bantal-bantal yang ada di sekitarnya.
“Kehadiran loe di rumah ini merupakan musibah terbesar bagi gue! Gue benci sama loe, Mario!!!”
Dan
sempat pergi dari kamar Ify untuk sesaat, Mario pun kembali menampakan
wajahnya di ambang pintu. Setelah mendengarkan teriakan-teriakan dari
Ify tentunya.
“Sebenci apapun loe sama gue, gue gak akan pernah pergi
dari rumah ini dan akan tetep awasin loe sebelum bokap-nyokap loe balik
ke sini tahun depan.” ujar Mario tegas.
“Gue gak sudi! Dan akan gue pastikan, besok maupun lusa, loe akan segera pergi dari rumah gue. Lihat aja!”
“Oh,
silahkan! Coba aja sebisa dan semampu loe buat usir gue dari rumah ini.
Gue-gak-takut, oke?” balas Mario yang sedikit meremehkan perkataan Ify.
“ISH! LOE TUH NYEBELIN BANGET SIH JADI ORANG?!”
“Maaf,
gue gak ada waktu buat ngeladenin semua ocehan-ocehan loe. Permisi,
selamat malam!” pintu kamar Ify ditutup seketika. Dan. . . Cklek!
“Jangan kunci kamar gue, cogil!”
“Lebih baik loe tidur, Nona cantik. Dan jangan pernah teriak-teriak lagi. Ini rumah, bukan hutan.”
“DASAR
COWOK GILA!!!” baru saja Mario berhenti berbicara, Ify malah kembali
berteriak. Membuat Mario lagi-lagi memutar mata, cukup susah menasehati
gadis yang satu ini.
***
Sivia mencibir pelan selama
di perjalanan. Pasalnya angkot yang ditumpangi gadis ini mogok di tengah
jalan yang otomatis memaksa Sivia untuk berjalan kaki menuju rumah Ify.
Di mana jarak dari rumah Ify dengan posisinya sekarang itu cukup
dibilang sangat jauh. Apalagi ditambah perutnya yang belum terisi oleh
makanan itulah yang semakin menggenapkan rasa dongkol di hati Sivia.
Dan
seketika saja langkah gadis ini terhenti saat kedua mata
indahnya menangkap sosok penjual bakso di seberang jalan. Ia tersenyum
kecil kemudian.
“Kebetulan banget nih,” ujar Sivia senang. Rasa
laparnya yang sudah akut pun membawa langkah kaki gadis tersebut untuk
menyeberang tanpa melirik kanan dan kiri terlebih dahulu. Sampai-sampai
sebuah lampu tembak yang sangat cerah mampu menerpa wajah Sivia saat ia
baru saja berada tepat di garis putih yang tertera di atas aspal. Sontak
hal itu membuat Sivia berteriak kencang sambil melindungi wajahnya,
serta bersamaan dengan suara klakson yang terdengar nyaring di kedua
telinganya.
Ckiiiiiiiiittttttttt!!!
Motor tersebut
berhenti satu jengkal di posisi Sivia berdiri. Suara gesekan antara ban
dan aspal pun menyeruak sampai mengeluarkan bau yang khas yang tercium
oleh Sivia dan si pengemudi motor tersebut.
Cukup lama Sivia
berdiri. Syok. Bahkan ia sendiri tidak tau apakah sekarang raganya sudah
mati atau belum. Yang jelas gadis itu belum berani membuka mata saking
takutnya. Takut kalau saja ia membuka mata kemudian ia dapat melihat
tubuhnya hancur berantakan dan ia hanya bisa melihatnya tanpa bisa
menyentuh sama sekali.
“Loe mau nyari mati hah?! Otak loe taruh di
mana? Nyebrang gak pakai mata. Untung motor gue gak nabrak loe, coba
kalau nabrak? Bisa beda lagi kan urusannya?” ketus si pemilik motor
cukup sangar sambil melangkah mendekati Sivia. Sedang Sivia masih belum
terlalu mendengar apa yang baru saja diucapkan si pemilik motor
tersebut, malah ia masih setia menutup wajahnya sedari tadi.
“Loe denger gue gak sih?!” orang itu kembali menggertak.
“Sori,
gue. . . Gue bener-bener ceroboh. Gue nyebrang gak lihat-lihat dulu.
Sori ya?” ujar Sivia takut-takut. Matanya belum terlalu berani melihat
ke arah lawan bicaranya.
“Wait! Loe. . .” untuk beberapa detik orang tersebut meneliti gerak-gerik dari Sivia.
“Loe. . . Sivia kan?” dan dibukalah kedua tangan Sivia di balik wajahnya.
“Kak Alvin?”
“Sivia, loe?”
“Duh kak, sori banget ya tadi gue nekad nyebrang gak lihat-lihat dulu. Soalnya gue buru-buru mau ke sana, gue mau. . .”“Enggak,
enggak, enggak! Loe gak salah kok. Gue yang salah, loe gak usah minta
maaf. Loe gak apa-apa kan? Gak ada yang luka?” sergah Alvin sembari
mengecek seluruh tubuh Sivia yang berdiri tak jauh di depannya. Tak tau
kenapa sikap keras Alvin lagi-lagi berubah drastis menjadi lebih peduli
kepada gadis yang belum genap dua hari dikenalnya itu. Sivia cepat-cepat
menggeleng.
“Gue gak apa-apa kok, kak. Gue cuma kaget. Gue pikir
tadi gue bakal mati di tempat.” ujarnya kemudian. Lantas hal itu
langsung membuat Alvin membuang napas lega saat mendengarnya.
“Syukurlah.
Tapi beneran kan loe gak apa-apa?” tanyanya lagi untuk memastikan. Dan
seperti sebelumnya, Sivia membalas dengan sebuah anggukan kepala.
“Hmm.
. . Emangnya malem-malem gini loe mau ngapain di jalanan? Sendirian
lagi,” ucap Alvin dengan tanpa ragu menyentuh pundak Sivia dan
menggiring tubuh mungilnya ke tepian jalan.
“Niatnya tadi aku mau ke
sana, mau beli makanan, kak. Tapi malah kaya gini jadinya. Yah, mungkin
kurang hati-hati juga sih. Atau enggak karena efek laper kali ya?” jelas
Sivia seadanya.
“Oh, gitu. Emang mesti cari makan sendiri ya, Vi?
Malem-malem gini? Apa gak ada makanan di rumah?” Alvin pun kini menatap
Sivia dengan tatapan heran.
“Ngg. . .”
“Hmm?”
“Ngg. . . Ada sih
kak, cuma ya gitu deh. Hehehe. Ah, udahlah gak penting! Oh iya, kak
Alvin sendiri mau ke mana malem-malem gini?” jawab dan tanya balik
Sivia. Sedangkan Alvin yang belum terlalu paham dengan jawaban gadis
tersebut hanya bisa mengernyitkan dahinya saja. Lalu sebisa mungkin
mengangguk, mencoba mengerti.
“Gue. . . Gue mau ketemu sama temen.” jawabnya singkat.
“Oh, mau ketemuan sama temen toh?” ucap ulang Sivia pelan.
“OH-MY-GOD!!!” sambungnya seketika.
“Kenapa, Vi?”
“Gak apa-apa kok, kak. Hmm. . . Tadi katanya kak Alvin mau ketemuan sama temennya ya? Lewat sana gak?” tunjuknya.
“Iya, kenapa?”
“Yes! Kebetulan banget nih. Kalau gitu gue numpang motor loe ya, kak?”
“Numpang?” ujar Alvin seraya mengerutkan dahi. Bingung sendiri dengan kata-kata dari Sivia yang terkesan aneh menurutnya.“Iya kak, numpang. Numpang naik motor sama kakak. Boleh kan?”
“Hmm. . . Emangnya loe mau ke mana?” sembari mengernyitkan dahi, Alvin bertanya sedikit penasaran.
“Mau
ke rumah Ify. Boleh ya, kak? Please! Tadinya kan gue naik angkot, eh
malah angkotnya mogok, udah gitu rumah Ify masih jauh pula. Ditambah
lagi sekarang gak ada angkot atau taksi lewat sama sekali.” jelas Sivia
dengan gerak kepala yang menandakan kalau situasi dan kondisinya itu
sangat membutuhkan tumpangan. Lantas tanpa bisa menolak sedikitpun,
Alvin membolehkan Sivia menumpang di motornya.
“Ngg. . . Ya udah,”
“Yeay!
Makasih ya, kak!” ucap Sivia seraya memberikan senyum manisnya dengan
diiringi kedua lesung pipi yang terbentuk begitu anggun di wajah gadis
tersebut. Alvin pun tak bisa berkutik untuk sesaat, sorot mata Sivia
seakan membuatnya menjadi pria yang mudah mengabulkan apapun yang
dipinta oleh gadis tersebut. Padahal faktanya Alvin bukanlah tipe orang
yang seperti itu, terkecuali sama Angel selaku adik tersayangnya.
“Oh. . . Ya, sama-sama.”
***
“Sayang,
kamu kenapa sih? Dari tadi kok sibuk sendiri gitu. Hati-hati lho, entar
malah nabrak lagi.” sedikit was-was melihat gerak-gerik Cakka yang
cukup aneh, Shilla bertanya pelan. Pasalnya sejak semenit yang lalu,
Cakka cukup sering mengarahkan pandangannya ke belakang meski ia sedang
menyetir mobil. Entahlah. Seperti orang yang sedang melihat sesuatu yang
sangat mustahil.
“Sayang, kamu denger aku gak sih?” sekali lagi Shilla bertanya, kali ini cukup kesal.
“Ya sayang, kenapa?”
“Kamu yang kenapa? Dari tadi kok nengok terus ke belakang sih? Emangnya ada apa?”
“Oh.
. . Itu sayang, tadi aku kaya lihat adik tiri aku lagi berdiri di
pinggir jalan sama cowok.” jawab Cakka sambil melirik heran ke arah
Shilla.
“Iya gitu?”
“Gak tau juga sih, atau mungkin aku salah
lihat kali ya? Ah, udahlah lupakan! Lagian bukan urusan aku juga.”
ujarnya kemudian. Sangat masa bodoh dengan apa yang tadi ia lihat. Yang
pasti kini Cakka berusaha fokus kembali menyetir mobil supaya cepat
sampai ke tempat tujuan awal mereka. Sedangkan Shilla yang masih sedikit
terheran dengan ulah pacaranya itu, ia hanya bisa membuang napas sambil
kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Melirik sebentar wajah
Cakka, lalu menggeleng skeptis.
“Aneh deh,”
***
Pria
muda berkacamata standar itu kembali mengisap rokok yang tinggal
setengah batang yang terjepit di antara jempol dan telunjuknya. Entah
sudah berapa batang rokok yang sudah ia habiskan malam itu, dan juga
entah sudah berapa kali ia mendecak sebal dikarenakan seseorang yang
sedang ditunggunya sejak tadi itu belum juga datang sampai sekarang.
Kini tangan pria itu beralih dengan menjamah segelas minuman bersoda setelah dengan paksa ia mematikan rokok ke dalam asbak.
“Nih
bocah hobi banget sih gak on time! Bilangnya jam sembilan udah dateng,
tapi sampai sekarang malah belum datang juga. Ah, shit!” gusar pria
tersebut dengan sedikit menghentakan gelas bekas minumnya tadi.
“Nomornya gak aktif lagi. Ish!” kembali, ia berdecak. Genggaman pada ponselnya pun semakin erat.
“Yah.
. . Begitulah anak muda zaman sekarang, pada ngaret. Gak pernah
menghargai waktu sedikitpun. Padahal kan sebenernya waktu itu adalah
uang.” pria itu seketika tersentak, menengok ke arah sumber suara yang
baru saja ia dengar.
“Agatha?”
“Hai, Gaby!”
Pria itu
Gabriel, teman Alvin. Calon ahli hukum yang kini dirundung rasa kesal
akibat ulah Alvin yang mengajaknya ketemuan tapi sampai detik ini malah
belum juga menampakan batang hidungnya. Namun kini berubah, rasa
kesalnya seketika terlupakan saat ia melihat gadis cantik yang tiada
lain adalah orang yang begitu dikaguminya. Agatha Queen Pricilla. Yang
entah sejak kapan berada di tempat yang sama dengan Gabriel.
“Loe di
sini juga? Sejak kapan? Kok tadi gue gak lihat loe sih?” tanya Gabriel
bertubi-tubi. Sedangkan Agatha tersenyum saja. Ia tau kalau Gabriel
sedang bertanya seperti itu, pasti ia tidak terlalu membutuhkan jawaban.
Mungkin bisa dikatakan hanya sekedar basa-basi. Ya, begitulah.
“Pasti loe lagi nungguin Alvin kan?” tanya Agatha manis.“Ah,
iya nih. Kok elo tau sih? Hmm. . . Eh iya, silahkan duduk dulu!” ujar
Gabriel tak kalah manis. Agatha pun duduk di samping Gabriel. Menaruh
tas yang di bawanya di atas paha setelah sebelumnya ia berucap
terimakasih kepada pria tersebut.
“Loe mau pesen apa? Gue traktir deh,” lanjut Gabriel semangat. Kebetulan saja ia juga belum memesan makanan saat itu.
“Udah ah gak usah repot-repot. Gue abis makan kok tadi,”
“Gak
apa-apa kali. Masa iya loe cuma lihatin gue makan entar. Ayolah!” rujuk
Gabriel sedikit memaksa. Dan dengan sigap ia memberi menu makanan
kepada Agatha.
“Baiklah kalau loe maksa,”
“Nah gitu dong!” mereka
berbalas senyum seketika. Bahkan saking senangnya, Gabriel sampai lupa
kalau ia sedang menunggu Alvin yang faktanya adalah orang yang membuat
janji untuk bertemu di tempat tersebut.
***
Mario
berjalan cepat ke arah depan rumah setelah gendang telinganya menangkap
bunyi sebuah ketukan. Sedikit risih ia kala itu karena suara ketukan
pintu yang berkali-kali. Bibirnya mencibir pelan.
“Iya sebentar!” teriaknya.
Sedetik, ia membuka pintu secara perlahan. Dan kemudian menyempatkan diri menghela napas sebelum akhirnya ia berkata.
“Maaf,
kami tidak menerima tamu malam-mal. . .” dan seketika saja kata-katanya
terpotong begitu ia melihat sosok gadis cantik berdiri tak jauh di
hadapannya. Serta ada juga sesosok pria yang berdiri membelakangi seraya
memainkan ponsel.
“Ify-nya ada, kak?” Mario pun tiba-tiba terdiam
seribu bahasa. Ucapan lembut disertai tatapan mata yang mempesona itu
seketika meluluhkan sikap keras yang tadi sempat dikeluarkan Mario. Dan
tentu saja gadis itu adalah. . . Kimberly Sivia.
“Kak?” merasa belum juga dijawab akan pertanyaannya tadi, Sivia kembali bertanya.
“Oh, ada kok. Ini dengan siapa ya?” tanya Mario cukup gugup.
“Gue Sivia, temennya Ify. Ini pasti kak Mario, kan?”
“Temennya
Ify? Iya, gue Mario. Oh iya, silahkan masuk! Ify ada di kamarnya,” ujar
Mario. Sivia mengangguk kemudian. Sedangkan Alvin yang masih sibuk
dengan ponselnya itu belum juga menengok ke arah Sivia dan Mario. Begitu
juga Sivia yang sedikit melupakan kehadiran Alvin yang padahal dialah
yang mengantarnya ke rumah Ify tadi. Malah ia begitu saja masuk ke dalam
rumah Ify tanpa pamit terlebih dulu kepada Alvin. Membuntuti langkah
Mario tentunya.
“Kalau gitu gue cabut duluan ya, Vi? Eh, lho? Sivia
ke mana?” ucap Alvin bingung. Niatnya untuk pamit kepada Sivia tiba-tiba
terpotong saat matanya tidak menemukan seorang pun ketika menengok.
“Wah,
parah gue ditinggalin gitu aja. Hmm. . . Gue cabut aja kali ya? Udah
jam sembilan lebih lagi, bakal kena sembur nih gue sama tuh anak jin.”
was-wasnya ketika melirik arloji di lengan kanannya. Dan bersamaan
dengan terlintasnya wajah Gabriel dari benak Alvin.
“Ah, bodo!” Alvin
lantas menghentakan kakinya lebar-lebar. Berjalan menuju motor untuk
segera ke tempat yang memang sebelumnya menjadi alasan utama untuk ia
keluar rumah.
Sedangkan di dalam rumah, Sivia berjalan mengikuti
Mario dari ruang tamu sampai di depan pintu kamar Ify. Tak ada
percakapan di antara mereka kala itu. Hanya sebuah derap langkah kaki
saja yang dapat berkomunikasi satu sama lain.
“Wuih, gila aja si Ify
dikunci dari luar. Parah!” gumam Sivia pelan. Sangat pelan bahkan. Saat
melihat Mario membuka pintu kamar Ify dengan kunci yang digenggamnya.
“Mau
ngapain loe masuk lagi hah? Mau marahin gue? Atau mau ngeracunin gue?
Please deh!” baru saja seperempat detik pintu itu terbuka, tukasan tajam
dari seorang Ify pun menyeruak hebat. Sampai Sivia sedikit kaget
dibuatnya. Namun kali ini Mario tak membalas, ia mencoba menarik napas
dan mempersilahkan Sivia masuk.
“Ada yang mau ketemu sama loe,” ujarnya. Lantas Ify terdiam sesaat. Menatap datar ke arah Sivia.
“Makasih ya, kak.” kata Sivia begitu Mario ingin melangkah pergi dari kamar Ify. Ia mengangguk dan pergi setelahnya.
“Please
lah jangan lihatin gue kaya gitu!” kembali, Ify bersuara. Sepertinya ia
paham dengan tatapan sendu yang dikeluarkan oleh sahabatnya saat ini.
“Dia beneran Guardian Angel loe, Fy? Wow, keren!” ujar Sivia seraya
mendekat ke tempat Ify berbaring santai. Ify pun mengerutkan dahi. Sivia
memang sedang meledeknya atau memang sedang memuji seorang Mario? Gila
saja seorang Mario yang kejamnya tiada tanding itu dibilang Guardian
Angel. Jauh.
“Guardian Angel pala loe!” kemudian Ify menukas. Mata
tajamnya menatap skeptis ke arah Sivia yang tadi sempat menyenggol
pundaknya.
“Bukannya kak Mario itu utusan dari bokap-nyokap loe buat jagain loe ya? Jadi otomatis dia guardian angel loe dong.”
“Please
deh Vi, ngapain loe panggil dia kakak? Dia paling gak pantes dipanggil
kakak. Dan asal loe tau ya, dalam kamus hidup gue, gue gak butuh adanya
guardian. Apalagi model si Mario itu. Najis deh!” rutuk Ify kejam. Sivia
terkekeh kecil seketika. Ternyata seorang Ify bisa kesal juga sama
seorang pria. Karena baru pertama kali ini Sivia tau kalau Ify membenci
salah seorang pria.
“Awas loe entar suka.”
“NO WAY! Gak akan
pernah gue suka sama dia. Lagian ngapain sih kita jadi bahas dia?
Bukannya loe ke sini buat ngajak gue makan di luar?” tanya Ify heran.
Dan untuk sedetik Sivia menepuk dahinya. Pertanda kalau dirinya tengah
melupakan sesuatu.
“Payah loe, Vi. Udah yuk cabut?”
“Enaknya makan di mana ya jam segini?” tanya Sivia seraya ikut beranjak dari duduknya. Membuntuti Ify dari belakang.
“Di resto om gue lah biar enak. Kali aja bisa makan gratis. Hehehe.”
“Oh iya ya? Eh Fy, kak Alvin?” tiba-tiba Sivia menarik tangan Ify dan berhenti berjalan.
“Kak Alvin? Kenapa dengan kak Alvin, Vi?”
“Tadi gue ke sini sama kak Alvin, Fy.”
“Lho?
Terus sekarang kak Alvin mana?” tanya balik Ify yang cukup heran.
Lantas Sivia tanpa berpikir panjang lagi langsung menarik Ify untuk
berjalan kembali. Siapa tau saja Alvin masih ada di luar. Atau
setidaknya lagi mengobrol dengan Mario mungkin.
“Kalian mau ke mana?” Mario yang masih betah di depan televisi pun tiba-tiba bertanya begitu Ify dan Sivia berjalan melewatinya.
“Kak Mario lihat cowok yang tadi nganterin gue ke sini gak?” tanya Sivia. Mario mengernyit.
“Cowok? Dari tadi gak ada cowok yang ke sini perasaan. Emang kenapa?” Mario balik bertanya ke Sivia.“Ngapain
sih loe nanya ke dia, Vi? Udah jelas-jelas dia mah orangnya masa bodo.”
bisik Ify seketika. Namun Sivia tak menghiraukan bisikan sahabatnya
itu, ia malah merespon ucapan Mario tadi.
“Serius loe, kak?”
“Ngapain juga gue bohong? Tadi abis nganter loe ke kamar Clarissa, gue balik lagi ke sini dan gak ada siapa-siapa.”
“Jangan panggil gue Claris. . .”
“Ify! Please deh jangan ikut ngomong dulu!” gertak Sivia sedikit menekan. Ify pun mencibir dibuatnya.
“Oh gitu ya? Duh, padahal gue belum bilang makasih juga sama dia.” sesal Sivia pelan.
“Ya
elah besok juga ketemu di kampus. Ribet amat jadi loe, Vi. Ayo, jadi
makan di luar gak sih?” ucap Ify yang kemudian menarik tangan Sivia
secara paksa. Bahkan tanpa ada basa-basi terlebih dulu terhadap Mario
yang faktanya masih duduk manis di depan mereka berdua. Sivia memutar
mata.
***
“Oh ya? Kok sama sih? Gue juga suka film
lho, cuma gue lebih suka film action atau film horor ketimbang film yang
cinta-cintaan gitu.”
“Romance maksudnya?”
“Ya, itu!” Agatha membulatkan mulut setelah sebelumnya ia menyeruput jus alpukat pesanannya tadi.
“Tau
deh yang gak laku, sampai gak suka film romance segala. Hahaha.” ledek
Agatha dibarengi tawa khasnya. Gabriel sempat tersedak, namun untung
saja ia berhasil menahannya.
“Huh, tajem banget tuh mulut kalau ngomong ye? Gue bukannya gak laku tau!” sanggah Gabriel sedikit menekuk wajahnya.
“Terus?”
“Ya,
ngg. . . Gue cuma belum nemuin cewek yang tepat aja.” ujarnya. Lantas
mengedarkan pandangan ke sekitar. Berusaha menghindari tatapan mata
Agatha yang cukup membunuhnya sejak tadi.
“Serius nih? Cie Gaby!”
“Apaan sih? Udah ah jangan bahas itu.”
“Hehehe.
Oke-oke, sori. Hmm. . . Oh iya Gab, menurut loe Alvin itu kaya gimana
sih orangnya?” berusaha untuk mengganti topik, kini Agatha mencoba
berbicara tentang Alvin. Karena entah tiba-tiba di otaknya terlintas
bayangan seorang Alvin. Gabriel pun yang tadi sibuk beralih ke sekitar,
kini menatap Agatha penuh curiga.
“Alvin?” ucap ulangnya pelan. Agatha lantas mengangguk mengiyakan.“Iya, Alvin. Gue pengen tau aja gimana orangnya menurut loe. Loe kan sahabatnya dari kecil tuh, jadi gue. . .”
“Sori
gue telat,” sempat kaget karena ucapannya yang terpotong, Agatha cukup
gugup begitu melihat Alvin yang baru datang dan duduk semaunya di tempat
mereka一Agatha dan Gabriel.
“Hey, Agatha! Loe di sini juga? Emang
kita janjian bertiga ya, Gab?” tanya Alvin saat menyadari kehadiran
Agatha. Gabriel menggeleng cepat.
“Enggak, tadi kebetulan aja ketemu
Agatha di sini. Iya kan, Agatha?” ucapnya seraya meminta respon Agatha
yang masih saja seperti orang yang tidak bisa mengambil napas.
“Agatha? Are you there?” panggil Gabriel sekali lagi.
“Ya? Kenapa, Gab?”
“Ya elah ngelamun.”
“Sori-sori, tadi gue gak denger. Emang loe nanya apaan?”
“Udahlah
lupakan. Loe ke mana aja sih lama amat? Tau gak sih gue nunggu loe
hampir dua jam lebih? Kebiasaan loe gak on time!” gerutu Gabriel
bertubi-tubi. Sedangkan Alvin malah masa bodoh sambil mengedarkan
pandangannya ke mana-mana. Bahkan sesekali bibirnya mengikuti gaya
bicara Gabriel dengan cakapnya.
“Udah kan nyemburnya? Oke, sekarang kita ngapain?” tanya Alvin dengan tanpa dosa.
“Lee Alvinandra! Loe pengen gue bunuh hah?!”
“Hahaha. Sori Gab, sori. Tadi gue abis nganter seseorang dulu ke rumah temennya. Jadi gue telat dateng,”
“Bukan alesan basi kan, Vin?”
“No, this is fact. Ngapain gue nyari alesan? Kan gue yang bikin janji.”
“Yayaya.
Whatever lah!” ujar Gabriel malas. Berdebat dengan Alvin sama saja
berdebat dengan raja debat yang tidak pernah mau kalah.
“Duh, gue lupa ada Agatha di sini. Sori ya, kita emang sering kaya gini kalau ada masalah kecil.” kata Alvin memberi pemahaman.
“Oh,
gak apa-apa kok nyantai aja. Lucu lihat kalian berdebat kaya gini.”
balas Agatha antusias. Membuat Alvin dan Gabriel menatap skeptis ke
arahnya.
“Loe gak mesenin makanan atau minuman buat gue, Gab? Wah,
parah loe!” ledek sinis Alvin begitu matanya melihat ke atas meja dan di
sana hanya ada dua porsi makanan dan minuman.
“Gue juga laper kali,” lanjutnya keruh.“Ya
tinggal pesen aja sekarang apa susahnya sih, Vin? Heran,” Gabriel
kembali menukas. Malah hal itu yang membuat Alvin terkekeh puas
melihatnya. Entah kesenangan tersendiri untuk Alvin jikalau sudah
melihat Gabriel kesal padanya.
“Ya udah makan punya gue aja, Vin. Belum gue makan kok,” kata Agatha ramah.
“Hmm.
. . Gak usah repot-repot, Agatha. Tadi gue cuma becandain Gaby doang
kok,” ucap Alvin yang langsung membuat Agatha membulatkan mulut. “Oh
iya, loe abis ketemuan sama temen loe juga di sini?” lanjutnya.
“Ya begitulah. Abis ngerjain tugas bareng, terus makan-makan deh.”
“Oh gitu.”
“Hmm.
. . Oh iya Vin, gue boleh minta nomor ponsel loe? Ya kali aja suatu
saat gue ada perlu sama loe, jadi gue bisa langsung hubungi loe gitu.”
ujar Agatha sedikit canggung.
“Oh, boleh-boleh. Catet ya?” respon
Alvin langsung. Sedangkan di sisi lain ada seseorang yang sedang menatap
mereka berdua secara heran. Gabriel.
“Ehem! Tau deh yang tukeran nomer,” ledeknya dengan nada canda namun tetap terdengar sinis.
“Apaan sih, Gaby?!”
“Tau tuh! Cemburu kali kita tukeran nomer.”
“Kurang kerjaan banget gue cemburu,” cibir Gabriel malas.
“Songong
loe!” timpal Alvin sambil melayangkan jitakan keras di kening Gabriel.
Mereka kembali berdebat kemudian. Bahkan sampai mereka melupakan apa
alasan utama mereka bertemu di tempat tersebut. Yang jelas kehadiran
Agatha lah yang membuat pertemuan mereka menjadi berbeda dari niat awal
yang mereka buat.
***
Kedua gadis cantik itu membuang
napas jengah. Masing-masing tangan mereka dilipat di dada dengan sedikit
tatapan mata yang miris.
“Alamat gak jadi makan di luar,” gusar salah satu gadis itu yang bukan lain adalah Sivia.
“Ya
mau gimana lagi, gue gak bisa nyetir mobil. Terus gue juga gak bisa
pakai motor, mana gak ada taksi lewat lagi.” balas Ify ikut merana.
Pasalnya mereka berdua sedari tadi masih saja berdiri di depan garasi
rumah keluarga Ify. Memandangi mobil dan motor yang ada di dalam sana
tanpa bisa menguasainya sedikitpun.
“Jadi sia-sia dong gue ke sini?”
“Gue minta maaf,” lirih Ify sesal.“So,
kalian mau tetep di sini sampai matahari terbit atau mau terima
penawaran gue?” tiba-tiba, untuk kedua kalinya Mario menawarkan jasa
kepada mereka berdua.
“UDAH GUE BILANG KAN, SEKALI GAK MAU YA GAK
MAU! Jangan sok baik deh.” sama seperti semula, Ify kembali menolak
penawaran dari Mario.
“Ya terserah sih, gue cuma nawarin.” ucapnya
enteng. Sedangkan kemudian Sivia langsung memberi kode ke Ify saat Mario
berucap seperti itu.
“Ayo dong Fy, daripada kita di sini mulu kan? Mumpung kak Mario lagi baik nawarin kita.” bisik Sivia.
“Enggak, Vi!”
“Ah elo, masa tega banget sih sama gue.” lirih Sivia memelas.
“Gue
gak sudi bisa satu mobil sama dia, Vi. Haram tingkat dewa!” tukas Ify.
Namun kemudian terdengar suara mengenaskan di dalam perutnya.
“Tuh kan loe juga udah laper?” timpal Sivia seraya menyenggol pundak Ify. “Ayolah, Fy!” lanjutnya kemudian.
“Sekali gak mau ya gak mau. Please deh loe ngertiin gue.”
“Oke-oke,
kalau emang gak mau gue anterin ya udah gue maksa. Lagian gue cuma
nawarin doang kok. Hmm. . . Oh iya Siv, loe laper gak? Ke dapur yuk? Gue
buatin nasi goreng deh,” kata Mario cukup ramah. Dan ajakannya terhadap
Sivia itu membuat Ify membelalakan mata. Kenapa bisa-bisanya Mario
seramah dan sebaik itu kepada Sivia. Sedangkan kepada dirinya Mario
berlaku kejam layaknya penjahat di film-film action.
“Oh ya? Boleh
tuh, kak. Gak apa-apa deh makan di sini daripada enggak sama sekali.”
respon Sivia yang entah langsung begitu saja menerima penawaran Mario
tersebut.
“Lho? Kok loe tega sih ninggalin gue?”
“Sori ya Fy,
kalau urusan ini gue gak bisa pro sama loe. Dan kalau emang loe sayang
sama perut loe, mending loe ikut masuk deh. Ayo, loe laper kan?” ajak
Sivia yang hendak masuk kembali ke dalam rumah Ify.
“Ah, elo gitu deh sama gue.”
“Udah,
ayo! Jangan sok munafik gitu deh. Loe mau mati berdiri di sini? Enggak
kan?” kali ini Sivia kembali mendekati Ify dan kemudian menarik tangan
gadis itu untuk masuk ke rumahnya. Dipaksa untuk menerima tawaran dari
Mario tentu saja.
“Ah, Viaaa!” gusar gadis berambut panjang itu.
***
Malam
kian melarut. Bulan sabit serta jutaan bintang yang menggantung di atas
sana semakin menampakan kilau cahayanya ke seluruh alam. Tak tertinggal
juga binatang malam yang kini saling beradu suara di tempat mereka
berada. Serta semilir angin yang bertiup lembut kala itu memberi kesan
damai bagi siapa saja yang merasakannya. Sungguh malam yang sangat
indah.
Sedangkan di sisi lain, tiba-tiba saja Cakka memalingkan
wajahnya ketika baru beberapa detik saja bibirnya menyentuh bibir mungil
milik gadis berkulit putih itu. Shilla tentunya. Dan entah apa yang
sedang Cakka pikirkan saat ini, ia begitu terlihat resah. Bayang-bayang
Sivia yang tadi sempat dilihatnya sedang berdiri di pinggir jalan
bersama seorang pria itu cukup mengganggu perasaannya.
“Kamu kenapa
sih, sayang?” tanya Shilla pelan. Gerak-gerik Cakka yang aneh membuatnya
sedikit merasa heran dengan kekasihnya tersebut. Dan karena belum ada
niat untuk berbicara, Cakka hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Ada
apa sih? Cerita dong! Siapa tau aja aku bisa bantu kalau kamu sedang ada
masalah.” lagi, Shilla berucap. Meski terkesan memaksa untuk Cakka
berbicara apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
“Aku gak apa-apa kok,
sayang. Mungkin aku cuma sedikit capek. Kita pulang yuk?” jawab Cakka
lesu sembari berusaha turun dari kap mobil miliknya. Sedangkan Shilla
langsung membuang napas saat mendengarnya, entah kenapa kata-kata yang
keluar dari mulut Cakka membuatnya sedikit jengah.
“Baiklah,” ucapnya
sembari ikut turun dari kap mobil. Menerima ajakan Cakka untuk pulang
dan tentu saja mencoba memaklumi sikap kekasihnya yang terlihat sangat
aneh itu. Lalu kembali membuang napas sebelum jemari lentiknya membuka
pintu mobil.
***
“Hati-hati ya, Agatha!” ucap Alvin
dan Gabriel bergantian. Agatha yang baru saja dijemput oleh supirnya pun
membalas ucapan kedua pria tersebut dengan sebuah lambaian tangan.
Lantas mobil itu melaju dua detik kemudian.
“So, loe ngajak ketemuan
sama gue di sini mau ngomongin masalah apa?” tanya Gabriel
seketika. Sebuah pertanyaan yang memang sudah mengganjal di benak
Gabriel semenjak Alvin mengajaknya bertemu di tempat tersebut. Alvin
meneguk minumannya untuk sesaat, serta kemudian membuang napas sebelum
ia berbicara.
“Masalah pelaku pembunuhan bokap-nyokap gue. Gimana?
Loe udah cari tau siapa dan di mana mereka tinggal sekarang?” jawab dan
tanyanya langsung. Sebatang rokok pun diisapnya secara pelahan.
“Aih!
Untung loe nanyain masalah itu, gue hampir lupa mau bilang ini sama loe
dari kemaren-kemaren.” ujar Gabriel antusias. Membuat Alvin dengan
sigap menatap Gabriel dengan tatapan penasaran.
“Mau bilang apa?”
“Jadi
gini, seminggu yang lalu kan gue ke kantor polisi buat cari tau tentang
pelaku kasus pembunuhan bokap-nyokap loe itu. Terus kata Pak Kapolda di
sana, si pelaku itu sudah dibebaskan secara bersyarat sekitar setahun
yang lalu.” jelas Gabriel lugas.
“Serius loe? Terus, loe dapet info apalagi tentang mereka?”
“Ya
seperti yang loe inginkan selama ini, my brother!” jawab Gabriel sambil
menyerahkan secarik kertas formal yang masih terbungkus map transparan.
Sejenak, Alvin mengernyit dibuatnya. Namun sedetik kemudian ia
tersenyum setelah tau apa yang sedang digenggamnya itu.
“Thank you so much, Gabriel! Loe emang jago jadi anjing pelacak gue.” kata Alvin asal. Gabriel memutar mata sesaat.
“Sialan!”
tukasnya jengah. Namun meskipun begitu ia tetap ikut senang karena bisa
membantu Alvin untuk mencari tau siapakah dalangnya di balik pembunuhan
keluarga Lee satu dekade silam.
“Tunggu kedatangan gue,” gumam Alvin
sinis. Matanya tak henti menatap ke arah foto yang tertera di atas dua
lembar kertas tersebut.
***
“Kok belum dimakan sih,
Fy? Padahal enak lho, cobain deh!” dalam keseriusannya menikmati seporsi
nasi goreng buatan Mario, Sivia menyempatkan diri melirik ke arah Ify.
Di mana ia melihat kalau Ify belum juga menyentuh sedikitpun nasi goreng
yang terhidang di hadapannya. Sedangkan di kursi yang berlawanan, Mario
ikut melirik ke arah Ify begitu mendengar ucapan Sivia tersebut.
“Gue gak nafsu, Vi!” ketus Ify sinis. Kerling matanya bahkan menandakan bahwa makanan tersebut sangat haram untuk ia sentuh.
“Biarin
lah Vi, entar juga makan sendiri kalau dia laper sih. Gak usah
disuruh-suruh lagi. Mungkin dia gengsi kali nyoba masakan gue.” sambung
Mario menyindir. Lantas Ify mendesis, kontra dengan apa yang keluar dari
mulut pria tersebut.
“Loe diem deh gak usah ngomong!”
“Itu hak gue punya mulut, Clarissa.” ucap Mario santai. Enggan berdebat dengan Ify lebih lama tentunya.
“Loe itu tuli atau gimana sih sebenernya?! Udah sering gue bilang jangan panggil gue Clarissa. . .”
“Karena loe bukan orangtua gue.” lanjut Mario menyambungi kalimat Ify yang seakan sudah tertebak akan ke mana arahnya.
“Ish!”
“Udahlah
jangan pada berantem gitu. Emang gak capek apa? Heran deh,” lerai Sivia
yang tadi sempat bengong melihat adegan berantem mereka berdua.
“Gue
gak bakal ladenin kalau dia gak mulai duluan, Vi. Tau sendiri kan dia
orangnya kaya gimana? Keras kepala,” respon Mario yang langsung
mendapatkan tatapan membunuh dari Ify.
“Harusnya kak Mario juga ngalah dong, kan udah tau sifat Ify kaya gitu.”
“Tau
tuh, Vi. Kalau psikopat mah emang gak pernah mau ngalah.” timpal Ify
asal. Sivia sempat tersedak mendengarnya, namun kemudian menatap Ify
dengan menggeleng.
“Kalau gue psikopat, gue udah bunuh loe dari kemaren-kemaren kali. Ngasal aja tuh mulut kalau ngomong!”
“Emang begitu kenyataannya,”
“Aih! Loe tuh ya.”
“Ini
sebenernya mau makan apa mau berantem sih?! Udah deh kalian berdua
jangan kaya anak kecil gitu.” kembali, Sivia melerai perdebatan Mario
dan Ify yang semakin memanas. Kontan mereka terdiam seketika.
“Udah, ayo pada makan!” lanjut Sivia.
“Enggak, Vi.”
“Ify!”
“Ck!
Iya deh iya gue makan. Puas?!” ujar Ify ketus. Bukannya merasa kesal ke
Sivia, tapi entah kenapa rasa kesalnya selalu tertuju pada Mario yang
kini tersenyum menang ke arahnya.
“Kak Mario juga jangan pernah
mancing-mancing kemarahan Ify lagi, oke?” tegur Sivia kepada Mario. Dan
dengan sigap Mario pun menegakkan badan sembari memberi hormat ke arah
Sivia.
“Siap laksanakan, bos!”
“Lebay!” untuk terakhir kalinya Ify menukas. Karena memang setelahnya tak ada yang merespon ucapan gadis cantik tersebut.
Melihat
Sivia dan Mario yang kini kembali asyik menyantap makanannya yang
hampir habis, Ify terpaksa menatap sepiring nasi goreng serta sendok dan
garpu yang sejak tadi belum sempat一atau lebih tepatnya tidak mau一ia
sentuh sama sekali. Ia pun menghela napas sesaat. Rasa lapar di dalam
perutnya memaksa ia untuk menyantap makanan itu.
“Baiklah Fy, ini untuk pertama dan terakhir kali.” gumamnya seraya menjamah sendok meski sedikit enggan.
Perlahan, saat kunyahan pertama, Ify terdiam. Matanya melirik ke arah Mario tanpa disadari si empunya.
“Enak
juga,” lantas tersenyum setelah bergumam untuk kedua kalinya. Sampai
akhirnya Ify tidak menyadari kalau ia begitu menikmati masakan dari
Mario. Pria yang selalu dicap negatif oleh pikirannya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar