Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik ku hitung
Inikah saat ku pergi?
Seorang
gadis bersandar di kursi roda yang didudukinya seraya menghirup udara
pagi yang masih segar. Cukup lama. Sekitar setengah jam yang lalu. Di
mana sang mentari yang belum terbit saat si gadis ini sudah berinteraksi
dengan ribuan embun yang membasahi populasi flora yang ada di taman
depan rumahnya pun kini sedikit demi sedikit mulai memamerkan kilauan
sinar hangatnya hingga menerpa wajah gadis tersebut.
Sivia
Rainsha. Nama gadis itu. Gadis yang kini kedua matanya sedikit terpejam
karena berusaha menghalau sinar mentari yang sangat menyilaukan itu.
Lalu ia tersenyum kemudian. Entah kenapa. Mungkin merasa begitu bahagia
karena sudah cukup lama sekali ia tidak merasakan hangatnya sinar
mentari pagi dan juga sudah tidak terlalu sering lagi untuknya melihat
ribuan tetes embun yang menggenang kecil di dedaunan dengan indahnya.
Tepat
sejak sebulan yang lalu. Sebulan yang mungkin merupakan bulan tersuram
yang pernah Sivia alami. Bagaimana tidak, Sivia yang dulu hidupnya
selalu ceria dan baik-baik saja tiba-tiba divonis oleh dokter mengidap
penyakit mematikan nomor dua di dunia. Kanker. Ya, Sivia mengidap
penyakit kanker di otak kirinya. Dan kanker itupula yang telah merubah
hidup keluarga Sivia hampir seratus delapan puluh derajat. Keuangan
keluarganya yang dulu cukup dibilang di atas rata-rata pun kini mulai
berangsur habis dan hampir tak bersisa karena terpakai untuk membiayai
semua perawatan Sivia selama ini. Miris memang, tapi mungkin itulah
takdir yang harus mereka jalani.
Namun saat ini, entah karena
sudah terlalu pasrah dengan takdir, Sivia memilih tinggal di rumah dan
tidak ingin lagi berurusan dengan obat-obatan yang menjerat organ
tubuhnya secara paksa. Meski semua orang terdekatnya menolak akan
pilihan Sivia tersebut, Sivia tetap kekeh dengan pilihannya. Ia sudah
tak ingin lagi menyusahkan orang lain terlebih orang tuanya yang
mati-matian pinjam uang sana-sini demi menebus perawatan yang
dijalaninya. Yang jelas sekarang Sivia sudah pasrah dan memberi
kekuasaan penuh kepada Tuhan akan keputusan terbaikNya nanti. Apa Ia
akan memberikan hidup yang lebih lama lagi pada Sivia, atau mungkin
sebaliknya, mengambil kehidupan itu sendiri dari tubuh Sivia. Karena
bagaimana pun Tuhan berkehendak, Sivia harus selalu ikhlas menerimanya.
Toh bukankah semua manusia akan kembali padaNya suatu saat nanti?
Kembali,
Sivia menghela napas. Kali ini napas gusar lah yang ia tunjukkan saat
matanya menangkap beberapa helai rambut yang terjatuh di pundak
kanannya. Lantas ia mengambil dan memandang helaian rambut itu dengan
senyuman kecil.
"Rambutku. . ." gumamnya perlahan. Mengingat akan
rambutnya yang memang sudah tak tersisa lagi saat ini, senyuman kecil
itu tiba-tiba ditemani dengan butiran bening yang masih menggenang di
sudut mata Sivia.
"Rambutku sudah habis, Tuhan." lalu ia terdiam lagi
setelahnya. Efek kemoterapi yang telah empat kali dijalani Sivia itu
sudah merenggut sedikit demi sedikit mahkota terindah yang Tuhan
anugerahkan kepadanya tersebut.
"Dan. . . Apakah detik-detik hidupku
akan segera berakhir juga seperti nasib rambut ini, Tuhan?" lagi-lagi
Sivia bergumam lirih. Kali ini seperti sebuah pertanyaan yang memang tak
membutuhkan sebuah jawaban pasti baginya. Lantas Sivia memejamkan mata
seraya menggenggam erat helaian rambut di telapak tangannya.
"Kalaupun
itu harus terjadi, aku selalu siap. Aku. . ." semakin kuat mata Sivia
terpejam, semakin erat juga tangannya menggenggam. Berusaha setegar
mungkin meski sebenarnya ada rasa takut yang menyeruak hebat di dalam
dadanya.
"Aku. . ." belum sempat gadis ini melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba. . .
"Ayo
tebak siapa?" seru seseorang tiba-tiba. Kedua tangannya yang menutupi
mata Sivia dari belakang itu cukup membuat gadis tersebut merasa kaget.
"Lho?
Kamu nangis?" dan belum sempat Sivia menebak, seseorang itu kembali
bertanya saat jemarinya merasakan sesuatu. Basah. Apalagi kalau bukan
air mata yang sejak tadi belum juga terjatuh dari pelupuk mata Sivia.
Perlahan, Sivia pun menggeleng saat mendengar pertanyaan seseorang tersebut.
"Kamu gak bisa bohong sama aku. Kamu nangis kan?" tanyanya lagi sedikit sangsi.
"Aku
gak nangis, Alvin. Aku cuma kelilipan kok. Jangan sok tau deh!" kilah
Sivia asal. Membuat laki-laki bernama Alvin itu menghela napas jengah.
Alvinandra.
Sahabat kecil Sivia yang kini sudah remaja. Laki-laki pertama yang
pernah hadir dalam hidupnya. Laki-laki pertama yang menjadi sahabat dan
pelindung sejatinya sepuluh tahun terakhir ini. Laki-laki pertama yang
selalu ada saat Sivia butuhkan, selalu menghibur saat Sivia merasa
sedih, selalu marah saat Sivia melakukan kesalahan, selalu memberi
semangat saat Sivia mulai terpuruk. Dan bahkan, Alvin, adalah laki-laki
pertama yang menjadi alasan terbesar Sivia untuk selalu bertahan hidup
dari segala cobaan Tuhan yang sedang dialaminya.
Sivia pun mengernyit, "Kok lihatinnya gitu sih?"
"Gak
apa-apa. Aku tau alasannya kenapa kamu nangis." kata Alvin seraya
meraih telapak tangan Sivia yang mengepal. Lantas dibukalah oleh Alvin
secara perlahan.
"Karena ini kan?" lanjutnya. Beberapa helai rambut
yang tadi Sivia genggam pun kini beralih ke tangan Alvin. Sedangkan
Sivia masih terdiam. Menyadari kebodohan utama yang selalu ia lakukan di
hadapan laki-laki tersebut. Berbohong. Sedangkan ia sendiri tau kalau
Alvin bukanlah tipe orang yang mudah dibohongi.
"Sivia, aku udah
sering bilang kan sama kamu kalau rambut itu bukan lagi lambang sejati
seorang perempuan?" tanya Alvin lagi. Sivia lantas mengangguk pelan
layaknya anak kecil saat diberi nasihat oleh kedua orangtuanya.
"Karena
menurut aku, lambang sejati seorang perempuan itu ada di sini, di dalam
hati perempuan itu sendiri." lanjut Alvin memperjelas. Tangan Sivia
yang sejak tadi digenggam pun ia letakkan di dada gadis tersebut.
"Toh
bukan cuma rambut aja yang membuat perempuan terlihat lebih cantik,
tapi hati jauh lebih berperan penting dari itu. Dan asal kamu tau ya,
kamu tetap cantik kok meski tanpa rambut. Serius deh!" ujar Alvin sambil
tersenyum.
"Tapi aku malu, Vin. Aku. . ." lirih Sivia sedikit sangsi dengan ucapan Alvin.
"Kenapa
mesti malu, Vi? Kamu kan gak ngelakuin kesalahan? Lagian yang
seharusnya malu itu ya mereka yang hanya memiliki rambut indah tapi gak
memiliki sifat dan sikap yang indah. Malah semestinya mereka yang wajib
malu sama kamu. Karena kamu sudah jauh lebih sempurna dari mereka."
Sivia tersenyum mendengarnya. Laki-laki bernama Alvin tersebut memang
selalu begitu. Selalu membuatnya merasa menjadi orang yang paling
spesial di dunia ini."Makasih ya, Alvin? Kamu memang sahabat
aku yang paling baik." ujar Sivia manis. Garis lengkung di kedua
bibirnya begitu jelas terukir. Alvin balas tersenyum.
"Oh iya, kok
kamu di sini sih? Gak berangkat sekolah? Udah jam enam lho, Vin. Tau
sendiri kan Jakarta itu gimana?" dan sebagai pengalihan topik, Sivia
bertanya sedikit penasaran. Ditambah Alvin yang langsung berbalik badan
sambil menyandarkan punggungnya di kaki Sivia itu semakin membuat gadis
cantik tersebut mengernyitkan dahinya hebat.
"Aku izin gak masuk
sehari, Vi. Tadi aku titipin surat izinnya ke Rio kok, soalnya aku mau
temenin kamu seharian ini. Gak apa-apa kan, Vi?" tanpa harus menengok,
Alvin meminta persetujuan dari Sivia dengan tatapan mata yang ikut
terfokus ke arah taman depan rumah Sivia. Sedangkan Sivia tak langsung
merespon, ia malah tersenyum tanpa Alvin ketahui. Bahkan rasanya ia
ingin sekali memeluk Alvin dari belakang, sebagai tanda terimakasihnya
kepada laki-laki menawan yang dengan sangat santai bersandar di kedua
kakinya. Tetapi Sivia belum mempunyai sedikitpun keberanian untuk
melakukan itu.
"Vi, kamu gak keberatan kan?" karena belum juga mendapatkan jawaban, Alvin menolehkan kepalanya pelan.
"Ngg.
. . Aku gak bisa larang, Vin. Itu hak kamu. Tapi kalau nanti kamu
sampai ketinggalan pelajaran, jangan salahin aku ya?" Alvin tertawa
ringan mendengarnya. Gadis berkepala botak dengan kelopak mata yang
cekung hitam itu cukup menggemaskan menurutnya.
"Kalaupun nanti aku
sampai tertinggal pelajaran, aku bakal kejar kok. Aku kan jago lari,
Vi." lagi-lagi Alvin terkekeh setelahnya.
"Alvin, tolong ya, aku gak
lagi bercanda." respon Sivia dingin. Si Alvin kontan berhenti tertawa,
kembali memasang wajah seriusnya.
"Iya-iya aku ngerti. Toh cuma sehari doang kok." kata Alvin sambil melempar lagi pandangannya ke arah taman.
Mereka
membisu kemudian. Tatapan mereka sama-sama tertuju pada dua ekor
kupu-kupu yang saling berkejaran satu sama lain. Mengagumkan.
"Coba aja aku punya sayap kaya mereka," gumam Alvin perlahan."Dan seandainya kamu punya?" seakan ingin tau lebih lanjut perkataan Alvin, Sivia lantas memancingnya dengan sebuah pertanyaan.
"Aku
mau ajak kamu terbang ke atas awan tanpa harus merasa takut terjatuh."
jawab Alvin yang cukup sulit dimengerti akan arti yang terkandung di
dalamnya.
"Hmm. . . Tapi kok entah kenapa aku gak rela kalau kamu
punya sayap ya?" kata Sivia. Lantas tatapan refleks dari Alvin pun ia
dapatkan seketika.
"Kok gitu?"
"Aku cuma gak mau kamu terbang
tinggalin aku saat kamu sudah tak mampu lagi membawa aku terbang."
lanjutnya. Alvin kontan tersenyum.
"Kamu gak perlu takut, Sivia. Toh
aku cuma punya satu sayap kok, kan satu sayapnya lagi aku kasih ke kamu.
Jadi aku gak bisa terbang kalau aku gak sama kamu. Hehehe."
"Ih, perasaan tadi kamu gak bilang gitu deh."
"Ya kan sekarang udah bilang."
"Iya, tapi tetep aja tadi kamu gak bilang kalau sayapnya kamu kasih ke aku satu."
"Iya
sih. Eh, kok jadi malah bahas sayap ya?" baru tersadar dari omongan
ngelanturnya, Alvin berpikir dengan mengernyit hebat. Begitupun dengan
Sivia.
"HAHAHA." lalu tertawa.
***
Sivia berteriak kecil, "Turunin aku, Alvin! Aku takut."
"Kamu tenang aja, aku kuat kok."
"Jangan
kenceng-kenceng, Alviiiiiinnn!!!" lagi-lagi Sivia berteriak. Rasa
was-was saat ia berada di gendongan Alvin pun terus menyeruak. Apalagi
Alvin yang memang sengaja berlari pun semakin membuat Sivia takut.
Namun Alvin tak menghiraukan. Ia tetap berlari di tengah-tengah padang ilalang yang tingginya hampir satu meter itu.
"Akhirnya
sampai juga," ujar Alvin setelah ia mencapai puncak bukit yang cukup
tinggi di antara hamparan ilalang-ilalang yang sedang bergoyang tertiup
angin.
"Lihat! Kita bisa nyentuh awan dari sini." kembali,
Alvin berujar. Menunjukkan satu persatu keindahan alam yang sebelumnya
hanya ia saja yang tau. Sedangkan Sivia masih terdiam, masih terlalu
kagum dengan apa yang ia lihat sekarang. Berdiri di atas bukit yang
dikelilingi lautan ilalang berwarna oranye, sinkron dengan warna senja
yang menggaris tepat di perbatasan antara langit dan bumi."Gimana
menurut kamu, Vi? Kamu suka kan?" di tengah-tengah kesibukannya melirik
alam sekitar, Alvin menyempatkan diri untuk bertanya.
"Aku suka ini, suka banget malah." jawab Sivia antusias seraya menarik napas panjangnya.
"Sungguh?"
tanpa harus menjawab lagi, cukup anggukan sajalah yang Sivia tunjukkan
kepada Alvin. Membuat Alvin tersenyum senang melihat gadis yang
kepalanya dibalut kain putih ditambah seutas syal berwarna cokelat krem
yang melingkar renggang di lehernya itu. Lalu ia menghela napas, rasanya
lega sekali jika melihat raut wajah Sivia seperti yang sekarang. Cukup
mendamaikan hatinya.
Perlahan, Sivia yang sedang sibuk menikmati
sepoi angin sembari duduk bersimpuh di atas batu kecil yang tak jauh
dari posisi Alvin berdiri, tiba-tiba merasakan tubuhnya diangkat secara
paksa.
"Ah, Alvin. . . Kok kamu gendong aku lagi sih? Ayo turunin!
Kamu gak capek apa gendong aku terus? Alvin, udah deh! Aku mau duduk aja
di bawah, aku kan bukan anak kecil lagi." oceh Sivia saat tubuhnya
sudah berada di punggung Alvin untuk keduakalinya. Sedangkan Alvin
memilih tak merespon, membiarkan Sivia berhenti terlebih dulu dari
ocehannya sebelum ia berkata.
"Udah kan ngocehnya?" ucap Alvin kemudian.
"Sekarang, coba deh kamu tutup mata dulu." lanjutnya. Sivia mengernyit sesaat, menatap heran Alvin dari belakang.
"Udah,
tutup aja. Jangan kebanyakan mikir gitu deh." sindir Alvin yang seakan
tau apa yang dilakukan Sivia dalam gendongannya. Sivia pun membuang
napas.
"Iya-iya ini udah aku tutup, Alvin bawel. Lagian kenapa sih pakai acara tutup mata segala?"
"Jangan
banyak protes deh, Sivia jelek. Udah mulai bandel ya sekarang? Toh cuma
tutup mata aja apa susahnya sih? Gampang kan? Terus entar kalau aku
suruh buka matanya, kamu buka lagi oke?" tutur Alvin yang seenak raja
menyuruh-nyuruh Sivia seperti itu. Sedangkan Sivia hanya pasrah dan
mengangguk saja mengikuti perintah dari Alvin.
Sedetik, dua
detik, tiga detik, empat detik, sampai hampir setengah menit Sivia
memejamkan mata, namun Alvin belum juga berniat untuk angkat
suara. Membuat Sivia mulai sedikit jengah.
"Kok lama banget sih, Vin?" ujarnya resah.
"Bentar lagi. Sabar ya?"
"Baiklah," balas Sivia setelah sebelumnya ia menghela napas.
"Oke, sekarang buka mata kamu!" suruh Alvin setelah lima detik Sivia kembali diam.
Refleks,
gadis yang masih berada di gendongan Alvin itu membuka matanya
perlahan. Mengerjap, dan kemudian mengernyit saat kedua mata
minimalisnya tidak menangkap sesuatu atau apapun yang lebih spesial dari
sebelum yang ia lihat.
"Kamu lihat mereka kan?" tanya Alvin kemudian
seraya tangannya menunjuk ke arah tiga ekor burung unta yang terbang
berdampingan. Yang mana pemandangan itulah yang selalu Alvin lihat saat
dirinya mendatangi tempat tersebut. Dan itu merupakan pemandangan yang
sangat romantis menurut Alvin. Di mana ada tiga ekor burung yang selalu
terbang berjejer di saat semburat senja mulai datang. Entah dari mana
mereka, yang jelas Alvin selalu melihat mereka bertiga terbang di tempat
yang sama. Bahkan Alvin pun sampai hafal kapan waktunya mereka akan
melintas. Seperti sekarang ini.
"Iya, aku lihat. Emang kenapa dengan
mereka, Vin?" jawab dan tanya Sivia kemudian. Alvin pun tersenyum
terlebih dulu sebelum menjawab.
"Mereka bertiga itu setia, Vi. Selalu
bersama apapun yang terjadi tanpa tanpa pandang bulu. Dan bahkan pernah
suatu hari aku melihat salah satu di antara mereka yang terbang tanpa
gairah, mungkin karena sedang sakit atau gimana kali ya," jelas Alvin
rinci. Sedangkan Sivia hanya menjadi pendengar yang baik di balik
punggung Alvin. Kadang juga ia mengangguk paham saat Alvin seakan
meminta tanggapan darinya.
"Di situ dia sedikit tertinggal jauh dari
kedua temannya yang lain, sampai akhirnya kedua teman si burung yang
sakit itu menyadari kalau salah satu di antara mereka bertiga
tertinggal. Lantas mereka dengan refleksnya mengurangi kecepatan demi
menunggu si burung yang sakit itu mengejar sedikit demi sedikit." jelas
Alvin terhenti. Memberi kesempatan sedikit untuk Sivia merespon.
"Lalu
apa yang terjadi?" dan benar saja, Sivia tiba-tiba bertanya akan
kelanjutan nasib si burung yang sakit tersebut. Lagi-lagi Alvin
tersenyum. Bersamaan dengan menghilangnya ketiga burung unta yang tadi
melintas jauh di atas pandangannya.
"Mereka bertiga akhirnya bisa
terbang bersama-sama lagi, dan si burung yang sakit itu berada di
tengah-tengah kedua temannya, mungkin mereka mencoba berusaha untuk
selalu menjaga si burung tersebut." Sivia pun mengangguk sambil
membulatkan mulutnya.
"Mereka itu solider banget ya, Vin?" ujarnya seketika. Lantas kini giliran Alvin yang mengangguk.
"Dan kamu tau gak kenapa aku bisa kagum sama mereka?"
"Kenapa?"
"Karena
aku ingin seperti mereka. Selalu setia untuk jagain kamu apapun yang
terjadi." ucap Alvin yang membuat Sivia terharu. Genangan air kecil pun
tiba-tiba berkumpul di kedua sudut matanya.
"Aku juga ingin selalu
ada disaat kamu butuh aku. Jadi, kamu jangan segan lagi buat libatin aku
di setiap episode kehidupan kamu ya, Vi? Karena menurut aku, kamu itu
adalah sahabat aku yang paling luar biasa. Juga sahabat paling baik yang
pernah Tuhan berikan buat aku. Dan aku bangga karena bisa jadi sahabat
kamu, Sivia." lanjut Alvin dengan nada sumringah. Sedangkan Sivia masih
enggan untuk berbicara. Ia hanya bisa mengeratkan pelukannya dari
belakang.
"Makasih ya, Vin."
***
Oh Tuhan, kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadi
Alvin
menunduk lirih. Cukup sesak melihat sahabatnya yang terbaring lemah di
balik pintu berkaca. Padahal baru tiga jam yang lalu, ia masih bisa
bercanda dengan Sivia di salah satu kursi panjang yang terletak di
tengah-tengah taman bunga depan rumah milik gadis tersebut.
Flashback On.
"Ah, kamu ini bisa aja." ucap Sivia malu-malu saat Alvin memuji setelah menempelkan bunga kamboja di salah satu telinganya.
"Serius
deh, aku gak bohong. Kamu beneran terlihat lebih cantik siang ini. Beda
aja gitu dari hari biasanya." Alvin lalu duduk di samping Sivia sambil
tak lupa menyenggol bahu gadis tersebut perlahan. Membuat Sivia kembali
tersenyum malu."Udah ah jangan muji aku terus, aku malu." ungkapnya manja. Alvin terkekeh kemudian.
"Malu apa GR nih? Hehehe."
"Terserah
kamu aja deh, Vin. Udah ah, jangan lihatin aku kaya gitu. Aku takut!"
ujar Sivia yang sedikit menghindar dari tatapan Alvin yang tertuju pada
wajahnya.
"Aih! Emangnya aku setan apa mesti ditakutin segala?
Dasar!" lagi, Alvin menyenggol bahu Sivia perlahan. Kontan gadis
tersebut tertawa kecil setelahnya.
"Ketawa pula,"
"Hehehe. Iya deh maaf."
Alvin
lantas tersenyum manis. Entah rasanya damai dan betah sekali untuk
Alvin memandang wajah Sivia hari ini. Benar-benar beraura. Begitupun
sebaliknya, Sivia merasa di dalam dadanya selalu ada getaran hebat yang
kompak bergetar saat tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Alvin.
Tidak seperti biasanya. Dan bahkan ini yang pertama kali ia rasakan saat
bersama Alvin. Sahabat kecilnya.
"Tuhan, apa aku sedang jatuh
cinta?" gumam Sivia sangat pelan. Mungkin hanya ia, Tuhan, dan kedua
malaikatNya sajalah yang dapat mendengar.
"Alvin?" samar-samar,
panggilan dari Sivia mengetuk gendang telinga Alvin. Lantas Alvin
menengok dan mendapati Sivia sedang menatapnya lekat.
"Iya, Vi?" jawab Alvin sembari mengerutkan dahi.
"Aku.
. ." kata Sivia ragu. Bibir bawahnya pun ia gigit-gigit perlahan demi
meyakinkan pada dirinya sendiri untuk mengatakan sesuatu yang cukup
spesial pada remaja muda yang masih setia duduk di sampingnya itu.
"Aku?" respon Alvin seakan memancing Sivia untuk melanjutkan ucapannya.
"Aku. . ."
Flashback Off.
"Kamu yang kuat ya, Vi? Aku selalu ada di sini buat kamu." lirih Alvin dengan kembali melihat Sivia dari kejauhan.
Di
sisi lain, Sivia yang juga masih setengah tersadar itu dapat melihat
Alvin dengan jelas. Meski rasa sakit di kepalanya semakin menusuk, dan
meski mulutnya pun tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata karena
terhalang oleh alat bantu bernapas, namun di dalam hati Sivia selalu dan
selalu menyebut nama Alvin. Bahkan ia selalu mengadu kepada Tuhan demi
Alvin."Tuhan, kalau boleh aku meminta satu hal padaMu, ridho
kah Engkau untuk memberiku hidup lebih lama lagi? Aku mencinta dia,
Tuhan. Dan aku ingin mengatakan kalau dialah satu-satunya yang membuat
aku bisa bertahan hidup sampa detik ini. Tuhan, sudi kah Engkau
mengabulkan permintaanku? Aku janji, aku tidak akan menyakiti dia, tidak
akan membuatnya sedih, dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak
pernah dia lakukan padaku. Aku mohon, Tuhan." lirih Sivia dalam hatinya.
Walaupun pandangannya mulai memburam, namun Sivia tetap melihat siluet
Alvin yang masih setia menunggunya di balik pintu.
"Dan kalaupun ini
adalah detik terakhir untuk aku melihat Alvin, aku harap Engkau tidak
memberikan kesedihan yang mendalam untuknya saat kepergianku tiba." lalu
mata Sivia benar-benar terpejam. Tidak dapat lagi melihat suasana di
sekitarnya saat sebuah suntikan menusuk di lengan kirinya.
***
Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku kucinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta
Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai ku menutup mata
"Coba
ungkapkan perlahan, Vi. Kamu pasti bisa!" suruh Alvin saat Sivia mulai
tersadar dari komanya dua hari yang lalu. Di mana ia sekarang seperti
ingin mengungkapkan sesuatu namun mulutnya sulit untuk mengeluarkan
suara. Yang ada ia hanya bisa menggenggam tangan Alvin semakin erat
dengan terus-terusan mengeluarkan tatapan harap dan sesal. Berharap
kalau Tuhan mau memberinya kesempatan untuk ia mengungkapan apa yang ada
dalam hatinya kepada Alvin. Dan menyesal karena ia belum juga bisa
mengungkapnya selama ini kepada remaja muda tersebut.
Walaupun hatinya memberontak, namun tetap saja mulutnya tak bisa dikompromi.
"Kamu
mau bilang apa, Vi? Coba kamu tenang dulu, kamu bilang perlahan."
lagi-lagi Alvin menyuruh. Namun Sivia hanya bisa menggeleng, pertanda
kalau dirinya masih tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
"Aku. . ."
"Ya? Kamu kenapa?"
"A.
. ." tiba-tiba Sivia menggeleng lagi. Ia benar-benar tak kuasa untuk
melanjutkan ucapannya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Alvin pun
berdiri dan melangkah mendekati meja yang berada tepat di belakang kedua
orang tua Sivia berdiri. Lantas kembali ke tempatnya setelah ia
mendapatkan apa yang ia cari.
"Coba kamu tulis!" suruh Alvin seraya
memberikan sebuah buku lengkap dengan pulpennya. Rasa penasaran yang
begitu besar akan apa yang hendak Sivia katakan itu cukup membuat Alvin
khawatir.
"Iya sayang, tulis sebisa kamu apa yang ingin kamu katakan." sambung Mamanya dengan menggenggam lengan kiri Sivia.
Perlahan,
Sivia memegang pulpen dengan kakunya. Lantas menuliskan dua kalimat
pokok yang memang benar-benar ingin ia sampaikan kepada Alvin dan kepada
orang tuanya. Dan. . . Klutuk! Pulpen itupun terjatuh saat Sivia
berusaha menunjukkan hasil tulisannya kepada Alvin dan kedua orang
tuanya.
"Aku mencintaimu, Alvin. Dan aku mencintai kalian semua." lirih Alvin sedikit membacakan tulisan yang ada di buku tersebut.
"Sivia.
. ." Sivia tersenyum kecil. Mencoba meyakinkan Alvin kalau ia
benar-benar mencintainya. Lantas Sivia beralih kepada kedua orang
tuanya. Berusaha juga untuk tersenyum meski kini rasanya sedikit sulit.
Dan. . .
"SIVIAAAAAA!!!" teriak Alvin spontan ketika genggaman Sivia
terlepas begitu saja. Sedangkan kedua orang tua Sivia hanya bisa
menggeleng bersamaan dengan pecahnya air mata saat melihat mata puteri
tercintanya terpejam damai seketika. Lalu mereka berpelukan dengan
perasaan sedih yang cukup menyesakkan dada.
"Sivia, aku. . . Aku pun
sama. Aku mencintai kamu." gumam Alvin sesal. Entah menyesal karena
Sivia telah tiada, atau menyesal karena ia baru bisa mengatakan kalau ia
pun jatuh cinta kepada Sivia saat ia sudah tiada. Entahlah. Yang pasti
Alvin kini hanya bisa menangis seraya menundukkan kepalanya di jemari
Sivia.
Cintaku. . . Sampai ku menutup mata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar