@guetaher_ @iamalvinjo_ @azizahsivia

Say What You Need To Say!

Rabu, 09 Juli 2014

Sampai Menutup Mata

Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik ku hitung
Inikah saat ku pergi?


Seorang gadis bersandar di kursi roda yang didudukinya seraya menghirup udara pagi yang masih segar. Cukup lama. Sekitar setengah jam yang lalu. Di mana sang mentari yang belum terbit saat si gadis ini sudah berinteraksi dengan ribuan embun yang membasahi populasi flora yang ada di taman depan rumahnya pun kini sedikit demi sedikit mulai memamerkan kilauan sinar hangatnya hingga menerpa wajah gadis tersebut.

Sivia Rainsha. Nama gadis itu. Gadis yang kini kedua matanya sedikit terpejam karena berusaha menghalau sinar mentari yang sangat menyilaukan itu. Lalu ia tersenyum kemudian. Entah kenapa. Mungkin merasa begitu bahagia karena sudah cukup lama sekali ia tidak merasakan hangatnya sinar mentari pagi dan juga sudah tidak terlalu sering lagi untuknya melihat ribuan tetes embun yang menggenang kecil di dedaunan dengan indahnya.

Tepat sejak sebulan yang lalu. Sebulan yang mungkin merupakan bulan tersuram yang pernah Sivia alami. Bagaimana tidak, Sivia yang dulu hidupnya selalu ceria dan baik-baik saja tiba-tiba divonis oleh dokter mengidap penyakit mematikan nomor dua di dunia. Kanker. Ya, Sivia mengidap penyakit kanker di otak kirinya. Dan kanker itupula yang telah merubah hidup keluarga Sivia hampir seratus delapan puluh derajat. Keuangan keluarganya yang dulu cukup dibilang di atas rata-rata pun kini mulai berangsur habis dan hampir tak bersisa karena terpakai untuk membiayai semua perawatan Sivia selama ini. Miris memang, tapi mungkin itulah takdir yang harus mereka jalani.

Namun saat ini, entah karena sudah terlalu pasrah dengan takdir, Sivia memilih tinggal di rumah dan tidak ingin lagi berurusan dengan obat-obatan yang menjerat organ tubuhnya secara paksa. Meski semua orang terdekatnya menolak akan pilihan Sivia tersebut, Sivia tetap kekeh dengan pilihannya. Ia sudah tak ingin lagi menyusahkan orang lain terlebih orang tuanya yang mati-matian pinjam uang sana-sini demi menebus perawatan yang dijalaninya. Yang jelas sekarang Sivia sudah pasrah dan memberi kekuasaan penuh kepada Tuhan akan keputusan terbaikNya nanti. Apa Ia akan memberikan hidup yang lebih lama lagi pada Sivia, atau mungkin sebaliknya, mengambil kehidupan itu sendiri dari tubuh Sivia. Karena bagaimana pun Tuhan berkehendak, Sivia harus selalu ikhlas menerimanya. Toh bukankah semua manusia akan kembali padaNya suatu saat nanti?

Kembali, Sivia menghela napas. Kali ini napas gusar lah yang ia tunjukkan saat matanya menangkap beberapa helai rambut yang terjatuh di pundak kanannya. Lantas ia mengambil dan memandang helaian rambut itu dengan senyuman kecil.
"Rambutku. . ." gumamnya perlahan. Mengingat akan rambutnya yang memang sudah tak tersisa lagi saat ini, senyuman kecil itu tiba-tiba ditemani dengan butiran bening yang masih menggenang di sudut mata Sivia.
"Rambutku sudah habis, Tuhan." lalu ia terdiam lagi setelahnya. Efek kemoterapi yang telah empat kali dijalani Sivia itu sudah merenggut sedikit demi sedikit mahkota terindah yang Tuhan anugerahkan kepadanya tersebut.
"Dan. . . Apakah detik-detik hidupku akan segera berakhir juga seperti nasib rambut ini, Tuhan?" lagi-lagi Sivia bergumam lirih. Kali ini seperti sebuah pertanyaan yang memang tak membutuhkan sebuah jawaban pasti baginya. Lantas Sivia memejamkan mata seraya menggenggam erat helaian rambut di telapak tangannya.
"Kalaupun itu harus terjadi, aku selalu siap. Aku. . ." semakin kuat mata Sivia terpejam, semakin erat juga tangannya menggenggam. Berusaha setegar mungkin meski sebenarnya ada rasa takut yang menyeruak hebat di dalam dadanya.
"Aku. . ." belum sempat gadis ini melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba. . .
"Ayo tebak siapa?" seru seseorang tiba-tiba. Kedua tangannya yang menutupi mata Sivia dari belakang itu cukup membuat gadis tersebut merasa kaget.
"Lho? Kamu nangis?" dan belum sempat Sivia menebak, seseorang itu kembali bertanya saat jemarinya merasakan sesuatu. Basah. Apalagi kalau bukan air mata yang sejak tadi belum juga terjatuh dari pelupuk mata Sivia.

Perlahan, Sivia pun menggeleng saat mendengar pertanyaan seseorang tersebut.
"Kamu gak bisa bohong sama aku. Kamu nangis kan?" tanyanya lagi sedikit sangsi.
"Aku gak nangis, Alvin. Aku cuma kelilipan kok. Jangan sok tau deh!" kilah Sivia asal. Membuat laki-laki bernama Alvin itu menghela napas jengah.

Alvinandra. Sahabat kecil Sivia yang kini sudah remaja. Laki-laki pertama yang pernah hadir dalam hidupnya. Laki-laki pertama yang menjadi sahabat dan pelindung sejatinya sepuluh tahun terakhir ini. Laki-laki pertama yang selalu ada saat Sivia butuhkan, selalu menghibur saat Sivia merasa sedih, selalu marah saat Sivia melakukan kesalahan, selalu memberi semangat saat Sivia mulai terpuruk. Dan bahkan, Alvin, adalah laki-laki pertama yang menjadi alasan terbesar Sivia untuk selalu bertahan hidup dari segala cobaan Tuhan yang sedang dialaminya.

Sivia pun mengernyit, "Kok lihatinnya gitu sih?"
"Gak apa-apa. Aku tau alasannya kenapa kamu nangis." kata Alvin seraya meraih telapak tangan Sivia yang mengepal. Lantas dibukalah oleh Alvin secara perlahan.
"Karena ini kan?" lanjutnya. Beberapa helai rambut yang tadi Sivia genggam pun kini beralih ke tangan Alvin. Sedangkan Sivia masih terdiam. Menyadari kebodohan utama yang selalu ia lakukan di hadapan laki-laki tersebut. Berbohong. Sedangkan ia sendiri tau kalau Alvin bukanlah tipe orang yang mudah dibohongi.
"Sivia, aku udah sering bilang kan sama kamu kalau rambut itu bukan lagi lambang sejati seorang perempuan?" tanya Alvin lagi. Sivia lantas mengangguk pelan layaknya anak kecil saat diberi nasihat oleh kedua orangtuanya.
"Karena menurut aku, lambang sejati seorang perempuan itu ada di sini, di dalam hati perempuan itu sendiri." lanjut Alvin memperjelas. Tangan Sivia yang sejak tadi digenggam pun ia letakkan di dada gadis tersebut.
"Toh bukan cuma rambut aja yang membuat perempuan terlihat lebih cantik, tapi hati jauh lebih berperan penting dari itu. Dan asal kamu tau ya, kamu tetap cantik kok meski tanpa rambut. Serius deh!" ujar Alvin sambil tersenyum.
"Tapi aku malu, Vin. Aku. . ." lirih Sivia sedikit sangsi dengan ucapan Alvin.
"Kenapa mesti malu, Vi? Kamu kan gak ngelakuin kesalahan? Lagian yang seharusnya malu itu ya mereka yang hanya memiliki rambut indah tapi gak memiliki sifat dan sikap yang indah. Malah semestinya mereka yang wajib malu sama kamu. Karena kamu sudah jauh lebih sempurna dari mereka." Sivia tersenyum mendengarnya. Laki-laki bernama Alvin tersebut memang selalu begitu. Selalu membuatnya merasa menjadi orang yang paling spesial di dunia ini."Makasih ya, Alvin? Kamu memang sahabat aku yang paling baik." ujar Sivia manis. Garis lengkung di kedua bibirnya begitu jelas terukir. Alvin balas tersenyum.
"Oh iya, kok kamu di sini sih? Gak berangkat sekolah? Udah jam enam lho, Vin. Tau sendiri kan Jakarta itu gimana?" dan sebagai pengalihan topik, Sivia bertanya sedikit penasaran. Ditambah Alvin yang langsung berbalik badan sambil menyandarkan punggungnya di kaki Sivia itu semakin membuat gadis cantik tersebut mengernyitkan dahinya hebat.
"Aku izin gak masuk sehari, Vi. Tadi aku titipin surat izinnya ke Rio kok, soalnya aku mau temenin kamu seharian ini. Gak apa-apa kan, Vi?" tanpa harus menengok, Alvin meminta persetujuan dari Sivia dengan tatapan mata yang ikut terfokus ke arah taman depan rumah Sivia. Sedangkan Sivia tak langsung merespon, ia malah tersenyum tanpa Alvin ketahui. Bahkan rasanya ia ingin sekali memeluk Alvin dari belakang, sebagai tanda terimakasihnya kepada laki-laki menawan yang dengan sangat santai bersandar di kedua kakinya. Tetapi Sivia belum mempunyai sedikitpun keberanian untuk melakukan itu.
"Vi, kamu gak keberatan kan?" karena belum juga mendapatkan jawaban, Alvin menolehkan kepalanya pelan.
"Ngg. . . Aku gak bisa larang, Vin. Itu hak kamu. Tapi kalau nanti kamu sampai ketinggalan pelajaran, jangan salahin aku ya?" Alvin tertawa ringan mendengarnya. Gadis berkepala botak dengan kelopak mata yang cekung hitam itu cukup menggemaskan menurutnya.
"Kalaupun nanti aku sampai tertinggal pelajaran, aku bakal kejar kok. Aku kan jago lari, Vi." lagi-lagi Alvin terkekeh setelahnya.
"Alvin, tolong ya, aku gak lagi bercanda." respon Sivia dingin. Si Alvin kontan berhenti tertawa, kembali memasang wajah seriusnya.
"Iya-iya aku ngerti. Toh cuma sehari doang kok." kata Alvin sambil melempar lagi pandangannya ke arah taman.

Mereka membisu kemudian. Tatapan mereka sama-sama tertuju pada dua ekor kupu-kupu yang saling berkejaran satu sama lain. Mengagumkan.
"Coba aja aku punya sayap kaya mereka," gumam Alvin perlahan."Dan seandainya kamu punya?" seakan ingin tau lebih lanjut perkataan Alvin, Sivia lantas memancingnya dengan sebuah pertanyaan.
"Aku mau ajak kamu terbang ke atas awan tanpa harus merasa takut terjatuh." jawab Alvin yang cukup sulit dimengerti akan arti yang terkandung di dalamnya.
"Hmm. . . Tapi kok entah kenapa aku gak rela kalau kamu punya sayap ya?" kata Sivia. Lantas tatapan refleks dari Alvin pun ia dapatkan seketika.
"Kok gitu?"
"Aku cuma gak mau kamu terbang tinggalin aku saat kamu sudah tak mampu lagi membawa aku terbang." lanjutnya. Alvin kontan tersenyum.
"Kamu gak perlu takut, Sivia. Toh aku cuma punya satu sayap kok, kan satu sayapnya lagi aku kasih ke kamu. Jadi aku gak bisa terbang kalau aku gak sama kamu. Hehehe."
"Ih, perasaan tadi kamu gak bilang gitu deh."
"Ya kan sekarang udah bilang."
"Iya, tapi tetep aja tadi kamu gak bilang kalau sayapnya kamu kasih ke aku satu."
"Iya sih. Eh, kok jadi malah bahas sayap ya?" baru tersadar dari omongan ngelanturnya, Alvin berpikir dengan mengernyit hebat. Begitupun dengan Sivia.
"HAHAHA." lalu tertawa.

***


Sivia berteriak kecil, "Turunin aku, Alvin! Aku takut."
"Kamu tenang aja, aku kuat kok."
"Jangan kenceng-kenceng, Alviiiiiinnn!!!" lagi-lagi Sivia berteriak. Rasa was-was saat ia berada di gendongan Alvin pun terus menyeruak. Apalagi Alvin yang memang sengaja berlari pun semakin membuat Sivia takut.

Namun Alvin tak menghiraukan. Ia tetap berlari di tengah-tengah padang ilalang yang tingginya hampir satu meter itu.
"Akhirnya sampai juga," ujar Alvin setelah ia mencapai puncak bukit yang cukup tinggi di antara hamparan ilalang-ilalang yang sedang bergoyang tertiup angin.
"Lihat! Kita bisa nyentuh awan dari sini." kembali, Alvin berujar. Menunjukkan satu persatu keindahan alam yang sebelumnya hanya ia saja yang tau. Sedangkan Sivia masih terdiam, masih terlalu kagum dengan apa yang ia lihat sekarang. Berdiri di atas bukit yang dikelilingi lautan ilalang berwarna oranye, sinkron dengan warna senja yang menggaris tepat di perbatasan antara langit dan bumi."Gimana menurut kamu, Vi? Kamu suka kan?" di tengah-tengah kesibukannya melirik alam sekitar, Alvin menyempatkan diri untuk bertanya.
"Aku suka ini, suka banget malah." jawab Sivia antusias seraya menarik napas panjangnya.
"Sungguh?" tanpa harus menjawab lagi, cukup anggukan sajalah yang Sivia tunjukkan kepada Alvin. Membuat Alvin tersenyum senang melihat gadis yang kepalanya dibalut kain putih ditambah seutas syal berwarna cokelat krem yang melingkar renggang di lehernya itu. Lalu ia menghela napas, rasanya lega sekali jika melihat raut wajah Sivia seperti yang sekarang. Cukup mendamaikan hatinya.

Perlahan, Sivia yang sedang sibuk menikmati sepoi angin sembari duduk bersimpuh di atas batu kecil yang tak jauh dari posisi Alvin berdiri, tiba-tiba merasakan tubuhnya diangkat secara paksa.
"Ah, Alvin. . . Kok kamu gendong aku lagi sih? Ayo turunin! Kamu gak capek apa gendong aku terus? Alvin, udah deh! Aku mau duduk aja di bawah, aku kan bukan anak kecil lagi." oceh Sivia saat tubuhnya sudah berada di punggung Alvin untuk keduakalinya. Sedangkan Alvin memilih tak merespon, membiarkan Sivia berhenti terlebih dulu dari ocehannya sebelum ia berkata.
"Udah kan ngocehnya?" ucap Alvin kemudian.
"Sekarang, coba deh kamu tutup mata dulu." lanjutnya. Sivia mengernyit sesaat, menatap heran Alvin dari belakang.
"Udah, tutup aja. Jangan kebanyakan mikir gitu deh." sindir Alvin yang seakan tau apa yang dilakukan Sivia dalam gendongannya. Sivia pun membuang napas.
"Iya-iya ini udah aku tutup, Alvin bawel. Lagian kenapa sih pakai acara tutup mata segala?"
"Jangan banyak protes deh, Sivia jelek. Udah mulai bandel ya sekarang? Toh cuma tutup mata aja apa susahnya sih? Gampang kan? Terus entar kalau aku suruh buka matanya, kamu buka lagi oke?" tutur Alvin yang seenak raja menyuruh-nyuruh Sivia seperti itu. Sedangkan Sivia hanya pasrah dan mengangguk saja mengikuti perintah dari Alvin.

Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, sampai hampir setengah menit Sivia memejamkan mata, namun Alvin belum juga berniat untuk angkat suara. Membuat Sivia mulai sedikit jengah.
"Kok lama banget sih, Vin?" ujarnya resah.
"Bentar lagi. Sabar ya?"
"Baiklah," balas Sivia setelah sebelumnya ia menghela napas.
"Oke, sekarang buka mata kamu!" suruh Alvin setelah lima detik Sivia kembali diam.

Refleks, gadis yang masih berada di gendongan Alvin itu membuka matanya perlahan. Mengerjap, dan kemudian mengernyit saat kedua mata minimalisnya tidak menangkap sesuatu atau apapun yang lebih spesial dari sebelum yang ia lihat.
"Kamu lihat mereka kan?" tanya Alvin kemudian seraya tangannya menunjuk ke arah tiga ekor burung unta yang terbang berdampingan. Yang mana pemandangan itulah yang selalu Alvin lihat saat dirinya mendatangi tempat tersebut. Dan itu merupakan pemandangan yang sangat romantis menurut Alvin. Di mana ada tiga ekor burung yang selalu terbang berjejer di saat semburat senja mulai datang. Entah dari mana mereka, yang jelas Alvin selalu melihat mereka bertiga terbang di tempat yang sama. Bahkan Alvin pun sampai hafal kapan waktunya mereka akan melintas. Seperti sekarang ini.
"Iya, aku lihat. Emang kenapa dengan mereka, Vin?" jawab dan tanya Sivia kemudian. Alvin pun tersenyum terlebih dulu sebelum menjawab.
"Mereka bertiga itu setia, Vi. Selalu bersama apapun yang terjadi tanpa tanpa pandang bulu. Dan bahkan pernah suatu hari aku melihat salah satu di antara mereka yang terbang tanpa gairah, mungkin karena sedang sakit atau gimana kali ya," jelas Alvin rinci. Sedangkan Sivia hanya menjadi pendengar yang baik di balik punggung Alvin. Kadang juga ia mengangguk paham saat Alvin seakan meminta tanggapan darinya.
"Di situ dia sedikit tertinggal jauh dari kedua temannya yang lain, sampai akhirnya kedua teman si burung yang sakit itu menyadari kalau salah satu di antara mereka bertiga tertinggal. Lantas mereka dengan refleksnya mengurangi kecepatan demi menunggu si burung yang sakit itu mengejar sedikit demi sedikit." jelas Alvin terhenti. Memberi kesempatan sedikit untuk Sivia merespon.
"Lalu apa yang terjadi?" dan benar saja, Sivia tiba-tiba bertanya akan kelanjutan nasib si burung yang sakit tersebut. Lagi-lagi Alvin tersenyum. Bersamaan dengan menghilangnya ketiga burung unta yang tadi melintas jauh di atas pandangannya.
"Mereka bertiga akhirnya bisa terbang bersama-sama lagi, dan si burung yang sakit itu berada di tengah-tengah kedua temannya, mungkin mereka mencoba berusaha untuk selalu menjaga si burung tersebut." Sivia pun mengangguk sambil membulatkan mulutnya.
"Mereka itu solider banget ya, Vin?" ujarnya seketika. Lantas kini giliran Alvin yang mengangguk.
"Dan kamu tau gak kenapa aku bisa kagum sama mereka?"
"Kenapa?"
"Karena aku ingin seperti mereka. Selalu setia untuk jagain kamu apapun yang terjadi." ucap Alvin yang membuat Sivia terharu. Genangan air kecil pun tiba-tiba berkumpul di kedua sudut matanya.
"Aku juga ingin selalu ada disaat kamu butuh aku. Jadi, kamu jangan segan lagi buat libatin aku di setiap episode kehidupan kamu ya, Vi? Karena menurut aku, kamu itu adalah sahabat aku yang paling luar biasa. Juga sahabat paling baik yang pernah Tuhan berikan buat aku. Dan aku bangga karena bisa jadi sahabat kamu, Sivia." lanjut Alvin dengan nada sumringah. Sedangkan Sivia masih enggan untuk berbicara. Ia hanya bisa mengeratkan pelukannya dari belakang.
"Makasih ya, Vin."

***


Oh Tuhan, kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadi


Alvin menunduk lirih. Cukup sesak melihat sahabatnya yang terbaring lemah di balik pintu berkaca. Padahal baru tiga jam yang lalu, ia masih bisa bercanda dengan Sivia di salah satu kursi panjang yang terletak di tengah-tengah taman bunga depan rumah milik gadis tersebut.

Flashback On.

"Ah, kamu ini bisa aja." ucap Sivia malu-malu saat Alvin memuji setelah menempelkan bunga kamboja di salah satu telinganya.
"Serius deh, aku gak bohong. Kamu beneran terlihat lebih cantik siang ini. Beda aja gitu dari hari biasanya." Alvin lalu duduk di samping Sivia sambil tak lupa menyenggol bahu gadis tersebut perlahan. Membuat Sivia kembali tersenyum malu."Udah ah jangan muji aku terus, aku malu." ungkapnya manja. Alvin terkekeh kemudian.
"Malu apa GR nih? Hehehe."
"Terserah kamu aja deh, Vin. Udah ah, jangan lihatin aku kaya gitu. Aku takut!" ujar Sivia yang sedikit menghindar dari tatapan Alvin yang tertuju pada wajahnya.
"Aih! Emangnya aku setan apa mesti ditakutin segala? Dasar!" lagi, Alvin menyenggol bahu Sivia perlahan. Kontan gadis tersebut tertawa kecil setelahnya.
"Ketawa pula,"
"Hehehe. Iya deh maaf."

Alvin lantas tersenyum manis. Entah rasanya damai dan betah sekali untuk Alvin memandang wajah Sivia hari ini. Benar-benar beraura. Begitupun sebaliknya, Sivia merasa di dalam dadanya selalu ada getaran hebat yang kompak bergetar saat tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Alvin. Tidak seperti biasanya. Dan bahkan ini yang pertama kali ia rasakan saat bersama Alvin. Sahabat kecilnya.
"Tuhan, apa aku sedang jatuh cinta?" gumam Sivia sangat pelan. Mungkin hanya ia, Tuhan, dan kedua malaikatNya sajalah yang dapat mendengar.
"Alvin?" samar-samar, panggilan dari Sivia mengetuk gendang telinga Alvin. Lantas Alvin menengok dan mendapati Sivia sedang menatapnya lekat.
"Iya, Vi?" jawab Alvin sembari mengerutkan dahi.
"Aku. . ." kata Sivia ragu. Bibir bawahnya pun ia gigit-gigit perlahan demi meyakinkan pada dirinya sendiri untuk mengatakan sesuatu yang cukup spesial pada remaja muda yang masih setia duduk di sampingnya itu.
"Aku?" respon Alvin seakan memancing Sivia untuk melanjutkan ucapannya.
"Aku. . ."

Flashback Off.

"Kamu yang kuat ya, Vi? Aku selalu ada di sini buat kamu." lirih Alvin dengan kembali melihat Sivia dari kejauhan.

Di sisi lain, Sivia yang juga masih setengah tersadar itu dapat melihat Alvin dengan jelas. Meski rasa sakit di kepalanya semakin menusuk, dan meski mulutnya pun tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata karena terhalang oleh alat bantu bernapas, namun di dalam hati Sivia selalu dan selalu menyebut nama Alvin. Bahkan ia selalu mengadu kepada Tuhan demi Alvin."Tuhan, kalau boleh aku meminta satu hal padaMu, ridho kah Engkau untuk memberiku hidup lebih lama lagi? Aku mencinta dia, Tuhan. Dan aku ingin mengatakan kalau dialah satu-satunya yang membuat aku bisa bertahan hidup sampa detik ini. Tuhan, sudi kah Engkau mengabulkan permintaanku? Aku janji, aku tidak akan menyakiti dia, tidak akan membuatnya sedih, dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pernah dia lakukan padaku. Aku mohon, Tuhan." lirih Sivia dalam hatinya. Walaupun pandangannya mulai memburam, namun Sivia tetap melihat siluet Alvin yang masih setia menunggunya di balik pintu.
"Dan kalaupun ini adalah detik terakhir untuk aku melihat Alvin, aku harap Engkau tidak memberikan kesedihan yang mendalam untuknya saat kepergianku tiba." lalu mata Sivia benar-benar terpejam. Tidak dapat lagi melihat suasana di sekitarnya saat sebuah suntikan menusuk di lengan kirinya.

***


Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku kucinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta

Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai ku menutup mata


"Coba ungkapkan perlahan, Vi. Kamu pasti bisa!" suruh Alvin saat Sivia mulai tersadar dari komanya dua hari yang lalu. Di mana ia sekarang seperti ingin mengungkapkan sesuatu namun mulutnya sulit untuk mengeluarkan suara. Yang ada ia hanya bisa menggenggam tangan Alvin semakin erat dengan terus-terusan mengeluarkan tatapan harap dan sesal. Berharap kalau Tuhan mau memberinya kesempatan untuk ia mengungkapan apa yang ada dalam hatinya kepada Alvin. Dan menyesal karena ia belum juga bisa mengungkapnya selama ini kepada remaja muda tersebut.

Walaupun hatinya memberontak, namun tetap saja mulutnya tak bisa dikompromi.
"Kamu mau bilang apa, Vi? Coba kamu tenang dulu, kamu bilang perlahan." lagi-lagi Alvin menyuruh. Namun Sivia hanya bisa menggeleng, pertanda kalau dirinya masih tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
"Aku. . ."
"Ya? Kamu kenapa?"
"A. . ." tiba-tiba Sivia menggeleng lagi. Ia benar-benar tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Alvin pun berdiri dan melangkah mendekati meja yang berada tepat di belakang kedua orang tua Sivia berdiri. Lantas kembali ke tempatnya setelah ia mendapatkan apa yang ia cari.
"Coba kamu tulis!" suruh Alvin seraya memberikan sebuah buku lengkap dengan pulpennya. Rasa penasaran yang begitu besar akan apa yang hendak Sivia katakan itu cukup membuat Alvin khawatir.
"Iya sayang, tulis sebisa kamu apa yang ingin kamu katakan." sambung Mamanya dengan menggenggam lengan kiri Sivia.

Perlahan, Sivia memegang pulpen dengan kakunya. Lantas menuliskan dua kalimat pokok yang memang benar-benar ingin ia sampaikan kepada Alvin dan kepada orang tuanya. Dan. . . Klutuk! Pulpen itupun terjatuh saat Sivia berusaha menunjukkan hasil tulisannya kepada Alvin dan kedua orang tuanya.
"Aku mencintaimu, Alvin. Dan aku mencintai kalian semua." lirih Alvin sedikit membacakan tulisan yang ada di buku tersebut.
"Sivia. . ." Sivia tersenyum kecil. Mencoba meyakinkan Alvin kalau ia benar-benar mencintainya. Lantas Sivia beralih kepada kedua orang tuanya. Berusaha juga untuk tersenyum meski kini rasanya sedikit sulit. Dan. . .
"SIVIAAAAAA!!!" teriak Alvin spontan ketika genggaman Sivia terlepas begitu saja. Sedangkan kedua orang tua Sivia hanya bisa menggeleng bersamaan dengan pecahnya air mata saat melihat mata puteri tercintanya terpejam damai seketika. Lalu mereka berpelukan dengan perasaan sedih yang cukup menyesakkan dada.
"Sivia, aku. . . Aku pun sama. Aku mencintai kamu." gumam Alvin sesal. Entah menyesal karena Sivia telah tiada, atau menyesal karena ia baru bisa mengatakan kalau ia pun jatuh cinta kepada Sivia saat ia sudah tiada. Entahlah. Yang pasti Alvin kini hanya bisa menangis seraya menundukkan kepalanya di jemari Sivia.


Cintaku. . . Sampai ku menutup mata

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1yh2gzkxR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar